Pemerintahan Presiden Donald Trump berjanji untuk berbuat lebih banyak terhadap the Islanic State (IS), Al-Qaidah, dan Iran dibandingkan presiden pendahulunya. Yaman dipandang menjadi tempat yang sempurna untuk memulainya. Situasi berikut memberi alasan bagi Amerika Serikat (AS): pasukan yang didukung Iran menyerang kapal AS dari pantai Yaman, Al-Qaidah memperluas basisnya di Yaman, dan IS membentuk pijakan kecil di sana.
AS sudah memiliki mitra di lapangan melalui koalisi yang dipimpin Saudi, yang saat ini condong ke salah satu pihak yang berperang di Yaman. Saudi telah terjebak dalam perang sipil Yaman sejak mereka mulai operasi militer langsung di sana pada Maret 2015. Mereka mendukung pemerintah Presiden Abdu Rabbuh Manshur Hadi yang tampak di ujung kekalahan ketika Al-Houthi berhasil menguasai Sana’a, ibu kota Yaman.
Pemerintahan Hadi—yang mendapat pengakuan luas secara internasional—berhadapan dengan koalisi “tidak wajar” dari pendukung mantan presiden Ali Abdullah Shalih dan gerakan pemberontak Al-Houthi yang didukung Iran, yang dikenal sebagai Al-Houthi.
Al-Houthi—yang secara resmi dikenal sebagai Ansharullah (Penolong Allah)—sukses menimbulkan gangguan. Mereka merebut kekuasaan pada bulan September 2014, yang memicu perang hingga saat ini. Gerakan Al-Houthi sempat “menyamar” sebagai pembela Revolusi 2011 dalam gelombang Arab Spring yang menggulingkan Ali Abdullah Shalih sehingga membuat aliansi Al-Houthi-Shalih rentan.
Kemudian Saudi secara tiba-tiba melancarkan operasi militer terhadap Al-Houthi untuk mencegah mereka dari mengambil alih Aden, kota pelabuhan selatan Yaman. Saudi bertujuan untuk mengembalikan pemerintahan Presiden Abdu Rabbuh Manshur Hadi, yang melarikan diri Yaman sebelum serangan Al-Houthi.
Tujuan Arab Saudi di Yaman tampak selaras dan erat kaitannya dengan kepentingan AS. Di samping berusaha untuk mengembalikan pemerintah Hadi, koalisi Saudi juga mengklaim akan memerangi AQAP. Saudi pun baru-baru ini meminta dukungan tambahan dari AS, termasuk amunisi senjata jarak jauh yang presisi untuk perang di Yaman. Adapun PBB melakukan negosiasi untuk resolusi politik. Oleh karena itu, pandangan sekilas akan merekomendasikan AS untuk mendukung koalisi Saudi dan PBB dalam upaya mereka.
Pemerintahan Trump pun mempertimbangkan perluasan keterlibatan Amerika Serikat (AS) di Yaman secara serius. Kecenderungannya kepada ide untuk membantu Arab Saudi memenangkan dua tahun pertempuran proksi melawan Iran. Dengan mendukung Saudi, akan memperbesar peluang Saudi untuk lebih membantu AS di Suriah. Sudah maklum bahwa Saudi berusaha melucuti proksi Iran bergaya Hizbullah yang berkembang di Yaman; sepotong wilayah stratejik di ujung selatan Laut Merah.
Pandangan ini tampak masih eksis. Hanya saja, pandangan ini dikritik oleh Katherine Zimmerman, peneliti di American Enterprise Institute (AEI); lembaga think tank terkemuka di AS. Menurutnya, adalah ide buruk bersikap atas dasar hiperbola Saudi tentang faksi yang sedang diperanginya di Yaman (Al-Houthi). Memberi lebih peluru dan bom ke Saudi akan membuat hal-hal buruk—bukan lebih baik—di Yaman, yang kini menghadapi krisis kemanusiaan seperti Suriah. Selain itu, kemungkinan bisa memicu faksi-faksi pemberontak Yaman lebih jauh di bawah kendali Iran. Dari perspektif kepentingan AS, semakin menguatnya pengaruh Iran memungkinkan Saudi untuk lebih mengabaikan ancaman dari ISIS dan Al-Qaidah di Jazirah Arab (AQAP) di Yaman.
Menurut Zimmerman, ada banyak alasan bagus mengapa AS perlu mengurangi tumpuan Iran di Yaman. Iran terus bangkit di wilayah tersebut, dengan kapasitas yang jauh melampaui kekuatan mitra Sunni AS. Para pemberontak yang didukung Iran bahkan berani menyerang kapal-kapal Angkatan Laut AS di Laut Merah dari pantai Yaman, serta mengganggu jalur pelayaran Laut Merah yang vital.
Al-Houthi, bagaimanapun, tidak cukup kuat untuk menjadi “Hizbullah Yaman” yang sekelas dengan yang di Lebanon. Mereka mengandalkan Shalih untuk mengontrol wilayah di luar basis kuat mereka di utara. Al-Houthi juga tidak mengontrol Shalih, yang memiliki jaringan dengan patronase luas dari loyalis yang memegang posisi kunci kekuasaan. Membelah Al- Houthi dari Shalih dipandang mungkin, dan akan secara dramatis mengurangi kekuatan mereka. Adapun pengaruh Iran di Yaman tak diragukan lagi tumbuh sebagai akibat dari kudeta Al-Houthi. Teheran pun mungkin ada di balik perilaku agresif Al-Houthi di Laut Merah. Namun, dalam pengamatan Zimmerman, pengaruh Iran sebenarnya tidak sekuat yang diklaim Saudi.
Sementara, pengaruh jihadis berhaluan Sunni terus berkembang. AQAP telah memperluas dukungan di tengah-tengah penduduk Yaman dengan membantu milisi lokal dalam memerangi pasukan Al-Houthi dan Shalih. AQAP bahkan sempat mengontrol kembali sejumlah wilayah, meski ini kemudian menarik mundur kekuatanya dari area yang baru-baru ini “dibersihkan” oleh koalisi Saudi. Adapun IS mulai menempatkan diri di Yaman pada tahun 2015 dan berusaha untuk mempertahankan pijakannya.
Dalam kacamata Zimmerman, kebijakan Saudi belum mendorong masalah menjadi lebih baik. Selama Saudi lebih fokus pada usaha dalam memerangi proksi Iran, Al-Qaidah dan ISIS berpeluang untuk memiliki basis yang kuat untuk perekrutan. Alasannya, mereka telah menampilkan diri sebagai pelindung dari Sunni terhadap Iran dan faksi-faksi Syiah lainnya di Tengah Timur.
Metode perang yang dipakai Saudi juga dipandang sebagai bagian dari masalah. Salah satu serangan udara Saudi telah menghancurkan kota dan infrastruktur, tetapi tidak otomatis dapat membuat orang-orang Yaman yang berseberangan menjadi tunduk. Kini koalisi Saudi ingin memulai serangan ofensif untuk mendapatkan kembali kontrol atas garis pantai Yaman di Laut Merah. Tujuannya untuk mengisolasi faksi Al-Houthi-Shalih dari dukungan eksternal.
Hal ini juga akan secara efektif mengepung hampir 80 persen dari 24 juta orang penduduk Yaman, yang sudah menghadapi kelaparan massal dan bencana kemanusiaan. Daripada memberi Saudi beberapa pengiriman militer profil tinggi, Zimmerman merekomendasikan AS untuk menata ulang strategi koalisi yang melibatkan Al-Houthi secara langsung. Menurutnya, keluhan Al-Houthi perlu didengarkan AS dan dukungan bagi peran Al-Houthi dalam pemerintah Yaman pada masa yang akan datang akan menjauhkan faksi-faksi pemberontak dari Iran.
Rekomendasi lain dari Zimmerman adalah agar AS mengajak koalisi Saudi kembali fokus untuk mencabut AQAP dari potensi sumberdayanya serta membatasi jumlah korban kemanusiaan yang bisa menguatkan narasi AQAP. Intinya, pilihan cerdas bagi AS adalah untuk mengecilkan masalah di Yaman, dan bukan membuatnya jadi lebih buruk.
Bagaimana Rekomendasi bagi Langkah-langkah AS di Yaman?
Katherine Zimmerman merupakan peniliti senior di American Enterprise Institute sekaligus manajer riset untuk Proyek Critical Threats. Sebagai analis senior, ia memimpin proyek yang memfokuskan kajiannya pada bagaimana cara kerja jaringan jihadis bekerja secara global. Secara lebih spesifik, fokusnya terkait afiliasi Al-Qaidah di Yaman, Somalia, dan Afrika Utara dan Barat.
Tidak mengherankan jika masukan Zimmerman cukup didengar oleh para pengambil kebijakan di AS. Ia pernah diminta memberikan testimoni di hadapan Kongres AS terkait potensi ancaman bagi keamanan nasional AS dari Al-Qaidah dan jaringannya. Ia juga pernah memberikan presentasi kepada anggota komunitas pertahanan AS. Analisis pun banyak dipublikasikan di berbagai media terkenuka, seperti CNN.com, The Huffington Post, The Wall Street Journal, dan The Washington Post. Oleh sebab itu, rekomendasinya yang berjudul “Bagaimana Semestinya AS terlibat di Yaman” menarik untuk disimak.
Rekomendasi kebijakan yang diusulkan oleh Zimmerman bisa dirinci sebagai berikut:
1. Memimpin upaya untuk menengahi resolusi politik bagi perang sipil dan resolusi untuk konflik lokal yang—jika tidak ditengahi—berpotensi meruntuhkan penyelesaian tingkat nasional dan menjadi bahan bakar
- Mendukung pembentukan forum-forum agar mengudara dan mulai menangani keluhan lokal.
- Mendukung resolusi perang sipil yang melindungi peran Al-Houthi dalam pemerintah Yaman masa depan dan yang menjanjikan untuk mulai menangani keluhan rakyat terhadap pemerintah pusat.
- Menghapus berbagai persyaratan di bawah Resolusi DKK PBB 2216 sebagai prasyarat bagi pembicaraan damai.
2. Mendukung dan mengerucutkan operasi koalisi yang dipimpin Saudi di Yaman untuk menekan faksi Al-Houthi-Saleh secara militer, mencegah sumberdaya mengalir ke AQAP, dan membatasi dampak-dampak dari perang terhadap
- Mengorientasikan ulang arah koalisi Saudi untuk meraih efek stratejik melalui operasi militer terbatas di wilayah tempur yang menimbulkan kerugian bagi
- Mensyaratkan bantuan bagi serangan udara yang terbatas kepada sasaran militer tertentu dan pada kepatuhan terhadap pedoman, yang akan mengatur dengan lebih baik penerima sumberdaya militer dan keuangan.
3. Membendung ekspansi Iran di Yaman dan meningkatkan tekanan militer terhadap faksi Al-Houthi-Saleh.
- Mencegat bantuan Iran sampai kepada faksi Al-Houthi-Saleh yang melewati rute maritim maupun rute darat dari Oman, termasuk pengapalan senjata kelas menengah dan berat yang melewati Teluk Aden.
4. Memperluas operasi terhadap AQAP dengan berfokus pada kerentanan kritis kelompok tersebut, yaitu hubungan dengan penduduk Sunni.
- Mempertahankan atau meningkatkan dukungan bagi pasukan Emirat yang memerangi AQAP.
- Membentuk atau mendukung sejumlah partner dalam membangun garis dukungan alternatif bagi milisi lokal agar memutuskan hubungan dengan AQAP.
- Mendukung pemerintah daerah dan upaya-upaya pemerintahan untuk mengamankan populasi dari pengaruh AQAP.
Sumber:
1. https://www.criticalthreats.org/analysis/how-us-should-re-engage-in-yemen
2. https://www.criticalthreats.org/analysis/warning-to-the-trump-administration-be-careful-about-yemen
(Seraa-Media/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email