Sejak menjadi Gubernur definitif tahun 2014, menggantikan Joko Widodo yang “naik kelas” jadi Presiden, sejumlah gebrakan dilakukan Ahok.
Gebrakan yang harus diakui terlihat wujud nyatanya untuk warga ibu kota. Namun gebrakan itu tak jarang mendapat kritikan bahkan cibiran dari sebagian kalangan.
Sejak resmi menggantikan Jokowi, Ahok memang langsung tancap gas. Dia ingin membangun Jakarta sebagaimana cita-citanya bersama pendahulunya itu.
Ada banyak cara Ahok untuk membangun Jakarta, salah satunya dengan cara ‘memalak’. Mulai dari ‘barter’ pembangunan dari perusahaan-perusahaan swasta lewat Koefisien Lahan Bangunan (KLB), sampai pada kontribusi tambahan terhadap pengembang reklamasi teluk Jakarta.
Belum lagi pemanfaatan dana Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) yang diwujudkan untuk pembangunan di Ibu Kota.
Pembangunan Simpang Susun Semanggi senilai Rp360 miliar misalnya yang merupakan hasil ‘palakan’ Ahok terhadap PT Mitra Panca Persada, anak perusahaan asal Jepang, Mori Building Company.
Perusahaan tersebut mengajukan izin KLB. Alih-alih membayar menggunakan uang, biaya izin dialihkan ke pembangunan jalan layang atau flyover. Selain membiayai flyover, PT Mitra Panca Persada juga membiayai infrastruktur di tempat lain yang membutuhkan dana sebanyak Rp219 miliar.
Ahok tak segan menyebut simpang susun Semanggi merupakan jatah ‘preman’ perusahaan swasta untuk pemerintah.
“Pemerintah itu preman resmi. Semua pengembang gue tagih (KLB),” kata Ahok pada April 2016 lalu.
Selain Simpang Susun Semanggi, penerapan kompensasi KLB untuk pembangunan juga ditawarkan Ahok pada para pemilik bangunan yang lahannya terpakai untuk jalur Mass Rapid Transit (MRT). Pemilik boleh menambah jumlah lantai bangunannya hingga 14 lantai.
Mereka yang diberi kompensasi KLB 14 lantai itu kemudian diminta membereskan trotoar di sekitar bangunannya. Pembenahan trotoar itu untuk mendukung penyediaan 2.700 kilometer trotoar yang layak di Jakarta.
Kemudian ada kontribusi tambahan yang dibebankan Pemprov DKI Jakarta kepada para pengembang reklamasi di teluk Jakarta. Kontribusi tambahan juga merupakan cara Ahok memalak para pengembang untuk pembangunan dan masyarakat Jakarta.
Salah satu pengembang yang sudah memberikan kontribusi tambahan itu PT Agung Podomoro Land (APL). Lewat anak perusahaannya, PT Muara Samudra Wisesa (MSW), APL menggarap Pulau G. Total Rp392 miliar dana yang dikucurkan APL guna memenuhi kontribusi tambahan yang menjadi salah satu syarat penggarapan pulau reklamasi dari Pemprov DKI Jakarta.
Dana Rp392 miliar itu digunakan MSW untuk membangun sejumlah proyek di Jakarta sebagai kontribusi tambahan. MSW juga melakukan pembangunan jalan inspeksi di sejumlah ruas sungai di Jakarta.
Di zaman Ahok, Pemprov DKI Jakarta juga memanfaatkan dana CSR perusahaan swasta untuk pembangunan. Contohnya pembangunan Ruang Terbuka Hijau dan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Kalijodo, Jakarta Barat. Wajah Kalijodo yang dulu kental dengan protitusi kini benar-benar berubah menjadi taman bermain.
RTH dan RPTRA Kalijodo dibangun dengan dana CSR PT Bumi Serpong Damai (BSD), anak perusahaan PT Sinarmas. Total dana CSR yang dipakai untuk pembangunan RTH dan RPTRA Kalijodo ini mencapai kurang lebih Rp20 miliar.
Sampai Mei 2017 lalu, setidaknya sudah 187 RPTRA dibangun di Jakarta. Pemprov DKI era Ahok juga menargetkan pembangunan 200 RPTRA per tahunnya, rinciannya 100 RPTRA dari dana CSR dan 100 RPTRA dari APBD.
Selain kebijakan-kebijakan dengan cara memalak, ada kebijakan lain Ahok selama menjabat Gubernur. Mulai dari penghapusan mobil berpenumpang tiga atau lebih di jalur khusus (three in one), sistem ganjil genap, sampai pelarangan sepeda motor melintas di jalan protokol. Tujuannya untuk mengurai kemacetan.
Ahok secara resmi menghapuskan three in one di jalan protokol Jakarta pada 16 Mei 2016. Selama ini, selain dinilai tidak efektif untuk mengatasi kemacetan, three in one juga kerap ‘melahirkan’ joki-joki yang ujung-ujungnya terjadi eksploitasi anak demi uang. Sebelum diresmikan, penghapusan three in one diujicoba selama setahun. Hasilnya, tak ada lagi joki-joki di pinggir jalan.
Setelah penghapusan three in one, Ahok kemudian menggantinya dengan melakukan pembatasan kendaraan di jalan protokol Jakarta lewat sistem ganjil genap.
Ahok menilai, ganjil genap lebih efektif dan mampu mengurangi kemacetan sebesar 20 persen.
Kendaraan roda empat yang melintas di Jalan Medan Merdeka, Sudirman, Thamrin, dan Gatoto Subroto dibatasi sesuai dengan angka terakhir dalam pelat nomor yang menyesuaikan pada tanggal ganjil atau genap. Aturan itu berlaku setiap Senin-Jumat pukul 07.00-10.00 dan 16.00-20.00.
Aturan itu resmi diterapkan 30 Agustus 2016 setelah diujicobakan selama sebulan. Pengendara yang melanggar akan langsung ditilang dan denda maksimal sebesar Rp 500.000.
Jauh sebelumnya, tepatnya pada Desember 2014, Ahok sudah lebih dulu menerapkan pelarangan motor melintas di jalan protokol, khususnya sepanjang Jalan Medan Merdeka Barat-MH Thamrin.
Sebagai solusi, para pengendara sepeda motor dapat memarkir kendaraannya di gedung-gedung di sekitar jalan MH Thamrin dan Jalan Medan Merdeka Barat. Hal ini dinilai sebagai solusi lain mengurangi kemacetan dan mengurangi angka kecelakaan.
Ahok berencana memperluas pelarangan sepeda motor. Ia bahkan ingin seluruh jalur protokol di ibu kota menjadi jalan terlarang untuk kendaraan roda dua.
(CNN-Indonesia/suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email