Sehari setelah resmi mengundurkan diri dari posisi sebagai ‘Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban’, Din Syamsudin yang juga Ketua Dewan Pertimbangan MUI, langsung bikin manuver, mengajak masyarakat menonton film Pengkhianatan G30S/PKI (demikian judul lengkap film dimaksud). Ia bahkan mengajak pihak TNI untuk bersama dalam kegiatan ini.
Sebelum komentar ke film, saya ingin komentar mengenai Din. Dengan posisi sebagai staf khusus Presiden, alasan pengunduran diri yang dikemukakan karena merasa dirinya menjadi tidak netral, terasa aneh. Bukankah soal dialog dan kerjasama antaragama dan peradaban ini sedang menghadapi tantangan berat? Lebih aneh lagi, alasan lainnya adalah karena Jokowi maju sebagai capres pertahana.
Din rancu agaknya. Ia memposisikan presiden sebagai individu Jokowi, bukan presiden sebagai kepala pemerintahan dan negara yang sedang berjalan, dan yang telah disahkan Mahkamah Konstitusi. Jika alasannya demikian, apakah yang ‘bekerja’ sebagai stafsus presiden (dengan gaji negara, seperti juga para menteri, bahkan anggota parlemen dan sebagainya), harus mundur, agar terbebas tudingan tak netral? Apakah Jusuf Kalla mesti mundur sebagai wapres, karena menjadi penasehat Tim Kampanye Nasional Jokowi?
Tapi, syukurlah Din akhirnya mundur, daripada dimundurkan. Ajakan untuk menonton film G30S, dengan nasihat-nasihat normative dan jadulnya, menunjukkan dia memang tak pantas menduduki peran sebagai stafsus Presiden bidang Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban. Pikiran dan tindakannya, sering paradox. Di satu sisi Din masih sangat partisan.
Padahal, bukankah justeru dengan posisi strategisnya itu, kesempatan emas Din untuk mengabdi bangsa dan negara? Disitu Din tak mampu melepaskan diri dari tendensi politk. Atau jika tidak, karena Din memang tidak dalam kapasitasnya. Tak sanggup mengemban amanah itu. Gelar akademik tak integral dengan adab seorang cendekiawan jika kita ngomong pada konteks peradaban bangsa dan negara.
Soal ajakan nonton film G30S? Tak masalah sebenarnya. Tapi karena ini soal tontonan, hasil karya kreatif manusia, perspektif dan persepsi kita boleh berbeda-beda. Tidak ada larangan bagi saya pribadi, untuk mengatakan film itu buruk, tak layak tonton. Bukan dari segi ideologi politik, tetapi dari sisi pencapaian teknis dan artistik. Apalagi film itu termasuk kategori film propaganda. Jika ada yang memaksakan untuk menonton film propaganda dari penguasa masa lalu, bisa dibaca dia (yang berada di masa kini) sedang mempropagandakan juga cara pandang kekuasaan masa lalu (yang sudah tak relevan, tapi dibela-belanya sebagai masih relevan, dengan alasan bahaya latent).
Apakah Din sebagai Ketua Dewan Pertimbangan MUI hanya melihat bahaya komunisme? Bagaimana dengan bahaya radikalisme? Bagaimana dengan gerakan kejahatan atau pun kekerasan dengan dalih agama? Bagaimana melihat gerakan seperti HTI, FPI, GNPF, tagar 2019 ganti Presiden? Maraknya ujaran kebencian? Persekusi pada yang beda iman? Intoleransi? Bukankah tugas Din sebagai stafsus mestinya untuk mereduksi itu semua? Atau terjadi ambivalensi dalam batinnya? Atau, jangan-jangan Din mundur sebagai stafsus, karena pengen netral dengan pilihannya yang condong ke Prabowo, yang lebih akomodatif baginya?
Itu mungkin rahasia langit. Tapi tawaran Din agar kita menonton film G30S itu, menunjukkan preferensi politiknya. Baguslah dia mundur sebagai stafsus. Nggak ada gunanya juga.
Diambil dari FB Sunardian Wirodono
(Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email