Ilustrasi
Oleh: Sumanto Al Qurtuby
Entah kenapa tiba-tiba, mak bedunduk, saya ingin menulis tentang Abdullah. Ia bukan ayah Nabi Muhammad atau almarhum Raja Saudi yang legendaris itu. Tapi seorang staf di departemenku. Ia punya tugas multi fungsi: mengantar surat, bikin teh-kopi-susu, dan kesana-kemari ngurusi urusan departemen. Pokoknya “seksi sibuk”.
Selain itu, ia adalah pengikut Syiah yang taat. Saya perhatikan ia rajin salat (ala mazhab Syiah) di ruangannya. Saat ia menunaikan salat, Muslim yang non-Syiah tau diri tidak masuk ke ruangannya. Ketika ia merayakan hari-hari istimewa Syiah, kami pun mengucapkan selamat kepadanya.
Seperti yang sudah sering saya tulis, ada banyak warga Syiah di kampusku ini, baik sebagai mahasiswa atau staf seperti Abdullah tadi maupun tenaga edukasi (dosen) dan birokrat kampus.
Kampus ini memang sangat warna-warni, beragam etnis dan agama ada tumplek blek, baik Muslim maupun non-Muslim, baik Arab, Afrika, Asia, India, sampai “bule” (bukan “bule tekle” lo ya? he he) banyak sekali. Kami saling menghormati satu sama lain.
Apalagi fakultasku, para bule Inggris dan Amerika banyak sekali karena mereka dibayar untuk mengajar Bahasa Inggris kepada “calon mahasiswa” sampai mereka menguasai Bahasa Inggris dan siap mengikuti kuliah yang memang menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar.
Dosen di departemenku juga warna-warni: ada yang dari Turki, Amerika, Inggris, China, Kanada, Pakistan, Aljazair, Sudan, dan Saudi sendiri tentunya, selain Jawa.
Abdullah adalah seorang warga Syiah Saudi yang sangat loyal dengan negaranya. Saya melihat banyak orang di Indonesia salah paham dengan dinamika Sunni-Syiah di dunia Arab, seolah-olah pengikut Sunni dan Syiah itu selalu berseteru dan bermusuhan abadi.
Realitasnya tidak demikian.
Karena baik pengikut Sunni maupun Syiah berasal dari beraneka ragam etnis dan suku, maka identitas kesukuan dan etnisitas juga penting untuk dilihat dalam menyikapi persoalan relasi dua kelompok agama ini. Misalnya, kaum Syiah Arab tidak selalu setuju dengan “Syiah Persi” (Iran) atau sebaliknya: “Sunni Arab” tidak selamanya sependapat dengan “Sunni Persi”.
Itulah sebabnya selalu ada berbagai kubu di kelompok Syiah maupun Sunni. Itu baru dua identitas etnis. Belum lagi yang Kurdi, Berber dan lainnya. Belum lagi suku dan klan yang jumlahnya banyak sekali di kawasan Arab.
Saya justru melihat identitas kesukuan dan klan itu jauh lebih kuat dan kental ketimbang identitas keagamaan. Misalnya, seorang Syiah dan Sunni yang berasal dari suku atau klan yang sama, akan lebih mengutamakan suku/klan mereka ketimbang urusan Sunni-Syiah.
Itulah sebabnya, saya melihat ada banyak kawin-mawin antara Sunni-Syiah karena mereka “disatukan” dengan suku/klan, meskipun “dibedakan” dengan identitas Sunni/Syiah.
Jaringan suku dan klan ini digunakan oleh warga Arab (baik Sunni maupun Syiah) untuk mendapatkan akses politik, ekonomi, pekerjaan, pendidikan, dlsb, bahkan sampai dunia perkawinan. Tribalisme dan klantisme dipakai sebagai medium untuk merawat dan melangsungkan aneka ragam kehidupan sosial di antara mereka.
Nah, kompleks sekali kan dunia ini? Dunia ini ternyata tidak sesimpel seperti yang dikhayalkan Mamat-Mimin he he.
(suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email