Hampir lima puluh persen dari total penduduk Indonesia bermedia sosial. Bahkan, tidak sedikit dari generasi milenial yang menjadikan internet atau media sosial sebagai sumber utama dalam mencari sebuah informasi, termasuk informasi seputar keagamaan. Maka dari itu, internet dan media sosial adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan saat ini.
“Ini harus dihadapi. Kita tidak bisa keluar dari situ,” Kata Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Saiful Umam saat menjadi pembicara dalam acara diskusi bertemakan Santri di Era Milenial: Tantangan dan Peluang di Sekretariat Islam Nusantara Center Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (27/10) sore.
Lebih jauh, Saiful menerangkan, tidak ada bedanya antara orang yang memang benar-benar belajar dan menekuni ilmu-ilmu agama dengan mereka yang baru masuk Islam di media sosial seperti saat ini.
Kealiman atau ketokohan seseorang tidak lagi diukur dari seberapa banyak ia mengkaji kitab-kitab klasik keislaman ataupun seberapa banyak sanad kelmuan yang ia dapat.
Namun, mereka yang sering muncul di internet dan media sosial bisa ‘dengan mudahnya’ dianggap sebagai seorang yang alim karena sering tampil di media sosial dengan menulis atau menyampaikan ceramah-ceramah keagamaan yang sanad keilmuannya entah dari mana.
“Itu tidak bisa dihalangi karena itu ada di dunia publik,” kata lulusan Perguruan Islam Mathali’ul Falah Kajen itu.
Wakil Ketua Asosiasi Pesantren Nahdlatul Ulama (RMI NU) itu menyebutkan bahwa wacana keagamaan di media sosial dan internet dikuasai oleh kelompok-kelompok yang berpaham konservatif.
Mereka beragama dengan sangat kaku, hitam-putih, halal-haram, dan cenderung intoleran baik kepada sesama muslim namun berbeda paham apalagi kepada non-muslim.
“Ini adalah tantangan bagi kita semua (sebagai santri),” tegasnya.
Santri di era media sosial
Saiful menerangkan, ada beberapa hal yang seharusnya dilakukan seorang santri menghadapi kelompok konsevatif yang semakin merajalela di internet dan media sosial.
Pertama, tetap menjaga nilai-nilai seorang santri. Yakni berakhlak yang baik, tidak merasa paling tahu, menghormati orang tua dan guru, menghargai budaya yang tidak bertentangan dengan Islam, banyak membaca, dan berpikir serta bertindak secara moderat.
Kedua, saling menguatkan antar satu dengan yang lainnya. Sesama santri yang berpaham moderat sudah seyogyanya harus saling mendukung dan memperkuat, bukan malah mencari kesalahan dan kelemahannya.
“Di luar sana mereka (kelompok yang berpaham konservatif) saling mendukung,” ucapnya.
Ketiga, terlibat dalam proses pembelajaran keislaman di lingkungan sekitar. Seorang santri juga seharusnya aktif dalam kegiatan pengajian dan kegiatan keagamaan lainnya yang ada di sekitar lingkungannya.
“Kalau kita tidak merawat lingkungan kita, maka mereka (kelompok yang berpaham konservatif) yang akan merawat,” ujarnya.
Keempat, menyebarkan Islam moderat di internet. Dunia internet semestinya dipenuhi dengan materi-materi Islam yang moderat sehingga media sosial dan internet penuh dengan wacana Islam moderat.
Dengan demikian, masyarakat awam yang ingin mencari informasi seputar keagamaan maka akan mendapatkan materi Islam yang moderat.
“Kita tidak bisa mengandalkan pemerintah untuk melakukan sensor,” tutup dia.
(NU-Online/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email