Hadis Ruwaibidhah termasuk hadis yang masyhur di telinga para da’i dan sebagian orang awam. Memang benar bahwa hadis ini telah dikuatkan oleh sebagian ulama hadis kontemporer seperti Syaikh Al-Albani, Syaikh Ahmad Syakir, Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan Syaikh Mustafa Al-Adawiy. Hanya saja setelah kami pelajari dengan seksama kami lebih merajihkan bahwa kedudukan hadis ini sebenarnya dhaif. Tidak ada satupun jalan sanad yang selamat dari cacat dan semuanya tidak bisa dianggap saling menguatkan.
Hadis Ruwaibidhah secara marfu’ diriwayatkan dengan tiga jalur sahabat yaitu:
1. Hadis Abu Hurairah
2. Hadis Anas bin Malik
3. Hadis Auf bin Malik
Berikut pembahasan semua jalur hadis tersebut secara rinci beserta illat (cacat) masing-masing jalurnya:
Hadis Abu Hurairah
Hadis Abu Hurairah memiliki dua jalan sanad dimana keduanya dhaif dan tidak bisa saling menguatkan. Kedua jalan tersebut adalah:
1. Jalan Sa’iid bin Ubaid dari Abu Hurairah
2. Jalan Sa’iid Al-Maqburiy dari Ayahnya dari Abu Hurairah
Jalan Sa’iid bin Ubaid
حَدَّثَنَا يُونُسُ وَسُرَيْجٌ قَالَا حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ عَنْ سَعِيدِ بْنِ عُبَيْدِ بْنِ السَّبَّاقِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قال رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ السَّاعَةِ سِنُونَ خَدَّاعَةٌ يُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِين وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ سُرَيْجٌ وَيَنْظُرُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَة
Telah menceritakan kepada kami Yuunus dan Suraih, keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Fulaih dari Sa’iid bin ‘Ubaid bin As-Sabbaaq dari Abu Hurairah yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “Sebelum hari kiamat akan ada tahun-tahun yang penuh tipu daya, ketika itu orang-orang yang jujur didustakan dan para pendusta dibenarkan, orang-orang yang dapat dipercaya dikhianati, orang-orang yang berkhianat dipercaya, dan berbicaralah pada saat itu Ar-Ruwaibidhah. Suraih berkata (dengan lafaz) “dan melihatlah pada saat itu Ar-Ruwaibidhah” [Musnad Ahmad bin Hanbal 2/338 no 8459 (versi tahqiq Syaikh Syu’aib Al-Arnauth) atau no 8440 (versi tahqiq Syaikh Ahmad Syakir)]
Sanad ini mengandung dua kelemahan yaitu Fulaih bin Sulaiman dia diperbincangkan dari sisi dhabitnya dan berdasarkan pendapat yang rajih kedudukannya adalah perawi yang dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar. Kemudian Sa’iid bin Ubaid tidak mendengar dari Abu Hurairah.
Fulaih bin Sulaiman dilemahkan oleh Yahya bin Ma’in dimana terkadang ia berkata “dhaif” dan terkadang berkata “tidak kuat dan tidak bisa dijadikan hujjah hadisnya”. Abu Hatim berkata “tidak kuat”. An-Nasa’iy terkadang berkata “dhaif” dan terkadang berkata “tidak kuat”. Ibnu Adiy mengatakan bahwa hadis-hadis Fulaih shalih (baik), ia meriwayatkan dari syuyukh penduduk Madinah hadis-hadis lurus dan gharib, dia dijadikan pegangan oleh Al-Bukhariy dalam kitab Shahihnya dan disisi Ibnu Adiy Fulaih tidak ada masalah dengannya. Abu Ahmad Al-Hakim berkata “tidak kuat di sisi mereka (para ulama)”. Daruquthni berkata “mereka berselisih tentangnya dan tidak ada masalah padanya”. Ali bin Madini menyatakan dhaif. As-Saji mengatakan ia tergolong orang yang jujur dan terkadang keliru. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats-Tsiqat. Abu Daud berkata “tidak ada apa-apanya”. [Tahdzib At-Tahdzib Ibnu Hajar 5/280-281 no 6418]. Abu Zur’ah mengatakan bahwa Fulaih dhaif al-hadits [Adh-Dhu’afa Abu Zur’ah hal 366]
Ibnu Hajar dalam Taqrib At-Tahdzib menyimpulkan bahwa Fulaih “perawi yang shaduq banyak melakukan kesalahan”. Menurut penulis Tahrir Taqrib At-Tahdzib (Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan Syaikh Basyar Awwad Ma’ruf) kedudukan Fulaih bin Sulaiman adalah dhaif dapat dijadikan i’tibar. [Tahrir Taqrib At-Tahdzib 3/165 no 5443].
Kesimpulannya Fulaih bin Sulaiman pada dasarnya seorang yang shaduq hanya saja ia memiliki kelemahan pada sisi dhabitnya (hafalannya) sehingga ia melakukan banyak kesalahan dalam riwayat. Maka sudah tepat pendapat yang menyatakan bahwa ia dhaif jika tafarrud (menyendiri) dalam riwayatnya tetapi hadisnya bisa dijadikan i’tibar dan menjadi hasan dengan adanya penguat.
Fulaih bin Sulaiman dalam riwayatnya dari Sa’iid bin Ubaid memiliki mutaba’ah yaitu Yaziid bin ‘Iyaadh sebagaimana disebutkan Nu’aim bin Hammad dalam kitab Al-Fitan dengan sanad lengkap berikut:
حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ عِيَاضٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ عُبَيْدِ بْنِ السَّبَّاقِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb dari Yaziid bin ‘Iyaadh dari Sa’iid bin ‘Ubaid bin As-Sabbaaq yang berkata aku mendengar Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang mengatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda …[Al-Fitan Nu’aim bin Hammad no 1470].
Hanya saja mutaba’ah ini tidak kuat karena dua alasan. Alasan pertama, kitab Al-Fitan Nu’aim bin Hammad sendiri tidak bisa dijadikan hujjah. Kitab Al-Fitan ini diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Haatim Al-Muradhiy dari Nu’aim bin Hammad.
Abdurrahman bin Haatim dikatakan Ibnu Yunus bahwa Ia diperbincangkan oleh para ulama [Tarikh Ibnu Yunus no 810]. Ibnu Jauzi berkata “matruk al-hadits” [Adh-Dhu’afa Ibnu Jauzi no 1859]. Adz-Dzahabi menanggapi perkataan Ibnu Jauzi dengan berkata “dia termasuk guru Ath-Thabraniy dan aku tidak mengetahui ada masalah padanya”[Mizan Al-I’tidal no 4844] tetapi anehnya dalam tempat yang lain Adz-Dzahabi dengan jelas menyatakan Abdurrahman bin Haatim dhaif [Diwan Adh-Dhu’afa no 2430].
Nu’aim bin Hammad sendiri diperbincangkan kedudukannya dan pendapat yang rajih ia perawi yang dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar. Kami sudah pernah membahas tentangnya dalam tulisan disini
(Baca disini: https://secondprince.wordpress.com/2014/09/04/kedudukan-atsar-imam-aliy-bin-abi-thalib-tentang-bendera-hitam/ )
===============
Kedudukan Atsar Imam Aliy bin Abi Thalib Tentang Bendera Hitam
Atsar ini nampaknya menjadi bahan pembicaraan terkait dengan pendapat sebagian orang yang menyatakan bahwa mereka yang dibicarakan oleh Imam Aliy dalam atsar tersebut adalah orang-orang yang di zaman sekarang menyebut diri mereka ISIS. Kami tidak sedikitpun membela ISIS dan tidak pula kami merendahkan siapapun yang berhujjah dengan atsar Imam Aliy tersebut. Tulisan ini kami buat sebagai jawaban dari salah satu pembaca blog ini yang menanyakan shahih tidaknya atsar tersebut
dimana ia menukil dari kitab Kanz Al ‘Ummaal Muttaqiy Al Hindiy no 31530.
عن علي قال إذا رأيتم الرايات السود فالزموا الأرض ولا تحركوا أيديكم ولا أرجلكم! ثم يظهر قوم ضعفاء لا يوبه لهم، قلوبهم كزبر الحديد، هم أصحاب الدولة، لا يفون بعهد ولا ميثاق، يدعون إلى الحق وليسوا من أهله، أسماؤهم الكنى ونسبتهم القرى، وشعورهم مرخاة كشعور النساء حتى يختلفوا فيها بينهم ثم يؤتي الله الحق من يشاء. (نعيم
Asal riwayat ini sebagaimana yang tertulis dalam kitab Kanz Al ‘Ummaal adalah riwayat Nu’aim bin Hammaad. Nu’aim bin Hammaad menyebutkan dalam kitabnya Al Fitan riwayat di atas dengan sanad berikut:
حدثنا الوليد ورشدين عن ابن لهيعة عن أبي قبيل عن أبي رومان عن علي بن أبي طالب قال إذا رايتم الرايات السود فالزموا الأرض ولا تحركوا أيديكم ولا أرجلكم ثم يظهر قوم ضعفاء لا يؤبه لهم قلوبهم كزُبَرِ الحديد هم أصحاب الدولة لا يفون بعهد ولا ميثاق يدعون إلى الحق وليسوا من أهله، أسماؤهم الكنى ونسبتهم القرى وشعورهم مرخاة كشعور النساء حتى يختلفوا فيما بينهم ثم يؤتي الله الحق من يشاء
Telah menceritakan kepada kami Al Waliid dan Risydiin dari Ibnu Lahii’ah dari Abi Qabiil dari Abi Ruuman dari ‘Aliy bin Abi Thalib yang berkata “jika kamu melihat bendera-bendera hitam, maka tetaplah di tanah [mu] dan janganlah menggerakkan tangan dan kakimu, kemudian muncul kaum yang lemah, tidak ada yang menghiraukan mereka, hati mereka seperti potongan besi, mereka adalah shahibul daulah, mereka tidak menepati perjanjian dan kesepakatan, mereka mengajak kepada kebenaran tetapi mereka bukan termasuk ahlinya, nama mereka adalah kuniyah dan nisbat mereka kepada desa, rambut mereka terjuntai seperti rambut wanita hingga akhirnya mereka berselisih di antara mereka kemudian Allah akan mendatangkan kebenaran kepada orang yang Dia kehendaki [Al Fitan Nu’aim bin Hammaad hal 210 no 573].
Atsar Imam Aliy bin Abi Thalib di atas sanadnya dhaif dengan beberapa kelemahan berikut:
1. Nu’aim bin Hammaad ia seorang yang dhaif tidak bisa dijadikan hujjah jika tafarrud.
2. Walid bin Musliim seorang mudallis dengan tadlis taswiyah dan riwayatnya disini dengan ‘an anah. Ia memiliki mutaba’ah dari Risydiin bin Sa’d seorang yang dhaif [berdasarkan pendapat yang rajih].
3. Ibnu Lahii’ah diperbincangkan hafalannya setelah kitabnya terbakar, riwayatnya jayyid jika yang meriwayatkan darinya adalah para perawi yang mendengar darinya sebelum kitabnya terbakar seperti ‘Abdullah bin Wahb, Abdullah bin Mubarak dan yang lainnya. Disini yang meriwayatkan darinya adalah Waliid bin Muslim dan Risydiin bin Sa’d. Keduanya tidak diketahui kapan mereka meriwayatkan dari Ibnu Lahii’ah maka riwayatnya dhaif.
3. Abu Ruuman yang meriwayatkan dari ‘Aliy bin Abi Thalib adalah perawi yang majhul dan ternukil hanya Abu Qabiil yang meriwayatkan darinya maka kedudukannya majhul ‘ain.
Berikut pembahasan rinci tentang kelemahan-kelemahan tersebut. Nu’aim bin Hammaad termasuk salah satu dari guru Imam Bukhariy. Sebagian ulama memujinya dan sebagian yang lain telah mencelanya.
Kelemahan Pertama Nu’aim bin Hammaad
Ahmad bin Hanbal berkata tentang Nu’aim bin Hammaad “sungguh dia termasuk orang-orang tsiqat”. Dan ia juga berkata “orang pertama yang kami kenal menulis musnad adalah Nu’aim bin Hammaad” [Mausu’ah Aqwaal Ahmaad 4/23-24 no 3332].
Yahya bin Ma’in berkata tentang Nu’aim bin Hammad “tsiqat”. Ia juga berkata bahwa Nu’aim bin Hammad meriwayatkan dari orang-orang yang tidak tsiqat. Yahya bin Ma’in pernah mengingkari hadis Nu’aim bin Hammaad dan menyatakan tidak ada asalnya tetapi ia tetap menyatakan Nu’aim tsiqat. Yahya bin Ma’in pernah berkata “hadisnya tidak ada apa-apanya tetapi ia shahibus sunnah” [Mausu’ah Aqwaal Yahya bin Ma’in no 4024]
Al Ijliy berkata “Nu’aim bin Hammaad Al Marwaziy tsiqat” [Ma’rifat Ats Tsiqat 2/316 no 1858]. Abu Hatim berkata “tempat kejujuran” [Al Jarh Wat Ta’dil 8/463-464 no 2125]. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan berkata “ia melakukan kesalahan dan kekeliruan” [Ats Tsiqat 9/219 no 16099]
An Nasa’iy berkata “dhaif” [Adh Dhu’afa Wal Matrukin no 217]. Terkadang Nasa’iy juga berkata “tidak tsiqat” [Tarikh Baghdad 15/428 no 7237]. Al Mizziy mengutip Abu ‘Aliy An Naisaburiy Al Hafizh yang mendengar Nasa’iy menyebutkan keutamaan Nu’aim bin Hammaad dan ia mendahulukannya dalam ilmu dan sunnah hanya saja dalam hal hadis, An Nasa’iy menyatakan bahwa Nu’aim banyak meriwayatkan secara tafarrud hadis-hadis yang tidak bisa dijadikan hujjah [Tahdzib Al Kamal 29/476 no 6451]
Abu Zur’ah Ad Dimasyiq mengatakan “ia menyambungkan hadis-hadis yang dimauqufkan oleh orang-orang”. Shalih bin Muhammad pernah menyatakan suatu hadis Nu’aim dari Ibnu Mubarak sebagai tidak ada asalnya dan ia berkata “Nu’aim menceritakan hadis dari hafalannya dan di sisinya banyak terdapat riwayat-riwayat mungkar yang tidak ada mutaba’ah atasnya”. Abu Ubaid Al ‘Ajurriy berkata dari Abu Daud “di sisi Nu’aim terdapat dua puluh hadis dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang tidak ada asalnya” [Tahdzib Al Kamal 29/471 & 475 no 6451]
Daruquthniy berkata tentang Nu’aim bin Hammaad “imam dalam sunnah banyak melakukan kesalahan” [Su’alat Al Hakim no 503]. Ibnu Hammaad berkata bahwa An Nasa’iy mendhaifkannya dan Ibnu Hammad berkata bahwa selainnya berkata bahwa ia [Nu’aim] pamalsu hadis dalam berpegang pada Sunnah dan hikayat para ulama tentang Abu Hanifah. [Al Kamil Ibnu Adiy 8/251 no 1959]. Ibnu Adiy dalam Al Kamil menyebutkan berbagai hadis mungkar Nu’aim bin Hammaad kemudian ia mengatakan “sebagian besar apa yang diingkari atasnya adalah apa yang telah aku sebutkan, dan aku harap hadis-hadisnya yang lain lurus” [Al Kamil Ibnu Adiy 8/256 no 1959]
Ibnu Yunus berkata “ia memiliki kefahaman dalam hadis dan meriwayatkan hadis-hadis mungkar dari para perawi tsiqat” Abu Ahmad Al Hakim berkata “melakukan kesalahan dalam sebagian hadisnya”. Maslamah bin Qasim berkata “shaduq banyak melakukan kesalahan dan memiliki hadis-hadis mungkar”. Al Azdiy mengatakan bahwa ia pemalsu hadis dalam berpegang pada Sunnah dan hikayat para ulama tentang Abu Hanifah [Tahdzib At Tahdzib juz 10 no 833]. Ibnu Hajar berkata “adapun Nu’aim sungguh telah tsabit keadilan dan kejujurannya akan tetapi dalam hadisnya terdapat kekeliruan-kekeliruan yang telah dikenal” [Tahdzib At Tahdzib juz 10 no 833]. Ibnu Hajar juga berkata “shaduq banyak melakukan kesalahan, faqih arif dalam ilmu faraidh” [Taqrib At Tahdzib 2/250]. Dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib bahwa Nu’aim adalah perawi yang dhaif [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 7166]
Dengan mengumpulkan semua pendapat para ulama tentang Nu’aim bin Hammaad maka dapat disimpulkan bahwa ia seorang yang tsiqat atau shaduq tetapi lemah dalam dhabitnya [hafalannya] sehingga banyak hadis-hadisnya yang mungkar bahkan karena kemungkarannya ada yang menyatakan bahwa ia memalsukan hadis. Nampaknya disini adalah ia mengambil hadis dari para perawi dhaif kemudian hafalannya tercampur sehingga ia sering meriwayatkan hadis-hadis mungkar dari perawi tsiqat padahal hadis tersebut ia ambil dari perawi dhaif. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Syaikh Al Mu’allimiy ketika menjelaskan jarh Shalih bin Muhammad terhadap Nu’aim.
وقال صالح بن محمد كان نعيم يحدث من حفظه وعنده مناكير كثيرة لا يتابع عليها فلكثرة حديث نعيم عن الثقات وعن الضعفاء واعتماده على حفظه كان ربما اشتبه عليه ما سمعه من بعض الضعفاء بما سمع من بعض الثقات فيظن أنه سمع الأول بسند الثاني فيرويه كذلك
Dan Shalih bin Muhammad berkata “Nu’aim menceritakan hadis dari hafalannya dan di sisinya banyak terdapat riwayat-riwayat mungkar yang tidak ada mutaba’ah atasnya”. Maka Nu’aim banyak menceritakan hadis dari para perawi tsiqat dan dari para perawi dhaif, dan ia berpegang pada hafalannya. Mungkin terjadi kekacauan padanya mengenai apa yang ia dengar dari sebagian perawi dhaif dengan apa yang ia dengar dari sebagian perawi tsiqat, ia mengira bahwa ia mendengar hadis golongan pertama [perawi dhaif] dengan sanad golongan kedua [perawi tsiqat], maka ia meriwayatkannya seperti itu [At Tankiil Al Mu’allimiy 2/733].
Oleh karena itu kedudukan perawi seperti ini walaupun ia seorang yang dinyatakan tsiqat atau shaduq oleh sebagian ulama tetap tidak bisa dijadikan hujjah jika tafarrud maka hadisnya dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar. Adapun kitabnya Al Fitan telah dikatakan oleh Adz Dzahabiy bahwa ia mengandung riwayat-riwayat mungkar. Adz Dzahabiy berkata tentang Nu’aim bin Hammaad:
لا يجوز لأحد أن يحتج به وقد صنف كتاب الفتن فأتى فيه بعجائب ومناكير
Tidak diperbolehkan seorangpun untuk berhujjah dengannya dan sungguh ia telah menulis kitab Al Fitan maka ia mendatangkan di dalamnya riwayat-riwayat yang mengherankan dan riwayat-riwayat mungkar [Siyaar A’lam An Nubalaa’ 10/609]
Dalam meriwayatkan atsar Aliy bin Abi Thalib di atas, Nu’aim bin Hammaad tidak memiliki mutaba’ah sehingga kedudukannya dhaif.
Kelemahan Kedua Waliid bin Muslim dan Risydiin bin Sa’d
Waliid yaitu Syaikh [guru] Nu’aim bin Hammaad dalam atsar di atas adalah Waliid bin Muslim Al Qurasyiy Abul ‘Abbaas Ad Dimasyiqiy. Dan ia meriwayatkan atsar di atas dari Ibnu Lahii’ah dengan lafaz ‘an anah, padahal ia seorang mudallis. Ibnu Hajar memasukkannya dalam mudalis thabaqat keempat:
الوليد بن مسلم الدمشقي معروف موصوف بالتدليس الشديد مع الصدق
Al Waliid bin Muslim Ad Dimasyiqiy ma’ruf disifatkan dengan tadlis yang parah bersamaan dengan kejujurannya [Thabaqat Al Mudallisin Ibnu Hajar hal 51 no 127].
Adz Dzahabiy dalam biografi Waliid bin Muslim menukil dari Abu Mushir tentang sifat tadlis tersebut.
وقال أبو مسهر ربما دلس الوليد بن مسلم عن كذابين
Dan Abu Mushir berkata “Walid bin Muslim terkadang melakukan tadlis dari para pendusta” [Siyaar A’lam An Nubalaa’ 9/216].
Selain itu Waliid bin Muslim disifatkan dengan tadlis taswiyah, yaitu jenis tadlis dimana Walid meriwayatkan dari gurunya kemudian gurunya meriwayatkan dari perawi dhaif dari perawi tsiqat [yang dikenal sebagai syaikh dari gurunya Waliid], kemudian Walid menghilangkan nama perawi dhaif diantara gurunya dan perawi tsiqat tersebut. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Daruquthniy dan dinyatakan oleh Ibnu Hajar:
الوليد بن مسلم يرسل، يروي عن الأوزاعي أحاديث الأوزاعي عن شيوخ ضعفاء عن شيوخ قد أدرکهم الأوزاعي مثل نافع وعطاء والزهري فيسقط أسماء الضعفاء ويجعلها عن الأوزاعي عن عطاء يعني مثل عبد الله بن عامر الأسلمي وإسماعيل بن مسلم
الوليد بن مسلم القرشي مولاهم أبو العباس الدمشقي ثقة لكنه كثير التدليس والتسوية
Al Waliid bin Muslim Al Qurasyiy maula mereka Abul ‘Abbaas Ad Dimasyiqiy seorang yang tsiqat akan tetapi ia banyak melakukan tadlis dan taswiyah [Taqrib At Tahdzib 2/289].
Kedudukan perawi seperti Waliid bin Muslim diterima hadisnya jika ia menjelaskan penyimakan terhadap hadis tersebut dari Syaikh [guru]-nya kemudian Syaikh-nya juga menjelaskan penyimakan hadis itu dari Syaikh-nya pula. Dan syarat tersebut tidak terpenuhi dalam atsar Aliy bin Abi Thalib di atas. Waliid meriwayatkan dengan lafaz ‘an anah dari Ibnu Lahii’ah dan Ibnu Lahii’ah meriwayatkan dengan lafaz ‘an anah dari Abu Qabiil. Maka sanad Waliid dhaif.
Waliid bin Muslim dalam periwayatannya dari ‘Abdullah bin Lahii’ah memiliki mutaba’ah yaitu Risydiin bin Sa’d Abul Hajjaaj Al Mishriy hanya saja Risydiin bin Sa’d berdasarkan pendapat yang rajih ia seorang yang dhaif.
1. Ahmad bin Hanbal dalam satu riwayat mendhaifkannya, kemudian ia juga pernah berkata “aku harap ia shalih al hadiits” dan disaat lain ia berkata “seorang yang shalih dan telah ditsiqatkan oleh Haitsam bin Kharijah” [Mausu’ah Aqwaal Ahmad 1/375-376 no 793].
2. Yahya bin Ma’in pernah berkata tentang Risydiin bin Sa’d “tidak ada apa-apanya”. Di saat lain ia berkata “tidak ditulis hadisnya” dan di saat lain berkata “dhaif” [Mausu’ah Aqwaal Yahya bin Ma’in no 1148]
Daruquthniy berkata “dhaif” [Adh Dhu’afaa Wal Matruukin hal 209 no 220]. Ibnu Numair berkata “tidak ditulis hadisnya”. ‘Amru bin ‘Aliy berkata “dhaif al hadiits”. Abu Hatim mengatakan munkar al hadiits meriwayatkan hadis-hadis mungkar dari perawi tsiqat dan dhaif al hadiits. Abu Zur’ah berkata “dhaif al hadiits” [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 3/513 no 2320].
3. Ibnu Yunus berkata “seorang yang shalih, tidak diragukan keshalihan dan keutamaannya”. Ibnu Sa’ad berkata “dhaif”. Ibnu Qaani’ berkata “dhaif al hadiits”. Al Ajurriy dari Abu Dawud berkata “dhaif al hadiist” [Tahdzib At Tahdzib juz 3 no 526]. Ibnu Hajar berkata “dhaif” [Taqrib At Tahdzib 1/301].
Sanad Risydiin bin Sa’d dan sanad Waliid bin Muslim tidaklah saling menguatkan satu sama lain karena Risydiin bin Sa’d adalah perawi yang dhaif dan sanad Waliid bin Muslim dhaif karena tadlis bahkan dikatakan bahwa Waliid kadang melakukan tadlis dari para pendusta maka bisa saja lafaz ‘an anah Waliid disini berasal dari seorang pendusta. Maka jika benar demikian tidak mungkin riwayat pendusta bisa menguatkan riwayat Risydiin yang dikenal dhaif.
Kelemahan Ketiga ‘Abdullah bin Lahii’ah
Kelemahan lain atsar di atas adalah pada sisi Abdullah bin Lahii’ah. Ia seorang yang shaduq sebelum kitabnya terbakar adapun setelah kitabnya terbakar maka ia mengalami ikhtilath sehingga kedudukannya menjadi dhaif jika tafarrud. Ibnu Hajar berkata tentangnya.
عبد الله بن لهيعة بفتح اللام وكسر بن عقبة الحضرمي أبو عبد الرحمن المصري القاضي صدوق من السابعة خلط بعد احتراق كتبه ورواية بن المبارك وابن وهب عنه أعدل من غيرهما
’Abdullah bin Lahii’ah [fathah pada huruf laam, dan kasrah] bin ‘Uqbah Al Hadhramiy Abu ‘Abdurrahman Al Mishriy Al Qaadhiy seorang yang shaduq termasuk thabaqat ketujuh, mengalami ikhtilath setelah kitabnya terbakar, riwayat Ibnu Wahb dan Ibnu Mubarak darinya lebih adil daripada riwayat selain keduanya [Taqrib At Tahdzib 1/526].
Kemudian dalam Tahrir Taqrib At Tahdzib disebutkan bahwa Abdullah bin Lahii’ah seorang yang dhaif tetapi dapat dijadikan i’tibar hadisnya, dan hadisnya shahih jika yang meriwayatkan darinya Al ‘Abadillah yaitu ‘Abdullah bin Mubarak, Abdullah bin Wahb, Abdullah bin Yazid Al Muqriiy dan ‘Abdullah bin Maslamah Al Qa’nabiy [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 3563].
Atsar di atas adalah riwayat Waliid bin Muslim dan Risydiin bin Sa’d dari ‘Abdullah bin Lahii’ah dan tidak diketahui apakah keduanya termasuk yang mengambil hadis dari Ibnu Lahii’ah sebelum kitabnya terbakar atau setelah kitabnya terbakar. Maka riwayat ‘Abdullah bin Lahii’ah disini dhaif dan ia tidak memiliki mutaba’ah.
Kelemahan Keempat Abu Ruumaan
Kelemahan terakhir atsar Imam Aliy di atas adalah Abu Ruumaan, tidak ditemukan keterangan tentangnya kecuali dari apa yang disebutkan Ibnu Mandah dalam Fath Al Baab Fii Al Kunaa Wal ‘Alqaab.
Abu Ruumaan, menceritakan hadis dari Aliy bin Abi Thalib dalam Al Fitan, dan telah meriwayatkan hadisnya ‘Abdullah bin Lahii’ah dari Abu Qabiil dari Abu Ruumaan [Fath Al Baab Fii Al Kunaa Wal ‘Alqaab hal 328 no 2882]
Tidak ada jarh dan ta’dil terhadapnya dan hanya diketahui seorang perawi yang meriwayatkan darinya yaitu Abu Qabiil maka Abu Ruumaan adalah perawi yang majhul ‘ain.
Kesimpulan
Atsar Imam Aliy bin Abi Thalib di atas kedudukannya dhaif, tidak bisa dijadikan hujjah maka mereka yang telah berhujjah dengan atsar di atas telah jatuh dalam kekeliruan.
===============
Alasan kedua, Yaziid bin ‘Iyaadh adalah perawi yang dhaif jiddan. Imam Malik medustakannya. Ibnu Ma’in berkata “tidak ada apa-apanya”. Abu Hatim berkata “dhaif al-hadits mungkar al-hadits”. Abu Zur’ah berkata “dhaif al-hadits”. Imam Bukhari dan Muslim berkata “mungkar al-hadits”. Nasa’iy terkadang berkata “matruk al-hadits” dan terkadang berkata “dusta”. Al-Ijliy, Ali bin Madini dan Daruquthniy berkata “dhaif”. Al-Falaas berkata “dhaif al-hadits jiddan” [Tahdzib At-Tahdzib 7/176 no 9069].
Dalam kitab Rijal disebutkan bahwa Sa’iid bin ‘Ubaid As-Sabbaaq meriwayatkan dari Abu Hurairah dan tidak ditemukan ulama mutaqaddimin yang menyatakan riwayat Sa’iid dari Abu Hurairah mursal. Dalam kondisi seperti ini, jika Sa’iid terbukti semasa dengan Abu Hurairah maka periwayatan darinya dianggap muttashil (bersambung). Masalahnya adalah dalam kitab Rijal tidak ditemukan tahun lahir dan tahun wafat Sa’iid bin ‘Ubaid sehingga tidak bisa ditetapkan apakah memang betul ia semasa dengan Abu Hurairah.
Sa’iid bin ‘Ubaid bin As-Sabbaaq disebutkan Ibnu Hajar dalam Taqrib At-Tahdzib no 2373:
سعيد بن عبيد بن السُبّاق الثقفي أبو السباق المدني ثقة من الرابعة
Sa’iid bin ‘Ubaid bin As-Sabbaaq Ats-Tsaqafiy Abu As-Sabbaq Al-Madaniy, tsiqat termasuk thabaqat keempat.
Thabaqat keempat disebutkan Ibnu Hajar untuk para perawi yang kebanyakan riwayat mereka adalah dari tabiin kibar, dan contoh perawi yang termasuk thabaqat ini adalah Az-Zuhri dan Qatadah.
Az-Zuhri disebutkan wafat tahun 125 H dan dikatakan juga ia wafat setahun atau dua tahun sebelum itu [Taqrib-At Tahdzib no 6336]. Dan Abu Hurairah disebutkan wafat tahun 57 H atau 58 H atau 59 H [Taqrib At-Tahdzib no 8493]. Jadi antara wafat Az-Zuhri dan Abu Hurairah terpisah lebih dari 60 tahun. Imam Tirmidzi menegaskan bahwa Az-Zuhri tidak mendengar dari Abu Hurairah:
والزهري لم يسمع من أبي هريرة
Az-Zuhri tidak mendengar dari Abu Hurairah [Sunan Tirmidzi 1/242 no 201]
Fakta ini bisa dijadikan petunjuk bahwa Sa’iid bin ‘Ubaid sebagai perawi thabaqat keempat kuat dugaan riwayatnya mursal dari Abu Hurairah karena Sa’iid hidup semasa dengan Az-Zuhri dan Az-Zuhri riwayatnya mursal dari Abu Hurairah.
Al-Hafizh As-Sakhawiy dalam kitab At-Tuhfatul Latifah Fii Tarikh Al-Madinah 2/153 no 1531 menyatakan bahwa riwayat Sa’iid dari Abu Hurairah mursal.
سعيد بن عبيد بن السباق الثقفي المدني من أهلها يروي عن أبيه ومحمد بن أسامة بن زيد وأرسل عن أبي هريرة
Sa’iid bin ‘Ubaid bin As-Sabbaaq Ats-Tsaqafiy Al-Madani termasuk penduduk Madinah, meriwayatkan dari Ayahnya dan Muhammad bin Usamah bin Zaid dan meriwayatkan secara mursal dari Abu Hurairah
Jalan Sa’iid Al-Maqburiy
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ قُدَامَةَ الْجُمَحِيُّ عَنْ إِسْحَاق بْنِ أَبِي الْفُرَاتِ عَنْ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ ؟ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haarun yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Maalik bin Qudaamah Al-Jumahiy dari Ishaaq bin Abi Furaat dari Al-Maqburiy dari Abu Hurairah yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “akan datang pada manusia tahun-tahun penuh tipu daya, dimana para pendusta dibenarkan, orang-orang jujur didustakan, orang-orang yang berkhianat dipercaya, orang-orang yang dapat dipercaya dikhianati, , dan berbicaralah pada saat itu Ar-Ruwaibidhah. Dikatakan “apa itu Ar-Ruwaibidhah?”. Beliau bersabda “orang bodoh yang berbicara urusan orang banyak” [Sunan Ibnu Majah 5/162 no 4036]
Abu Bakr bin Abi Syaibah dalam periwayatannya dari Yazid bin Harun memiliki mutaba’ah dari Abu Ubaid Qaasim bin Salaam dalam Ghariib Al-Hadiits 2/623-624 no 311.
Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya no 7912 (versi tahqiq Syaikh Syu’aib Al-Arnauth) meriwayatkan dari Yaziid bin Haruun dengan sanad berikut:
حَدَّثَنَا يَزِيدُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ قُدَامَةَ حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ بَكْرِ بْنِ أَبِي الْفُرَاتِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada kami Yaziid yang berkata telah mengabarkan kepada kami ‘Abdul Malik bin Qudaamah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Bakr bin Abi Furaat dari Sa’iid bin Abi Sa’iid dari Ayahnya dari Abu Hurairah yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda…
Ahmad bin Hanbal memiliki mutaba’ah dari Sa’iid bin Mas’ud Al-Marwaziy dengan jalan sanad Yaziid dari ‘Abdul Malik dari Ishaaq dari Sa’iid Al-Maqburiy dari Ayahnya dari Abu Hurairah secara marfu’, sebagaimana disebutkan Al-Hakim dalam Mustadrak Ash-Shahihain 4/466 no 8439.
Abu Bakr Asy-Syafi’i dalam Al-Ghailaaniyaat no 331 menyebutkan jalan sanad Yazid bin Harun sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ سَهْلِ بْنِ كَثِيرٍ أنبا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أنبا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ قُدَامَةَ عَنِ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada kami Muusa bin Sahl bin Katsiir yang berkata telah memberitakan kepada kami Yaziid bin Haruun yang berkata telah memberitakan kepada kami ‘Abdul Maalik bin Qudaamah dari Al-Maqburiy dari Ayahnya dari Abu Hurairah dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Nampak disini seolah-olah terjadi idhthirab dalam periwayatan Yaziid bin Haruun. Kalau diringkas sanad-sanad di atas adalah sebagai berikut:
1. Ibnu Abi Syaibah dan Abu Ubaid meriwayatkan dari Yaziid bin Haruun dengan jalan sanad “Abdul Malik bin Qudaamah dari Ishaaq dari Al-Maqburiy dari Abu Hurairah”
2. Ahmad bin Hanbal dan Sa’iid bin Mas’ud meriwayatkan dari Yaziid bin Haruun dengan jalan sanad “Abdul Malik bin Qudaamah dari Ishaaq dari Al-Maqburiy dari Ayahnya dari Abu Hurairah”
3. Muusa bin Sahl bin Katsiir meriwayatkan dari Yaziid bin Haruun dengan jalan sanad “Abdul Malik bin Qudaamah dari Al-Maqburiy dari Ayahnya dari Abu Hurairah”
Muusa bin Sahl bin Katsir adalah perawi yang dhaif. Ia dinyatakan dhaif oleh Daruquthniy dan Al-Barqaniy berkata “dhaif jiddan” [Tarikh Baghdad 15/45-46 no 6966]. Maka jalan sanad ketiga tertolak.
Jalan sanad pertama dikuatkan oleh riwayat Al-Kharaithiy dalam Makaarim Al-Akhlaaq no 185:
حدثنا علي بن زيد الفرائضي ثنا أبو يعقوب الحنيني ثنا عبد الملك بن قدامة الجمحي عن إسحاق بن أبي الفرات عن سعيد بن أبي سعيد المقبري عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
Telah menceritakan kepada kami Aliy bin Zaid Al-Fara’idhiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Ya’qub Al-Hunainiy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Maalik bin Qudaamah Al-Jumahiy dari Ishaaq bin Abi Furaat dari Sa’iid bin Abi Sa’iid Al-Maqburiy dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda.
