Pesan Rahbar

Home » , » Aku dan Islamku

Aku dan Islamku

Written By Unknown on Wednesday 16 August 2017 | 00:43:00

Dr.Haidar Bagir

Oleh: Dr. Haidar Bagir

Aku percaya bahwa akal adalah anugerah-Nya yang menjadikan manusia makhluk paling mulia (ahsan taqwīm). Maka, aku bahkan akan melepaskan segenap keyakinan-keislamanku dari segala bentuk otoritas tafsir atas Islam yang tidak sesuai dengan akalku, termasuk otoritas keulamaan. Toh, otoritas-otoritas keulamaan itu berbeda pendapat juga. Namun, aku akan menerima tafsir-otoritatif dari siapa pun, dalam arti bahwa otoritas itu bersumber pada bukti-bukti yang meyakinkan secara intelektual dan berdasar pada prinsip-prinsip ilmiah yang aku yakini kebenarannya.

Aku percaya bahwa otoritas keulamaan baru mempunyai makna jika ia dikaitkan dengan prinsip-prinsip ilmiah seperti ini, bukan semata-mata dengan simbol-simbol yang tak bisa dijelaskan sepanjang prinsip-prinsip itu, seperti karisma, kesalehan lahiriah, keturunan, (semata-mata) penguasaan ilmu-ilmu keislaman tradisional, dan sebagainya. Dengan kata lain, otoritas keulamaan aku terima dalam makna yang sesuai dengan makna-asli ajektif yang terlekat kepada kata otoritas dalam ungkapan ini, yakni “yang bersifat ilmiah”.

Semua ini aku yakini karena al-Qur’an, sebagai otoritas tertinggi dalam Islam, mengajarku bahwa agama Islam adalah untuk orang-orang yang berakal, Nabinya pun dengan tegas menyatakan “tak ada agama bagi orang yang tak berakal.” Selanjutnya, penolakanku terhadap segala bentuk otoritas keulamaan qua simbol-simbol itu tentu saja tak terbatas pada otoritas keulamaan masa sekarang, ia malah terutama berhubungan dengan otoritas keulamaan masa lampau, sampai masa lampau yang paling jauh dalam sejarah Islam. Karena opini para ulama masa lampau memiliki peluang lebih besar untuk kehilangan relevansi dengan masa kita sekarang akibat perbedaan tantangan, budaya, dan psikologi.

Tapi, aku juga sadar bahwa akal dan prinsip-prinsip ilmiah yang diakuinya kapan saja selalu memiliki keterbatasan-keterbatasannya sendiri. Karena itu, aku tak akan pernah merasa kapan saja dalam hidupku bahwa keyakinanku akan sesuatu bersifat final. Aku selalu sadar bahwa keyakinan-keyakinanku harus selalu kuanggap sebagai bersifat tentatif, selalu siap untuk direvisi dan direvisi lagi, sejalan dengan pertambahan wawasan dan ilmuku, serta dengan kemajuan ilmu pengetahuan.

Lebih dari itu, aku percaya bahwa rasionalitas saja bukanlah satu-satunya soko-guru ke ilmiahan. Aku percaya bahwa akal juga mencakup apa yang—oleh orang-orang seperti Aristoteles, Rumi, Bergson, Heidegger, atau Muhammad Iqbal—disebut sebagai intuisi atau—oleh sebagian pemikir lain—disebut sebagai intelek (intellect).

Inilah suatu daya (quwwah) yang dalam tradisi Islam sering diidentikkan dengan hati (qalb atau fu’ād). Bahkan, aku percaya bahwa setiap saat intuisiku ikut menentukan penarikan pendapat-ilmiahku—kumaui atau tidak. Memang, tak seperti penalaran rasional, aku tak bisa mengendalikan operasi intuisiku (bukankah per definisi intuisi bersifat holistik sintetik, dan mengontrol?). Tapi, aku percaya bahwa aku bisa menjadikan pemikiran intuitifku mendukung upayaku mencari kebenaran selama aku menjaga objektivitas dan keikhlasanku.

Karena adanya kebutuhan agar aku tetap objektif dan ikhlas seperti itu, maka sepanjang upayaku untuk mencari opini yang benar aku akan memelihara fokus pada kebenaran itu sendiri, bukan pada popularitas (khālif tu’raf), permusuhan pada pendapat yang (sementara ini) tidak aku sepakati, dan sejauh mungkin menyisihkan kemungkinan kesombongan dan kebanggaan dari upaya-upayaku itu.

Dan, karena aku sadar bahwa dorongan ke arah nafsu-nafsu seperti itu berpeluang besar untuk mengganggu objektivitas-ku, maka aku akan secara sadar dan terus-menerus memperbarui niatku, menaklukkan semangat sekadar ingin populer dan menang sendiri, dan membuka akal dan dadaku seluas-luasnya untuk memeriksa opini apa pun yang sampai kepadaku tanpa judgement a priori apa pun, dan lebih siap untuk mengkritik opiniku sebelum opini-opini yang lain. Aku percaya, jihād al-nafs (perang melawan hawa nafsu) diperlukan di sini.

Aku—meskipun amat kritis—akan menyadari bahwa ilmu pengetahuan berkembang sebagai akumulasi pemikiran umat manusia sepanjang sejarah. Bahwa, seperti kata Isaac Newton, kita berdiri “di atas bahu para raksasa” sebelum kita. Bahwa, meski zaman beserta budaya, psikologi, dan tantangan-tantangannya berubah terus, ada saja yang bersifat perenial dan universal dalam pemikiran umat manusia sepanjang sejarahnya.

Bahkan aku percaya, perlintasan batas waktu itu terjadi hingga masa-masa awal penciptaan manusia. Bukan hanya hingga Plato—yang, oleh Whitehead, pemikiran manusia sepanjang sejarah dianggap hanyalah catatan kaki atasnya—melainkan hingga Hermes Trimegistus (Nabi Idris dalam tradisi pemikiran Islam) yang dianggap Bapak Ilmu Pengetahuan umat manusia.

Meski kritis, aku tak akan bersikap nihilistik terhadap khazanah pemikiran masa lampau, karena dengan bersikap demikian aku hanya memiskinkan khazanah ilmu pengetahuan umat manusia, dan khazanah ilmu-pengetahuanku. Dengan demikian, aku tak mau terperangkap ke dalam kebencian terhadap hasil-hasil pemikiran masa lampau karena aku menganggapnya berpotensi menggagahi kebebasan berpikirku.

Sebaliknya, aku akan mengapresiasinya dan memperlakukannya secara terhormat sebagai khazanah yang berpotensi untuk mem perkaya pemikiran-pemikiranku. Aku pun akan berusaha untuk tidak melupakan bahwa pada kenyataannya hasil pemikiran para pemikir pendahuluku seringkali tidak kalah canggih dan ketat dibanding pemikiran kiwari. Karena, aku pun menyadari bahwa—seperti ditulis, antara lain, oleh Franz Rosenthal—para ilmuwan dan ulama Muslim masa lampau juga memiliki persyaratan-persyaratan keilmuan yang amat ketat.

Bahkan, seringkali aku dapati, ketika aku cukup telaten untuk membaca hasil pemikiran mereka, amat banyak masalah-masalah dan opini-opini yang terungkap dalam perdebatan-perdebatan masa kini, yang sudah digarap juga oleh para pendahuluku itu. Kenyataan bahwa perdebatan itu seringkali memakan waktu beberapa generasi, dan melibatkan begitu banyak pemikir yang memiliki berbagai latar belakang, tak urung akan membuatku berpikir: “Jangan-jangan apa yang mereka telah pikirkan malah lebih canggih dari apa yang sedang aku pikirkan sekarang.”

Tidak dengan demikian kemudian aku berhenti berpikir dan merasa cukup dengan hasil pemikiran masa lampau itu. Tidak. Kenyataan itu hanya makin mendorongku untuk mempelajarinya dan kemudian memberikan sumbangan baru di atasnya, agar dengan demikian aku ikut menjadi bagian mata rantai yang melanjutkan akumulasi hasil-hasil ilmu pengetahuan itu.

Alhasil, sikapku terhadap otoritas keulamaan, termasuk otoritas keulamaan masa lampau, sebenarnya merupakan konsekuensi logis belaka dari prinsip-prinsipku dalam berislam, yakni prinsip-prinsip keterbukaan, pluralisme, dan demokrasi.

Nah, terkait dengan prinsip-prinsip yang aku junjung tinggi itu, aku akan selalu menghargai atau mengapresiasi pendapat orang atau kelompok lain, betapapun pendapat itu segera tampak tak aku sepakati, asing, atau bahkan terdengar ofensif bagiku. Aku akan berusaha sebisanya untuk memberi mereka the benefits of the doubt, sambil berupaya menerapkan kebijakan bahwa pendapatku (aku yakini sebagai) benar, tapi memiliki peluang untuk salah, dan pendapat orang lain (aku yakini) sebagai salah, tapi memiliki peluang untuk benar; juga bahwa, meski aku berbeda pendapat, hak mereka untuk mengungkapkan pendapatnya akan aku junjung tinggi dan aku bela.

Karena aku percaya bahwa hikmah (kebijaksanaan) “tercecer” di mana-mana, di berbagai opini, dan bahwa aku berkewajiban memungutnya di mana saja aku menemukannya. Karena aku pun percaya bahwa perbedaan pendapat (ikhtilāf) adalah suatu rahmat, yang—jika kita sikapi dengan benar—akan memperkaya ilmu pengetahuan dan membawa kita lebih dekat kepada kebenaran.

Dengan kata lain, makin melengkapkan pengetahuanku tentang kebenaran, mengingat kebenaran yang kita kuasai selalu bersifat parsial. Aku tak akan pernah lupa bahwa kebenaran-kebenaran itu berasal dari sumber yang sama, dan bahwa satu kebenaran tak akan bertentangan dengan kebenaran lainnya.

Untuk keperluan itu, sedapat mungkin aku akan bersikap seperti Imam Ghazali ketika mengatakan bahwa, sebelum berhak mengkritik, kita harus berupaya untuk bisa memahami pendapat yang akan kita kritik itu seperti pemahaman para penganutnya. (Sedemikian, sehingga karya Imam Ghazali yang berjudul Maqāshid al-Falāsifah—yang sebenarnya merupakan ringkasan karya Ibn Sina—sempat dikelirukan sebagai karya Ibn Sina karena sifat empatik yang dominan terhadap pemikiran filsuf yang sebenarnya segera akan dikritiknya secara amat keras itu).

Bahkan dalam opini yang sepintas tampak bertentangan dengan pendapat kita, selalu ada peluang kebenaran yang bisa kita pungut. Dalam kerangka ini, aku akan menghindarkan sikap selektif dalam menampilkan pendapat orang yang kita kritik, apalagi sinikal. Karena sinisme cenderung mendorong kita memahami pandangan kelompok lain secara tereduksi, kalau tak malah karikatural, menyesatkan (misleading) dan, dengan demikian, merusak objektivitas kita.

Sebaliknya, aku akan berhati-hati, dan bukannya malah kenes, dalam menanggapi opini yang tidak kusetujui itu agar suatu dialog yang produktif, konstruktif, dan saling memperkaya akan tercipta. Meski, misalnya, para penganut pendapat yang tidak aku setujui bersikap negatif terhadap pendapatku, aku akan berusaha selalu sadar bahwa mereka bukan guruku.

Bukankah memang sudah sikapku bahwa kancah pemikiran harus selalu dibiarkan terbuka, pluralistik, dan demokratis, dan bukankah aku mengkritik mereka justru karena sifat tertutup, totalitarian, dan otoritariannya? Juga, karena aku yakin, bahwa pada dasarnya makhluk yang bernama manusia ini bisa diajak berinteraksi secara persuasif, asalkan kita telaten dalam mengajukan hujah-hujah kita yang meyakinkan kepada mereka.

Dan juga karena aku sadar bahwa jangan-jangan perbedaan pendapat yang begitu besar antara aku dan mereka banyak juga disumbang oleh kurangnya dialog yang produktif dan silaturrahmi yang tulus di antara kami. Aku yakin bahwa ketidaksabaran untuk mendengar pendapat orang lain merupakan produk sikap sombong, merasa benar sendiri, melecehkan orang lain, yang menurutku justru menjadi musuh keterbukaan, pluralisme, dan demokrasi.

Aku akan berusaha memisahkan sebisanya unsur-unsur yang sakral dari yang profan, dan mengembali kan unsur-unsur profan ke pangkuan pemikiran yang netral agama. Karena aku yakin bahwa menyerahkan masalah-masalah profan ke wilayah pemikiran keagamaan secara tidak semena-mena justru akan mempersulit diri dan mendorong munculnya sikap-sikap reaksioner dan obskurantis, setidaknya bisa menimbulkan suasana yang menyesakkan (suffocating) karena ia bukan hanya menyelusup—melainkan “mengangkangi”—ke semua detail aktivitas kita secara tidak perlu.

Dan karena aku yakin bahwa Allah Swt. menganugerahi kita dengan akal yang dikaruniainya tugas dan kemampuan untuk bersama-sama wahyu-Nya membimbing kita menuju kebenaran. Tapi, saya juga percaya bahwa sekularisasi ada batas-batasnya. Bahwa, betapapun, agama sebagai agama meniscayakan penerimaan unsur-unsur tertentu sebagai bersifat sakral. Bahwa batas antara sekularisasi dan sekularisme—yang tidak aku sepakati—tidak selalu jelas. Setidaknya, kalaupun aku yakin bahwa agama pada dasarnya adalah sumber aturan moral dan etika, aku sadar bahwa moral dan etika selalu terlibat dalam aspek kehidupan manusia yang mana pun.

Meski aku percayai dalam banyak hal ber sifat kontekstual dan historis, aku juga yakin bahwa banyak juga teks-teks (nashsh) keagamaan yang berbicara mengenai hukum, politik, ekonomi. Sulit bagiku untuk menutup sama sekali pintu untuknya. Karena boleh jadi ia masih juga bisa menjadi suatu sumber pemikiran di tengah berbagai sumber pemi kiran nonkeagamaan. Meminjam istilah ushūl al-fiqh, kalau tak bisa menjadi sumber peraturan primer (awwaliyyah), nas-nas yang bersifat kontekstual dan historis seperti ini setidaknya bisa menjadi sumber peraturan sekunder (tsanawiyyah).

Aku juga akan memelihara concern bahwa Islam harus selalu ditafsirkan sedemikian, sehingga selalu bisa menjawab tantangan zaman. Aku percaya bahwa Allah menjadikan dunia dan kehidupan ini dengan sifatnya yang progresif. Bahwa, seperti kata Muhammad Iqbal, Allah selalu menambahkan ciptaan-ciptaan baru setiap saat (kulla yaum huwa fī sya’n). Bahwa dunia ini bukan suatu block universe. Maka, ijtihad pun menjadi niscaya—Iqbal menyebutnya sebagai prinsip atau sokoguru gerakan dalam Islam—demi menyahuti undangan Allah untuk menjawab tantangan-tantangan (ciptaan-ciptaan) baru itu.

Tapi aku juga tahu bahwa ada bahaya untuk menjadikan agama sebagai “pelengkap penderita” dalam kita mencari jawab terhadap tantangan-tantangan zaman itu. Maksudku, bukannya ajaran-ajaran Islam aku jadikan sumber, aku memanipulasinya agar sesuai dengan keyakinanku yang bersifat a priori.

Dengan kata lain, ajaran Islam kutempatkan sedemikian sehingga ia subjected to (tertundukkan kepada) keyakinan-keyakinan a priori-ku itu. Ini menurutku merupakan suatu sikap yang mengkhianati integritas intelektualku. Kalau aku percaya pada kebenaran Islam, maka sikap yang ilmiah adalah menempatkannya sebagai sejajar dengan sumber-sumber kebenaran intelektual yang lainnya.

Bahkan, dalam hal terjadi konflik yang tidak bisa aku selesaikan di antara keduanya, aku harus siap untuk memenangkan sumber-sumber keagamaan, meski hanya untuk sementara. Karena, pada dasarnya, seperti aku ungkapkan sebelumnya, aku percaya bahwa hasil pemikiran intelektual yang sahih (atau qath’iy, menurut istilah keagamaannya) ultimately tak akan bertentangan dengan teks-teks atau nas-nas yang dipahami secara sahih (qath’iy) pula.

Pendekatanku terhadap teks-teks al-Qur’an, Sunnah, dan tradisi Islam selebihnya akan bersifat hermeneutik. Dengan kata lain, aku akan melakukan distansiasi terhadapnya, mencoba mengenali diriku dengan segala latar belakang sosiologis, psikologis, dan kulturalku agar aku bisa meminimumkan subjektivitasku, kemudian melihatnya secara historis dan kontekstual, selanjutnya menyeruput esensi-esensi (maqāshid)-nya, untuk akhirnya mengapropriasikannya dengan tantangan-tantangan zamanku. Ini sama sekali bukan suatu pendekatan yang mudah. Tapi aku tak punya pilihan lain jika hendak objektif.

Meskipun demikian, aku sadar bahwa hermeneutika memiliki jebakan-jebakannya sendiri, di setiap tahap dalam prosedurnya. Mengenali diri adalah suatu pekerjaan yang, sejak zaman Yunani, diakui sama dengan mengenali Tuhan—the ultimate being. Karena itu, tak kurang dari suatu pertempuran besar (jihad akbar)—lagi-lagi, jihad melawan hawa nafsu—sajalah yang dapat membantu kita melakukannya. Kemudian, melihat secara historis dan kontekstual, mengharuskanku untuk dapat memilih dari berbagai versi historis, latar belakang sosio-kultural dan psikologis yang berjalin berkelindan secara amat kompleks, kalau tak malah sering saling bertentangan. Dan seterusnya.

Aku tak akan segan-segan belajar dari pemikir Muslim masa lampau, seperti kaum rasionalis Muktazilah, atau kaum Sufi, yang telah berupaya keras untuk mempraktikkan pendekatan ini lewat apa yang mereka sebut sebagai ta’wīl. Yakni, menyelam dalam-dalam ke lapis-lapis teks-teks suci al-Qur’an dan Sunnah—demi memungut mutiara-mutiara ilham yang terpendam di bawah permukaan tafsir “biasa”. Suatu teknik yang bukan saja mengandaikan daya imajinal untuk masuk ke dunia supra-konkret—dunia yang lebih estetik dan rohani (spiritual)—melainkan juga dipandu oleh suatu “sistem” gagasan spesifik yang biasa disebut ‘irfan (tasawuf filosofis).

Tapi, pada saat yang sama, aku juga akan mengambil manfaat dari orang-orang yang memujikan pendekatan literal, karena pendekatan seperti ini sedikit-banyak akan membantuku untuk mengendalikan keliaran spekulasiku pada saat aku hendak mencari makna hermeneutika teks-teks tersebut. Bahkan, aku sadar, aku tahu, pendekatan literal bukan saja tak bertentangan dengan ta’wīl, tapi malah merupakan bagian dari prosedurnya.

Ini, pikirku, barangkali sebab yang membuat bahkan Sufi se-“liar” Ibn ‘Arabi pun ngotot dengan makna asal kata-kata karena bagi orang-orang seperti ini ta’wīl—sebagaimana hermeneutika—bukanlah mencari makna yang bukan orisinal, melainkan justru mengembalikannya kepada yang asal itu.

Akhirnya, aku akan selalu meminta pertolongan (‘ināyah) dan petunjuk (hidāyah) dari Allah Swt. Sang Kebenaran (al-Haqq) dan Sang Pemberi Petunjuk (al-Hādi), karena aku amat sadar kepada keterbatasan-keterbatasanku sebagai manusia dan bahwa Ia adalah Sumber dari segala sumber kebenaran.

Wa Allāh a’lam bi al-shawāb

Sumber: Buku Islam Tuhan, Islam Manusia karya Haidar Bagir

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: