Ilustrasi
Akhir-akhir ini beredar tulisan maupun meme yang mengritisi, mempertanyakan bahkan mengolok-olok Presiden Joko Widodo karena tidak segera mengundurkan diri sebagai Presiden RI setelah menjadi Calon Presiden di Pilpres 2019. Dasar hukum yang dipakai ialah Pasal 6 UU No. 42 Tahun 2008 yang mengatur pejabat negara yang mencalonkan diri sebagai presiden wajib mundur dari jabatannya.
Para pendukung dan penyebar gagasan ini mencoba menggiring persepsi masyarakat umum dengan berbekal pada argumen hukum yang seolah-olah kokoh bahwa Presiden Joko Widodo melanggar UU jika masih tetap menjabat sebagai Presiden RI. Tentu ada konsekuensi logis dan serius apabila Presiden melanggar UU, bukan ? Dan apabila isu ini bergulit menjadu polemik panas di tengah masyarakat, bisa dibayangkan betapa gaduhnya jagad politik kita sebab akan ada banyak sekali aksi unjuk rasa dan demonstrasi yang menuntut Joko Widodo mundur sebagai Presiden RI.
Pendukung dan Penyebar gagasan Presiden Jokowi harus mundur karena hal itu perintah UU, secara vulgar mengabaikan dan menyembunyikan fakta bahwa UU No. 42 Tahun 2008 telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi sesuai dengan ketentuan pasal 571 huruf a UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang berlaku sejak 16 Agustus 2017. Pengabaikan dan Penyembunyian fakta ini merupakan tindakan pembohongan dan manipulasi terhadap rakyat. Bagi mereka, rakyat itu bodoh. Rakyat yang bodoh merupakan keuntungan politik sebab lebih mudah memperkeruh suasana dan memancing di air keruh daripada mengapresiasi kinerja pemerintah sembari menunjukkan kelemahan-kelemahan program dan realisasi programatik petahana.
Memenuhi ruang publik dengan narasi-narasi konflik, ujaran dan pelintiran kebencian, hoax dan fitnah untuk menggalang dan mengakumulasi dukungan menjadi cara yang paling murah dan mudah untuk merebut kekuasaan. Keengganan kelompok oposisi untuk meninggalkan dan menanggalkan cara-cara tersebut jelas memprihatinkan sekaligus mengkhawatirkan sebab sampai saat ini tidak ada garis-garis kerja programatik yang ditawarkan sebagai buah konkret kritisisme terhadap pemerintah dan solusi terhadap isu-isu yang menjadi obyek kritik. Apa yg bisa diharapkan oleh publik apabila kelompok-kelompok oposisi malah menawarkan ilusi ganti presiden, ganti sistem apalagi ilusi negara Khilafah Islamiyah ?
Kelompok oposisi yang sebagian besar merapat ke kubu Prabowo-Sandi bukanlah kumpulan orang-orang bodoh. Namun , segala kecerdasan, keahlian dalam berkomunikasi dan menjalin relasi publik yang mereka punyai ternyata belum mampu mengubah nada dasar orkes simfoni yang berkarakter kepedihan, kekhawatiran, pesimisme dan ketidakjelasan masa depan Indonesia. Alih-alih memperkenalkan program dan adu program, sosok Prabowo lebih bersemangat untuk menyimbolkan Pilpres 2019 sebagai perang kosmik diametral antara hitam dan putih, baik dan buruk, benar dan salah.
Oposisi yang bodoh, buruk maupun nir oposisi membahayakan demokrasi kita. Siapapun yang keluar sebagai pemenang dalam pilpres 2019 yang dilaksanakan secara demokratis dan jurdil, adalah yang berhak memimpin bangsa ini untuk 5 tahun ke depan. Kelompok oposisi harus diingatkan bahwa yang paling penting bukanlah sekedar siapa yang keluar sebagai pemenang melainkan mengawal dan merawat proses pilpres dengan sebaik-baiknya supaya berjalan sedemokratis-demokratisnya. Sebab produk peradaban rakyat Indonesia bukanlah ketika Presiden yang baru telah terpilih, melainkan upaya dari kita semua yang tidak kenal lelah untuk merawat demokrasi sebagai mekanisme suksesi kepemimpinan nasional secara damai dan teratur dan tidak tergoda untuk menjatuhkan Presiden hanya karena ilusi dan ambisi kekuasaan.
Demokrasi membutuhkan oposisi yang cerdas, yang berani adu gagasan dan program-program yang bermuara pada kesejahteraan umum. Oposisi yang cerdas tentu tidak menggunakan segala cara untuk meraih kemenangan. Semoga Pasca 20 September 2018, kubu penantang petahana berani mengawali sebagai oposisi cerdas sehingga secara koletif dua kubu yang bersaing dapat menyingkirkan dan menghilangkan narasi konflik, wacana dan isu SARA, hoax, pelintiran kebencian dan fitnah dalam pusaran arus utama pemilihan presiden 2019.
Sumber : Status Facebook Guntur Wahyu N
(Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email