Pesan Rahbar

Home » » Sudah Saatnya Bangsa Indonesia Harus Melek (Buka Mata) Pancasila!!!

Sudah Saatnya Bangsa Indonesia Harus Melek (Buka Mata) Pancasila!!!

Written By Unknown on Friday 28 July 2017 | 14:28:00


Oleh: Hudojo Haripurnomo

1. Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam pidato membangun dunia kembali dimula sidang umum P.B.B September 1960, Bung Karno mengatakan: “Bangsa saya meliputi orang-orang yang menganut berbagai macam agama, ada yang Islam, ada yang Kristen, ada yang Buda dan ada yang tidak menganut sesuatu agama. Meskipun demikian untuk delapan puluh lima persen dari sembilanpuluh dua juta rakyat kami, bangsa Indonesia terdiri dari penganut Islam. Berpangkal pada kenyataan ini dan mengingat akan bebeda-beda tetapi bersatunya bangsa kami, kami menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai yang paling utama dalam filsafah hidup kami. Bahkan mereka yang tidak percaya kepada Tuhanpun, karena toleransinya yang menjadi pembawaan, mengakui bahwa kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa merupakan karateristik dari bangsanya, sehingga mereka menerima Sila pertama ini”.

Dari kutipan tersebut diatas jelas bahwa Sila Pertama dari pancasila mencerminkan adanya budaya Pluralisme, dan budaya pluralisme inilah yang menjadi kunci dari persatuan bangsa Indonesia dalam mendirikan Negara Kesatua Republik Indonesia (NKRI).


2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Dalam sila yang kedua ini terkandung nilai-nilai: Pengakuan terhadap adanya martabat manusia dengan segala hak asasinya yang harus dihormati oleh siapapun; Perlakuan yang adil terhadap sesama manusia.


3. Persatuan Indonesia- Nasionalisme.

Kekuatan yang membakar dari nasionalisme dan hasrat akan kemerdekaan selama mempertahankan dan memberi kekuatan menjelang kegelapan penjajahan yang lama, dan selama berkobarnya perjuangan kemerdekaan. Dewasa ini kekuatan membakar itu masih tetap menyala-nyala dan tetap memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia!. Akan tetapi nasionalisme Indonesia bukanlah Chauvinisme. Bangsa Indonesia sekali-kalai tidak menganggap dirinya lebih unggul dari bangsa-bangsa lain.


4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawarataan/perwakilan” atau Demokrasi, demokrasi tampaknya merupakan keadaan asli dari fitrah manusia, meskipun perlu diubah untuk disesuaikan dengan kondisi-kondesi sosial yang khusus. Selama beribu-ribu tahun dari peradaban Indonesia, telah mengembangkan bentuk-bentuk demokrasi Indonesia.


5. “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”

Pada keadilan Sosial ini, dimaksud juga kemakmuran sosial, karena dua masalah ini tidak dapat dipisah-pisahkan.

Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; ini tercantum pada paragraf ke-4 (Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945.

Melek Pancasila harus menggunakan prinsip-prinsip Pancasila tersebut diatas, untuk membentuk semangat suatu komunitas-nomunitas dalam masyarakat Indonesia yang beradab, menuju pada suatu masyarakat yang demokratis, adil dan makmur, bagi seluruh Rakyat Indonesia termasuk pada generasi-generasi bangsa yang berkelanjutan.

Sejak berkuasanya Orde Baru Pancasila telah dimodifikasi menjadi “Kesaktian Pancasila” yang digunakan sebagai payung hukum bagi pelaksanaan pembantaian massal (Genosida) 1965-1966 oleh rezim militer fasis pimpinan jendral TNI AD Soeharto, sedangkan di era “reformasi”, ideologi Negara Pancasila tidak mendepatkan perhatian secara khusus oleh rezim-rezim yang mengklaim dirinya sebagai rezim“Reformasi“ yang silih berganti. Dampaknya adalah sedikit demi sedikit bermunculanlah gerakan-gerakan konservatif, yang menggunakan “Topeng Pancasila”, tapi dalam perbuatannya menentang Pancasila. Ini tecermin dalam sikapnya mereka yang pengharaman pluralisme yang terkandung dalam jiwa Pancasila, yang merupakan kunci utama bagi persatuan bangsa Indonesia dalam suatu Negara Kesatuan Republik-Indonesia.

Semakin dalam kita mempelajari masalah-masalah utama tentang bagaimana terbentuknya Bangsa dan Tanah-air Indonesia, kita akan menyadari bahwa ia tak dapat dimengerti secara terpisah, dari keberadaaannya jutaan manusia-manusia yang menempati ribuan pulau-pulau, yang berderet-deret dari Sabang sampai Meraoke, yang bersatu padu dalam berjuang bersama-sama melawan penjajahan kolonialisme Belanda, adalah merupakan satu kesatuan. Masalah–masalah itu adalah merupakan masalah sistemik, artinya semuanya itu saling terkait dan tergantung satu sama lain.


Sebagai contoh misalnya:
1. Menstabilkan populasi NKRI, hanya mungkin bila kemiskinan diseluruh NKRI dituntaskan.
2. Kepunahan binatang dan spesis tumbuh-tumbuhan (pembakaran hutan-hutan), yang diganti dengan kebun-kebun Kelapa sawit, yang mono kultur, yang merusak ekosistem dalam skala besar-besaran akan berlanjut, selama NKRI terjerat utang luar negeri, yang bertumpuk-tumpuk.
3. Kelangkaan sumber daya alam (kekayaan alam bumi Indonesia), karena telah tergadaikan dan terjual pada pihak asing, dan degradasi lingkungan, ditambah dengan pertambahan pesat populasi menimbulkan kerusakan komunitas-komunitas lokal, dalam bentuk kekerasan etnis, suku, agama, yang sudah menjadi ciri utama era orde baru dan era “reformasi” sekarang ini.
4. Konflik keagamaan, kepercayaan, ideologi dll, hanya mungkin distabilkan bila masalah pluralisme di NKRI bisa di laksanakan sesuai dengan Pancasila 1 Juni 1945, UUD 45 naskah asli.
5. Menstabilkan keadaan sosial, ekonomi dan politik di NKRI hanya mungkin jika di negeri ini bisa menegakkan supermasi hukum, dan TNI sudah benar-benar bisa bersifat profesional, sehingga tidak lagi melakukan keterlibatannya dalam politik, ekonomi, administrasi dan dunia usaha, dan keterlibatannya dalam partai-partai politik, terutama partai-partai politik yang beraliran Islam garis keras (wahabi, Ihwanul Muslimin dll).
6. Gagasan-gagasan untuk memisahkan diri dari NKRI akan terus berlanjut jika staknasi dan demokrasi yang ambruladul, terus berkelanjutan, dan ditambah dengan semakin memaraknya budaya KKN di kalangan lembaga-lembaga legislatif, eksekutif, judikatif di kalangan birokrat-birokrat pemerintahan.


Akhirnya masalah–masalah tersebut di atas harus dilihat sebagai aspek-aspek yang berbeda dari krisis tunggal, yakni terutama adalah suatu krisis persepsi dalam menerima dan menanggapi hakekat Proklamasi Kemerdekaan NKRI 17 Agustus 1945, yaitu kemerdekaan penuh, demokrasi, harga diri dan jati diri sebagai bangsa yang mandiri dalam NKRI, UUD 45 naskah asli dan Pancasila 1 Juni 1945 seperti yang sudah diuraikan di atas.

Menurut pengamatan saya, krisis itu berasal dari fakta bahwa sebagian besar kita, dan khususnya lembaga-lembaga sosial kita yang besar, yaitu lembaga-lembaga politik (partai-partai politik), lembaga pemerinthan yaitu legislatif, eksekutif dan judikatif, kebudayaan, keagamaan, kemiliteran, kepolisian, kelompok–kelompok etnis, dan lembaga-lembaga sosial yang lainnya (ormas-ormas), masih mendukung konsep-konsep feodalisme, konservativisme, liberalisme, federalisme, kapitalisme, neloliberalisme, dan fasisme, yang berakar dari pandangan dunia yang sudah kedalu warso, yaitu pandangan dunia determintik-mekanistik (Cartesian), dalam menerima dan menanggapi persoalan terbentuknya bangsa dan tanah air Indonesia, yaitu terhadap motto “Bhineka tunggal Ika”, Pancasila 1 Juni 1945, dan UUD 45 naskah asli.

Sebagai contoh misalnya: Pandangan kuno itu tercermin dalam menerima dan menaggapi terjadinya suatu bangsa, yang megatakan bahwa: Syarat terjadinya suatu bangsa adalah “le désir d`etre ensamble” yaitu kehendak akan bersatu; Jadi bangsa, adalah gerombolan manusia-manusia yang mau bersatu, dan merasa dirinya bersatu, demikialah pandangan Ernes Renan ( 1823-1892). Atau Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persamaan nasib. Demikian menurut pandangan Otto Bauer (1881-1892), yang dikemukakan dalam bukunya yang berjudul “Die Nationalitäten frage“, dikatakan bahwa “Ein Nation ist eine aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft“ (“Suatu bangsa adalah merupakan persatuan dari komunitas orang dewasa yang menpunyai besamaan karakter dan nasib.”).

Dua pandangan tersebut adalah merupakan sebuah persepsi realisme, yang tidak memperhatikan tempat, yang didiami oleh manusia-manusia, karena pada saat itu belum muncul paradigma baru, yaitu Geopolitik (yang baru muncul pada tahun 1899 dari Rudoft Kjellen), yang memberikan defiinisi tentang adanya saling hubungan secara fundamental antara, orang dan tempat tinggalnya.

Selain dari pada itu pandangan Ernes Renan, maupun Otto van Bauer, dua-duanya tidak memadai untuk menangani hakekat kultural Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, yaitu Pembebasan, kemerdekaan penuh, demokrasi sejati, emansipasi, jati diri sebagai bangsa yang mandiri di dalam suatu negara yang didiami oleh beraneka ragam manusia-manusia, yang menganut bermacam-macam budaya, etnis, kepercayaan, agama, keyakinan, adat dll; yang mendiami deretan ribuan pulau-pulau dari Sabang sampai Meraoke.

Oleh karena itu dalam kaitannya dengan Geolpolitik, maka dalam pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 Bung Karno mengatakan bahwa terjadinya suatu bangsa itu adalah: “Persatuan antara orang dan tempat, artinya ada hubungan yang saling tergantung satu sama lain antara orang dan tempatnya secara fundamental.”

Paradigma Geopolitik dapat dikategorikan sebagai suatu pandangan dunia holistik (kemenyeluruhan), ia memandang dunia sebagai suatu keseluruhan yang terpadu, ketimbang suatu kumpulan bagian-bagian yang terpisah. Ia dapat juga disebut suatu pandangan ekologis, jika istilah `ekologis` juga dipakai dalam arti yang luas dan lebih dalam dari biasanya. Ada dua macam kesadaran ekologi, yaitu ekologi-dangkal dan ekologi-dalam.

Ekologi-dangkal bersifat antroposentris, atau berpusat pada manusia. Memandang manusia berada di atas atau di luar alam, sebagai sumber nilai, dan alam dianggap bersifat instrumental atau hanya memiliki nilai `guna`. Pandangan ekologi-dangkal tercermin dalam pandangan Ernes Renan, dan Otto Bauer, yang hanya berpusat pada manusianya saja. Ini tercermin dalam definisinya Ernes Renan, yang hanya mengutamakan perasaan manusianya saja “l`ame et le desir“, dan difinisi Otto Bauer yang mengutamakan “gemeinschaft“ (hidup bersama/paguyuban) dan perasaannya. Mereka hanya mengingat karakter tidak memikirkan tempat, tidak memikirkan bumi, yaitu bumi yang didiami oleh manusia-manusia itu. Karena mereka memandang manusia berada di atas atau diluar alam.

Geopolitik, dapat juga digolongkan dalam kesadaran ekologi dalam. Ekologi-dalam tidak memisahkan manusia – atau apapun- dari lingkungan alamiah. Benar-benar melihat bumi bukan sebagai kumpulan objek-objek yang terpisah, tetapi sebagai suatu jaringan yang saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain secara fundamental.

Dalam pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, Bung Karno telah mendefinisikan apa yang disebut bangsa menurut pandangan dunia modern yaitu Geopolitik, yang senafas dengan pandangan ekologi dalam. Dalam konteks ini Bung Karno mengatakan: “Terjadinya suatu bangsa adalah: Persatuan antara orang dan tempat, artinya ada hubungan yang saling tergantung antara orang dan tempatnya secara fundamental.”

Yang dimaksud oleh Bung Karno dengan tempat adalah Tanah-air, dan tanah air itu adalah bumi yang didiami oleh manusia, yang dalam konteks ini adalah bangsa Indonesia. Bumi yang ditempati oleh bangsa Indonesia yang beraneka ragam etnisnya, budayanya, agamanya, kepercayaannya, dll; yang menempati kumpulan pulau-pulau yang terpisah-pisah, yang terbentang dari Sabang sampai ke Meraoke, adalah merupakan jaringan fenomena kehidupan, yang saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain secara fundametal, sehingga merupakan suatu kesatuan yaitu satu untaian dalam jaringan hehidupan, yang berjuang serentak bersama-sama melawan penjajahan kolonialisme Belanda. Kesatuan seperti itu tercermin dalam Sumpah pemuda 28 Oktober 1928, yang medeklarasikan Satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air yaitu tanah air Indonesia.

Geopolitik mengakui adanya nilai intrinsik semua manusia yang hidup tersebar di deretan ribuan pulau-pulau, tak lebih dari satu untaian dalam jaringan kehidupan, artinya manusia-manusia dan bumi yang ditempatinya (tanah air), yang berbentuk deretan ribuan pulau dari Sabang sampai Meraoke talah melakukan suatau proses, di mana bagian-bagian-nya, yaitu ribuan pulau-pulau yang ditempati oleh jutaan manusia-manusia telah berubah sifatnya menjadi suatu jaringan sistem hidup secara keseluruhan, yang disebut BINEKA TUNGGAL IKA, yang bersifat sistemik dalam rangka ketrekaitan, hubungan-hubungan, dan konteks.

Menurut pandangan sistemik, sifat-sifat dasar sebuah sistem kehidupan, adalah sifat-sifat keseluruhan, yang tidak dimiliki oleh bagian-bagiannya. Sifat-sifat itu muncul dari interaksi dan hubungan antara bagian-bagian. Sifat-sifat itu akan rusak ketika sistem tersebut dibedah baik secara fisik maupun teoritis, menjadi unsur-unsur yang terpisah-pisah. Artinya menganalisa NKRI harus melihat secara keseluruhan, bukan melihat dari satu bagian yang hanya secuil. Secara singkat dapat diperumpamakan: “seeing Forest vs seeing Trees” = melihat keseluruhan vs melihat detail yang cuma secuil), yang digunakan untuk menerangkan sifat keseluruhan. Artinya melihat keberhasilan atau kemunduran satu daerah di NKRI, lalu digunakan untuk menerangkan sifat-sifat dan keadaan NKRI secara keseluruhan. Secara singkat dapat dikatakan menganalisa NKRI harus menggunakan system berpikir Holistis (pemikiran sistem), bukan metode mekanistik (Cartesian).

Dalam pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, Bung Karno menekankan bahwa “Nation Indonesia bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan “le désir d`etre ensamble” di atas daerah yang kecil seperti Minagkabau, atau Madura, atau Jogya, atau Sunda, atau Bugis, tapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut Geopolitik, yang telah ditentukan oleh Allah s.w.t. tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatra sampai ke Irian! S e l u r u h n y a!, karena antara manusia yang lebih dari 70.000.000 ini sudah ada (pada saat itu) “le désir d`etre ensamble”, sudah terjadi “Charaktergemeinschaft“! Nation Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 ini sudah menjadi satu, satu, sekali lagi satu! (tepuk tangan hebat).” [cuplikan dari pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, yang diucapkan oleh Bung Karno, Presiden Pertama dari NKRI]. Jadi apa yang dinamakam Bineka Tunggal Ika itu sudah menjadi suatu kenyataan!

Ketegangan yang utama dalam menanggapi Bineka Tunggal Ika itu adalah merupakan ketegangan antara bagian-bagian dan keseluruhan. Penekanan pada bagian-bagian disebut pandangan mekanistik, reduksionis atau atomik ( ilmu pengetahuan Catesian).

Penekanan kepada keseluruhan disebut holistik, organistik, atau ekologis ( ilmu pengetahuan tentang Sistem). Sudah sejak abad ke 20 ilmu pengetahuan yang berperspektif holistik telah dikenal sebagai ilmu “Sistemik”, dan cara berpikir yang dihasilkannya disebut `pemikiran sistem`

Rene Descaetes menciptakan metode berpikir analistik, yaitu memecah-mecah fenomena yang rumit ke dalam kepingan-kepingan informasi, untuk mengerti perilaku keseluruhan dari sifat-sifat bagian-bagiannya. Olah karena itulah maka pola pikir Cartesian telah gagal dalam memahami kebinekaan (Bhineka Tunggal Ika). Seperti yang sudah disinggung di atas bahwa NKRI yang berbentuk deretan ribuan pulau dari Sabang sampai Meraoke adalah merupakan suatu kesatuan, yang disebut Bineka Tunggal Ika; adalah merupakan kumpulan dari bagian-bagian yang sudah berubah menjadi keseluruhan, jadi menganalisa kehidupan NKRI dengan ilmu pengetahuan Cartesian akan menemui kegagalan, yang dampaknya akan merusak kehidupan NKRI.

Pada paruh pertama abad ke 20, muncullah cara berpikir yang baru, yaitu :Pemikiran sistem” dalam rangka keterkaitan, hubungan-hubungan, dan konteks. Menurut pandangan Sistem,sifat-sifat dasar sebuah organisme, atau sistem hidup, adalah sifat-sifat keseluruhan, yang tidak dimiliki oleh bagian-bagiannya. Sifat-sifat itu muncul dari interaksi dan hubungan antara bagian-bagian. Sifat-sifat itu akan rusak ketika sistem tersebut dibedah baik secara fisik maupun teoritis, menjadi unsur-unsur yang tepisah-pisah. Walaupun kita dapat mengenal bagian-bagian individuil dalam sistem apapun, bagian-bagian ini tidak tepisah-pisah, dan sifat dasar keseluruhan senantiasa berbeda-beda dari sekedar jumlah bagian-bagiannya. Demikianlah seharusnya kita selalu menggunakan metode berpikir sistemik dalam menganalisa apapun, khususnya dalam menganalisa kehidupan NKRI.

Memang dalam menerima dan memahami Bhineka Tunggal Ika itu, ada orang-orang yang pola pikirnya keblinger, karena mereka masih dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan Catesian yang sudah kadaluwarsa, dalam menganalisa kehidupan NKRI; kecuali itu mereka juga dipengaruhi juga oleh keinginan-keinginan, sikap-sikap politik, dan faktor-faktor psikologis lainnya, sehingga terjadilah kesalahan persepsi, dalam menerima dan menaggapi Motto “Bineka Tunggal Ika.” Persepsi di sini didefinisikan sebagai proses yang kita gunakan untuk menginterprestasikan data-data sensoris. Data sensoris itu sampai kepada kita melalui lima indra kita. Hasil penelitian telah mengidentifisikan dua jenis pengaruh dalam persepsi, yaitu pengaruh struktural dan pengaruh fungsional.

Pengaruh struktural pada persepsi berasal dari aspek-aspek rangsangan, yang terpapar pada kita; sedangkan pengaruh fungsional merupakan faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi persepsi, dan oleh karena itu membawa subjektivitas ke dalam proses. Kecenderungan adanya persepsi manusia yang dipengaruhi oleh keinginan-keinginan, siksp-siksp politik, dan faktor-faktor psikologi lainnya, seperti yang sudah disinggung diatas, secara umum disebut Persepsi selektif.

Menurut pengamatan saya di era “reformasi” ini pola pikir Cartesian dan persepsi selektif telah merusak kehidupan Pancasila dan UUD 1945. Ini tercermin dalam amandemen UUD 45, yang telah menghasilkan produk UUD 1999-2002, suatu UUD yang telah mengkhianati Pancasila dan UUD 45, Ini tercermin dalam produk kebijakan ekonominya yang menolak ekonomi Pancasila yang berdasarkan pada Pasal 33 UUD 45, yang bukan hanya menjadi rujukan kita bersama, tetapi juga menjadi kekuatan untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional dalam pembangunan ekonomi bagi kepentingan Rakyat banyak.

Pola pikir Cartesian dan Persepsi selektif juga nampak dalam pandangan yang menolak kebhinekaan, yang tercermin dalam bukunya May-jen TNI (Pur) Kivlan Zen, yang berjudul “Konflik dan Integrasi” TNI-AD. Yang pada halaman 142-143, di situ dinyatakan bahwa perlunya diadakan penafsiran ulang terhadap motto “Bhineka Tunggal Ika” , dan Pasal 1 UUD 1945, yakni Negara berbentuk kesatuan menjadi persatuan; Pembukaan UUD 45 dan lagu tanah airku, yang berbunyi “tanah tumpah darahku” agar diubah menjadi “tanahku yang tercinta”. Sungguh luar biasa sikap politik dan keinginan Mayjen TNI (Pur) Kivlan Zen ini ?!

Bisa dipercaya bahwa persepsi Mayjen TNI (pur) Kivlan Zen, dalam menerina dan menanggapi motto Bhineka Tunggal Ika, jelas berlatar belakang politik yang didasari pada keinginannya untuk memecah belah kesatuan bangsa Indonesia; seperti kehendak para penyeleweng-penyeleweng Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, yang didukung secara tersembunyi oleh kaum kolonialisme, neokolonialisme, Imperialisme, dan juga golongan neoliberalisme (neolib) diera “reformasi” ini, yang menghendaki adanya perubahan dari kesatuan menjadi persatuan, artinya merubah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi Negara Federal a´la van Mook.

Pembentukan negara federal a´la van Mook telah ditentang keras oleh mayoritas rakyat Indonesia penggerak revolusi Agustus 1945, karena federalisme hakekatnya adalah memecah belah potensi bangsa Indonesia yang berkepribadian “Tunggal Ika“, dan federalisme itu adalah alat imperialisme dalam menjalankan politik “divide et impera“ (politik pecah belah).

Meskipun Mayjen TNI Kivlan Zen nampaknya kukuh untuk mempertahankan kedaulatan Rebiblik Indonesia, namun ia menghendaki kelompok militer yaitu TNI/AD yang pro kelompok Islam konservatif lah yang memimpin negara ini. Rencana ini, kata Kivlan, sudah disusun sejak 1968. Bisa dipercaya bahwa rencana seperti itu adalah sejajar dengan tujuan Kartosuwiryo, yang hendak merubah NKRI menjadi NII (Negara Islam Indonesia), yang sesuai dengan strategi politik partai Masyumi yang sudah dinyatakan sebagai partai terlarang, karena keterlibatannya dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Saat sekarang ini telah bermunculaan kehendak untuk merubah NKRI menjadi Negara Syariat Islam Indonesia, yang menganut sistem Keklifahan, yang dipelopori oleh HTI.

Kivlan menyebut periode 1993-1998 adalah “ijo royo-royo“. Islamophobia terhadap Islam mulai berkurang. Panglima ABRI dijabat oleh Feisal Tanjung. Bersamaan dengan itu orang-orang yang pro terhadap Islam mulai naik posisinya.”Kita menang selama lima tahun,” ungkapnya. “Tapi reformasi 1998 akhirnya menghancurkan semua,” lanjutnya. Untuk melanjutkan perjuangannya, Kivlan mengaku kini menjadi calon anggota legislatif. Partai yang dipilih adalah PPP. “Partai ini bersejarah,” katanya.( JAKARTA (voa-islam.com) – Saat menyampaikan sambutannya dalam Pengajian Politik Islam di Masjid Agung Al Azhar, Jakarta Selatan, Ahad (29/9/2013), )

Nampaknya mayor Jenderal TNI (Purn.) Kivlan Zen, mantan Kas Kostrad (Kepala Staf Komando Strategis Angkatan Darat), putera Minangkabau kelahiran Langsa, Nanggroe Aceh Darussalam, 24 Desember 1946. Seorang jenderal yang kontroversial namun teguh dalam prinsip jika terkait kedaulatan R.I. Oleh karena itu bisa dipercaya bahwa Jenderal TNI (Purn.) Kivlan Zen ingin megganti NKRI menjadi Negara Federal yang berhaluan Islam, dimana kelompok militer yaitu TNI/AD kelompok pro Islam konservatiflah yang memimpin negara ini.

Sejarah bangsa Indonesia telah mencatat bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sanggup dan mampu mengatasi berbagai gempuran dari luar, yaitu gempuran dari kaum kolonialisme, neokolonialisme dan NeoImperialaisme: Pengalaman sejarah ini tercermin dalam gempuran dari kolonialisme Belanda dalam bentuk aksi militer yang kedua, kita bangsa Indonesia, yang Bhineka Tunggal Ika tetap survive, dihantam oleh federalisme van Mook, yang hendak merobek-robek dada kita, kita tetap survive. Dihantam oleh krisis ekonomi sebagai akibat dari pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda, tatkala lautan-lautan kita boleh dikatakan sunyi-senyap karena bersih ditinggalkan oleh kapal-kapal K.P.M., kita tetap survive. Dihantam oleh DI-TII, P.R.R.I-Permesta dengan bantuannya dari luar, yaitu Imperialisme AS, kita tetap survive (cuplikan dari pidato Penemuan Kembali Revolusi kita,- Pidato Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1959).

Dengan Proklamasi Kemerdekaan, yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945 keadaan masyarakat kita tidak begitu saja segera berubah dari masyarakat warisan kolonial menjadi masyarakat seperti yang dicita-citakan oleh Proklamasi Kemerdekaan itu. Kemerdekaan itu oleh Bung Karno disebut sebagai jembatan emas untuk memasuki masyarakat yang kita kehendaki, yang sesuai dengan cita-cita kemerdekaan, yang masih harus terus dibina, oleh karena itu segala potensi masih harus dikerahkan. Karena tindakan memproklamirkan kemerdekaan itu ternyata bertentangan dengan kehendak sekutu (Inggris dan Amerika), sehingga timbul pertentangan yang perlu diselesaikan. Sementara itu penjajah Belanda tentu juga berusaha memperkuat kedudukannya. Nederlandsch Indië Civil Administratie atau Netherlands-Indies Civil Administration (disingkat NICA), yang dipimpin oleh Dr.H.J.van Mook, sebagai Lt.Gouverneur General telah berusaha memecah belah kekuatan Rakyat Indonesia, yaitu dengan cara membentuk “negera-negara” federalisme a´la van Mook, yaitu Negara Indonesia Timur, Negara Sumatra Selatan, Negara Sumatra Utara, dan lain-lain , sebagai kelanjutan konferensi yang diselenggarakan di Denpasar dan Malino (Sulawesi Selatan).

Njatalah bahwa mereka tidak mau mengerti apa yang kita namakan revolusi Agustus 1945. Modal pokok bagi setiap revolusi nasional adalah menentang imperialisme dan kolonialisme, menentang penjajahan model baru di era Globalisasi pasar bebas, pimpinan imperialisme AS; artinya kita harus melakukan konsentrasi kekuatan nasional bukan perpecahan nasional. Meskipun kita menyetujui pemberian autonomi-daerah seluas-luasnya sesuai dengan Motto Bhineka Tunggal Ika, maka federalisme a´la van Mook, harus kita kikis-habis selekas-lekasnya, oleh karena federalisme a´la van Mook itu pada hakekatnya adalah alat pemecah belah kekuatan nasional. Jahatnya politik pemecah belah ini ternyata sekali pada tahun 1950, dan mencapai klimaknya dalam pemberontakan P.R.R.I.Permesta.

Demikianlah dampak –dampak sitemik dari krisis Persepsi, yang terjadi karena sebagian besar dikalangan banggsa Indonesia nampaknya masih belum Melek Pancasila. Sayangnya pemerintah yang mengklaim dirinya sebagai pemerintahan reformasi, sampai sekarang belum pernah melakukan gerakan revolusi mental yang nyata, misalnya mengadakan Indoktrinasi Pancasila 1 Juni 1945,secara integral terhadap semua Rakyat Indonesia, dari lapisan atas, menebgah dan bawah, sebagai sarana untuk membangkitkan kesadaran rakyatnya agar supaya Melek Pancsila 1 Juni 1945 ciptaan Bung Karno. Hal ini perlu ditekankan karena, ada banyak golongan yang menggunakan Pancsila hanya sebagai Topeng untuk menyelubungngi maksud jahatnya, misalnya Pancasila Sakti produk rezim totaliterisme militer fasis pimpinan jenderal TNI AD Soeharto.

(Ahmad-Samantho/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: