Nikah Mut’ah tidak dapat dilakukan di Indonesia – Malaysia dan Brunei karena ““Nikah Mut’ah harus didukung oleh OTORiTAS PENUH NEGARA dibawah kondisi yang dikendalikan secara ketat, Mereka yang menyalahgunakannya harus dihukum, Nikah Mut’ah memiliki tujuan orisinal untuk memelihara perintah TUHAN dengan tepat agar tidak diputar balikkan oleh orang orang JAHAT demi kepentingan zina dan pelacuran mereka””
Indonesia – Malaysia dan Brunei bukan negara Islam bermazhab syi’ah…Jika anda menemukan pemerkosa di tiga negara tersebut, dapatkah anda menggantung nya hidup hidup tanpa didasari HUKUM NEGARA ?
Jika anda melakukan, maka bisa bisa anda masuk penjara…
Pernikahan da’im tidak bisa dilakukan untuk tujuan pendekatan dengan beberapa alasan sebagai berikut :
Pertama, setelah ‘aqd nikah da’im, seorang istri tidak bisa menjatuhkan thalaq kepada suaminya jika sekiranya dia menemukan bahwa ternyata suaminya tidak (atau kurang) baik. Dalam kasus ini, jika seorang laki-laki menyukai istrinya tetapi istri tidak terlalu suka kepada suaminya, maka tidak akan terjadi thalaq.
Dengan demikian, menggunakan periode awal nikah da’im bagi laki-laki dan perempuan yang ingin hidup bersama sebagai waktu saling menjajaki hanya akan menguntungkan pihak laki-laki saja. Sebaliknya, nikah mut’ah akan berakhir pada waktunya. Dan selanjutnya, baik laki-laki maupun perempuan, akan mempunyai hak yang sama untuk membuat keputusan (apakah akan melanjutkan ke nikah da’im atau tidak).
Kedua, di dalam perjanjian nikah da’im, seseorang tidak bisa menolak percampuran atau hubungan seksual. Dengan kata lain, hubungan seksual adalah kemestian dan kewajiban dalam nikah da’im. Sebaliknya, kewajiban dan kemestian ini tidak ada di dalam nikah mut’ah. Lantas bagaimana mungkin seorang perempuan melakukan nikah da’im “hanya untuk mengenal” suaminya lebih dekat.?
Ketiga, mekipun orang dapat menceraikan istrinya, tetapi perceraian adalah sesuatu yang dibolehkan tetapi sangat dibenci di dalam Islam. Alasannya adalah, suami istri semestinya hidup dalam kebahagiaan dengan segala tanggung jawab moralnya. Jika seorang laki-laki yang setelah sebulan hidup bersama istrinya, setelah mengambil keperawanan dan kesuciannya, tapi kemudian dia menceraikannya di dalam periode penjajakan ini hanya dengan alasan suami tidak terlalu menyukainya, keadaan ini akan menjadi pukulan yang berat bahkan menjadi beban psikologis bagi perempuan tersebut.
Harus diingat, walaupun seorang suami melakukan hal yang memalukan ini, tidak ada seorangpun yang bisa menghukumya karena dia menggunakan hak thalaqnya. Tetapi, tindakan ini secara moral jelas menjijikkan. Oleh karena itu, nikah da’im bukanlah pilihan yang tepat untuk masa penjajakan dan saling mengenal antara laki-laki dan perempuan. Ingat, pilihan kita haruslah praktis dan bersifat teknis, tidak didasarkan pada pendapat dan asumsi-asumsi yang sangat ideal. Kita tidak bisa menjamin bahwa laki-laki dan perempuan akan benar-benar saling mempercayai satu sama lain sebelum menikah.
Sebaliknya, nikah mut’ah tidak mempunyai resiko apa-apa. karena :
Pertama, laki-laki maupun perempuan sudah mengetahui bahwa mereka akhirnya akan berpisah setelah waktunya berakhir sehingga mereka tidak akan terkejut dan mencemaskan perceraian mereka.
Kedua, tidak ada satupun di antara mereka yang mempunyai tanggung jawab moral (maupun tanggung jawab hukum, pent.) untuk melanjutkan pernikahan setelah periodenya berakhir.
Di samping itu, suami tidak berhak memaksa istri untuk melanjutkan pernikahan tersebut setelah periodenya berakhir, demikian pula sebaliknya. Dan seperti yang telah kami sebutkan, mereka dapat mensyaratkan bahwa hubungan seksual tidak ada selama periode nikah mut’ah yang mereka jalani.
Bismillah
Bi Haqqi Muhammad wa Aali Muhammad
Di dalam semua riwayat yang dicatat oleh Bukhari di bab 155 dari Maghazi mengenai kejadian di dalam Khaybar, hanya satu yang berbicara mengenai pelarangan Mut’ah, yang ditujukan kepada Imam Ali as mengenai riwayat-riwayat yang mengacu pada larangan makan daging keledai-keledai domestik, tetapi tidak menjadi acuan atas pelarangan Mut’ah. Riwayat-riwayat tersebut adalah:
- Riwayat No.668-669, dari Anas bin Malik (hanya keledai-keledai domestik, yang tersebut).
- Riwayat – riwayat No.684, 68e, 687, dari Ibn Omar (hanya larangan memakan daging dari keledai-keledai domestik dan bawang putih, yang tersebut).
- Riwayat No.688, dari Jabir bin Abdullahi (hanya larangan daging dari keledai-keledai domestik, yang tersebut).
- Riwayat-riwayat No.689 dan 690, dari Ibn Aufa (hanya larangan daging dari keledai-keledai domestik, yang tersebut).
- Riwayat No.693, dari Bara’ bin Azib (hanya larangan daging dari keledai-keledai domestik, yang tersebut).
- Riwayat No. 694 dari Ibn Abbas (hanya larangan daging dari keledai-keledai domestik, yang tersebut).
- Di dalam Sahih Muslim, riwayat No.4440, (hanya larangan daging dari keledai-keledai domestik, yang tersebut).
- Riwayat No.4765, dari Abu Tha’laba (hanya larangan daging dari keledai-keledai domestik, yang tersebut).
- Riwayat-riwayat No.4768 & 4769, dari Abu Aufa (hanya larangan daging keledai-keledai domestik, yang tersebut).
- Riwayat-riwayat No.4770, 4771, 4772, 4773, dari Adi Ibn Thabit , dari Bara’ dan Abdullah bin Aufa, ( hanya larangan daging keledai-keledai domestik, yang tersebut).
Kami akan memohon kepada kalian untuk mempergunakan otak dan untuk menggunakan logika anda, jika Rasulullah (saww) membuat satu deklarasi terbuka pada Khayber, bahwa memakan daging keledai dan melakukan Mut’ah adalah haraam. Bagaimana mungkin bahwa semua Sahabat mendengar tentang keledai-keledai domestik tetapi menjadi yang tuli tentang Mut’ah?
Tolong dicatat bahwa Ibn Abbas dan Jabir bin Abdullah Ansari keduanya hadir di Khaybar dan mereka tidak mengetahui tentang apapun mengenai adanya larangan tersebut di Khaibar sampai genap 58 tahun setelah kematian Nabi (saww) dan membawa ketidak-tahuan ini sampai mereka di kuburkan!Jabir bin Abdullah Ansari:
Jabir menceritakan riwayat-riwayat berikut tentang pelarangan mengenai memakan daging keldeai domestik pada saat Khaybar.
- Sahih Bukhari, Volume 5, Book 59, Number 530
- Sahih Bukhari, Volume 7 Book 67, Number 429
- Sahih Bukhari, Volume 7 Book 67, Number 433
- Sahih Muslim, Book 021, Number 4779
- Sahih Muslim, Book 021, Number 4780
Bagaimana mungkin Jabir bin Abdullah Ansari mengetahui mengenai pelarangan memakan daging keledai domestik, tapi tidak mengetahui sama sekali mengenai pelarangan Mut’ah, bahkan setelah 58 tahun Rasulullah saww wafat ?Salama bin al-Akwa:
Tolong diperhatikan bahwa riwayat ini diceritakan oleh seorang tabiin yang bernama Ibn Juraij dari Jabir bin Abdullah Ansari. Ibn Juarij adalah seorang yang sangat Alim dan sangat mempercayai bahwa Mut’ah adalah Halal.
Sahabat yang inipun meyakini bahwa Mut’ah tetap halal sampai Rasulullah saww meninggal. Sahabat yang inipun hadir di Khaybar dan mengetahui dengan jelas bahwa ada pelarangan memakan daging keledai, tapi tidak mengetahui dengan pasti mengenai pelarangan Mut’ah pada hari yang sama.
Sahih Muslim, Book 021, Number 4775 :
Salama b. Akwa’ reported: We went to Khaibar with Allah’s Messenger (may peace be upon him). Then Allah granted (us) victory over them. On that very evening of the day when they had been granted victory, they lit many fires. Thereupon Allah’s Messenger (may peace be upon him) said: What are those fires and what for those have been lit? They said: (These have been lit) for (cooking) the flesh. Thereupon he said: Of what flesh? They said: For the flesh of the domestic asses. Thereupon Allah’s Messenger (may peace bo upon him) said: Throw that away and break them (the earthen pots in which the fiesa was being cooked).
Abdullah Ibn Abbas:
Abdullah bin Abbas juga hadir ketika Khaybar. Sangat mengetahui bahwa memakan daging keledai dilarang pada saat Khaybar tapi tidak mengathui apapun tentang pelarangan Mut’ah di Khaybar.
Sahih Muslim, Book 021, Number 4774:
Ibn Abbas reports: I do not know whether the Prophet forbade the eating of donkey-meat (temporarily) because they were the beasts of burden for the people, and he disliked that their means of transportation should be lost, or he forbade it on the day of Khaibar permanently.
Catatan : Semua sahabat sangat mengetahui dengan jelas bahwa Rasulullah saww telah melarang untuk memakan daging keledai pada saat Khaybar, tapi tidak mengetahui apa ALASAN yang jelas mengapa itu dilarang. Beberapa sahabat :
- Berpendapat itu dilarang karena tidak dibayarnya uang Khums pada saat mereka memasaknya.
- Merupakan pandangan bahwa itu hanya merupakan pelarangan yang bersifat sementara, karena Rasul saww menginginkan keledai-keledai itu dipergunakan sebagai sarana transportasi untuk barang-barang , karena mereka mendapati perang yang sangat berat di Khaybar.
- Memakan daging keledai telah dilarang secara tetap karena mereka memakan makanan yang kotor.
Saeed Ibn Jubayr:
Riwayat di bawah di ceritakan oleh Abdullah bin Abu Aufa sangat penting, karena membicarakan tentang
1. Khums
2. Saeed Ibn Jubayr menceritakannya dari Abu Aufa dan ini telah dipertimbangkan daging keledai Haram tapi beliau masih terbukti merupakan pendukung dari Mut’ah.
Sahih Bukhari, Volume 4, Book 53, Number 383:
Saeed Ibn Jubayr narrates from Abdullah Ibn Aufa:
We were afflicted with hunger during the besiege of Khaibar, and when it was the day of (the battle of) Khaibar, we slaughtered the donkeys and when the pots got boiling (with their meat). Allah’s Apostle made an announcement that all the pots should be upset and that nobody should eat anything of the meat of the donkeys. <span>We thought that the Prophet prohibited that because the Khumus had not been taken out of the booty (i.e. donkeys) </span>; other people said, “He prohibited eating them for ever.” <span>The sub-narrator added, “I asked Said bin Jubair who said, ‘He has made the eating of donkeys’ meat illegal for ever</span>.”
PELARANGAN MUT’AH PADA PERANG KHAYBAR DENGAN WANITA AHLUL KITAB
Ibn Qayyim berkata dalam Zaad al Maad, Volume 3 page 183:
وأيضا : فإن خيبر لم يكن فيها مسلمات وإنما كن يهوديات وإباحة نساء أهل الكتاب لم تكن ثبتت بعد إنما أبحن بعد ذلك في سورة المائدة بقوله ۔۔۔
“Di Khaybar tidak ada wanita Muslim tapi yang ada hanya wanita Yahudi dan menikah dengan wanita ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) tidak diperbolehkan pada saat itu. Ijin mengenai hal tersebut datang kemudian di surat Al-Maidah. Para muslim pun tidak berminat menikahi mereka sebelum mendapatkan kemenangan. Dan setelah kemenangan, mereka (para wanita tersebut) menjadi tawanan-tawanan dan budak wanita bagi para pejuang Muslim.”
DAN DICABUT OLEH…..
Ijin untuk melakukan Nikah/Mut’ah dengan Ahlu Kitab dikeluarkan dalam Surah Al Ma’idah.
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَن يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
[Al Ma’idah : 5] This day (all) the good things are allowed to you; and the food of those who have been given the Book is lawful for you and your food is lawful for them; <span>and the chaste from among the believing women and the chaste from among those who have been given the Book before you (are lawful for you) </span>; when you have given them their dowries, taking (them) in marriage, not fornicating nor taking them for paramours in secret; and whoever denies faith, his work indeed is of no account, and in the hereafter he shall be one of the losers.
Ibn Kathir al-Damishqi mencatat mengenai turunnya Surah Al Ma’idah :
At-Tirmidhi mencatat bahwa ‘Abdullah bin ‘Amr berkata, “ surah-surah terakhir yang diturunkan adalah Surat Al Ma’idah dan Surat Al Fath. “ Al hakim megumpulkan periwayatan yang serupa dari At Tirmidhi dalam Mustadaraknya, dan berkata, “Ini Sahih berdasarkan kriteria dari dua Syaikh dan mereka tidak mencatatnya. “Al Hakim berkata bahwa Jubayr bin Nufayr berkata, “ saya melaksanakan ibadah haji sekali dan mendatangi Aisyah dan berkata kepadaku, “ Jubayr, apakah anda membaca (menghafal) Al Ma’idah ?” saya menjawab “Ya”. Aisyah berkata,’itu adalah surah terakhir yang diturunkan. Karenanya, segala hal yang diijinkan didalamnya, maka perlakukan hal tersebut sebagai kehalalan. Dan segala hal yang tidak diijinkan didalamnya, maka perlakukan hal tersebut sebagai pelarangan.’ “Al Hakim berkata, “Itu adalah benar/Sahih berdasarkan pada kriteria dari 2 Syaikh dan mereka tidak mencatatnya.”
Jadi, kata siapa Mut’ah diharamkan ketika Khaybar ?? Kata yang ngeyel klo Mut’ah itu haram :p
Allahumma shalli ala Muhammad wa Aali Muhammad wa ‘ajjil faraja Aali Muhammad
Beberapa tokoh Sunni menilai, berdasarkan firman Allah:
“Allah telah menjadikan untukmu istri-istri kamu dari
golongan kamu sendiri, dan menjadikan dari istri-istri kamu itu
anak-anak dan cucu-cucu kamu…..” (16:72).
.
maka tujuan pernikahan adalah untuk tujuan melanjutkan keturunan.
Akan tetapi, tujuan pernikahan (dalam ayat ini) tidak didapatkan dalam
nikah mut’ah. Oleh karena itu, dalam pernikahan mut’ah ini, hubungan
antara laki-laki dan perempuan tidak bisa disebut sebagai hubungan suami
istri. Jadi menurut mereka Nikah Mut’ah bukan suatu perkawinan,
Menjawab pernyataan ini, Memang nikah mut’ah
secara umum tidak dimaksudkan untuk menghasilkan keturunan (meskipun
pasangan suami istri dapat melakukannya jika mereka menginginkan).
Tetapi kenyataan membuktikan, banyak nikah mut’ah
dilakukan sebagai awal dari pernikahan da’im untuk menghasilkan keluarga
yang sakinah. Dalam banyak kasus, suami istri akhirnya akan melanjutkan hubungan mereka ke pernikahan da’im, setelah mereka merasakan hubungan yang baik di dalam masa pernikahan mu’tah sebelumnya.
Meskipun kelanjutan kehidupan manusia hanya dapat dipertahankan lewat pernikahan, tetapi Alqur’an tidak menyatakan bahwa tujuan itu adalah satu-satunya yang diharapkan dari sebuah pernikahan. Bahkan, Alqur’an juga tetap melegalkan pernikahan yang tidak memungkinkan adanya kelahiran. Jika
tujuan pernikahan satu-satunya hanyalah untuk menghasilkan keturunan,
maka pernikahan dengan perempuan yang mandul atau yang tidak dapat
melahirkan, serta perempuan yang sudah tua (menopause, pent.) pasti akan
dilarang.
Dengan alasan yang sama, maka alat-alat dan metode kontrasepsi
tidak akan diperbolehkan. Tetapi seperti yang kita ketahui, pernikahan
dengan kondisi-kondisi yang telah disebutkan di atas tetap diperbolehkan
di dalam Islam. Kenyataan ini menjelaskan bahwa fungsi reproduksi bukanlah satu-satunya tujuan sebuah pernikahan.
Di samping itu, ketika mendiskusikan tujuan pernikahan, kita harus terbuka untuk melihat tujuan-tujuan pernikahan yang lain yang juga disebutkan di dalam Alqur’an.
Jadi tujuan reproduksi yang disebutkan di atas hanyalah salah satu
tujuan pernikahan yang permanen. Ayat di atas tidak menyebutkan sama
sekali bahwa tujuan reproduksi adalah satu-satunya alasan untuk menikah.
Berikut ini adalah tujuan pernikahan yang lain yang disebutkan di dalam Alqur’an :
1. Untuk kesenangan dan kenikmatan pasangan suami istri.
Allah Swt berfirman:
“….Maka istri-istri yang yang telah kamu nikmati
(istamta’tum) setelah suatu perjanjian, maka berikanlah kepada mereka
maharnya sebagai suatu kewajiban. Dan bukanlah dosa bagi kamu terhadap
apa yang telah kalian saling merelakannya setelah perjanjian itu….” (4:24)
Kesenangan dan kenikmatan yang disebutkan dalam ayat ini bukan
hanya kenikmatan pisik saja, tetapi juga mencakup kesenangan dan
kenikmatan spiritual
.
2. Ketenangan.
Di dalam Alqur’an Allah Ta’ala berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah
diciptakannya istri-istri kamu dari golongan kamu sendiri sehingga kamu
dapat merasakan ketenangan bersamanya, dan kemudian Allah menciptakan
rasa cinta dan kasih sayang di antara kalian. Sesungguhnya pada yang demikian itu terletak tanda-tanda bagi orang yang berpikir.” (30:21).
Tujuan pernikahan yang disebutkan pada ayat di atas adalah pencapaian
kestabilan spiritual, ketenangan sosial, ketenangan psikologis, dan
untuk menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang terhadap sesama. Tujuan ini tentu saja dapat diperoleh baik melalui nikah da’im maupun dengan nikah mut’ah.
3. Untuk menghindarkan manusia dari perzinahan.
Allah Swt berfirman:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,
yaitu orang yang khusyu’ dalam shalatnya………dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka, atau budak yang
mereka miliki, maka sesungguhnya mereka jauh dari sifat tercela. Tetapi
barangsiapa yang berbuat lebih dari itu, maka dia termasuk orang-orang
yang melewati batas.” (23:1-7)
Demikianlah beberapa tujuan pernikahan yang disebutkan di dalam
Alqur’an. Di samping itu, hadits-hadits Rasulullah juga menyebutkan
tujuan yang lain yaitu:
4. Melindungi Agama dan Keyakinan
Rasulullah Saww bersabda:
“Seseorang yang telah menikah berati telah
menyempurnakan setengah (diriwayat lain sepertiga) agamanya, maka
hendaklah dia takut kepada Allah untuk setengah (duapertiga) yang lain”
.
Nikah mut’ah telah menyelamatkan
orang-orang beriman baik laki-laki dan perempuan, melindungi mereka
dari perbuatan dosa, dan tetap mempertahankan mereka dalam keyakinan dan
agama Islam.
Di samping itu, pernikahan juga bertujuan untuk
pengembangan dakwah. Dalam kasus ini, nikah mut’ah lebih ringan
resikonya dibandingkan dengan nikah da’im.
Sumber: http://syiahali.wordpress.com/
Post a Comment
mohon gunakan email