Oleh: Denny Siregar
Pada saat meletus perang Suriah di tahun 2011, beranda saya penuh dengan gambar mengerikan.
Gambar-gambar itu bercerita tentang “Kekejian Bashar Assad – Presiden Suriah – terhadap rakyatnya”. Setiap ada mayat, tudingan langsung ke Bashar Assad.
Bahkan lebih gila lagi, ada foto dimana beberapa orang sedang sujud diatas gambar Bashar Assad dengan tulisan, “AllahuAkbar, kita memerangi Bashar Assad yang menganggap dirinya Tuhan..”
Gambar-gambar itu bukan saja beredar di Indonesia, tapi juga dunia. Dan seperti kita tahu, gelombang jihadis dari luar memasuki Suriah untuk “berjihad”.
Padahal pada saat itu, Bashar Assad sedang memerangi FSA – Free Syrian Army – atau kelompok pemberontak yang berafiliasi dengan kelompok teroris Internasional, Alqaedah yang ingin mengganti ideologi negaranya menjadi khilafah.
Tapi gelombang informasi ternyata tidak berpihak pada Bashar Assad..
Kenapa begitu ?
Karena gambar-gambar hoax itu ternyata kerjaan intelijen barat yang dipimpin AS dalam membentuk opini bahwa Bashar layak diperangi. Bukan itu saja, media mainstream Internasional seperti CNN, BBC dan Aljazeera pun “berjasa” membentuk wajah Bashar Assad sebagai penjahat Internasional. Sama seperti yang mereka lakukan terhadap Muammar Qaddafi & Saddam Husein.
Dari sana saya mempelajari bagaimana model pembentukan opini dibangun untuk memunculkan persepsi secara sistematis, setahap demi setahap, sehingga terbentuklah sebuah stigma.
Situasi yang mirip dialami oleh Aung San Suu Kyi.
Ia dicerca oleh dunia Internasional terhadap diamnya dia ketika pasukan Myanmar menyerbu perbatasan Rakinen yang – menurut laporan dari salah satu lembaga kemanusiaan disana, korban tewas mencapai 130 orang. Sedangkan militer Myanmar melaporkan bahwa mereka telah menewaskan 80 orang militan.
Suu Kyi sendiri menegaskan bahwa yang ia perangi adalah teroris yang baru saja menyerang dan menewaskan 12 polisi Myanmar. Ia bersikeras bahwa kelompok militan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) adalah teroris.
Sama seperti Bashar ketika berteriak bahwa FSA bukan pejuang kemerdekaan, tetapi teroris.
“Sentimen kepada Myanmar dibangun diatas gunung raksasa berita-berita palsu..” katanya kepada Deutsche Welle.
Tapi apalah daya Suu Kyi. Ia seperti berteriak di gurun pasir yang kosong, di tengah ramainya gambar hoax yang mengepung dan menuding ke arahnya. Dunia sudah membentuk persepsinya sendiri, bahwa ia adalah “penjahat Internasional”. Habis semua kebaikan yang dulu pernah dilakukannya…
Dari kesamaan peristiwa dan pola sistematisnya antara Suriah dan Rohingya, kita bisa membangun benang merah bahwa ada “sesuatu” di Myanmar. Dan sesuatu itu adalah sumber daya alam yang besar.
Sama seperti terbongkarnya kedok AS dan koalisinya yang ternyata ngotot menjatuhkan Bashar Assad karena ingin menguasai jalur pipa gas di sana. AS dan Uni Eropa bersikeras untuk memuluskan rencana jalur pipa gas Qatar-Saudi-Yordania-Suriah-Turki sehingga Eropa mendapatkan gas untuk mengurangi ketergantungan kepada Rusia.
Pola-pola yang sama dengan memainkan gambar hoax untuk membentuk opini di Irak, Libya dan Suriah, kembali dimainkan di Myanmar.
Sangat mungkin terjadi faksi-faksi garis keras akan dimasukkan ke Myanmar dan berperang atas nama agama. Setidaknya kita tahu dalam perang selalu ada yang diuntungkan, selain dari perebutan ladang minyak dan gas, ada pabrik senjata yang butuh barangnya laku.
Melihat pola yang terjadi di Suriah dan Myanmar, kita juga harus waspada pola yang sama akan dimainkan di Indonesia kelak.
Ketika Indonesia menjadi begitu penting dalam lalu lintas perdagangan dunia dan tidak bersahabat dengan satu kelompok entah barat atau timur, atau misalnya ditemukan sumber gas besar di satu wilayah, maka permainan seperti di Suriah dan Myanmar kemungkinan besar terjadi.
Seruput kopi dulu.
(Denny-Siregar/suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email