Ibadah haji merupakan ibadah napak tilas dari ibadah kuno yang mula-mula dilakukan oleh bapak seluruh umat manusia, Nabi Adam ‘alaihi al-salam, dan bapak tiga agama samawi besar (Yahudi, Nasrani dan Islam), Nabi Ibrahim ‘alaihi al-salam) di Bait Allah al-Haram pada masa yang telah ditentukan (Syawwal, Dzu al-Qa’dah dan sebagian Dzu al-Hijjah) dan di tempat yang telah di tentukan dengan tata cara peribadatan yang spesifik.
Dari seluruh penjuru dunia sebagian umat Islam yang telah mampu memenuhi panggilan untuk beribadah haji, sebagai rukun Islam yang ke-lima. Mereka datang berbondong-bondong menuju satu arah tempat yang sama, Ka’bah di Masjid al-Haram tanpa melupakan untuk berziarah ke al-Madinah al-Munawwarah untuk beribadah di Masjid Nabawi dan sekedar melepas kerinduan “berjumpa” dengan Rasulullah shalla Allahu ‘alaihi wa sallama, dan dua sahabatnya, Sayyiduna Abu Bakr al-Shiddiq dan Amir al-Mu’minin Umar bin al-Khaththan radiya Allahu ‘anhuma.
Dahulu fondasi Ka’bah itu ditinggikan atau dibangun kembali oleh Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail ‘alaihima al-salam. Mereka datang sama sekali bukan untuk menyembah bebatuan Ka’bah atau lainnya, namun untuk beribadah kepada Allah semata. Sebagai ibadah napak tilas bersejarah, umat Islam sangat mengagungkan dan menghormati jejak bersejarah para Nabi terdahulu, seperti Ka’bah, al-hajar al-aswad, maqam Ibrahim (batu berbekas dua telapak tempat berdirinya Nabi Ibrahim ‘alaihi al-salam), multazam, dan sebagainya.
Menghormati dan mengagungkan itu bukan berarti menyembahnya, sehingga tidak bisa disebut musyrik (menyekutukan Allah), sebagaimana para malaikat yang bersujud kepada Nabi Adam ‘alaihi al-salam karena perintah Allah untuk menghormatinya.
Rasulullah shalla Allahu ‘alaihi wa sallama pernah ditanya tentang amalan-amalan apa yang lebih utama. Beliau menjawab bahwa amalan-amalan yang lebih utama adalah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian apalagi? Kemudian jihad fi sabilillah. Kemudian apa lagi? Kemudian haji mabrur yaitu haji yang tidak dicampuri dengan dosa seperti bayi yang baru dilahirkan dari rahim ibunya.
Ibadah haji yang dilakukan tanpa dicampuri dosa itu menjadi sebab memperoleh rahmat Allah berupa surga, karena balasan haji mabrur tiada lain hanyalah surga-Nya. Sedangkan surga itu hanya dihuni oleh para hamba-Nya yang bertakwa, yaitu mereka yang istiqamah dalam menempuh jalan kebenaran untuk dekat dengan Allah ta’ala Yang Maha Benar dan mereka yang senantiasa berakhlak mulia. Sehingga haji mabrur adalah haji yang dalam pelaksanaannya maupun sesudahnya tidak lagi ada durhaka (maksiat) kepada Allah. Haji mabrur adalah haji yang diterima oleh Allah (maqbul) yang pertandanya adalah bahwa orang yang berhaji itu kembali menjadi lebih baik dan lebih taat dibandingkan sebelumnya dan ia tidak kembali berbuat maksiat.
Ibadah haji adalah ibadah yang memerlukan niat dan tekad yang kuat, karena ibadah haji memang lumayan berat. Berhaji berbeda dengan ibadah shalat yang hanya merupakan ibadah ruhaniyah dan fisik yang tempatnya bebas di mana saja, kecuali tempat-tempat yang dilarang. Haji berbeda pula dengan puasa yang merupakan ibadah ruhaniyah berjihad melawan hawa nafsu dan juga sedikit terkait fisik dan pelaksanaannya tidak terbatas di tempat tertentu. Haji berbeda dengan zakat yang merupakan ibadah yang mengandung pengorbanan terhadap sebagian harta. Haji merupakan ibadah yang menggabungkan semua ibadah tersebut. Maka berhaji adalah jihad (perjuangan maksimal) dengan fisik yang prima, mental yang sabar, ikhlas lagi membaja, dan harta yang halal. Namun ibadah haji itu dilaksanakan dengan penuh kegembiraan dan kedamaian karena tidak ada peperangan (qital) di dalamnya.
Dalam menunaikan ibadah haji telah jelas dilarang untuk berkata “kotor” (rafats), dilarang berbuat dosa (fusuq), dan tidak boleh pula berdebat (jidal). Ketiga hal yang dilarang tersebut apabila dilanggar akan menimbulkan persengketaan dan perselisihan. Dalam beribadah haji semua berpakaian ihram yang sama sebagai pesan untuk menanggalkan status sosial berupa ketokohan dalam ilmu dan amal, pangkat/jabatan, kekayaan, garis keturunan/ras, suku-bangsa dan warna kulit, ketampanan/kecantikan, jumlah pengikut (pengaruh). Sebab, ibadah haji adalah ibadah yang membawa pesan persatuan dalam keragaman, saling menghargai dalam perbedaan, dan menyatukan hati manusia dalam upaya bersama untuk mewujudkan perdamaian.
Untuk meraih semua itu sangat dibutuhkan para haji yang mabrur. Bukan hanya dibutuhkan, karena untuk memperoleh predikat haji mabrur itu butuh perjuangan, baik sebelum, pada saat dan setelah menunaikan ibadah haji. Oleh karena itu, jihad yang paling utama adalah haji mabrur. Seorang haji yang tidak lagi berbuat dosa, yang lahiriyahnya dosa-dosa/kesalahan-kesalahan kecil dan besarnya diampuni dan yang akhir hayatnya meraih husnul khatimah adalah para duta untuk mewujudkan persatuan dan para pejuang perdamaian dunia. Mereka bisa menjadi teladan yang baik karena telah memulainya dari diri mereka sendiri.
Semoga kita yang akan, sedang dan telah menunaikan ibadah haji menjadi haji yang mabrur. Amin ya mujibassailin…
Ahmad Ishomuddin
Catatan redaksi:
Kyai Ahmad Ishomuddin, Rais Syuriah PBNU, menulis dari Mekkah Mukarromah
(suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email