Ma’mun, khalifah Bani Abbas, memerintahkan Yahya bin Aktsam, hakim saat itu, untuk mengumpulkan para tokoh dan ulama (yang kebanyakan dari kalangan Ahlu Sunah) di suatu hari dalam suatu majelis.
Tiba saatnya hari dimana majelis itu diadakan. Ma’mun duduk di majelis itu dan berkata kepada para hadirin: “Aku mengumpulkan kalian semua untuk membahas masalah keimaman dan kekhalifahan, sehingga dengan demikian bagi semua orang jelas permasalahannya.”.
Di majelis itu setiap ulama membicarakan keutamaan Abu Bakar dan Umar sebagai khalifah nabi.
Salah satu dari mereka adalah tokoh yang bernama Ishaq bin Hammad bin Zaid. Ia membawakan ayat ini:
Allah swt berfirman tentang Abu Bakar:
“…sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah beserta kita.”…” (At Taubah, ayat 40).
Yakni ayat itu menjelaskan bahwa saat nabi berhijrah dari Makkah menuju Madinah, ia bersama Abu Bakar bersembunyi di goa. Lalu di dalamnya nabi berkata kepada temannya, Abu Bakar: “Janganlah bersedih, sesungguhnya Allah beserta kita.”.
Dengan membawakan ayat ini ia berusaha membangga-banggakan Abu Bakar sebagai teman yang mendampingin nabi.
Namun Ma’mun lumayan pintar, ia menyangkal ucapannya dengan berkata: “Wah, bukannya orang kafir pun bisa disebut “teman yang mendampigi” jika kamu berpendapat seperti itu tentang Abu Bakar karena ayat tersebut? Karena Allah swt juga pernah berfirman:
“Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya – sedang dia bercakap-cakap dengannya: “Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?” (Al Kahfi, ayat 37).
Dalam ayat itu orang yang beriman dan orang kafir saat bersandingan juga disebut teman yang mendampingi. Karena di kedua ayat ini, ayatku dan ayatmu, sama-sama menggunakan kata “shahib”.
Banyak juga syair-syair dan puisi Arab yang menyebut-nyebut manusia berteman dengan hewan. Maksudnya hewan yang dipiaranya adalah “teman yang mendampingin dan menemani” manusia. Lalu bagaimana bisa ayat yang kamu bawa itu dijadikan bukti keutamaan Abu Bakar hanya karena Abu Bakar disebut “shahib” atau teman-nya nabi?”
Ishaq berkata: “Dalam ayat itu nabi berkata kepadanya: “Janganlah bersedih.”.”
Ma’mun bertanya: “Jelaskan padaku, kesedihan Abu Bakar itu cela atau tidak? Kalau kesedihan itu bukan cela, misalnya suat bentuk ketaatan, apakah nabi mencegah seseorang dari ketaatan? Kalau kesedihan Abu Bakar itu adalah cela karena rasa takutnya, lalu apa yang dapat dibanggakan dari kesedihan Abu Bakar?”
Ishaq berkata: “Tuhan menurunkan ketenangan (sakinah) ke hati Abu Bakar saat itu. Oleh karenanya hal itu adalah keutamaan dan kebanggan bagi Abu Bakar. Sesungguhnya ketenangan itu diturunkan untuk Abu Bakar, karena dia bersedih; bukan buat nabi, karena nabi sendiri tidak membutuhkan ketenangan.”.
Ma’mun berkata: “Allah swt berfirman:
“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai.Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada RasulNya dan kepada orang-orang yang beriman…” (At Taubah, ayat 25 dan 26).
Wahai Ishaq, apakah kau tahu siapakah orang-orang yang beriman yang tidak lari dari perang Hunain itu?”
Ishaq berkata: “Aku tidak tahu.”
Ma’mun menjelaskan: “Di perang Hunain, di suatu tempat di antara Makkah dan Thaif, pada tahun kedelapan Hijriah, semua pasukan Islam terkalahkan dan berlarian dari medan perang. Hanya nabi dan TUJUH orang dari Bani Hasyim yang tetap bertahan. Ali bin Abi Thalib terus berperang dengan pedangnya. Abbas paman nabi tetap menggenggam kendali onta nabi. Dan ada lima orang lainnya.[1] Mereka semua menjaga nabi dan melindunginya di medan perang agar tidak dicelakai oleh orang-orang kafir. Akhirnya Allah pun memenangkan mereka, dengan cara menurunkan ketenangan ke hati nabi dan orang-orang yang beriman. Oleh karena itu nabi pun tetap membutuhkan ketenangan dari Tuhan. Wahai Ishaq, orang-orang beriman di ayat itu adalah mereka yang tetap bertahan di medan perang lalu Allah menurunkan ketenangan di hati mereka. Maka siapakah yang lebih mulia? Mereka yang bertahan dalam bahaya atau Abu Bakar yang padahal ia aman bersama nabi namun takut lalu akhirnya ketenangan diturunkan padanya? Wahai Ishaq, manakah yang lebih mulia: orang yang berlindung bersama nabi dan ditenangkan nabi atau orang yang menggantikan nabi tidur di tempat tidur beliau dengan ancaman terbunuh oleh pedang-pedang seluruh kafir Quraisy yang berencana membunuh nabi di tempat tidurnya waktu itu?
Ali bin Abi Thalib mematuhi perintah nabi untuk menggantikan beliau tidur di tempat tidurnya. Ia bertanya, “Wahai nabi, apakah jika aku melakukan itu maka nyawamu akan aman dan terselamatkan?” Nabi berkata, “Ya.” Lalu Ali dengan mantap berkata, “Baik kalau begitu aku siap.”
Lalu akhirnya Ali menempati tempat tidur nabi dan menutupi dirinya dengan selimut beliau. Orang-orang kafir memasuki rumah nabi tanpa ragu bahwa yang tidur itu adalah nabi. Jumlah mereka banyak, mereka adalah perwakilan dari setiap kabilah yang ada di sana; sehingga ketika mereka bersama-sama membunuh nabi, tak ada satu pun yang berani membalas dendam karena yang membunuhnya adalah seluruh kabilah.
Ali yang mendengar kasak kusuk orang-orang kafir tetap tenang berada di bawah selimut dan bersiap-siap melawan mereka. Tidak seperti Abu Bakar yang jauh dari bahaya dan bahkan bersama nabi di dalam goa namun ketakutan.
Akhirnya pun Allah menurunkan bantuannya melalui para malaikat dan Ali berhasil menyelamatkan nabi dengan apa yang ia kerjakan itu.”
Akhirnya Allah menurunkan ayat tentang Ali bin Abi Thalib yang berbunyi:
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (Al Baqarah, ayat 207).
Ayat itu menjelaskan keutamaan Ali bin Abi Thalib yang mengorbankan dirinya demi terselamatkannya jiwa nabi.
Referensi:
[1] Mereka adalah Abu Sufyan bin Harits, Naufal bin Harits, Rabi’ah bin Harits, Fadhl bin Abbas, Abdullah bin Zubair. Rujuk Al Kamil ibnu Atsir, jilid 2, halaman 239.
(Hauzah-Maya/Syiah-Ali/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email