Pesan Rahbar

Home » » Perbedaan Mendalam Antara Mazhab Syafi’i Dengan Wahabi

Perbedaan Mendalam Antara Mazhab Syafi’i Dengan Wahabi

Written By Unknown on Friday 20 October 2017 | 12:54:00


Rektor Universitas Mazâhib Islâmî menuturkan, “Imam Syafi’i punya atensi terhadap masalah takfiri, beliau sendiri menghindarinya dan juga mengingatkan kepada para pengikutnya jangan sampai terjerumus dalam lingkaran kelompok takfiri, dengan itu, beliau coba melakukan pengembangan dan perluasan lingkaran kaum Muslimin. Imam Syafi’i telah mengantarkan umat Islam ke arah umat yang satu dan mencegah dari mengkafirkan sesama kaum Muslimin.”

Menurut laporan bagian Humas Universitas Mazâhib Islâmî, pada hari rabu tanggal 24 mei 2017 telah berlangsung seminar internasional di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Indonesia, dengan tema “Peran Imam Syafi’i Melawan Pemikiran-pemikiran Takfiri”, hasil kerjasama Universitas Mazâhib Islâmî dan Markaz Besar Islam Wilayah Barat Iran.

Rombongan ulama dan pemikir Islam Iran yang terdiri dari Ayatullah Sayid Husaini Shahrudi, pimpinan Markaz Besar Islam Wilayah Barat Iran sekaligus Wakil Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam di provinsi Kurdistan, Hujjatul Islam wal Muslimin Dr. Muhammad Husain Mukhtari, rektor Universitas Mazâhib Islâmî, dan juga Dr. Ibrahimiyan, mantan atase kebudayaan Iran di Indonesia, yang sengaja datang ke Indonesia guna mengadakan pertemuan dengan sejumlah tokoh-tokoh agama, pimpinan-pimpinan unversitas dan ulama-ulama Ahlusunnah Indonesia, turut hadir dan menyampaikan pidato dalam seminar “Peran Imam Syafi’i Melawan Pemikiran-pemikiran Takfiri”, yang berlangsung pada hari rabu tanggal 24 mei 2017.


Adapun isi pidato Dr. Mukhtari pada seminar yang bertemakan “Peran Imam Syafi’i Melawan Pemikiran-pemikiran Takfiri” ini sebagai berikut:


Perbedaan Mendalam antara Mazhab Syafi’i dengan Wahabi

Diantara persoalan-persoalan yang saat ini sangat ditekankan oleh kelompok Wahabi adalah mereka berusaha mensosialisasikan pandangan-pandangan tauhid Wahabi dalam frame pemikiran dan konsep tauhid Imam Syafi’i ke dunia Ahlusunnah. Nah, buku-buku itu adalah hasil pemikiran tauhid Muhammad bin Abdul Wahab yang untuk menjelaskannya, mereka coba mencomot bukti-bukti dan referensi-referensi dari berbagai karya-karya ulama dan tokoh mazhab Syafi’i. mereka susun buku itu sedemikian rupa sehingga tatkala seseorang melihatnya maka ia langsung membayangkan bahwa betul-betul akar pemikiran Wahabi dalam masalah tauhid kembali kepada pandangan-pandangan Imam Syafi’i, padahal tidak demikian. Pandangan-pandangan Wahabi dalam masalah tauhid betul-betul berbeda dan berseberangan dengan konsep tauhid Imam Abu Hamid Ghazali syafi’i dan Imam Fakhruddin razi syafi’i, dan kalau memang konsep pemikiran tauhid Wahabi benar-benar sejalan dan sesuai dengan Imam Syafi’i lantas kenapa saat ini ditemukan begitu banyak tesis-tesis dan hasil penelitian yang bertemakan menolak konsep tauhid ulama-ulama Syafi’i di universitas-universitas di Saudi dan sekitar dua puluh risalah penelitian yang ditulis dengan tema menolak Imam Fakhruddin Razi.

Makanya, terdapat perbedaan-perbedaan dan kontradiksi yang begitu jauh antara mazhab Syafi’i dan firqah Wahabi dimana selain masalah diatas, kita akan coba sajikan beberapa perbedaan antara mazhab Syafi’i dan Wahabi berikut ini:

Perlu anda ketahui bahwa perbedaan dan kontradiksi yang ada antara mazhab Syafi’i dan Wahabi, lebih banyak dan bahkan lebih dalam dibanding perbedaan antara mazhab-mazhab lainnya. Ibnu Taimiyah dalam bukunya Ziyârah al-Qubûr terangan-terangan menyebutkan, “Apabila seseorang datang ke kuburun seorang nabi atau seorang saleh dan meminta hajatnya dan seterusnya, maka sungguh itu adalah perbuatan syirik nyata dan orang itu harus bertaubat dan jika tidak maka harus dibunuh.”[1]

Muhammad bin Abdul Wahab lebih ekstrim lagi dibading Ibnu Taimiyah. Ia berkata, “Barang siapa meminta syafaat dari malaikat, nabi-nabi dan wali-wali dan dengan wasilah ini mereka hendak dekat dengan Allah Swt, maka halal darah dan hartanya.”[2]

Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri sekte wahabi, berkata, “Agama dan Islam seseorang sama sekali tidak benar kecuali ia menjauhi orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan cara bertawasul kepada orang-orang saleh dan mengkafirkan mereka.”[3]

Ia juga menyebutkan, “Barang siapa yang membuat perantara antara dia dengan Allah Swt, maka orang itu telah kafir dan murtad serta halal darah dan hartanya.”[4]

Zaini Dahlan, salah satu ulama besar Syafi’i, menuliskan, “Muhammad bin Abdul Wahab adalah orang yang membuat bid’ah ini. Dia menyampaikan khutbah di mesjid Dar’iyah pada hari jumat dan di setiap khutbahnya mengatakan, “Barang siapa yang bertawasul kepada Nabi Muhammad saw maka dia telah kafir.” Saudaranya, Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahab, seorang ulama dan ahli ilmu, sangat mengingkarinya dan sama sekali tidak mengikuti satupun bid’ah yang dibuat saudaranya itu. Suatu hari Sulaiman bertanya kepada saudaranya, “Hai Muhammad bin Abdul Wahab, rukun Islam ada berapa?! Ia menjawab, “Ada lima.” Saudaranya berkata, “Tapi kamu menganggap rukun Islam ada enam, dan keenamnya adalah barang siapa yang tidak mengikuti kamu maka orang itu bukan Muslim, jadi rukun yang keenam itu adalah kamu.”[5]

Juga dalam bukunya, al-Fitnah al-Wahhabiyah, telah menukil riwayat berikut dari Sahih Bukhari dan menganalisanya seperti berikut:

Dalam Sahih Bukhari telah diriwayatkan sebuah hadits dari Nabi saw. Beliau bersabda, “Sekelompok manusia akan bangkit dari arah timur dan mereka membaca al-Qur’an tapi mereka tidak dapat mengambil manfaat apa-apa dari al-Qur’an. Kelompok ini telah keluar dari agama layaknya anak panah lepas dari induk panahnya dan juga mereka tidak akan kembali ke agama seperti halnya anak panah tidak akan kembali lagi ke busurnya. Rasulullah saw ditanya, “Apa ciri dari kelompok ini?” Beliau bersabda, “Ia dikenal kepala dibotak atau digundul.”[6]

Zaini Dahlan setelah menukil hadits ini dari Sahih Bukhari, ketika mencocokkannya dengan Wahabi ia berkata, “Jadi ucapan Nabi saw ini yang menganggap bahwa ciri-ciri jelas kelompok ini adalah kepala dibotak atau digundul, jelas-jelas mengisyaratkan kepada kelompok Wahabi karena satu-satunya kelompok yang memerintahkan pengikutnya untuk menggundul kepala dan sifat ini sama sekali tidak ditemukan di satupun aliran-aliran Khawarij dan pembuat bid’ah sebelum Wahabi muncul.”[7]

Juga dalam kitab al-Durar al-Sunniyah Fî Rad ‘alâ al-Wahhabiyah pada lanjutan pembahasan seputar hadits ini menuliskan, “Mereka (kelompok Wahabi) memerintahkan kepada mereka yang mengikutinya untuk menggundul kepala dan mereka tidak akan membiarkannya begitu saja kecuali orang itu menggundul kepalanya, dan ciri khas ini sama sekali tidak pernah ada di mazhab atau aliran manapun sebelum-sebelumnya, jadi bisa disimpulkan bahwa hadits ini secara transparan menjelaskan tentang kelompok Wahabi.”[8]

Samanhudi –seorang ulama besar Syafi’i dan wafat tahun 911 H– punya buku tersendiri bernama Wafâ al-Wafâ yang berisi tentang bolehnya ziarah kubur Nabi saw, tawasul, istigasah dan meminta syafaat Rasulullah saw, mengatakan, “Bahwa Orang-orang bertawasul kepada Nabi saw dan menjadikan beliau sebagai perantara, tidak termasuk perbuatan syirik. Rasulullah saw atas izin Allah Swt, akan menjadi perantara bagi orang-orang dan akan memberi syafaat kepada mereka.”

Sebagaimana halnya Nabi Isa as dengan izin Allah Swt, telah menghidupkan orang mati dan menyembuhkan orang yang buta bawaan serta menghidupkan burung yang terbuat dari tanah liat. Semua itu dilakukan atas izin Allah Swt dan itu bukan perbuatan syirik. Apabila Nabi saw memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat, langsung atau melalui perantara dan dengan izin Allah atau dengan memohon kepada Allah Swt.

Beliau menyebutkan bahwa tawasul kepada Nabi saw, pada hakikatnya bertawasul kepada Allah Swt. Meminta kepada Nabi saw sama dengan meminta kepada Allah Swt, karena apa yang dimiliki Nabi saw semuanya berasal dari Allah Swt. Kalau kelompok Wahabi menyamakan tawasul kepada Nabi saw dengan menyembah berhala, maka itu adalah perbuatan yang mencoreng kesucian Nabi saw.


Haram Mengkafirkan dalam Kacamata Imam Syafi’i

Syafi’i mengatakan, “Tidak ada seorang pun ahli kiblat yang boleh dikafirkan kecuali mereka yang meyakini Allah Swt adalah jism dan mengingkari akan ilmu Allah Swt terhadap hal-hal yang paling rinci sekalipun.”[9]

(kitab tauhid) kewajiban-kewajiban paling awal adalah mengenal Allah Swt, meyakini keniscayaan eksistensi-Nya, keesaan-Nya, ke-qadim-an-Nya, ketidakserupaan-Nya, ketidakmiripan-Nya. Allah Swt dengan asma dan sifat-sifat zat-Nya dan ilmu parsial dan universal-Nya terhadap segala perkara, bersifat kekal.

Meyakini bahwa Allah Swt mengutus rasul-rasul-Nya sebagai pembawa berita gembira dan berita ancaman demi menyempurnakan hujah-Nya dan demi memperjelas jalan kebenaran. Beriman kepada qadar, baik dan buruk, manis dan pahitnya, beriman kepada yang gaib dan segala apa yang tidak nampak oleh penglihatan kita dan Allah Swt Yang Maha Benar telah mengabarkan tentang kondisi-kondisi alam barzakh, alam mahsyar, hari pemberian ganjaran pahala dan siksa, Surga dan Neraka. Seseorang tidak boleh mengkafirkan ahli kiblat lantaran ia melakukan sebuah dosa dan menganggapnya kekal di Neraka. Hendaklah kita menghindari pertikaian dan konflik dan menjelaskan ucapan-ucapan benar mereka dengan penuh perasaan. Semoga Allah Swt menempatkan kita dan mereka di Surga-surga-Nya.[10]

Mutawalli mengatakan, “Kalau seorang Muslim berkata, Hai kafir! Tanpa menjelaskannya maka ia telah kafir lantara ia telah menyebut Islam itu kafir. Tekad kuat dan pasti untuk menjadi kafir di masa mendatang menyebabkan kafir pada saat sekarang, begitupula ragu bahwa kedepannya akan kafir atau tidak bisa menyebabkan kafir pada saat ini. Seperti halnya mengatakan, “Apabila harta dan anak saya binasa, saya akan menjadi seorang Yahudi atau Nasrani”. Ia berkata, “rela dengan kekafiran dapat menyebabkan kafir, bahkan jika seorang kafir hendak menjadi seorang Muslim maka akan diminta untuk mentalqinkan kepadanya kalimat tauhid, dan ia tidak melakukan ini atau mengisyaratkan kepadanya supaya tidak masuk Islam dan atau mengisyaratkan kepada seorang Muslim untuk murtad, maka ia telah kafir. Berbeda ketika dikatakan kepada seorang Muslim, “Semoga Allah Swt mencabut iman darinya!” Atau mengatakan kepada seorang kafir, “Semoga Allah Swt tidak menganugerahkan iman kepadanya!” Kedua hal ini tidak termasuk kufur karena bukan misdaq dari senang dan ridha dengan kekufuran, bahkan bentuk laknat kepadanya dan supaya diperparah siksaannya. Tentu Qadhi Husain dalam buku Al-Fatâwâ menyebutkan dalil yang agak lemah dimana barang siapa yang berkata kepada seorang Muslim, “Semoga Allah Swt mencabut imannya!” maka ia telah kafir.[11]

Wallahu A’lam.


Apabila seseorang berkata kepada seorang Muslim, “Kalau seorang Muslim berkata, Hai kafir! Tanpa menjelaskannya maka ia telah kafir lantara ia telah menyebut Islam itu kafir.”[12]

Begitu juga Imam Syafi’i (ra) menyebutkan, “Saya menerima kesaksian seluruh ahli bid’ah kecuali Khaththâbiyah karena mereka membolehkan kesaksian palsu dan bohong terhadap orang-orang yang sepakat dengan mereka.”[13]


Kesimpulan:

Dari materi-materi yang dikaji dan dibahas diatas, telah mengantarkan kita kepada kesimpulan bahwa Imam Syafi’i punya atensi terhadap masalah takfiri, beliau sendiri menghindarinya dan juga mengingatkan kepada para pengikutnya jangan sampai terjerumus dalam lingkaran kelompok takfiri, dengan itu, beliau coba melakukan pengembangan dan perluasan lingkaran kaum Muslimin. Imam Syafi’i telah mengantarkan umat Islam ke arah umat yang satu dan mencegah dari mengkafirkan sesama kaum Muslimin.

Imam Syafi’i juga menjelaskan poin bahwa jangan sekali-kali dan jangan pernah mengkafirkan ahli kiblat, kendati bisa jadi terdapat perbedaan pandangan pada sebagian masalah cabang-cabang (furû’) agama, karena hal yang mengumpulkan dan menyatukan seluruh elemen di bawah payung agama Islam adalah ucapan kalimat syahadatain dan ahli kiblat, dan apabila seseorang punya dua karakter ini maka tidak boleh mengkafirkannya. Sangat jelas Imam Syafi’i menentang kelompok takfiri dan beliau tidak hanya melakukan pembelaan terhadap Ahlulbait as tapi juga terhadap para pengikut Ahlulbait as, beliau melakukan hal yang sama, dan kalau pandangan-pandangan fikih beliau diterapkan maka betapa banyak problem-problem dunia Islam dapat terselesaikan.


Referensi:

1. Ibnu Abi Ya’la, Thabaqât al-Hanâbilah, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1417 H.
2. Ibnu al-Mulqin, Sirajuddin Abu Hafsh Umar bin Ali, al-Tadzkirah fî al-Fiqh al-Syâfi’î Libni al-Mulqin, periset: Muhammad Hasan Ismail, Beirut, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1427 H.
3. Ibnu al-Nadim, Abul Faraj Muhammad bin Ishaq, al-Fahrast, Beirut, Dâr al-Ma’rifah, 1417 H.
4. Abu al-Muzhaffar, Thahir bin Muhammad al-Asfarayaini, al-Tabshîr fî al-Dîn wa Tamyîz al-Firqah al-Nâjiyah ‘an al-Firaq al-Hâlikîn, peneliti: Kamal Yusuf al-Haut, Libanon, ‘âlam al-Kutub, 1403 H.
5. Abi Hanifah, al-Nu’man bin Tsabit bin Zuthi bin Mah, al-Fiqh al-Akbar (mathbû’ ma’a al-Syarh al-Muyassar ‘alâ al-Fiqhain al-Absath wa al-Akbar al-Mansubain liabî Hanîfah, karya Muhammad bin Abdurrahman al-Khamis), al-‘Imârât al-‘Arabiyah, Maktabah al-Furqân, 1419 H.
6. Al-Adzra’i al-Shalihi, Shadruddin Muhammad bin ‘Alauddin, Syarh al-‘Aqîdah al-Thahâwiyah, periset: Syu’aib al-Arnûth dan Abdullah bin al-Muhsin al-Turki, Beirut, Muassasah al-Risâlah, 1417 H.
7. Al-Azdari, Abu Bakar Muhammad bin al-Hasan, Jumhuruhu al-Lughah, jilid 2, periset: Ramzi Munir Ba’labaki, Beirut, Dâr al-‘Ilm Lilmayiîn, 1987 M.
8. Al-Baghdadi al-Tamimi, Abdul Qahir bin Thahir, al-Farq baina al-Firaq wa Bayân al-Firqah al-Nâjiyah, Beirut, Dâr al-Âfâq al-Jadîdah, 1977 M.
9. Al-Turki, Abdullah bin Abdul Muhsin, Mujmal I’tiqâd Aimmah al-Salaf, Kerajaan Arab Saudi: Wizârah al-Syu’ûn al-Islâmiyah wa al-Auqâf wa al-Da’wah wa al-Irsyâd, 1417 H.
10. Jauzi, Jamaluddin Abul Faraj, al-Muntazham fî Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, jilid 6, Beirut, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1412 H.
11. Al-Husaini, Muhammad bin Muhammad, Tâj al-‘Arûs min Jawâhir al-Qamûs, jilid 14, peneliti: oleh sejumlah peneliti, Dâr al-Hidâyah, tanpa tahun.
12. Al-Khathîb al-Baghdadi, Abu Bakar Ahmad bin Ali, Târîkh Baghdâd, jilid 15, peneliti: Dr. Basyar ‘Iwad Ma’ruf, Beirut, Dâr al-Gharb al-Islâmî, 1422 H.
13. Al-Khamis, Muhammad bin Abdurrahman, Ushûluddîn ‘Inda al-Imâm Abî Hanîfah, Kerajaan Saudi Arabia, Dâr al-Shamî’i, tanpa tahun.
14. Raghib al-Ishfahani, Abul Qasim al-Husain bin Muhammad, Muhâdharât al-Udabâ wa Muhâwarât al-Syu’arâ wa al-Bulaghâ, jilid 2, Beirut, Syirkah Dâr al-Arqam bin Abî al-Arqam, 1420 H.
15. Al-Radhawi, Murtadha, Ârâ ‘Ulamâ al-Muslimîn fî al-Taqiyah wa al-Shahâbah wa Shiyânah al-Qur’ân al-Karîm, Beirut, al-Irsyâd liththabâ’ah wa al-Nasyr, 1411 H.
16. Al-Zuhaili, Wahbah bin Mushthafa, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, Damaskus, Dâr al-Fikr, tanpa tahun.
Zaidan, Yusuf, al-Lâhût al-‘Arabî wa Ushûl al-‘Unf al-Dînî, Kairo, Dâr al-Syurûq, 2010 M.
17. Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar, al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1411 H.
18. Al-Sya’rani, Abdul Wahab, al-Yawâqît wa al-Jawâhir fî Bayân ‘Aqâ’id al-Akâbir, jilid 1, Beirut, Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabî, 1418 H.
19. Abdul Wahab Ali Jum’ah Muhammad, al-Madkhal ilâ Dirâsah al-Madzâhib al-Fiqhiyah, Kairo, Dâr al-Salâm, 1422 H.
20. Al-Asqalani, Abul Husain Malathi, al-Tanbîh wa al-Rad ‘alâ Ahl al-Ahwâ wa al-Bid’i, peneliti: Muhammad Zahid bin Hasan al-Kautsari, Mesir, Maktabah al-Azhariyah li al-Turâts, tanpa tahun.
21. Fakhruddin al-Razi, Abu Abdillah Muhammad bin Umar, Mafâtîh al-Ghaib (tafsir al-Kabîr), Beirut, Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabî, 1420 H.
21. Gurji, Abul Qasim, Târîkh Fiqh wa Fuqahâ, Teheran, Samt, 1421 H.
22. Masykur, Muhammad Jawad, Farhangg-e Firaq Islâmî, Mashad, Astân-e Quds Razavi, 1372 Syamsi.
23. Nu’mani, Syibli, Târîkh-e ‘Ilm-e Kalâm (diterjemahkan oleh Sayid Muhammad Taqi Fakhr Da’i), Teheran, Asâthîr, 1386 Syamsi.
24. Al-Nawawi, Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf, Raudhah al-Thâlibîn wa ‘Amduhâ al-Muftîn, peneliti: Zuhair al-Syawisy, al-Maktab al-Islâmî, 1412 H.


Catatan Kaki:

[1] Ziyârah al-Qubûr wa al-Istinjâd bi al-Maqbûr, hal. 156.
[2] Kasyf al-Syubuhât, hal. 58.
[3] Majmû’ah Muallifât Muhammad bin Abdulwahhab, jilid 6, hal. 188.
[4] Majmû’ah Muallifât Muhammad bin Abdulwahhab, jilid 6, hal. 147.
[5] Al-Durar al-Sunniyah fî al-Rad ‘alâ al-Wahhâbiyah, Ahmad Zaini Dahlan, hal. 39.
[6] Bukhari, Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari, Dâr al-Fikr, Beirut, 1401 H, jilid 8, hal. 218, Kitab Tauhid, Bab Qirâ’at al-Fâjir wa al-Munâfiq, Ibnu Majah Qazwini, Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah, Muhammad Fuad Abdul Baqi (penelitian), Dâr al-Fikr, Beirut, jilid 1, hal. 62, al-Wahhâbiyah, Maktabah al-Haqîqah, Istambul, cetakan baru.
[7] Zaini Dahlan Syafi’i, Al-Durar al-Sunniyah fî al-Rad ‘alâ al-Wahhâbiyah, Maktabah Îsyîq, Istambul, 1396 H, hal. 50; Zaini Dahlan, Fitnah al-Wahhabiyah, cet. 1, hal. 19.
[8] Al-Durar al-Sunniyah fî al-Rad ‘alâ al-Wahhâbiyah, Ahmad Zaini Dahlan, hal. 50.
[9] Syafi’i, al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir.
[10] Al-Tadzkirah.
[11] Nawawi, Raudhah al-Thâlibîn wa ‘Umdah al-Muftîn, jilid 3.
[12] Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Husaini Hushni Dimasyq Syafi’i, Kifâyah al-Akhyâr fî Hall Ghâyah al-Ikhtishâr, jilid 2.
[13] Majmû’ah Nawawi, jilid 4, hal. 254; Syarh Shahih Muslim, jilid 1, hal. 60; al-Bahr al-Râ’iq, jilid 1, hal. 613; Hâsyiah Rad al-Mukhtâr Ibn ‘Âbidîn, jilid 4, hal. 422.

(Shafei-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: