Sepanjang lebih dari 140 tahun, melewati dua perang dunia dan satu perang saudara selama 15 tahun
Hotel Palmyra di Kota Baalbik, Libanon, tidak pernah tutup sehari pun sejak dibuka pada 1874. (Foto: Blogbaladi.com)
Sepanjang lebih dari 140 tahun, melewati dua perang dunia dan satu perang saudara selama 15 tahun, Hotel Palmyra di Baalbik tidak pernah tutup sehari pun.
Baalbik adalah sebuah kota kecil dihuni mayoritas penganut Syiah, terletak di sebelah timur Sungai Litani, Lembah Biqaa. Lokasinya berjarak sekitar 85 kilometer timur laut Ibu Kota Beirut, Libanon, dan 75 kilometer sebelah utara Ibu Kota Damaskus, Suriah.
Dibangun pada 1874 oleh seorang pengusaha Yunani Orthodoks, Hotel Palmyra menjadi langganan para raja, ratu, penulis, artis, dan musikus kenamaan dunia.
Ahmad Kassab, kini berusia 70-an tahun, sudah bekerja di sana lebih dari 60 tahun. "Ia (Hotel Palmyra) bagian dari hidup saya," katanya saat duduk dalam sebuah lobi dengan mengenakan jas mantel kuno.
Dia tersenyum ketika mengenang hari pertama dia bekerja waktu Idul Adha 1954.
Kala tengah berjaya, menurut Kassab, Palmyra memiliki 40 kamar dan mempekerjakan lebih dari 60 staf. Namun sekarang hanya tersisa 20 kamar dengan 20 karyawan kadang tidak tahu apa yang harus dikerjakan, karena bisa berhari-hari tidak ada tamu menginap.
Dingin menusuk saat musim salju dan tanpa fasilitas modern, seperti bar mini dan kolam renang, Palmyra tidak lagi menjadi tempat menginap kalangan kelas atas.
Tapi bagi para pecinta sejarah, ia masih tetap lokasi menarik. Palmyra adalah peninggalan sejarah Libanon dan menjadi saksi atas beragam peristiwa penting di tingkat lokal, kawasan, dan global dalam kurun hampir 150 tahun, mempengaruhi Palmyra dalam berbagai cara.
Di pintu masuk hotel terdapat sebuah potret besar Kaiser Wilhelm II, kaisar terakhir Jerman dan Raja Prussia. Dia menginap di Palmyra pada 1898 ketika sedang merencanakan penggalian arkeologis bersama antara Jerman dan Kesultanan Usmaniyah di Baalbik.
Pasukan Kesultanan Usmaniyah juga menguasai Hotel Palmyra selama Perang Dunia I.
The Declaration du Grand Liban - menetapkan batas-batas Libanon modern di bawah mandat Prancis - ditandatangani di Palmyra setelah Perang Dunia I berakhir dan Kesultanan Usmaniyah runtuh.
Palmyra kemudian menjadi markas tentara Inggris pada Perang Dunia II.
Buku tamu pada 1889 menggambarkan pula sejarah Palmyra. Pada 1920-an, para pelancong dari Amerika Serikat biasa menginap di hotel itu kalau berziarah ke Yerusalem. Para raja dan ratu biasa bermalam di Palmyra saban kali pelesiran ke Suriah, Libanon, Yordania, dan Palestina.
"Palmyra adalah hotel pertama mempunyai kamar mandi pribadi," kata Rima Husaini, bersama suaminya, Ali, merupakan pemilik hotel. Keduanya membeli Palmyra ketika perang saudara meletup di Libanon.
Bangsawan dan kepala negara pernah bermalam di sana termasuk Charles de Gaulle, Mustafa Kemal Ataturk, Raja Faisal dari Irak, Raja Abdullah asal Yordania, Syah Iran, dan Kaisar Abyssania.
Sepanjang lorong di pintu masuk tergantung beberapa sketsa dan surat diteken oleh Jean Cocteau, menginap sebulan di Palmyra pada 1960.
Pesohor lainnya pernah menjadi tamu hotel tersebut ialah Fairuz dan Sabah, Nina Simone, Ella Fitzgerald, Elbert Einstein, dan George Bernard Shaw.
Palmyra kebanjiran tamu selebritas setelah dibikin acara tahunan Feztival Internasional Baalbik pada 1955.
Perang Arab-Israel pada 1967 menghentikan kedatangan tamu peziarah, kemudian perang saudara pada 1975-1990 menyetop Festival Internasional Baalbik.
"Tantangannya dulu dan sekarang adalah untuk tidak pernah menutup Palmyra sehari saja," ujar Rima Husaini.
(Al-Jazeera/Al-Balad/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email