Apa yang membedakan seorang Sunni dari Syiah dan Wahabi? Dan apa perbedaan mendasar antara ketiganya?
Allah Swt berfirman:
“Dan berpeganglah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan nikmat-Nya, kamu menjadi bersaudara.” (Qs. Ali Imron: 103).
Perintah Ilahi ini merupakan ungkapan yang menyeru semua umat Islam untuk bersatu menjadi satu umat (komunitas orang yang beriman). Dan untuk alasan ini, semua bentuk perpecahan dan sektarianisme menjadi Islami.
Sayangnya, fakta sejarah seolah berbanding terbalik dengan apa yang diserukan Allah, dan ini berlangsung selama berabad-abad. Hal ini terjadi karena penafsiran dari beberapa ayat-ayat Qur’an dan arti dari beberapa hadis yang berbeda.
Interpretasi ini telah menyebabkan terbentuknya beberapa sekte dalam komunitas Muslim. Tapi Islam jauh lebih beruntung dibandingkan sistem kepercayaan lain, di mana Islam hanya memiliki jumlah sekte yang jauh lebih sedikit.
Sejarah mencatat bahwa Sunni dan Syiah adalah dua kelompok utama di kalangan umat Islam. Tapi kebanyakan orang percaya bahwa Sunni dan Syiah saling mengenali diri mereka sebagai Muslim sejati (kecuali untuk beberapa aliran sesat).
Keduanya, pengikut Sunni dan Syiah sama-sama beriman kepada Allah Swt., sama-sama percaya pada Nabi Muhammad Saw. dan percaya pada datangnya Hari Akhir sebagaimana dicontohkan Al-Qur’an dalam ayat berikut;
“Rasulullah telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, dan juga orang-orang yang beriman; semuanya beriman kepada Allah, dan malaikat-malaikatNya, dan kitab-kitabNya, dan rasul-rasulNya. (Mereka berkata): “Kami tidak membedakan antara seorang dengan yang lainnya”. Mereka berkata lagi: Kami dengar dan kami taat (Kami mohon ampunanMu, wahai Tuhan kami, dan kepadamu lah tempat kembali”. (Qs. Al-Baqarah 2:285)
Bahkan, pembagian antara Sunni dan Syiah terjadi setelah kematian Nabi Muhammad. Muncul pertanyaan pada saat itu siapa yang mengambil alih kepemimpinan umat Muslim.
Muslim Sunni berpandangan, bersama dengan sebagian besar Sahabat Nabi, bahwa pemimpin baru harus dipilih dari kalangan mereka yang mampu memimpin. Saat itu, jatuhlah pilihan mereka pada sahabat dekat Nabi Muhammad yang juga sekaligus penasihatnya, yakni Abu Bakar. Melalui pilihan inilah, Abu Bakar kemudian resmi menjadi khalifah pertama negara Islam.
Tapi ada sekelompok Muslim yang berpandangan bahwa kepemimpinan masyarakat harus diambil dari anggota keluarga Nabi sendiri, atau seseorang yang khusus ditunjuk oleh beliau, atau Imam hanya boleh diangkat oleh Allah sendiri.
Lebih lanjut, mereka menyatakan bahwa sepeninggal Rasul, Ali lah yang harus terpilih sebagai pemimpin. Sebab mereka percaya bahwa Ali—di mana merupakan suami Fatimah (anak kandung Rasul, yang berarti Ali merupakan menantu Rasul), dulu sempat ditunjuk langsung oleh Rasulallah, sebagai pengganti beliau.
Sementara itu, kata “Syiah” berasal dari ungkapan, ‘Shiat Ali’ atau ‘Partai Ali’. Dari pernyataan awal ini, kepemimpinan politik, beberapa aspek kehidupan spiritual telah dipengaruhi, dan karenanya perbedaan antara dua kelompok Muslim pun tak terhindarkan.
Mayoritas (85%) dari umat Islam saat ini adalah Sunni, sedangkan sisanya Syiah. Meskipun terjadi perbedaan dalam hal ini, sebagian besar Muslim—apakah Sunni atau Syiah—mereka meyakini bahwa mereka membaca Al-Qur’an yang sama, berkunjung ke Ka’bah yang sama untuk melakukan ibadah haji, dan mereka sama-sama lebih senang bila disebut sebagai Muslim.
Ulama terkemuka dunia, Sheikh Yusuf Al-Qaradawi menulis:
“Hal ini penting bagi kaum Sunni untuk berkonsentrasi pada poin-poin kesepakatan, bukan perbedaan, ketika berdialog dengan Syiah, poin-poin kesepakatan ini teruatama diperhatikan pada isu-isu fundamental agama, sedangkan titik perbedaan harus dijelaskan pada anak-anak yang masih di bawah umur.
Hal yang paling penting untuk dipertimbangkan adalah bahwa ada banyak kesepakatan antara yurisprudensi Sunni dan Syiah. Hal ini karena keduanya tergantung pada sumber yang sama, Al-Qur’an dan Sunnah, dan juga karena tujuan mereka dalam melakukan penelitian tentang agama adalah sama, yaitu, membangun keadilan dan rahmat Allah di antara semua orang.”(dalam karyanya yang berjudul Sunnis & Shiites: Overlooking Differences, yang diakses pada 9 Maret 2009).
Terkait Wahhabisme, seorang wartawan Barat menulis:
“.. .Itu juga menjadi jelas bahwa penyebaran Wahabisme, yang paling terkenal adalah Osama bin Laden, harus ditanggapi dengan serius.”
Dan dalam kalimat lain, ia menulis:
“Bahkan banyak Muslim menganggap Wahabisme merupakan sekte ekstremis, tapi pengikutnya, termasuk Arab Saudi—bersikeras menyatakan bahwa sebutan Islam Wahabisme yang kemudian menyebar luas di dunia Muslim, terjadi pasca Revolusi Iran pada 1979. Diam-diam, Saudi didorong oleh Amerika Serikat dan sekutunya, menggunakan sumber daya keuangan yang sangat besar mereka untuk memastikan bahwa Syiah Islam radikal tidak menyebar ke dunia Muslim Sunni.”(Tulis Carole O’Leary, dengan judul Extremists in a Moderate Land, dimuat di Washington Post, Minggu, 11 Agustus 2002, dan diakses pada 9 Maret 2009).
Muhammad bin Abdul Wahhab dari abad kesembilan belas, adalah seorang pembaharu yang fokus pada tauhid (monoteisme) dan melawan praktik politeistik yang entah bagaimana kembali ke rakyatnya, seperti berdoa kepada orang-orang yang dianggap suci, memberikan persembahan korban kepada orang-orang suci, dll. Murid-muridnya mulai menyebut diri mereka sebagai muwahhidun (Unitarian), sedangkan pengkritiknya menyebut mereka “Wahabi” – dengan konotasi yang buruk.
Kita bisa melihat bahwa apa yang disebut ‘Wahabisme’ adalah sebuah gerakan Islam yang benar-benar dinamai Ibnu Abdul Wahhab yang memulai gerakan reformasi di Saudi untuk mempertahankan bentuk murni dan asli dari Islam terhadap beberapa inovasi yang diperkenalkan oleh apa yang disebut sufi pada saat itu.
Dia menjunjung tinggi gagasan dua tokoh Islam terkemuka, Sheikh Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibn Al-Qayyim, dan mengikuti pendapat hukum dari Imam Ahmad bin Hanbal, dalam pengakuan iman serta hal-hal hukum. Dan gerakannya itu membuat kontribusi yang signifikan terhadap Islam pada waktu itu, dengan menghapus banyak praktik menyimpang yang telah merayap ke dalam masyarakat Muslim.
Sebagai hasil karyanya, ajaran sesat, inovasi, dan praktik-praktik jahat menghilang dari kalangan umat Islam Arab. Misalnya, ia berhasil menebang pohon-pohon yang digunakan orang untuk menyembah dan berdoa dalam Najd. Mereka menggunakan pohon-pohon untuk meminta hal-hal yang hanya Allah Swt. mampu berikan.
Ibnu Abdul Wahhab juga menghancurkan tempat atau bangunan-bangunan yang sering digunakan untuk ritual pagan. Tapi orang-orang yang fanatik terhadap golongan sendiri, menabur benih kebencian terhadap dirinya dan para pengikutnya, yang benar-benar berpegang pada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya Muhammad.
Hal tersebut berarti bahwa Wahabisme tidak benar-benar ada hubungannya dengan jenis terorisme, terutama mereka dikaitkan dengan Barat. Wallahu A’lam Bishowab.
(On-Islam/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email