AS menjatuhkan 26.171 bom di tahun 2016, setara tiga bom setiap jam, 72 kali dalam sehari. Berani menebak bagaimana Donald Trump melanjutkan kebijakan ini?
Kebanyakan orang Amerika mungkin akan terkejut ketika mereka menyadari bahwa presiden yang telah dicitrakan oleh cendekiawan Washington sebagai “reluctant warrior” (tentara yang tidak suka kekerasan) ternyata adalah orang yang ganas. Hanya perjanjian nuklir Iran dan pembukaan hubungan diplomasi dengan Kuba saja yang menunjukkan kesuksesan Presiden Obama dalam menggunakan diplomasi dibandingkan permusuhan.
Ketika Obama memasuki gedung putih, ia berjanji untuk mengakhiri perang yang dikobarkan George W Bush. Namun faktanya Obama meninggalkan kantor setelah mengobarkan peperangan paling lama dibandingkan dengan presiden lain dalam sejarah AS. Ia juga merupakan satu-satunya presiden yang menjabat selama dua periode dengan kondisi negara dalam peperangan.
Presiden Obama memang mengurangi jumlah tentara AS yang bertarung di Afghanistan dan Irak, namun ia memperlebar perang udara dan penggunaan special operation forces (pasukan khusus) di seluruh dunia secara dramatis.
Di tahun 2016, tentara khuus AS dapat ditemukan di 70% negara dunia (138 negara). Sebuah lonjakan fantastis dengan kenaikan 130% dari masa pemerintahan Bush.
Konsulat Hubungan Luar Negeri AS, Micah Zenko, menambahkan data departemen pertahanan mengenai serangan udara yang mengejutkan. Di tahun 2016 saja, pemerintahan Obama menjatuhkan setidaknya 26.171 bom.
Hal itu berarti bahwa setiap hari di tahun lalu, militer AS membombardir kombatan dan sipil di luar negeri dengan 72 bom; sama dengan tiga bom setiap jam, selama 24 jam dalam sehari.
Meski kebanyakan serangan udara ini terjadi di Suriah dan Irak, bom Amerika juga menghujani orang-orang di Afghanistan, Libya, Yaman, Somalia dan Pakistan; Tujuh negara dengan mayoritas penduduknya muslim.
Salah satu teknik bom yang dijuarai oleh Presiden Obama adalah serangan drone. Sebagai “kepala prajurit drone”, ia menyebarkan penggunaan drone di luar zona perang Afghanistan dan Irak, terutama ke Pakistan dan Yaman.
Obama telah melakukan serangan drone 10 kali lipat lebih banyak dibanding era George W Bush, dan secara otomatis menandai seluruh laki-laki dalam umur militer di area tersebut sebagai kombatan.
Hal tersadis yang menjadikan setiap laki-laki sebagai sasaran perburuan dan pembunuhan jarak jauh menggunakan remote control.
Presiden Obama telah mengklaim bahwa ekspedisi militer luar negerinya adalah legal di bawah otorisasi tahun 2001 dan 2003 mengenai penggunaan kekuatan militer yang diturunkan oleh Kongres untuk memburu Al-Qaeda. Namun perang saat ini hampir tidak memiliki hubungan dengan mereka yang menyerang AS pada kejadian 11 September 2001.
Para ahli hukum era pemerintahan Obama mencarikan alasan legalitas intervensi mereka, terutama pembunuhan menggunakan drone di luar hukum tanpa pembatasan geografi. Dan sekarang para arsitek hukum tersebut akan berpindah ke tangan plin-plan Donald Trump.
Apa yang ingin ditunjukkan oleh pemerintah dengan peperangan selama 8 tahun di berbagai medan? Terorisme telah menyebar, tidak ada perang yang telah “dimenangkan”, dan Timur Tengah dipenuhi dengan lebih banyak kekacauan dan perpecahan dibandingkan dengan saat ketika kandidat Barack Obama mendeklarasikan penentangannya terhadap invasi Irak.
Angka Kematian Akibat Drone tak Transparan
Ketika tentara darat, udara dan tentara khusus AS telah menyelamatkan nyawa orang Amerika, tak terhitung nyawa orang asing yang hilang. Kita tidak tahu berapa banyak orang sipil yang terbunuh dalam pemboman masif di Irak dan Suriah, ketika militer AS seringkali (dengan alasan) mengejar ISIS di tengah-tengah perkampungan.
Kita hanya mendengar secara sporadis kabar mengenai pembunuhan orang sipil di Afghanistan, seperti pemboman tragis rumah sakit Doctors Without Borders di Kunduz, yang mengakibatkan 42 meninggal dan 37 terluka.
Ditekan untuk menerbitkan informasi resmi mengenai kematian sipil dalam serangan drone, di July 2016, pemerintah AS membuat klaim absurd bahwa mereka telah membunuh, paling banyak, 116 warga sipil di Pakistan, Yaman, Somalia dan Libya dalam rentang waktu 2009 hingga 2015.
Jurnalis dan advokat HAM mengatakan bahwa angka tersebut sangat tidak masuk akal; Sangat rendah dan tidak dapat diverifikasi, apalagi dengan tidak adanya nama, tanggal, lokasi dan detail lain yang dirilis.
Biro Jurnalisme investigasi yang berbasis di London, yang telah melacak serangan drone selama bertahun-tahun, mengatakan bahwa jumlah aslinya enam kali lipat daripada yang disebutkan.
Serangan drone hanya sebagian kecil dari perlengkapan militer yang diturunkan selama delapan tahun lalu Jumlah warga sipil yang dibunuh oleh pemerintahan Obama bisa mencapai angka ribuan. Namun kita tidak bisa tahu dengan pasti karena pemerintah, dan media mainstream, lebih banyak diam mengenai korban sipil dari intervensi gagal pemerintah.
Di Mei 2013, saya menginterupsi Presiden Obama pada penyampaian kebijakan luar negerinya di National Defenes University. Saya baru saja kembali dari mengunjungi keluarga dari orang tidak bersalah yang dibunuh oleh serangan drone AS di Yaman dan Pakistan, termasuk anak-anak.
Anak-anak tersebut melihat nenek mereka meledak tak bersisa ketika ia sedang berada di ladang memetik Okra.
Mewakili keluarga-keluarga yang kehilangan, mereka tidak pernah diakui oleh pemerintahan AS, Saya meminta Presiden Obama meminta maaf kepada mereka. Presiden Obama berkata di saat saya diseret keluar ruangan, “Suara wanita itu patut diperhatikan.”
Sayang, itu tak pernah terjadi!
Sumber:
Ditulis oleh Medea Benjamin di https://www.theguardian.com/commentisfree/2017/jan/09/america-dropped-26171-bombs-2016-obama-legacy
(The-Guardian/Seraa-Media/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email