Oleh: Lalu Rahadian
Ratna Sarumpaet telah mengaku sebagai produsen hoaks soal pengeroyokan terhadap dirinya. Pengakuan tersebut dia sampaikan sehari usai cerita palsu itu mewabah di pemberitaan media massa hingga media sosial.
“Kali ini saya pencipta hoaks terbaik ternyata, menghebohkan semuanya,” ujar Ratna di kediamannya, Jalan Kampung Melayu Kecil V Nomor 24, RT04 RW05, Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (3/10/2018).
“Tidak ada penganiayaan. Itu hanya cerita khayal. Entah diberikan setan mana ke saya,” imbuh mantan juru kampanye badan pemenangan nasional Prabowo-Sandiaga dalam persaingan Pilpres 2019 itu.
Hoaks pemukulan tersebut bukan satu-satunya kabar bohong yang pernah diproduksi dan disebarkan Ratna. Sebelumnya Ratna seolah sudah terbiasa menjadi biang misinformasi dan disinformasi.
Pada 3 Mei 2018, Ratna sempat menyebar kabar bahwa PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dijual oleh Presiden Jokowi kepada pemerintah Tiongkok. Kabar itu langsung disanggah PTDI melalui akun Twitter resminya. Perusahaan itu menyebut hoaks yang dilayangkan Ratna adalah “mainan” lama yang berupaya digulirkan kembali.
“Baik. Kepada semua pihak yang merasa terganggu atau dirugikan, saya minta maaf karena telah dengan teledor dan tanpa sengaja menebar berita hoax tentang PT Dirgantara Indonesia,” cuit akun Twitter Ratna pada 5 Mei 2018.
Awal September, Ratna juga pernah menyebar cerita soal dana Rp23 triliun dari Union Bank of Switzerland (UBS) yang ditransfer ke BNI, Mandiri, BCA untuk donasi pembangunan Papua. Dana tersebut diklaim Ratna, disembunyikan pemerintahan Jokowi. Kepada reporter Tirto, Ratna mengaku mendapatkan data-data Bank Dunia yang isinya mengonfimasi terjadinya transfer tersebut.
Tapi cerita Ratna sarat kejanggalan. Bank Dunia melalui kantor perwakilannya di Jakarta membantah cerita Ratna. Mereka menegaskan bahwa tudingan Ratna keliru. Sebab Bank Dunia tak seperti bank umumnya yang menangani transaksi nasabah perorangan. Bank Dunia merupakan institusi yang mendukung penanggulangan kemiskinan dan pembangunan negara berkembang.
Hoaks lain yang diproduksi Ratna ialah soal uang kertas pecahan Rp200 ribu. Pada 5 September 2018, melalui akun Twitter miliknya, Ratna menulis bahwa telah resmi beredar uang kertas pecahan Rp200 ribu. Dia kemudian menyertakan tulisan yang menyinggung Jokowi, “Masih mau 2 periode? Pakai akal pikiranmu.”
Melalui akun Twitter resminya, Bank Indonesia (BI) langsung membantah cuitan Ratna yang keburu viral di media sosial tersebut. Sebenarnya apabila BI hendak menerbitkan uang pecahan baru, minimal enam bulan sampai setahun sebelumnya pasti sudah diumumkan secara resmi.
“Informasi tersebut tidaklah benar atau hoax, Bank Indonesia tidak menerbitkan uang pecahan Rp 200.000,-. Saat ini untuk uang pecahan terbesar adalah uang pecahan Rp 100.000,” cuit akun Twitter resmi BI, pada Rabu (5/9/2018).
Isu uang pecahan Rp200 ribu yang digaungkan Ratna tersebut, sebenarnya sudah ramai pada awal Mei 2016. Kala itu perwakilan BI di Sumatera Barat telah membantahnya.
Sentimen Politik Suburkan Hoaks
Pakar Teknologi Informasi dan Media Sosial Nukman Luthfie menjelaskan, seseorang umumnya kecanduan menyebar kabar hoaks karena pengetahuannya yang dangkal. Faktor lainnya ialah, karena penyebarnya mengidap bias berupa sentimen atau keberpihakan pada aktor politik tertentu.
“Misalnya garis kerasnya pendukungnya Jokowi, kalo ada [informasi] yang baik-baik ya disebarkan tanpa cek dan ricek. Begitu pun sebaliknya pada pendukung Pak Prabowo. Jadi itu alamiah. Begitu kita punya bias, kita bisa terjebak,” ujar Nukman kepada reporter Tirto, Rabu (3/10/2018).
Nukman tak mengesampingkan fakta adanya buzzer yang bertugas menyebar hoaks. Akan tetapi, menurutnya peran para buzzer itu kecil dibanding orang yang tak punya pengetahuan luas serta pendukung garis keras politikus tertentu.
Nukman menuturkan, penyebaran hoaks akan semakin masif jika ada motif politik tertentu. Dalam kasus Ratna Sarumpaet misalnya, hoaks meluas karena para penyebar ingin mendulang keuntungan dari kabar bohong yang digulirkan.
“Ratna Sarumpaet itu kan sebelum ketahuan, [hoaksnya] disebar terus kelompoknya Prabowo dan kawan-kawan. Terus giring opini bahwa ini adalah pemukulan, sampai sore ini terbukti bahwa itu [penyebab muka Ratna bengkak] adalah [di-] operasi,” terangnya.
Untuk pembuat dan penyebar hoaks, Nukman menyebut ada dua corak yang biasa mereka miliki. Keduanya yakni motif politik dan ekonomi. Alumnus UGM itu menyebut, para pembuat hoaks biasanya, “mencari kelompok yang gampang disusupi dan gampang menyebarkannya”.
Menurut Nukman, hoaks banyak bermunculan saat Pemilu atau bencana. Penyebaran hoaks pada momentum itu, akan membawa keuntungan bagi salah satu kontestan dalam ajang politik.
“Paling subur ya saat itu. Tapi kalau hoaks penipuan selalu ada meski tak banyak,” tuturnya.
Mengapa Ratna Harus Dijerat Pidana?
Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indoensia (Mafindo) Anita Wahid menegaskan penyebar dan produsen hoaks tak cukup meminta maaf atas kebohongan yang beredar. Melainkan harus dijerat hukum pidana.
Karena seringnya Ratna menjadi biang hoaks, Anita berharap ada hukuman pemberatan.
“Paling penting sekarang, secara umum, semua pembuat dan penyebar hoaks mendapat hukuman yang memang memiliki efek jera,” kata Anita kepada reporter Tirto.
Anita menganggap hoaks yang disebar Ratna, mengalihkan atensi publik pada peristiwa penting yang butuh perhatian. Misalnya penanganan korban gempa, likuifaksi, dan tsunami di Sulawesi Tengah.
“Tadinya fokus permasalahan yang genting seperti di Palu jadi ribut ngurusin ini, hal-hal yang sifatnya remeh temeh,” tuturnya. “Terlalu besar dampaknya.”
Begitu juga Nukman Luthfie, sepakat jika produsen hoaks segera minta maaf. Namun setelahnya harus tetap lapang dada menerima hukuman pidana dan sanksi sosial.
“Sanksi sosial jauh lebih berat daripada sanksi hukum legal. Omongannya tidak dipercaya lagi,” kata Nukman.
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menjelaskan, ada sejumlah peraturan untuk melawan dan mencegah meluasnya dampak negatif hoaks. Pencegahan bisa dilakukan dengan menegakkan peraturan perundang-undangan dan KUHP.
Beberapa payung hukum tersebut misalnya, Pasal 28 ayat (1) dan (2) UU No.11/2008 tentang ITE, Pasal 14 dan 15 UU No.1/1946, Pasal 311 dan 378 KUHP, serta UU No.40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
“Ancaman hukuman terhadap hoaks yang disebutkan dalam perundang-undangan dimaksudkan dan dapat diterapkan bagi penyebaran informasi yang merugikan orang per orang atau kelompok orang,” tulis Fickar dalam makalah Seminar dan Workshop Hoax: Antisipasi dan Edukasi di Universitas Trisakti, pada 12 Oktober 2017.
Dia menulis bahwa, jika informasi bohong itu merugikan orang per orang, maka perbuatan itu dapat diterapkan ketentuan Pasal 311 KUHP (fitnah) atau Pasal 378 (penipuan). Jika dilakukan melalui media internet diterapkan ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU ITE (merugikan konsumen).
Sedangkan jika berita bohong itu merugikan masyarakat atau kelompok orang dapat diterapkan Pasal 14 dan 15 UU No.1/1946 dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Ranahnya jika dilakukan melalui internet.
Menyikapi hoaks yang diproduksi Ratna, Fickar menganggap hal itu sangat merugikan pasangan Prabowo-Sandiaga selaku kandidat di Pemilu. Kerugian muncul karena Ratna termasuk Juru Kampanye Nasional Prabowo-Sandiaga.
“Ini sudah sangat merugikan Prabowo-Sandi yang terkesan telah merekayasa untuk kepentingan politik,” kata Fickar saat dihubungi reporter Tirto.
(Tirto/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email