Hanya saja riwayat ini dhaif karena ‘Aliy bin Zaid Al-Faraidhiy disebutkan Ibnu Yuunus bahwa mereka (para ulama) membicarakannya [Tarikh Baghdad 13/379 no 6268]. Abu Ya’qub Al-Hunainiy adalah Ishaaq bin Ibrahim seorang yang dhaif [Taqrib At-Tahdzib no 339].
Jalan sanad kedua dikuatkan oleh riwayat Al-Hakim dalam Mustadrak Ash-Shahihain 4/512 no 8564:
حدثنا أبو بكر إسماعيل بن محمد بن إسماعيل الفقيه بالري ثنا أبو بكر بن الفرج الأزرق ثنا حجاج بن محمد ثنا عبد الملك بن قدامة الجمحي عن إسحاق بن أبي بكر عن سعيد بن أبي سعيد عن أبيه عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Ismaiil bin Muhammad bin Ismaiil Al-Faqih di Ray yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Al-Faraj Al-Azraq yang berkata telah menceritakan kepada kami Hajjaaj bin Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Maalik bin Qudaamah Al-Jumahiy dari Ishaaq bin Abi Bakr dari Sa’iid bin Abi Sa’iid dari Ayahnya dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Riwayat ini sanadnya jayyid sampai Hajjaaj bin Muhammad. Abu Bakr Ismaiil bin Muhammad Al-Faqih adalah seorang yang tsiqat [Rijal Al-Hakim Fii Al-Mustadrak no 462] dan Abu Bakr Muhammad bin Faraj Al-Azraq adalah seorang yang shaduq hasanul hadis [Tahrir Taqrib At-Tahdzib no 6220]. Hajjaj bin Muhammad adalah seorang imam hafizh hujjah [Siyar A’lam An Nubalaa’ 9/447 no 169] dan dia menjadi mutaba’ah bagi riwayat Yaziid bin Haruun dengan jalan sanad ‘Abdul Malik dari Ishaaq dari Al-Maqburiy dari Ayahnya dari Abu Hurairah secara marfu’.
Maka dapat disimpulkan bahwa jalan sanad yang rajih adalah jalan sanad ‘Abdul Malik bin Qudaamah dari Ishaaq bin Abi Furaat dari Sa’iid Al-Maqburiy dari Ayahnya dari Abu Hurairah secara marfu’.
Kedudukan riwayat ini sanadnya dhaif karena kelemahan ‘Abdul Maalik bin Qudaamah dan Ishaaq bin Abi Furaat seorang yang majhul ‘ain:
1. ‘Abdul Maalik bin Qudaamah Al-Jumahiy dinyatakan tsiqat oleh Yahya bin Ma’in dan Al-Ijliy. Al-Bukhariy berkata “dikenal dan diingkari”. Abu Hatim berkata “dhaif al-hadiits, tidak kuat dan ia meriwayatkan hadis-hadis mungkar dari perawi tsiqat”. Daruquthniy berkata “ditinggalkan”. Nasa’iy berkata “tidak kuat”. Al-Uqailiy mengatakan “di sisinya ia meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Diinar riwayat-riwayat mungkar”. Ibnu Hibban mengatakan ia shaduq hanya saja ia melakukan banyak kesalahan maka tidak boleh berhujjah dengannya. [Tahdzib At-Tahdzib 4/258-259 no 4921]. Abu Zur’ah Ar-Raziy berkata “mungkar al-hadiits” [Adh Dhu’afa Abu Zur’ah hal 356]. Ibnu Hajar menyimpulkan “dhaif” [Taqrib At-Tahdziib no 4232].
2. Ishaaq bin Abi Furaat seorang yang majhul, perawi yang meriwayatkan darinya hanya ‘Abdul Maalik bin Qudaamah. Ibnu Hajar berkata “majhul” [Taqrib At-Tahdziib no 382].
Apakah kedua jalur di atas yaitu Jalur Sa’iid bin Ubaid dan Jalur Sa’iid Al-Maqburiy dapat saling menguatkan?. Jawabannya tidak karena kedua riwayat tersebut tidak hanya mengandung kelemahan perawinya dari segi dhabit tetapi juga mengandung kelemahan lain yang memperberat kedhaifannya.
1. Jalur Sa’iid bin Ubaid selain Fulaih bin Sulaiman yang dhaif dari segi dhabitnya juga mengandung kelemahan lain yaitu riwayat tersebut terputus sanadnya karena riwayat Sa’iid dari Abu Hurairah mursal.
2. Jalur Sa’iid Al-Maqburiy selain ‘Abdul Maliik bin Qudaamah dhaif dari segi dhabitnya juga mengandung kelemahan lain yaitu Ishaaq bin Abu Furaat perawi yang majhul ‘ain. Dan telah dikenal bahwa perawi majhul ‘ain hadisnya tidak bisa dijadikan i’tibar.
Hadis Anas bin Malik
Hadis Anas bin Malik tentang Ruwaibidhah diriwayatkan melalui dua jalan yang semuanya dhaif dan tidak bisa saling menguatkan yaitu jalur Ibnu Lahii’ah dan Jalur Ibnu Ishaaq.
حدثنا بكر قال نا عبد الله بن يوسف قال نا أبن لهيعة قال نا عبد الله بن عبد الرحمن بن معمر عن عبد الله بن ابي طلحة عن أنس بن مالك عن النبي صلى الله عليه وسلم قال بين يدي الساعة سنون خداعة يتهم فيها الأمين ويؤتمن المتهم وينطق فيها الرويبضة قالوا وما الرويبضة قال السفية ينطق في أمر العامة
Telah menceritakan kepada kami Bakr yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahii’ah yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Ma’mar dari ‘Abdullah bin Abi Thalhah dari Anas bin Malik dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang berkata sebelum hari kiamat ada tahun-tahun penuh tipu daya dimana orang-orang terpercaya dituduh, orang-orang tertuduh dipercaya, maka berbicaralah pada saat itu Ar-Ruwaibidhah. Mereka berkata “apa itu Ar-Ruwaibidhah?”. Beliau berkata “orang bodoh yang berbicara tentang urusan orang banyak” [Mu’jam Al-Awsath Ath-Thabraniy no 3258].
Sanad riwayat ini dhaif karena Bakr bin Sahl Ad-Dimyaathiy telah didhaifkan oleh An-Nasa’iy [Lisan Al-Mizan 2/344 no 1582] dan Abdullah bin Lahii’ah perawi yang dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar dimana hadisnya shahih jika meriwayatkan darinya para perawi yang mendengar darinya sebelum kitabnya terbakar yaitu Abdullah bin Mubarak, Abdullah bin Wahb, Abdullah bin Yazid Al-Muqriy, Abdullah bin Maslamah Al-Qa’nabiy [Tahrir Taqrib At-Tahdziib no 3563].
حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ الْمَدَائِنِيُّ وَهُوَ مُحَمَّدُ بنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا عَبَّادُ بنُ الْعَوَّامِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بنُ إِسْحَاقَ عَنْ مُحَمَّدِ بنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَال قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَمَامَ الدَّجَّالِ سِنِينَ خَدَّاعَةً يُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيَتَكَلَّمُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ؟ قَالَ الْفُوَيْسِقُ يَتَكَلَّمُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ
Hadis dengan matan yang serupa juga diriwayatkan Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya no 13299 (tahqiq Syaikh Syu’aib Al-Arnauth), Abu Ya’la dalam Musnad-nya 6/378 no 3715, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykil Al-Atsar 1/405 no 466, Musnad Al-Bazzar 7/174 no 2740 dengan jalan sanad dari ‘Abdullah bin Idriis dari Muhammad bin Ishaaq dari ‘Abdullah bin Diinar dari Anas bin Malik secara marfu’.
‘Abdullah bin Idriis memiliki mutaba’ah dari Yunus bin Bukair sebagaimana disebutkan Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykil Al-Atsar 1/405 no 465, Ar-Ruuyaniy dalam Musnad-nya 1/389 no 593, Ibnu Adiy dalam Al-Kamil 7/257 dan Al-Bazzar dalam Musnad-nya 7/174 no 2740 yaitu dengan jalan sanad dari Muhammad bin Ishaaq dari ‘Abdullah bin Diinar dari Anas bin Malik secara marfu’.
Jadi ada tiga perawi yang meriwayatkan dari Muhammad bin Ishaq yaitu ‘Abbad bin ‘Awwaam, ‘Abdullah bin Idriis dan Yunus bin Bukair.
1. ‘Abbad bin ‘Awwam meriwayatkan dari Ibnu Ishaaq dari Muhammad bin Munkadir dari Anas bin Malik
2. Abdullah bin Idriis dan Yunus bin Bukair meriwayatkan dari Ibnu Ishaaq dari Abdullah bin Diinar dari Anas bin Malik.
‘Abbad bin ‘Awwaam seorang yang tsiqat [Taqriib At-Tahdziib no 3155] dan disini ia menyelisihi ‘Abdullah bin Idriis seorang yang tsiqat faqiih ahli ibadah [Taqriib At-Tahdziib no 3224] dan Yunus bin Bukair seorang yang shaduq sering keliru [Taqriib At-Tahdziib no 7957].
Perawi yang meriwayatkan dari ‘Abbad bin ‘Awwaam adalah Muhammad bin Ja’far Abu Ja’far Al-Madainiy dia perawi yang diperselisihkan. Ahmad bin Hanbal dan Abu Dawud berkata “tidak ada masalah padanya”. Abu Hatim berkata “ditulis hadisnya tetapi tidak bisa dijadikan hujjah”. Ibnu Hibbaan memasukkan dalam Ats-Tsiqat. Ibnu Qaani’ berkata ‘dhaif”. Ibnu Abdil Barr berkata “tidak kuat di sisi mereka (para ulama)”. Al-Uqailiy memasukkannya dalam Adh-Dhu’afa [Tahdziib At-Tahdziib 5/520-521 no 6833]. Dapat disimpulkan bahwa Muhammad bin Ja’far seorang yang shaduq hanya saja terdapat kelemahan padanya sehingga jika ada penyelisihan atas riwayatnya maka riwayatnya tidak bisa dijadikan hujjah.
Nampaknya disini riwayat yang menyebutkan jalan Ibnu Ishaaq dari Muhammad bin Munkadir dari Anas bin Malik itu tidak tsabit, kemungkinan Abu Ja’far Al-Mada’iniy keliru dalam menyebutkan “Muhammad bin Munkadiir” dan yang benar adalah Abdullah bin Diinar. Jadi riwayat yang tsabit dari Ibnu Ishaaq adalah Ibnu Ishaaq dari Abdullah bin Diinar dari Anas bin Malik.
Sebagian ulama muta’akhirin menguatkan hadis Ruwaibidhah riwayat Anas bin Malik, diantaranya Ibnu Hajar yang berkata dalam Fath Al-Bariy 13/91 setelah menyebutkan hadis Anas:
أخرجه أحمد وأبو يعلى والبزار وسنده جيد
Dikeluarkan Ahmad, Abu Ya’la dan Al-Bazzaar dan sanadnya jayyid
Pernyataan ini benar jika hanya melihat zhahir sanadnya dimana riwayat Ibnu Ishaaq tersebut diriwayatkan oleh para perawi tsiqat dan dalam riwayat Yunus bin Bukair, Ibnu Ishaaq menyebutkan lafaz penyimakan hadis maka selamat dari cacat tadlis.
Hanya saja riwayat Anas bin Malik melalui jalur Ibnu Ishaaq ini memiliki illat (cacat) yang tersembunyi. Ulama mutaqaddimin yaitu Yahya bin Ma’in dan Abu Hatim mengisyaratkan Muhammad bin Ishaaq keliru dalam hadis Ruwaibidhah ini:
حدثنا عبد الله بن أبي سفيان وابن أبي بكر قالا ثنا عباس سمعت يحيى بن معين يقول لم نسمع من عبد الله بن دينار عن أنس إلا الحديث الذي يحدث به محمد بن إسحاق يعني حديث الرويبضة
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Abi Sufyaan dan Ibnu Abi Bakr yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abbaas yang berkata aku mendengar Yahya bin Ma’iin mengatakan “kami tidak mendengar (hadis) Abdullah bin Diinar dari Anas kecuali dari hadis yang diriwayatkan Muhammad bin Ishaaq yakni hadis Ar-Ruwaibidhah [Al-Kamil Ibnu Adiy 7/257].
Syaikh Thaariq bin ‘Awdhullah dalam salah satu kitabnya yaitu Al-Irsyaadaat Fii Taqwiyyah hal 281 menjelaskan maksud perkataan Yahya bin Main tersebut:
فابن معين عليه رحمة الله لا يريد من قوله هذا إعلال الحديث بالانقطاع بين عبد الله بن دينار وأنس؛ وإنما مراده الاستدلال بغرابة هذا الإسناد على خطأ ابن إسحاق المتفرد به
سألت أبي عن الحديث الذي رواه ابن اسحاق عن عبدالله بن دينار عن أنس عن النبي في الرويبضة قال أبي لا أعلم احدا روى عن عبدالله بن دينار هذا الحديث غير محمد بن اسحاق ووجدت في رواية بعض البصريين عن عبدالله عن المثنى الانصاري عن عبدالله بن دينار عن أبي الازهر عن انس عن النبي بنحوه قال أبي ولا ادري من أبو الازهر هذا قلت من الذي رواه عن عبدالله بن المثنى فقال حجاج الفسطاطي قال أبي لو كان حديث ابن اسحاق صحيحا لكان قد رواه الثقات عنه
Aku bertanya kepada Ayahku tentang hadis yang diriwayatkan Ibnu Ishaaq dari ‘Abdullah bin Diinar dari Anas dari Nabi tentang Ar-Ruwaibidhah. Ayahku berkata “aku tidak mengetahui seorangpun yang meriwayatkan dari Abdullah bin Diinar hadis ini selain Muhammad bin Ishaaq dan aku menemukan dalam riwayat sebagian orang Bashrah dari ‘Abdullah bin Al-Mutsanna Al-Anshariy dari ‘Abdullah bin Diinar dari Abil Azhar dari Anas dari Nabi seperti itu. Ayahku berkata aku tidak mengetahui siapa Abul Azhar ini. Aku [Ibnu Abi Hatim] berkata “siapa yang meriwayatkan dari Abdullah bin Al-Mutsanna?”. Beliau berkata “Hajjaaj Al-Fusthaathiy”. Ayahku berkata “seandainya hadis Ibnu Ishaaq shahih, para perawi tsiqat akan meriwayatkan hadis itu darinya [Abdullah bin Diinar]”. [Al-Ilal Ibnu Abi Hatim 6/596-597 no 2792].
Abu Hatim melemahkan hadis Ruwaibidhah yang diriwayatkan Ibnu Ishaaq karena tafarrud Ibnu Ishaaq dan di sisi Abu Hatim nampak kuat dugaan bahwa Ibnu Ishaaq keliru dalam hadis tersebut. Salah satu qara’in yang dipakai Abu Hatim adalah adanya riwayat lain dari Abdullah bin Diinar yang menyelisihi riwayat Ibnu Ishaaq tersebut. Hanya saja kami tidak menemukan riwayat ini dengan sanad lengkap dalam kitab-kitab hadis.
Terdapat riwayat lain yang membuktikan kekeliruan Ibnu Ishaaq dalam riwayatnya ini yaitu dalam kitab Al-Mushannaf ‘Abdurrazzaaq:
أخبرنا عبد الرزاق عن معمر عن سعيد بن عبد الرحمن الجحشي عن عبد الله بن دينار قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم بين يدي الساعة سنون خوادع يخون فيها الأمين ويؤتمن فيها الخائن وتنطق الرويبضة في أمر العامة قال قيل وما الرويبضة يا رسول الله ؟ قال سفلة الناس
Telah mengabarkan kepada kami ‘Abdurrazaq dari Ma’mar dari Sa’iid bin ‘Abdurrahman Al Jahsyiy dari ‘Abdullah bin Diinar yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “sebelum hari kiamat akan ada tahun-tahun penuh tipu daya, dimana orang-orang terpercaya dikhianati dan orang-orang berkhianat dipercaya, di saat itu berbicaralah Ar-Ruwaibidhah tentang urusan orang banyak. Dikatakan “apa itu Ar-Ruwaibidhah wahai Rasulullah?”. Beliau berkata “orang yang paling rendah” [Al-Mushannaf ‘Abdurrazzaaq 11/382 no 20803].
Riwayat ini sanadnya jayyid sampai ‘Abdullah bin Diinar walaupun kedudukannya mursal. Ma’mar bin Raasyid Al-Azdiy tsiqat tsabit fadhl kecuali dalam riwayatnya dari Tsaabit, A’masy, ‘Ashim bin Abi Najud, Hisyam bin ‘Urwah dan hadisnya di Bashrah [Taqrib At-Tahdziib no 6857]. Sa’iid bin ‘Abdurrahman Al-Jahsyiy penduduk Hijaz, shaduq [Taqriib At-Tahdziib 2360]. Disini nampak Sa’iid bin ‘Abdurrahman Al-Jahsyiy menyelisihi Muhammad bin Ishaaq dalam riwayatnya dari ‘Abdullah bin Diinar dimana Sa’iid meriwayatkan secara mursal dan Ibnu Ishaaq meriwayatkan secara maushul. Ini merupakan salah satu petunjuk bahwa Muhammad bin Ishaaq keliru dalam hadis Ruwaibidhah.
Secara ringkas hadis Ruwaibidhah dari Jalur Anas bin Malik mengandung kelemahan berikut:
1. Jalur Ibnu Lahii’ah dhaif karena Bakr bin Sahl guru Ath-Thabraniy dhaif dan Ibnu Lahii’ah sendiri dhaif dari sisi dhabitnya.
2. Jalur Muhammad bin Ishaaq dhaif karena Muhammad bin Ishaaq keliru periwayatannya dalam hadis ini.
Kedua jalur ini tidak bisa saling menguatkan karena jalan pertama kedhaifannya ada pada dua perawinya dan jalan kedua dhaif keliru dan hadis yang terbukti keliru tidak bisa dijadikan penguat.
Hadis Auf bin Malik
حدثنا الحسين بن إسحاق التستري ثنا هشام بن عمار ثنا مسلمة بن علي ثنا إبراهيم بن أبي عبلة عن أبيه عن عوف بن مالك عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إن بين يدي الساعة سنين خوادع يتهم فيها الأمين ويؤتمن فيها الخائن ويكذب فيها الصادق ويصدق فيها الكاذب ويتكلم في أمر الناس الرويبضة قيل يا رسول الله وما الرويبضة قال السفيه ينطق في أمر العامة حدثنا أحمد بن عبد الوهاب بن نجدة الحوطي ثنا أبي ثنا إسماعيل بن عياش عن إبراهيم بن أبي عبلة عن عوف بن مالك عن النبي صلى الله عليه وسلم مثله
Telah menceritakan kepada kami Husain bin Ishaaq At-Tusturiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin ‘Ammaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Maslamah bin ‘Aliy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Abi ‘Ablah dari Ayahnya dari Auf bin Malik dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang bersabda “Sesungguhnya sebelum hari kiamat akan ada tahun-tahun yang penuh tipu daya, ketika itu orang-orang yang dapat dipercaya dituduh, orang-orang yang berkhianat dipercaya, orang-orang yang jujur didustakan dan para pendusta dibenarkan, berbicaralah tentang urusan orang-orang pada saat itu Ar-Ruwaibidhah. Dikatakan “wahai Rasulullah apa itu Ar-Ruwaibidihah?”. Beliau berkata “orang bodoh yang berbicara tentang urusan orang banyak”. Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Abdul Wahhab bin Najdah Al-Hauthiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Isma’iil bin ‘Ayyaasy dari Ibrahim bin Abi ‘Ablah dari Auf bin Malik dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] seperti itu. [Mu’jam Al-Kabir Ath-Thabraniy 18/67 no 123 & 124].
Riwayat Maslamah bin Aliy di atas juga diriwayatkan dalam Musnad Asy-Syamiyyin Ath-Thabrani no 47, Mu’jam As-Safar Abu Thahir As-Silafiy hal 177 no 562 dan Tarikh Ibnu Asakir 58/47 yaitu dengan jalan sanad dari Ibrahim bin Abi ‘Ablah dari Ayahnya dari Auf bin Malik secara marfu’.
Maslamah bin Aliy perawi yang sangat dhaif. Yahya bin Ma’in dan Duhaim berkata “tidak ada apa-apanya”. Bukhariy dan Abu Zur’ah berkata “mungkar al-hadits”. Ibnu Hibban berkata “dhaif“al-hadiits mungkar al hadiits”. Nasa’i, Daraquthniy, dan Al-Barqaniy berkata “matruk al-hadiits. Al-Hafizh Abu Aliy An-Naisaburiy dan Ya’qub bin Sufyan berkata “dhaif”. As-Sajiy berkata “dhaif jiddan”. Al-Hakim berkata “meriwayatkan dari Al-Auzaiy dan Az-Zubaidiy riwayat-riwayat mungkar dan palsu” [Tahdziib At-Tahdziib 6/273-274 no 7874].
Maslamah bin Aliy dalam periwayatannya ini memiliki mutaba’ah dari Muhammad bin Ishaaq dengan jalan sanad dari Ibrahim bin Abi ‘Ablah dari Ayahnya dari ‘Auf bin Maalik secara marfu’.
Hal ini disebutkan dalam Musnad Al-Bazzar 7/174 no 2740, Syarh Musykil Al-Atsar Ath-Thahawiy 1/404 no 464, Musnad Ar-Ruuyaniy 1/387 no 588, Mu’jam Al-Kabir Ath-Thabraniy 18/67-68 no 125, Musnad Asy-Syamiyyin Ath-Thabraniy 1/51 no 48 semuanya berujung pada sanad Abu Kuraib Muhammad bin Al-A’laa’ dari Ibnu Ishaaq dimana Ibnu Ishaaq meriwayatkan dengan lafaz ‘an anah (tanpa menyebutkan lafaz penyimakan). Abu Kuraib Muhammad bin Al-A’laa’ seorang yang tsiqat hafizh [Taqrib At-Tahdziib no 6244].
Abu Kuraib memiliki mutaba’ah dari Humaid bin Ar-Raabi’ yang meriwayatkan dari Ibnu Ishaaq dimana Ibnu Ishaaq menyebutkan lafaz penyimakan dari Ibrahim bin Abi ‘Ablah. Riwayat Humaid bin Ar-Rabi’ ini disebutkan Al-Khatib dalam kitabnya Al-Ihtijaaj bi Asy-Syafi’iy hal 34, berikut sanad lengkapnya:
قال أنبأنا القاضي أبو عمر القاسم بن جعفر بن عبد الواحد الهاشمي ثنا أبو العباس محمد ابن أحمد الأثرم ثنا حميد بن الربيع ثنا يونس بن بكير أخبرني محمد بن إسحاق حدثني إبراهيم بن أبي عبلة عن أبيه عن عوف بن مالك رحمه الله تعالى قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم
[Al-Khatib] berkata telah memberitakan kepada kami Qadhiy Abu ‘Umar Al-Qaasim bin Ja’far bin ‘Abdul Waahid Al-Haasyimiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abbaas Muhammad bin Ahmad Al-Atsram yang berkata telah menceritakan kepada kami Humaid bin Ar-Rabii’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Yunus bin Bukair yang berkata telah mengabarkan kepadaku Muhammad bin Ishaaq yang berkata telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Abi ‘Ablah dari Ayahnya dari ‘Auf bin Malik [rahimahullahu ta’ala] yang berkata aku mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Hanya saja riwayat Humaid bin Ar-Raabi’ ini tidak tsabit sanadnya sampai Ibnu Ishaaq karena Humaid bin Ar-Raabi’ diperselisihkan keadaannya dan berdasarkan pendapat yang rajih kedudukannya dhaif.
Daruquthniy berbicara yang baik tentangnya. Ahmad bin Hanbal, Abu Hatim dan Abu Zur’ah tidak mengatakan tentang Humaid bin Ar-Raabi’ kecuali yang baik. Al-Barqaniy mengatakan “tidak bisa dijadikan hujjah karena kebanyakan guru-guru kami mengatakan ia dzahibul hadits”. Yahya bin Ma’in mengatakan ia pendusta. [Tarikh Baghdad 9/28 no 4222]. Al-Hadhramiy mengatakan ia pendusta. Ibnu Adiy mengatakan bahwa ia mencuri hadis, merafa’kan hadis-hadis mauquf, meriwayatkan hadis-hadis dari para imam yang tidak mahfuzh dari mereka. Kemudian Ibnu Adiy menyebutkan hadis-hadis mungkarnya dan menyimpulkan bahwa Humaid bin Ar-Raabii’ dhaif jiddan dalam semua riwayatnya [Al-Kamil Ibnu Adiy 3/89-92 no 444]. An-Nasa’iy berkata “tidak ada apa-apanya” [Adh-Dhu’afa Wal Matrukin no 144]. Ibnu Abi Hatim mengatakan tentang Humaid bin Ar-Raabii’ “aku mendengar darinya di Baghdad, orang-orang membicarakannya maka aku meninggalkan meriwayatkan hadis darinya” [Al-Jarh Wat Ta’dil 3/222 no 974].
Ada beberapa petunjuk yang menguatkan bahwa pendapat yang rajih atas Humaid bin Ar-Raabi’ adalah dhaif.
1. Diantara ulama yang menta’dil Humaid bin Ar-Rabii’ ternyata murid mereka malah tidak berpegang pada penta’dilan guru mereka. Misalnya Al-Barqaniy yang meriwayatkan ta’dil Daruquthniy tidak berpegang pada ta’dil Daruquthniy kemudian Ibnu Abi Hatim yang meriwayatkan ta’dil Ahmad bin Hanbal, Abu Hatim dan Abu Zur’ah, ia sendiri setelah itu memutuskan untuk meninggalkan hadisnya.
2. Jarh yang tertuju pada Humaid bin Ar-Rabii’ bersifat mufassar (dijelaskan sebabnya) yaitu ia mencuri hadis, merafa’kan riwayat mauquf, meriwayatkan banyak hadis yang tidak mahfuzh bahkan ada yang menuduhnya dengan dusta.
Maka dengan petunjuk di atas dapat disimpulkan bahwa pendapat yang rajih Humaid Ar-Rabii’ kedudukannya dhaif sehingga riwayat Ibnu Ishaaq dengan lafaz penyimakan dari Ibrahim bin Abi ‘Ablah itu tidak tsabit dan yang tsabit dari Ibnu Ishaaq adalah riwayatnya dengan lafaz ‘an anah.
Maslamah bin Aliy dan Muhammad bin Ishaaq dalam riwayatnya dari Ibrahim bin Abi ‘Ablah diselisihi oleh Isma’iil bin ‘Ayyasy sebagaimana disebutkan dalam Mu’jam Al-Kabir Ath-Thabraniy 18/67 no 124 di atas yang meriwayatkan dari Ibrahim bin Abi ‘Ablah dari Auf bin Malik secara marfu’ (tidak menyebutkan “dari ayahnya” sebagaimana riwayat Ibnu Ishaaq). Jadi secara ringkas ada dua jalan yaitu:
1. Jalan Muhammad bin Ishaaq dari Ibrahim bin Abi ‘Ablah dari Ayahnya dari Auf bin Malik
2. Jalan Isma’iil bin ‘Ayasy dari Ibrahim bin Abi ‘Ablah dari Auf bin Malik
Kedua jalan ini memiliki kelemahan yang sama yaitu riwayat keduanya disini adalah dengan ‘an anah (tanpa menyebutkan lafaz penyimakan hadis) padahal keduanya adalah mudallis. Muhammad bin Ishaaq seorang mudallis tingkatan keempat [Thabaqat Al-Mudallisin Ibnu Hajar hal 51 no 125]. Isma’iil bin ‘Ayasy ini seorang mudallis tingkatan ketiga [Thabaqat Al-Mudallisin Ibnu Hajar hal 37 no 68].
Ibrahim bin Abi ‘Ablah tidak dikenal meriwayatkan dari Auf bin Malik dan jarak wafat keduanya cukup jauh sehingga kuat dugaan bahwa Ibrahim bin Abi ‘Ablah tidak mendengar hadis langsung dari Auf bin Malik. Disebutkan bahwa Ibrahim bin Abi Ablah wafat tahun 152 H [Taqrib At-Tahdzib no 215] sedangkan Auf bin Malik wafat tahun 73 H [Taqrib At-Tahdzib no 5252]. Jadi antara wafat keduanya ada rentang waktu 79 tahun maka sangat mungkin riwayat Ibrahim bin Abi ‘Ablah dari Auf bin Malik mursal dan ada perantara antara keduanya. Oleh karena itu dengan menjamak kedua riwayat tersebut maka perawi yang menjadi perantara antara Ibrahim bin Abi ‘Ablah dan Auf bin Malik adalah Ayahnya.
Ayah dari Ibrahim bin Abi ‘Ablah adalah Abu ‘Ablah Syimr bin Yaqzhaan, ia tidak dikenal kredibilitasnya. Ibnu Abi Hatim dalam Al-Jarh Wat Ta’dil 4/ 376 no 1639 menyebutkan biografinya bahwa Abu ‘Ablah meriwayatkan dari Ubadah bin Shamit dan meriwayatkan darinya Ibrahim bin Abi ‘Ablah. Ibnu Abi Hatim tidak menyebutkan jarh dan ta’dil atasnya. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqat 4/367 menyebutkan bahwa ia meriwayatkan dari Auf bin Malik dan meriwayatkan darinya Ibrahim bin Abi ‘Ablah. Tidak ada petunjuk yang menguatkan tautsiq Ibnu Hibban dan Ibnu Hibban dikenal tasahul dalam kitabnya itu pada sisi ia memasukkan perawi majhul dalam kitabnya Ats-Tsiqat. Apalagi disebutkan dalam kitab Rijal bahwa yang meriwayatkan dari Abu ‘Ablah hanya satu orang perawi yaitu Ibrahim bin Abi ‘Ablah maka kuat indikasinya bahwa ia seorang yang majhul.
Kesimpulannya hadis Ruwaibidhah riwayat Auf bin Malik kedudukannya dhaif karena di dalam sanadnya ada perawi mudallis (riwayatnya dengan ‘an anah) dan perawi majhul.
Catatan Atas Ulama Yang Menguatkan Hadis Ruwaibidhah
Sebelumnya sudah disinggung bahwa sebagian ulama hadis telah menguatkan hadis ini. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1.Syaikh Al-Albaniy dalam kitabnya Silsilah Ahadiits Ash-Shahihah no 1887 dan no 2253
2. Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiqnya atas Musnad Ahmad bin Hanbal no 8440
3. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dalam tahqiqnya atas Musnad Ahmad bin Hanbal no 7912 dan no 8459
4. Syaikh Mustafa Al-Adawiy dalam Shahih Al-Musnad Min Ahaadits Al-Fitan hal 398
5. Syaikh Muqbil Al-Wadi’iy dalam Jami’ Ash-Shahih Mimma Laisa Fii Ash-Shahihain 3/434 dan 4/468
Sebagian dari mereka menyatakan hadis tersebut shahih atau hasan dengan syawahid (Syaikh Al-Abaniy, Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan Syaikh Mustafa Al-Adawiy). Adapun Syaikh Ahmad Syakir menyatakan “sanadnya shahih” pada hadis Abu Hurairah (jalur Sa’iid bin ‘Ubaid) dan Syaikh Muqbil menyatakan hasan hadis Anas bin Malik (jalur Ibnu Ishaaq).
Mengapa dalam perkara ini kami tidak berpegang pada pendapat mereka?. Hal ini karena setelah kami teliti kami menemukan kelemahan atas jalan-jalan hadis yang mereka anggap bisa dijadikan penguat atau dijadikan hujjah.
Contohnya dalam penilaian hadis Abu Hurairah jalur Sa’id bin ‘Ubaid, Syaikh Ahmad Syakir mengatakan “sanadnya shahih” dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menyatakan “sanadnya hasan” padahal faktanya salah satu perawinya dhaif dari sisi dhabit yaitu Fulaih dan sanadnya terputus antara Sa’iid dan Abu Hurairah.
Begitu pula dalam penilaian hadis Anas bin Malik (jalur Ibnu Ishaaq) dimana Syaikh Muqbil berkata:
Ini hadis hasan, dan jalan Muhammad bin Ishaaq dari ‘Abdullah bin Diinar dari Anas dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah dikeluarkan Al-Bazzaar dalam Kasyf Al-Astaar 4/132 dan di dalamnya Muhammad bin Ishaaq menyebutkan lafaz penyimakan dari ‘Abdullah bin Diinar, segala puji bagi Allah [Jami’ Ash-Shahih Mimma Laisa Fii Ash-Shahihain 3/434].
Sebagaimana telah kami nukilkan penilaian Ibnu Hajar yang menganggap jayyid hadis Anas bin Malik tersebut, kami melihat bahwa penilaian ini hanya berdasarkan zhahir sanadnya dimana para perawinya tsiqat atau shaduq dan Ibnu Ishaaq walaupun mudallis disini ia menyebutkan lafaz penyimakan hadis. Kami tidak berpegang pada penilaian ini karena kami menemukan illat hadis Ibnu ishaaq tersebut dimana ulama mutaqaddimin seperti Yahya bin Ma’in dan Abu Hatim melemahkannya yaitu pada sisi gharib atau tafarrud Ibnu Ishaaq. Selain itu juga telah dibahas di atas bahwa Ibnu Ishaaq memang keliru dalam hadis Anas tersebut.
Kemudian soal penilaian yang menganggap hadis ini shahih atau hasan dengan syawahid kami menilai bahwa kelemahan itu tidak bisa saling menguatkan sehingga mengangkat derajat hadisnya. Contohnya ketika melihat pembahasan dari Syaikh Al-Albani kami menemukan:
1. Syaikh Al-Albani memang melemahkan hadis Abu Hurairah (jalur Sa’iid bin ‘Ubaid) karena kelemahan Fulaih dari sisi dhabit tetapi ia tidak menganggap hadis itu memiliki kelemahan lain yaitu terputusnya sanad antara Sa’iid bin ‘Ubaid dan Abu Hurairah. Jadi kami melihat hadis ini lebih lemah dari apa yang disebutkan Beliau.
2. Contoh lain yaitu ketika Syaikh Al-Albani menyebutkan hadis Auf bin Malik jalur Isma’iil bin ‘Ayasy, Beliau hanya mengisyaratkan kelemahan dugaan keterputusan antara Ibrahim bin ‘Abi Ablah dan Auf bin Malik tanpa menyebutkan kelemahan dari sisi Isma’iil bin ‘Ayasy dimana ia mudallis dan riwayatnya disini dengan ‘an anah.
3. Begitu pula Beliau menjadikan hadis Anas bin Malik sebagai syawahid dan nampaknya Beliau menilai sanad hadis Anas hasan hanya dengan melihat zhahir sanadnya padahal hadis tersebut ma’lul karena kesalahan Ibnu Ishaaq dan hadis yang terbukti salah tidak bisa dijadikan penguat.
Jadi hadis-hadis yang dijadikan i’tibar kedudukannya lebih lemah dari yang disebutkan dalam pembahasan mereka oleh karena itu kami tidak berpegang pada penilaian mereka bahwa hadis itu saling menguatkan dan naik derajatnya menjadi hasan atau shahih.
Penutup
Penilaian hadis adalah perkara ijtihad dengan berpegang pada kaidah ilmu hadis yang ada. Para ulama bisa berbeda-beda dalam penilaiannya sehingga untuk menilai pendapat mana yang lebih kuat sudah selayaknya untuk melihat hujjah para ulama tersebut ketika membahas suatu hadis. Kaidah ilmu hadis adalah standar utama dalam menilai suatu hadis dan dijadikan rujukan dalam menimbang penilaian para ulama atas suatu hadis. Hadis Ruwaibidhah setelah diteliti jalan-jalannya dan dinilai dengan kaidah ilmu hadis maka dapat disimpulkan kedudukannya dhaif.
(Scondprince/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email