Pesan Rahbar

Home » » Kehidupan Yang Baik (Hayâtan Thayyibah) Dalam Persfektif Al-Qur’an

Kehidupan Yang Baik (Hayâtan Thayyibah) Dalam Persfektif Al-Qur’an

Written By Unknown on Friday, 20 October 2017 | 05:56:00


Oleh: Hujjatul Islam Hamid Ridha Mazhahiri Saif

Abstrak

Kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah) adalah hasil perjalanan menuju Allah Swt dimana para wali Allah Swt mencapai hal itu dengan cara menempuh jalan penghambaan dan menunaikan perjanjian fitrah manusia dan mereka menikmati hasil-hasilnya. Kehidupan yang baik bagi para wali dan kekasih Allah Swt terealisasi di alam ‘Indallâh (Disisi Allah Swt) dan dibawah wilayah-Nya. Barometer seseorang memiliki itu, iman dan kesabaran dalam berjihad melawan hawa nafsu. Kebalikan dari kehidupan yang baik, kehidupan materil di alam khayalan dunia dan di bawah naungan wilayah Setan dan barometernya adalah syirik, dan karena hawa nafsu lebih dominan maka akan memenjarakan umat manusia.


Mukaddimah

Al-Qur’an adalah kitab samawi yang paling terakhir dan paling sempurna yang Allah Swt turunkan untuk memberi hidayah dan tuntunan kepada umat manusia dan dengan itu, segala sesuatu yang menyangkut kesempurnaan dan kebahagiaan umat manusia tercantum dalam kitab suci ini. Namun karena al-Qur’an diturunkan untuk semesta alam dan mayoritas orang-orang masih berada pada tahap awal hidayah, maka hakikat-hakikat yang berhubungan dengan puncak kesempurnaan, spiritualitas dan keabadian, tersebar dan tersembunyi dalam bentuk kode etik dan isyarah-isyarah di seluruh ayat-ayat al-Qur’an, dan untuk menyingkapnya harus ditelaah dan dikaji. Salah satu rahasia-rahasia al-Qur’an dan hakikat-hakikat gnostik (irfani), “Kehidupan yang Baik” para wali Allah Swt yang hanya sekali disebutkan dengan jelas dalam al-Qur’an, namun hal itu juga disebutkan dalam bentuk isyarah di beberapa ayat dan digambarkan akan keindahannya dengan model hikmah dan jadal (diskusi). Kehidupan yang baik para wali Allah Swt jauh dari segala hal yang tidak terpuji di hadapan-Nya dan pada maqam kedekatan kepada-Nya, telah mengintegrasikan dunia dan akhirat kelompok shiddiqîn (orang-orang yang benar) dengan membuka pintu keabadian, dan mereka akan mendapatkan apa yang layak bagi kemurahan dan kemuliaan Tuhan semesta alam.

Kata Hayâtan Thayyibah (Kehidupan yang baik) disebutkan dalam surah An-Nahl ayat 97. Makalah ini berusaha meneliti dan mengkaji secara mendalam ayat-ayat yang berkenaan dengannya yaitu ayat-ayat 95-100 surah ini dan akan menyingkap dimensi-dimensi Kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah) dan melalui ayat-ayat al-Qur’an akan diuraikan secara detil tentang isyarah-isyarah beberapa ayat mengenai masalah Kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah).


Penjelasan Masalah

Allah Swt berfirman dalam surah An-Nahl ayat 95-100:

وَ لاَ تَشْتَرُوا بِعَهْدِ اللَّهِ ثَمَناً قَلِيلاً إِنَّمَا عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَ مَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ وَ لَنَجْزِيَنَّ الَّذِينَ صَبَرُوا أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَ هُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَ لَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَ الَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ

Artinya, “Dan janganlah kamu tukar perjanjianmu dengan Allah dengan harga yang sedikit (murah). Sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. Apabila kamu membaca Al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Sesungguhnya setan ini tidak memiliki kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhan mereka. Sesungguhnya kekuasaan setan hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukanya dengan Allah.“

Antara manusia dan Allah Swt ada perjanjian yang dengan menjaganya akan membuka pintu-pintu maknawi dan akan mengantarkan manusia kepada Allah Swt atau ke alam ‘Indiyat (kedekatan kepada-Nya), sebuah alam yang abadi dan kekal, disana kehidupan dan kebahagiaan serta kepemilikan tidak akan pernah habis. Terbukanya jalan menuju alam ‘Indallâh (kedekatan kepada-Nya) adalah imbalan atas kesabaran orang-orang Mukmin yang tidak melanggar perjanjiannya dengan Allah Swt dan tidak menjual atau menukarnya dengan sesuatu yang tidak berharga, mereka akan sampai pada sebuah hasil yang lebih baik dari amalnya. Buah dan imbalan yang bentuknya lebih baik dari amal yang dilakukan yang tentunya atas dasar iman, akan diberikan kepada siapa saja, baik laki-laki atau perempuan, itu adalah Hayâtan Thayyibah (Kehidupan yang baik), sebuah kehidupan yang jauh dari segala bentuk kebinasaan dan kekurangan yang menimbulkan rasa takut, khawatir dan resah. Jadi untuk meraih kebahagiaan semacam ini, haruslah bersandar pada wahyu Allah Swt dan menjauhkan diri dari bisikan-bisikan setan, karena setan tidak akan mampu menerobos ke dalam diri orang-orang beriman yang bertawakal. Kebalikan dari kehidupan suci Ilahi, adalah sebuah kehidupan penuh kehinaan dibawah bayang-bayang dan kekuasaan setan bagi mereka yang musyrik dan menyekutukan Allah Swt serta taat kepada setan. Salah satu hal yang menjadi titik sentral dan mendasar ayat-ayat ini adalah Hayâtan Thayyibah (Kehidupan yang baik) dimana ada banyak pandangan yang direkomendasikan mengenai tentangnya. Al-Marhum Tabarsi dalam tafsirnya, Majma’ al-Bayân, menjelaskan sebagiannya seperti berikut:
1. Rezeki yang halal.
2. Kehidupan terhormat disertai dengan qana’ah (merasa cukup) dan tenang.
3. Surga yang penuh semangat, indah dan kehidupan yang menyenangkan.
4. Kehidupan penuh kebahagiaan di surga Barzakh/Alam kubur.[1]

Pada tafsir-tafsir lain juga ditambahkan yaitu berupa: 1). Ibadah yang disertai rezeki halal; dan 2). Taufik berupa ketaatan kepada perintah Allah Swt dan semisalnya.[2]

Semua hal diatas bisa saja benar, namun ia hanya menjelaskan sebagian realitas dan sama sekali tidak memberikan analisa dan penjelasan tentang Hayâtan Thayyibah (Kehidupan yang baik) dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya.

Riset ini berusaha menelusuri pengertian Hayâtan Thayyibah (Kehidupan yang baik) berdasarkan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya dan dengan menggunakan metode tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an (al-Qur’an bil Qur’an) dan dengan bersandar pada kitabullah akan menerangi dimensi-dimensi gelap pengetahuan kita dalam masalah ini.



Perjanjian Allah Swt

Pada ayat-ayat yang menjadi bahan kajian kita yaitu Surah An-Nahl ini, coba mempromosikan bahwa menjaga dan konsisten terhadap perjanjian dengan Allah Swt adalah kunci masuk ke ranah ‘Indiyat (kedekatan kepada-Nya) dan kunci kekekalan serta keabadian di sisi Allah Swt. Al-Qur’an bertutur:

وَ لاَ تَشْتَرُوا بِعَهْدِ اللَّهِ ثَمَناً قَلِيلاً إِنَّمَا عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya, “Dan janganlah kamu tukar perjanjianmu dengan Allah dengan harga yang sedikit (murah). Sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.“

Perjanjian ini adalah perjanjian yang Allah Swt, setelah penciptaan Nabi Adam as dan keturunannya, ambil dan minta dari seluruh umat manusia dan menjadikan mereka sebagai saksi perjanjian ini.

Dalam surah al-A’râf ayat 172 Allah Swt berfirman:

وَ إِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَ أَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَ لَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا

Artinya, “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.”

Dalam perjanjian ini Allah Swt bertindak sebagai yang mengambil kesaksian dan manusia sebagai yang memberi kesaksian, dan saksinya atas perjanjian ini juga adalah manusia itu sendiri. Al-Qur’an menyebutkan bahwa Allah Swt menjadikan manusia sebagai saksi bagi dirinya dan berkata kepadanya bahwa saksikanlah kalau Kamu telah berjanji atas ketuhanan Allah dan penghambaan terhadap-Nya.

Manusia sebagai saksi, artinya menyaksikan hakikat dirinya yang tidak lain adalah keberadaan yang sifatnya bergantung dan ini sama artinya dengan seluruh zat dan eksistensinya bergantung kepada eksistensi Allah Swt dan semata-mata untuk Allah Swt. Dengan kata lain, ketika berada di alam itu –alam yang sifatnya ‘Indallâh (disisi Allah)– manusia menyaksikan kalau seluruh eksistensi dirinya bersumber dari Allah Swt dan juga menyaksikan akan kehambaan dirinya dan ketuhanan Allah Swt.[3] Dalam beberapa riwayat disebutkan, seluruh umat manusia menyaksikan dan tahu saat penyerahan perjanjian Allah Swt.[4]

Ayatullah Jawadi Amuli menganggap perjanjian ini sebagai perjanjian fitrah manusia dengan Allah Swt dan fitrah kecenderungan kepada Allah Swt adalah buah dari makrifat ini serta disebutnya sebagai perjanjian fitrah.[5] Namun sepertinya penjelasan Allamah Thabathabai lebih pas, karena fitrah adalah bentuk penciptaan khusus manusia yang menjadikan dirinya punya hubungan khusus dengan Allah Swt dan menanamkan kebertuhanan itu pada substansi dirinya dan ini tentunya seiring dengan dimensi rohani dan malakut manusia.

Allamah Thabathabai berpendapat bahwa perjanjian ini lebih tepat diterapkan untuk dimensi malakut manusia, seraya berkata, “Malakut segala sesuatu ada pada batin sesuatu itu yang mana menuju ke arah Allah Swt, menyaksikannya sama dengan yakin, sebagaimana yang dipahami dari firman Allah Swt. Allah Swt berfirman dalam surah al-An’âm ayat 75:

وَ كَذلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ وَ لِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ

Artinya, “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim malakut (tanda-tanda) keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, (agar ia berargumentasi dengannya) dan termasuk orang-orang yang yakin.“

Bukan dari sisi kesesuatuan materi yang memberikan hasil ketika mengetahui keistimewaan-keistimewaan sesuatu, tapi dari dimensi eksitensi dan keberadaannya yang tidak independen dan butuh kepada Allah Swt, Tuhan yang mengatur segala sesuatu dan Dia adalah Tuhan sekalian alam.[6]

Umat manusia sebelum hadir di alam materi ini, mereka tinggal di alam malakut dan disisi Allah Swt, menyaksikan-Nya dengan segala keagungan dan Jalâl-Jamâl-Nya serta memberi kesaksian kepada ketuhanan-Nya.

Pengakuan dan kesaksian terhadap ketuhanan Allah Swt Yang Maha Esa punya dimensi lain lagi, yaitu perjanjian untuk tidak menghamba kepada selain Allah Swt. Hakikat ini dijelaskan seperti berikut dalam al-Qur’an.

Dalam surah Yâ Sîn ayat 60 dan 61, Allah Swt berfirman:

أَ لَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لاَ تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ ﴿60﴾ وَ أَنِ اعْبُدُونِي هذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ

Artinya, “Bukankah Aku telah mengambil janji dari kalian, hai Bani Adam, supaya kamu tidak menyembah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu? Dan hendaklah kamu hanya menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.”

Pembagian lain dari tauhid rububiyah adalah mentauhidkan dan meng-esakan Allah Swt dalam menyembah-Nya. Al-Qur’an dalam kaitannya dengan perjanjian ini, telah mempromosikan umat manusia pada tahap awal ke dalam dua kelompok:

Pertama, kelompok yang mengingat perjanjian yang sudah cukup lama itu dan memilih untuk menempuh jalan penghambaan dan ketaatan terhadap Allah Swt. Al-Qur’an dalam surah Ar-Ra’d ayat 19-21 menyebutkan:

إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُوا الْأَلْبَابِ الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَ لاَ يَنْقُضُونَ الْمِيثَاق وَ الَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَ يَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَاب

Artinya, “…Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, dan orang-orang yang menghubungkan apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan…”

Kedua, kelompok yang merusak perjanjian Allah Swt dan orang yang membinasakan dirinya sendiri, membuat kerusakan di muka bumi dan menyembah setan.

Dalam surah Ar-Ra’d ayat 25, Allah Swt berfirman:

وَ الَّذينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللهِ مِنْ بَعْدِ ميثاقِهِ وَ يَقْطَعُونَ ما أَمَرَ اللهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَ يُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَ لَهُمْ سُوءُ الدَّارِ

Artinya, “Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh, memutuskan apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mengadakan kerusakan di muka bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahanam).”

Kelompok kedua ini juga terbagi menjadi dua bagian: pertama, orang-orang yang punya kesempatan untuk melakukan pembenahan diri mereka, dan yang kedua, orang-orang yang tidak menyisakan waktu dan peluang untuk memperbaiki diri. Pada akhirnya, orang-orang itu terbagi menjadi tiga kelompok: pertama, kelompok shâdiqîn yaitu mereka yang tetap konsisten terhadap perjanjian Allah Swt. Kedua, kelompok munafiqin yaitu orang-orang yang merusak perjanjian dengan Allah Swt tapi masih punya peluang bergabung bersama orang-orang shâdiqîn dan Allah Swt memberikan rahmat kepada sebagian dari mereka yang bertaubat. Ketiga, kelompok orang-orang munafiq yang hatinya kelam yang tidak lagi memiliki jalan untuk kembali dan tidak punya keinginan menarik cahaya rahmat dan hidayah Allah Swt. Al-Qur’an menghikayatkan kelompok ini seperti berikut.

Dalam surah al-Ahzâb ayat 23-24 Allah Swt berfirman:

مِنَ الْمُؤْمِنِینَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَیْهِ فَمِنْهُم مِن قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُم مِن یَنتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِیلا لِیَجْزِیَ اللَّهُ الصَّادِقِینَ بِصِدْقِهِمْ وَیُعَذِّبَ الْمُنَافِقِینَ إِن شَاء أَوْ یَتُوبَ عَلَیْهِمْ إِنَّ اللَّهَ کَانَ غَفُوراً رَحِیماً

Artinya, “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur (syahid), dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu; dan mereka sedikit pun tidak merubah (janji merekanya), supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang jujur itu karena kejujuran mereka, dan menyiksa orang-orang munafik jika Dia menghendaki atau menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Kejujuran dalam menghambakan diri dan menjaga perjanjian dengan Allah Swt serta tidak memperjual-belikan (perjanjian itu) dengan harga yang tidak seberapa, adalah syarat pertama untuk masuk ke alam ‘Indiyat (kedekatan dengan-Nya) dan sampai pada Hayâtan Thayyibah (Kehidupan yang baik).



Dunia Tidak Ada Nilainya

Allah Swt sebelum memperkenalkan Hayâtan Thayyibah (Kehidupan yang baik) sebagai imbalan pahala orang-orang yang bertakwa, dalam surah An-Nahl ayat 95 berfirman:

وَ لاَ تَشْتَرُوا بِعَهْدِ اللَّهِ ثَمَناً قَلِيلاً إِنَّمَا عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya, “Dan janganlah kamu tukar perjanjianmu dengan Allah dengan harga yang sedikit (murah). Sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.“

Pada ayat ini, ada dua hal yang antara keduanya saling berhadap-hadapan. Pertama, “Harga yang sedikit (murah)” dan yang kedua, “Apa yang ada di sisi Allah”. Kedua hal ini mesti dikaji dan diidentifikasi.

Dengan menelusuri ayat-ayat al-Qur’an, bisa diketahui bahwa “Harga yang sedikit (murah)” adalah gambaran dunia yang merupakan kesenangan dan dengan penegasan yang lebih ia disebut sebagai “Kesenangan yang sedikit”, karena menurut para ahli bahasa berpendapat bahwa Matâ’ (kesenangan) berarti manfaat yang terbatas dan tidak kekal.[7] Dunia, yang senantiasa dalam kondisi kehancuran dan pada puncaknya bukan sesuatu yang kekal, adalah kesenangan yang sifatnya sedikit dan juga dari sisi ini, dalam surah An-Nisâ ayat 77, Allah Swt berfirman kepada Rasulullah saw, “Katakanlah, “Kesenangan dunia hanya sedikit.” Dan kadang ia dikomparasikan dengan kelanggengan dan keabadian akhirat. Dalam surah al-Taubah ayat 38, Allah Swt berfirman, “Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” Dan Dia mengingatkan bahwa hal yang membuat diri kalian rugi adalah keterlenaan pada kenikmatan dunia yang sedikit ini, problem utama kita bukan hal bahwa kita tidak melihat kefanaan dunia dan juga bukan karena kita tidak tahu kalau semuanya akan hilang dan berlalu, melainkan dengan semua ini, kita telah menjual perjanjian fitrah dengan Allah Swt dengan harga dan kenikmatan dunia yang tidak seberapa. Jadi harus ditanyakan kenapa kita tertipu dengan kesenangan yang tidak seberapa ini dan melupakan kesenangan yang abadi, langgeng dan bernilai di sisi Allah Swt?

Untuk menjawab pertanyaan ini, al-Qur’an menggambarkan kehidupan dunia yang merupakan kebalikan dari Hayâtan Thayyibah (Kehidupan yang baik), sebagai permainan belaka. Dalam surah al-‘Ankabût ayat 64, Allah Swt berfirman, “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main belaka.“

Permainan (la’ib) adalah perbuatan atau komponen perbuatan yang tersistematis secara imajinatif untuk tujuan imajinatif pula, seperti permainan anak-anak[8], sedangkan senda gurau (lahw) adalah aktifitas yang tanpa tujuan dan tidak berguna.

Orang-orang menggambarkan kelezatan dan kenikmatan sementara dunia dalam imajinasi dan khayalannya sebagai sesuatu yang serba “Wah”, hasilnya mereka menjadi lalai dari Allah Swt dan hari Kiamat, setan dengan berbagai cara berusaha melakukan penipuan, ia menguatkan hal itu di dalam jiwa para wali dan sahabat-sahabatnya. Beberapa contoh dari cara-cara yang digunakan setan, antara lain:
1. Taswîl yaitu mengeluarkan sesuatu dari lingkungan kebenaran (shadiqîn) dan mengolah sedemikian rupa sehingga nampak bagus.[9] Dalam surah Muhammad (saw) ayat 25, Allah Swt berfirman, “Setan telah memperindah seluruh perbuatan buruk mereka.”
2. Tazyîn yaitu menghiasi dan memper-indah sesuatu yang kurang dan ber-aib. Dalam surah al-An’âm ayat 43, Allah Swt berfirman, “setan pun mengindahkan bagi mereka.“
3. Tamniyah yaitu membangkitkan kecenderungan untuk sampai kepada sebuah keinginan di masa mendatang dan dengan kata lain, membangkitkan angan-angan.[10] dalam surah An-Nisâ ayat 120, Allah Swt berfirman, “Dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.“
4. Ghurûr yaitu lalai dari sesuatu karena sesuatu yang lain.[11] alam surah Al-Isrâ’ ayat 64, Allah Swt berfirman, “Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka.“

Dengan sebab-sebab ini, manusia yang menyaksikan langsung kekurangan-kekurangan dunia, seolah-olah tidak melihatnya dan karena efek dari taswîl, tazyîn, tamniyah dan ghurûr, serta hawa nafsunya, mereka lebih memandang dunia dan larut dalam kehidupan dunia. Dan sejatinya dunia tidak lain hanya tempat tinggal yang lemah dan seperti sarang laba-laba yang dibuat untuk orang-orang munafik dan orang-orang kafir. Jadi dunia yang tercela yang menjadi tempat berlalu-lalang setan, ini bukanlah alam natural tapi alam imajinatif dan khayalan yang tercipta dari bisikan-bisikan setan dan dibantu oleh dorongan hawa nafsu untuk siapa saja. Sedangkan Hayâtan Thayyibah (Kehidupan yang baik) terwujud bagi orang-orang yang benar dan jujur di alam ‘Indallâh (di sisi Allah Swt).


Alam ‘Indallâh (di sisi Allah Swt)

Dalam surah An-Nahl ayat 95, Allah Swt berfirman:

وَ لاَ تَشْتَرُوا بِعَهْدِ اللَّهِ ثَمَناً قَلِيلاً إِنَّمَا عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya, “Dan janganlah kamu tukar perjanjianmu dengan Allah dengan harga yang sedikit (murah). Sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.“

Berdasarkan ayat ini, menjaga perjanjian fitrah dengan Allah Swt akan mendudukkan manusia pada posisi ‘Indallâh (di sisi Allah Swt). Dengan kata lain, taufik memperoleh kedudukan ‘Indallâh (di sisi Allah Swt) dan Hayâtan Thayyibah (Kehidupan yang baik) hanya bisa dengan cara tetap memegang teguh fitrah. Alam ‘Indallâh (di sisi Allah Swt) atau dalam istilah ulama-ulama irfan disebut alam ‘Indiyat[12] memiliki beberapa keistimewaan dimana orang-orang yang berhasil sampai ke alam malakut ini juga memiliki keistimewaan-keistimewaan itu.

Sejatinya keistimewaan-keistimewaan alam ‘Indiyat jauh berbeda dengan kesenangan sedikit dunia dan bisa dikatakan bahwa keistimewaan-keistimewaan itu adalah keistimewaan-keistimewaan Hayâtan Thayyibah (Kehidupan yang baik).

Poin terpenting mengenai alam ‘Indiyat adalah bahwa sebagaimana Allah Swt tidak dibatasi waktu dan tempat, alam ‘Indiyat pun seperti itu dan dengan menjaga perjanjian fitrah maka akan dapat merasakan Hayâtan Thayyibah (Kehidupan yang baik) dan dengan itu, bisa duduk menyaksikan Jalâl dan Jamâl alam ‘Indiyat, dan hidup dalam kesucian di sisi Allah Swt dan di maqam Shidq, dalam cahaya, kebahagian, keselamatan, rahmat, pertolongan, ilmu, kesempurnaan dan kemuliaan tak terhingga Allah Swt. Allamah Thabathabai memaparkan bahwa kedahuluan alam itu atas alam dunia bukanlah bersifat waktu, tapi ia senantiasa berbarengan dengannya dan meliputinya.[13] Oleh karena itu, Hayâtan Thayyibah (Kehidupan yang baik) –berbeda dengan asumsi sebagian ulama tafsir– tidak hanya kehidupan setelah meninggal tapi mencakup dunia dan akhirat. Dengan melihat langsung apa-apa yang diisyaratkan al-Qur’an, maka seluruh realitas-realitas ini akan nampak jelas.


Keistimewaan Hayâtan Thayyibah dan Alam ‘Indallâh 

Kehidupan hakiki: orang-orang yang sampai ke alam ‘Indallâh yang sejatinya merupakan manifestasi dari nama “Maha Hidup” Allah Swt, betul-betul sedang menikmati hidup di sisi Allah Swt. Dalam surah Âli-‘Imrân ayat 169, Allah Swt berfirman, “bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki”.

Khayalan kehidupan dunia dan realitas kehidupan di sisi Allah Swt pada hari Kiamat, akan menjadi jelas bagi mereka yang lalai dan yang durhaka lalu kemudian mereka berteriak menyesal. Dalam surah al-Fajr ayat 24, Allah Swt berfirman, “Ia berkata, “Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.”

Suatu ketika manusia berkata, alangkah baiknya kiranya sebelumnya aku kirimkan sesuatu untuk kehidupan! Karena pada ketika itu adalah hari yang dalam surah al-Ahqâf ayat 20 disebutkan seperti berikut:

یُعْرَضُ الَّذِینَ کَفَرُوا عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَیِّبَاتِکُمْ فِی حَیَاتِکُمُ الدُّنْیَا وَاسْتَمْتَعْتُم بِهَا فَالْیَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا کُنتُمْ تَسْتَکْبِرُونَ

Artinya, “Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (seraya dikatakan kepada mereka), “Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya. Maka pada hari ini kamu dibalas dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri…”

Mungkin pada ayat ini, yang dimaksud “Thayyibât” adalah perjanjian suci atas penghambaan kepada Allah Swt yang orang-orang kafir dengan kesombongannya tidak mendapatkan manfaat dan hasilnya di kehidupan dunia dan bahkan menghancurkannya dan pada hari Kiamat, saat dihadapkan dengan kehidupan hakiki dan disingkapkannya kehidupan kosong dunia, mereka berteriak keras merasa menyesal.

Kombinasi kebaikan dunia dan akhirat: alam ‘Indiyat tidak hanya di kehidupan dunia dan juga tidak pula hanya di kehidupan akhirat, melainkan mencakup kebaikan kehidupan dunia dan akhirat. Mereka yang memilikinya juga akan menikmatinya di kehidupan dunia ini.[14] Dalam surah An-Nisâ ayat 134, Allah Swt berfirman, “Karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat.” Dalam doa para ma’shum juga disebutkan, “Dan hidupkanlah kami di dunia dan di akhirat dengan kehidupan Hayâtan Thayyibah (Kehidupan yang baik).”[15] Berdasarkan potongan doa ini, Hayâtan Thayyibah (Kehidupan yang baik) mencakup kebaikan dunia dan akhirat dan dengan berdasarkan ayat diatas, kebaikan dunia dan akhirat ada di sisi Allah Swt. Jadi Hayâtan Thayyibah (Kehidupan yang baik) akan terealisasi dengan kebaikan dunia dan kebaikan akhirat di sisi Allah Swt.

Stabilitas: kesenangan dan kebahagiaan alam ‘Indallâh dan Hayâtan Thayyibah (Kehidupan yang baik) adalah bersifat abadi, kekal, tidak akan hancur dan tidak akan mengalami ketuaan. Pada ayat-ayat yang sedang kita bahas, yaitu pada surah An-Nahl, Allah Swt setelah berfirman, jangan kamu menjual perjanjian Allah Swt karena kesenangan ‘Indallâh bagi kamu adalah lebih baik, berargumentasi dengan menyatakan dalam surah An-Nahl ayat 96, “Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.“ Pada ayat-ayat lain yaitu pada surah al-Qashash ayat 60 dan surah Asy-Syûrâ ayat 36 juga disebutkan bahwa, “Dan yang ada di sisi Allah lebih baik dan lebih kekal.”

Tak terbatas: sumber tak terbatas dan tak habis-habis segala sesuatu ada disisi Allah Swt dan bahkan kebahagiaan dunia yang sedikit itu pun merupakan ejawantah dari khazanah Maha Luas Allah Swt. Dalam surah al-Hijr ayat 21, Allah Swt berfirman, “Dan tidak ada sesuatu pun melainkan di sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.”

Dengan alasan ini, mereka yang sampai dan mencapai maqam ini akan disediakan bagi mereka apa saja yang diinginkan dan tidak ada batasannya. Pada surah Az-Zumar ayat 34, Allah Swt berfirman, “Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka.”[16] Lebih dari itu, pada surah Qâf ayat 35, Allah Swt berfirman, “Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan di sisi Kami ada tambahan (rezeki lain yang belum pernah terpikirkan oleh siapa pun).“

Kesempurnaan wujud: sampai dan masuk ke alam ‘Indallâh merupakan sebuah perubahan eksistensial menuju kesempurnaan dan bukan berupa bahwa antara orang-orang yang sampai ke alam itu berbeda dengan derajat-derajat dan kesempurnaan-kesempurnaannya, tapi para pemilik maqam ‘Indiyat sama dengan kesempurnaan itu sendiri dan mereka sendiri adalah derajat-derajat alam itu. Pada surah Âli-‘Imrân ayat 163, Allah Swt berfirman, “Mereka itu adalah tingkat-tingkat dan derajat-derajat di sisi Allah.” Mereka tidak akan diberikan sesuatu yang dari luar wujud mereka, tapi perjalanan menuju hakikat telah merubah eksistensi mereka menjadi sumber kesempurnaan dan keindahan (Jamâl).

Menjadi mizan atau neraca: dan karena di alam ‘Indiyat adalah puncak kesempurnaan manusia langitan dan orang-orang yang mencapai maqam itu menduduki puncak derajat kesempurnaan, maka alam itu dan orang-orang yang menduduki derajat kesempurnaan tersebut adalah merupakan mizan dan neraca. Pada surah al-Hujurât ayat 13, Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah Swt, adalah orang yang paling bertakwa diantara kalian.” Juga pada surah al-Baqarah ayat 282, Allah Swt berfirman, “Yang demikian itu adalah lebih adil di sisi Allah.” Juga pada surah al-Ahzâb ayat 5, Allah Swt berfirman, “Ia itu adalah lebih adil di sisi Allah.”

Berdasarkan ayat-ayat ini, “Akram” (lebih mulia) dan “Aqsath” (lebih adil) di sisi Allah Swt adalah barometer dan mizan untuk menilai seluruh perkara. Oleh karena itu, alam ‘Indallâh dan hakikat-hakikatnya merupakan ukuran dan neraca realitas-realitas alam.

Kedudukan kitab-kitab suci: al-Qur’an dan seluruh kitab-kitab suci ada di alam ‘Indiyat dan mereka yang mencapai alam itu menyaksikan kitab-kitab suci itu dan tahu akan hakikat-hakikatnya. Pada surah al-Baqarah ayat 89, Allah Swt berfirman, “Tatkala sebuah kitab datang kepada mereka dari sisi Allah Swt.” Pada surah An-Naml ayat 6, Allah Swt berfirman, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al-Qur’an dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.“ Selain al-Qur’an, kitab-kitab lain atau tahapan-tahapan lain dari kitab Allah Swt juga ada di alam ‘Indallâh. Pada surah Ar-Ra’d ayat 39, Allah Swt berfirman, “Di sisi-Nya ada Ummul Kitab.” Pada surah Qâf ayat 4, Allah Swt berfirman, “Dan pada sisi Kami pun ada kitab yang memelihara (Lauh Mahfuz).“ Pada surah Az-Zukhrûf ayat 4, Allah Swt berfirman, “Dan sesungguhnya Ummul Kitab di sisi Kami adalah benar-benar tinggi dan amat banyak mengandung hikmah.”

Kitab-kitab inilah yang di dalamnya tercatat seluruh hakikat-hakikat alam dari yang lalu dan nasib orang-orang baik hingga peristiwa-peristiwa dunia, dan berada pada tingkat atas di sisi Allah Swt, orang-orang yang dekat dengan Allah Swt dan para penduduk alam ‘Indiyat menyaksikan hal itu. Pada surah al-Muthaffifîn ayat 18-21, Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya kitab orang-orang berbuat baik itu (tersimpan) dalam ‘Illiyyîn. Tahukah kamu apakah ‘Illiyyîn itu? (‘Illiyyîn adalah) kitab yang tertulis (dan masa depan yang pasti), Yang disaksikan oleh orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).“

Manifestasi ayat-ayat Allah Swt: alam ‘Indiyat merupakan manifestasi jelas ayat-ayat Allah Swt, sebagaimana disebutkan pada surah al-An’âm ayat 109 dan surah al-‘Ankabût ayat 50, “Sesungguhnya ayat-ayat itu hanya berada di sisi Allah.” Orang yang bisa memahami ayat-ayat Allah Swt adalah orang yang matanya melihat alam ‘Indallâh dan tahu tentangnya. Alam adalah seluruhnya ayat-ayat Allah Swt, tapi bagi mereka yang menyaksikan Allah Swt dan melihat ketergantungan segala keberadaan alam itu kepada Allah Swt.

Biasanya kita berpikir bahwa melalui ayat-ayat ini, kita harus mengenal Allah Swt dan ayat-ayat ini adalah penyebab mengenal Allah Swt, padahal ini sebuah pengetahuan yang tidak cukup dan tidak teliti karena pada hakikatnya, Allah Swt Penyebab segala sesuatu dan dengan mengenal Allah Swt dan merasakan kehadiran-Nya, maka akan diketahui dengan benar ayat-ayat-Nya. Orang-orang yang sampai dan mencapai alam ‘Indiyat dan hidup dalam kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah), pertama mereka menyaksikan Allah Swt dan kemudian menyaksikan ejawantah-ejawantah-Nya pada ayat-ayat dan tanda-tanda-Nya.[17] Ia menemukan seluruh ayat-ayat dan tanda-tanda itu berada di sisi Allah Swt, mereka menemukan makna hakiki ayat atau tanda itu. Pada surah Fushshilat ayat 53-54, Allah Swt berfirman:

سَنُرِیهِمْ آیَاتِنَا فِی الْآفَاقِ وَ فِی أَنفُسِهِمْ حَتَّى یَتَبَیَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ یَکْفِ بِرَبِّکَ أَنَّهُ عَلَى کُلِّ شَیْء شَهِیدٌ أَلَا إِنَّهُمْ فِی مِرْیَه مِن لِقَاء رَبِّهِمْ أَلَا إِنَّهُ بِکُلِّ شَیْء مُحِیطٌ

Artinya, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru dunia dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa itu adalah benar. Dan apakah Tuhan-mu tidak cukup (bagimu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka berada dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah, bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu.“

Allamah Thabathabai dalam buku Risâlah al-Wilâyah, menganggap kata ganti yang disebut pada kalimat “Annahu al-Haq” kembali kepada Allah Swt dan kata Syahîd (Maha Menyaksikan) diartikan Masyhûd (yang disaksikan). Kesimpulannya, artinya menjadi seperti berikut, “Segala sesuatu yang manusia saksikan, maka pada tahap awal ia menyaksikan Allah Swt baru kemudian menyaksikan sesuatu itu, karena Dia adalah “Al-Zhâhir” dan tidak ada tempat bagi selainnya untuk zahir.[18]

Sejatinya, ayat-ayat (tanda-tanda) Allah Swt untuk mengingatkan akan perjanjian fitrah dengan seseorang yang kita melihat dan menyaksikan-Nya. Jadi tidak perlu lagi argumen-argumen nalar yang detil, kecuali seseorang yang pikiran dan mentalnya telah ternodai dan terhalangi hijab-hijab. Adapun ayat-ayat Allah Swt, hanya sekedar sebagai pengingat[19] dan seluruh nama dan tanda adalah milik-Nya serta menampilkan manifestasi-manifestasi Allah Swt.

Ilmu: ilmu dalam bahasa al-Qur’an yakni makrifat Allah Swt, ayat-ayat dan efek-efek-Nya,[20] dan al-Qur’an menyatakan bahwa seluruh ilmu ada disisi Allah Swt. Pada surah al-Ahqâf ayat 23 disebutkan, “Ilmu hanya ada di sisi Allah Swt.” Dan siapa saja yang sampai pada ilmu hakiki maka telah mendapat kenikmatan di sisi Allah Swt dan telah sampai pada maqam ‘Indiyat. Pada surah Al-Kahf ayat 65 disebutkan, “…dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.“

Oleh karena itu, salah satu ciri terbaik kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah) dan keistimewaan orang-orang yang hidup dalam kebaikan, adalah ilmu. Ahlulbait Nabi saw adalah sumber ilmu ini dan teladan kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah). Imam Baqir as bertutur, “Demi Allah! Sesungguhnya kami adalah khazanah dan perbendaharaan Allah Swt di langit dan di bumi, bukan perbendaharaan emas dan perak tapi perbendaharaan ilmu-Nya.”[21]
 
Cahaya: orang-orang sampai ke maqam ‘Indallâh lantaran mereka membersihkan dan mensucikan hatinya dan melepaskan seluruh keterikatan dan kekelaman serta menjadi cerminan. Manusia-manusia seperti ini disambut dan diterima Allah Swt untuk hadir disisi-Nya, Allah Swt akan memberinya taufik untuk merasakan alam ‘Indiyat dan hidup di dalamnya. Pada surah al-Hadîd ayat 19 disebutkan, “Orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, mereka itu adalah Shiddîqîn dan para saksi di sisi Tuhan mereka. Mereka memperoleh pahala (amal) dan cahaya (iman) mereka.“

Mereka adalah orang-orang yang memahami Allah Swt dengan segala wujudnya dan menjadi cermin cahaya dan nama-Nya, mereka bergerak di tengah-tengah manusia dengan cahaya ini dan menjadi mediator manusia mendapat hidayah. Pada surah al-An’âm ayat 122 disebutkan, “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar darinya?.“

Setiap orang yang menemukan jalan ke alam ‘Indallâh memperoleh cahaya Allah Swt sesuai kadar pemahamannya tentang kehadiran Allah Swt, tapi bagi Ahlulbait as semua cahaya-Nya itu didapatkan dan juga memancarkan cahaya seraya menyinari alam semesta.

Abu Khalid Kabuli mengatakan, “Saya bertanya kepada Imam Baqir as tentang ayat yang menyatakan, “Bila demikian, maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada cahaya yang telah Kami turunkan.“(Al-Taghâbûn: 8). Imam as menjawab, “Wahai Khalid, demi Allah, Cahaya disitu adalah para Imam Ma’shum as dari keluarga Nabi saw hingga hari Kiamat, dan demi Allah, mereka adalah cahaya Allah Swt yang telah diturunkan. dan Demi Allah, mereka adalah cahaya Allah Swt di langit dan di bumi, dan demi Allah, wahai Abu Khalid, cahaya Imam ada di hati orang-orang beriman, lebih terang dari cahaya matahari pada siang hari, dan demi Allah, mereka telah menerangi hati orang-orang beriman, dan Allah Swt menutup cahaya-Nya dari siapa saja yang dikehendaki, maka hati mereka pun akan menjadi kelam.”[22]

Kedudukan yang benar: orang-orang yang melupakan ayat-ayat Allah Swt terkurung dalam tipu daya setan dan terperangkap dalam khayalannya. Pada surah Az-Zukhrûf ayat 36 dan 37, disebutkan, “Barang siapa yang berpaling dari mengingat Tuhan Yang Maha Pemurah, Kami kuasakan atasnya setan (yang menyesatkan), lalu setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya setan-setan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.“

Kedudukan lemah para pendusta ini merupakan rival kedudukan yang benar dan kokoh orang-orang yang memiliki kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah). Al-Qur’an dalam surah al-Qamar ayat 55 menyebutkan, “Di tempat orang-orang shiddiqîn di sisi Tuhan Yang Berkuasa.” Dan karena iman telah menyibak tirai-tirai khayalan dan telah mengusir setan, maka Allah Swt berfirman dalam surah Yunus ayat 2 kepada Rasulullah saw, “Berilah berita gembira kepada orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi (orang-orang shiddiqîn) di sisi Tuhan mereka; yakni telah menemukan jalan benar, mereka sampai ke kedudukan dan posisi orang-orang shiddiqîn , hidup dengan kebenaran, bukan dengan fatamorgana dan tipuan”

‘Ubudiyah: yakni sebuah keberadaan yang berjiwa adalah milik orang yang lain. Juga dari sisi ini, Allah Swt yang merupakan pemiliki segala sesuatu, maka seluruh umat manusia, malaikat dan keberadaan-keberadaan yang berjiwa adalah hamba-Nya dan siapa saja yang tidak menerima ‘ubudiyah ini maka ia telah bersikap angkuh dan sombong.

Orang-orang yang mencapai alam ‘Indiyat dimana telah menganggap seluruh eksistensi dirinya adalah miliki Allah Swt, akan mengusir dan menjauhkan dirinya dari sikap angkuh. Al-Qur’an dalam surah al-Anbiyâ ayat 19 menyebutkan, “Dan orang-orang yang berada di sisi-Nya tidak mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tidak (pula) merasa letih.”

Sejatinya, konsistensi dan menjaga serta bersikap jujur terhadap perjanjian fitrah yang akan mengantarkan ahli iman kepada kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah) dan kedudukan shiddiqîn. Sebaliknya, khayalan dan tipu daya ahli dunia dimulai dengan kebohongan dan khianat terhadap perjanjian suci serta mengabaikan fitrah.

Karamah: ketika Nabi Zakariya as datang ke tempat ibadah Sayidah Maryam untuk menemuinya dan melihat aneka ragam buah-buahan yang masih segar, ia bertanya, “Darimana engkau peroleh ini?” (Qs. Âli-‘Imrân: 37). Sayidah Maryam menjawab, “Semuanya datang dari sisi Allah Swt.” (Qs. Âli-‘Imrân: 37).

Orang-orang memiliki kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah), karena sampai pada maqam ‘Indallâh dan mencapai kedudukan yang tinggi itu, maka ia memiliki sumber yang tak terhingga dan mereka mendapat dukungan dari kekuatan dan kekayaan Allah Swt. Maka dari itu, pada diri mereka terjadi peristiwa luar biasa yang diistilahkan dengan karamat, dan karena tidak disertai dengan klaim kenabian maka tidak bisa disebut mukjizat lantaran mukjizat khusus untuk para nabi.

Rezeki spesial: orang-orang yang memiliki kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah) punya rezeki tersendiri di alam ‘Indiyat yang tidak bisa diceritakan tentangnya. Al-Qur’an dalam surah Âli-‘Imrân ayat 169 menyebutkan, “Mereka punya rezeki di sisi Allah Swt.”

Rezeki ini bukan hanya makanan, pakaian, kebun dan taman, melainkan suplai-suplai khusus yang menghidupkan hati dan melanggengkan kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah).

Pertolongan: peperangan yang paling sulit dan paling berbahaya yang dihadapkan manusia dengannya adalah peperangan yang disana setan luar dan hawa nafsu bersatu menyeret hati kepada kelalaian terhadap Allah Swt dan jatuh cinta pada dunia. Pada ketika ini, hanya Allah Swt penolong sang hamba. Allah Swt berfirman, “Dan pertolongan itu hanyalah dari Allah.“ (Qs. Âli-‘Imrân: 126).

Pada kondisi dimana saudara, teman, pasukan dan tentara tidak lagi bisa menolong, maka hanya Allah Swt satu-satunya yang membantu manusia dan menyelamatkannya dari kesalahan terjerumus pada dunia dan menyelamatkan dari menjadi jauh dari sisi Allah Swt. Oleh karena itu, orang-orang yang memiliki kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah) jauh dari kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa dan karena kehidupan suci yang ditempuhnya dengan berjihad melawan hawa nafsu maka ia mendapat pertolongan dan dukungan dari Allah Swt serta mereka tidak akan terkotori oleh noda dosa, kalaupun melakukan kesalahan karena sahwan (lupa) maka ia dengan segera kembali dan menjauhi hal-hal yang buruk itu.

Rahmat khusus: Allah Swt memiliki rahmat yang sifatnya umum dan menyeluruh yang mencakup seluruh maujud, Mukmin dan kafir. Adapun rahmat-Nya yang bersifat khusus, itu berkaitan dengan alam ‘Indiyat. Dengan alasan ini, hanya orang-orang yang Hayâtan Thayyibah yang memiliki rahmat khusus itu. Mengenai Nabi Khidir as, disebutkan dalam al-Qur’an surah al-Kahf ayat 65, “Telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami.” Atau mengenai Nabi Ayyub as, setelah menjalani ujian sulit, sabar dan kembalinya nikmat-nikmat, al-Qur’an menyebutkan, “Kami kembalikan keluarganya kepadanya, serta Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami.”(Qs. Al-Anbiyâ: 84) atau pernyataan Nabi Nuh as yang disebutkan al-Qur’an sebagai berikut, “Dan Dia memberiku rahmat dari sisi-Nya.”

Rahmat khusus Allah Swt punya representasi cukup banyak: ilmu Nabi Khidir as, kembalinya kesehatan dan kekayaan Nabi Ayyub as secara menakjubkan dan kenabian Nabi Nuh as, kesemua ini lahir dari perolehan kesempurnaan hidayah dan petunjuk Allah Swt. Oleh karena itu, rahmat khusus ketika hidayah dan petunjuk Allah Swt berpengaruh dan seorang hamba sampai kepada kedudukan penghambaan yang tidak lain adalah maqam ‘Indiyat atau singkatnya Kehidupan yang baik (Hayâtan THayyibah). Rahmat yang umum adalah peluang-peluang, piranti-piranti dan fasilitas-fasilitas hidayah, merusak dan berpaling darinya menyebabkan kemurkaan dan kemarahan Allah Swt dan menggunakan seluruh fasilitas ini dengan baik dan benar, akan mengundang rahmat khusus Allah Swt.

Imbalan orang-orang saleh: kendati pada hari Kiamat, alam ‘Indallâh menyingkirkan hijab dan tirai duniawi dan materil dan orang-orang saleh mendapatkan imbalan pahalanya dengan sempurna setelah meninggal dan melewati alam dunia ini, namun pada dua alam kehidupan ini, lantara mereka hadir di alam ‘Indiyat dan hidup pada kehidupan yang baik (Hayâtan THayyibah) maka mereka tetap senang, merasa aman, tenang, cinta dan berhubungan dengan Allah Swt. Pada surah al-Baqarah ayat 62 disebutkan, “Maka mereka akan mendapatkan pahala di sisi Tuhan mereka.” Dan begitu banyak ayat-ayat al-Qur’an yang kandungannya senada dengan ayat ini.[23]
Balasan siksaan bagi orang-orang yang berdosa: alam ‘Indiyat sama dengan Kiamat dan ma’ad yang orang-orang yang memiliki kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah) dengan melintasi ketergantungan-ketergantungan materil dan dengan kekuatan keyakinan, merasakan dan memahaminya. Al-Qur’an bertutur, “Tidaklah seperti yang kamu sangka. Seandainya kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, maka sungguh kamu benar-benar akan melihat neraka Jahîm.“ Namun orang-orang yang berdosa yang hidup di dunia ini dengan lalai, bisa saja senang tapi tatkala tiba waktu menghadap Allah Swt pada hari Kiamat, mereka akan memahami dan merasakan perbuatan buruk dan keyakinan-keyakinan kelirunya. Pada surah al-An’âm ayat 124, Allah Swt berfirman, “Orang-orang yang berdosa, nanti akan ditimpa kehinaan di sisi Allah.” Dan pada surah Sajdah ayat 12, Allah Swt juga berfirman, “Jika kamu melihat ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepala di hadapan Tuhan mereka.“

Akhirat: melihat dua keistimewaan sebelumnya, maka realitas berikut pun menjadi jelas bahwa alam ‘Indallâh tidak lain adalah alam akhirat itu sendiri. Tentu keistimewaan-keistimewaan lain seperti kekal dan abadi, juga ada disini, karena akhirat pun digambarkan dengan dua sifat yaitu baik dan kekal. Al-Qur’an menghikayatkan, “Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.“ (Qs. Al-A’lâ: 17).

Terlepas dari apa yang ada diatas, al-Qur’an secara transparan menyatakan, “Kampung akhirat (surga) itu di sisi Allah.” (Qs. Al-Baqarah: 94), dan atau firman-Nya, “Dan kehidupan akhirat itu di sisi Tuhan-mu.”(Qs. Az-Zukhrûf: 35). Oleh karena itu, akhirat adalah alam ‘Indallâh dan orang-orang yang hidup dalam kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah) meski masih berada dan tinggal di alam materi dunia ini, mereka seolah-olah sedang memantau dan menyaksikan Kiamat dan balasan siksaan dan pahala umat manusia.[24]

Alam akhirat ada saat sekarang ini, tapi hijab dunia mencegah untuk menyaksikan batin dunia yakni akhirat. Pada surah Ar-Rûm ayat 7 disebutkan, “Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia ini; sedang mereka lalai tentang (kehidupan) akhirat.“

Oleh karena itu, akhirat ada sekarang ini juga, tapi ada dibalik langit dan bumi[25] dan dengan tibanya hari Kiamat, hanya tirai penghalang dan hijab yang tersingkirkan. Al-Qur’an bertutur, “(Dikatakan kepadanya), “Sesungguhnya kamu lalai tentang (hal) ini, lalu Kami singkapkan darimu tirai (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.”(Qs. Qâf: 22).

Salam: ia berarti selamat dan tidak punya kekurangan dan penyakit. Orang-orang yang berkehidupan baik (Hayâtan THayyibah) dan mencapai maqam ‘Indiyat, merupakan manifestasi nama agung “Salâm” Allah Swt, ia jauh dari segala kekurangan dan penyakit. Al-Qur’an menghikayatkan, “Bagi mereka (disediakan) Darus Salam (surga) di sisi Tuhannya.”(Qs. Al-An’âm: 127).

Selamat disini adalah sehat hati dan jiwa, bukan hanya sehat fisik dan tubuh, karena fisik dan tubuh di alam baqa dan alam kehidupan kekal dan abadi, dikalahkan ruh dan hati. Allah Swt berfirman mengenai hal ini, “(yaitu) di hari harta dan anak-anak tidak lagi berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”(Qs. Asy-Syu’arâ: 88-89).

Sebaliknya, mereka yang tidak memiliki kehidupan yang baik (Hayâtan THayyibah) dan jauh dari merasakan kehadiran Allah Swt, digambarkan al-Qur’an seperti berikut, “Dalam hati mereka terdapat penyakit, lalu Allah menambahkan penyakit kepada mereka; dan bagi mereka siksa yang pedih.“(Qs. Al-Baqarah: 10).

Hati yang sakit seperti ini, bahkan pada hari Kiamat juga tidak akan memahami dan merasakan dengan baik kehadiran Allah Swt dan bisa jadi hal inilah derita yang paling dirasakan oleh mereka saat tiba hari Kiamat. Al-Qur’an menghikayatkan, “…dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.”Ia berkatalah, “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulu adalah seorang yang melihat?” Allah berfirman, “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, lalu kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan.”(Qs. Tha Ha: 124-126).
Sabar: dasar untuk hadir di alam ‘Indallâh dan terwujudnya kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah). Al-Qur’an menuturkan:

ما عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَما عِنْدَ اللهِ باقٍ وَ لَنَجْزِيَنَّ الَّذينَ صَبَرُوا أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ ما كانُوا يَعْمَلُونَ

Artinya, “Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.“ (Qs. An-Nahl: 96).

Pada alam ‘Indallâh terdapat sebuah imbalan pahala yang lebih baik dari kesabaran hamba-hamba yang saleh dan betapa banyak yang tidak bisa menganggap itu sebagai imbalan pahala sabar mereka, tapi sabar ini merupakan jembatan untuk masuk dan hadir di alam ‘Indallâh serta mendapatkan imbalan-imbalan pahala yang baik itu.

Ayat ini mempromosikan sabar sebagai dasar dan media untuk memasuki alam ‘Indallâh dan menikmati kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah) dan ia tidak menyebutkan keutamaan-keutamaan lainnya, karena sabar adalah asas tekad dan keinginan kuat serta efisien dalam berjuang melawan hawa nafsu. Sabar akan ada artinya tatkala nafsu tetap konsisten menghadapi fitrah, faktor yang cenderung ke dunia berhadap-hadapan dengan faktor yang cenderung ke alam ‘Indallâh dan dengan bersabar serta konsisten dengan perjanjian fitrah, nafsu akan terkalahkan dan faktor yang cenderung kepada alam ‘Indiyat tampil sebagai pemenang. Oleh karena itu, pada hadits “Mi’râj” Rasulullah saw saat memberikan gambaran tentang ahli akhirat bersabda, “Manusia mati sekali, tapi ahli akhirat masing-masing merasakan dan meneguk cawan syahadah dan kematian di jalan perjuangan melawan nafsu setan yang mengalir di urat setiap manusia sebanyak tujuh puluh kali setiap hari, dengan demi kemuliaan dan ke-Jalâlan-Ku? Sungguh Aku akan menghidupkan mereka dengan kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah) “.[26]

Untuk turut hadir di alam ‘Indallâh dan terealisasinya kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah), faktor-faktor internal kebergantungan kepada kehidupan dunia harus dilenyapkan dan sebagai konsekuensinya, bersabar dan konsisten dengan perjanjian ‘Ubudiyah yang menjadi pengantar menuju bebasnya hati dari ikatan-ikatan dunia dan sebelum datang waktu kematian natural, syahadah maknawi dan kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah) telah dianugerahkan kepada sang hamba penyabar dan pejuang di jalan Allah Swt. Makanya Imam Ali as menuturkan, “Keluarkanlah hati kalian dari dunia sebelum badan-badan kalian dikeluarkan darinya.”[27] Dan Rasulullah saw bersabda, “Matilah kalian sebelum kalian mati.”[28] Beliau juga bersabda, “Dengan matinya nafsu, maka hati akan bangkit hidup.”[29]

Kematian ini adalah dasar dan mukaddimah menuju sebuah kehidupan lebih baik dan suci. Wali-wali Allah Swt dengan mengusir seluruh debu-debu dan kekelaman-kekelaman dari jiwa dan hatinya, telah menjauhkan hati dan ruhnya dari kehidupan duniawi dan telah mengeluarkannya dari alam dunia serta mengantarkannya ke alam cahaya, pertolongan, rahmat, keselamatan, tak terbatas dan abadi ‘Indallâh (disisi Allah Swt) dan Allah Swt menjadikan mereka sebagai manifestasi nama dan sifat-sifat-Nya. Sejatinya, dimana peperangan dan penguasaan atas nafsu hina manusia, yang memiliki imbalan pahala sebesar ini? Juga dari sisi ini, Allah Swt pada surah An-Nahl ayat 96 berfirman, “Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.“

Zaid bin Arqam meriwayatkan bahwa Imam Husain as bersabda, “Bukanlah termasuk Syiah kami, kecuali orang-orang yang benar (shiddîq) dan Syahid.” Saya bertanya, “Bagaimana bisa, sementara banyak dari Syiah anda meninggal natural di atas tempat tidurnya?” Imam menjawab, “Apakah kamu tidak membaca ayat Allah Swt yang menyatakan, “Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu adalah orang-orang yang benar (shiddîq) dan para Syahid di sisi Tuhan mereka.” Kemudian beliau berkata, “Dan apabila syahid hanya orang-orang yang mati dengan pedang, maka betapa sedikit dan terbatas orang-orang yang syahid di jalan Allah.”[30]

Pada ayat dan hadits diatas, juga diisyaratkan tentang maqam ‘Indiyat dan alam ‘Indallâh dan kesyahidan maknawi orang-orang Mukmin yang sampai pada derajat tinggi iman dan hadir di sisi Allah Swt, merupakan hal yang ditegaskan dan diakui.

Umumnya orang-orang mengenal dua model jihad: pertama jihad ashgar (kecil) dengan musuh nyata di luar, dan kedua jihad akbar (besar) melawan hawa nafsu, yaitu dosa-dosa dan perbuatan yang bertentangan dengan syariat. Sedangkan orang-orang spesial (khas) dan orang-orang yang memiliki kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah) mengenal tiga tipe jihad dan jihad melawan nafsu dalam pengertian meninggalkan dosa-dosa dan sejalan dengan syariat, dianggapnya sebagai jihad level pertengahan. Jihad akbar (besar) mereka adalah melawan nafsu itu sendiri dan ego dimana kemenangan jihad ini pada maqam fanâ dan penyingkapan sempurna, akan diberikan kepada sang hamba, setelah itu ia hidup dengan kehidupan Ilahiyah dan terealisasinya kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah) pada martabat tertinggi.


Iman; Barometer Kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah)

Iman adalah barometer dan ukuran kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah), dalan artian bahwa dengan iman bisa masuk ke kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah). Seseorang yang memiliki iman yang cukup, sungguh akan memiliki kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah) dan semakin tinggi derajat iman seorang manusia maka kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah) baginya juga akan semakin naik derajatnya.

Pada surah An-Nahl ayat 97, Allah Swt berfirman, “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.“

Berdasarkan ayat ini dan ayat sebelumnya, nikmat alam ‘Indallâh yang diberikan kepada ahli iman dan amal saleh adalah kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah), karena pada surah An-Nahl ayat 96, keabadian alam ‘Indiyat merupakan mukaddimah imbalan terhadap orang-orang yang bersabar dan balasan pahala mereka disebutkan dengan pernyataan, “Dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.“ Pada ayat 97 dari surah ini, Sabar dirincikan, asas dan dasarnya adalah Iman, hasilnya adalah amal saleh dan puncaknya, balasan pahala –Dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan– untuk mereka. Oleh karena itu, dilihat dari teks ayat-ayat bahwa ayat 97 merupakan rincian dan penegasan ayat 96, jadi kedua ayat ini menjadi sempurna tatkala digandengkan. Begitu juga dengan kata Alladzîna (orang-orang yang) pada kalimat “Orang-orang yang mereka bersabar” pada ayat berikutnya, akan terjelaskan dengan kalimat “Dari laki-laki atau perempuan”, juga kalimat “Dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal,” akan menjadi jelas dengan adanya kalimat, “Maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” Demikian pula pada dua ayat 96 dan 97 (yaitu: “Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar.”……“ Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan.”) kata ganti-kata ganti kembali kepada Allah Swt, dari kata ganti gaib berubah ke kata ganti mutakallim dimana hal ini memahamkan bahwa perhatian dan inayah khusus Allah Swt ini terkait Kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah).

Pada ayat ini, amal saleh yang misdaq (ekstensi) komprehensifnya adalah sabar dalam penghambaan dan melawan hawa nafsu, merupakan dasar menuju ke kehidupan yang baik (Hayâtan THayyibah) dan puncak barometernya adalah iman,[31] ilmu dan iradah menarik manusia ke arah Allah Swt dan ketika manusia dengan dua hal ini mengitari dirinya, masuk ke alam suci ketuhanan (Rububiyah), di sana adalah maqam kedekatan dengan Allah Swt yang nantinya akan mendapatkan sebuah kehidupan lain. Seolah-olah ia baru lahir dan masuk ke sebuah dunia yang di matanya alam murni natural sama dengan alam rahim sang ibu di hadapan alam materi dan tabiat yang begitu luas ini. Nabi Isa as berkata, “Tidak akan masuk ke alam malakut langit seseorang yang tidak lahir dua kali.”[32]

Pada kondisi ini dimana hati Mukmin bebas dari keterbatasan alam ini dan terbang ke atas langit penuh cahaya dan wilayah Tuhan dengan mengepakkan dua sayap, Iman dan takwa, serta beranjak meninggalkan dunia ini, ditinjau dari lahiriahnya tidak terjadi banyak perubahan, tapi hati dan ruh-nya berubah menjadi luas dan menjadi sebuah alam besar dan menjadi tempat bersemayamnya sang Maha Rahman.

Rasulullah saw bersabda, “Hati orang Mukmin adalah tempat Allah Swt bersemayam.”[33]

Tentunya iman disini adalah yang tinggi dan murni makrifatullah yang menjadikan hati Mukmin sebagai tempat manifestasi sempurna dan bersemayam Allah Yang Maha Agung. Iman ibarat cahaya, memiliki kondisi-kondisi dan tingkatan-tingkatan, kuat dan lemah, sedikit dan banyak. Iman sebagian orang begitu sedikit sehingga tidak begitu cukup bagus dalam menerangi hatinya dan tidak bisa kosong seluruhnya dari kekelaman dan kegelapan. Namun ada orang-orang yang imannya seperti matahari yang menerangi dan memenuhi alam dengan cahayanya, dan daya tarik iman dan cahaya keberadaannya membuat hati yang keras dan kelam berubah menjadi lembut dan terang.

Para ulama membagi iman menjadi empat tingkatan:[34]

Pertama, keyakinan hati terhadap kandungan global dua kalimat syahadat yang konsekuensinya adalam lebih banyak mengamalkan cabang-cabang (furû’) dan melakukan sebagian perbuatan dosa tidak bertentangan dengan tingkat iman seperti ini.

Kedua, keyakinan secara rinci terhadap hakikat-hakikat agama yang Allah Swt berfirman tentang kelompok dari orang-orang beriman ini, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.“

Ketiga, tingkat iman ini lahir dari kepasrahan mutlak terhadap perintah dan kehendak Allah Swt dan Rasul-Nya saw. Ayat-ayat awal dari surah al-Mu’minûn menceritakan hal ini dan seluruh akhlak utama adalah buah dan hasil tingkat iman ini. Sejatinya, orang beriman pada maqam ini, melihat segala keberadaan merupakan milik Allah Swt dan ia menemukan dirinya tidak berada diluar kerajaan dan pemerintahan-Nya. Maka dari itu, ia betul-betul pasrah kepada-Nya dan bersungguh-sungguh dalam memperoleh seluruh keutamaan, karena ia menganggap dirinya milik Allah Swt dan dengan kehendak-Nya mengintervensi seluruh urusan-urusannya.

Keempat, pada tingkatan iman ini, pribadi Mukmin sampai kepada hakikat makna kepemilikan Allah Swt dan menyadari bahwa kepemilikan-Nya tidaklah seperti kepemilikan ‘Urf dan umat manusia, melainkan sebaliknya, tidak ada satupun keberadaan yang independen dan segala sesuatu, baik zat, sifat-sifat, perbuatan, bergantung kepada-Nya serta betul-betul bersandar hanya kepada-Nya. Pada maqam ini, tauhid kepemilikan dan tauhid Zat Allah Swt keluar dari batas gambaran umumnya, tirai angan-angan itu hilang dan dalam kacamata Mukmin, selain Dia akan terbakar, tumpah dan kemandirian itu tidak dimiliki oleh siapapun kecuali Allah Swt dan sampai kepada hakikat makna ayat berikut dimana Allah Swt berfirman, “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.”(Qs. Al-Qashash: 88).

Ketika kondisi ini meliputi seluruh jiwa dan hati, seorang Mukmin masuk ke jajaran wali-wali Allah yang al-Qur’an gambarkan seperti berikut, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak memiliki kekhawatiran dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.“(Qs. Yunus: 62-63).



Terealisasinya Hayâtan Thayyibah pada Wilayatullah

Kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah) terealisasi di alam ‘Indiyat dengan barometer iman dan di bawah wilayatullah. Al-Qur’an menuturkan, “Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya.“(Qs. Al-Baqarah: 257).

Pada ayat ini, mungkin yang dimaksud “Kegelapan” adalah alam yang lahir dari khayalan-khayalan duniawi dan yang dimaksud “Cahaya” adalah alam ‘Indiyat dimana dengan penjelasan-penjelasan sebelumnya, argumentasi konklusi semacam ini menjadi cukup jelas. Pada ayat lain, Allah Swt berfirman, “Dan Allah Swt adalah wali dan pelindung orang-orang beriman.”(Qs. Âli-‘Imrân: 68).

Sesungguhnya, sesuai tingkatan-tingkatan iman, tingkatan-tingkatan wilayatullah naik ke atas dan merasakan hadir di alam ‘Indiyat bisa dicapai secara sempurna pada puncak iman dan wilayat.

Wilayat Allah Swt, bersifat langsung dari-Nya sampai kepada hamba yang Mukmin dan juga bersifat tidak langsung dengan melalui perantara wali-wali Allah Swt yang terbaik dan wilayat mereka sama dengan wilayat Allah Swt. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya wali (pemimpin)mu hanyalah Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, sedang mereka dalam kondisi rukuk.“(Qs. Al-Mâ’idah: 55).

Poin penting pada ayat ini, kata Walî pada kalimat “Innamâ waliyyukumullâh” berbentuk mufrad (tunggal) dan ini menunjukkan bahwa wilayat Rasulullah saw dan Ahli Iman sama dengan wilayat Allah Swt. Penyebutan nama mereka setelah nama Allah Swt tidak menyebabkan Allah berfirman, “Innamâ Auliyâ’ukum”. Oleh karena itu, wilayat Rasulullah dan orang-orang khusus yang telah disebutkan pada ayat itu, adalah manifestasi wilayat Allah Yang Maha Tunggal dan bukan selain itu.

Adapun mereka yang disebutkan setelah nama Rasulullah saw, sesuai asbâbunnuzûl (sebab-sebab turun) ayat, adalah Imam Ali as[35] lalu kemudian para pengganti beliau yang ma’shum. Wilayat mereka bagi orang-orang Mukmin adalah manifestasi wilayat Allah Swt dan mereka punya hak maknawi bagi orang-orang beriman.

Abu Bashir berkata, “Saya telah mendengar dari Imam Shadiq as, beliau bersabda, “Sesungguhnya apabila orang Mukmin meninggal, dia akan melihat Rasulullah saw dan Ali as, kedua-duanya mendatanginya dan Rasulullah saw berkata kepadanya, “Aku adalah salah satu dari dua orang tua orang Mukmin dan Ali adalah orang tua kedua.” Abu Bashir berkata, “Saya bertanya dimana al-Qur’an mengatakan seperti ini? Imam Shadiq as bersabda, “Pernyataan Allah Swt yang berfirman, “Sembahlah Allah Swt dan Janganlah kalian menyekutukan-Nya serta berbuat baiklah kepada kedua orang tua kalian.”[36]

Allamah Majlisi dalam menjelaskan riwayat ini, menulis sebagai berikut, “…Manusia memiliki sebuah kehidupan jasmani dengan ruh binatang dan memiliki sebuah kehidupan abadi dengan iman, ilmu dan kesempurnaan-kesempurnaan rohani yang dapat mengantarkan kepada kebahagiaan yang kontinyu dan dengan penegasan Allah Swt di beberapa ayat al-Qur’an, menggambarkan orang-orang kafir sebagai orang-orang mati dan yang ahli iman sebagai orang-orang yang hidup. Allah Swt berfirman, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki,“(Qs. Âli-‘Imrân: 169). Dan ayat-ayat serta riwayat-riwayat lainnya yang tidak sedikit jumlahnya yang juga membahas masalah ini.

Hak kedua orang tua berdasarkan silsilah nasab adalah wajib, karena mereka ikut terlibat dan turut campur dalam kehidupan fana dunia dan dalam perkembangan dan pertumbuhan serta kemampuan. Adapun hak Nabi saw dan para Imam Ma’shum as juga wajib dari dua sisi:

Pertama, mereka sebab tujuan penciptaan, karena mereka alam ini diciptakan dan tetap langgeng dan seluruh makhluk diberi rezeki karena beliau-beliau, hujan turun ke mereka dan seluruh penderitaan menjadi jauh dari mereka, demi mereka Allah Swt menciptakan seluruh sebab-sebab itu menjadi sebab.

Adapun hak kedua, demi kehidupan yang lebih besar dimana orang-orang mendapat hidayah dan bimbingan melalui perantara beliau-beliau dan diambil dari cahaya-cahaya mereka dan pada mata air mengalir ilmu pengetahuan mereka, Allah Swt berikan kepada mereka untuk selamanya kehidupan yang baik yang fana. Jadi terbukti sudah bahwa mereka sungguh adalah orang tua spiritual yang menjaga hak-haknya adalah kewajiban umat manusia dan menjaga jangan sampai mereka murka serta marah.[37]


Pengaruh-pengaruh Kehidupan yang Baik (Hayâtan Thayyibah)

Pengaruh-pengaruh Kehidupan yang Baik (Hayâtan Thayyibah) cukup banyak dan tak terbilang, karena wujud dan eksistensi manusia terbakar dalam kebahagiaan dan mabuk dalam kedekatan serta perjumpaan dengan Sang Maha Tunggal, ia meneguk “Syarâban Thahûr” menyaksikan keindahan Allah Swt dan fana serta hati orang Mukmin menjadi tempat tajallî (ejawantah) seluruh sifat-sifat Allah Swt.

Syuhûd (penyaksian) dan perjumpaan dengan Allah Swt merupakan buah terbaik yang dihasilkan oleh Kehidupan yang Baik (Hayâtan Thayyibah) yang para wali Allah Swt memilikinya di alam ‘Indallâh. Al-Qur’an bertutur, “Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”(Qs. Al-Kahf: 110).

Pada ayat ini, perjumpaan dan penyaksian Allah Swt berada dalam lingkaran amal saleh dan menjauhi perbuatan syirik (iman) dan Kehidupan yang Baik (Hayâtan Thayyibah) juga ada pada kedua hal ini (iman dan amal saleh).

Oleh karena itu, Kehidupan yang Baik (Hayâtan Thayyibah) dan perjumpaan dengan Allah Swt bisa diperoleh dengan iman dan amal saleh dan kedua-duanya suatu keniscayaan, dan karena kehidupan adalah sumber dan sebab gerakan dan rasa pada makhluk hidup, maka Kehidupan yang Baik (Hayâtan Thayyibah) juga adalah sebab penyaksian dan syuhud Allah Swt serta sebab perjalanan dalam manifestasi-manifestasi cahaya dan nama-nama-Nya. Hati terbuka dan terhampar dan ruh yang tinggi orang yang memiliki Kehidupan yang Baik (Hayâtan Thayyibah) yang telah masuk ke batin alam, terbuka untuk menerima cahaya-cahaya Ilahi dan tidak seperti batu keras, tertutup dan tak bernyawa. Allah Swt berfirman kepada Rasulullah saw, “Maka sesungguhnya kamu tidak akan sanggup memperdengarkan suara (dakwah)mu kepada orang-orang yang mati.”(Qs. Ar-Rûm: 52). Bahkan ia punya hati, berhak mendengar dan menerima peringatan. Allah Swt berfirman, “Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup.”(Qs. Yâ Sîn: 70). Oleh sebab itu, tingkatan lebih rendah penyaksian Allah Swt munculnya tarikan yang menghidupkan orang-orang beriman, dan mengantarkannya ke penyaksian yang lebih sempurna. Wali-wali Allah Swt dengan hati yang bersih dan terbuka ini sampai ke batin alam Kehidupan yang Baik (Hayâtan Thayyibah) dan menyaksikan serta mendengar rahasia-rahasia yang tersembunyi. Al-Qur’an menghikayatkan, “bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.“(Qs. Qâf: 37).

Kendati ditinjau dari lahiriah amal perbuatan dan gerak-gerik mereka sama dengan yang lain, namun mereka mempunyai nalar dan kehendak yang lebih dari yang lain dan pada wujud mereka terdapat sumber bagi yang lain untuk iradah dan nalar ini dimana hal itu adalah kehidupan suci manusiawi. Orang-orang semacam ini selain kehidupan sebagai tumbuhan dan hewan, juga memiliki kehidupan lain yang tidak dimiliki oleh orang-orang kafir dan itu tidak lain adalah kehidupan suci manusiawi.

Efek atau pengaruh lain kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah), adalah rasa senang dan gembira di dalam diri yang al-Qur’an gambarkan para kekasih dan wali-Nya serta orang yang berkehidupan baik (Hayâtan Thayyibah) seperti ini, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak memiliki kekhawatiran dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.“(Qs. Yunus: 62-63). Pada ayat lain, al-Qur’an menghikayatkan, “Siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.“(Qs. Al-Mâ’idah: 69).

Takut dari sesuatu yang mungkin saja terjadi dan menghancurkan kebahagiaan serta rasa senang. Juga sedih akan sebuah peristiwa yang terjadi dan menghilangkan kebahagiaan dan kegembiraan manusia. Jadi, rasa takut betul-betul akan hilang tatkala apa yang kita miliki tidak akan hancur atau tiada, rasa sedih betul-betul akan hilang ketika manusia memiliki segala nikmat dan sukses dengan sempurna serta tidak ada kekurangan sedikit pun, dan keabadian ini adalah kebahagiaan bagi manusia dan kekekalan serta keabadian manusia ada pada kebahagiaan.

Ketika hati manusia terbebas dari segala keterikatan selain Allah Swt dan ia dipenuhi dengan cahaya dan makrifat kepada Allah Swt, dapat posisi di sisi Allah Swt dan meraih kebahagiaan serta keberuntungan hidup yang lebih baik dan lebih kekal di alam ‘Indiyat.

Allamah Thabathabai menuliskan, “Allah Swt dalam kitab suci al-Qur’an, menisbahkan kehidupan abadi kepada manusia-manusia langitan dimana tidak akan berakhir hanya dengan kematian, dan setelah mati ia tetap berada terjaga di bawah wilayat Allah Swt. Di kehidupan itu, tidak ada yang nama sulit dan lelah, hina atau sengsara. Pemilik kehidupan itu tenggelam dalam cinta Allah Swt dan bahagia karena dekat disisi-Nya serta mereka hanya merasakan kebahagiaan, mereka hidup dalam kondisi penuh aman, selamat, semangat dan lezat tanpa ada sedikitpun rasa takut, bahaya dan binasa. Mereka menyaksikan dan mendengar segala sesuatu yang orang lain tidak bisa, akal dan kehendaknya sampai pada batasan yang orang lain tidak bisa menggapainya.”[38]

Oleh karena itu, diantara pengaruh dan efek kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah), bertambahnya rasa bahagia, senang dan rasa tenang, nalar dan pikiran yang lebih unggul yang membuat batin alam dan rahasia bumi dan langit menjadi terang bagi orang-orang beriman berderajat tinggi.

Kemampuan dan penglihatan syuhudi ini berasal dari cahaya Allah Swt yang menerangi hati mereka serta membuatnya dalam dan luas, yang akhirnya, membawanya dari kegelapan lahiriah kepada cahaya batin sehingga mereka menemukan kehidupan yang baru. Al-Qur’an menyebutkan, “Hai orang-orang yang beriman,bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada rasul-Nya, niscaya Allah memberikan dua bagian rahmat-Nya kepadamu, menjadikan untukmu cahaya yang dapat kamu gunakan untuk berjalan…”(Qs. Al-Hadîd: 28).

Pada ayat ini tersimpan banyak rahasia-rahasia, karena dikatakan kepada orang-orang beriman supaya mereka beriman dan bisa dimaklumi bahwa yang dimaksud iman disini adalah tingkatan yang lebih diatas, karena jika selain itu maka penyebutan kembali iman disini menjadi sia-sia dan Allah Swt Yang Maha Bijak tidak akan melakukan perbuatan sia-sia. Dengan kondisi ini, syarat untuk sampai kepada tingkatan iman yang lebih tinggi adalah takwa dan amal saleh. Kemudian dikatakan, apabila kaki sudah melangkah di jalan iman dan takwa, akan diberikan dua nikmat kepada kamu. Dua nikmat itu yang merupakan rahmat Allah Swt, mungkin salah satunya adalah syuhud (penyaksian) pertama dan cukup menarik dimana ia adalah buah dari iman, dan yang kedua adalah kesyahidan yang merupakan hasil dari mujahadah memerangi hawa nafsu dan takwa. Dan kedua ini, mukaddimah cahaya yang Allah Swt anugerahkan kepada orang-orang beriman dan itu tidak lain adalah kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah) dan dikatakan, “Supaya kamu berjalan dengan cahaya ini, berjalan itu disebutkan sebagai simbol seluruh gerak-gerik dan kehidupan; yakni orang-orang yang memiliki kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah), seluruh gerak-gerik dan kehidupan biasa mereka memiliki kedalaman khusus, padahal mereka punya kehidupan biasa. Mereka memperoleh cahaya dan kehidupan spesial, mereka berjalan dengan cahaya itu dan setiap pekerjaan atau perbuatan yang dilakukan, sebelum segala sesuatunya, mereka terlebih dahulu menyaksikan Allah Swt dan tidak punya pikiran dan motifasi kecuali untuk mencari keridhaan Allah Swt.


Berlari Menuju Wilayat Allah Swt

Allah Swt berfirman, “Apabila kamu membaca Al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.“(Qs. An-Nahl: 98).

Al-Qur’an adalah sebaik-baik hasil suluk Rasulullah saw dan sebaik-baik hadiah Allah Swt kepada kekasih dan wali-wali-Nya dan dengan turunnya wahyu ke dalam hati orang-orang saleh, Dia telah menjaga mereka di bawah naungan wilayat-Nya. Karena itu, Allah Swt berfirman kepada Rasulullah saw untuk mengatakan, “Sesungguhnya wali dan pelindungku ialah Allah yang telah menurunkan al-Kitab (Al-Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.“(Qs. Al-A’râf: 196).

Allah Swt dengan turunnya wahyu dan ilham ke hati orang-orang Mukmin dan orang-orang saleh, telah menyampaikan mereka ke alam ‘Indiyat dan merasakan kehadiran disisi-Nya serta hidup dengan kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah) dan merupakan hal yang kokoh yang tak boleh seorang Muslim pun mengabaikannya hingga ia sampai ke asalnya di alam ‘Indallâh dan makna ini diperoleh dari diri Allah Swt.

Tentu setan juga menyeru dan mengajak melalui wahyu dan bisikan godaan kepada sekelompok orang untuk masuk dalam wilayatnya, ia dengan cara-caranya akan menyibukkan mereka dengan kehidupan dunia dan jauh dari kehidupan ‘Indiyat, dan dalam kebutaan dan ketulian akan kebenaran serta kelamnya kejahilan, setan akan menyeret mereka menjadi budak-budaknya, ia akan menyuruh mereka menjual perjanjian Allah Swt dengan harga sedikit, ia akan membuat mereka lupa akan perjanjian yang dibuatnya dengan Allah Swt. Allah Swt berfirman, “Supaya kamu tidak menyembah setan.”(Qs. Yâ Sîn: 60). Setan akan menyesatkan manusia melalui jalan yang Allah Swt buat untuk menghidayahi manusia, misalnya berupa ilham ke hati. Al-Qur’an menyebutkan, “Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada wali-walinya.”(Qs. Al-An’âm: 121). Dan atau al-Qur’an yang merupakan penawar dan rahmat bagi orang-orang Mukmin, tapi kerugian bagi orang-orang zalim.[39] Dengan kata lain, setan membisikkan godaan. Al-Qur’an menyebutkan, “Kemudian setan menggodanya.”(Qs. Tha Ha:120).

Maka dari itu, Allah Swt berfirman, “Ketika kalian membaca al-Qur’an, hendaknya memohon perlindungan kepada Allah Swt, dan hal ini tidak hanya dengan mengucapkan A’ûdzu Billâhi (aku berlindung kepada Allah) di awal bacaan, tapi disepanjang bacaan, harus senantiasa memohon perlindungan-Nya sehingga merasakan penjagaan dan hidayah Allah Swt dengan seluruh wujud dirinya dan hendaklah dirinya diserahkan kepada-Nya.[40]


Menjaga Kehidupan yang Baik (Hayâtan Thayyibah)

Seperti yang kita maklumi bersama, Kehidupan yang Baik (Hayâtan Thayyibah) terealisasi di alam ‘Indiyat di bawah naungan wilayat Allah Swt dan kehidupan dunia di alam dunia terjadi di bawah naungan wilayat serta penguasaan Setan. Haruslah berhati-hati jangan sampai setan menerobos jalan-jalan hidayah Allah Swt dan dengan melebarkan sayap wilayatnya (setan), menghancurkan Kehidupan yang Baik (Hayâtan Thayyibah) dengan menggantikannya dengan kehidupan dunia.

Masuk dan menerobosnya setan pada orang-orang, mungkin karena disana ada peluang-peluang berupa nafsu yang secara sempurna belum masuk dalam wilayat Allah Swt. Adapun orang-orang Mukmin yang dengan baik masuk dan berada dalam wilayat Allah Swt, tidak ada jalan bagi setan untuk bisa menerobosnya. Dari itu, pada ayat-ayat selanjutnya yang merupakan kajian kita, yaitu surah An-Nahl, Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya setan ini tidak memiliki kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhan mereka.“(Qs. An-Nahl: 99).

Tawakal adalah mempercayakan segala urusan kepada yang lain,[41] dan dengan melihat arti ini, urgensi tawakal untuk masuk ke wilayat Allah Swt menjadi jelas, karena tawakal mempersiapkan seorang hamba menerima segala aturan dan manajemen khusus Allah Swt serta menjadi dasar untuk menerima wilayat Allah Swt. Dalam al-Qur’an, begitu banyak ayat-ayat yang menjelaskan masalah ini:

Allah Swt berfirman, “Dia-lah maula kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.”(Qs. At-Taubah: 51).

Allah Swt berfirman, “Padahal Allah adalah wali bagi kedua golongan itu. Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.“(Qs. Âli-‘Imrân: 122).

Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah, Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya.”(Qs. Hud:56).

Melihat bahwa sabar merupakan dasar terealisasinya kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah) dan tawakal adalah penjaganya, maka urutannya itu dijelaskan dengan baik pada ayat berikut.

Allah Swt berfirman, “Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, sesungguhnya akan Kami tempatkan mereka pada tempat-tempat yang tinggi di dalam surga, yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik pembalasan bagi orang-orang yang beramal, (yaitu) orang-orang yang bersabar dan bertawakal kepada Tuhan mereka.“(Qs. Al-‘Ankabût: 58-59).

Pada ayat-ayat ini, setelah mengisyaratkan tentang iman dan amal saleh yang juga disinggung pada ayat yang ada kaitannya dengan kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah) sebelumnya, menggambarkan tempat orang-orang yang benar (shiddiqîn) di Surga dan mengaskan akan keabadian dan kekekalannya serta terakhir, menjelaskan sabar dengan bentuk kata kerja lampau (fi’il madhi) dan tawakal dengan bentuk kata kerja sekarang dan yang akan datang (fi’il mudhâri’) dimana hal ini menunjukkan bahwa kesabaran yang lalu menjadi dasar terealisasinya kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah), dan tawakal selain itu juga menyertai dan menjaga kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah). Dan mungkin kabar baik dari ayat ini bahwa pahitnya rasa sabar akan selalu terasa hingga tiba saat terealisasinya kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah) dan setelah kecenderungan fitrah mengalahkan kecenderungan hawa nafsu serta sang hamba masuk dalam wilayat Allah Swt, kerja keras dan jerih payah bersabar akan hilang. Tentu perlu dicamkan bahwa tawakal sudah menjadi keniscayaan dari sejak memulai jihad melawan hawa nafsu dan dari dimulainya gerakan dari kehidupan dunia ke kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah), karena sabar merupakan pekerjaan yang menuntut adanya tekad dan keinginan kuat, dan dalam perkara-perkara ini dibutuhkan serta diharuskan adanya tawakal. Maka dari itu, pada dua ayat berikut dijelaskan seperti ini:

Allah Swt berfirman, “Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.“(Qs.Âli-‘Imrân: 186).

Dan setiap tekad dan keinginan kuat juga diperintahkan untuk bertawakal. Allah Swt berfirman, “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (Qs.Âli-‘Imrân: 159).

Oleh karena itu, untuk memperoleh taufik berjuang melawan hawa nafsu, bersabar dan konsisten di medan laga yang sangat sulit itu, maka tawakal adalah sesuatu yang niscaya.

Pada ayat lain, tawakal digambarkan sebagai rantai yang menghubungkan dengan kehidupan ilahiyah. Allah Swt berfirman, “Dan bertawakallah kepada Allah Yang Maha Hidup yang tidak akan mati.”(Qs. Al-Furqân: 58).

Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa tawakal adalah yang menyambungkan dengan kehidupan Allah Swt dan tempat bersandar kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah), karena dalam kacamata tasawuf (irfan), “Hidup adalah seseorang yang hidupnya bergantung kepada kehidupan penciptanya.”[42] Dan itulah yang dimaksud kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah). Pada selain ini, kehidupan fisiologis tidak bergantung pada kehidupan Allah Swt, tapi tergantung kepada Maha Pemberi rezeki dan Penciptaan Allah Swt.


Peringatan

Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya kekuasaan setan hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukanya dengan Allah.“(Qs. An-Nahl: 100).

Masuk dan menerobosnya setan ke seseorang yang menjadikan ia sebagai sekutu Allah Swt dan menerima segala bisikan godaannya, yakni karena iman yang lemah maka mereka terjerumus pada perbuatan menyekutukan Allah Swt. Allah Swt berfirman, “Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).“(Qs. Yusuf:106).

Jadi apabila setan masuk dan menerobos ke kita dan kita mendapat problem dan kesulitan dalam menunaikan amal saleh dan berwilayat kepada Allah Swt, maka itu lantaran masih ada hawa nafsu dalam diri kita dan belum menjadi hamba murni Allah Swt dan dari sinilah setan memainkan perannya untuk masuk ke kita dan dengan bisikan-bisikan kehidupan dunia ia berusaha memenjarakan kita.

Jadi harus mengerahkan perhatian untuk persiapan hadir di alam ‘Indiyat dan terealisasinya kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah), dan dengan sabar dan istiqamah, berjuang melawan hawa nafsu dan untuk memperoleh taufik dalam masalah ini, tidak ada jalan lain kecuali dengan tawakal. Hendaknya secara perlahan-lahan kita dekatkan diri ke wilayat Allah Swt dan para Imam Ma’shum as dan mendengarkan seruan mereka dengan telinga dan jiwa serta menuliskannya di dalam hati.

Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan rasul apabila rasul menyerumu kepada suatu yang memberi kehidupan kepadamu.”(Qs. Al-Anfâl: 24).

Nafsu lawwâmah bisa dikonfrontasikan dengan nafsu ammârah, tapi ketika setan datang memberikan bantuan kepada nafsu ammârah, maka untuk keluar dan terbebas dari penguasaannya, harus berlindung di bawah wilayat wali-wali Allah Swt, ia akan membuat stabil kemampuan kita di medan juang ini, sehingga pertolongan Allah Swt tiba dan rahmat spesial-Nya meliputi diri kita, supaya hati selamat dan dibukakan jendela menuju akhirat, dan semoga karamah Allah Swt yang tidak lain adalah cahaya dan ilmu maha luas dan abadi, dinaugerahkan kepada kita dan kita benar-benar melihat ayat-ayat Allah Swt dengan benar, memperoleh rahasia-rahasia kitabullah di maqam penghambaan yang benar dan semoga kita bisa hidup dalam kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah).

Oleh karena itu, terealisasinya kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah) pada sang hamba yang Mukmin, hendak ditopan oleh sabar, tawakal dan berwilayat sehingga bisa menempuh dan melintasi derajat-derajat iman.

“Ya Allah! Jadikanlah aku termasuk orang-orang yang Enkau hidupkan dalam kehidupan yang baik (Hayâtan Thayyibah), selalu bahagia dan kesempurnaan karamat, bahagia tanpa kekurangan…”.[43]


Catatan Kaki:

[1] Fadhl bin Hasan Tabarsi, tafsir Majma’ al-Bayân (Penerjemah: Ali Karami), Tehran, Farhani, 1380 Syamsi. Jilid 7, hal. 734-735.
[2] Nasir Makarim Syirazi dkk, tafsir Nemuneh, cet. 13. Qom, Dâr al-Kutub al-Islâmî, 1373 Syamsi, jilid11, hal. 394.
[3] Abdullah Jawadi Amuli, Fitrat dar Qur’an, cet. 2, Qom, Esra’, 1379 Syamsi, hal. 120 dan 121.
[4] Muhammad Muhammadi Rei Syahri, Mîzân al-Hikmah, Qom, Dâr al-Hadîts, 1416 H, jilid 3, Bab Makrifat (3), hadits 12398, hal. 1905.
[5] Abdullah Jawadi Amuli, ibid, hal. 135.
[6] Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mîzân, Beirut, Muassasah al-A’lamî Lil Mathbû’ât, 1417 H, jilid 8, hal. 353.
[7] Hasan Musthafawi, al-Tahqîq Fî Kalimât al-Qur’an al-Karîm, Tehran, Wizârât-e Irsyâd-e Islâmî, 1369 Syamsi, jilid 11, hal. 14.
[8] Sayid Muhammad Husain Thabathabai, Ibid, jilid 16, hal. 154.
[9] Hasan Musthafawi, Ibid, jilid 5, hal. 274.
[10] Ibid, jilid 11, hal. 188.
[11] Ibid, jilid 7, hal. 207.
[12] Imam Khomeini, Mishbâh al-Hidâyah Ilâ al-Khilâfah wa al-Wilâyah, cet. 3, Tehran, Muassasah Tanzhîm va Nasyr Âtsâr-e Imam Khomeini, 1373 Syamsi, hal. 26; Sayid Mahdi Bahrul Ulum, Risâlah Sair wa Suluk, dengan mukaddimah dan syarah Sayid Muhammad Husain Husaini Tehrani, cet. 5, Tehran, Nûr-e Malâkût-e Qur’an, hal. 53; Abdullah Jawadi Amuli, Hayât-e Haqîqî-e Insân dar Qur’an, Qom, Esra’, 1382 Syamsi, hal. 238-248.
[13] Sayid Muhammad Husain Thabathabai, Ibid, jilid 8, hal. 327.
[14] Akbar Hasyimi Rafsanjani, tafsir Rahnemâ, cet. 2, Qom, Bustân-e Kitâb, 1380 Syamsi, jilid 9, hal. 525; Nasir Makarim Syirazi, tafsir Nemuneh, cet. 13. Qom, Dâr al-Kitâb al-Islâmî, 1373 Syamsi, jilid 11, hal. 389.
[15] Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 95, hal. 363.
[16] Kandungannya yang senada, surah Asy-Syûrâ ayat 22.
[17] Lihat Muhammad Husain Thabathabai, Risâlah al-Wilâyah digabung dengan kitab Tharîq-e ‘Irfân (terjemah Risâlah al-Wilâyah), penerjemah: Shadiq Husain Zadeh, Qom, Nasyr Bakhsyâyesy, 1381 Syamsi, hal. 170, 190 dan 191.
[18] Abdullah Jawadi Amuli, Dîdghâh-e ‘Allâmah dar Bâb-e Velâyat-e Ilâhî, Majallah Mîrâts-e Javîdân, No. 2 1369 Syamsi), tahun kedua, hal. 95.
[19] Qs. Al-An’âm: 126; Qs. Al-A’râf: 26; Qs. Al-Kahf: 57; Qs. As-Sajdah: 22; Qs. An-Nûr: 1; Qs. Al-Ghâfir: 3; Qs. Al-Baqarah: 221; Qs. Al-Anbiyâ: 42.
[20] Penulis, “Nazhâriyah Qur’an dar Bâb-e Cistîy-e ‘Ilm, Mahnâmeh Ma’rifat, No. 83 (Abân 1383 Syamsi), hal. 80.
[21] Muhammad Ya’qub Kulaini, Ushûl al-Kâfî, jilid 1, hal. 192, hadits 2.
[22] Ibid, jilid 1, hal. 194, hadits 1.
[23] Qs. Al-Taubah: 22; Qs. Al-Anfâl: 28; Qs. At-Taghâbun: 15; dan lain-lain.
[24] Nahjul Balaghah, Khutbah Muttaqîn (193).
[25] Qs. An-Nahl: 77.
[26] Muhammad Baqir Majlisi, Ibid, jilid 27, hal. 24.
[27] Nahjul Balaghah, Khutbah 203.
[28] Muhammad Baqir Majlisi, Ibid, jilid 4, hal. 317.
[29] Ibid, jilid 70, hal. 391.
[30] Muhammad Dasyti, Farhangg-e Sukhânân-e Imam Husain as, Qom, Muassasah Tahqîqât-e Amirul Mukminin as, 1377 Syamsi, hal. 579.
[31] Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Akhlâq dar Qur’an, Qom, Muassasah Amûzesyî va Pezûhesyî Imâm Khomeinî, jilid 1, hal. 128-130.
[32] Silahkan merujuk Shadr al-Muta’allihin, Syarh Ushûl al-Kâfî.
[33] Muhammad Baqir Majlisi, Ibid, jilid 53, hal. 191.
[34] Sayid Muhammad Husain Thabathabai, Ibid, jilid 1, hal. 195-198.
[35] Silahkan lihat: Nashir Makarim Syirazi, Âyât-e Velâyat dar Qur’an, Qom, Nasl Javân, 1381 Syamsi, hal. 81.
[36] Muhammad Baqir Majlisi, Ibid, jilid 36, hal. 13, hadits 19.
[37] Ibid, hal. 13-14.
[38] Sayid Muhammad Husain Thabathabai, Ibid, jilid 7, hal. 348.
[39] Qs. Al-Isrâ’: 82.
[40] Sayid Muhammad Husain Thabathabai, Ibid, jilid 12, hal. 348.
[41] Hasan Musthafawi, Ibid, jilid 13, hal. 193.
[42] Sayid Shadiq Guharîn, Syarh-e Ishthilâhât-e Tashawwuf, Tehran, Zuwwâr, 1368 Syamsi, jilid 4, hal. 314.
[43] Muhammad Baqir Majlisi, Ibid, jilid 95, hal. 91.

(Shafei-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: