Pesan Rahbar

Home » » Imam Syafi’i; Persatuan Umat Islam dan Prospek Masa Depan

Imam Syafi’i; Persatuan Umat Islam dan Prospek Masa Depan

Written By Unknown on Friday, 20 October 2017 | 13:06:00


Oleh: Sayid Muhammad Husaini Syahrudi

Urgensi dan pentingnya pembahasan “Persatuan Umat Islam” senantiasa menjadi keprihatinan para pemimpin dan pembaharu agama. Para perintis dan pelopor pendekatan dan persatuan Islam guna terwujudnya “Ummat Yang Islami”, telah menawarkan beragam solusi-solusi. Kendati telah banyak diusahakan, namun hingga kini cita-cita mulia dan tinggi ini masih saja bergulat pada tataran teoritis.

Tidak diragukan lagi bahwa Muhammad bin Idris Syafi’i adalah salah satu tokoh dan ulama paling populer di masanya, sebagian dari pengikut dan pendukungnya menganggap beliau sebagai tokoh pembaharu Islam pada abad kedua Islam. Aktifitas-aktifitas Imam Syafi’i yang dilakukan pada masanya telah menciptakan persatuan dan keharmonisan di tengah-tengah masyarakat Islam dan beranjak dari kondisi dan situasi yang ada sekarang, dunia Islam sangat membutuhkan pemikiran-pemikiran orisinal Imam Syafi’i.

Ajaran-ajaran maktab Syafi’i yang hampir semuanya bersumber dari adanya pengaruh Maktab Ahlulbait as pada diri pribadi beliau dan juga loyalitas Imam Syafi’i terhadap keluarga suci Nabi saw, telah menyebabkan mazhab ini untuk masa sekarang juga bisa dikategorikan sebagai sebuah jembatan yang menghubungkan antara Ahlusunnah dan Syiah Imamiyah.

Di era modern ini juga Imam Khomeini yang mana telah mampu mewujudkan dan merealisasikan ide pemerintahan Islam di salah satu sudut wilayah teritorial Islam, senantiasa punya harapan membentuk umat besar Islam dalam rangka mewujudkan pemerintahan dunia Islam. Dan paska beliau, juga pemimpin tertinggi Revolusi Islam Iran, Imam Ali Khamenei, senantiasa menyerukan persatuan Islam.

Situasi dunia Islam kini telah menempatkan kita dalam sebuah kondisi historis dan moment yang menawarkan dua jalan, yaitu meniti jalan untuk mempersiapkan terbentuknya peradaban Islam dan atau terjerumus kembali kepada perpecahan, pemilah-milahan dan pelemahan. Rasa sensitif inilah yang membuat kita –sesuai batas kemampuan dan dengan pertolongan Allah Swt– berusaha memperkuat ajaran-ajaran agama yang orisinal dan kita bergerak menuju umat Islam yang satu, sebagaimana yang disebutkan al-Qur’an dalam surah al-Mukminun ayat 52. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya ini adalah adalah umatmu, umat yang satu dan Aku adalah Tuhan-mu, maka bertakwalah kepada-Ku.“


Prospek Masa Depan Umat Islam

Islam senantiasa menyebut-nyebut dan menyinggung masa depan kehidupan dunia dan akhirat sebagaimana pesannya terhadap umat manusia kiranya hendak ia menentukan nasib apa yang akan terjadi padanya dan dalam seluruh urusan-urusan kehidupan, hendaknya memilih pendekatan yang sifatnya dinamis. Namun kebalikan dari kekayaan agama semacam ini dan ajaran-ajaran luhur yang menyeru umat Islam untuk merenungi masa lalu dan mencari solusi untuk kedepannya, harus diakui bahwa kaum Muslimin hingga saat ini masih belum memberikan sinyal yang jelas tentang prospek dan masa depan yang bisa diterima dalam format umat yang satu sebagaimana yang dinyatakan al-Qur’an berikut ini. Dalam Surah al-Anbiyâ ayat 92, Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya ini adalah umatmu, umat yang satu dan Aku adalah Tuhan-mu, maka sembahlah Aku.”

Cukup jelas bahwa salah satu langkah terpenting yang mesti dibuat untuk merealisasikan masa depan dunia Islam, adalah menyatukan suara dan meciptakan persatuan di tengah-tengah umat Islam. Sebagaimana yang diketahui, tanpa menyatukan suara maka berdasarkan apa yang diajarkan agama Islam, gambaran prospek masa depan untuk umat Islam adalah sesuatu yang sangat sulit diraih dan bahkan mustahil.


Karakteristik-karakteristik Persatuan Islam

Dalam Islam, persatuan kalau hanya sekedar persatuan belaka maka itu tidak akan dianggap dan bahkan tidak akan dilirik. Persatuan yang dalam kacamata Islam punya kedudukan mulia adalah persatuan yang menjadikan kebenaran dan prinsip-prinsip luhur kemanusiaan sebagai titik sentral serta berdasarkan kehormatan eksistensial. Persatuan dan solidaritas murni materi, sekuat apapun, tidak akan dapat menjadi dasar dari sebuah kehidupan bersama dengan tujuan-tujuan dan kebaikan bersama dan akhirnya, adanya perbedaan keinginan dan tuntutan, adanya kontras ide yang berujung pada perbedaan pandangan dalam mengidentifikasi kemaslahatan kehidupan, nantinya akan melepas ikatan yang ada pada komunitas itu dan menghilangkan persatuan sosial dan keharmonian yang ada ditengah-tengah masyarakat.

Persatuan Islam adalah menggunakan piranti mewujudkan umat yang satu sebagai cita-cita akhir untuk seluruh masyarakat dan dunia Islam. Jadi secara konseptual persatuan Islam, dari sisi metode dan pirantinya, mencakup semua pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, penggunaan metode-metode yang satu, penggunakan fasilitas umum dan pengambilan langkah-langkah yang hasil dan konsekuensinya adalah terealisasinya kesatuan umat Islam.

Persatuan dan keharmonian adalah hasil dari keterjagaan dan kebangkitan. Kelalaian menjadi penyebab terpecah-belah dan kebingungan. Masyarakat yang mampu mencegah dari tertidur lelap dan mengalahkan kelalaian sejarahnya, akan lebih cenderung kepada persatuan dan mereka tidak akan berpisah. Dalam al-Qur’an surah Âli-‘Imrân ayat 103, Allah Swt berfirman, “Dan berpegang teguhlah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkanmu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.“

Dengan demikian, harus diakui bahwa keharmonisan dan rasa empati adalah merupakan nikmat besar yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin oleh umat Islam.

Sangat jelas bahwa hanya kelompok-kelompok dan mazhab-mazhab Islam yang berpegang teguh dan meyakini Islam serta prinsip-prinsip akidah Islam yang bisa diajak kompromi guna mewujudkan persatuan, sementara kelompok-kelompok seperti Gulat dan Nawashib serta mereka yang hatinya bersama musuh-musuh Islam tidak masuk dalam komponen mazhab-mazhab Islam dan mereka sama sekali tidak akan pernah sejalan dan searah dengan mazhab-mazhab Islam. Mereka hanya ingin merusak citra Islam dengan menciptakan perpecahan dan pertikaian di tengah-tengah umat Islam serta senantiasa bekerja untuk kepentingan musuh-musuh yang justru hanya akan menghancurkan kaum Muslimin. Al-Qur’an dalam surah al-Anfâl ayat 46 menyatakan, “….dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu, dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.“

Begitu pula mereka yang menerima wilayat dan kepemimpinan kaum Kafir dan dengan perintahnya, memerangi kaum Muslimin. Allah Swt berfirman dalam surah Âli-‘Imrân ayat 28 yang artinya, “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri-Nya (supaya kamu tidak menentang-Nya). Dan hanya kepada Allah-lah kembali(mu).“

Ahli iman jangan sekali-kali meninggalkan orang-orang Mukmin dan menjadikan orang-orang kafir sebagai teman dan pemimpin, dan barangsiapa yang melakukan hal ini maka terputuslah hubungan dia dengan Allah Swt.

Dan juga mereka yang bersahabat dan berteman dengan musuh-musuh Islam yang mana representasi jelas akan hal ini adalah menjalin hubungan dan persahabatan dengan Zionis Israel. Dalam al-Qur’an surah al-Mujâdilah ayat 22, Allah Swt berfirman, “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat mencintai orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu adalah ayah, anak, saudara, atau pun keluarga mereka.“

Oleh karena itu, dunia Islam khususnya Syiah dan Ahlusunnah dikarenakan mereka punya titik-titik persamaan yang begitu banyak, baik dalam hubungan budaya, politik, sosial, ekonomi, politik, dan ikatan-ikatan sosial dan politik yang dekat satu sama lain, bisa mengambil langkah strategis menuju persatuan dan kesatuan.


Tantangan Yang Dihadapi dari Terwujudnya Persatuan Islam

Yang dimaksud Tantangan adalah problematika-problematika besar yang muncul di tengah-tengah sebuah pergerakan dan menghadapi serta menyelesaikannya, akan menimbulkan berbagai kesulitan-kesulitan. Studi tentang tantangan-tantangan ini sehingga nantinya muncul gambaran tentang prospek masa depan yang baik, adalah suatu langkah yang cukup urgen dan dengan menawarkan solusi yang pas untuknya akan dapat membantu dalam merealisasikan persatuan Islam. Karenanya, disini akan diisyaratkan sebagian dari tantangan dan rintangan yang terbilang penting itu.

Dalam sebuah penyimpulan, tantangan-tantangan terpenting yang akan dihadapi kedepan yang dapat mewujudkan perpecahan dan terbelah-belahnya masyarakat Islam dan ujungnya, mengantarkan kaum Muslimin menuju pertentangan dan pertikaian dalam persoalan-persoalan keagamaan dan sosial, itu dibagi menjadi dua faktor, faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal.


Faktor-faktor Internal Perpecahan di Dunia Islam

Faktor internal itu bisa disebutkan disini antara lain adalah perbedaan dan sikap fanatis mazhab, antara mazhab-mazhab tidak saling kenal, membuat dan menyebarkan tudingan-tudingan atau berita bohong dan saling mengejek dan meremehkan, sikap fanatik kesukuan dan sikap ekstrim dari kalangan bermazhab.

Hal-hal yang disebutkan diatas telah melahirkan perpecahan yang begitu banyak di tengah-tengah kaum Muslimin dari sejak masa Islam hingga sekarang. Mungkin bisa dikatakan bahwa Imam Syafi’i juga pada masanya lebih banyak dibenturkan dengan persoalan-persoalan semacam ini dan beliau telah melakukan berbagai usaha untuk menyelesaikannya, misalnya seperti perbedaan mendalam yang terjadi antara kelompok ahli ra’yi dan ahli hadits.

Munculnya kota Baghdad, Irak, sebagai pusat peradaban telah menjadi basis lahirnya berbagai maktab dan mazhab baru dan non-pribumi dalam berbagai disiplin ilmu Islam. Dalam bidang fikih, juga di Baghdad berkumpul ulama-ulama fikih dari berbagai aliran dan habitat dimana diantara mereka adalah murid-murid ternama Abu Hanifah, Malik dan ulama-ulama fikih lain, meski diantara mereka, ahli ra’yi berada di barisan terdepan dari yang lain dalam menyajikan fikih yang terkodifikasi dan bahkan para pelajar fikih dari kelompok ahli hadits juga turut menghadiri majlis-majlis kajian fikih mereka, ahli ra’yi.

Dengan munculnya Imam Syafi’i, kurang lebihnya memberi pengaruh terhadap kondisi yang ada dan situasinya seakan lebih cenderung berpihak kepada kelompok ahli hadits, dan masa-masa menetap yang demikian ringkas Imam Syafi’i di Baghdad (190-199 H), bisa dicatat sebagai masa peralihan yang cukup penting dalam sejarah fikih ahli hadits. Kesempatan ini tidak hanya menguntungkan bagi Imam Syafi’i dalam merangkai dan mengkodifikasi pemikiran-pemikirannya, tapi juga telah menciptakan kondisi yang cukup kondusif bagi sekelompok pelajar-pelajar muda dari kalangan ahli hadits di Baghdad, seperti Ahmad bin Hambal dan Ishak Rahawiyah yang dengan terinspirasi dari pengajaran-pengajaran Imam Syafi’i –dan bukan dalam rangka mengikuti Imam Syafi’i– berhasil menggolkan munculnya sebuah desain baru dalam bidang fikih ahli hadits yang kemudian fikih itu biasa disebut sebagai Fikih Ahli Hadits Muta’akhir. (Dâ’iratul Ma’ârif Buzurg-e Islâmî, jilid 9, Madkhal-e Ash-hâb-e Hadîts) .

Usaha dan kerja keras yang dilakukan Imam Syafi’i untuk sampai pada sebuah sikap yang berdasarkan pada prinsip-prinsip dan metodologi dalam berbagai kajian-kajian fikih dan juga politik, telah melatari hal bahwa tidak hanya sikap-sikap beliau bahkan prinsip-prinsip dan metode-metode untuk sampai kepada sikap-sikap itu bisa –khususnya pada masa sekarang– dijadikan sebagai sebuah teladan dan rujukan yang sudah seyogyanya menjadi bahan telaahan.

Aliran fikih beliau berada antara aliran Ahli Hadits dan Ahli Ra’yi, karena beliau telah mengkombinasi dan mengintegrasikan aliran Abu Hanifah dengan aliran Malik, yakni dari satu sisi dan pada batas-batas tertentu beliau sepakat dengan prinsip-prinsi dan dasar-dasar yang diempunya Abu Hanifah sementara disisi lain, yaitu dalam kaitannya dengan kedudukan hadits beliau sejalan dengan Imam Malik sampai-sampai dikenal dan bahkan di Irak serta Khurasan populer sebagai ahli hadits dan masyarakat Baghdad memberinya gelar “Sang Pembela Sunnah”.

Berdasarkan hal ini, maktab Syafi’i sejatinya penyeimbang antara tiga maktab yang berbeda yaitu: Maktab al-Qur’an di Mekah, Maktab Hadits di Madinah dan Maktab Ahli Ra’yi di Irak.

Beliau dengan mengadaptasikan mazhab Hanafi ke mazhab Maliki, telah sukses memproduksi sebuah metode baru yang di dalamnya hadits sangat diperhatikan dan dilirik. Imam Syafi’i tatkala menyaksikan perbedaan antara dua metode Hijaz dan Irak (Hadits dan Ra’yi), beliau mulai bergerak dan mengambil sikap atas permasalahan ini secara teliti dan memilih sebuah metode yang khas baginya. (al-Syâfi’î; Hayâtuhu wa ‘Ashruhu, Abu Zuhrah, hal. 41 dan 43; al-Syahâwî fî Târîkh al-Tasyrî’ al-Islâmî, hal. 181 dan 182).

Imam Syafi’i telah menimba ilmu pengetahuan dari sejumlah ulama-ulama dan pemikir Islam Mekah, Madinah, Yaman dan Irak. Maka dari itu, sangat mudah dan jelas bagi kita bahwa Imam Syafi’i dengan pilihannya dalam mencari guru telah berhasil mempelajari fikih mayoritas mazhab-mazhab yang tersebar pada ketika itu. Imam Syafi’i dengan inovasi dan kejeniusannya, mampu mengumpulkan fikih Mekah, fikih Madinah, fikih Syam, fikih Mesir dan fikih Irak, pada wujud dirinya lalu kemudian beliau gunakan untuk menyelesaikan berbagai persoalan dan hukum-hukum agama, serta beliau berhasil memberi solusi terhadap problema kebutaan pengetahuan antar sesama mazhab yang kerapkali menjadi pemicu perpecahan dan ikhtilaf.

Beliau melihat fikih mazhab-mazhab ini dengan kacamata kritis dan penuh kejelian dan mencoba menganalisanya serta beliau menggunakannya sebagai pembimbing dalam memahami persoalan-persoalan agama, dan beliau mempelajari fikih ulama-ulama sama sekali bukan bertujuan untuk kemudian taklid kepada mereka, melainkan dengan sendirinya setelah mempelajari fikih mazhab-mazhab ini, hendak melakukan ijtihad tapi tentunya di bawah naungan al-Qur’an, sunnah, maslahat dan demi mencegah kerusakan, dan beliau berusaha menolak atau menerima pandangan-pandangan serta ijtihad-ijtihad guru-gurunya yang dikenal sebagai para pendiri mazhab.

Beliau juga menganggap adanya ikhtilaf sebagian kelompok dengan maktab Ahlulbait as lantaran ketidaktahuan mereka. karenanya langkah pertama harus tahu dulu baru kemudian melakukan pembelaan terhadapnya.

Saat Imam Syafi’i untuk awal kali pertemuannya dengan Imam Malik yang mana ia juga sangat menentang pemerintahan Abbasiyah (Silahkan merujuk buku: Tajziyah va Tahlîl-e Zendeghanî Muhammad Ibn Idrîs Syâfi’î, hal. 33-40), pun menyaksikan kekejaman mereka terhadap keluarga Nabi saw dan dipenjaranya Imam Musa bin Ja’far as, maka dengan itu dalam dirinya muncul semangat untuk memerangi dan melawan kaki tangan-kaki tangan penguasa serta melakukan pembelaan terhadap Ahlulbait as. Dan karena Imam Malik juga merupakan salah satu murid khusus Imam Shadiq as, dan ajaran-ajaran mazhab Imam Syafi’i juga banyak bersumber dari adanya pengaruh Ahlulbait as pada diri beliau serta kecintaan beliau kepada Keluarga suci Nabi saw, yang dengan kesemua itu maka untuk saat ini mazhab fikih syafi’i dari dimensi penyusunannya dikategorikan sebagai mazhab yang paling dekat dengan mazhab Syiah Imamiyah.

Salah satu persoalan yang banyak terlihat dan kita temukan dalam karya-karya Imam Syafi’i dan sangat ditekankan oleh beliau, adalah pembuktian kelebih-utamaan Ahlulbait as dan juga keharusan mencintai mereka serta mengadakan pembelaan atas para pengikutnya dari sekelompok orang yang menganggap mencintai Ahlulbait as –karena kedunguan dan tudingan-tudingan tidak etis– itu sebagai sebuah tindak kejahatan. Masalah ini telah mendasari bahwa dari segi akidah dan keyakinan, Imam Syafi’i dikategorikan sebagai ulama Ahlusunnah yang terdekat dengan mazhab Syiah Imamiyah dan dengan kekhasan inilah, yakni kecenderungannya terhadap Ahlulbait as, membuat diri beliau sangat terpandang dan dihormati oleh kalangan Syiah selama berabad-abad. Mazhab Syafi’i dalam masalah prinsip-prinsip dan cabang-cabang agama, dianggap sebagai mazhab Ahlusunnah paling dekat dengan Syiah Imamiyah.

Di tengah propaganda besar-besaran Bani Abbasiyah untuk menghabiskan para pencinta dan pengikut Ahlulbait dan Imam Ali as, beliau (Imam Syafi’i) secara terang-terangan menunjukkan kecintaannya terhadap mereka dan menyatakan:

قَالُوا: تَرَفَّضتَ قُلتُ: كَلَّا مَا الَّرفضُ ديني وَ لا إعتِقادي لكِن تَوَلَّيتُ غَيرَ شَكٍّ خَيرَ إمَامٍ وَ خَيرَ هَادي إن كَانَ حُبُّ الوَلِيِّ رَفضاً فإنَّني أرفَضُ العِبادَ (ديوان الإمام الشافعي ، ص72)

Artinya, “Mereka berkata, “Engkau telah menjadi Rafidhah.” Aku berkata: “Sekali-kali tidak!” Rafidhah bukanlah agama dan keyakinanku. Akan tetapi aku berwala` (meyakini sebagai wali) tanpa ragu-ragu Kepada sebaik-baik imam dan sebaik-baik pemberi petunjuk. Jika kecintaanku kepada Wali itu yang disebut rafidhah, Maka aku adalah yang paling rafidhah dianatara hamba-hamba.” (Diwân al-Imâm al-Syâfi’î, hal. 72).

Dalam beberapa syairnya yang lain, beliau dengan sangat jelas mengisyaratkan masalah syafaat Ahlulbait Nabi saw dan berharap kiranya mereka sudi memberi syafaat kepada beliau (Imam Syafi’i) kelak di padang mahsyar.

Imam Syafi’i berkata:

لَئِن كانَ ذَنبِي حُبُّ آلِ محمَّدٍ*فذلِكَ ذَنبٌ لَستُ عَنهُ أتوبُ

هُمُ شُفَعائي يومَ حَشري و مَوقِفي* إذا كثرتني يوم ذاك ذنوب

(ديوان الإمام الشافعي، ص48).

Artinya, “Jika dosaku adalah karena kecintaan terhadap Ahlulbait Nabi saw, aku tidak akan bertaubat dari dosa itu. Mereka adalah yang memberi syafaat padaku di padang mahsyar, jika pada hari itu dosa-dosaku menumpuk.” (Diwân al-Imâm al-Syâfi’î, hal. 48).

Beliau di tempat lain dalam sebuah syair yang menganggap Ahlulbait as sebagai bahtera keselamatan dan mencintai mereka itu adalah tali Allah Swt, menyebutkan:

وَ لَمَّا رَأيتُ النَّاسَ قَد ذَهَبَت بِهِم**مَذَاهِبُهُم فِي أبحُرِ الغَيِّ وَ الجَهلِ

رَكِبتُ عَلَي اسمِ الله فِي سُفُنِ النَّجَا**وَ هُم آل بَيتِ المُصطفَي خَاتَمِ الرُّسُلِ

وَ أمسَكتُ حَبلَ اللهِ وَ هُوَ وَلاءوهُم**كَما قَد أُمِرنَا بالتَمسُّكِ بالحَبلِ

(ديوان الإمام الشافعي، ص278

Artinya, “Tatkala aku saksikan mazhab-mazhab dan ikhtilaf fikih telah menyeret orang-orang ke lautan kebodohan dan ketersesatan, atas nama Allah aku pun naik ke bahtera keselamatan, yaitu Ahlulbait Nabi saw dan aku memegang tali Allah, yaitu mencintai dan menjalin kasih dengan mereka, sebagaimana Allah Swt telah memerintahkan kita untuk berpegang kepada tali-Nya.” (Diwân al-Imâm al-Syâfi’î, hal. 278).

Berdasarkan apa yang disebutkan pada syair-syair Imam Syafi’i diatas, jelas bahwa beliau punya kecintaan khusus terhadap Ahlulbait Nabi saw dimana beliau mengungkapkannya dengan lantang dan tanpa ada rasa takut. Beliau dengan transparan menganggap bahwa hidayah dan kebahagiaan ada pada mengikuti Nabi saw dan keluarga beliau dan bahkan beliau sangat mengharap syafaat mereka Ahlulbait as kelak di padang mahsyar. Tidak cukup itu, beliau mensyaratkan bahwa shalat yang sahih dan benar adalah shalat yang padanya disebutkan shalawat atas Nabi saw dan bahkan beliau berkeyakinan kalau ada seseorang yang dalam shalatnya tidak menyebutkan salam dan shalawat kepada Nabi saw dan keluarganya, shalatnya dianggap tidak sah dan tidak benar.

Imam Syafi’i berucap:

يَا آلَ بَيتِ رَسولِ الله حُبُّكُمُ*فَرضٌ مِنَ الله في القُرآنِ أنزَلَهُ

كَفاكُم مِن عظيمِ القَدرِ أنّكُم*مَن لَم يُصلِّ عَلَيكُم لَا صَلَاةَ لَهُ

[ديوان الإمام الشافعي، ص 115.]

Artinya, “Wahai Ahlulbait Rasulullah saw, kecintaan terhadapmu adalah fardu dari Allah Swt yang disebutkan dalam al-Qur’an. Dengan ini sudah cukup (menggambarkan) keagungan kedudukanmu, Barangsiapa yang tidak membaca salam dan shalawat atasmu dalam shalat, maka shalatnya tidak sah (yakni tidak disebut shalat). (Diwân al-Imâm al-Syâfi’î, hal. 115).

Sikap jelas dan terang Imam Syafi’i ini senantiasa menjadi perekat hubungan antara Syiah dan Ahlusunnah.


Faktor-faktor Eksternal Perpecahan di Dunia Islam

Adapun terkait dengan sebab-sebab eksternal perpecahan, juga bisa disebutkan sebagai berikut: Ofensif budaya-politik demi meruntuhkan kekuatan Islam, lemahnya ikatan dan hubungan sekelompok kaum Muslimin dengan tradisi Islam, terputusnya hubungan kebudayaan umat Islam dengan Islam hakiki, pelemahan bahasa-bahasa Islam, dibentuknya rezim zionis israel sebagai musuh persatuan Islam, pendirian pangkalan-pangkalan militer di berbagai wilayah dan kawasan negara-negara Islam dan kehadiran pasukan militer asing baik udara maupun laut guna memberi ancaman terhadap kaum Muslimin.


Ofensif Barat Modern di Segala Bidang

Tantangan paling mendasar untuk persatuan Islam yang menjadikan identitas Islam sebagai target utamanya, harus dilacak pada gerakan invasi menyeluruh dan segala sisi Barat modern terhadap dunia Muslim. Berbeda dengan penjajah sebelumnya, Barat tidak akan pernah seperti bangsa Mongol yang masih punya potensi untuk kebudayaan dan peradaban Islam, bahkan mereka (Barat) akan melawan dan menantang pondasi budaya dan peradaban Islam.

Sejatinya, ada sebagian yang mengisyaratkan keistimewaan dua tantangan modern bagi kebudayaan dan peradaban Islam. Kedua tantangan itu adalah: pertama, perpecahan dan degradasi atau penurunan peradaban Islam dan yang kedua, invasi yang dilancarkan oleh Barat Modern di semua lini kehidupan terhadap dunia Islam. Tantangan semacam ini telah menyebabkan sebagian kalangan terpelajar dan cendekiawan dunia Islam merasa ragu kalau Islam adalah satu-satunya solusi dan bahkan sebagian menganggap bahwa solusi terakhir itu tidak pada Islam melainkan pada mengikuti peradaban dan budaya Barat. Secara global, kategori identitas Islam di dunia Islam dibenturkan dengan berbagai macam tantangan dan rintangan yang dengan tanpa melakukan penyelidikan dan investigasi justru dapat menciptakan kemunduran yang lebih parah lagi.

Barat menganggap kembali hidupnya identitas Islam itu sebagai ancaman baru paska runtuhnya Blok Timur. Perubahan-perubahan di akhir-akhir abad 20 dan krisis-krisis internal yang menimpa modernisme Barat dan muncul serta menyebarnya pemikiran post-modern dan juga menjadi fenomena dunia, telah membuat kondisi seperti ini semakin menyita perhatian. Perubahan-perubahan semacam ini telah menyebabkan bangsa Amerika sebagai yang mengklaim diri pemimpin dunia Barat kembali mengetengahkan bahaya dan ancaman baru Islam setelah Blok Timur mengalami kekalahan pada perang dingin dan ide-ide seperti perang peradaban, kembali diungkitnya. Barat yang diatasnya adalah Amerika telah membuat beberapa rancangan yang dengan mempromosikannya di seluruh Kawasan, hendak menciptakan perpecahan dan mengaburkan gerakan-gerakan persatuan Islam.


Mencerai-Beraikan dan Melemahkan Negara-negara Islam

Terlepas dari pertikaian dan perbedaan kaum, suku, dan mazhab, yang secara mendasar banyak disaksikan di negara-negara Islam, program dan rancangan para penguasa dunia internasional guna kelancaran dan kesinambungan kepentingan-kepentingannya dan dalam rangka dapat dengan leluasa mengontrol seluruh kawasan –tentunya disebagian wilayah– senantiasa menciptakan berbagai ketegangan-ketegangan yang sifatnya etnis dan mazhabi dan puncaknya mencerai-beraikan serta mengurai negara-negara itu. Kebenaran hal ini dibuktikan dengan adanya rancangan dari pihak Amerika Serikat untuk menciptakan Timur Tengah Raya.

Berdasarkan rancangan-rancangan diatas, perluasan kepentingan-kepentingan washington berada pada sebagian perubahan-perubahan wilayah dan perbatasan di Kawasan. Mereka dengan sebuah desain baru, hendak menciptakan sebagian negara-negara baru di Kawasan. Penguraian Kawasan berdasarkan pemetaan-pemetaan Amerika tidak hanya berujung pada kontinitas kepentingan-kepentingan mereka, bahkan akan membuka lebar-lebar keamanan yang lebih luas dan invasi bagi Israel di Kawasan Timur Tengah. Sejatinya, runtuhnya Uni Soviet telah memposisikan kelompok-kelompok ekstrimis itu sebagai musuh utama dan kekuatan baru washington.

Oleh karena itu, kendati tantangan modernisme Barat terbilang sebagai sebuah tantangan mendasar bagi peradaban dan persatuan Islam, namun dari situ lahir pula tantangan-tantangan parsial lain yang juga terjadi di dunia Islam, seperti: tantangan terurai dan terpecah-belahnya dunia Islam menjadi pemerintahan-pemerintahan kecil dimana gerakan-gerakan politik dan militer kaum imperialis punya peran sangat mendasar dalam mengurai dan memecah-belah dunia Islam.


Munculnya Nasionalisme di Dunia Islam

Mungkin bisa dikatakan bahwa salah satu tantangan-tantangan terpenting persatuan Islam adalah muncul dan bangkitnya nasionalisme di dunia Islam. Jika penguraian politik dan militer dunia Islam merupakan perkara yang sifatnya niscaya dan tidak begitu menargetkan pondasi identitas Islam, namun nasionalisme menyebabkan penguraian dan pemecahan secara esensial dunia Islam dan identitas Islam dibuatnya kabur.

Nasionalisme itu sendiri dianggap sebagai salah satu produk dunia Barat Modern dan penyebarannya di dunia Islam telah menyebabkan identitas Islam termarjinal dan terpinggirkan. Jika pada masa-masa lalu dunia Islam, minimalnya punya bentuk persatuan yang sifatnya formil dan kaum Muslimin membentuk umat Islam yang satu, nasionalisme telah menyebabkan identitas teritorial lebih diutamakan dibanding identitas Islam dan dunia Islam yang satu dari dimensi keyakinan, terpecah belah menjadi beberapa identitas. Pada dasarnya, dunia imperialis Barat berusaha untuk lebih melemahkan dan mengalahkan persatuan yang ada pada dunia Islam serta dalam rangka menjalankan politik memecah-belah. Mereka (Barat) mempromosikan dan menyebarkan paham Nasionalisme dan dengan mengangkat identitas teritorial diatas identitas menyeluruh Islam, telah berusaha membuat dunia Islam sibuk dengan dirinya sendiri dan mencegahnya dari menghadapi pemikiran-pemikiran imperialis.


Ekstrimisme dan Radikalisme

Bahaya dan ancaman terbesar yang dihadapi dunia adalah usaha mempromosikan dan penyuntikan pemikiran-pemikiran ekstrimisme dan radikalisme di tengah-tengah masyarakat yang ada di Kawasan dan juga di luar Kawasan.

Akan sangat tepat jika disini dipaparkan dan diisyaratkan beberapa ancaman dan bahaya yang bersumber dari model pemikiran ini yang sedang mengintai Islam dan kaum Muslimin.
Membuat dan menyebarkan keraguan dan syubhat.

Salah satu ancaman dan bahaya yang lahir dari paham-paham ekstrimisme dan radikalisme, adalah menciptakan syubhat dan menyebarkan keraguan-keraguan, karena kelompok ini berusaha mempromosikan dan membuat propaganda bahwa persoalan-persoalan yang seluruh kaum Muslimin sepakati kebenarannya dan sebagai persoalan-persoalan teologis (kalam) atau ‘Urf (tradisi) yang sama sekali tidak bertentangan dengan tauhid, seperti masalah syafaat, tawassul, membangun masjid di kuburan para wali dan lain-lain, merupakan perbuatan-perbuatan syirik dan para pelakunya adalah orang-orang yang telah menyekutukan Allah Swt (baca: musyrik).


Membunuh dan membantai kaum Muslimin

Berikutnya, bahaya dan ancaman yang lahir dari pemikiran dan paham kelompok wahabi, adalah membunuh serta membantai seluruh kaum Muslimin. Bukti nyata dari klaim ini adalam pembantaian yang terjadi terhadap rakyat Yaman dan para jamaah haji di Baitullahi, Mekah, dan lebih para dari itu pembantaian yang terjadi atas masyarakat Irak dan Karbala pada tahun 1216 H yang menelan korban sekitar seratus lima puluh ribu jiwa (150.000 jiwa). Kesalahan masyarakat adalah karena mereka menolak akidah dan keyakinan batil dan khurafat kelompok Wahabi.


Penghancuran situs-situs atau peninggalan berharga sejarah Islam

Selanjutnya, bahaya dan ancaman yang lahir dari pemikiran dan paham kelompok wahabi adalah penghancuran situs-situs sejarah Islam yang begitu berharga, karena dalam pandangan dan keyakinan kelompok sesat ini membuat bangunan dan kubah diatas kuburan-kuburan para imam, wali dan manusia-manusia soleh termasuk perbuatan syirik dan bid’ah. Penghancuran kubah dan makam suci Askariyain dan penghancuran pemakaman Baqi pada tahun 1344 H yang merupakan pekuburan paling penting dalam Islam, itu terjadi karena pemikiran keliru dan sesat kelompok Wahabi tentang tauhid dan syirik.
Menciptakan ikhtilaf dan ketidakamanan

Selanjutnya, bahaya dan ancaman yang lahir dari pemikiran dan paham ekstrimisme adalah menciptakan ikhtilaf dan ketidakamanan di tengah-tengah kaum Muslimin, dimana saat ini berlangsung pembantaian kaum Muslimin di negara-negara Islam dengan menggunakan hal seperti meneror dengan cara yang cukup sadis dan membunuhi kaum Muslimin, laki-laki dan perempuan, anak-anak dan dewasa, guna mencapai tujuan ini.
Mencegah pertumbuhan dan kemajuan

Kemudian, bahaya dan ancaman yang lahir dari pemikiran dan pemahaman jumud kelompok takfirisme adalah mencegah pertumbuhan dan kemajuan kaum Muslimin dalam berbagai lini kehidupan, karena kelompok ini menganggap segala bentuk perwujudan kehidupan modern dan partisipasi kaum perempuan di tengah-tengah masyarakat meski hanya sekedar untuk belajar, dan melayani kaum fakir-miskin, sebagai bid’ah dan bertentangan dengan syariat. Alasan nyata dan ril dari bahaya ini bisa disaksikan pada apa yang dilakukan kelompok radikal ISIS yang telah menciptakan islamophobia di dunia.

Oleh karena itu, memberantas paham terorisme tidak hanya harus memeranginya di medan perang melainkan juga mesti melawan pemikiran yang telah mendasarinya dengan pemikiran juga, karena ideologi ini tidak mengenal batas-batas teritorial dan masyarakat-masyarakat tertentu.


Peluang dan Kapasitas Terciptanya Persatuan Islam

Kaum Muslimin sebelum melakukan setiap gerakan, harus memahami dan meyakini lebih awal ide kebersamaan serta mengetahui urgensitasnya, seperti halnya kekuatan besar yang telah menemukan dirinya. Dari aspek politik, dunia Islam punya kemampuan untuk merancang sebuah kekuatan di Kawasan dan dengan ini, ia akan mewujudkan sebuah lahan yang akan memenuhi seluruh kepentingan negara-negara Islam. Validitas dan keandalan peran, serta kedudukan semacam ini adalah karena alasan-alasan berikut:

Dunia Islam dapat memanfaatkan sistem-sistem muktabar untuk menciptakan kekuatan, punya ideologi terbuka yang layak ditawarkan ke seluruh dunia dan minimalnya di dunia Islam ia cukup disambut oleh masyarakat, punya saham besar di dunia informasi karena kemampuan memproduksi ide dan pemikiran, punya kemampuan untuk meningkatkan lembaga kemiliteran dan pertahanannya pada batas yang digambarkan al-Qur’an dalam surah al-Anfâl ayat 60, “kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu,” dan merubahnya menjadi sebuah kekuatan yang berpengaruh di Kawasan, memiliki wilayah geografis yang cukup luas dengan jumlah penduduk yang sangat besar, wilayah geografis yang sensitif dan punya pengaruh pada sistem dunia.


Posisi Strategis Dunia Islam

Betul bahwa faktor-faktor kemampuan dunia Islam untuk mencapai persatuan cukuplah banyak dimana diantaranya adalah: posisi geo-politik, geo-ekonomi dan geo-strategis negara-negara Islam, yakni negara-negara Islam dari dimensi geo-politik cukup sensitif dan berpengaruh terhadap sistem global. Begitupula, bisa diklaim bahwa negara-negara ini memiliki cakupan luas geografis dan dengan jumlah penduduk yang cukup tinggi, punya akses dan kontrol atas perairan dan jalur laut yang strategis di dunia, cadangan energi yang sangat besar, pasar konsumen yang cukup luas dan menarik, ideologi terbuka yang bisa ditawarkan ke dunia, dan kontribusi yang cukup signifikan pada jaringan komunikasi global.

Terkait posisi geografisnya, bisa dikata ia memiliki geografis natural, humanis dan politis. Juga mengenai geografis humanis dunia Islam, bisa diisyaratkan seperti berikut: penduduk, suku, kaum, bahasa, mazhab dan imigran, dan dalam kaitannya dengan geo-politik ia menduduki posisi terbaik dunia Islam dan dari sisi geo-strategis, teluk Persia sangatlah penting karena cadangan gas dan minyak yang dimilikinya sangatlah besar dan juga Selat Hormuz. Demikian dalam hubungannya dengan posisi geo-kultur dunia Islam, kita bisa sebutkan seperti adanya peradaban Islam, produk ilmu pengetahuan dan referensi-referensi ilmiah, media-media komunikasi dan pengaruh serta kemajemukannya di negara-negara ini.

Demikian juga pemanfaatan sistem-sistem kredibel dalam menciptakan kekuatan, terbukanya peluang peningkatan sistem pertahanan dengan membentuk aliansi dan perjanjian-perjanjian kerjasama pertahanan dan serta merubahnya menjadi sebuah kekuatan yang punya peran dan pengaruh, adanya peluang-peluang dan ancaman-ancaman yang sama. Namun peran ajaran-ajaran global Islam, khususnya ide pemerintahan yang bersifat menyeluruh dan global Imam Mahdi as, adalah kapasitas terbesar untuk merealisasikan persatuan Islam.


Islam, Faktor Pemersatu Terbaik

Kaum Muslimin harus meyakini bahwa persatuan umat Islam dapat menyebabkan kokohnya dan kuatnya dunia Islam. Oleh karena itu, sudah semestinya mengidentifikasi dasar-dasar persatuan Islam dan mengaplikasikannya. Mengenai dasar-dasar, harus dikatakan bahwa sumber hakiki persatuan ini tidak lain adalah agama Islam dimana ia merupakan fitrah manusia. Kesatuan pemikiran dan ideologi ini, bisa menjadi dasar atau landasan terpenting persatuan dalam masyarakat Islam.

Dalam diri Islam, tidak ada ruang untuk aneka ragam pendapat, pikiran dan akidah. Seluruh sebab-sebab dan faktor-faktor yang niscaya guna merilkan adanya kesatuan pemikiran, telah sejak awal diprediksi oleh agama Islam. Juga perlu disebutkan bahwa umat Islam memiliki keutamaan-keutamaan dan kelebihan-kelebihan khusus yang mana hal itu bisa mengantarkan kaum Muslimin kepada persatuan dan kesatuan yang sempurna serta akan menjamin terpelihara dan langgengnya persatuan ini.


Ide Pemerintahan yang Universal

Al-Qur’an membincang tentang keglobalan Islam dan kemenangan agama dunia Islam atas seluruh agama-agama, yakni Islam suatu hari akan mengalahkan seluruh agama-agama. Allah Swt dalam surah al-Taubah ayat 33 berfirman, “Dia-lah yang telah mengutus rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai”.

Kendati umat yang satu dan kesyumulan Islam adalah konsepsi-konsepsi agamis dan bernilai, namun ia tidak kontra dengan cita-cita global. Prinsip risalah global dan atau penerimaan konsep global dan menyeluruh Islam oleh semua penduduk dunia yang esensinya adalah menyatuan umat manusia dan pemerintahan yang mencakup kehidupan di seantero dunia, adalah merupakan hal yang tidak bisa dipungkiri dan tidak bisa diotak-atik.

Karena persatuan umat manusia dalam kacamata Islam adalah berdasarkan pemikiran tauhidiyah, maka ia punya nilai-nilai plus bagi umat manusia yaitu diterima secara lebih baik. Pemikiran tauhidiyah (monotheis) yang tidak lain adalah persatuan sistem dunia dan manusia, dan dalam ranah pengetahuan telah menjadikan dimensi kemanusiaan itu sebagai dasar utama dan adapun perbedaan suku dan bangsa telah dianggapnya sebagai faktor untuk saling mengenal antara berbagai generasi. Dalam al-Qur’an surah al-Hujurât ayat 13 Allah Swt berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.“

Ungkapan dan pernyataan al-Qur’an terkait umat manusia juga dalam bentuk berupa kata-kata yang sifatnya umum dan luas seperti, “Hai Manusia”, dan atau “Bani Adam as”, dan ini menghikayatkan akan ide persatuan umat manusia. Kalimat-kalimat seperti, “Dan tidaklah kami utus kamu kecuali kepada seluruh umat manusia”, dan “Dan tidaklah kami utus kamu kecuali sebagai rahmat bagi sekalian alam”, dan juga “Katakanlah oleh kalian, “Tiada Tuhan Selain Allah”, kalian akan beruntung,” merupakan ungkapan-ungkapan yang mencerminkan bahwa risalah Islam adalah risalah global dan mendunia. Melihat hal bahwa periode semua agama-agama samawi telah berlalu dan Islam sebagai agama terbaik disisi Allah Swt, ia memiliki risalah yang sifatnya global dan mendunia. Olehnya itu, mengarahkan umat manusia kepada syariat paling akhir yaitu al-Qur’an yang kemudian berwujud agama Islam, adalah hal yang benar dan cukup rasional.

Penegasan Nabi saw khusus tentang masalah Imam Mahdi as dan kebangkitannya, adalah hal yang cukup menarik atensi sebagaimana disabdakan, “Jika umur dunia ini hanya tinggal satu hari, maka Allah swt akan memanjangkan hari itu sampai muncul seorang laki-laki dari keturunanku, bernama seperti namaku, dan ia akan memenuhi bumi ini dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi dengan kezaliman dan kejahatan.”(Sunan Tirmizi, jilid 3, hadits 2232; Sunan Abu Daud, jilid 2, hadits 4283).

Di satu sisi, sistem dunia modern yang ditawarkan negara-negara Barat karena tidak memiliki pengetahuan yang netral dan juga disertai oleh kejahilan dan kecongkakan serta didasari oleh niat jahat, maka ia tidak akan sukses dan berhasil dalam mewujudkan keteraturan global, karena seluruh masyarakat dunia akan mencium adanya unsur-unsur penjajahan, penjarahan, kepentingan pribadi, penguasaan, monopoli dan permusuhan serta seluruh problematika masa lalu. Hal yang sesuai dan sejalan dengan keselamatan umat manusia dan sebagai sebuah pengetahuan baru dan merupakan problem solving, tak memihak, teliti, tidak bisa dirusak dan membantu dunia, menyelesaikan berbagai kesulitan-kesulitan yang bersumber dari gerakan-gerakan pemerintahan besar, punya sistem-sistem kebaikan dan agung, adalah agama Islam itu sendiri dengan kepemimpinan seorang Imam yang adil yaitu Imam al-Mahdi al-Mau’ûd yang memiliki ciri-ciri khusus berikut ini:

Tauhid: ini adalah salah satu ciri khas terpenting pemerintahan dunia Islam. Seluruh aturan-aturan dan manajemen pelaksana dalam pemerintahan ini menjadikan tauhid sebagai titik sentral. Tauhid sumber persatuan penetapan hukum dan persamaan seluruh umat manusia di hadapan Tuhan Yang Maha Esa.

Keadilan: keadilan dalam pemikiran politik Islam memiliki kedudukan yang asasi. Urgensi keadilan dalam kacamata Islam begitu besar sehingga al-Qur’an mempromosikannya sebagai salah satu tujuan diutusnya para nabi dan rasul. Allah Swt dalam surah al-Hadîd ayat 25 berfirman, “Sesungguhnya Kami telah mengutus para rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka kitab samawi dan neraca (pemisah yang hak dan yang batil dan hukum yang adil) supaya manusia bertindak adil.“

Keadilan merupakan kehendak fitrah dan keinginan manusia umumnya, sementara pemikiran liberal ditinjau dari keadilan sosial cukup bermasalah, karena prinsip dasar liberal adalah menerima ketidaksamaan atau kesenjangan dan guna menciptakan persaingan ekonomi, ia mendorong dan memotifasi terwujudnya kesenjangan itu, serta berusaha menyebarkannya.

Pengembangan Ilmu dan Sains: era sekarang ini, pengembangan ilmu dan sains dianggap sebagai salah satu ciri mendasar pertumbuhan, namun definisi ilmu dalam pandangan postmodern adalah lebih kepada ilmu sains. Dalam konteks ini, pertumbuhan rasionalitas manusia juga terletak pada konsep rasionalitas instrumental. Perkembangan dan pertumbuhan ilmu dan sains yang dianggap sebagai salah satu ciri khas masyarakat dunia Islam, lebih mengarah pada perluasan dan pertumbuhan seluruh lini ilmu pengetahuan dan rasionalitas. Bisa dikatakan, terlibatnya umat manusia dalam ranah ini adalah bukti perkembangan intelektual yang komprehensif dan menyeluruh dan hal inilah yang dikategorikan sebagai syarat-syarat terbentuknya pemerintahan dunia Islam.

Islam telah menyajikan konsep globalisasi agama dalam bentuk yang terbaik dan paling lengkap dan sesuai janji-janji al-Qur’an, orang-orang saleh akan memimpin dunia. Allah Swt dalam surah al-Anbiyâ ayat 105 berfirman, “Dan sungguh Kami telah tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) azd-Dzikr (Taurat) bahwasanya hamba-hamba-Ku yang saleh mewarisi (berkuasa) bumi ini.“

Oleh karena itu, prospek masa depan ada di tangan umat Islam dan mereka akan sampai pada persatuan serta pada puncaknya akan mendirikan pemerintahan dunia, karena itu adalah janji al-Qur’an. Allah Swt dalam surah An-Nûr ayat 55 berfirman, “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan suatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.“

Assalâmu’alaikum Warahmatullâhi Wabarakâtuhu

(Shafei-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: