Oleh: Atih Ardiansyah
Bila saya ditanya mengapa saya masuk politik? Saya ingin mengembalikan politik pada khittahnya, pada dasar dan habitatnya, yakni “memperjuangkan kepentingan orang banyak”.
Demikian rilis yang ditulis Guntur Romli di qureta. Menurut saya, apa yang disampaikan Guntur Romli tidak terlalu istimewa. Maksud saya, sudah banyak politisi yang menyampaikan hal serupa kala memutuskan nyemplung ke dunia politik. Terlalu formalistis.
Untungnya, Guntur Romli tidak kehilangan warnanya. Masih pada rilis yang sama, dia menyatakan bahwa masuknya dia ke dunia politik karena didorong oleh spirit perjuangannya: melawan intoleransi. Bagi suami Nong Darol Mahmada ini, sebagaimana pernyataannya lewat rilis yang sama, segala persoalan yang terkait dengan kebencian, kekerasan, permusuhan, terorisme, radikalisme, diskriminasi, ekstrimisme, separatisme, hingga peperangan berakar pada intoleransi. Sebabnya adalah tidak mau toleran dan tidak mau menerima perbedaan. Intoleransi yang dibiarkan akan melahirkan kebencian, kemudian permusuhan, yang rentan mematik kekerasan hingga peperangan.
Dalam penilaian saya, Guntur Romli adalah orang yang teguh. Dia sangat concern dan tahu betul dengan apa yang diperjuangkannya. Dia bahkan berani mengambil risiko ketika berhadap-hadapan dengan kelompok-kelompok garis keras: disalahpahami dan dilabeli itu dan ini. Saya rasa, bukti-bukti itu sudah cukup, sehingga pernyataan Guntur Romli yang menyatakan bahwa selama ini dia telah melakukan kerja-kerja politik di jalur kultural, hanya menjadi tambahan saja.
Saat Guntur Romli mengatakan bahwa masuk ke partai politik adalah penyempurna kerja-kerja politik sebelumnya, maka menarik ditunggu kiprahnya andai dia terpilih sebagai anggota DPR RI nanti. Jika pada level kultural Guntur Romli begitu liat melawan kelompok-kelompok intoleran, akan seperti apakah perlawanannya setelah menjadi pembuat kebijakan?
Saya percaya bahwa di dalam kepala Guntur Romli, sudah banyak ide yang bakal dia tuangkan ke dalam bentuk kebijakan, andai terpilih nanti. Tetapi melalui artikel ini, saya ingin urun angan. Saya ingin menyumbang ide, atau anggaplah ini bentuk aspirasi dari saya.
Di layar kaca maupun di media-media online, tak terkecuali di media sosial, Guntur Romli kerap baku-ujar dengan pegiat medsos, Jonru. Berdasarkan informasi yang jejak digital-nya bisa dengan mudah kita temukan, Jonru (awalnya) adalah penulis buku sekaligus pelatih kepenulisan. Saya justru tidak cukup mengerti, sejak Pilpres 2014 kemudian berlanjut pada Pilkada 2017, kok Jonru malah beralih menjadi peternak ujaran-ujaran bernada provokasi yang bernuansa SARA?
Justru di sinilah titik krusialnya. Kerja-kerja Guntur Romli, andai dia terpilih sebagai anggota legislatif nanti, yang paling utama dan memiliki keterkaitan dengan perlawanannya pada perilaku intoleransi adalah dengan memerhatikan nasib penulis. Karena penulis yang tidak teperhatikan kesejahteraannya (termasuk pajak yang terlalu besar) bisa mengambil keputusan yang di luar dugaan. Syukur kalau penulis responsnya seperti teman-teman saya yang easy going meski buku tak laku dan royalti hanya cukup buat beli pulsa, ditambah pajak gede pula, hehehehe. Bagaimana kalau penulis memutuskan tidak akan menerbitkan buku lagi seperti Tere Liye. Atau yang mengerikan adalah penulis yang memilih menjadi penebar hoax, fitnah, dan provokasi seperti Jonru, lantaran bukunya tak laku, kurang terkenal, royalti kecil, harus bayar pajak tinggi juga.
Saya ingin berandai-andai: andai Jonru menjadi penulis yang mapan, buku-bukunya digemari banyak orang, royaltinya besar, bayarannya besar saat diundang ke acara-acara, mungkin dia tidak akan menjadi seperti saat ini. Andai buku-buku Jonru best seller, mungkin namanya tidak akan masuk kamus bahasa slang yang identik dengan tukang fitnah dan sejenisnya. Andai pun buku-buku Jonru tidak laku tetapi pemerintah memerhatikan nasibnya dengan memberikan subsidi misalnya, mungkin dia masih menulis buku saat ini. Dan siapa tahu, ada satu atau dua bukunya yang laku besar.
Sebagai santri yang memiliki kafaah Islam yang baik, saya meyakini meskipun bagi Guntur Romli menulis bukanlah sarana mencari nafkah, dia akan memperjuangkan nasib penulis. Karena menulis sendiri adalah tradisi ulama klasik, tradisi pesantren. Dalam keyakinan saya, Guntur Romli sudah memahami bahwa memperjuangkan nasib penulis sama dengan memelihara peradaban. Bayangkan andai negara menjamin kesejahteraan penulis, tentu akan semakin banyak rakyat yang bercita-cita sebagai penulis, daripada menjadi PNS. Semakin banyak penulis, semakin besar sumber pendapatan dari pajak (asal jangan gede-gede, hehehee). Semakin banyak PNS, semakin besar beban negara! Semakin banyak penulis, semakin banyak pembaca, semakin literat masyarakat kita.
Menurut saya, mensejahterakan penulis agar tidak terjebak godaan menjadi penebar hoax, fitnah dan adu domba, merupakan cara melawan intoleran dengan cara yang sangat toleran. Selamat berjuang, Bro Guntur Romli!
(Geo-Times/suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email