Pesan Rahbar

Home » » Membaca Arah Reformasi Sosial di Arab Saudi

Membaca Arah Reformasi Sosial di Arab Saudi

Written By Unknown on Monday 6 November 2017 | 01:12:00

Perempuan Arab Saudi resmi diizinkan memasuki stadion olahraga mulai 2018. (FOTO/AFP)

Oleh: Akhmad Muawal Hasan

Pangeran Muhammad bin Salman, yang digadang-gadang meneruskan estafet kepemimpinan Kerajaan Arab Saudi, percaya bahwa pertumbuhan ekonomi hanya akan terjadi jika ada reformasi sosial di negaranya. Ia pun berjanji untuk mengembalikan Saudi ke jalur “Islam moderat” dan meminta dukungan global untuk mewujudkan masyarakat Saudi yang lebih terbuka. Cita-cita akhirnya: investor juga lebih tertarik datang ke monarki Saudi.

Dalam wawancaranya dengan The Guardian, pewaris takhta Saudi itu paham bahwa ultra-konservatisme Saudi adalah penghalang utama visi negara padang pasir yang modern dari segala segi—ditunjang dengan masyarakatnya yang terbuka. Tak malu-malu juga sang pangeran untuk menyindir kondisi negaranya yang dinilai “tak normal”. Ia juga menyindir orang-orang Saudi terdahulu yang terlalu terpengaruh dengan Revolusi Iran yang kaku, dan masyarakat di bawah tanggung jawabnya kini yang harus menerima akibatnya.

“Apa yang terjadi dalam 30 tahun terakhir ini bukan Arab Saudi. Apa yang terjadi di wilayah ini dalam 30 tahun terakhir bukanlah Timur Tengah. Setelah Revolusi Iran pada tahun 1979, orang ingin menyalin model [negara ultrakonservatif] ini ke berbagai negara, salah satunya Arab Saudi. Kami tidak tahu bagaimana mengatasinya. Dan masalahnya tersebar di seluruh dunia. Sekarang saatnya untuk menyingkirkannya,” jelas pangeran berusia 32 tahun tersebut.

Pernyataan Pangeran Muhammad ini merupakan yang paling tegas dalam beberapa bulan terakhir. Gol besarnya adalah ekonomi Saudi yang tetap tumbuh meski lepas dari ketergantungan minyak. Perusahaan minyak negara, Saudi Arabian American Oil Company (Aramco) sudah mulai dijajakan sahamnya oleh ayah Muhammad, Raja Salman bin Abdulaziz Al-Saud, sejak awal tahun ini. Namun setelah lepas dari minyak pun, beragam proyek investasi Saudi tak akan jalan jika negara tersebut masih punya perkara laten terkait konservatisme dan ekstremisme.

Saudi, kata Muhammad, perlu kestabilan politik layaknya negara mayoritas Muslim moderat lain. Muhammad sedang menyiapkan NEOM, mega-proyek senilai $500 miliar berupa kota metropolis yang merentang hingga ke Yordania dan Mesir. Investor tak akan tertarik jika Saudi masih ditempeli rekam jejak pengekspor ekstremis yang mengacaukan negara-negara tetangga, juga hingga ke kawasan strategis lain seperti Asia Tenggara.

Upaya penanggulangan ekstremisme sesungguhnya telah dimulai Saudi sejak beberapa tahun terakhir. Yang cukup terbaru dikabarkan oleh Arab News awal September 2017. Kala itu Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Adel Al-Jubeir, menyampaikan bahwa otoritas negara tersebut telah memecat ribuan imam masjid yang diduga menyebarkan paham ekstremis. Ia mengatakannya di sela-sela kunjungannya ke Moscow, Rusia, di mana kedua negara telah bersepakat memulai kerja sama dalam program perang melawan terorisme.

“Kami tidak akan membiarkan siapapun menyebarkan ideologi yang dipenuhi kebencian, atau mendanai ideologi atau terorisme yang semacam itu,” tegasnya.

Tak sekadar menanggulangi, otoritas Saudi juga mengupayakan pencegahan lewat institusi pendidikan. Al-Jubeir mendekati masalah penyebaran ideologi ekstremis dengan sangat ketat. Saudi memodernisasi sistem pendidikan di berbagai madrasah dan institusi pendidikan di negaranya agar para murid terhindar dari kemungkinan salah menafsirkan teks Al Qur’an. Penyalahartian ini kerap dipakai oleh para ekstremis dalam merekrut calon-calon teroris muda di seantero Saudi dan negara-negara Timur Tengah.

Empat tahun yang lalu muncul sebuah laporan dari pemerintah Amerika Serikat yang memuat manuver pemecatan kurang lebih 3.500 ulama Arab Saudi yang dianggap membawa ideologi ekstremisme dan radikalisme. Angka pemecatan tersebut adalah total dari kebijakan yang sudah dilakukan sejak 2003, demikian menurut laporan Al Arabiya.

Kementerian Urusan Islam, Dakwah, dan Tuntutan Agama (MOIA), menurut laporan tersebut, membawahi, mengawasi, dan menggaji para ulama Saudi. Serupa dengan pernyataan Al-Jubeir, MOIA menolak untuk menghidupi ulama garis keras yang akan menciptakan ketidakstabilan politik dan hukum di dalam maupun di luar negeri.

Raja Saudi kala itu, Abdullah bin Abdul Aziz, mengkritik para ulama yang dipecat karena sering membuat fatwa dan dekrit yang “absurd” serta kerapkali melanggar aturan administrasi. Raja Abdullah menegaskan bahwa hanya anggota Dewan Ulama Senior yang punya izin untuk mengeluarkan fatwa. Kualitas ulama-ulama tersebut dipertanyakan sebab mereka rupanya punya kemampuan membaca dan menghafal Al Quran yang buruk, di samping juga kerap sembrono menafsirkan Islam secara praktis.

Laporan tersebut juga mengungkapkan ikhtiar anti-ekstremis lain dari pemerintah Arab Saudi, yakni memantau berbagai situs maupun forum-forum di dunia maya yang disusupi oleh kelompok ekstremis. Kementerian MOIA juga punya tanggung jawab mengawasi pengisian materi untuk calon pendidik bidang keagamaan agar tidak disusupi ideologi ekstremis yang dikhawatirkan akan menyebar di kalangan generasi muda.

Ulama konservatif adalah kendala terbesar upaya reformasi sosial Saudi. Pangeran Muhammad sudah punya “musuh” sejak memulainya. Ia yang jadi calon terkuat mewarisi takhta Raja Salman pun mulai mengonsolidasikan kekuatannya sebab ditinggalkan oleh barisan ulama konservatif yang tak sejalan dengan ide reformasi sosial Muhammad. Sebagaimana diberitakan The Guardian, Muhammad kemudian menuntut kesetiaan dari para pejabat senior untuk tetap di belakangnya dalam mendukung proses reformasi yang sudah berjalan sejak 15 tahun terakhir.


House of Saud, istilah resmi untuk Wangsa Saud yang sudah menguasai Monarki Arab Saudi sejak 1744, pun terbelah. Ulama garis keras merapatkan barisan, sementara yang moderat kian mendukung kebijakan sang pangeran. Pangeran Muhammad menerima mandat untuk meneruskan kepemimpinan ayahnya—yang menjadi proses penyerahan kekuasaan ayah ke anak pertama sejak 1953—pada Juni 2017. Sejumlah analis politik waktu itu sudah memprediksikan ulama konservatif Saudi sebagai tantangan terberat Muhammad.


Reformasi untuk Perempuan Saudi

Ada isu menarik lain dalam upaya reformasi di Saudi selain ekstremisme: nasib kaum hawanya. Seperti dilansir dari BBC News, Minggu (29/10/2017), Arab Saudi akan mengizinkan perempuan menghadiri acara olahraga di stadion untuk pertama kalinya mulai tahun depan. Setiap keluarga akan dapat memasuki stadion di tiga kota besar: Riyadh, Jeddah, dan Dammam. Kebijakan ini dimaksudkan untuk memberi kebebasan lebih kepada para perempuan Saudi yang menghadapi peraturan segregasi gender yang ketat sejak usia dini.

Kemajuan kecil lain muncul pada akhir September ketika Raja Salman mengumumkan perubahan sebuah dekrit kerajaan yang isinya membolehkan perempuan Saudi untuk memiliki lisensi mengemudi tanpa perlu izin dari wali sahnya. Perempuan kini juga diperbolehkan menyetir mobilnya sendiri.

“Saya pikir para pemimpin kita paham jika masyarakat sudah siap,” kata Salman seperti dilansir The Guardian.

Departemen Luar Negeri AS menyambut baik kebijakan tersebut sebagai “langkah besar ke arah yang benar.” Ulama konservatif lagi-lagi sempat jadi ganjalan. Awal bulan lalu seorang ulama Saudi mengatakan bahwa perempuan seharusnya tidak diizinkan mengemudi karena otak mereka menyusut sampai seperempat seukuran pria saat mereka berbelanja. Sang ulama pun dilarang berkhotbah lagi oleh otoritas Saudi.

Kampanye untuk mengizinkan perempuan mengemudi dimulai di Arab Saudi sekitar 10 tahun lalu. Isu ini mencapai puncaknya pada 2013, ketika beberapa perempuan yang duduk di belakang kemudi sempat ditangkap oleh polisi. Kabar penangkapan ini menimbulkan kecaman dari dunia internasional dan warganet yang meminta otoritas Saudi untuk mengambil tindakan.

Pangeran Muhammad melihat bahwa kebijakan perempuan mengemudi dapat menjadi kunci reformasi sosial. Ia pun menegaskan bahwa langkah tersebut akan meningkatkan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja dan menghapus peran gender yang membatasi interaksi sosial antara pria dan wanita di luar lingkungan keluarga.

Sayangnya, sejumlah pengamat menilai jalan menuju perbaikan nasib perempuan Saudi masih panjang. Satu kali Raja Salman ditanya wartawan apakah Arab Saudi berencana melonggarkan undang-undang perwalian—bahwa suami atau ayah dapat mencegah istri atau anak perempuan mereka meninggalkan rumah—atau kebijakan lain yang bisa memperluas hak-hak perempuan, sang raja tidak berkomentar.

(Tirto/suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: