Oleh: Romanus Sumaryo
Reaksi di medsos merebak, debat di beberapa WAG menguak pasca Anies berpidato. Ada yang langsung menghujat karena ungkit-ungkit kata PRIBUMI. Namun ada yang netral membela tidak ada yang salah dengan isi pidato bahkan bagus. Juga ada yang membela bahwa kata PRIBUMI cuma satu kali digunakan.
Yang jadi soal menurut saya, bukan berapa jumlah kata “pribumi” yang muncul, tapi mengapa kata “pribumi” tersebut digunakan.
Amanat reformasi, tertuang dalam Inpres no 26/1998 yang menghapuskan penggunaan istilah “pribumi” & tentu saja “non-pribumi” dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan-program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan program pemerintahan. Mengapa?
Ada sebuah konteks yang melatarbelakangi dan menimbulkan traumatik yang luar biasa yang mengiringi proses reformasi, di mana terjadi kerusuhan, penjarahan, pemerkosaan dsb atas nama PRIBUMI terhadap NON-PRIBUMI.
Kita tentu belum lupa bagaimana banyak properti ditulis besar-besar MILIK PRIBUMI supaya tidak dibakar. Kondisi tersebut melahirkan “noir comedy” pula di mana ada sebuah properti yang sudah menulis namun dibakar juga karena yang tertulis MILIK PLIBUMI.
Kembali ke Anies, cuma ada satu kata PRIBUMI dalam pidatonya. Mungkin secara TEXT tidak ada yang salah dari penggunaan kata pribumi tsb dlm pidatonya, atau bahkan secara TEXT tidak ada yang salah dari keseluruhan naskah pidato Anies. Tapi Anies, timnya dan pendukung-pendukungnya, jauh-jauh hari telah memberikan CONTEXT pada beberapa istilah yang muncul sebagai TEXT dalam naskah pidatonya. Sebut saja:
1. “Pribumi” yang jauh-jauh hari dimaknai sebagai bukan NON-PRIBUMI yang dimaknai bukan etnis tionghoa.
2. “Penjajah” jauh-jauh hari sudah dimaknai sebagai KAFIR atau KRISTEN. Lebih-lebih dalam kunjungan ke markas FPI Anies sempat membangun context yang manipulatif mengenai Partai Arab Indonesia sebagai kelompok asing pertama yang membela Indonesia. Padahal secara kronologis Partai Tionghoa Indonesia lebih dulu 2 tahun.
3. “Anti-agama” yang jauh-jauh hari dimaknai sebagai anti-Islam, anti-Ulama dan anti-AlQuran.
4. “Demokrasi” dimaknai sebagai kekuasaan mayoritas dalam hal ini mayoritas agama.
5. “Keadilan sosial” jauh-jauh hari dimaknai sebagai kesenjangan antara pribumi dan non-pribumi
Ke-5 hal tsb, yang ada dalam text pidato Anies, jauh-jauh hari sudah dibangunkan dan dimainkan contextnya oleh Anies dan tim kampanyenya, diulang-ulang terus lewat orasi-orasi kampanye, kotbah-kotbah di mesjid dsb. Mengingatkan saya pada film Conspiracy Theory, bagaimana sebuah “symbol” dan “lagu” dibenamkan lama-lama dalam benak algojo asasin yang pada saatnya dimunculkan sebagai sebuah text, sesungguhnya itu menjadi trigger untuk melakukan penembakan.
Saya kira ini sebuah permainan yang canggih dan sadis dari Anies. Apakah bukan sebuah rancangan dengan beredarnya foto-foto spanduk panjang yang diarak pendukung Anies “Saatnya Pribumi Bangkit” sesaat setelah pelantikan dan sebelum pidato? Apakah bukan rancangan naskah pidato Anies beredar setelah media “detik” dan “cnn” yg satu atap mengutip headline soal “pribumi” ini? Apakah tidak ada hubungan antara intonasi dan mimik yang nyebelin saat mengucapkan kata “pribumi” & “penjajah” dan naskah beredar sebagai bukti bahwa dia tidak bersalah? Apakah ini bukan rancangan utk menimbulkan diskusi seru dan perpecahan pendapat yang menghasilkan Share of Voice sebagai back up plan dari nobar yg sepi?
Apapun tujuan Anies dan timnya, bahwa terus memelihara konteks dari kelima hal di atas, walau secara teks tidak ada yg salah, adalah sebuah cara-cara licik yang berbahaya. Secara teks Anies tak akan terkena sanksi hukum, ada presedennya, karena Ahok pun diadili dan dihukum berdasarkan text bukan context.
Demikian pendapat saya.
Romanus Sumaryo
(suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email