Pesan Rahbar

Home » » Runtuhnya Islam Andalusia Jangan Terulang di Indonesia

Runtuhnya Islam Andalusia Jangan Terulang di Indonesia

Written By Unknown on Tuesday 31 October 2017 | 23:44:00


Ustadz Afifi Abdul Wadud mengungkapkan fakta tentang berkurangnya jumlah umat Islam yang ada di beberapa negara termasuk Indonesia. Bahkan, dia mengkhawatirkan runtuhnya Islam Andalusia, bisa terulang di Indonesia.

Beberapa negara seperti, Philipina dulu 100 persen penduduknya adalah muslim, saat ini hanya tinggal 2 persen. Dulu penduduk Singapura 93 persen muslim, sekarang hanya tinggal 15 persen. Dan saat ini, sekitar 1 juta muslim di Myanmar sedang bernasib tragis.

"Dulu Indonesia, 95 persen penduduknya adalah Muslim. Saat ini hanya 80 persen, lima tahun lagi tinggal berapa persen?" ungkap Ustadz Afifi yang juga merupakan lulusan Al-Madinah International University (MEDIU) itu.

Pemimpin Muslim terakhir di Andalusia Spanyol Abdillah Muhammad bin Al Ahmar, keluar dari istana kerajaan dengan hina. Malam itu, Andalusia telah jatuh ke tangan kerajaan Katolik setelah berada di bawah kekuasaan Islam selama lebih dari 800 tahun.

Dia meninggalkan istana dengan hati pilu, dadanya sesak. Hingga sampai di sebuah bukit yang cukup tinggi. Dari sana dia menatap Istana Al Hambra, dia menangis tersedu-sedu hingga jenggotnya basah kuyup dengan air mata.

Melihat hal itu, ibunya berkata, Menangislah! Menangislah seperti perempuan! Karena kau tidak mampu menjaga kerajaanmu sebagaimana laki-laki perkasa.

Andalusia memiliki luas wilayah 700 ribu kilometer persegi. Kalau pada masa sekarang Andalusia itu meliputi sebagian besar wilayah Spanyol, lalu seluruh wilayah portugis, dan sebagian besar wilayah Selatan Perancis.

Islam pertama kali masuk ke Andalusia pada tahun 711 M melalui jalur Afrika Utara. Spanyol sebelum kedatangan Islam dikenal dengan nama Iberia/Asbania, kemudian disebut Andalusia. Ketika negeri subur itu dikuasai bangsa Vandal, dari perkataan Vandal inilah orang Arab menyebutnya Andalusia.

Dalam bukunya Kebangkitan Islam di Andalusia, Ahmad Mahmud Himayah memberikan informasi berkenaan dengan Islam di Andalusia. Ada tiga catatan besar mengenai sebab keruntuhan peradaban Islam di Andalusia.

Pertama, perpecahan umat Islam pada saat itu. Kedua, cinta dunia dan takut mati kaum muslimin khususnya anggota keluarga kerajaan Islam Andalusia. Ketiga, memudar atau hilangnya peran ulama pada saat itu, kata Himayah dalam bukunya itu.


Perpecahan umat Islam pada saat itu

Umat Islam Andalusia tidak berbeda dengan umat Islam lainnya di seluruh penjuru dunia. Mereka satu akidah, berpegang teguh pada mahzab Ahlussunnah Waljamaah.

Oleh karena itu, ketika mereka sedang dalam keadaan menghadapi kesulitan dan penindasan, mereka meminta pertolongan kepada saudara-saudaranya sesama Muslim yang memiliki kekuatan untuk membantu mereka. Kerajaan Islam di Maroko dan Kekhalifahan Utsmaniyah menjadi dua kerajaan yang mereka kirimkan surat meminta bantuan.

Di antara isi surat yang mereka tuliskan kepada kedua kerajaan itu disebutkan dalam buku Himayah, sebagai berikut:

Salam sejahtera kami haturkan untuk yang mulia, dari seorang hamba yang tertindas di Andalusia, wilayah sebelah Barat bumi Maroko.

Dengan dikelilingi oleh lautan Roma yang membentang luas dan lautan raya yang dalam dan pekat.

Salam sejahtera untuk semua, dari seorang hamba yang terluka akibat bencana berat yang menimpa.

Kami dikhianati dan ditindas, agama kami diubah dengan paksa, kami dianiaya dengan keji dan kejam.

Namun, kami tetap berpegang teguh dengan ajaran Nabi Muhammad SAW, melawan tentara salib berdasarkan satu niat.

Saat kami membina perjanjian perdamaian, mereka malah mengkhianati dan melanggarnya.
Bukan sekali mereka melanggar perjanjian, bahkan sebelumnya berkali-kali mereka mengingkari dan menindas kami dengan kekerasan dan penganiayaan.

Mereka membakar kitab suci umat Islam dan mencampakkannya ke tempat-tempat sampah sehingga berbaur dengan najis.

Kitab suci yang kami jadikan sandaran dalam setiap urusan, mereka campakkan dengan keji dan zalim.

Kami dipaksa mencaci Nabi, dan dilarang untuk menyebut namanya, baik pada saat senggang maupun tertindas.

Kalau ada satu orang atau satu kelompok orang yang melantunkan namanya, bahaya siksa dan azab mengancam mereka.

Nama-nama kami diubah dengan nama yang tidak kami senangi. Sayang seribu sayang, mereka mengubah agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW dengan agama anjing-anjing Romawi, makhluk terburuk di muka bumi.

Kami pun akan menjadi hamba sahaya yang tidak bertuan, menjadi umat Islam yang tidak bisa mengucapkan kalimat syahadatain.

Jika kedua bola mata insan menyaksikan, betapa kesulitan yang kami derita, ia akan mencurahkan hujan airmata.

Betapa pedih yang kami rasakan, menahan derita nestapa yang terus menyelimuti.....

Surat tersebut menggambarkan bagaimana muslim Andalusia sangat membutuhkan sekali bantuan dari umat Islam lainnya. Mereka mengiba, menangis, dan mengemis belas kasihan raja-raja Islam.

Namun bantuan yang diharapkan tidak turun-turun. Hal ini semakin membuat mereka terisolasi dan semakin lama menanggung beban penderitaan. Umat Islam di Andalusia diberikan tiga pilihan oleh kerajaan Kristen: Masuk Kristen, Keluar dari Andalusia, atau dibunuh!

Jumlah mereka yang dibunuh mencapai puluhan ribu jiwa. Sebagian mereka ada yang murtad atau pura-pura murtad. Mereka yang murtad ini selalu diawasi oleh intelejen Kerajaan Kristen pada saat itu.

Bila terbukti masih beragama Islam maka akan ditangkap dan dihukum. Apalagi mereka yang merencanakan pemberontakan, tak tanggung-tanggung akan dihukum mati! Digantung dan dikuliti kemudian di arak keliling kota sebagaimana yang terjadi pada diri para mujahidin saat itu.

Di manakah kerajaan Islam Maroko yang saat itu bersebelahan dengan umat Islam Andalusia? Di manakah kekhalifahan Utsmaniyah yang dengan gemilang berhasil menaklukan Konstantinopel?

Namun dalam buku Himayah tidak membahas mengapa Khalifah Utsmaniyah tidak turun membantu umat Islam Andalusia. Tetapi ada penjelasan mengejutkan dari Raja Maroko mengapa mereka enggan membantu Muslim Andalusia.

Raja Maroko ingin mencari aman saja, karena bila mereka terlalu jauh terlibat dalam konflik yang terjadi di Andalusia, kekuasaan mereka akan terancam. Kerajaan Kristen akan menyerang mereka atau melakukan praktik adu domba sesama anggota keluarga kerajaan seperti yang terjadi di Andalusia.

Intinya, kerajaan Kristen akan berupaya mempersulit keadaan kerajaan Islam Maroko. Akhirnya, mereka pun mengambil jarak terhadap umat Islam di Andalusia.

Kenyataan ini tampaknya juga diderita oleh pemimpin negara-negara Islam saat ini. Mereka tidak berani memberikan bantuan secara penuh, terutama militer, kepada umat Islam yang tertindas seperti di Palestina, Suriah, Afghanistan, Irak, dan Mindanao. Mereka lebih memilih mengamankan kekuasaan mereka.

Memang sejarah telah mencatatkan para pemimpin yang membantu para mujahidin nasibnya sering berakhir tragis, seperti yang dialami Raja Faishal dari Arab Saudi dan Jenderal Zia Ul Haq dari Pakistan. Tapi itulah resiko perjuangan. Bila tidak ada pengorbanan tidak akan ada kemenangan. Para mujahid pasti sudah siap dengan kematian, karena kematian bisa menjadi jalan kemenangan bagi mereka.


Cinta dunia dan takut mati

Kemudian pada awal abad ke-16 adalah titik nadir umat Islam Andalusia. Mereka sedang bersiap diri menghadapi keruntuhan, sebuah keruntuhan yang dicatat dalam sejarah. Sebuah keruntuhan yang mengundang kepiluan dan kesedihan yang mendalam.

Selama delapan abad lamanya mereka berkuasa di Andalusia dan mendirikan sebuah peradaban yang besar, peradaban ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Peradaban yang mengantarkan mereka menjadi kerajaan paling digdaya di seantero dunia saat itu.

Bukanlah kekalahan dan kemenangan itu terjadi karena pihak luar, tetapi terjadi pada umat Islam itu sendiri, dengan izin Allah tentunya. Sebagaimana firman Allah swt, Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga ia mengubahnya sendiri.(QS. Ar-Rad: 11)

Pada saat itu kerajaan Islam Andalusia sudah tercabik-cabik menjadi kerajaan-kerajaan kecil, menjadi 23 kerajaan kecil. Masing-masing anggota kerajaan ingin memiliki kekuasaan. Mereka saling tikam antara satu dengan yang lain. Raja atau sultan silih berganti berkuasa.

Anak membunuh ayahnya, keponakan membunuh pamannya tampaknya sudah menjadi lumrah pada saat itu. Bahkan yang paling buruk adalah anggota kerajaan itu meminta tolong Raja-Raja Kristen untuk membantu mereka menyingkirkan orang-orang yang menurut mereka menghalangi ambisi mereka dalam meraih kekuasaan.

Tentu saja setiap bantuan yang diberikan harus dengan imbalan yang memadai. Dan imbalan itu nyatanya sangat besar jumlahnya. Terus saja seperti ini kejadiannya. Dengan sendirinya Raja-raja Kristen menjadi mudah mengadu domba atas sesama anggota kerajaan Islam Andalusia. Daerah kekuasaan Islam Andalusia sedikit demi sedikit digrogoti oleh Kerajaan Kristen.

Fakta lain, pasti ada saja muncul pahlawan-pahlawan yang menyerukan perang suci menghadapi kaum kufar. Mereka menyerukan kepada kaum muslimin Andalusia untuk bangkit menghadapi pasukan Kristen. Ada saatnya mereka menang, tapi seringkali mereka kalah.

Hal ini terjadi karena kurangnya dukungan pihak kerajaan terhadap aksi mereka. Mereka berjuang secara sporadis dengan jumlah personel terbatas walaupun sangat mematikan. Salah satu di antara para pahlawan itu adalah Jenderal Musa bin Abi Ghassan.

Kata-katanya yang paling terkenal, Mati syahid di bawah reruntuhan pagar Granada lebih mulia daripada hidup di bawah penindasan.

Tetapi suara yang mendominasi saat itu menghendaki Granada diserahkan kepada musuh. Tetapi Musa bin Abi Ghassan tidak setuju. Ia berteriak dan berkata, Kita lebih baik menyebutkan siapa-siapa saja yang menghendaki perjuangan mempertahankan Granada dan siapa yang menghendaki penyerahannya ke tangan musuh.

Namun sayang, tidak ada seorang pun yang mendengarkan dan mendukungnya. Akhirnya, dia pergi meninggalkan majelis kerajaan dan menunggang kudanya meninggalkan Granada yang merupakan benteng paling utama dari Kerajaan Islam Andalusia.

Hingga suatu saat dia bertemu dengan sekelompok pasukan Kristen, ia langsung menyerang dengan ganas menggunakan pisau dan pedangnya. Namun, tentara musuh semakin banyak yang mengepungnya. Dan ketika hendak ditawan, ia mengambil inisiatif untuk menyeburkan dirinya ke dalam laut.

Sementara itu, Raja Abu Abdillah bersegera menyerahkan Granada ke kerajaan Kristen Spanyol. Salah satu dari dua orang yang menjadi negosiator penyerahan Granada ke tangan kerajaan Kristen adalah Ibnu Kamasyah, seorang menteri yang murtad.

Ia memeluk agama Kristen setelah penyerahan, bahkan menjadi seorang pendeta besar. Bukan hanya menteri yang murtad, banyak dari keluarga kerajaan dan pemuka kaum yang murtad. Mereka memeluk Kristen setelah Granada diserahkan kepada Kerajaan Kristen.

Mereka adalah, dua orang pangeran, yakni Saad dan Nasr bin Sultan Abil Hasan, ibunya yang bernama Mahma, Pangeran Yahya An-Niyar, anak paman Raja Abu Abdillah bin Zaghl dan Panglima Mariya bersama anak dan istrinya. Nama-nama mereka diganti dengan nama-nama Kristen.

Demikianlah Andalusia tenggelam karena ruh Islam yang ada dalam jiwa mengalami kematian, sehingga kerusakan pun merajalela. Hal itu diperburuk dengan pengkhianatan terhadap Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang muslim.


Memudar atau hilangnya peran ulama pada saat itu

Lantas, di manakah para ulamanya? Himayah tidak membahasnya secara khusus. Padahal poin ini sangat penting untuk dibahas karena para ulama pada hakikatnya memiliki peran yang sentral di tengah masyarakat.

Dengan resolusi jihad yang dikeluarkan KH Hasyim Asyari contohnya, ini memotivasi umat Islam di Indonesia untuk melawan penjajahan. Namun, ada gambaran tersirat dari tulisan Himayah, betapa lemahnya peran dan pengaruh ulama pada saat itu.

Karena faktanya majelis kerajaan juga diisi oleh banyak ulama, misalnya di dalamnya ada seorang Qadhi atau Mufti. Tapi mengapa mereka seolah diam, bahkan larut dalam pemikiran Raja yang penuh kelemahan, cinta dunia dan takut mati? Dan akhirnya kekuasaan Islam berakhir di Andalusia, dan belum pernah bangkit lagi hingga detik ini.

Ustadz Afifi mengambil pelajaran dari kisah Andalusia ini dan membandingkan dengan keadaan umat Islam saat ini, yang sebenarnya tidak ada bedanya dengan keadaan umat Islam di Andalusia pada saat itu. Harapan atas kebangkitan itu selalu ada, asalkan persatuan, tarbiyah, dan ulama, harus menjadi perhatian serius bagi umat Islam yang ingin meraih kejayaannya kembali.

Hampir semua pra-syarat hancurnya Islam di Andalusia, telah ada dan terjadi di Indonesia. KH Ahmad Dahlan pernah berkata, "Islam tidak akan pernah musnah dari dunia, tapi Islam bisa hilang di negeri ini".

(Republika/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: