Oleh: Denny Siregar
Dalam sebuah diskusi, seorang teman berkata dengan keras, “Jokowi tidak pro rakyat kecil!”.
Saya tanya dari sisi mana dia berargumen begitu, dan dia memberi contoh dengan tidak tegasnya pemerintah terhadap kasus Meikarta dan Reklamasi..
Saya senyum saja, karena memang sudut pandangnya berbeda jadi sulit memberikan argumen jika tidak diakhiri dengan debat panjang.
Definisi “Rakyat kecil”, menurut teman saya adalah para pengusaha kecil dan menengah yang tidak sebesar pengusaha Meikarta dan pulau Reklamasi.
Teman saya mungkin tidak menyadari bahwa menurut BPS ada lebih dari 7 juta penganggur terbuka di Indonesia. Dan mereka adalah rakyat kecil.
Angka 7 juta itu belum ditambah dengan jumlah pekerja yang bekerja di sektor swasta dengan upah kerja sangat rendah, seperti contoh kasus pabrik petasan yang terbakar kemarin. Dan ini bisa sangat banyak.
Apalagi terjadi pergeseran ekonomi dan teknologi yang sedang melanda dunia saat ini.
Otomatisasi gerbang tol diperkirakan akan merumahkan ribuan orang, meski pihak Jasa Marga mengklaim tidak akan memPHK karyawan. Belum pabrik2 yang lebih suka menggunakan teknologi daripada tenaga manusia yang lebih mahal biayanya.
Bank-bank mempensiunkan dini karyawannya karena sudah ada mobile bank. Ritel-ritel besar berguguran karena pola ekonomi sudah menyebar.
Apakah Jokowi mendiamkan hal ini begitu saja ? Mereka yang menjadi korban adalah rakyat kecil, kelompok masyarakat yang tidak masuk dalam definisi temanku itu.
Dengan pola pergeseran ekonomi dan tehnologi ini, diperkirakan ke depan ada puluhan juta rakyat kecil yang membutuhkan pekerjaan.
Karena kalau mereka tidak bekerja, tidak ada yang belanja dan perputaran uang di masyarakat tersendat sehingga bisnis besarpun ambruk, negara bisa terancam kolaps.
Pandangan temanku sebagai pengusaha kecil jelas lebih sempit daripada pandangan seorang Presiden seperti Jokowi yang harus melihat dari banyak sisi.
Karena itu Jokowi banyak membangun infrastruktur yang menyerap tenaga kerja. Diharapkan pembangunan ini menyerap lebih dari 7 juta tenaga kerja di bidang infrastruktur.
Jokowi juga mencanangkan program “CashforWork” yang harus dimulai 2018. Cash for work adalah program penyerapan 200 tenaga kerja dari desa dengan menggunakan dana desa. Jika itu berhasil, diperkirakan ada 15 juta tenaga kerja yang terserap disana.
Lalu apa hubungannya dengan Meikarta dan Reklamasi?
Jelas hubungannya ada di penyerapan tenaga kerja. Meikarta sendiri diperkirakan menyerap lebih dari 7 juta pekerja. Sedangkan pulau Reklamasi diperkirakan menyerap lebih dari 1 juta pekerja.
Jadi, kuncinya ada di sana, kenapa Jokowi harus mengambil kebijakan yang tidak populer bagi dirinya. Karena ia berfikir jauh lebih besar dan ke depan, mengantisipasi apa yang akan terjadi nanti.
Dan penyerapan tenaga kerja sekarang ini adalah solusi jangka pendek, karena dalam jangka panjang yang diharapkan adalah hasil pembangunan infrastruktur nanti akan menyerap investasi asing dan jelas akan menaikkan sektor ekonomi di wilayah yang infrastrukturnya sudah kuat.
Seorang Jokowi bukanlah Superman. Dia ada pada situasi membenahi kerusakan yang terjadi sekian lama dan tidak mungkin akan selesai hanya pada periode ia memimpin saja. Ia berpacu dengan waktu supaya masalah tenaga kerja ini tidak menjadi bom waktu.
“Jadi begini…” Aku menoleh ke temanku untuk memberikan penjelasan, tapi dia ternyata sudah tidak ada. Dan sedihnya ibu warkop berpesan, “Temannya tadi bilang abang yang bayar. Dia makan tahu isi lima dan kopi dua..”
Kopiku dingin bersamaan dinginnya keringatku karena tahu uang di dompet tinggal lima ribu.
(Denny-Siregar/suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email