Pesan Rahbar

Home » » Suksesi Salman dan Agresifitas Arab Saudi

Suksesi Salman dan Agresifitas Arab Saudi

Written By Unknown on Sunday, 9 July 2017 | 04:12:00

Badan intelijen Jerman menyatakan Arab Saudi di bawah kendali Pangeran Muhammad bin Salman akan kian agresif dan berbahaya.

Aktivis yang mengatasnamakan Aliansi Anti Perang mengangkat poster saat melakukan aksi unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Arab Saudi, Jakarta. Aksi tersebut dilakukan untuk menolak kedatangan Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz ke Indonesia pada bulan Maret 2017 mendatang. (Foto: VIVA.co.id)

Ketika kaum muslim di Arab Saudi mendambakan malam Al-Qadar di sepuluh hari terakhir Ramadan, kejutan muncul dari dalam Istana Ash-Shofa di Kota Makkah.

Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Aziz Rabu dini hari pekan lalu mengangkat anak kesayangannya, Pangeran Muhammad bin Salman, sebagai putera mahkota, setelah melengserkan keponakannya, Pangeran Muhammad bin Nayif.

Kejutan sudah disangka banyak pihak sejak lama ini tetap saja mengagetkan. Hanya dalam dua tahun sejak ditunjuk menjadi Wakil Putera Mahkota Arab Saudi, karier Pangeran Muhammad bin Salman melesat bak roket.

Maklum saja, putra bungsu dari istri ketiga - yang termuda - Raja Salman masih sangat muda dan miskin pegalaman. Baru berumur 31 atau 32 tahun, Pangeran Muhammad bin Salman sudah mengendalikan negara sejak ditunjuk sebagai menteri pertahanan pada Maret 2015 dan sebulan kemudian menjadi wakil putera mahkota sekaligus Kepala Dewan Pembangunan dan Ekonomi Arab Saudi. Dia juga kepala Dewan Penasihat Raja.

Kejutan demi kejutan muncul sejak saat itu. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Arab Saudi melakukan intervensi militer di negara lain. Selama ini, Arab hanya hanya menyediakan pangkalan militer dan wilayah udaranya bagi jeg-jet tempur Amerika saat Perang Teluk pada 1991.

Tapi di bawah komando Pangeran Muhammad bin Salman, negara Kabah itu terang-terangan memusuhi Iran, mirip dengan kebijakan Israel yang juga anti-Iran. Sejak Maret 2015, Arab Saudi memimpin pasukan koalisi Arab untuk menggempur pemberontak Syiah Al-Hutiyun di Yaman, disokong oleh Iran. Alhasil, Yaman sampai kini dilandda perang berkepanjangan tanpa ada soluasi dari Arab Saudi.


Arab Saudi dan Israel sama-sama menolak kesepakatan soal pengehntian program nuklir Iran ditandatangani pada Juli 2015 di Ibu Kota Wina, Austria. Kesepakatan ini berujung pada pencabutan sanksi ekonomi terhadap negara Mullah itu pada Januari tahun lalu.

Kejutan lainnya terjadi pada Juni 2016, Pangeran Muhammad bin Salman meluncurkan reformasi ekonomi melalui Visi 2030. Program liberalisasi ekonomi ini mengharuskan Arab Saudi menghapus subsidi begitu besar terhadap energi selama ini dinikmati rakyatnya dan menjadikan negara itu stabil. Liberalisasi ekonomi berintikan IPO Saudi Aramco ini juga berujung pada rpivatisasi sejumlah badan usaha milik negara.

Dengan dalih Konferensi Islam-Amerika, Arab Saudi bulan lalu malah berupaya menggalang opini buat memojokkan Iran di mata dunia internasional. Dalam konferensi soal terorisme itu, dinyatakan Iran sebagai penyokong terorisme dan ancaman terbesar bagi perdamaian dunia.

Kejutan terakhir, saat Arab Saudi bersama Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Mesir, dan Yaman sejak 5 Juni lalu memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar. Lagi-lagi Iran menjadi alasan utama karena Qatar berhubungan baik dengan negara Persia itu. Hal ini terlihat dari syarat pertama buat menormalisai hubungan, Qatar mesti memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.

Darah muda Pangeran Muhammad bin Salman memang telah mengubah Arab Saudi menjadi lebih agresif. Calon raja Saudi ini seolah berpesan Arab Saudi adalah pemimpin dunia Arab Islam dan tidak boleh ada yang menentang mereka.

Tentu saja cepatnya karier Pangeran Muhammad bin Salman memicu gejolak di dalam negeri. Keputusan Raja Salman menendang Pangeran Muqrin bin Abdul Aziz pada April 2015 dan Pangeran Muhammad bin Nayif pada Juni 2016 dari kursi mahkota telah melanggar tradisi. Sejak pendiri Arab Saudi Raja Abdul Aziz bin Saud wafat, takhta diwariskan dari kakak ke adik.

Tapi Raja Salman berambisi menjadikan putranya itu sebagai penguasa negara Kabah. Padahal masih ada 13 anak mendiang Raja Abdul Aziz masih hidup. Hal ini tentu membuat intrik dan konflik dalam kerajaan kian meruncing.

Ketika Raja Salman dinobatkan awal 2015, muncul surat terbuka dari seorang pangeran menyerukan kudeta. Salman, ketika itu berusia 80 tahun, dianggap terlalu renta buat memimpin Arab Saudi.

Pangeran Muhammad bin Salman tentu harus memperkuat posisinya sebagai calon raja. Hal ini sudah tampak ketika beberapa pangeran muda, berumur 30-an tahun, diangkat sebagai anggota dewan pansihat raja. Abangnya, Pangeran Khalid bin Salman, sudah bertugas sebagai Duta besar Arab Saudi untuk Amerika sejak April lalu.

Untuk mengatasi pemberontakan dalam istana, kemungkinan besar Pangeran Muhammad bin Salman bakal bertangan besi. Tindakan keras terhadap para pangeran penentangnya tidak akan merusak citranya karena semua pemberitaan di Arab Saudi amat sangat terkontrol oleh penguasa.

Seperti kata BND (badan intelijen Jerman) dua tahun lalu, Arab Saudi di tangan Pangeran Muhammad bin Salman bakal menimbulkan gejolak di kawasan. Hal itu sudah terbukti dan kejutan-kejutan lain - sangat mungkin mencemaskan dunia - akan muncul bergiliran.

(Al-Balad/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: