Kebangkitan Imam Husein as pada hari Asyura bukan sekedar
peristiwa sejarah tapi merupakan budaya revolusioner yang lahir dari
jantung Islam dan memegang peranan vital dalam mempertahankan dan
mengabadikan ajaran Islam yang hakiki. Meski peristiwa tersebut telah
terjadi lebih dari 14 abad yang lalu, namun Asyura memberikan banyak
pelajaran berharga kepada manusia yang akan selalu menjadi pelita
penerang bagi langkah perjuangan para penegak keadilan dan penentang
kezaliman di sepanjang masa. Pribadi Imam Husein as dengan segala
keutamaan dan kesempurnaannya, bukan hanya sesosok insan tapi seorang
manusia seagung sejarah. Perjuangan heroik Imam Husein as di padang
Karbala merupakan kebangkitan revolusioner yang berakar dari ajaran
al-Quran dan Sunnah Nabi saw.
Karbala menjadi sumber inspirasi dan model perjuangan pelbagai gerakan revolusi besar dunia. Imam Husein mengajarkan kepada sejarah bahwa ketakutan dan sikap menyerah terhadap ketidakadilan dan kezaliman, muncul lantaran menjauhnya manusia dari fitrahnya yang suci.
Pada hari Asyura, dalam suatu peperangan yang tidak seimbang melawan pasukan Yazid, Imam Husein bangkit menentang dan mengubah Karbala menjadi ranah cinta dan pembebasan. Para pencipta sejarah di pentas Karbala adalah kaum lelaki dan perempuan yang lebih mengutamakan kesyahidan di jalan Allah swt ketimbang kehidupan yang hina dan tunduk pada kezaliman, sehingga teriakan kebebasan dan pembebasan pun akan selalu berkorbar di sepanjang sejarah.
Asyura juga mengajarkan bagaimana model cinta yang hakiki dan pengorbanan sejati. Meminjam ungkapan Imam Khomeini, “Pada hari Asyura, ketika detik-detik kesyahidan Imam Husein kian dekat, wajah beliau semakin berapi-api, hingga mampu mengobarkan semangat para pemuda dan sahabat yang mendampinginya untuk berlomba-lomba menuju medan perang meski mereka tahu bahwa tak seberapa lama lagi madu syahadah akan mereka teguk.
Apa yang terbetik di hati mereka hanya satu, yaitu menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim demi tegaknya agama Allah walau dengan mengorbankan jiwa dan darah sekalipun”. Tak banyak sahabat yang menyertai perjuangan Imam Hussein as. Meski begitu, mereka yang bergabung dengan kafilah Asyura adalah manusia-manusia pilihan yang pemberani, arif, dan memiliki derajad keimanan dan ketakwaan yang tinggi. Seluruh kualitas kemanusiaan itu menjelma begitu indahnya di tengah kepungan kezaliman dan ketidakadilan yang merajalela di masa itu. Salah seorang sahabat Imam Husein as adalah Hajjaj Ju’fi.
Di Sepanjang perjalanan Imam Husein menuju Karbala, ia bertindak sebagai muadzin. Ketika hari Asyura tiba, ia menemui Imam Husein as dan meminta ijin untuk maju ke medan pertempuran. Selama di medan perang, ia bertempur begitu gigih dan berani. Hingga kemudian ketika kakinya terluka bersimbah darah, ia datang menghampiri Imam as dan berkata, “Jiwaku adalah tebusan bagimu wahai Sang Pemberi Hidayah Umat. Hari ini aku akan menemui datukmu Rasulullah saw.
Hari ini aku akan bertemu dengan ayahmu Ali bin Abi Thalib as. Wahai pemimpinku, apakah aku sudah bisa membuatmu rela?” Dengan tatapan penuh kasih dan sedih, Imam Husein as menjawab, “Iya. Setelahmu, akupun akan menemui mereka”. Segera selepas itu, Hajjaj pun kembali lagi ke medan perang dan dengan gagah ksatria ia bertempur melawan musuh hingga ia pun tumbang gugur syahid.
Di sepanjang sejarah, senantiasa terdapat dua kekuatan utama yang selalu berhadap-hadapan. Yaitu kekuatan kebenaran dan kebatilan. Para nabi dan awliya adalah sebagai representasi kekuatan haq merupakan kalangan penyeru tauhid dan penyembah Allah swt. Mereka berkeyakinan bahwa mengenal dan menyembah Allah swt merupakan satu-satunya jalan kebahagiaan dan kesempurnaan sejati bagi umat manusia. Imam Husein as dan para sahabatnya di padang Karbala adalah representasi kekuatan kebenaran. Ruh tauhid dan ubudiyah menjelma dengan begitu indahnya pada hari Asyura.
Menjelang pertempuran, Imam Husein as mengingatkan, “Apakah kalian tidak melihat bahwa kini ketaatan kepada Allah swt sudah menjadi perkara yang ditinggalkan. Kebenaran tidak lagi dilaksanakan, dan tidak pula berpaling dari kebatilan?” Kebangkitan Imam Husein as merupakan misi revolusioner yang semata-mata ditujukan untuk memperoleh keridhaan Allah swt.
Imam Husein as menegaskan, “Kalian tahu, bahwa kaum ini (Yazid bin Muawiyah dan pasukannya) muncul dengan perintah setan dan berpaling dari perintah Allah swt. Mereka melancarkan kejahatan dan kerusakan di muka bumi dan melanggar larangan Allah swt. Mereka rampas baitul mal untuk kepentingan pribadinya. Apa yang halal mereka haramkan, dan apa yang haram mereka halalkan.
Tak ada yang lebih pantas untuk melawan mereka ketimbang diriku”. Selama berdakwah untuk membimbing dan mencerahkan umat, Imam Husein as melaksanakannya secara bertahap dan ketika cara-cara dialog dan islah tak lagi efektif, beliau pun menghadapi dua pilihan dilematis: mempertahankan ajaran Islam ataukah nyawanya sendiri.
Namun di mata beliau, mempertahankan Islam lebih utama ketimbang apa pun karena itu beliau lebih memilih pilihan tersebut dengan cara bangkit menentang kezaliman dan kesyirikan. Seraya menukil hadis Rasulullah saw, Imam Husein as berkata, “Barang siapa yang melihat adanya seorang penguasa zalim yang menentang hukum-hukum Allah, bertindak dosa di tengah-tengah umat dan memusuhi hamba-hamba Allah, namun ia tidak menentang dan mencegahnya dengan ucapan atau tindakan, maka Allah swt layak untuk memasukkan orang semacam itu ke dalam golongan orang-orang yang berbuat zalim”.
Asyura adalah madrasah yang mengajarkan kesetiaan dan komitmen terhadap janji. Pada malam asyura, Imam Husein as meminta sahabat-sahabatnya untuk meninggalkan beliau jika ingin bertahan hidup dan menyelamatkan diri. Namun seluruh sahabat Imam Husein dengan serentak memutuskan untuk tetap berjuang bersama beliau hingga titik darah penghabisan. Mereka berkata, “Kalaupun harus terbunuh ratusan kali hingga tercabik-cabik dan jasad kami dibakar kemudian dihidupkan lagi kami tetap bersama engkau.
Sebab engkau adalah putra Rasulullah, pemimpin, dan imam kaum muslimin. Kami senantiasa menyertai dan siap mengorbankan jiwa”. Imam Husein as menyeru umatnya untuk membantu agama Allah swt. Pada hari Asyura, setiap kali salah seorang sahabatnya meminta ijin untuk maju ke medan pertempuran, beliau membacakan surat al-Ahzab ayat 23 yang artinya: “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur.
Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya)”. Perbudakan dan penawanan manusia merupakan hal yang bisa menistakan harga diri seorang manusia. Penistaan sungguh dikutuk oleh Allah swt dan Rasulnya.
Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang rela menerima penghinaan terhadap dirinya niscaya ia bukan dari golongan kami”. Sebab Allah swt senantiasa menghendaki kebebasan bagi hamba-hambanya dan mengecam ketundukan kepada penguasa yang zalim. Imam Husein as berkata: “Ketahuilah bahwa Ibnu Ziyad telah memberiku dua pilihan.
Kehinaan atau pembantaian. Kami tidak akan pernah memilih kehinaan. Sebab Allah, kaum mukiminin dan semua orang bijak tidak akan merelakanku memilih kehinaan. Mereka tidak akan menerima alasanku mengikuti orang-orang durjana itu”. Kebangkitan Imam Husein as bergerak dengan rasionalitas dan kesadaran untuk melindungi kemuliaan manusia.
Revolusi tersebut sarat akan nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang abadi. Dengan menelisik lebih jauh ke dalam batin peristiwa Karbala dan merenungi kembali keindahan moral yang tercipta dalam peristiwa heroik yang agung itu, niscaya semua orang akan mengagumi kebesaran dan kepahlawanan Imam Husein as serta kesetiaan sahabat-sahabatnya. Sejarawan AS, Washington Irving menuturkan, “Di bawah terik matahari yang membakar di padang tandus, di atas pasir sahara Irak yang membara, jiwa Husein abadi tak bisa dimusnahkan. Wahai pahlawan, wahai teladan luhur keberanian, Engkau ksatriaku wahai Husein!”
Setiap misi dan pesan yang sejalan dengan akal dan fitrah manusia niscaya tak akan lekang oleh zaman dan selalu abadi. Hakikat dan keindahan pesan tersebut akan senantiasa terpatri dalam jiwa manusia. Kebangkitan Imam Husein as adalah revolusi Ilahi yang bersumberkan pada kecintaan terhadap Allah swt.
Tentu saja, revolusi agung semacam itu tidak akan pernah terhapus dalam lembaran sejarah dan akan senantiasa hidup mengobarkan semangat setiap generasi untuk bangkit menegakkan keadilan dan menentang kezaliman. Imam Husein as berkata, “Penyabar adalah orang yang mengabaikan kepentingan duniawi dan tabah dalam menghadapi pelbagai bala cobaan”.
Sumber: darahalhusain
Karbala menjadi sumber inspirasi dan model perjuangan pelbagai gerakan revolusi besar dunia. Imam Husein mengajarkan kepada sejarah bahwa ketakutan dan sikap menyerah terhadap ketidakadilan dan kezaliman, muncul lantaran menjauhnya manusia dari fitrahnya yang suci.
Pada hari Asyura, dalam suatu peperangan yang tidak seimbang melawan pasukan Yazid, Imam Husein bangkit menentang dan mengubah Karbala menjadi ranah cinta dan pembebasan. Para pencipta sejarah di pentas Karbala adalah kaum lelaki dan perempuan yang lebih mengutamakan kesyahidan di jalan Allah swt ketimbang kehidupan yang hina dan tunduk pada kezaliman, sehingga teriakan kebebasan dan pembebasan pun akan selalu berkorbar di sepanjang sejarah.
Asyura juga mengajarkan bagaimana model cinta yang hakiki dan pengorbanan sejati. Meminjam ungkapan Imam Khomeini, “Pada hari Asyura, ketika detik-detik kesyahidan Imam Husein kian dekat, wajah beliau semakin berapi-api, hingga mampu mengobarkan semangat para pemuda dan sahabat yang mendampinginya untuk berlomba-lomba menuju medan perang meski mereka tahu bahwa tak seberapa lama lagi madu syahadah akan mereka teguk.
Apa yang terbetik di hati mereka hanya satu, yaitu menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim demi tegaknya agama Allah walau dengan mengorbankan jiwa dan darah sekalipun”. Tak banyak sahabat yang menyertai perjuangan Imam Hussein as. Meski begitu, mereka yang bergabung dengan kafilah Asyura adalah manusia-manusia pilihan yang pemberani, arif, dan memiliki derajad keimanan dan ketakwaan yang tinggi. Seluruh kualitas kemanusiaan itu menjelma begitu indahnya di tengah kepungan kezaliman dan ketidakadilan yang merajalela di masa itu. Salah seorang sahabat Imam Husein as adalah Hajjaj Ju’fi.
Di Sepanjang perjalanan Imam Husein menuju Karbala, ia bertindak sebagai muadzin. Ketika hari Asyura tiba, ia menemui Imam Husein as dan meminta ijin untuk maju ke medan pertempuran. Selama di medan perang, ia bertempur begitu gigih dan berani. Hingga kemudian ketika kakinya terluka bersimbah darah, ia datang menghampiri Imam as dan berkata, “Jiwaku adalah tebusan bagimu wahai Sang Pemberi Hidayah Umat. Hari ini aku akan menemui datukmu Rasulullah saw.
Hari ini aku akan bertemu dengan ayahmu Ali bin Abi Thalib as. Wahai pemimpinku, apakah aku sudah bisa membuatmu rela?” Dengan tatapan penuh kasih dan sedih, Imam Husein as menjawab, “Iya. Setelahmu, akupun akan menemui mereka”. Segera selepas itu, Hajjaj pun kembali lagi ke medan perang dan dengan gagah ksatria ia bertempur melawan musuh hingga ia pun tumbang gugur syahid.
Di sepanjang sejarah, senantiasa terdapat dua kekuatan utama yang selalu berhadap-hadapan. Yaitu kekuatan kebenaran dan kebatilan. Para nabi dan awliya adalah sebagai representasi kekuatan haq merupakan kalangan penyeru tauhid dan penyembah Allah swt. Mereka berkeyakinan bahwa mengenal dan menyembah Allah swt merupakan satu-satunya jalan kebahagiaan dan kesempurnaan sejati bagi umat manusia. Imam Husein as dan para sahabatnya di padang Karbala adalah representasi kekuatan kebenaran. Ruh tauhid dan ubudiyah menjelma dengan begitu indahnya pada hari Asyura.
Menjelang pertempuran, Imam Husein as mengingatkan, “Apakah kalian tidak melihat bahwa kini ketaatan kepada Allah swt sudah menjadi perkara yang ditinggalkan. Kebenaran tidak lagi dilaksanakan, dan tidak pula berpaling dari kebatilan?” Kebangkitan Imam Husein as merupakan misi revolusioner yang semata-mata ditujukan untuk memperoleh keridhaan Allah swt.
Imam Husein as menegaskan, “Kalian tahu, bahwa kaum ini (Yazid bin Muawiyah dan pasukannya) muncul dengan perintah setan dan berpaling dari perintah Allah swt. Mereka melancarkan kejahatan dan kerusakan di muka bumi dan melanggar larangan Allah swt. Mereka rampas baitul mal untuk kepentingan pribadinya. Apa yang halal mereka haramkan, dan apa yang haram mereka halalkan.
Tak ada yang lebih pantas untuk melawan mereka ketimbang diriku”. Selama berdakwah untuk membimbing dan mencerahkan umat, Imam Husein as melaksanakannya secara bertahap dan ketika cara-cara dialog dan islah tak lagi efektif, beliau pun menghadapi dua pilihan dilematis: mempertahankan ajaran Islam ataukah nyawanya sendiri.
Namun di mata beliau, mempertahankan Islam lebih utama ketimbang apa pun karena itu beliau lebih memilih pilihan tersebut dengan cara bangkit menentang kezaliman dan kesyirikan. Seraya menukil hadis Rasulullah saw, Imam Husein as berkata, “Barang siapa yang melihat adanya seorang penguasa zalim yang menentang hukum-hukum Allah, bertindak dosa di tengah-tengah umat dan memusuhi hamba-hamba Allah, namun ia tidak menentang dan mencegahnya dengan ucapan atau tindakan, maka Allah swt layak untuk memasukkan orang semacam itu ke dalam golongan orang-orang yang berbuat zalim”.
Asyura adalah madrasah yang mengajarkan kesetiaan dan komitmen terhadap janji. Pada malam asyura, Imam Husein as meminta sahabat-sahabatnya untuk meninggalkan beliau jika ingin bertahan hidup dan menyelamatkan diri. Namun seluruh sahabat Imam Husein dengan serentak memutuskan untuk tetap berjuang bersama beliau hingga titik darah penghabisan. Mereka berkata, “Kalaupun harus terbunuh ratusan kali hingga tercabik-cabik dan jasad kami dibakar kemudian dihidupkan lagi kami tetap bersama engkau.
Sebab engkau adalah putra Rasulullah, pemimpin, dan imam kaum muslimin. Kami senantiasa menyertai dan siap mengorbankan jiwa”. Imam Husein as menyeru umatnya untuk membantu agama Allah swt. Pada hari Asyura, setiap kali salah seorang sahabatnya meminta ijin untuk maju ke medan pertempuran, beliau membacakan surat al-Ahzab ayat 23 yang artinya: “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur.
Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya)”. Perbudakan dan penawanan manusia merupakan hal yang bisa menistakan harga diri seorang manusia. Penistaan sungguh dikutuk oleh Allah swt dan Rasulnya.
Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang rela menerima penghinaan terhadap dirinya niscaya ia bukan dari golongan kami”. Sebab Allah swt senantiasa menghendaki kebebasan bagi hamba-hambanya dan mengecam ketundukan kepada penguasa yang zalim. Imam Husein as berkata: “Ketahuilah bahwa Ibnu Ziyad telah memberiku dua pilihan.
Kehinaan atau pembantaian. Kami tidak akan pernah memilih kehinaan. Sebab Allah, kaum mukiminin dan semua orang bijak tidak akan merelakanku memilih kehinaan. Mereka tidak akan menerima alasanku mengikuti orang-orang durjana itu”. Kebangkitan Imam Husein as bergerak dengan rasionalitas dan kesadaran untuk melindungi kemuliaan manusia.
Revolusi tersebut sarat akan nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang abadi. Dengan menelisik lebih jauh ke dalam batin peristiwa Karbala dan merenungi kembali keindahan moral yang tercipta dalam peristiwa heroik yang agung itu, niscaya semua orang akan mengagumi kebesaran dan kepahlawanan Imam Husein as serta kesetiaan sahabat-sahabatnya. Sejarawan AS, Washington Irving menuturkan, “Di bawah terik matahari yang membakar di padang tandus, di atas pasir sahara Irak yang membara, jiwa Husein abadi tak bisa dimusnahkan. Wahai pahlawan, wahai teladan luhur keberanian, Engkau ksatriaku wahai Husein!”
Setiap misi dan pesan yang sejalan dengan akal dan fitrah manusia niscaya tak akan lekang oleh zaman dan selalu abadi. Hakikat dan keindahan pesan tersebut akan senantiasa terpatri dalam jiwa manusia. Kebangkitan Imam Husein as adalah revolusi Ilahi yang bersumberkan pada kecintaan terhadap Allah swt.
Tentu saja, revolusi agung semacam itu tidak akan pernah terhapus dalam lembaran sejarah dan akan senantiasa hidup mengobarkan semangat setiap generasi untuk bangkit menegakkan keadilan dan menentang kezaliman. Imam Husein as berkata, “Penyabar adalah orang yang mengabaikan kepentingan duniawi dan tabah dalam menghadapi pelbagai bala cobaan”.
Sumber: darahalhusain
Post a Comment
mohon gunakan email