Pesan Rahbar

Home » » “PRIBUMI’ — Apa Artinya?

“PRIBUMI’ — Apa Artinya?

Written By Unknown on Wednesday 18 October 2017 | 19:32:00


Oleh Ajip Rosidi

Istilah pribumi biasanya digunakan sehubungan dengan penduduk asing, terutama Cina yang dianggap sebagai nonpribumi atau nonpri. Maksud istilah pribumi sama dengan istilah bumiputera yang banyak digunakan padanannya sebelum perang, tetapi sekarang tak pernah terdengar digunakan kecuali sebagai nama perusahaan asuransi. Maksudnya ialah penduduk asli di suatu daerah. Pengertian asli di Indonesia sebenarnya agak sulit dirumuskan, mengingat menurut para ahli, penduduk kepulauan Nusantara ini semuanya juga berasal dari daratan Asia yang datang bermigrasi beberapa ribu tahun yang lalu. Penduduk yang benar-benar asli niscaya sudah punah atau bercampur dengan para pedatang ribuan tahun yang lalu.

Akan tetapi, istilah nonpribumi banyak digunakan sampai sekarang, terutama sehubungan dengan orang Cina – walaupun mereka sudah tinggal beberapa keturunan di Indonesia serta tidak lagi berbahasa Cina dan sudah menjadi warga negara Indonesia (WNI). Oleh karena itu, ada yang berpendapat bahwa istilah pribumi dan nonpribumi itu bersifat diskriminasi, bahkan ada yang menyebutnya rasial.

Memang aneh, karena kata nonpribumi tidak pernah atau jarang sekali dihubungkan dengan orang Arab atau orang India, meskipun mereka kedudukannya seperti orang Cina sudah entah berapa keturunan hidup di Indonesia.

Sebagai lawan kata nonpribumi digunakan kata asli, artinya orang yang dianggap asli penduduk Indonesia, walaupun kalau diteliti secara ilmiah mungkin sukar dibuktikan. Istilah Indo yang dahulu digunakan untuk menyebut orang-orang peranakan campuran antara orang kulit putih (biasanya ayahnya) dengan pribumi (biasanya ibunya), sekarang jarang terdengar digunakan. Akan tetapi istilah Indo hanya bertalian dengan darah ayah-ibunya, tidak dihubungkan dengan kedudukannya sebagai orang pedatang, sehingga tidak pernah dihubungkan dengan pribumi karena itu tidak pernah disebut sebagai nonpri, meskipun pada masa sebelum perang (zaman Hindia Belanda) istilah bumiputera memang dipertentangkan dengan orang Belanda sebagai penjajah. Istilah bumiputera mungkin terjemahan dari istilah inlander dalam bahasa Belanda. Akan tetapi, istilah inlander digunakan untuk menghina penduduk asli, sehingga tidak disukai oleh orang pribumi. Pengumuman dalam bahasa Belanda yang dipasang di berbagai tempat misalnya berarti “Inlander dan anjing tidak boleh masuk”.

Pemakaian istilah nonpribumi bagi sebagian orang Cina terasa diskriminatif, sehingga mereka cenderung menolaknya. Mereka sebagai orang yang sudah beberapa keturunan lahir dan hidup di Indonesia, merasa berhak juga untuk mengakui Indonesia sebagai tanah airnya. Banyak di antaranya yang turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sejak masa sebelum perang sampai pada masa revolusi kemerdekaan dan zaman-zaman sesudahnya. Banyak yang pernah diangkat menjadi menteri atau anggota parlemen. Liem Koen Hian, Oey Tiang Tjoei, Oey Tjong Hauw, dan Tan eng Hoa duduk sebagai anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia), dan Yap Tjwan Bing duduk sebagai anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Sementara yang menjadi anggota parlemen atau menteri antara lain Tan Po Goan, Ong eng Die, Oei Tjoe Tat, Siauw Giok Tjhan, Lie Kiat Teng, dan Tan Kim Liong. Pada masa perjuangan menumbangkan Orde Lama muncul nama-nama Harry Tjan, Arief Budiman (Soe Hok Djien), Soe Hok Gie, Jusuf Wanandi (Liem Bian Kie), Sofyan Wanandi (Liem Bian Kun), dan lain-lain. Dalam perjuangan mengoreksi Orde Baru dengan melakukan reformasi, ada nama-nama Kwik Kian Gie, Marie Pangestu, Alvin Lie, dan lain-lain.

Pada masa Hindia Belanda memang ada kebijaksanaan pemerintah untuk membatasi peranan orang Cina dan keturunannya dalam bidang-bidang tertentu saja sehingga orang Cina tidak boleh jadi tentara, pegawai negeri, polisi, dan sebagainya. Bidang yang secara luas diberikan kepada keturunan Cina adalah perdagangan menengah dan kecil. Perdagangan besar dipegang oleh orang Belanda dan orang Barat lainnya, walaupun ada juga orang Cina yang muncul sebagai pedagang besar seperti Oei Tiong Ham (1866—1924) yang disebut sebagai “Raja Gula” karena memiliki beberapa pabrik gula di antaranya pabrik “Rejo Agung” yang merupakan pabrik gula terbesar dan termodern di dunia.

Setelah Indonesia merdeka, sampai dengan jatuhnya Orde Baru, pemerintah selalu memperlihatkan politik diskriminatif terhadap orang Cina, sampai-sampai agama leluhurnya pernah dilarang dan namanya harus diganti. Akan tetapi, setelah reformasi, kebijaksanaan seperti itu disadari tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia, sehingga peraturan-peraturan yang dianggap merampas atau mengurangi hak-hak asasinya sebagai warga negara dan sebagai manusia, dibatalkan, sehingga tidak ada lagi diskriminasi. Namun demikian, dalam masyarakat, pemakaian istilah pribumi dan nonpribumi masih sering terdengar, masih sering digunakan dalam berita-berita surat kabar.

Namun seperti juga dengan setiap istilah, terjadi juga pergeseran arti dalam pemakaiannya. Misalnya berita yang berjudul “Pribumi Harus Diprioritaskan” (Pikiran Rakyat, 19 Juli 2010. hlm. 19), ternyata isinya bukan tentang orang asli yang dipertentangkan dengan nonpribumi (Cina). Maksud pernyataan anggota DPRD Kota Cimahi yang meminta pribumi harus diprioritaskan itu ternyata penduduk setempat, artinya penduduk Kota Cimahi, tak peduli keturunan apa. Sebab pada praktiknya yang bekerja di Kota Cimahi itu banyak yang bukan penduduk kota tersebut. Padahal masih ada 40.000 orang penduduk Kota Cimahi yang menganggur.

Kata pribumi itu mungkin diambil dari bahasa Jawa, yang artinya wong asal ing tanah kono (Baoesastra Jawa Poerwadarminta), artinya penduduk asli suatu daerah atau tempat. Atau mungkin juga dari bahasa Sunda, karena dalam bahasa Sunda juga ada kata pribumi yang artinya nu boga imah, nu boga daerah at. nagara (Kamus Umum Basa Sunda, LBSS), yaitu yang empunya rumah, yang empunya daerah atau negara. Tuan rumah.

Dalam lingkungan kesenian, istilah pribumi biasa digunakan untuk menyebut karya seni yang memperlihatkan hubungannya yang kuat dengan tradisi setempat.

30 Oktober 2010, Rubrik Bahasa, Pikiran Rakyat

(Pikiran-Rakyat/suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: