Pesan Rahbar

Home » » Kemurahan Hati dan Kedermawanan Imam Sajjad as Dalam Persfektif Ahlusunnah (Rujukan Sunni)

Kemurahan Hati dan Kedermawanan Imam Sajjad as Dalam Persfektif Ahlusunnah (Rujukan Sunni)

Written By Unknown on Friday, 20 October 2017 | 05:23:00


Salah satu pelayanan-pelayanan dan sifat-sifat istimewa Imam Sajjad as adalah merawat orang-orang miskin, anak-anak yatim, orang-orang fakir dan budak-budak. Dengan menelaah secara global buku-buku sejarah dari kalangan Syiah dan Ahlusunnah, akan kita temukan bahwa kitab-kitab yang ada pada kedua mazhab ini dipenuhi oleh keterangan dan penjelasan akan sifat-sifat baik dan terpuji Imam Sajjad as, sementara musuh-musuh Ahlulbait as, khususnya para penguasa zalim di masa beliau, berusaha menyembunyikan dan menghilangkan jejak keutamaan-keutamaan Imam Sajjad as. Hal yang akan diutarakan secara sederhana disini adalah mengenai kemurahan hati dan kedermawanan Imam Sajjad as dalam persfektif Ahlusunnah.

Beliau adalah penghulu para ahli sujud dan perhiasan bagi ahli zuhud dan ahli ibadah. Malam ketika tirai kegelapan malam meliputi semuanya, keluarga-keluarga miskin, yatim, fakir dan budak-budak, mulai mendapat pelayanan dan kedermawanan Imam Sajjad as, dan yang menarik, mereka sama sekali tidak mengenal siapa orang yang senantiasa melayani mereka hingga tiba saatnya Imam Sajjad as meninggalkan dunia fana ini serta orang tak dikenal itu tidak lagi datang mengunjungi mereka, barulah orang-orang menyadari kalau yang selama ini, setiap malam, datang kepada mereka dan dengan penuh kasih sayang serta tanpa memperkenalkan dirinya memberi pelayanan, memberi bantuan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka adalah Imam Ali bin Husain as.

Imam Zaenal Abidin as telah menanggung biaya hidup seratus keluarga fakir kota Madinah, itupun tanpa diketahui oleh keluarga-keluarga tersebut.[1]

Sekelompok dari orang-orang Madinah bertahan hidup dengan mengkonsumsi makanan yang setiap malam datang dan diantarkan kepada mereka, tapi mereka sendiri tidak kenal dengan orang yang membawakan makanan itu hingga setelah wafatnya Imam Ali bin Husain as, mereka baru tahu kalau orang yang selama ini senantiasa mengantarkan makanan ternyata adalah Imam Zaenal Abidin as.[2]

Malam-malam Imam Sajjad as keluar menyamar sambil memikul roti dan bahan makanan lalu dibawanya ke rumah orang-orang fakir dan orang-orang miskin. Beliau bersabda, “Sedekah secara sembunyi-sembunyi akan memadamkan murka Allah Swt.”[3]

Penduduk Madinah berkata, “Kami kehilangan sedekah sembunyi-sembunyi tatkala Ali bin Husain as meninggal dunia.”[4]

Beliau selama bertahun-tahun karena terlalu sering memikul barang yang berisi terigu dan bahan makanan lalu diantarkannya ke rumah orang-orang fakir, sampai-sampai pundak mulia beliau berbelulang dan menjadi tebal dan bahkan setelah kesyahidannya, ketika jenazahnya hendak dimandikan, pundak beliau yang berbelulang itu menjadi bahan perhatian dan karena mereka menanyakan penyebabnya, maka mereka pun tahu kalau itu semua bekas dari karung-karung yang berisi bahan makanan yang Imam Sajjad as pikul lalu kemudian dibagikan ke orang-orang fakir.[5]

Besar harapan semoga kita pun mengikuti jejak-jejak Imam Agung ini memikirkan nasib dan kondisi kalangan fakir dan miskin masyarakat kita.



Catatan Kaki:

[1] Al-Thabaqât al-Kubrâ, Muhammad bin Sa’ad, jilid 5, hal. 222, Percetakan: Dâr Shâdir, Beirut; Al-Muntakhab min Dzail al-Mudzîl, al-Thabarî, hal. 121, Muassasah al-A’lamî Lilmathbû’ât, Beirut.
[2] Târîkh Madînah Dimasq, Ibnu Asakir, jilid 41, hal. 383, tahun cet. 1415 H, Dâr al-Fikr Liththabâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî’, Beirut; Tahdzîb al-Kamâl, Al-Mazi, jilid 20, hal. 392, peneliti: Dr. Basysyar Iwad Ma’ruf, cet. 1, 1413 H – 1992 M, Muassasah al-Risâlah, Beirut; Sair A’lâm An-Nubalâ, Dzahabi, jilid 4, hal. 393, peneliti: Ma’mun Shagirci, cet. 9, 1413 H – 1992 M, Muassasah al-Risâlah, Beirut; Tahdzîb al-Tahdzîb, Ibnu Hajar, jilid 7, hal. 270, cet. 1, 1404 H – 1984 M, Dâr al-Fikr Liththabâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî’, Beirut.
[3] Târîkh Madînah Dimasq, Ibnu Asakir, jilid 41, hal. 383; Tahdzîb al-Kamâl, Al-Mazi, jilid 20, hal. 391; Sair A’lâm An-Nubalâ, Dzahabi, jilid 4, hal. 393.
[4] Târîkh Madînah Dimasq, Ibnu Asakir, jilid 41, hal. 843; Tahdzîb al-Kamâl, Al-Mazi, jilid 20, hal. 392; Sair A’lâm An-Nubalâ, Dzahabi, jilid 4, hal. 394; al-A’lâm, Khairuddin al-Zarkuli, jilid 4, hal. 277, cet. 5, Dâr al-‘Ilm Lil-Malâyîn, Beirut; Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Ibnu Katsir, jilid 9, hal. 133, penelitian: Ali Syiri, cet. 1, 1408 H – 1988 M, Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabî, Beirut.
[5] Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Ibnu Katsir, jilid 9, hal. 133; Mathâlib al-Sû’ul fî Manâqib Âli al-Rasûl (as), Muhammad bin Thalhah al-Syafi’i, hal. 415, penelitian: Majid bin Ahmad al-‘Athiy.

(Shafei/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: