Revolusi Islam di Iran membawa perubahan besar bagi negara itu. Berawal dari meledaknya situasi dalam negeri di tahun 1979, dan perginya Shah Iran ke dalam eksil.
Koran-koran Iran memasang kepala berita besar: Shah Iran telah pergi. Di jalan-jalan Teheran, rakyat berpestapora dan menari-nari. Pendukung berbagai haluan politik, baik dari kubu agama, maupun kelompok sekular, semua merayakan berakhirnya sebuah masa. Hari itu, 16 Januari 1979. Dari lapangan terbang Mehrabad, Shah Iran, Mohammad Reza Pahlevi dan permaisurinya, Farah Diba naik helikopter meninggalkan Iran. Raut muka Reza Pahlavi tegang ketika pamit dari pendukungnya yang terdekat. Hanya di Radio Iran, ia pura-pura tenang: "Sejak beberapa waktu, saya merasa lelah dan butuh istirahat. Lagipula saya kan sudah mengatakan akan bertamasya apabila pemerintahan sudah stabil.”
Shah Iran Reza Pahlevi menyadari bahwa ini merupakan perjalanan menuju eksil. Ia tak akan kembali. Dalam bagasinya, ada sebuah kantong kecil berisikan tanah dari kampungnya. Tujuan pertama, Kairo. Disusul dengan perjalanan panjang yang mengecewakan. Bertolak dari Marokko, lewat Amerika Latin menuju Amerika Serikat. Kedatangan Pahlevi tak disambut oleh mereka, yang sebelumnya mengaku sahabat lama. Hanya Presiden Anwar Sadat di Mesir yang menerimanya. Reza Pahlevi wafat tahun 1980 di Kairo dan mendapat penghormatan untuk dikebumikan di Masjid Rifai.
Mendiang Reza Pahlevi mengalami bagaimana Inggris menggulingkan ayahnya pada tahun 1941. Ia tampil sebagai penggantinya. Pahlevi dituding sebagai boneka barat oleh oposisi. Karenanya, iapun berusaha keras untuk membuktikan sebaliknya. Terutama dalam sengketa minyak. Ia kemudian mencanangkan nasionalisasi perusahaan-perusahaan minyak, yang kebanyakan di tangan asing:“Minyak bumi harus di tangan negara dan bukan menjadi obyek eksploitasi swasta, yang tahun ini telah meraup 500, 600, bahkan lebih dari 700% keuntungan. Tak adakah yang mengomentari ini?” Namun terlambat. Perubahan sudah bergulir di dalam negeri. Ketika Perdana Menteri terpilih, Mohammed Mossadegh menasionalisasikan sektor energi Iran, Shah Iran terpaksa melarikan diri. Ia hanya bisa kembali atas bantuan badan intelijen Amerika Serikat, CIA, yang mengkudeta pemerintahan populer Perdana Menteri Mossadegh. Hubungan Shah Iran dengan Amerika Serikat semakin erat. Pahlevi tidak saja merasa sebagai mitra, melainkan sebagai negara terkuat di wilayah itu. Ia mengangkat dirinya sebagai Rajadiraja. Kemudian melengkapi pasukan Iran dengan perangkat militer terbaru dan termodern dari Amerika Serikat. Program nuklir Iran juga berakar pada masa kekuasaan Reza Pahlevi, yang menyadari bahwa sumber minyak dan gas bumi akan suatu saat terkuras habis. Namun bersamaan dengan itu, kesenjangan antara Shah Iran dan kehidupan rakyatnya sudah begitu besar. Shah Iran membutuhkan bantuan dinas rahasia dan polisi, untuk mengendalikan rakyat. Kelompok oposisi semakin besar. Semua upaya reformasinya dikecam sebagai anti islam di dalam negeri, atau kurang berani oleh pihak Barat. Kekuatan oposisi akhirnya mendesaknya untuk lari. Tak seminggu setelah Shah Iran pergi, Ayatollah Khomeini kembali dari suakanya di Paris. Republik Islam Iran berdiri.
(DW/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email