Peristiwa 11 September sudah berlalu 16 tahun yang lalu, namun buntut dari peristiwa itu belum berakhir sampai sekarang. Meski Amerika telah menggelontorkan dana miliaran dolar dengan waktu perang terlama dalam sejarah Amerika, tetap saja Amerika belum mencapai titik terang. Boro-boro dikatakan menang, Al-Qaeda dan Taliban yang menjadi sasaran utama pasca serangan 11 September, kini malah menjadi lebih kuat dibanding 11 tahun yang lalu.
Amerika sejatinya sudah mengeluarkan berbagai “jurus” dalam perang “melawan terorisme” di Afghanistan. Berbagai strategi sudah dicoba di 3 era presiden; Bush, Obama, Trump. Dan semua strategi Amerika itu gagal.
Indikasinya sederhana, Afghanistan belum terbebas dari Taliban bahkan Taliban sekarang lebih kuat dan matang dibanding sejak pertama kali Amerika datang menyerbu. Lalu apa hasil dari 16 tahun perang tersebut (jika Taliban malah makin kuat?)
Berikut ini beberapa strategi yang pernah dilakukan Amerika di Afghanstan dan berhasil diatasi oleh Talban.
Pengiriman Pasukan Dalam Jumlah Besar
Amerika Serikat, kekuatan militer terbesar yang pernah dikenal dunia, telah menduduki Afghanistan selama 16 tahun, hampir empat kali durasi Perang Dunia Kedua. Dua kali lebih lama dari yang ada di Vietnam, dan pada satu waktu pernah lebih dari 100.000 tentara AS personilnya tersebar dari Kabul ke Kandahar.
Amerika Serikat, kekuatan militer terbesar yang pernah dikenal dunia, telah menduduki Afghanistan selama 16 tahun, hampir empat kali durasi Perang Dunia Kedua. Dua kali lebih lama dari yang ada di Vietnam, dan pada satu waktu pernah lebih dari 100.000 tentara AS personilnya tersebar dari Kabul ke Kandahar.
Setahun pasca serangan, tahun 2002, ada 9.700 tentara AS di Afghanistan. Jumlah itu membengkak menjadi 20.000 pada 2003. Bahkan pada tahun 2006, NATO, yang bertanggung jawab atas keamanan di seluruh Afghanistan, mengirimkan pasukan ke jantung Taliban di selatan negara tersebut. AS meningkatkan jumlah pasukannya di negara ini menjadi 30.000.
Dan apa yang dikatakan kepala pemimpinn militer mereka? Pada musim gugur 2008, Kepala Staf Gabungan Mike Mullen mengakui, “Saya tidak yakin kita menang.”
Amerika tidak mengambil pelajaran dari strategi Bush tersebut. Presiden Barack Obama, yang menjabat presiden AS sejak 2009, ternyata juga mengikuti langkah pendahulunya. Obama dengan cepat mengirim tambahan personil sebanyak lebih dari 21.000. Setelah sebuah tinjauan kebijakan yang cukup lama, Obama memerintahkan pengiriman tambahan pasukan, hingga menjadikan jumlah pasukan ke tingkat tertinggi 100.000 pada bulan Agustus 2010.
Pengiriman jumlah personil militer yang banyak ke Afghanistan ternyata tak sebanding dengan hasil yang dicapai. Sebaliknya, reaksi keras dari dalam negeri, terutama keluarga pasukan yang dikirim semakin besar. Amerika akhirnya memulangkan beberapa pasukannya hingga berjumlah 8.400 yang tetap tinggal.
Sayangnya presiden terbaru Amerika juga melirik strategi lama ini, meski awalnya menolak dengan tegas. Trump akhirnya berencana mengirim sekitar 4.000 pasukan ke Afghanistan, namun kebijakan itu disanggah oleh Jack Keane.
Jenderal perang AS itu menyarankan agar AS mengirim 20.000 tentara lagi jika mereka ingin memenangkan perang. Dia yakin bahwa pengiriman 4.000 pasukan yang direncanakan semula sama sekali tidak mengubah jalannya pertempuran di Afghanistan.
Tidak hanya Amerika yang pusing dengan strategi pengiriman pasukan. Rusia yang dikenal sebagai rival Amerika bahkan mengecam strategi Trump tersebut sebagai “pendekatan buntu.”
“Penekanan utama pada strategi baru yang diumumkan oleh Washington, dilakukan dengan penyelesaian melalui penggunaan kekuatan,” Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan pada sebuah konferensi pers pada bulan Agustus. “Kami percaya bahwa ini adalah pendekatan buntu.”
Jadi secara garis besar dapat disimpulkan bahwa, strategi pengiriman tetara dalam jumlah besar ke Afghanistan sama sekali tidak efektif, bahkan berujung pada kegagalan.
Pembentukan Pemerintahan Boneka
Strategi lainnya yang digunakan Amerika adalah pembentukan negara boneka. Pemerintahan yang dapat mereka kontrol dan menyetujui semua strategi yang Amerika inginkan. Namun sayang, strategi ini juga gagal, mengingat pemerintahan bentukan Amerika tersebut sangat rapuh, lemah administrasi dan juga korup. Pemerinathan Kabul pernah menempati peringkat kedua negara terkorup pasca Taliban berhasil ditumbangkan. Aliran dana yang besar dari NGO dan bantuan luar negeri mengalir deras ke Kabul pasca hengkangnya Taliban. Namun sayang, uang itu tidak banyak mengubah wajah Afghanistan karena kasus korupsi.
Pelatihan Militer dan Green on Blue
Selain mengirim pasukan dalam jumlah banyak, strategi Amerika lainnya adalah melakukan pelatihan militer ke tentara Afghanistan. Tujuannya agar militer Afghanistan terupgrade kemampuannya dan terampil dalam penggunaan senjata-senjata baru dari Amerika.
Namun, rupanya Taliban tak kalah akal. Taliban berulang kali berhasil menyusupkan anggotanya dalam berbagai macam pelatihan militer yang diadakan oleh pemerintahan Kabul. Tujuannya untuk melakukan penyerangan dari dalam dan merontokkan moralitas musuh.
Tercatat pada Juni 2017, menurut longwarjournal telah terjadi empat serangan sejak awal tahun. Serangan terakhir pada 17 Juni, berhasil melukai tujuh tentara AS.
Namun, jumlah serangan Green on Blue sebenarnya mungkin lebih banyak mengingat tidak semua informasi serangan dipublikasikan ke luar.
Pada tahun 2012 sebanyak 44 serangan terjadi, dan hanya dua serangan di tahun 2016.
Operasi Pesawat Tanpa Awak
Operasi drone banyak dilakukan di daerah kesukuan perbatasan antara Taliban dan Pakistan. Di sanalah area aman dimana Taliban dan beberapa kelompok pejuang bisa meregenerasi dan kembali menyusun kekuatan.
Berkali-kali serangan drone mampu membunuh pemimpin Taliban. Bahkan amir Taliban sebelumnya, Mullah Akhtar MAnsour, juga tewas terkena serangan drone.
Namun apakah seragan drone yang menyasar para pemegang kebijakan dan pemimpin Taliban ini mampu memperlambat laju pergerakan Taliban? Faktanya tidak.
Meski berulang kali serangan drone menyasar para pemimpin Taliban dan Al-Qaeda, kedua jaringan kelompok ini mampu beregenerasi dengan baik. Setelah Mullah Akhtar Mansour terbunuh, Taliban bisa mencari penggantinya, Haibatullah Akhnazadah, dan kemampuan Taliban tidak menurun.
Di sisi lain, serangan Drone menjadi momok tersendiri bagi rakyat sipil di Afghanistan. Pasalnya, serangan Drone kerap menyasar rakyat sipil yang tidak berdosa.
Pemboman Membabi Buta dan Masif
Ketika Obama memasuki gedung putih, ia berjanji untuk mengakhiri perang yang dikobarkan George W Bush. Namun faktanya Obama meninggalkan kantor setelah mengobarkan peperangan paling lama dibandingkan dengan presiden lain dalam sejarah AS.
Pada era Obama, Amerika menjatuhkan 26.171 bom di tahun 2016 saja, setara tiga bom setiap jam, 72 kali dalam sehari.
Begitu juga dengan Trump. Baru seumur jagung, Trump sudah menghajar Afghanistan dengan “Ibu dari semua jeis Bom.” Bom pada bulan April 2017 tersebut merupakan bom terbesar dalam sejarah militer. Sebuah laporan juga mengemukakan bahwa AS telah melepaskan sekitar 250.000 peluru amunisi untuk setiap pemberontak yang terbunuh di Afghanistan dan Irak.
Kesimpulannya, seluruh metode yang pernah digunakan oleh Amerika di Afghanistan menemui jalan buntu atau minimal tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Obama mengakuinya sendiri pada pidato terakhirnya sebagai komandan tertinggi angkatan perang AS di Markas Angkatan MAcDill di Forida pada Rabu (7/12).
“Saya tidak ingin membual dan memberi gambaran yang baik pada Anda. Situasi di Afghanistan masih sulit. Perang telah menjadi bagian dari kehidupan di Afghanistan selama lebih dari 30 tahun. AS tidak bisa menghilangkan Taliban atau (memenangkan) peperangan di negara itu.”
Dus, jika semua strategi Amerika yang sudah diujicobakan di Afgahnistan ternyata gagal, lalu bagaimana Amerika bisa mengakhiri perang ini? Jangan-jangan perang ini memang tidak bisa dihentikan…
Wallahu a’lam…
(Seraa-Media/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email