Pesan Rahbar

Home » » KH. A. Mustofa Bisri: Kiai dan Ulama

KH. A. Mustofa Bisri: Kiai dan Ulama

Written By Unknown on Sunday 23 September 2018 | 14:13:00

(Ilustrasi) KH Ahmad Mustofa Bisri (ANTARA FOTO/Anis Efizudin).

Pada masa itu, mendirikan perkumpulan atau organisasi perjuangan memang sedang menjadi –istilah orang sekarang- tren. Kalangan pesantren pun tak mau ketinggalan. Sejumlah kiai, umumnya dari Jawa, pun berkumpul; ingin mewadahi jamaah mereka yang tersebar di saentero Nusantara dalam sebuah perkumpulan, organisasi, atau menurut istilah mereka: jam’iyyah. Dengan di-tandzim, ditata, dalam organisasi, diharapkan pengabdian mereka kepada masyarakat menjadi lebih mangkus dan sangkil.

Seperti diketahui, kalangan pesantren sangat akrab dengan yang berbau Arab. Ini tidak aneh, karena hampir semua pelajaran agama di pesantren menggunakan bahasa Arab. Bahkan tulisan yang mereka gunakan untuk memaknai kitab-kitab mereka –biasanya dengan bahasa daerah memakai huruf Arab. Tulisan Arab untuk menuliskan bahasa non-Arab ini kemudian dikenal sebagai tulisan pegon. Bahkan dulu, di beberapa pesantren, lagu wajib –termasuk Indonesia Raya- pun mereka Arabkan. Maka ketika mereka akan mendirikan perkumpulan para kiai, mereka memilih nama Nahdlatoel ‘Oelama –Kebangkitan Para Kiai.

Sebenarnya –Wallahualam- kata ‘oelama/’ulama tidak tepat benar untuk menerjemahkan kata kiai. Saya menduga, kata itu dipilih karena mereka tidak menemukan padanan kata kiai dalam bahasa Arab yang lebih dekat dari pada ‘Alim atau bentuk jamaknya ‘ulama. Dalam bahasa Arab, kata ‘alim/’ulama mempunyai arti orang pandai, orang berpengetahuan, yang pengetahuan, atau orang yang mempunyai ilmu. Secara bahasa, orang seperti Isaac Newton, Albert Enstein, juga Karl Heincreich Mark, bisa digolongkan ulama.

Menurut istilah di kalangan pesantren, pengertian ‘alim/’ulama selalu dikaitkan dengan orang-orang yang disebut dalam sabda nabi, “Al-‘Ulama waratsatul Anbiyaa”. Para ahli waris nabi-nabi. Maka, jika nabi mengemban misi risalah dan nubuwwah, orang baru bisa digolongkan ulama bila minimal melaksanakan satu dari kedua misi itu.

Tapi kiai, setidaknya menurut saya, adalah istilah budaya (bermula dari Jawa). Orang Jawa biasa menyebut kiai siapa atau apa saja yang mereka puja dan mereka hormati. Kiai Sabuk Inten, Kiai Nagasasra, Kiai Plered, misalnya, adalah senjata; Kiai Slamet adalah kerbau. Begitulah orang yang disebut kiai semula adalah mereka yang dipuja dan dihormati masyarakat, karena ilmunya, juga jasa dan rasa kasih sayang mereka terhadap masyarakat.

Dulu kiai –yang umumnya tinggal di desa- benar-benar kawan masyarakat, menjadi tumpuan, tempat bertanya dan meminta pertolongan. Sebaliknya, kiai yang dipuja dan dihormati masyarakat itu memang mencintai masyarakatnya, dan seperti mewakafkan dirinya untuk mereka. Kiai yang termasuk golongan mereka yang “yandzhuruna ilal ummah bi’ainir rahmah”, melihat umat dengan mata kasih sayang. Memberikan pelajaran kepada yang bodoh, membantu yang lemah, menghibur yang menderita, dan seterusnya. Kompleks pesantren –yang tempo doeloe umumnya 100 persen dibangun oleh kiai- adalah sebagian bukti perjuangan dan pengabdian kiai kepada masyarakat.

Kemudian kata Arab ‘ulama diserap ke dalam bahasa kita dan “berubah kelamin”, atau mengalami distorsi makna: ulama bukan bentuk lagi jamak (lihat KBBI entri ulama); sehingga bisa saja Anda mengatakan “seorang ulama” dan tak salah mengatakan “para ulama”. Istilah ulama –atau dan kiai- pun semakin berkembang pengertiannya dengan timbulnya ulama atau kiai yang tidak hanya “produk masyarakat”. Ada ulama/kiai –kata Arief Budiman- produk pemerintah, produk pers, dan siapa tahu, produk sendiri.

Oleh kemajuan ilmu keduniaan, dunia semakin menggiurkan. Manusia sang khalifah Allah pun, dari ingin menguasai dunia, sudah semakin tergila-gila dan dikuasai oleh dunia. Kekuatan, kekuasaan, kemampuan, dan kekayaan tak lagi bersumber dan diandalkan dari diri sang khalifah, tetapi dari dunia yang mereka kuasai. Agama, yang selama ini dianggap sebagai sumber dan penjaga kehidupan manusia, menjadi sekedar sektor. Mereka yang disebut ahlinya sektor ini, ulama atau kiai, dengan sendirinya juga mengalami perubahan.

Sebagian modernisasi menuntut spesialisasi di bidang kedokteran (kesehatan jasmani), agaknya demikian pula dalam bidang kesehatan rohani (agama), meski tidak sama persis. Kini ada kiai yang spesialisasinya urusan ritual saja, ada yang urusan sosial. Bahkan dari itu, kita kini mendengar macam-macam sebutan kiai: kiai syariat, kiai hakikat, kiai pemerintah, kiai politik, kiai TV, kiai glamour, kiai mbeling, kiai demo, dan sebagainya.

Belakang pula muncul sebutan kiai khosh. Apapula ini? Khosh dalam bahasa Arab berarti khusus, kebalikan dari ‘Aam yang berarti umum. Istilah ini, seperti banyak istilah lain, penciptanya siapa lagi kalau bukan pers. Saya kira ini tidak ada –atau kalau ada sedikit sekali- kaitannya dengan peristilahan di kalangan umat sufi. Di kalangan para kiai pesantren pun tak dikenal istilah kiai khosh. Yang ada hanya istilah kiai sepuh, kiai yang dari segi umur, ilmu, dan terutama akhlaknya, di atas rata-rata.

Biasanya yang disebut kiai sepuh ini, di samping “keintiman”-nya dengan Allah, mempunyai ikatan batin yang kuat dengan umatnya. Karena kebersihan hatinya, dipercayai tidak mudah tergoda atau terkecoh oleh dunia maupun ahli dunia. Biasanya mereka menjadi tumpuan dan tempat mengadu bahkan oleh kiai-kiai lain, terutama mereka yang tidak mampu membantu menjawab keluhan dan pertanyaan umat. Sayang, contoh yang bisa saya kemukakan rata-rata sudah tiada, misalnya Kiai Abdul Hamid Pasuruan, Kiai Arwani Kudus, Kiai Abdullah Salam Kajen Pati, dan kiai Dimyathi Banten, yang baru-baru ini pulang ke rahmatullah. Mudah-mudahan hanya saya yang tidak mampu mencari contoh yang lain, dan kiai semacam itu memang masih banyak di negeri kita ini.

(Gus-Mus/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: