Pesan Rahbar

Home » » Islam Kita Menyatukan, Bukan Memecah Belah Umat

Islam Kita Menyatukan, Bukan Memecah Belah Umat

Written By Unknown on Monday 16 October 2017 | 22:54:00


Oleh: Habib Umar bin Hafidz*

Alhamdulillah segala puji milik Allah yang telah memilih kalian untuk memikul amanah yang agung ini. Semoga Allah menolong kalian agar bisa menjalankan amanah ini dengan sebaik-baiknya. Wahai Allah rekatkanlah hati dan sanubari-sanubari kami ini dengan hati dan sanubari orang-orang yang dekat dan Engkau cintai dengan sanad yang kuat yang tersambung kepada mereka.

Hakikat keistimewaan dalam Islam adalah dengan memerdekakan nafsu kita dan juga memerdekakan orang lain dari jajahan nafsu-nafsu mereka sendiri. Allah telah menyebutkan kepada kita tentang perkara dakwah di jalan Allah dengan cara/metode dakwah yang diterima oleh Allah SWT yang bermanfaat bagi masyarakat.

Pertama, memenuhi hati dengan pengagungan kepada Allah hingga ia takut dan berharap hanya kepada Allah SWT. Sesungguhnya Allah SWT mengatur slogan ini di lidahnya para rasul seperti tercantum dalam al-Quran:

وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ ۖ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Dan aku sekali-kali tidak meminta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.” (QS. asy-Syu’ara ayat 109, 127, 145, 164 dan 180).

Allah memuji orang-orang yang menyampaikan risalah-Nya dengan takut hanya kepada Allah dan menjadikan Allah sebaik-baik perlindungan:

الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالَاتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ ۗ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ حَسِيبًا

“(Yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai perlindungan.” (QS. al-Ahzab ayat 39).

Sesungguhnya yang patut menyandang dakwah di jalan Allah adalah orang yang hatinya berharap dan takut hanya kepada Allah. Dan selama di dalam hatinya masih ada titik harapan kepada selain Allah maka pasti dia tidak akan selamat dari kekacauan dalam dakwahnya. Baik disadari maupun tanpa disadari ada kepentingan demi sesuatu yang diharapkan selain Allah atau demi kekhawatiran selain khawatir kepada Allah.

Dan kita pun membaca wahyu Allah di dalam metode dakwah yang benar, Allah memerintahkan kepada Nabi Musa dan Nabi Harun:

اذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا

“Pergilah kalian berdua kepada Fir’aun, sampaikan dakwahku, dan ucapkan kepada dia dengan penyampaian yang lembut.” (QS. Thaha ayat 43-44).

Sesungguhnya akal-akal yang berpikiran bahwa ‘sesungguhnya engkau belum melaksanakan nahi munkar apabila engkau tidak berucap dengan kata-kata yang kasar dan keras”, maka ucapan dan pemikiran itu bertentangan dengan wahyu Allah. Lihat wahyu Allah tentang metode dakwah ini, ketika mengatakan Fir’aun telah berbuat hal-hal yang jahat dan melewati batas, seharusnya setelah kalimat ini ‘kasari dia atau bunuh dia atau habisi dia’, bukan. Melainkan

“فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا”
.

 Justru metode dakwah kalian adalah dengan ucapan dan penyampaian yang lembut.

Adapun metode hati adalah dengan harapan dan optimisme

 “لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ”

. Mudah-mudahan ia menjadi ingat Allah atau takut kepada Allah sehingga ia menjadi sadar.

Di dalam ayat yang lain, Allah memerintahkan:

اذْهَبْ إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ. فَقُلْ هَلْ لَكَ إِلَىٰ أَنْ تَزَكَّىٰ. وَأَهْدِيَكَ إِلَىٰ رَبِّكَ فَتَخْشَىٰ

“Pergilah kepada Fir’aun, sesungguhnya ia telah melampaui batas. Dan katakanlah (kepada Fir’aun): “Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri? Dan kamu akan kubimbing ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepadaNya?” (QS. an-Nazi’at ayat 17-19).

