Israel satu-satunya negara secara terbuka mendukung rencana referendum Kurdistan digelar besok.
Sepuluh hari lalu, lebih dari 20 ribu orang Kurdi berkumpul di sebuah stadion di Kota Zakho, wilayah Kurdistan di utara Irak, untuk menyokong referendum kemerdekaan. Lautan bendera Kurdi - berwarna merah, putih, dan hijau dengan sebuah matahari kuning di bagian tengah - berkibar di tengah massa.
Itu salh satu dari sejumlah pawai digelar di seantero wilayah Kurdistan dan warga Kurdi di luar negeri menjelang pelaksanaan plebisir Senin pekan depan. Referendum itu bakal dilakukan di wilayah dikuasai (KRG) Pemerintah Regional Kurdistan di Irak.
Di saat sama, pasukan Kurdi di timur Suriah hampir menaklukkan milisi ISIS (Negara Islam Irak Suriah di Raqqah. SDF (Pasukan Demokratik Suriah) mengontrol 70 persen dari Raqqah setelah pertempuran sengit berbulan-bulan, menurut Wladimir van Wilgenburg, pengamat Kurdi melaporkan dari Suriah.
Terpisah selama seabad antara Turki, Iran, Irak, dan Suriah sehabis kejatuhan Kesultanan Usmaniyah pada 1918, bangsa Kurdi telah mendapat sebuah level otonomi dalam beberapa tahun belakangan dan terkesan sekarang periode unik dalam sejarah buat orang Kurdi.
Namun masa ini datang ditengah tekanan sangat besar dari negara-negara berpengaruh. Mereka mengklaim kemerdekaan Kurdi bakal makin memperparah ketidakstabilan di Timur Tengah.
Dalam jumpa pers di Irbil, ibu kota KRG, 14 September lalu, Utusan Presiden Amerika untuk Koalisi Global Memerangi ISIS Brett McGurk mengungkapkan 70 negara anggota koalisianti-ISIS sudah menyatakan kepada Amerika, mereka tidak mendukung refenrendum Kurdistan. "Rencana ini tidak bisa kami sokong. Jalur itu sangat berisiko," katanya.
Sehari kemudian, Amerika menegaskan lagi sikapnya. Melalui keterangan tertulis, Gedung Putih menekankan referendum bisa merusak upaya buat mengalahkan ISIS. "Amerika tidak mendukung rencana KRG menggelar referendum."
Reaksi atas rencana referendum Kurdistan ini janggal. Belum pernah dalam sejarah begitu banyak negara Barat menolak sebuah referendum bersifat demokratis.
Tapi itu tidak menghalangi kemauan para pemimpin Kurdi. Antusiasme orang Kurdi di perantauan juga melonjak. Pawai besar mendukung rencana referendum digelar warga Kurdi di beragam kota, termasuk Oslo (Norwegia), Jenewa (Swiss), dan Cologne (Jerman).
Dalam seluruh parade mendukung referendum tersebut ada bendera Israel berkibar di tengah begitu banyak bendera Kurdistan. Orang-orang Kurdi dan Yahudi memang pernah memiliki hubungan baik berpuluh-puluh tahun lalu. Kedua bangsa ini juga merasa senasib diburu di kawasan dan memiliki musuh bersama, yakni Arab.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sudah menyatakan dukungannya. "Israel menyokong usaha-usaha dilakukan rakyat Kurdi untuk membentuk sebuah negara," ujarnya.
Kurangnya dukungan Amerika memang tidak mengagetkan. Departemen Luar Negeri Amerika telah menyatakan mendukung persatuan Irak sejak invasi pada 2003. Sebaliknya, karena bermusuhan dengan Saddam Husain pada 1990-an, kemudian memerangi para pemberontak Irak lalu ISIS, Amerika mendukung Kurdi untuk memperoleh otonomi, tapi mencemaskan langkah selanjutnya bangsa Kurdi untuk melepaskan diri dari Irak.
Kebijakan ini tidak sejalan dengan dukungan Amerika terhadap upaya penentuan nasib sendiri di wilayah lain, seperti Sudan Selatan, Kosovo, Bosnia, dan Timor-Timur.
Persoalannya di Irak adalah Amerika merasa memiliki sebuah komitmen khusus buat memperbaiki negara Dua Sungai itu. Kalau sampai Kurdistan merdeka, berarti Washington gagal melaksanakan misinya.
Ironisnya, upaya Amerika menciptakan demokrasi di Irak dilecehkan bila mereka menolak bangsa Kurdi ingin mendirikan negara lewat cara demokratis, yakni referendum.
Sejak pemberontakan meletup di Suriah, bangsa Kurdi di negara Syam ini mengalami kemajuan. Sebelumnya, orang-orang Kurdi tidak mendapat hak-hak dasarnya, bahkan dalam sejumlah kasus tidak diakui sebagai negara. Berbicara bahasa Kurdi di kampus bisa mengalami masalah. Namun sekarang, bangsa Kurdi dengan pasukan Unit Perlindungan Rakyat berperan penting dalam usaha mengalahkan ISIS.
Seiring jadwal pelaksanaan referendum kian dekat, rakyat Kurdi tampaknya meyakini kinilah saatnya mengabaikan semua peringatan dan mengikuti kata hati mereka, seperti banyak bangsa lain lakukan untuk menggapai kemerdekaan di masa lalu.
(
Bendera Kurdistan. (Foto: Kurdistan24.net)
Sepuluh hari lalu, lebih dari 20 ribu orang Kurdi berkumpul di sebuah stadion di Kota Zakho, wilayah Kurdistan di utara Irak, untuk menyokong referendum kemerdekaan. Lautan bendera Kurdi - berwarna merah, putih, dan hijau dengan sebuah matahari kuning di bagian tengah - berkibar di tengah massa.
Itu salh satu dari sejumlah pawai digelar di seantero wilayah Kurdistan dan warga Kurdi di luar negeri menjelang pelaksanaan plebisir Senin pekan depan. Referendum itu bakal dilakukan di wilayah dikuasai (KRG) Pemerintah Regional Kurdistan di Irak.
Di saat sama, pasukan Kurdi di timur Suriah hampir menaklukkan milisi ISIS (Negara Islam Irak Suriah di Raqqah. SDF (Pasukan Demokratik Suriah) mengontrol 70 persen dari Raqqah setelah pertempuran sengit berbulan-bulan, menurut Wladimir van Wilgenburg, pengamat Kurdi melaporkan dari Suriah.
Terpisah selama seabad antara Turki, Iran, Irak, dan Suriah sehabis kejatuhan Kesultanan Usmaniyah pada 1918, bangsa Kurdi telah mendapat sebuah level otonomi dalam beberapa tahun belakangan dan terkesan sekarang periode unik dalam sejarah buat orang Kurdi.
Namun masa ini datang ditengah tekanan sangat besar dari negara-negara berpengaruh. Mereka mengklaim kemerdekaan Kurdi bakal makin memperparah ketidakstabilan di Timur Tengah.
Dalam jumpa pers di Irbil, ibu kota KRG, 14 September lalu, Utusan Presiden Amerika untuk Koalisi Global Memerangi ISIS Brett McGurk mengungkapkan 70 negara anggota koalisianti-ISIS sudah menyatakan kepada Amerika, mereka tidak mendukung refenrendum Kurdistan. "Rencana ini tidak bisa kami sokong. Jalur itu sangat berisiko," katanya.
Sehari kemudian, Amerika menegaskan lagi sikapnya. Melalui keterangan tertulis, Gedung Putih menekankan referendum bisa merusak upaya buat mengalahkan ISIS. "Amerika tidak mendukung rencana KRG menggelar referendum."
Reaksi atas rencana referendum Kurdistan ini janggal. Belum pernah dalam sejarah begitu banyak negara Barat menolak sebuah referendum bersifat demokratis.
Tapi itu tidak menghalangi kemauan para pemimpin Kurdi. Antusiasme orang Kurdi di perantauan juga melonjak. Pawai besar mendukung rencana referendum digelar warga Kurdi di beragam kota, termasuk Oslo (Norwegia), Jenewa (Swiss), dan Cologne (Jerman).
Dalam seluruh parade mendukung referendum tersebut ada bendera Israel berkibar di tengah begitu banyak bendera Kurdistan. Orang-orang Kurdi dan Yahudi memang pernah memiliki hubungan baik berpuluh-puluh tahun lalu. Kedua bangsa ini juga merasa senasib diburu di kawasan dan memiliki musuh bersama, yakni Arab.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sudah menyatakan dukungannya. "Israel menyokong usaha-usaha dilakukan rakyat Kurdi untuk membentuk sebuah negara," ujarnya.
Kurangnya dukungan Amerika memang tidak mengagetkan. Departemen Luar Negeri Amerika telah menyatakan mendukung persatuan Irak sejak invasi pada 2003. Sebaliknya, karena bermusuhan dengan Saddam Husain pada 1990-an, kemudian memerangi para pemberontak Irak lalu ISIS, Amerika mendukung Kurdi untuk memperoleh otonomi, tapi mencemaskan langkah selanjutnya bangsa Kurdi untuk melepaskan diri dari Irak.
Kebijakan ini tidak sejalan dengan dukungan Amerika terhadap upaya penentuan nasib sendiri di wilayah lain, seperti Sudan Selatan, Kosovo, Bosnia, dan Timor-Timur.
Persoalannya di Irak adalah Amerika merasa memiliki sebuah komitmen khusus buat memperbaiki negara Dua Sungai itu. Kalau sampai Kurdistan merdeka, berarti Washington gagal melaksanakan misinya.
Ironisnya, upaya Amerika menciptakan demokrasi di Irak dilecehkan bila mereka menolak bangsa Kurdi ingin mendirikan negara lewat cara demokratis, yakni referendum.
Sejak pemberontakan meletup di Suriah, bangsa Kurdi di negara Syam ini mengalami kemajuan. Sebelumnya, orang-orang Kurdi tidak mendapat hak-hak dasarnya, bahkan dalam sejumlah kasus tidak diakui sebagai negara. Berbicara bahasa Kurdi di kampus bisa mengalami masalah. Namun sekarang, bangsa Kurdi dengan pasukan Unit Perlindungan Rakyat berperan penting dalam usaha mengalahkan ISIS.
Seiring jadwal pelaksanaan referendum kian dekat, rakyat Kurdi tampaknya meyakini kinilah saatnya mengabaikan semua peringatan dan mengikuti kata hati mereka, seperti banyak bangsa lain lakukan untuk menggapai kemerdekaan di masa lalu.
(
Post a Comment
mohon gunakan email