Ilustrasi
Oleh: Kajitow Elkayeni
Umat islam Indonesia mulai kehilangan identitas keislamannya. Mereka mau saja ditipu para pembohong seperti HTI dan ISIS terkait simbol-simbol keislaman. Orang-orang bodoh yang mengalami kejutan keimanan ini seperti kebo. Besar, nurut, tak bisa berpikir.
Islam mengalami proses asimilasi kebudayaan yang sangat panjang. Bahkan ketika Nabi masih hidup, proses itu terus terjadi sehari-hari. Ibadah-ibadah kita 60% nyontek agama sebelumnya. Islam bukan agama orisinil. Eksklusifisme bertentangan dengan sejarah ini. Islam itu moderat sejak awal berdirinya.
Memang ada masanya, Nabi memberikan ciri fisik tertentu bagi umatnya. Misalnya, yang lelaki mencukur kumis dan memanjangkan jenggot. Yang perempuan merdeka menjulurkan jilbab ke dada mereka. Tapi semua itu politis. Supaya gampang dikenali waktu itu.
Sesudah itu ya bebas lagi. Apalagi ketika Islam berkembang ke seluruh dunia. Mustahil membendung dengan satu kebudayaan suku Arab.
Kaum radikal ini mulai memperdagangkan simbol-siimbol politis itu. Padahal tidak ada anjuran yang mewajibkan. Yang paling memprihatinkan, mereka mengaku itu dicontohkan oleh Nabi.
Misalnya soal bendera yang diklaim sebagai bendera Nabi. Itu semua hoax ala HTI. Tidak ada keterangan sahih yang menyebutkan, bendera Nabi bertuliskan kalimat tauhid (lailaha illallah muhammadur-rosulullah), dengan khat (jenis tulisan) yang sama. Riwayat mengenai bendera Nabi simpang-siur. Ada yang mengatakan hitam, putih, kuning. Dan tidak ada tulisannya.
Reka ulang yang dilakukan HTI, ISIS, termasuk bendera Saudi, itu hanya imajinasi mereka. Dan itu yang disakralkan oleh islam kagetan Indonesia. Mereka yang beragama baru sampai kulitnya.
Kemudian dari bendera fiksi tadi, turun pangkat jadi barang sehari-hari. Mereka membuat topi bertuliskan kalimat tauhid. Lalu menganggap, itu cara yang tepat untuk menghormatinya. Saya khawatir, nanti ada yang saking sangat kreatifnya, membuat celana dalam juga.
Sama seperti bendera fiksi tadi, Topi Tauhid itu akal-akalan orang jualan agama. Mereka melihat ceruk pasar yang besar, berisi orang fanatik. Asal ada embel-embel agama pasti laku.
Dengan memakai topi itu, bisa juga nanti ada orang berbuat dosa, kekerasan, maling, menggoda lawan jenis. Lalu di mana sakralnya kalimat tauhid itu nantinya?
Dalam tradisi pesantren, kyai-kyai itu tidak berani sembarangan menulis kalimat tauhid. Itu karena mereka sangat hati-hati. Tidak ada pakaian kalimat tauhid, bendera kalimat tauhid, tembok digambari kalimat tauhid. Kalimat itu dibaca dengan hormat, dihayati dengan sepenuh hati. Bukan dipamerkan pada orang banyak. Ibadah macam apa yang penuh riya begitu?
Belum lagi kalau topi itu nanti terinjak, dicuci bareng celana dalam najis, diduduki karena tidak sengaja. Di mana sakralnya kalimat tauhid tadi?
Agama tanpa kesakralan ya bukan agama lagi.
Umat islam Indonesia mulai keblinger seperti umat islam Arab Saudi. Negara gebleg itu bikin uang satu riyal tulisannya kalimat tauhid. Seringkali uang satu riyal itu terbang dan terinjak-injak di jalan. Atau dia dimasukkan dompet dan dipantati. Bagi orang Arab itu tak masalah. Aidi, ma fi musykilah, biasa saja, tak masalah.
Yang lebih gebleg lagi, mereka ikut kontes putri kecantikan dengan busana bendera negara, yang ada kalimat tauhidnya. Tubuh seksi itu dibalut dengan tulisan la ilaha illa-llah, muhamadur-rasulullah. Bagi mereka itu aidi, biasa saja. Sama seperti mereka pegang kepala, biasa saja. Tidak ada sakralnya. Namun bagi kita orang Indonesia, itu penghinaan.
Jadi identitas keindonesiaan inilah yang mulai luntur. Kehati-hatian, penghormatan, penghidupan, kalimat suci tauhid dalam hati itu lenyap. Berganti kekurangan-ajaran Timur Tengah. Mereka mengubahnya menjadi semata bentuk fisik, tapi tanpa nilai. Kesakralannya hilang.
Ini mirip mereka yang belajar agama di Timur Tengah, pulangnya petentang-petenteng pakai jubah. Lalu tunjuk sana tunjuk sini serba haram. Adabnya hilang. Hormatnya lenyap. Tahu dirinya musnah. Padahal adab itu maqomnya di atas ilmu.
Gerakan radikal itu memang sengaja bergerak dalam senyap. Mereka awalnya membelokkan cara pandang kebudayaan. Lalu membawa yang serba Timur Tengah itu sebagai gantinya.
Bagi orang Arab, Toub, jubah, itu pakaian adat, seragam resmi kalau masih sekolah. Tak ada urusannya dengan sunah. Mereka bahkan pernah keberatan ketika baju adat mereka dipakai orang Pakistan. Tapi di sini, itu disakralkan.
Sebaliknya, apa yang di Indonesia disakralkan, tidak boleh ditulis sembarangan, malah dibikin receh, seperti Topi Tauhid itu. Mereka jualan atas nama agama. Tak peduli lagi dengan kesakralannya.
Ini sebenarnya persoalan serius, pergeseran kebudayaan menuju ilusi keagamaan. Tidak ada dalilnya itu. Mereka berimajinasi, Islam jaman Nabi begitu. Padahal Islam yang berkembang di Indonesia itu sudah difilter oleh kebudayaan kita. Islam paling cocok untuk kita terapkan ya seperti ajaran Wali Songo.
Topi Tauhid itu pembodohan atas nama Islam. Domba-domba fanatik buta itu digiring, sebagai konsumen kebudayaan palsu, yang diberi stempel Islam. Lakinya jenggotan, perempuannya seperti ninja. Yang muda pakai Topi Tauhid, celananya cingkrang. Itu yang mereka sebut Islam jaman Nabi.
Mbahmu!
(Seword/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email