Bahkan cara ini diajarkan oleh Allah melalui wahyu kepada para rasulNya. Ketika Nabi Musa disampaikan pengaduan dari kaumnya tentang Fir’aun yang mengganggu mereka jauh sebelum datangnya Nabi Musa, maka jawab Nabi Musa:

اسْتَعِينُوا بِاللَّهِ وَاصْبِرُوا ۖ إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ۖ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah. Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah diperuntukkan kepada siapa yang dihendakiNya dari hamba-hambaNya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-A’raf ayat 128).

Sesungguhnya perkara amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban yang penting dan agung sampai hari kiamat. Tapi bagaimana metode dan caranya? Yakni amar ma’ruf dengan cara yang ma’ruf, dan nahi munkar pun dengan cara yang ma’ruf. Apabila engkau memerintahkan orang lain untuk berbuat hal yang ma’ruf (baik) maka perintahkan dengan cara yang ma’ruf. Dan apabila engkau mencegah orang lain dari perbuatan yang mungkar maka cegahlah mereka dengan cara yang ma’ruf, bukan mencegah kemungkaran dengan cara yang mungkar.

Ketika beberapa ulama salaf dahulu menyaksikan bagaimana masyarakat menggosipkan Hajjaj yang banyak membunuhi dan mendzalimi ummat Islam, dengan cara menggosip (ghibah) di belakang dan kenyataannya tidak menghasilkan apa-apa. Maka para ulama salaf berkata, “Sesungguhnya Allah akan menuntut apa yang dilakukan Hajjaj, sebagaimana Allah juga akan menuntut orang-orang yang menggosipkan dan mencaci maki Hajjaj atas kedzalimannya.”

Dulu di masa Hajjaj, ada sekelompok sahabat Rasulullah SAW., anak-didik Rasulullah SAW., mereka tidak memahami makna mencegah dari kemungkaran dengan memaki Hajjaj, atau mengeluarkan kata-kata yang tidak baik kepada Hajjaj, atau memprovokasi massa untuk melakukan revolusi menggulingkan Hajjaj. Bukan itu yang mereka pahami dari makna ‘Nahi Munkar’ tersebut. Seperti sahabat Abdullah bin Umar Ra. dan para sahabat yang lain berpendirian demikian, mereka tidak ada satupun yang mendukung Hajjaj atas kedzaliman dan kemungkaran yang dia lakukan dan mereka juga tidak mencaci maki Hajjaj.

Siapa gerangan pemimpin dari semua manusia yang melakukan praktik amar ma’ruf nahi munkar? Siapa pula orang yang paling mengenal takut kepada Allah? Dan siapakah yang paling mengenal kecemburuan di dalam agama Allah? Sesungguhnya dialah Nabi Muhammad SAW.

Sebutkan, cacian apa yang pernah keluar dari lidah Rasulullah SAW yang ditujukan kepada orang-orang musyrikin Mekkah yang dahulu pernah mengganggunya? Cacian apa yang pernah keluar dari lidah Rasulullah terhadap orang-orang munafik Madinah yang dahulu hidup di Madinah bersama Nabi? Pernahkah kita mendengar cacian Nabi Muhammad SAW terhadap orang-orang Yahudi yang sering menggugurkan perjanjian dan kesepakatan bersama terhadap ummat Islam?

Sesungguhnya Nabi SAW tidak menyibukkan diri dari hal demikian dan Nabi SAW pun tidak berhenti untuk mengajak mereka (ke jalan Allah SWT) dan Nabi Muhammad SAW mendirikan jihad terhadap orang-orang tersebut tetapi dengan aturan dan koridor kenabian yang diatur di dalam sunnahnya. Ketika ada satu kelompok Yahudi yang berkhianat atas suatu janji, maka yang diusir hanya satu kelompok Yahudi itu, bukan ditimpakan atas seluruh kaum Yahudi.

Dan kita semua mencintai amar ma’ruf nahi munkar dan jihad di jalan Allah, kita hidup atas hal tersebut dan rela mati untuknya, tetapi dengan cara dan metode Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin dan Salafus Shalih. Dikatakan kepada Nabi Muhammad, “Ya Rasulullah, sumpahi mereka kaum musyrikin yang menyerang kita sebab mereka telah membunuh lebih dari 70 orang, juga telah membelah perut salah seorang sahabat Rasulullah, melukai dan menumpahkan banyak darah serta melakukan banyak kejahatan.” Namun Nabi SAW malah menjawab:

إنّيْ لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا؛ وَلَكِنْ بُعِثْتُ دَاعِيًا وَرَحْمَةً، اللَّهُمَّ اهْدِ قَوْمِيْ فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ

“Sesungguhnya aku tidak diutus menjadi tukang laknat, akan tetapi aku diutus untuk mengajak kebaikan dan rahmat. Ya Allah berilah petunjuk kepada kaumku karena sesungguhnya mereka belum tahu.”

Ketika ummat Islam baru pulang dari peperangan, ada orang-orang munafik memprovokasi umat Islam dengan mengatakan, “Kalau betul Nabi kalian ini Nabi yang benar maka kalian tidak akan kalah perang, kalian pasti akan menang.” Maka Sayyidina Umar bin Khattab Ra. yang mendengar ucapan tersebut menjadi geram, lalu menghadap Rasulullah SAW untuk meminta ijin membunuh mereka untuk menyelesaikan masalah ini.

Nabi SAW menjawab, “Wahai Umar sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) mengucap La ilaha illallah.”

Sayyidina Umar bin Khattab Ra lalu berkata, “Sesungguhnya lidah mereka mengucap La ilaha illallah, tetapi hati mereka tidak.”

Maka Nabi SAW bersabda, “Saya tidak diperintahkan untuk memeriksa hati manusia.”

Adapun kepada orang-orang Yahudi yang Sayyidina Umar meminta ijin membunuh mereka, Nabi SAW berkata, “Saya punya perjanjian dengan mereka, bagaimana saya akan menggugurkannya dengan membunuhi mereka? Selama mereka mengucapkan omongan dan provokasi secara diam-diam dan mereka tidak membatalkan perjanjian ini, maka saya tidak punya jalan untuk membatalkan perjanjian ini.”

Kemudian di masa tersebut ada seorang anak kecil dari keturunan Yahudi, yang mana anak kecil ini memiliki keistimewaan bisa mengetahui isi hati orang-orang dan hal yang ghaib dan membicarakannha di tengah-tengah masyarakat. Ibnu Shayyad namanya dan dikenal dengan Dajjal. Sayyidina Umar meminta ijin membunuhnya daripada membuat fitnah. Tapi Nabi menjawab, “Kalau benar Ibn Shayyad itu Dajjal, maka kau tidak akan mampu membunuhnya. Sebab sudah kusabdakan di akhir jaman nanti akan datang Dajjal yang akan melakukan hal ini dan hal itu. Kalau engkau melakukan itu berarti sabdaku tidak benar dan bohong. Kalau memang ternyata dia bukan Dajjal, maka tidak ada kebaikan bagimu ketika membunuh anak ini.”

Dalam arti sesungguhnya kemarahan dan kecumburan yang seharusnya hanya untuk Allah, apabila dijadikan bukan karena Allah maka justru akan menarik orang-orang tersebut di luar jalan Allah SWT. Maka sesungguhnya tempat kemarahan, kecemburuan dan ketegasan karena Allah SWT terhadap orang kafir tersebut, dengan cara tidak membiarkan kemungkaran-kemungkaran tersebut menyebar pada diri kita, keluarga kita dan dari dalam rumah kita.

Bukan seseorang yang mengklaim dia tegas dan marah karena Allah tetapi dia bersalaman dengan wanita yang bukan mahramnya, kemudian melakukan hal-hal yang tidak sesuai syariat Allah, terbukanya aurat bagi kaum wanitanya. Namun ketika melihat ada orang-orang yang di luar sana melakukan kemungkaran tersebut dia marah, dia bangkit, kemarahan dan emosinya siap melakukan kekerasan, sedangkan kesalahan yang ada pada keluarganya sendiri dia hanya diam seribu bahasa. Bukan itu yang dimaksud marah karena Allah SWT.

Ada salah seorang sahabat Rasulullah SAW yang meminum minuman keras. Kemudian dibawa ke hadapan Rasulullah, dan dihukum cambuk 41 kali. Kemudian setelah itu dia melakukan lagi dan tertangkap lagi dan dicambuk 41 kali untuk kedua kalinya. Sampai dengan yang ketiga kalinya dia tertangkap lagi dan dicambuk, sehingga ada orang yang mencaci makinya.

Nabi yang mendengar caci maki itu kemudian bersabda, “Tidak, ini sudah melewati batas. Jangan mencaci maki dia. Dia sudah dihukum cambuk 41 kali. Janganlah kalian menjadi antek setan yang menjerumuskan saudaramu yang Muslim lebih jauh kepada Allah SWT.” Bahkan orang itu dipuji oleh Nabi SAW, “Ketahuilah, bagaimanapun dia tetap cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Nabi Muhammad SAW menyetujui, mengikrarkan dan menetapkan ini hukum Islam harus ditegakkan atas peminum minuman keras, tapi Nabi SAW pun tidak memperkenankan seorang Muslim mencaci Muslim lainnya. Ini adalah timbangan kenabian.

Sayyidina Umar Amirul Mu’minin Ra. ketika menjabat sebagai Khalifah, pernah berpatroli di perumahan Kota Madinah. Ia mendapati ada sebagian pemuda yang sedang berkumpul di dalam rumah meminum minuman keras. Langsung saja ia datangi rumah tersebut dengan menaiki dinding dan langsung memarahi atas apa yang mereka lakukan.

Salah seorang dari mereka lalu berkata, “Wahai Airul Mu’minin, sesungguhnya kami mengakui telah melakukan satu kesalahan. Tapi kamu wahai Amirul Mu’minin, saat ini telah melakukan tiga kesalahan. Pertama, Allah berfirman, “Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain,” (QS. al-Hujurat ayat 12) sedangkan engkau telah memata-matai kami. Kedua, Allah berfirman, “Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya,” (QS. al-Baqarah ayat 189) sedangkan engkau bertamu melalui jalan dinding. Ketiga, Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlan kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta ijin dan memberi salam kepada penghuninya,” (QS. an-Nur ayat 27) Sedangkan engkau tidak melakukan hal itu.”

Kemudian Sayyidina Umar pun berkata, “Baiklah, mari kita sama-sama bertaubat kepada Allah.” Akhirnya beliau pun pergi meninggalakan mereka.

Dan ketika melihat itu Sayyidina Umar pun tidak jadi menghukum mereka. Padahal Sayyidina Umar adalah orang yang disabdakan Nabi SAW dengan sifat, “Sesungguhnya Allah menjadikan yang haq (kebenaran) di dalam hati dan ucapan Umar bin Khaththab.”

Dan yang mengharamkan mereka (para pelaku maksiat) pada masa sekarang ini adalah mereka yang suka memata-matai orang lain, mencari-cari kesalahan orang lain, mencaci maki orang lain, dan melakukan hal-hal mungkar lainnya meskipun dengan dalih untuk menghilangkan kemungkaran. Dan hal-hal seperti ini semuanya adalah hal yang diharamkan di dalam agama Islam. Siapapun dia, dari anggota partai manapun, dari organisasi manapun dan dari kelompok manapun, tetap haram melakukan hal-hal tersebut.

Barangsiapa yang ingin membela dan berjuang untuk agama Islam, maka wujudkan perjuangan dan pembelaan tersebut dengan kesungguhan kepada Allah SWT dan peneladanan terhadap Nabi Muhammad SAW. Dan barangsiapa yang ingin mencegah orang lain dari kemungkaran, jangan karena salah kaprah hingga justru menimbulkan kemungkaran-kemungkaran lainnya yang bahkan lebih besar.

Dahulu, sekitar 50 tahun yang lalu di sebuah wilayah, saat itu sedang digembar-gemborkan revolusi diantara negara-negara Islam. Sehingga ada beberapa ulama yang terpengaruh dengan bujukan revolusi hingga ikut-ikutan terhadap jamaah dan kelompok yang mengatasnamakan Islam tersebut di dalam memperjuangkan revolusi bagi kaum Muslimin. Dan setelah memenangkan revolusi itu, kemudian masuk pengaruh politik dan lain sebagainya, hingga dia dan kelompok yang tadinya berperan dalam revolusi dalam negara tersebut malah akhirnya jadi korban politik dan dipenjarakan di penjara khusus. Penjara yang sangat ketat bahkan untuk buang hajat pun hanya dibolehkan di waktu-waktu yang sudah ditentukan.

Hingga dia menulis sebuah surat, “Dahulu sebelum revolusi, kita mencari dan menuntut kebebasan untuk berbicara. Namun setelah revolusi, kami menuntut kebebasan hanya sekadar untuk buang hajat.” Artinya, apa yang mereka cita-citakan dahulu tidak sesuai dengan hasil yang mereka terima.

Dan saya (Habib Umar bin Hafidz) sempat berjumpa dengan tokoh tersebut di penghujung akhir hayatnya. Saat itu hatinya benar-benar dipenuhi dengan pengagungan dan penghormatan kepada orang-orang yang shalih dan mulia yang menempuh jalan thariqah orang-orang yang tidak mau menodai tangan mereka dengan darah dan menodai lisan mereka dengan caci makian terhadap orang lain.

Ketahuilah, kita sekarang berada di hadapan sebuah perkara yang agung dan penting. Dan keberadaan kita adalah untuk mengevakuasi dan menyelamatkan ummat. Dan di hadapan kita adalah sebuah jalan tempuh dan metodenya orang-orang shalih. Jalan mereka adalah Ahlussunnah wal Jama’ah.

Adalah mereka orang-orang yang mengagungkan sunnah Nabi SAW dengan mengagungkan ucapan Rasulullah SAW, mengagungkan setiap detail perbuatan Rasulullah SAW., bahkan diamnya Rasulullah SAW dan semua keadaan Rasulullah SAW mereka agungkan, terobsesi dan mengidolakannya. Inilah makna Ahlussunnah. Sedangkan makna al-Jama’ah, adalah hati mereka satu sama lain saling menghormati, saling mencintai dan saling menjaga persatuan.

Dan mereka orang-orang yang menempuh jalan istiqamah, jalan yang lurus ini, mereka tidak terpengaruh dengan arus manapun seberapapun derasnya ataupun hembusan angin yang mengarah ke kanan atau kiri, mereka tetap konsekuen atas fatwa yang mereka ucapkan.

Adapun orang-orang yang terpengaruh dengan hembusan kanan ikut ke kanan, hembusan kiri ikut ke kiri, maka orang yang semacam itu setiap kali ada perubahan pendiriannya juga ikut berubah. Hari ini berfatwa, besok saat ada perubahan ia sampaikan lagi fatwa yang bertentangan dengan fatwa yang pertama. Berubah lagi keadaan ia sampaikan fatwa yang berbeda lagi dengan sebelumnya, begitu seterusnya tidak konsisten.

Mari kita bangkit untuk mengevakuasi dan menyelamatkan ummat. Dan maksud atau tujuan dari perkataan ini, saat ini, bukanlah untuk menyibukkan diri mencaci kelompok yang berbeda dengan kita, berbeda cara dengan kita. Melainkan untuk memberikan penjelasan kepada kita, agar menjadi terang dan jelas metode yang benar ini.

Dan di hadapan kalian ini adalah ada sebuah risalah, risalah masjid. Yang mana risalah itu untuk mengajak manusia kepada ilmu dan dakwah ke jalan Allah SWT. Maka kita harus bisa mengayomi semuanya. Membawa semuanya ke jalan Allah SWT dengan cara yang benar.

Dan kalian berinteraksi dengan orang-orang ahli politik dan yang tidak berkecimpung dalam politik, juga berinteraksi dengan orang-orang yang telah terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran di luar Islam, atau berinteraksi dengan orang-orang yang berpikiran benar, berinteraksi dengan orang-orang yang suka maksiat, juga berinteraksi dengan semua lapisan masyarakat. Tetapi yang sesuai dengan koridor yang diatur di dalam metode kenabian dan juga tolak ukur dan timbangan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW agar tidak kebablasan.

Melalu masjid-masjid ini mari kita jadikan sarana untuk mengakurkan, mendamaikan serta memperbaiki keadaan masyarakat. Dan untuk menenangkan hati masyarakat serta membantu masyarakat dengan ilmu, pikiran, sedekah dan infaq kita melalui masjid. Dan hidupkan kembali sunnah untuk menyambangi, menjenguk dan membantu orang yang sedang sakit. Pikirkan bagaimana menarik orang-orang yang belum mengenal masjid agar menjadi tidak segan datang ke masjid.

Dengan tugas penting ini, maka banyak orang yang akan mengambil manfaat dan terselamatkan dari kegelapan. Justeru dengan hal semacam ini akan mempunyai pengaruh dan andil besar di dalam menolak balak dan musibah dari ummat Islam. Dan sesungguhnya manakala metode ini dijalankan, maka manfaat yang kalian berikan bukan hanya untuk masyarakat Indonesia tapi menyebar ke seluruh lapisan masyarakat yang ada di dunia ini. Sebab Nabi Muhammad SAW diutus bukan hanya untuk di wilayah tertentu melainkan untuk alam seluruhnya, maka luaskan manfaat dan semangat kita untuk mereka semua.

Semoga Allah menganugerahkan kita sebaik-baiknya peneladanan terhadap Nabi Muhammad SAW. Dan mengikuti metode Nabi Muhammad SAW. Dan Allah memperkuat hubungan dan sanad antara kita dengan Nabi Muhammad SAW. Dan Allah jadikan kita semua termasuk orang-orang yang menggembirakan Nabi Muhammad SAW. Dan semuanya dikumpulkan di barisan Nabi Muhammad SAW.

Sesungguhnya barusan para guru kita dan para wakil kita telah duduk bersama, bersepakat untuk kemaslahatan ummat yang perlu segera kita realisasikan bersama. Dan semua poin-poin yang telah kita sepakati tadi adalah benih yang akan membuahkan menolak balak dan musibah dari ummat ini dan mendatangkan kemanfaatan yang besar, apabila benih ini kita sirami dengan tiga hal; kejujuran, keikhlasan dan kesungguhan.

Semoga Allah memberkahi benih yang baru saja kita tanami bersama. Memberikan taufiq di dalam menyiraminya. Dan memberkahi buah yang akan keluar darinya. Dan Allah perlihatkan kepada kita semua buah darinya, di dunia dan akhirat. Aamiin.

* Disampaikan dalam acara Jalsatuddu’at Pertama di JIC (Jakarta Islamic Center) Jakarta Utara, Minggu malam Senin (15 Oktober 2017)

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: