Pesan Rahbar

Home » » Mendedah ‘Makar’ Dari Perspektif Hukum

Mendedah ‘Makar’ Dari Perspektif Hukum

Written By Unknown on Tuesday 1 August 2017 | 23:16:00


Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Jayabaya menyelenggarakan seminar nasional dengan tema, “Tindakan Makar terhadap NKRI: Kajian Perspektif Hukum” di Hotel Grand Inna, Kuta, Provinsi Bali pada Sabtu, 29 Juli 2017. Nikolas Johan Kilikily, SH, pengacara sekaligus ketua panitia acara mengatakan bahwa seminar nasional ini berusaha mengurai masalah makar dari sisi hukum. Jadi, sangat pas bila pembicara yang hadir adalah perwakilan TNI, Polri, Komnas Ham dan Akademisi.

Nikolas Johan melanjutkan, bahwa ikhtiar membahas makar ini diharapkan menjadi salah satu sumbangsih pemikiran pascasarjana ilmu hukum Universitas Jayabaya kepada bangsa dan negara. Makar, sebagaimana diketahui oleh publik menjadi suatu kejahatan yang sangat mengkhawatirkan bagi kedaulatan suatu negara dan pemerintah. Maka, aturan makar dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) agar pemerintah memiliki kewenangan pencegahan dan penindakan.

Menurut Dr. H. Hasan Hasbi, MH, Direktur Badilag Mahkamah Agung RI dan Ketua Prodi Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Jayabaya menyatakan bahwa sangat penting bagi Universitas Jayabaya sebagai institusi untuk memberikan sumbangsih pemikiran terhadap masalah makar dan merancang solusi kepada Pemerintah.

Sedangkan, Direktur Program Pascasarjana Universitas Jayabaya, Letjen TNI (Purn), Prof. Dr. Syarifudin Tippe, M.Si yang juga Rektor Pertama Universitas Pertahanan (Unhan) menjelaskan bahwa mahasiswa patut diapresiasi karena mampu menghadirkan keterwakilan TNI, Polri dan Komnas Ham yang memiliki pengalaman terkait makar dan bagaimana cara penanganannya.

Syarifuddin Tippe mengatakan pengalamannya sebagai prajurit dan Rektor Unhan bahwa bela negara bukanlah wajib militer. Karena bela negara adalah upaya mendidik warga negara dari pemikiran, jiwa dan raga untuk mencintai negara dan bangsa yang mampu menolak ide-ide makar. Bela negara bukan hanya soal fisik, tetapi bangunan jiwa dan pikiran yang mampu membentuk pribadi paripurna yang cinta NKRI dan Pancasila serta menjalankan UUD 1945 dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika.

Dari pandangan TNI, Mayor Jenderal Komaruddin Sijuntak, S.IP, M.Si, selaku Panglima Komando Daerah Militer IX/Udayana menegaskan bahwa TNI siap sedia menghentikan setiap upaya makar/kudeta. Ini karena TNI memiliki sumpah setia yang tertanam di dalam hati, jiwa, pemikiran dan tindakan kepada NKRI dan Pancasila.

Hal inilah yang menjadi alasan militer tidak melakukan pengambil-alihan kekuasaan secara paksa pada masa reformasi. Pangdam IX Udayana ini sempat bercerita bahwa apabila militer memulai kudeta saat reformasi, maka akan ada budaya kudeta yang tidak akan pernah habis. Begitu nasihat Wiranto yang saat itu menjadi Panglima TNI.

Selain itu, kecintaan TNI kepada NKRI tidak bisa diperalat oleh siapapun. TNI akan selalu menjaga pemerintahan yang sah sesuai konstitusi dan menolak setiap agenda makar/kudeta. TNI siap angkat senjata bila ada kudeta yang berusaha mengganggu keamanan negara dan menggulingkan kekuasaan.

Mayjen Komaruddin Simanjuntak mengucapkan terima kasih atas niat pascasarjana ilmu hukum Universitas Jayabaya melaksanakan seminar nasional terkait makar. “Hasil seminar ini akan sangat bermanfaat bagi TNI, Polri, Komnas Ham dan masyarakat untuk memahami tindakan makar terhadap NKRI. Sehingga kita bisa saling menguatkan dan mencegah makar,” lanjut Panglima Kodam IX/Udayana.

Sedangkan, dari pihak Kepolisian Republik Indonesia menerangkan bahwa Polri memiliki Standar Operasional Prosedural (SOP) yang ketat dalam hal mencari informasi dan mencegah munculnya tindakan makar. Hal ini disampaikan oleh Irjenpol. Prof. Dr. Iza Fadri, SIK, SH, MH selaku Koordinator Staf Ahli Kapolri kepada mahasiswa-mahasiswi pascasarjana ilmu hukum Universitas Jayabaya.

Dari catatan sejarah, Iza Fadri mengatakan bahwa periodesasi penanganan makar dimulai dari masa kolonial dengan menggunakan KUHP. Lalu, masa Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno menggunakan KUHP dan Penetapan Presiden Nomor 11 tahun 1963 tentang Pemberantasan Giat Subversi dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan.

Lalu, pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto menangani makar dengan mengubah PNPS Nomor 11 tahun 1966 menjadi UU Nomor 5 Tahun 1969 (UU Pemberantasan Kegiatan Subversiv). “Saat reformasi, diterbitkan UU Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pencabutan UU PKS. Lalu pembentuk UU melakukan penguatan politik hukum untuk pencegahan makar dengan cara Amandemen UUD 1945 tentang hak dan kesejahteraan sebagaimana termuat di Pasal 27, 28, 29, 30, 31 dan 34 UUD 1945,” lanjut Irjenpol Prof. Iza Fadri.

Dengan demikian, Iza Fadri menyimpulkan bahwa politik hukum adalah suatu kebijakan di bidang hukum yang ditempuh oleh negara melalui lembaganya yang diarahkan pada bidang perencanaan hukum, pembentukan hukum, pembaharuan hukum, dan pelaksanaan hukum serta penegakannya. Sehingga penanganan makar bukan hanya melihat kasusnya, tetapi juga melihatnya dari sejarah kejadian dan penanganan agar bisa menyelesaikan makar secara komprehensif.

Prof. Dr. Suhandi Cahaya, SH, MH, Pakar Hukum Pidana dan Dosen Pascasarjana di Perpetual Help University of Philippines mengatakan bahwa makar atau kudeta ini harus disosialisasikan oleh pemerintah. Jangan sampai masyarakat awam menyamakan makar atau kudeta dengan demonstrasi mahasiswa atau sekelompok orang. Karena makar diatur ketat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Untuk memahami makar, dari catatan Suhandi Cahaya, makar paling banyak terjadi di Afrika Selatan selama 15 tahun yaitu terjadi sebanyak 120 kali kudeta militer. Sedangkan di tempat lain adalah di Syria pasca perang dunia yang mengalami lebih dari 12 kudeta.

Jadi, Prof. Suhadi Cahaya menjelaskan, “Sistem KUHP kita menganggap bahwa perbuatan makar terhadap negara dan terhadap bentuk pemerintahan merupakan bentuk tindak pidana yang berbahaya yang mengancam kelestarian negara dan bangsa. Dengan demikian kepentingan hukum yang harus diberikan perlindungan adalah keamanan negara yang meliputi: (1) Keamanan Kepala Negara; (2) Keamanan Wilayah Negara; dan (3) Keamanan Bentuk Pemerintahan Negara.”

Terakhir, pascasarjana ilmu hukum Universitas Jayabaya akan melaksanakan pembahasan terhadap 10 orang yang ditangkap atas tuduhan makar. Kemudian hasilnya diharapkan menjadi rekomendasi untuk menata ulang pemahaman terkait apakah 10 orang tersangka makar masuk kategori makar atau tidak. Sehingga ke depan, ada pemahaman yang merata atas perbedaan antara ujaran yang tidak baik di muka umum, makar, kudeta, dan penegakan kebebasan bersuara (demonstrasi) di muka umum.

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: