Oleh: Sayid Muhammad Husaini Syahrudi
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan Sekalian Alam. Salam dan shalawat kita curahkan kepada Nabi Muhammad (saw) dan juga untuk keluarganya yang suci serta para sahabatnya yang terpilih.
Assalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu
Muhammad bin Idris Syafi’i lahir pada tahun 150 hijriah di kota Gaza paska wafatnya Imam Abu Hanifah. Imam Syafi’i mempelajari hadits dan fikih dari Muslim bin Khalid Zanji di kota Mekah. Pada usia 20 tahun beliau telah menimba ilmu dari Imam Malik bin Anas di kota Madinah. Beliau punya hubungan dan berinteraksi dengan Muhammad bin Hasan Syaibani. Beliau pada tahun 200 Hijriah pergi ke Mesir dan menetap disana hingga wafat dan pada akhir-akhir bulan Rajab tahun 204 H beliau meninggal dunia dan dimakamkan di Kairo.
Tidak diragukan lagi bahwa Muhammad bin Idris Syafi’i adalah salah satu ulama paling populer di masanya, sebagian dari pengikut dan pendukungnya menganggap beliau sebagai pembaharu Islam pada abad kedua Islam. Ke-Quraisy-annya dan kemahiran luar biasa beliau dalam bidang sastra Arab dan juga kelihaiannya dalam memanah membuat beliau sangat dipandang dan dihormati di kalangan Arab.
Aktifitas-aktifitas Imam Syafi’i yang dilakukan pada masanya telah menciptakan persatuan dan kebersamaan di tengah-tengah masyarakat Islam. Dalam jangka waktu seribuan tahun dari didirikannya mazhab ini oleh Imam Syafi’i, ia telah menyebar di berbagai wilayah timur Islam, seperti di Iran, Benua India dan Indonesia dan juga di beberapa negara Arab semisal Syam (Suriah), Irak, Yaman, Mesir dan Asia Timur.
Beranjak dari kondisi dan situasi yang ada sekarang, dunia Islam sangat membutuhkan pemikiran-pemikiran orisinal Imam Syafi’i. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan kita paparkan pemikiran-pemikiran yang berkembang pada masa Imam Syafi’i dan pandangan-pandangan beliau terkait pemikiran-pemikiran tersebut sehingga nantinya menjadi lampu penerang jalan bagi cendekiawan-cendekiawan dunia Islam dalam memberikan solusi terhadap problematika yang akan dihadapi.
Pemikiran dan Persfektif Fikih
Fikih Imam Syafi’i merupakan sebuah contoh fikih yang layak menjadi bahan telaah dalam sejarah fikih Islam, karena ia telah menjembatani antara fikih Ahli Ra’yi dan Fikih Ahli Hadits (Naql). Imam Syafi’i dalam fikihnya, pertama merujuk kepada al-Qur’an baru kemudian mengeluarkan hukum (tasyri’) dan beliau menganggap bahwa Sunnah Nabi saw itu sebagai penafsir dan penjelas al-Qur’an. Setelah al-Qur’an dan Hadits, beliau menjadikan Ijma’ (konsensus) kaum Muslimin sebagai rujukan dalam persoalan-persoalan fikih, tentunya Ijma’ (konsensus) disini punya syarat-syarat tertentu yang beliau tentukan dan yakini.
Usaha dan kerja keras yang dilakukan Imam Syafi’i untuk sampai pada sebuah sikap yang berdasarkan pada prinsip-prinsip dan metodologi dalam berbagai kajian-kajian fikih dan juga politik, telah melatari hal bahwa tidak hanya sikap-sikap beliau bahkan prinsip-prinsip dan metode-metode untuk sampai kepada sikap-sikap itu bisa –khususnya pada masa sekarang– sebagai sebuah teladan dan rujukan yang sudah seyogyanya menjadi bahan telaahan.
Pemikiran Ushul Fikih Maktab Imam Syafi’i
Muhammad bin Idris Syafi’i (204 H) adalah seorang ulama fikih dan Ushul Fikih populer dalam bidang fikih, beliau telah mempersembahkan sebuah karya sistematis dan metodologis dimana secara global sejalan dan sesuai dengan standar klasik ulama-ulama hadits dan dasar-dasarnya dituangkan dalam kitab al-Risalah dan dengan itu, beliau dikenal sebagai penulis pertama dalam bidang ilmu Ushul Fikih yang karyanya terbilang komprehensif. Imam Syafi’i telah meletakkan kaidah-kaidah bagi ilmu Ushul Fikih dan dengan alasan ini, Fakhrurazi menganggap bahwa Imam Syafi’i terhadap Ilmu Ushul Fikih ibarat Aristoteles terhadap Ilmu Logika.
Imam Syafi’i telah melakukan revisi dan bahkan rekonstruksi mendasar tentang bagaimana berpegang pada dalil-dalil, baik al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan juga kegunaan Ra’yi, sehingga tatkala dikomparasikan metode beliau dengan para pemilik karya-karya terdahulu maka disana akan ditemukan perbedaan yang secara kasat mata dan secara lahiriah bersifat parsial namun dalam prakteknya sungguh perbedaan itu nampak sangat asasi.
Urgensi hal ini menjadi jelas ketika kebanyakan problematika dunia Islam adalah karena fatwa-fatwa yang ditawarkan tidak didasari dan tidak didukung oleh al-Qur’an, dan Imam Syafi’i mengeluarkan karya dalam bidang ilmu Ushul Fikih sehingga apabila seseorang hendak memberi fatwa maka ia harus menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fikih.
Peran Hadits-hadits Nabi saw dalam Istinbat Hukum
Imam Syafi’i memberi perhatian yang cukup besar terhadap hadits dan untuk seorang perawi hadits, beliau menawarkan beberapa syarat yang mesti dipenuhi diantaranya: jujur, benar, iman, memorinya (hafalan) dan hal-hal lainnya.
Sikap Imam Syafi’i terhadap hadits-hadits Nabi saw cukup menarik simpati. Dalam berbagai karya-karya Imam Syafi’i dinukil dan disebutkan:
كل ما قلته؛ فكان من رسول الله صلى الله علیه و سلم خلاف قولی مما صح، فهو أولى و لا تقلدونی. (مناقب الشافعی للبیهقی، ج1، ص473 ).
Juga Imam Syafi’i menyatakan:
إذا وجدتم فی كتابی خلاف سنة رسول الله صلى الله علیه و سلم فقولوا بها و دعوا ما قلته. (حلیة الأولیاء لأبو نعیم، ج9، ص106 )
Artinya, “Apabila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah saw maka ambillah oleh kalian apa yang dikatakan oleh sunnah Nabi saw dan tinggalkan apa yang saya katakan.” (Hilyatul Awliyâ Liabû Na’îm, jilid 9, hal. 106).
Dan juga beliau menyebutkan:
اذا صح الحدیث فهو مذهبی و إذا صح الحدیث، فاضربوا بقولی الحائط. (سیر اعلام النبلاء للذهبی، ج10، ص35)
Artinya, “Apabila kalian melihat sebuah hadits yang sahih maka mazhabku adalah hadits sahih itu. Jika ada sebuah hadits sahih dan bertentangan dengan ucapanku, maka hendaklah kalian lemparkan ucapanku ke tembok (yakni buang jauh-jauh).” (Sair A’lâm al-Nubalâ Lidzdzahabî, jilid 10, hal. 35).
Kewajiban Memperhatikan dan Membela Ahlulbait as
Masa kehidupan Imam Syafi’i bertepatan dengan masa berkuasanya Khilafah Abbasiyah, dan beliau semasa dengan munculnya berbagai perlawanan dari kalangan Alawiyin terhadap penguasa Abbasiyah. Penguasa Abbasiyah berhasil menduduki kekuasaan dengan slogan membela dan melindungi Ahlulbait as, tetapi tidak lama kemudian berubah menjadi musuh bebuyutan bagi Ahlulbait as dan telah membantai atau memenjara banyak dari kalangan Ahlulbait as. Kekejaman para penguasa Abbasiyah terhadap Ahlulbait as telah menyebabkan sejumlah kalangan dari Alawiyin tersohor bangkit melakukan perlawanan.
Imam Syafi’i yang saat-saat itu (tahun 171 H) datang ke Madinah (Mu’jam al-Udabâ, jilid 17, hal. 284) paska syahidnya Imam Kazhim as, mendiskripsikan kuburan beliau (Imam Kazhim as) sebagai makam “Obat Penawar”. Karena Imam Syafi’i di awal pertemuannya dengan Imam Malik yang mana ia juga sangat menentang pemerintahan Abbasiyah, pun menyaksikan kekejaman mereka terhadap keluarga Nabi saw dan pemenjaraan Imam Musa bin Ja’far as, maka dengan itu dalam dirinya lahir semangat untuk memerangi dan melawan kaki tangan-kaki tangan penguasa serta melakukan pembelaan terhadap Ahlulbait as. Dan karena Imam Malik juga merupakan salah satu murid khusus Imam Shadiq as, dan ajaran-ajaran mazhab Imam Syafi’i juga banyak bersumber dari adanya pengaruh Ahlulbait as pada diri beliau serta kecintaan beliau kepada Keluarga suci Nabi saw, yang dengan kesemua itu maka untuk saat ini mazhab fikih syafi’i dari dimensi penyusunannya dikategorikan sebagai mazhab yang paling dekat dengan mazhab Syiah Imamiyah.
Salah satu persoalan yang banyak terlihat dan kita temukan dalam karya-karya Imam Syafi’i dan sangat ditekankan oleh beliau, adalah pembuktian kelebih-utamaan Ahlulbait as dan juga keharusan mencintai mereka serta membela para pengikutnya.
Di tengah propaganda besar-besaran Bani Abbasiyah untuk menghabiskan para pencinta dan pengikut Ahlulbait dan Imam Ali as, beliau (Imam Syafi’i) secara terang-terangan menunjukkan kecintaannya terhadap mereka dan menyatakan:
قَالُوا: تَرَفَّضتَ قُلتُ: كَلَّا مَا الَّرفضُ ديني وَ لا إعتِقادي
لكِن تَوَلَّيتُ غَيرَ شَكٍّ خَيرَ إمَامٍ وَ خَيرَ هَادي
إن كَانَ حُبُّ الوَلِيِّ رَفضاً فإنَّني أرفَضُ العِبادَ (ديوان الإمام الشافعي ، ص72)
Artinya, “Mereka berkata, “Engkau telah menjadi Rafidhah.” Aku berkata: “Sekali-kali tidak!” Rafidhah bukanlah agama dan keyakinanku. Akan tetapi aku berwala` (meyakini sebagai wali) tanpa ragu-ragu Kepada sebaik-baik imam dan sebaik-baik pemberi petunjuk. Jika kecintaanku kepada Wali itu yang disebut rafidhah, Maka aku adalah yang paling rafidhah dianatara hamba-hamba.” (Diwân al-Imâm al-Syâfi’î, hal. 72).
Dalam beberapa syairnya yang lain, beliau dengan sangat jelas mengisyaratkan masalah syafaat Ahlulbait Nabi saw dan berharap kiranya mereka sudi memberi syafaat kepada beliau (Imam Syafi’i) kelak di padang mahsyar.
Imam Syafi’i berkata:
لَئِن كانَ ذَنبِي حُبُّ آلِ محمَّدٍ*فذلِكَ ذَنبٌ لَستُ عَنهُ أتوبُ
هُمُ شُفَعائي يومَ حَشري و مَوقِفي* إذا كثرتني يوم ذاك ذنوب
(ديوان الإمام الشافعي، ص48).
Berdasarkan apa yang disebutkan pada syair-syair Imam Syafi’i diatas, jelas bahwa beliau punya kecintaan khusus terhadap Ahlulbait Nabi saw dimana beliau mengungkapkannya dengan lantang dan tanpa ada rasa takut. Beliau dengan transparan menganggap bahwa hidayah dan kebahagiaan ada pada mengikuti Nabi saw dan keluarga beliau dan bahkan beliau sangat mengharap syafaat mereka Ahlulbait as kelak di padang mahsyar. Hal lain yang perlu dijadikan catatan bahwa salah satu alasan dan bukti kecintaan dan kegandrungan Imam Syafi’i terhadap Ahlulbait as, adalah penjelasan dan penyandaran beliau terhadap hadits-hadits Imam Shadiq as dalam kitab “Al-Umm”.
Sikap-sikap teliti dan jeli Imam Syafi’i ini telah menjadi alasan sebagian orang untuk menyebut Imam Syafi’i sebagai pengikut Syiah, seperti Ibnu Nadim dalam kitab Al-Fahrast dan sekelompok orang yang tidak menerima dan tidak mengakui penjelasan keutamaan-keutamaan Ahlulbait as dari Imam syafi’i atau mereka yang berpandangan bahwa ucapan-ucapan ini bukan bersumber dari Imam Syafi’i, seperti Syamsuddin Dzahabi, dan atau mereka yang menuduh murtad terhadap Imam Syafi’i dan mazhabnya, seperti Yahya bin Mu’in dari kalangan ekstrimis yang mana telah menuduh Imam Syafi’i sebagai rafidhah. Dan Ibnu Taimiyah yang menyatakan:
فَمَنْ قَالَ: أَنَا شَافِعِيُّ الشَّرْعِ أَشْعَرِيُّ الِاعْتِقَادِ قُلْنَا لَهُ: هَذَا مِنْ الْأَضْدَادِ لَا بَلْ مِنْ الِارْتِدَادِ. (مجموعه الفتاوي ابن تيميه ج4، ص106)
Artinya, “Barangsiapa yang berkata, “Aku dalam masalah fikih bermazhab Syafi’i dan dalam masalah teologi (kalam) bermazhab Asy’ariyah, maka hal itu adalah sesuatu yang tidak mungkin dan antara satu dengan yang lain bertentangan, bahkan siapa saja yang memiliki keyakinan seperti ini maka ia telah murtad.” (Majmû’ah al-Fatâwâ, Ibnu Taimiyah, jilid 4, hal, 106).
Muhammad bin Abdul Wahhab yang sedikit lebih ekstrim dari Ibnu Taimiyah menyatakan:
إن قصدهم الملائكة و الأنبياء و الأولياء يريدون شفاعتهم و التقرب إلى الله بذلك هو الذي أحل دماءهم و أموالهم. (کشف الشبهات، ص58).
Artinya, “Barangsiapa yang meminta syafaat kepada malaikat, para Nabi dan wali-wali Allah Swt dan mereka ingin mendekatkan diri kepada Allah Swt melalui wasilah ini, maka mereka itu adalah orang yang halal darahnya dan harta-hartanya boleh disita.” (Kasyf al-Syubuhât, hal. 58).
Sementara Imam Syafi’i mengatakan:
آل النبي ذريعتي * و هم إليه وسيلتي
أرجو بأن أعطى غدا * بيد اليمين صحيفتي
Artinya, “Keluarga Nabi saw adalah sebab dan wasilahku. Mereka menjadi wasilah (jalan penghubung)ku mendekatkan diri kepada-Nya (Allah Swt). Aku harapkan melalui perantara mereka, besok (hari kiamat) aku diberi Buku catatanku di tangan kananku.”
Oleh karena itu dengan model pemikiran seperti ini, kelompok Wahabi tidak akan pernah bisa mengakui secara formal Imam Syafi’i dan mazhab Syafi’i, maka dari itu di Saudi Arabia tidak ditemukan pengajaran-pengajaran fikih Imam Syafi’i dan di Yaman, kalangan orang-orang yang bermazhab Syafi’i dan masyarakat yang bermazhab Syiah Zaidiyah –melalui fatwa-fatwa ulama wahabi– dibombardir oleh Saudi dan pada akhirnya mereka menjadi syahid.
Pemikiran-pemikiran Politik Imam Syafi’i
Tidak diragukan lagi tatkala tema yang diangkat dan diketengahkan adalah berkaitan dengan pemikiran politik dalam kacamata agama, maka Imam Syafi’i adalah salah satu tokoh yang pemikiran dan metode-metode argumentasinya harus diperhatikan.
Hal yang dapat digunakan untuk menjelaskan dasar-dasar legitimasi dan otoritas politik dalam pandangan Imam Syafi’i dari satu sisi, adalah sikap-sikap beliau terhadap para penguasa Abbasiyah, perlawanan-perlawanan Alawiyin dan pemikiran Syiah yang cukup mengundang atensi dan dari sisi lain, pandangan beliau tentang kepemimpinan agama yang mana bersumber dari dasar-dasar dan prinsip-prinsi beliau dan secara singkat kedua hal ini akan kita uraikan:
1. Imam Syafi’i sebagai seorang pribadi yang lahir dari sebuah keluarga Quraisy yang juga punya kedudukan dan posisi terpandang, telah sejak dari awal diperhadapkan dengan masalah politik dan sedikit banyaknya terlibat dalam peristiwa-peristiwa politik di awal-awal masa khilafah Abbasiyah dan munculnya pemberontakan-pemberontakan anti khilafah. Juga menurut beberapa informasi bahwa dari sejak muda Imam Syafi’i diasumsi telah terlibat dalam sebuah gerakan anti khilafah dan beliau ditahan dan diperhadapkan kepada sang khalifah namun beliau selamat dan bebas. Berkali-kali para pejabat dan kaki tangan kekhalifahan berpikir bahwa Imam Syafi’i punya kaitan dengan beberapa kegiatan perlawanan kelompok Alawiyin dan kendati pemikiran ini tidak begitu teliti, namun tidak menutup kemungkinan hal tersebut terjadi pada diri beliau karena melihat sepak terjang pemikiran dan pribadi Imam Syafi’i. Ini pada kondisi dimana dengan segala usaha dan kerja keras para pejabat khalifah, beliau (Imam Syafi’i) sama sekali tidak pernah benar-benar memberikan kerjasama secara konsisten dengan pemerintah dan suluk serta metode beliau ini lahir dari pemikiran politiknya.
2. Keadilan di mata Imam Syafi’i juga punya posisi sentral dalam memberikan legitimasi terhadap pemerintahan, baik terhadap pemerintahan atau kekuasaan yang diperoleh dengan cara-cara yang tidak umum dan tidak biasa. Refleksi pandangan-pandangan ini bisa dilihat dalam pemikiran Khalifah-khalifah yang Empat dan juga khalifah Umar bin Abdul Aziz. Secara global bisa dikatakan, diantara prestasi-prestasi terbesar Imam Syafi’i dalam masalah teori politik, Pertama mengemukakan teori konsensus dan kesepakatan umum serta legitimasi diperoleh dari persetujuan dan kehendak rakyat. Kedua, tuntutan segala bentuk tugas pemerintah untuk mengurus urusan-urusan publik. Pada dasarnya fungsi-fungsi publik ini dalam pandangan Imam Syafi’i, bukanlah suatu nilai plus bagi penguasa melainkan tugas-tugas yang harus diketahuinya.
Apabila pandangan-pandangan dan pemikiran-pemikiran moderat Imam Syafi’i dan ijtihad-ijtihad beliau yang mengedepankan persatuan itu mendapat atensi besar dari berbagai kalangan pengikut mazhab-mazhab Islam, maka ruang gerak bagi kelompok-kelompok atheis, ekstrimis, takfiri dan agen-agen zionis Israel di Kawasan akan menjadi sempit dan mereka tidak akan bisa lagi membuat kerusakan di tengah-tengah barisan kaum Muslimin dan juga apabila pandangan-pandangan Imam Syafi’i dikenal secara benar dan diterapkan di tengah-tengah kaum Muslimin, maka dunia Islam akan kembali hidup seperti sedia kala dan persatuan di tengah-tengah umat sedemikian kokoh dan menyebar sehingga tidak ada satupun konspirasi yang dapat melumat serta merontokkannya, dan dengan cara ini seruan persatuan di seluruh dunia Islam akan menggema.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu
(Shafei-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email