Pesan Rahbar

Home » , , , » wanita Iran sangat susah sekali untuk dinikahi secara mut’ah. Dan di Iran, nikah mut’ah itu di catat seperti nikah da’im… Jadi tidak benar nikah mut’ah adalah legalisasi prostitusi terselubung atau umbar nafsu kebinatangan seperti tuduhan wahabi Tuh khan…di Iran aja di catat kok. jadi saya gak heran kalau misalnya di Indonesia ini banyak sekali penyelewengan yang dilakukan dalam nikah mut’ah karena hukum Indonesia belum mengatur mengenai hal itu.

wanita Iran sangat susah sekali untuk dinikahi secara mut’ah. Dan di Iran, nikah mut’ah itu di catat seperti nikah da’im… Jadi tidak benar nikah mut’ah adalah legalisasi prostitusi terselubung atau umbar nafsu kebinatangan seperti tuduhan wahabi Tuh khan…di Iran aja di catat kok. jadi saya gak heran kalau misalnya di Indonesia ini banyak sekali penyelewengan yang dilakukan dalam nikah mut’ah karena hukum Indonesia belum mengatur mengenai hal itu.

Written By Unknown on Monday, 14 July 2014 | 21:40:00

Nikah Mut’ah tidak dapat dilakukan di Indonesia – Malaysia dan Brunei karena ““Nikah Mut’ah harus didukung oleh OTORiTAS PENUH NEGARA dibawah kondisi yang dikendalikan secara ketat, Mereka yang menyalahgunakannya harus dihukum, Nikah Mut’ah memiliki tujuan orisinal untuk memelihara perintah TUHAN dengan tepat agar tidak diputar balikkan oleh orang orang JAHAT demi kepentingan zina dan pelacuran mereka””

Nikah  Mut’ah  tidak  dapat dilakukan di Indonesia – Malaysia dan Brunei  karena  ““Nikah Mut’ah harus didukung  oleh  OTORiTAS PENUH NEGARA  dibawah kondisi yang dikendalikan secara ketat, Mereka yang menyalahgunakannya harus dihukum, Nikah Mut’ah memiliki  tujuan orisinal untuk memelihara perintah TUHAN dengan tepat agar tidak diputar balikkan oleh orang orang JAHAT demi kepentingan zina dan pelacuran mereka””

Indonesia – Malaysia dan Brunei  bukan negara Islam bermazhab syi’ah…
Jika anda menemukan pemerkosa di tiga negara tersebut, dapatkah anda menggantung nya hidup hidup tanpa didasari HUKUM NEGARA ?

Jika anda melakukan, maka bisa bisa anda masuk penjara…
………………………………………………………………
 
SYARAT-SYARAT NIKAH MUTÁH.
.
I. Adanya Ijab Qabul dengan menggunakan dua kata yang dapat menunjukan atau menimbulkan pengertian yang dimaksud dan rela dengan pernikahan mut’ah dengan cara yang dimengerti kedua belah pihak. Dengan demikian, maka tidak sah dengan hanya sekedar adanya perasaan rela dalam hati dari kedua belah pihak (suami dan isteri) atau dengan saling memberi (sesuatu) sebagaimana yang berlaku pada kebanyakan akad (transaksi) atau dengan tulisan ataupun pula dengan isyarat (kecuali) bagi orang yang bisu
.
II. Mengerti dengan yang dimaksudkan dari kata-kata:
• Aku mut’ahkan (Matta’tu)
• Aku nikahkan (Ankahtu)
• Aku kawinkan ( Zawwajtu)
Dengan demikian, maka tidak sah hanya dengan sekedar menggerakan lidah mengucapkan kata-kata di atas (tanpa mengerti maksudnya) namun harus sadar, bahwa dengan pengucapan kata-kata tersebut memang berkeinginan untuk mewujudkan hubungan perkawinan yang khusus sesuai dengan pengertian nikah mutah. Diperkenankan mempergunakan kata-kata lain yang dapat mengungkapkan pengertian yang sama dengan kata-kata di atas dan bias dimengerti serta diterima oleh yang bersangkutan
.
III. Ijab dan Qabul harus dengan bahasa arab bagi yang mampu mengucapkannya walaupun (kedua pihak) melalui sistem perwakilan. Bagi yang tidak mampu berbahasa arab, diperkenankan menggunakan bahasa lain dengan syarat pengertiannya sama dengan yang dimaksud dalam bahasa arabnya
.
IV. Pengucapan Ijab dari pihak isteri dan Qabul dari pihak suami bisa dilakukan secara langsung oleh yang bersangkutan atau melalui perwakilan masing-masing.
V. Kalimat Ijab harus mendahului Qabul bila kalimat Qabul mempergunakan lafadz :
• Aku terima ( Qobiltu)
.
VI. Kalimat Ijab diperkenakan hanya dengan mempergunakan salah satu dari tiga macam lafadz:
• Aku mut’ahkan (Matta’tu)
• Aku nikahkan (Ankahtu)
• Aku kawinkan (Zawwajtu)
Nikah mut’ah menjadi tidak sah bila mempergunakan kalimat yang lain seperti:
• Aku milikkan (Malakktu)
• Aku berikan (Wahabtu)
• Aku sewakan (Ajjartu)
Adapun kalimat Qabul, maka cukup dengan mempergunakan kalimat apa saja yang sekiranya dapat menimbulkan pengertian rasa rela dengan Ijab yang diterimakannya, seperti:
• Aku terima Mut’ah…..(Qabiltu Mut’atah…)
• Aku terima kawin…..(Qabiltu Tazwij…..)
• Aku terima nikah……(Qabiltu Nikahah…..)
Dan pernikahan tetap sah seandainya diringkas saja dengan kalimat seperti:
• Aku terima (Qobiltu)
• Aku rela (Rodhitu)
Seandainya terbalik, suami yang mengucapkan Qabul terlebih dahulu dengan berkata:
“Aku mengawinimu dengan mas kawin sekian…..dan untuk jangka waktu sekian….”.
maka pernikahan tersebut tetap sah
.
VII. Menyebutkan Mahar (mas kawin) yang telah disepakati oleh kedua belah pihak (suami-isteri) dan menentukan kadarnya, baik dari segi bentuknya maupun jumlahnya dengan cara-cara yang dapat menghilangkan kesalah fahaman. Selain itu, mahar tersebut harus milik dari suami itu sendiri yang diperolehnya secara halal baik sedikit ataupun banyak bahkan meskipun berupa segenggam makanan
.
VIII. Menyebutkan jangka waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, baik lama maupun sebentar saja dan pula harus disepakati bentuk waktunya, seperti berapa hari, bulan atau tahun secara tegas dan jelas sehingga tidak bisa lebih atau kurang dari jangka waktu yang telah ditentukan tersebut, dan pula harus ditentukan macam kalender yang diinginkan, apakah Masehi atauHijriyah
.
IX. Antara suami isteri yang kawin mut’ah tidak boleh masih dalam ikatan muhrim, baik karena adanya nasab dan garis keturunan secara langsung ataupun tidak langsung, seperti Bibi baik dari pihak ibu ataupun bapak, atau karena ikatan mertua seperti ibu isteri, isteri bapak, isteri anak, atau anak tiri yang ibunya telah dikawininya dan disetubuhinya, atau wanita yang masih bersuami atau pula wanita yang sudah dicerai atau ditinggal mati suaminya namun belum habis masa iddahnya
.
X. Wanita yang dikawini secara Mut’ah harus ber’iddah terhitung setelah habisnya masa perkawinan yang telah disepakati sebelumnya, atau bila seandainya suaminya telah menghibahkan masa mut’ahnya kepadanya sehingga tanpa perlu adanya perceraian karena si wanita akan langsung berpisah dari suaminya itu dan tidak boleh rujuk kembali, maka dalam hal ini ‘iddahnya adalah sebagai berikut:
a) Apabila si isteri sudah pernah disetubuhi, dan dia bukan anak kecil dan bukan pula wanita tua yang sudah tidak berhaid lagi, maka ‘iddahnya adalah dua kali haid (menstruasi) dengan catatan, bahwa haidnya berlaku secara teratur.
b) Apabila umurnya sudah mencapai masa haid (+ 9 – 10 th), namun belum juga berhaid, maka haidnya adalah 45 hari.
c) Apabila sedang dalam keadaan hamil, maka ‘iddahnya dipilih yang paling lama di antara dua hal:
• Melahirkan
• 4 bulan 10 hari.
Dalam hal ini, Nikah Mut’ah itu sama saja dengan yang berlaku pada nikah biasa. Nikah Mut’ah diperkenankan dengan wanita Ahli kitab. yaitu wanita Nasrani, dan Yahudi, namun tidak diperkenankan dengan wanita musyrik, dan yang telah murtad (keluar) dari Islam
.
XI. Pada nikah mut’ah, tidak diperkenankan mengumpulkan (mengawini) dua wanita bersaudara sekaligus, sama seperti yang berlaku pada nikah biasa. Dan juga tidak diperkenankan menikahi seorang Bibi bersama-sama dengan keponakannya, baik dari pihak saudara laki-laki ataupun perempuan kecuali atas izin dan perkenaan dari si bibi tersebut
.
XII. Dengan adanya akad nikah, si isteri sudah mempunyai hak pemilikan secara penuh atas mas kawin sehingga bila dia memintanya maka si suami harus segera memberikannya. Kedua belah pihak tidak saling mewarisi harta-benda masing-masing kecuali apabila keduanya sudah membuat persyaratan atau perjanjian sebelumnya pada saat pelaksanaan akad nikah, maka dalam hal ini keduanya mempunyai hak waris sesuai dengan isi persyaratan atau perjanjian yang telah disepakati tersebut
.
XIII. Suami tidak wajib memberikan nafkah kepada isteri kecuali bila si isteri telah mensyaratkan adanya nafkah pada saat pelaksanaan akad nikah dan disetujui, maka suami harus memberikan nafkah kepadanya dalam bentuk dan jumlah sesuai dengan isi persyaratan yang telah disetujuinya.
XIV. Pihak yang berhak memberikan akad nikah (isteri) harus sudah baliqh, berakal, mengerti maksudnya dan memang sengaja ingin mengadakan nikah Mut’ah, yakni ketika ia mengatakan kalimat : Matta’tu (Aku mut’ahkan) atau Ankahtu (Aku nikahkan) atau Zawwajtu (Aku kawinkan). Maka ia itu memang berkeinginan untuk mewujudkan nikah mutah yang dimaksud secara nyata dan bukan hanya merupakan ungkapan cerita yang bersifat fiktif (seperti dalam drama). Pihak yang menerima akad nikah (suami) juga harus sudah baliqh, berakal dan ketika mengucapkan kalimat : “Aku terima…’’ Maka, ia harus bersungguh-sungguh memang mau menerima apa yang diucapkan oleh si pemberi akad (isteri) dan berkeinginan untuk mewujudkannya secara nyata. Dalam hal ini, nikah mut’ah tidak berbeda dengan yang berlaku pada nikah biasa
.
XV. Masing-masing dari suami isteri yang bersangkutan harus tertentu, dalam arti harus jelas dan tidak kabur dengan orang lain yang bukan pasangannya, baik nama, gelar maupun sifatnya
.
XVI. Pelaksanaan Ijab dan Qabul harus berlangsung secara beruntun, dan tidak boleh terpisahkan pada saat pelaksanaan akad nikah dan harus terlaksana tanpa menunggu keberadaan suatu syarat atau terkait dengan datangnya waktu tertentu. Kemudian nikah mutah tersebut bisa terlaksana dengan adanya penyelesaian secara langsung oleh suami isteri yang bersangkutan, dan setelah kedua belah pihak bersepakat perihal penentuan waktu dan mas kawin maka si isteri harus berkata kepada suami (bisa memilih satu dari tiga kalimat berikut) :
Matta’tu nafsi minka = “Aku mut’ahkan diriku kepadamu” atau
Zawwajtu nafsi minka = “Aku kawinkan diriku kepadamu” atau
Ankahtu nafsi minka… ‘ala maharin qodruhu mi’ata dinar minal aan ila asro siniin =
“Aku nikahkan diriku untukmu dengan mas kawin sebesar seratus dinar (misalnya, bisa lebih atau kurang sesuai dengan persetujuan kedua belah pihak) dari sekarang sampai sepuluh tahun (misalnya, bisa lebih atau kurang sesuai dengan persetujuan dari kedua belah pihak) kemudian suami menjawab (bisa memilih satu dari kalimat berikut ini) :
Qobiltu mut’atah…= Aku terima mut’ahnya…
Qobiltu tazwij….= Aku terima kawinnya….
Qobiltu nikah….linafsi minka ala mahril ma’lum wal ajalil maklum…=
“Aku terima nikahnya…darimu untuk diriku dengan mas kawin dan tempo waktu (sesuai kesepakatan bersama) yang telah dimaklumi”
Akad nikah mut’ah bisa dilaksanakan melalui wakil dari kedua mempelai, atau melalui wali dari masing-masing mempelai, atau pula melalui wakil dari mempelai wanita dengan calon suaminya dan sebaliknya. Pelaksanaan akad nikah melalui perwakilan atau perwalian tersebut tidak berbeda tata-caranya dengan yang dilaksanakan secara langsung oleh kedua mempelai sebagaimana telah disebutkan di atas
.
wanita Iran sangat susah sekali untuk dinikahi secara mut’ah. Dan di Iran, nikah mut’ah itu di catat seperti nikah da’im… Jadi tidak benar nikah mut’ah adalah legalisasi prostitusi terselubung atau umbar nafsu kebinatangan seperti tuduhan wahabi
Tuh khan…di Iran aja di catat kok. jadi saya gak heran kalau misalnya di Indonesia ini banyak sekali penyelewengan yang dilakukan dalam nikah mut’ah karena hukum Indonesia belum mengatur mengenai hal itu.

Banyak sekali fitnah beracun yang dihembuskan kaum wahhabi terhadap Syi’ah. Di antaranya adalah kekejian dan kepalsuan yang tersebar hampir dalam setiap paragraf tulisannya seperti dalam artikel: SYIAH MENGHALALKAN ZINA. Mengingat kejinya fitnah itu dan rancunya tulisan dalam artikel tersebut maka kami akan menaggapinya dalam dua tahapaan, pertama, kami akan paparkan permasalahan Nikah Mut’ah jauh dari tuduhan keji dalam artikel tersebut, kedua, menaggapi butir-butir fitnah dan kesalahan fatal dalam artikel tersebut. Selamat mengikuti.

Nikah mut’ah adalah halal menurut Islam.
Ini adalah bukti pertama inkonsistensi salafy dalam berhujjah. Mereka berhujjah dengan gaya sepotong-sepotong, mengambil penggalan hadis yang sesuai dengan akidahnya saja.
Inkonsistensi salafy lainnya dapat para pembaca lihat dari diskusi atau pembahasan salafy soal nikah mut’ah. Dalam pembahasan nikah mut’ah terdapat hadis yang memuat lafaz

قال عطاء قدم جابر بن عبدالله معتمرا فجئناه في منزله فسأله القوم عن أشياء ثم ذكروا المتعة فقال نعم استمتعنا على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم وأبي بكر وعمر

Atha’ berkata “Jabir bin Abdullah datang untuk menunaikan ibadah umrah. Maka kami mendatangi tempatnya menginap. Beberapa orang dari kami bertanya berbagai hal sampai akhirnya mereka bertanya tentang mut’ah. Jabir menjawab “benar, memang kami melakukannya pada masa hidup Rasulullah SAW, masa Abu Bakar dan Umar”. [Shahih Muslim 2/1022 no 15 (1405) tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi]

Kembali lagi kalau kita berhujjah dengan logika salafy maka atsar Jabir di atas menunjukkan kalau semua sahabat melakukan mut’ah di masa hidup Rasulullah SAW, masa Abu Bakar dan masa Umar atau Ijma’ sahabat membolehkan nikah mut’ah. Silakan para pembaca mengingat kembali, Salafy dengan lantangnya mengatakan kalau nikah mut’ah adalah zina, padahal berdasarkan atsar di atas maka semua sahabat melakukan mut’ah di masa Abu Bakar dan Umar. Apakah salafy berani mengatakan kalau semua sahabat telah berzina?. Naudzubillah

Menghadapi kemusykilan atsar Jabir di atas, ada diantara pengikut salafy yang mengatakan kalau atsar Jabir itu hanya menunjukkan bahwa sebagian kecil sahabat masih melakukan nikah mut’ah karena mereka belum tahu kalau nikah tersebut diharamkan. Sekarang kata “kami melakukan” diartikan sebagai “sebagian kecil” bukan “semua sahabat” atau “ijma’ sahabat”. Benar-benar tidak konsisten
b) Khalifah Umarlah yang mengharamkan nikah mut’ah yang telah dihalalkan pada masa Rasulullah (Saw.), khalifah Abu Bakar dan pada masa permulaan zaman khalifah Umar.

Ia (Jabir) mengatakan: “Melalui diriku hadis tersebut didapat, kita telah melakukan mut’ah bersama Rasulullah (saww) juga bersama Abu bakar, akan tetapi setelah berkuasanya Umar, ia (Umar) pun mengumumkannya pada masyarakat dengan ucapan: “Sesungguhnya Al-Qur’an tetap posisinya sebagai Al-Qur’an sedang Rasulullah (saww) tetap sebagai Rasul, ada dua jenis mut’ah yang ada pada zaman Rasul; haji mut’ah (haji tamattu’ .red) dan nikah mut’ah”. Kalaupun nikah mut’ah haram lantas kenapa kita juga tidak mengharamkan mut’ah haji yang sampai detik ini masih dilakukan oleh semua kaum muslimin dunia padahal ia termasuk yang diharamkan oleh khalifah kedua?

Nikah Mut’ah Sama dengan Zina?
Sudah menjadi kesepakatan segenap kaum muslimin bahwa nikah mut’ah pernah ada pada zaman Rasul sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab standar Sunni maupun Syiah. Disebutkan bahwa Rasul (saww) pernah membolehkan pernikahan jenis tersebut, akan tetapi lantas terjadi perbedaan pendapat diantara para pengikut Islam adakah Rasul sampai akhir hayat beliau tetap membolehkan pernikahan itu ataukah tidak? Sebagian dari mereka mengatakan bahwa sebelum pulangnya Rasul (saww) ke rahmatullah beliau telah melarang pernikahan tersebut atau dengan istilah yang sering dipakai hukum dibolehkannya nikah mut’ah telah mansukh (terhapus). Sebagian lagi mengatakan bahwa sampai akhir hayat beliaupun beliau tidak pernah melarangnya, akan tetapi seorang yang bernama Umar bin Khatab lah yang kemudian melarangnya sewaktu ia menjabat kekhalifahan.

Dari dua pendapat diatas dalam tulisan ini akan di bahas manakah dari pendapat tersebut yang lebih dekat pada kenyataan? Apakah nikah mut’ah telah dimansukh oleh Rasul atau tidak? Kalaulah tidak lantas apakah wewenang dan dasar yang dipakai oleh Umar untuk mengharamkannya? Adakah ia melakukan berdasarkan konsep ijtihad? Sedang Imam Ali (as) –sebagai khalifah keempat ahlissunnah- tidak pernah mengharamkannya? Bolehkah dalam Islam melakukan ijtihad walau bertentangan dengan ayat atau riwayat yang sebagai sumber utama syariat Islam? Kalaulah kita terima bahwa nikah jenis itu haram karena ijtihad Umar kenapa mut’ah haji (haji tamattu’) yang juga diharamkan oleh Umar tetap dianggap halal oleh seluruh kaum muslimin? Bukankah kalau kita menerima ijtihad Umar tentang pelarangan nikah mut’ah berarti juga harus menerima pelarangannya atas mut’ah haji? Lantas apakah alasan ahlissunnah menerima pelarangan nikah mut’ah sedang mut’ah haji tetap mereka halalkan? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang bisa kita munculkan dari permasalahan-permasalahan mut’ah yang sering dipakai sebagai bahan untuk melumatkan mazhab Syi’ah karena hanya Syi’ahlah (imamiah itsna asyariah) yang sampai sekarang ini masih tetap menganggapnya halal.

Yang perlu diingat oleh pembaca yang budiman adalah bahwa kita disini dalam rangka mencari kebenaran akan konsep hukum mut’ah dan lepas dari permasalahan praktis dari hal tersebut, oleh karenanya dalam membahas haruslah didasari oleh argumen dari teks agama ataupun akal dan bukan bersandar pada emosional maupun fanatisme golongan.

Banyak sekali fitnah beracun yang dihembuskan kaum wahhabi terhadap Syi’ah. Di antaranya adalah kekejian dan kepalsuan yang tersebar hampir dalam setiap paragraf tulisannya seperti dalam artikel: SYIAH MENGHALALKAN ZINA. Mengingat kejinya fitnah itu dan rancunya tulisan dalam artikel tersebut maka kami akan menaggapinya dalam dua tahapaan, pertama, kami akan paparkan permasalahan Nikah Mut’ah jauh dari tuduhan keji dalam artikel tersebut, kedua, menaggapi butir-butir fitnah dan kesalahan fatal dalam artikel tersebut. Selamat mengikuti.

Nikah mut’ah adalah halal menurut Islam.
Ini adalah bukti pertama inkonsistensi salafy dalam berhujjah. Mereka berhujjah dengan gaya sepotong-sepotong, mengambil penggalan hadis yang sesuai dengan akidahnya saja.
Inkonsistensi salafy lainnya dapat para pembaca lihat dari diskusi atau pembahasan salafy soal nikah mut’ah. Dalam pembahasan nikah mut’ah terdapat hadis yang memuat lafaz

قال عطاء قدم جابر بن عبدالله معتمرا فجئناه في منزله فسأله القوم عن أشياء ثم ذكروا المتعة فقال نعم استمتعنا على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم وأبي بكر وعمر

Atha’ berkata “Jabir bin Abdullah datang untuk menunaikan ibadah umrah. Maka kami mendatangi tempatnya menginap. Beberapa orang dari kami bertanya berbagai hal sampai akhirnya mereka bertanya tentang mut’ah. Jabir menjawab “benar, memang kami melakukannya pada masa hidup Rasulullah SAW, masa Abu Bakar dan Umar”. [Shahih Muslim 2/1022 no 15 (1405) tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi].

Kembali lagi kalau kita berhujjah dengan logika salafy maka atsar Jabir di atas menunjukkan kalau semua sahabat melakukan mut’ah di masa hidup Rasulullah SAW, masa Abu Bakar dan masa Umar atau Ijma’ sahabat membolehkan nikah mut’ah. Silakan para pembaca mengingat kembali, Salafy dengan lantangnya mengatakan kalau nikah mut’ah adalah zina, padahal berdasarkan atsar di atas maka semua sahabat melakukan mut’ah di masa Abu Bakar dan Umar. Apakah salafy berani mengatakan kalau semua sahabat telah berzina?. Naudzubillah

Menghadapi kemusykilan atsar Jabir di atas, ada diantara pengikut salafy yang mengatakan kalau atsar Jabir itu hanya menunjukkan bahwa sebagian kecil sahabat masih melakukan nikah mut’ah karena mereka belum tahu kalau nikah tersebut diharamkan. Sekarang kata “kami melakukan” diartikan sebagai “sebagian kecil” bukan “semua sahabat” atau “ijma’ sahabat”. Benar-benar tidak konsisten
b) Khalifah Umarlah yang mengharamkan nikah mut’ah yang telah dihalalkan pada masa Rasulullah (Saw.), khalifah Abu Bakar dan pada masa permulaan zaman khalifah Umar.

Ia (Jabir) mengatakan: “Melalui diriku hadis tersebut didapat, kita telah melakukan mut’ah bersama Rasulullah (saww) juga bersama Abu bakar, akan tetapi setelah berkuasanya Umar, ia (Umar) pun mengumumkannya pada masyarakat dengan ucapan: “Sesungguhnya Al-Qur’an tetap posisinya sebagai Al-Qur’an sedang Rasulullah (saww) tetap sebagai Rasul, ada dua jenis mut’ah yang ada pada zaman Rasul; haji mut’ah (haji tamattu’ .red) dan nikah mut’ah”. Kalaupun nikah mut’ah haram lantas kenapa kita juga tidak mengharamkan mut’ah haji yang sampai detik ini masih dilakukan oleh semua kaum muslimin dunia padahal ia termasuk yang diharamkan oleh khalifah kedua?

Nikah Mut’ah Sama dengan Zina?
Sudah menjadi kesepakatan segenap kaum muslimin bahwa nikah mut’ah pernah ada pada zaman Rasul sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab standar Sunni maupun Syiah. Disebutkan bahwa Rasul (saww) pernah membolehkan pernikahan jenis tersebut, akan tetapi lantas terjadi perbedaan pendapat diantara para pengikut Islam adakah Rasul sampai akhir hayat beliau tetap membolehkan pernikahan itu ataukah tidak? Sebagian dari mereka mengatakan bahwa sebelum pulangnya Rasul (saww) ke rahmatullah beliau telah melarang pernikahan tersebut atau dengan istilah yang sering dipakai hukum dibolehkannya nikah mut’ah telah mansukh (terhapus). Sebagian lagi mengatakan bahwa sampai akhir hayat beliaupun beliau tidak pernah melarangnya, akan tetapi seorang yang bernama Umar bin Khatab lah yang kemudian melarangnya sewaktu ia menjabat kekhalifahan.

Dari dua pendapat diatas dalam tulisan ini akan di bahas manakah dari pendapat tersebut yang lebih dekat pada kenyataan? Apakah nikah mut’ah telah dimansukh oleh Rasul atau tidak? Kalaulah tidak lantas apakah wewenang dan dasar yang dipakai oleh Umar untuk mengharamkannya? Adakah ia melakukan berdasarkan konsep ijtihad? Sedang Imam Ali (as) –sebagai khalifah keempat ahlissunnah- tidak pernah mengharamkannya? Bolehkah dalam Islam melakukan ijtihad walau bertentangan dengan ayat atau riwayat yang sebagai sumber utama syariat Islam? Kalaulah kita terima bahwa nikah jenis itu haram karena ijtihad Umar kenapa mut’ah haji (haji tamattu’) yang juga diharamkan oleh Umar tetap dianggap halal oleh seluruh kaum muslimin? Bukankah kalau kita menerima ijtihad Umar tentang pelarangan nikah mut’ah berarti juga harus menerima pelarangannya atas mut’ah haji? Lantas apakah alasan ahlissunnah menerima pelarangan nikah mut’ah sedang mut’ah haji tetap mereka halalkan? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang bisa kita munculkan dari permasalahan-permasalahan mut’ah yang sering dipakai sebagai bahan untuk melumatkan mazhab Syi’ah karena hanya Syi’ahlah (imamiah itsna asyariah) yang sampai sekarang ini masih tetap menganggapnya halal.

Yang perlu diingat oleh pembaca yang budiman adalah bahwa kita disini dalam rangka mencari kebenaran akan konsep hukum mut’ah dan lepas dari permasalahan praktis dari hal tersebut, oleh karenanya dalam membahas haruslah didasari oleh argumen dari teks agama ataupun akal dan bukan bersandar pada emosional maupun fanatisme golongan.

Argumentasi dari Kitab-kitab Standar Ahlissunnah akan Pembolehan Nikah Mut’ah
Sebagaimana yang telah singgung diatas bahwa nikah mut’ah pernah disyariatkan oleh Allah (swt) sebagaimana yang telah disepakati oleh seluruh ulama’ kaum muslimin, hal ini sesuai dengan ayat yang berbunyi:
“dan (diharamkan atas kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki, (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapanNya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina, maka (istri-istri) yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”(Qs; An-Nisaa’:24)
Jelas sekali bahwa ayat tersebut berkenaan denga nikah mut’ah sebagaimana yang telah dikemukakan oleh para perawi hadis dari sahabat-sahabat Rasul seperti: Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Habib bin Abi Tsabit, Said bin Jubair, Jabir bin Abullah al-Anshari (ra) dst.

Pendapat beberapa ulama’ tafsir dan hadis ahlussunnah.
Adapun dari para penulis hadis dan penafsir dari ahlussunnah kita sebutkan saja secara ringkas:
1. Imam Ahmad bin Hambal dalam “Musnad Ahmad” jilid:4 hal:436.
2. Abu Ja’far Thabari dalam “Tafsir at-Thabari” jilid:5 hal:9.
3. Abu Bakar Jasshas dalam “Ahkamul-Qur’an” jilid:2 hal:178.
4. Abu bakar Baihaqi dalam “as-Sunan-al-Qubra” jilid:7 hal:205.
5. Mahmud bin Umar Zamakhsari dalam “Tafsir al-Kassyaf” jil:1 hal:360.
6. Fakhruddin ar-Razi dalam “Mafatih al-Ghaib” jil:3 hal:267.
7. dst.

Pendapat beberapa Sahabat (Salaf Saleh) dan Tabi’in
Beberapa ungkapan para sahabat Rasul dan para tabi’in (yang hidup setelah zaman para sahabat) sebagai contoh pribadi-pribadi yang mengingkari akan pelarangan (pengharaman) mut’ah:
Imam Ali bin Abi Thalib, sebagaimana diungkapakan oleh Thabari dalam kitab tafsirnya (lihat: jil:5 hal:9) dimana Imam Ali bersabda: “jika mut’ah tidak dilarang oleh Umar niscaya tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka saja”.

Riwayat ini sebagai bukti bahwa yang mengharamkan mut’ah adalah Umar bin Khatab, lantas setelah banyaknya kasus perzinaan dan pemerkosaan sekarang ini –berdasarkan riwayat diatas- siapakah yang termasuk bertanggungjawab atas semua peristiwa itu?

Abdullah bin Umar bin Khatab (putera khalifah kedua), sebagaimana yang dinukil oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab musnadnya (lihat: jil:2 hal:95) dimana Abdullah berkata ketika ditanya tentang nikah mut’ah: “Demi Allah, sewaktu kita dizaman Rasul tidak kita dapati orang berzina ataupun serong”. Kemudian berkata, aku pernah mendengar Rasul bersabda: “sebelum datangnya hari kiamat akan muncul masihud-dajjal dan pembohong besar sebanyak tiga puluh orang atau lebih”. Lantas siapakah yang layak disebut pembohong dalam riwayat diatas tadi? Adakah orang yang memutar balikkan syariat Rasul layak untuk dibilang pembohong?

Abdullah bin Masud, sebagaimana yang dinukil oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya (lihat: jil:7 hal:4 kitab nikah bab:8 hadis ke:3), dimana Abdullah berkata: “sewaktu kita berperang bersama Rasulullah sedang kita tidak membawa apa-apa, lantas kita bertanya kepada beliau: bolehkah kita lakukan pengebirian? Lantas beliau melarang kita untuk melakukannya kemudian beliau memberi izin kita untuk menikahi wanita dengan mahar baju untuk jangka waktu tertentu. Saat itu beliau membacakan kepada kami ayat yang berbunyi: “wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian dan janganlah kalian melampaui batas…”(Qs Al-Ma’idah:87).

Cobalah renungkan makna ayat dan riwayat diatas lantas hubungkanlah antara penghalalan ataupun pengharaman nikah mut’ah! Manakah dari dua hukum tersebut yang sesuai dengan syariat Allah yang dibawa oleh Rasul?

Imran bin Hashin, sebagaimana yang dinukil oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya (lihat: jil:6 hal:27 kitab tafsir; dalam menafsirkan ayat: faman tamatta’a bil-umrati ilal-hajji (Qs Al-Baqarah)), dimana Imran berkata: “Diturunkan ayat mut’ah dalam kitabullah (Al-Qur’an) kemudian kita melakukannya di zaman Rasul, sedang tidak ada ayat lagi yang turun dan mengharamkannya, juga Rasul tidak pernah melarangnya sampai beliau wafat”. Riwayat seperti diatas juga dinukil oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitan musnadnya.
Dua riwayat ini menjelaskan bahwa tidak ada ayat yang menghapus (nasikh) penghalalan mut’ah dan juga sebagai bukti mahwa mut’ah sampai akhir hayat Rasul beliau tidak mengharamkannya.

Ibn Abi Nadhrah, sebagaimana yang dinukil oleh al-Muslim dalam kitab shahihnya (lihat: jil:4 hal:130 bab:nikah mut’ah hadis ke:8), dimana Ibn abi nadhrah berkata: “Dahulu Ibn abbas memerintahkan (baca:menghalalkan) nikah mut’ah sedang Ibn zubair melarangnya kemudia peristiwa tersebut sampai pada telinga Jabir bin Abdullah al-Anshori (ra) lantas dia berkata: “Akulah orang yang mendapatkan hadis tersebut, dahulu kita melakukan mut’ah bersama Rasulullah akan tetapi setelah Umar berkuasa lantas ia mengumumkan bahwa; “Dahulu Allah menghalalkan buat Rasul-Nya sesuai dengan apa yang dikehendakinya, maka umat pun menyempurnakan haji dan umrah mereka, juga melakukan pernikahan dengan wanita-wanita tersebut, jika terdapat seseorang menikahi seorang wanita untuk jangka wanita tertentu niscaya akan kurajam ia dengan batu”.

Riwayat diatas juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam musnadnya (lihat: jil:1 hal:52). Dikatakan bahwa Abi Nadhrah berkata: “Aku berkata kepada Jabir bin Abdullah Anshari (ra), sesungguhnya Ibn zubair melarang nikah mut’ah sedangkan Ibn Abbas membolehkannya”. Kemudian ia (Jabir) mengatakan: “Melalui diriku hadis tersebut didapat, kita telah melakukan mut’ah bersama Rasulullah (saww) juga bersama Abu bakar, akan tetapi setelah berkuasanya Umar, ia (Umar) pun mengumumkannya pada masyarakat dengan ucapan: “Sesungguhnya Al-Qur’an tetap posisinya sebagai Al-Qur’an sedang Rasulullah (saww) tetap sebagai Rasul, ada dua jenis mut’ah yang ada pada zaman Rasul; haji mut’ah dan nikah mut’ah”.

Dua riwayat diatas dengan jelas sekali menyebutkan bahwa pertama orang yang mengharamkan nikah mut’ah adalah Umar bukan Rasul ataupun turun ayat yang berfungsi sebagai penghapus hukum mut’ah sebagaimana yang dikatakan sebagian orang yang tidak mengetahui tentang isi kandungan yang terdapat dalam buku-buku standar mereka sendiri.

Sebagai tambahan kami nukilkan pendapat Fakhrur Razi dalam tafsir al-Kabir, ketika menafsirkan ayat 24 surat an-Nisa. Ar-Razi mengutip ucapan Umar (“ Dua jenis mut’ah yang berlaku di masa rasulullah, yang kini ku larang dan pelakunya akan kuhukum, adalah mutah haji dan mut’ah wanita” ) dalam menetapkan pengharaman nikah mut’ah. Begitu juga tokoh besar dari kamu Asy,ariyah, Imam al-Qausyaji dalam kitab Syarh At-Tajrid, dalam pengharamannya mut’ah adalah ucapan Umar (ucapan Umar: Tiga perkara yang pernah berlaku di zaman Rasulullah, kini kularang, kuharamkan dan kuhukum pelakuknya adalah mut’ah wanita dan mutah haji serta seruan (azan): hayya ‘ala khayr al-‘amal (marilah mengerjakan sebaik-baik amal)). Qusyaji membela tindakan Umar ini, menyatakan bahwa semata-mata takwil atau ijtihad Umar.
Abdullah ibn Abbas, sebagaimana yang dinukil oleh al-Jasshas dalam Ahkamul-Qu’an (jil:2 hal:179), Ibn Rusyd dalam bidayatul mujtahid (jil:2 hal:58), Ibn Atsir dalam an-Nihayah (jil:2 hal:249), al-Qurtubi dalam tafsirnya (jil:5 hal:130), suyuti dalam tafsirnya (jil:2 hal:140) dikatakan bahwa Ibn Abbas berkata: “semoga Allah merahmati Umar, bukanlah mut’ah kecuali merupakan rahmat dari Allah bagi umat Muhammad (saww) jikalau ia (Umar) tidak melarang mut’ah tersebut niscaya tiada orang yang menghendaki berbuat zina kecuali ia bisa terobati”.

Riwayat yang dikemukakan oleh Ibn Khalqan dalam kitab Wafayaatul-A’yaan jil:6 hal:149-150, durrul mantsur jil:2 hal:140, kanzul ummal jil:8 hal:293, tarikh tabari jil:5 hal:32, tarikh Ibn khalkan jil:2 hal:359, tajul-arus jil:10 hal:200. Dan masih banyak lagi riwayat dalam kitab-kitab lainnya, .

Untuk mempersingkat tulisan singkat ini kita cukupkan hanya dengan menyebutkan riwayat-riwayat diatas. Untuk melengkapinya akan kita sebutkan beberapa permasalahan yang sering dilontarkan oleh orang-orang yang tidak paham akan maksud dari hikmah Ilahi tentang penghalalan nikah mut’ah dan kita berusaha untuk menjawabnya secara ringkas.

Soal: Salah satu fungsi pernikahan adalah untuk membina keluarga dan menghasilkan keturunan dan itu hanya bisa terwujud dalam nikah da’im (baca:nikah biasa), sedang nikah mut’ah tujuannya hanya sekedar sebagai pelampiasan nafsu belaka.

Jawab: Jelas sekali bahwa pertanyaan diatas menunjukkan akan adanya percampuran paham antara hukum obyek dengan fungsi/hikmah pernikahan. Yang ia sampaikan tadi adalah berkisar tentang hikmah pernikahan bukan hukum pernikahan. Karena kita tahu bahwa Islam mengatakan bahwa sah saja orang menikah walaupun dengan tidak memiliki tujuan untuk hal yang telah disebutkan diatas, sebagaimana orang lelaki yang sengaja mengawini wanita yang mandul atau wanita tua sehingga tidak terlintas sama sekali dibenaknya untuk mendapat anak dari wanita tersebut ataupun lelaki yang mengawini seorang wanita dengan nikah daim akan tetapi hanya untuk beberapa saat saja-taruhlah dua bulan saja- setelah itu ia talak wanita tersebut. Dua contoh pernikahan tersebut jelas tidak seorang ulama pun yang mengatakan bahwa itu batil hukumnya sebagaimana yang disampaikan oleh penulis tafsir “Al-Manaar” dimana ia mengatakan: “pelarangan para ulama’ terdahulu maupun yang sekarang akan nikah mut’ah mengharuskan juga pelarangan akan nikah dengan niat mentalak (istrinya setelah beberapa saat) walaupun para ahli fiqih sepakat bahwa akad nikah dikatakan sah walaupun ada niatan suami untuk menikahinya hanya untuk saat tertentu saja sedang niat tersebut tidak diungkapkannya saat akat nikah, sedang penyembunyian niat tersebut merupakan salah satu jenis penipuan sehingga hal itu lebih layak untuk dihukumi batil jika syarat niat tadi diungkapkan sewaktu akad dilangsungkan” (Tafsir al-Manaar jil:5 hal:17).

Dari sini kita akan heran melihat orang yang menganggap bahwa mut’ah hanya berfungsi sebagai sarana pelampiasan nafsu belaka dan bukankah dalam nikah da’im pun bisa saja orang berniat untuk pelampiasan nafsu saja, niatan itu semua kembali kepada pribadi masing-masing bukan dari jenis pernikahannya.
Soal: Nikah mut’ah menjadikan wanita tidak dapat menjaga kehormatan dirinya karena ia bisa berganti-ganti pasangan kapanpun ia mau, padahal Islam sangat menekankan penjagaan kehormatan terkhusus bagi para wanita.

Jawab: Justru dalam nikah mut’ah sama seperti nikah da’im dimana bukan hanya wanita yang ditekankan untuk menjaga kehormatannya tapi bagi silelaki pun diharuskan untuk menjaga hal tersebut, karena legalitas pernikahan tersebut sudah ditetapkan dalam syariat maka dengan cara inilah mereka menjaga kehormatan mereka dan tidak menjerumuskan diri mereka keperzinaan. Dalam Islam ada tiga alternatif dalam menangani gejolak nafsu birahi:Nikah da’im, Nikah mut’ah dengan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dan meredam nafsu dengan puasa misalnya.

Sekarang jika seseorang tidak mampu melaksanakan nikah da’im dengan berbagai alasan seperti karena masalah ekonomi, studi ataupun yang lainnya, dan untuk meredam nafsu dengan puasa misalnya iapun tidak mampu atau gejolaknya muncul diwaktu malam yang tidak memungkinkan untuk puasa, maka alternatif terakhir dengan nikah mut’ah tadi. Inilah yang diajarkan Islam kepada pengikutnya karena kita tahu bahwa Islam adalah agama terakhir, syariatnya pun adalah syariat terakhir yang dibawa oleh Nabi terakhir maka ia harus selalu up to date dan universal yang mencakup segala aspek kehidupan manusia yang mampu menjawab apapun kemungkinan yang bakal terjadi, dan ia merupakan agama yang bijaksana dimana salah satu ciri hal yang bijak adalah disaat ia melarang sesuatu maka ia harus memberi jalan keluarnya. Lantas jika seseorang tidak dapat melakukan nikah da’im ataupun meredam nafsunya lantas apa yang harus ia lakukan, sementara Islam melarang penyimpangan seksual jenis apapun? Atau jika ada seorang pemuda ingin mengenal seorang wanita lebih dekat untuk nanti menjadikannya seorang istri dalam masa pendekatan itu –karena boleh jadi gagal karena tidak ada kecocokan- hubungan apakah yang harus ia lakukan sehingga ia dapat berbicara dengan wanita tersebut berdua-duaan sedang Islam melarang berpacaran tanpa ada ikatan pernikahan?

Dan banyak lagi contoh lain yang Islam sebagai agama terakhir dan sebagai agama yang bijak dituntut untuk mampu menjawab tantangan tersebut, jika mut’ah diharamkan lantas kira-kira jalan keluar manakah yang akan diberikan oleh si pengharam mut’ah tadi? Oleh karenanya jangan heran jika Imam Ali (as) mengeluarkan statemen seperti diatas ( Imam Ali: “jika mut’ah tidak dilarang oleh Umar niscaya tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka saja”).

Kesalahan besar yang selama ini banyak terdapat pada benak kaum muslimin adalah mereka sering mengidentikkan nikah mut’ah dengan hubungan seksual padahal tidak mesti semacam itu –sebagaimana nikah da’im dengan anak dibawah usia yang diperbolehkan oleh para ahli fiqih semuanya- bisa saja siwanita mensyarati untuk tidak melakukan hal tersebut dalam akad nya sehingga mut’ah hanya sebagai sarana untuk menghilangkan dosa -semasa berkenalan untuk nantinya menikah daim- dengan adanya ikatan pernikahan diantara mereka.

Soal: Adanya beberapa sumber dari ahlussunnah yang menunjukkan adanya pelarangan mut’ah walaupun dari sisi waktu dan tempat pelarangannya berbeda-beda sehingga menjadi argumen bahwa ayat mut’ah (an-Nisaa:23) sudah terhapus dengan riwayat-riwayat itu, seperti:
  1. Dibolehkannya mut’ah lantas dilarang pada seusai perang Khaibar.
  2. Dibolehkannya nikah mut’ah lantas dilarang pada saat Fathul-Makkah.
  3. Hanya dibolehkan pada saat peristiwa Awthas saja.
  4. Diperbolehkan pada saat umrah qadha’ saja.
Jawab: Kita bisa katakan bahwa:
1- Ungkapan-ungkapan yang berbeda-beda itu menunjukkan tidak adanya kesepakatan akan pelarangannya karena perbedaan riwayat menunjukkan bahwa riwayat itu tunggal sifatnya (khabar wahid) dan riwayat jenis itu tidak bisa dijadikan sandaran sebagai penghapus hukum yang ada dalam Al-Qur’an, oleh karenanya Imran bin Hashin mengatakan tidak ada riwayat ataupun ayat yang menghapus hukum mut’ah (lihat kembali riwayat Imran diatas).

2- Khalifah kedua sebagai pengharam mut’ah pun tidak menyandaran ijtihadnya –kalaulah itu bisa disebut ijtihad- kepada ayat ataupun riwayat karena memang tidak ada riwayat yang menghapus hukum mut’ah tersebut sehingga dari sinilah menyebabkan banyak sahabat yang menentang keputusan Umar dalam pengharaman mut’ah. Kalau ada ayat atau riwayat yang mengharamkan nikah Mut’ah, kenapa Umar menyandarkan pelarangannya pada diri sendiri? Bukankah dengan menyandarkan pada ayat dan riwayat dari Rasul maka pendapatnya akan lebih kuat?

Soal: Diperbolehkannya melakukan nikah mut’ah adalah sebagaimana diperbolehkannya memakan daging babi yaitu pada saat-saat tertentu saja (dharurat) karena mut’ah sama hukumnya seperti zina yaitu haram, maka sebagaimana haramnya babi dalam saat-saat tertentu halal maka pada saat-saat tertentupun mut’ah halal juga hukumnya.

Jawab: Jelas penyamaan antara diperbolehkannya makan daging babi disaat dharurat berbeda dengan mut’ah, salah satu perbedaannya adalah:
Hukum dharurat hanya pada hal-hal yang mengakibatkan kelangsungan hidup (jiwa) terancam oleh karenanya diperbolehkan makan daging babi sebatas untuk menyambung hidup saja sehingga dilarang untuk makan secara berlebihan, adapun mut’ah apakah ia sama seperti daging babi sehingga jika seseorang tidak mut’ah lantas ia terancam kelangsungan hidupnya?

Kalaupun –walaupun alasan ini tidak dapat diterima- mut’ah bisa disamakan sama seperti daging babi yaitu terkenai hukum dharurat, lantas kenapa banyak sahabat yang melakukan mut’ah saat itu padahal gairah seksual tidak mesti muncul bersamaan sebagaimana rasa lapar?

Kalau dikatakan hukum dharurat itu ada, seharusnya hukum setelah hilang nya dharurat, kembali ke hukum awal nya (haram), akan tetapi yang kita dapati bahwa rasulullah tidak mengharamkan sampai akhir hayatnya. Sehingga tidak benar penghalalan hukum mutah itu dikarenakan dharurat.

Penutup:
Dari sini jelaslah bahwa nikah mut’ah diperbolehkan oleh syariat Islam –yang bersumber dari ayat dan hadis shohih- dimana sepakat kaum muslimin bahwa sumber syariat hanyalah Allah semata sebagaimana ayat yang berbunyi: “keputusan menetapkan suatu hukum hanyalah hak Allah”(Qs Yusuf:67). Sedang Rasul diutus untuk menjelaskannya oleh karenanya apa yang diungkapkan oleh beliau merupakan apa yang sudah disetujui oleh Allah. Rasul bersabda:“dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan”(Qs An-Najm:3-4). Oleh karenanya:“apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”(Qs Al-Hasyr:7).

Adapun ucapan para sahabat jika sesuai dengan firman Allah atau ungkapan Rasul maka bisa juga dikategorikan sebagai teks agama, akan tetapi jika tidak maka hal itu telah keluar dari apa yang telah tercantum dari ayat-ayat diatas tadi karena mereka manusia biasa seperti kita yang juga bisa salah sehingga tidak bisa dijadikan rujukan dalam menangani masalah syariat secara independen (mustaqil) tanpa tolok ukur kebenaran yang lain. Karena jika tidak, apa mungkin akan kita jadikan tolok ukur sedang kita dapati banyak pendapat mereka yang saling paradoksal sebagaimana yang kita saksikan tadi, bukankah dalam situasi perbedaan pendapat semacam itu kita diperintahkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya;“kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir”(Qs An-Nisaa’:59).

Bukanlah Allah dan Rasulnya tetap menghalalkan nikah mut’ah? Sewaktu sumber syariat adalah Al-Qur’an dan Hadis shohih lantas apakah diperbolehkan orang berijtihad –yang lantas hasilnya-hasilnya dianggap sebagai syariat- akan tetapi bertentangan dengan kehendak Allah dan Rasul yang sebagai sumber syariat?, bukankah dalam Al-Qur’an telah ditetapkan bahwa; “dan tidak patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka, dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata”(Qs al-Ahzab:36).

Apakah pemberian ketetapan lain yang tidak sesuai dengan ketetapan Allah dan Rasul tersebut tidak dikategorikan sebagai bid’ah -yang berarti mengada-adakan hukum syariat- dimana dalam riwayat disebutkan bahwa semua jenis bid’ah adalah sesat – “kullu bid’atin dholalah” -sehingga tidak ada lagi lubang untuk membagi bid’ah kepada bid’ah yang baik dan yang buruk? Lantas apakah konsekwensi bagi orang ahli bid’ah yang berarti ahli kesesatan yang dalam riwayat tentang bid’ah juga telah disebutkan “wakullu dhalalatin finnaar”? Kemudian apakah kita akan terus mengikuti ahli bid’ah dengan mengharamkan nikah mut’ah? Kalaupun nikah mut’ah haram lantas kenapa kita juga tidak mengharamkan mut’ah haji yang sampai detik ini masih dilakukan oleh semua kaum muslimin dunia padahal ia termasuk yang diharamkan oleh khalifah kedua? Dan masih banyak pertanyaan lain yang harus dijawab oleh saudara-saudara ahlussunnah yang berkisar tentang mut’ah. Renungkanlah dan bacalah saudara-saudaraku.

Nikah Mut’ah, Halal atau Haram?
Salah satu masalah fikih yang diperselisihkan antara pengikut Ahlulbait (Syiah) dan Ahlusunnah adalah hukum nikah Mut’ah. Tentang masalah ini ada beberapa hal yang perlu kita ketahui, berikut ini akan kita bahas bersama.
Pertama: Defenisi Nikah Mut’ah.
Kedua: Tentang ditetapkannya mut’ah dalam syari’at Islam.
Ketiga: Tidak adanya hukum baru yang me-mansukh-kannya.
Keempat: Hadis-hadis yang menegaskan disyari’atkannya.
Kelima: Bukti-bukti bahwa Khalifah Umar-lah yang mengharamkannya.

Difinisi Nikah Mut’ah:
Ketika menafsirkan ayat 24 surah al-Nisa’-seperti akan disebutkan di bawah nanti, Al-Khazin (salah seorang Mufasir Sunni) menjelaskan difinisi nikah mut’ah sebagai berikut, “Dan menurut sebagian kaum (ulama) yang dimaksud dengan hukum yang terkandung dalam ayat ini ialah nikah mut’ah yaitu seorang pria menikahi seorang wanita sampai jangka waktu tertentu dengan memberikan mahar sesuatu tertentu, dan jika waktunya telah habis maka wanita itu terpisah dari pria itu dengan tanpa talaq (cerai), dan ia (wanita itu) harus beristibrâ’ (menanti masa iddahnya selasai dengan memastikan kesuciaannya dan tidak adanya janin dalam kandungannya_pen), dan tidak ada hak waris antara keduannya. Nikah ini boleh/halal di awal masa Islam kemudian diharamkan oleh Rasulullah saw.” [1] Dan nikah Mut’ah dalam pandangan para pengikut Ahlulbait as. adalah seperti difinisi di atas.


Nikah Mut’ah Telah Disyari’atkan.
Dalam masalah ini telah disepakati bahwa nikah mut’ah telah disyari’atkan dalam Islam, seperti juga halnya dengan nikah daa’im (permanen). Semua kaum Muslim dari berbagai mazhab dan aliran tanpa terkecuali telah sepakat bahwa nikah Mut’ah telah ditetapkan dan disyari’atkan dalam Islam. Bahkan hal itu dapat digolongkan hal dharuruyyat minaddin (yang gamblang dalam agama). Alqur’an dan sunah telah menegaskan disyari’atkannya nikah Mut’ah. Hanya saja terjadi perbedaan pendapat tentang apakah ia kemudian dimansukhkan atau tidak?

Al-Maziri seperti dikutip al-Nawawi mengatakan, “Telah tetap (terbukti) bahwa nikah Mut’ah adalah boleh hukumnya di awal Islam… .” [2] Ketika menjelaskan sub bab yang ditulis Imam Bukhari: Bab Nahyu an-Nabi saw. ‘an Nikah al-Mut’ah Akhiran (Bab tentang larangan Nabi saw. akan nikah mut’ah pada akhirnya).

Ibnu Hajar mendifinisikan nikah mut’ah, “Nikah mut’ah ialah menikahi wanita sampai waktu tertentu, maka jika waktu itu habis terjadilah perpisahan, dan difahami dari kata-kata Bukhari akhiran (pada akhirnya) bahwa ia sebelumnya mubaah, boleh dan sesungguhnya larangan itu terjadi pada akhir urusan.” [3]
Al-Syaukani juga menegaskan bahwa nikah mut’ah adalah pernah diperbolehkan dan disyari’atkan dalam Islam, sebelum kemudian, katanya dilarang oleh Nabi saw., ia berkata, “Jumhur ulama berpendapat sesungguhnya yang dimaksud dengan ayat ini ialah nikah mut’ah yang berlaku di awal masa Islam. Pendapat ini dikuatkan oleh qira’at Ubai ibn Ka’ab, Ibnu Abbas dan Said ibn Jubair dengan tambahan إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى (sampai jangka waktu tertentu) [4]

Ibnu Katsir menegaskan, “Dan keumuman ayat ini dijadikan dalil nikah mut’ah, dan tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya nikah mut’ah itu ditetapkan dalam syari’at pada awal Islam, kemudian setelah itu dimansukhkan… .” [5]

Ayat Tentang Disyari’atkannya Nikah Mut’ah.
Salah satu ayat yang tegas menyebut nikah bentuk itu seperti telah disinggung di atas ialah firman Allah SWT.

فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوْهُنَّأُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً … (النساء:24

“Maka wanita-wanita yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka upah (mahar)nya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban…” (QS:4;24).

Ayat di atas mengatakan bahwa wanita-wanita yang telah kamu nikahi dengan nikah mut’ah dan telah kamu gauli maka berikanlah kepada mereka itu mahar secara sempurna. Kata اسْتَمْتَعْتُمْ berartikan nikah mut’ah yaitu nikah berjangka waktu tertentu sesuai kesepakatan antara kedua pasangan calon suami istri. Dan dipilihnya kata tersebut disebabkan nikah mut’ah memberikan kesenangan, kenikmatan dan manfaat.
Dalam bahasa Arab kata mut’ah juga diartikan setiap sesuatu yang bermanfaat, kata kerja istamta’a artinya mengambil manfaat [6]

Para sahabat telah memahami ayat di atas sebagai ayat yang menegaskan disyari’atkannya nikah tersebut, sebagian sahabat dan ulama tabi’in seperti Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, Said ibn Jubari, Mujahid dan as Suddi membacanya:

فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ – إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى- فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً

dengan memberi tambahan kata إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى (sampai jangka waktu tertentu). Bacaan tesebut tentunya sebagai sekedar penjelasan dan tafsir, bukan dengan maksud bahwa ia dari firman Allah SWT. Bacaan mereka tersebut dinukil oleh para ulama besar Ahlusunah seperti Ibnu Jarir al-Thabari, Al-Razi, al-Zamakhsyari, Al-Syaukani dan lainnya yang tidak mungkin saya sebut satu persatu nama-nama mereka. Qadhi Iyaadh seperti dikutip al-Maziri, sebagaimana disebutkan Al Nawawi dalam syarah Shahih Muslim, awal Bab Nikah Mut’ah bahwa Ibnu Mas’ud membacanya dengan tambahan tersebut. Jumhur para ulama pun, seperti telah Anda baca dari keterangan Al-Syaukani, memehami ayat tersebut sebagai yang menegaskan disyari’atkannya nikah mut’ah.

Catatan:
Perlu Anda cermati di sini bahwa dalam ayat di atas Allah SWT berfirman menerangkan apa yang dipraktikkan kaum Muslim dari kalangan sahabat-sabahat Nabi suci saw. dan membimbing mereka akan apa yang harus mereka lakukan dalam praktik yang sedang mereka kerjakan. Allah SWT menggunakan kata kerja bentuk lampau untuk menunjuk apa yang telah mereka kerjakan: اسْتَمْتَعْتُمْ, dan ia bukti kuat bahwa para sahabat itu telah mempraktikan nikah mut’ah. Ayat di atas sebenarnya tidak sedang menetapkan sebuah hukum baru, akan tetapi ia sedang membenarkan dan memberikan bimbingan tentang apa yang harus mereka lakukan dalam bermut’ah. Bukti lain bahwa ayat di atas sedang menerangkan hukum nikah mut’ah ialah bahwa para ulama Sunni mengatakan bahwa hukum dalam ayat tersebut telah dimansukhkan oleh beberapa ayat, seperti akan disinggung nanti. Itu artintya mereka mengakui bahwa ayat di atas tegas-tegas menerangkan hukum nikah Mut’ah!

Klaim Pe-mansukh-an Hukum Nikah Mut’ah Dalam Al qur’an.
Ketegasan ayat diatas adalah hal yang tidak disangsikan oleh para ulama dan ahli tafsir. Oleh sebab itu mereka mengatakan bahwa hukum itu walaupun telah disyari’atkan dalam ayat tersebut di atas, akan tetapi ia telah dimansukhkan oleh beberapa ayat. Para ulama’ Sunni telah menyebutkan beberapa ayat yang dalam hemat mereka sebagai ayat naasikhah (yang memasukhkan) ayat Mut’ah. Di bawah ini akan saya sebutkan ayat-ayat tersebut.

Ayat Pertama:
Firman Allah SWT:

و الذين هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حافِظُونَ إلاَّ علىَ أَزْواجِهِمْ أَوْ ما مَلَكَتْ أَيْمانُهُمْ، فَإِنَّهُمْ غيرُ مَلُوْمِيْنَ. (المؤمنون:5-6

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal yang tiada tercela.” (QS:23;5-6) Keterangan Ayat:
Dalam pandangan mereka ayat di atas menerangkan bahwa dibolehkan/ dihalalkanya menggauli seorang wanita karena dua sebab; pertama, hubungan pernikahan (permanen).Kedua, kepemilikan budak.
Sementara itu kata mereka wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah, bukan bukan seorang istri.

Tanggapan:
Pertama-tama yang perlu difahami ialah bahwa mut’ah adalah sebuah ikatan pernikahan dan perkawinan, baik dari sudut pandang bahasa, tafsir ayat maupun syari’at, seperti telah dijelaskan sebelumnya. Jadi ia sebenarnya dalam keumuman ayat di atas yang diasumsikan sebagai pemansukh, tidak ada alasan yang membenarkan dikeluarkannya dari keumuman tersebut. Kata Azwaajihim dalam ayat di atas mencakup istri yang dinikahi baik dengan akad nikah daim (permanent) maupun akad nikah Mut’ah.

Kedua, selain itu ayat 5-6 Surah Mu’minun (sebagai pemansukh) berstatus Makkiyah (turun sebelum Hijrah) sementara ayat hukum Mut’ah (ayat 24 surah al-Nisa’) berstatus Madaniyah (turun setelah Hijrah). Lalu bagaimana mungkin ayat Makkiyah yang turun sebelum ayat Madaniyah dapat memansukhkannya?! Ayat yang memansukh turun lebih dahulu dari ayat yang sedang dimansukhkan hukumnya. Mungkinkah itu?!

Ketiga, Tetap diberlakukannya hukum nikah Mut’ah adalah hal pasti, seperti telah ditegaskan oleh para ulama Sunni sendiri. Az- zamakhsyari menukil Ibnu Abbas ra.sebagai mengatakan, “Sesungguhnya ayat Mut’ah itu muhkam (tidak mansukh)”. Pernyataan yang sama juga datang dari Ibnu Uyainah.
Keempat, Para imam Ahlubait as. menegaskan bahwa hukum yang terkandung dalam ayat tersebut tetap berlaku, tidak mansukh.

Kelima, Ayat 5-6 Surah Mu’minun sedang berbicara tentang hukum nikah permanen dibanding tindakan-tindakan yang diharamkan dalam Syari’at Islam, seperti perzinahan, liwath (homo) atau kekejian lain. Ia tidak sedang berbicara tentang nikah Mut’ah, sehingga diasumsikan adanya saling bertentangan antara keduanya.
Adapun anggapan bahwa seorang wanita yang dinikahi dengan nikah Mut’ah itu bukan berstatus sebagai isrti, zawjah, maka anggapan itu tidak benar. Sebab:

1. Mereka mengatakan bahwa nikah ini telah dimansukhkan dengan ayat إلاَّ علىَ أَزْواجِهِمْ … atau ayat-ayat lain atau dengan riwayat-riwayat yang mereka riwayatkan bahwa Nabi saw. telah memansukhnya setelah sebelumnya pernah menghalalkannya. Bukankah ini semua bukti kuat bahwa Mut’ah itu adalah sebuah akad nikah?! Bukankah itu pengakuan bahwa wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah itu adalahh seorang isrti, zawjah?! Sekali lagi, terjadinya pemansukhan -dalam pandangan mereka- adalah bukti nyata bahwa yang dimansukh itu adalah nikah!

2. Tafsiran para ulama dan para mufassir Sunni terhadap ayat surah An Nisaa’ bahwa yang dimaksud adalah nikah Mut’ah adalah bukti nyata bahwa akad Mut’ah adalah akad nikah dalam Islam.
3. Nikah Mut’ah telah dibenarkan adanya di masa hidup Nabi saw. oleh para muhaddis terpercaya Sunni, seperti Bukhari, Muslim, Abu Daud dll.

4. Ada ketetapan emas kawin, mahar dalam nikah Mut’ah adalah bukti bahwa ia adalah sebuah akad nikah. Kata أُجُوْرَهُنَّ (Ujuurahunna=mahar mereka). Seperti juga pada ayat-ayat lain yang berbicara tentang pernikahan.
Perhatikan ayat 25 surah An Nisaa’, ayat 50 surah Al Ahzaab(33) dan ayat 10 surah Al Mumtahanah (60). Pada ayat-ayat di atas kata أُجُوْرَهُنَّ diartikan mahar.
Ayat Kedua dan Ketiga:
Allah SWT berfirman:

وَلَكُمْ نِصْفُ ما تَرَكَ أَزْواجُكُمْ. (النساء:12

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu.” (QS:3;12)
Dan

وَ إِذا طَلَّقْتُمُ النِساءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ. (الطلاق:1

“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaknya kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)iddahnya (yang wajar).” (QS65;1).

Keterangan:
Ringkas syubhat mereka dalam masalah ini ialah bahwa seorang istri itu dapat mewarisi suaminya, dan dapat diceraikan dan baginya hak mendapatkan nafkah dari suami. Semua ini adalah konsekuensi ikatan tali pernikahan. Sementara itu, dalam kawin Mut’ah hal itu tidak ada, seorang istri tidak mewarisi suaminya, dan hubungan itu berakhir dengan tanpa talak/tidak melalui proses penceraian, dan tiada atas suami kewajiban nafkah. Maka dengan memperhatikan ini semua Mut’ah tidak dapat disebut sebagai akad nikah, dan wanita itu bukanlah seorang istri!

Tanggapan Atas Syubhat di Atas.
1. Syarat yang diberlakukan dalam akad Mut’ah sama dengan yang diberlakukan dalam nikah daim (permanen), sebagimana dalam nikah daim disyaratkan beberapa syarat, seperti, harus baligh, berakal (waras jiwanya), bukan berstatus sebagai hamba sahaya, harus ada saling rela, dan …demikian pula dalam nikah Mut’ah tanpa ada sedikitpun perbedaan. Adapun masalah talak, dan saling mewarisi, misalnya, ia bukan syarat sahnya akad pernikahan… ia adalah rentetan yang terkait dengannya dan tetap dengan tetap/sahnya akad itu sendiri. Oleh sebab itu hal-hal di atas tidak disebutkan dalam akad. Ia berlaku setelah terjadi kematian atau penceraian. Seandainya seorang istri mati tanpa meninggalkan sedikitpun harta waris, atau ia tidak diceraikan oleh suaminya hingga ia mati, atau suami menelantarkan sebagian kewajibannya, maka semua itu tidak merusak kebashan akad nikahnya. Demikian pula tentang nafkah dan iddah.

2. Redaksi akad yang dipergunakan dalam nikah daim tidak berbeda dengan yang dipergunakan dalam nikah Mut’ah, hanya saja pada Mut’ah disebutkan jangka waktu tertentu.

3. Antara dua ayat yang disebutkan dengan ayat Mut’ah tidak ada sedikit pertentangan. Anggapan itu hanya muncul karena ketidak fahaman semata akan batasan Muthlaq (yang mutlak tanpa ikatan) dan Muqayyad (yang diikat), yang umum dan yang khusus. Karena sesungguhnya ayat Mut’ah itu mengkhususkan ayat tentang pewarisan dan talak.

4. Adapun anggapan bahwa seorang wanita yang dinikahi dengan akad nikah Mut’ah itu bukan seorang istri, maka anggapan itu tidak benar karena:
A. Sebab pewarisan itu bukanlah konsekuensi yang berkalu selamanya dalam pernikahan, yang tidak dapat berpisah sama sekali. Di sana ada pengecualian- pengecualian. Seorang wanita ditetapkan sebagai sitri namun demikian ia tidak mewairisi suaminya, seperti seorang istri yang berbeda agama (Kristen misalnya) dengan suaminya (Muslim), atau istri yang membunuh suaminya, atau seorang wanita yang dinikahi seorang laki-laki dalam keadaan sakit kemudian suami tersebut mati sebelum sempat berhubungan badan dengannya, atau apabila istri tersebut berstatus sebagai budak sahaya… bukankan dalam contoh kasus di atas wanita itu berstaus sebagai isri, namun demikian -dalam syari’at Islam- ia tidak mewarisi suaminya.
B. Ayat tentang warisan (ayat 12 surah An Nisaa’) adalah ayat Makkiyah sementara ayat Mut’ah adalah madaniyah. Maka bagaimana mungkin yang menasakh turun lebih dahulu dari yang dimansukh?!

5. Adapun anggapan bahwa ia bukan seorang istri sebab tidak ada keharusan atas suami untuk memberi nafkah, maka anggapan ini juga tidak tepat, sebab:
A. Nafkah, seperti telah disinggung bukan konsekusensi pasti/tetap berlaku selamanya atas seorang suami terhadap istrinya. Dalam syari’at Islam, seorang istri yang nasyizah (memberontak kepada suaminya, tidak mau lagi berumah tangga), tiada kewajiban atas suami memberinya nafkah. Demikian disepakati para ulama dari seluruh mazhab.
B. Dalam akad Mut’ah sekali pun, kewajiban nafkah tidak selamanya gugur. Hal itu dapat ditetapkan berdasarkan syarat yang disepakati antara keduannya. Demikian diterangkan para fuqaha’ Syi’ah.

6. Adapun anggapan karena ia tidak harus melakukan iddah (menanti janggak waktu tertentu sehingga dipastikan ia tidak sedang hamil dari suami sebelumnya = tiga kali masa haidh) maka ia bukan seoarng istri. anggapan ini adalah salah, dan sekedar isu palsu, sebab seorang wanita yang telah berakhir janggka waktu nikah Mut’ah yang telah ditentukan dan disepakati oleh keduanya, ia tetap wajib menjalani proses iddah. Dalam fikih Syi’ah para fuqaha’ Syi’ah menfatwakan bahwa masa iddah atasnya adalah dua kali masa haidh.

7. Adapun anggapan bahwa ia bukan seorang istri sebab ia berpisah dengan suaminya tanpa melalui proses perceraian, sementara dalam Al qur’an ditetapkan hukum perceraian bagi suami istri yang hendak berpisah. Maka hal itu tidak benar, sebab:
A. Perceraian bukan satu-satunya yang merusak akad penikahan. Seorang istri dapat saja berpisah dengan suaminya dengan tanpa perceraian, seperti pada kasus, apabila istri tersebut murtad, atau apabila ia seorang hamba sahaya kemudian ia dijual oleh tuannya, atau istri yang masih kanak-kanak, kemudian istri suami tersebut menyusuinya (sehingga ia menjadi anak susunya), atau ketika ibu suami itu menyusui anak istrinya… Atau istri seorang laki-laki yang murtad, atau istri yang terbukti terdapat padanya cacat, ‘uyuub yang menyebabkan gugurnya akad nikah, seperti apabila istri itu ternyata seorang wanita gila dan …. Bukankah dalam semua kasus di atas istri itu berpisah dari suaminya tanpa melalui proses talak?!
B. Seorang wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah tidak berarti selamanya menjadi monopoli suami itu yang tidak akan pernah bisa berpisah. Dalam nikah Mut’ah ketetapan tentang waktu berada di tangan si wanita dan pri itu. Merekalah yang menetukan jangka waktu bagi pernikahan tersebut.
C. Kedua ayat itu tidak mungkin dapat menasikhkan hukum nikah Mut’ah yang disepakati kaum Muslim (Sunni-Syi’ah) akan adanya di awal masa Islam.
Dan saya cukupkan dengan memaparkan contoh-contoh ayat yang diasumsikan sebagai penasakh hukum nikah Mut’ah yang telah ditetapkan dalam Ayat Mut’ah (ayat 24 surah An Nisaa’).

Dalil Sunnah.
Adapun bukti dari sunnah Nabi saw. bahwa nikah mut’ah pernah disyari’atkan dalam Islam dan tidak pernah dimansukhkan oleh sesuatu apapun adalah banyak sekali, di antaranya ialah apa yang diriwayatkan “Imraan ibn Hushain” yang menegaskan bahwa ayat di atas turun berkaitan dengan hukum nikah mut’ah dan ia tetap, muhkam (berlaku) tidak dimansukhkan oleh sesuatu apapun sampai Umar mengharamkannya. Selain riwayat dari “Imraan ibn Hushain”, sahabat-sabahat lain seperti Jabir ibn Abdillah, Salamah ibn al-Akwa’, Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Akwa’ ibn Abdullah, seperti diriwayatkan hadis-hadis mereka oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dan juga Imam Muslim dalam Shahihnya juga menegaskan disyari’atkannya nikah mut’ah. Al-hasil, hadis tentang pernah disyari’atkannya bahkan masih tetap dihalalkannya nikah mut’ah banyak sekali dalam buku-buku hadis andalan Ahlusunah.

Hukum Nikah Mut’ah Tidak Pernah Dimansukhkan.
Para Imam suci Ahlubait as., dan tentunya juga para pengikut setia mereka (Syi’ah Imamiyah) meyakini bahwa nikah mut’ah masih tetap disyari’atkan oleh Islam dan ia halal sampai hari kiamat tiba, tidak ada sesuatu apapun yang menggugurkan hukum dihalalkannya.

Dan seperti telah Anda baca sebelumnya bahwa nikah mut’ah pernah disyari’atkan Islam; Alqur’an turun untuk membenarkan praktik nikah tersebut, Nabi saw. mengizinkan para sahabat beliau melakukannya, dan beliau juga memerintahkan juru penyampai untuk mengumandangkan dibelohkannya praktik nikah mut’ah. Jadi atas yang mengaku bahwa hukum nikah mut’ah yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya itu sekarang dilarang, maka ia harus mengajukan bukti.

Sementara itu, seperti akan Anda saksikan nanti, bahwa klaim adanya pengguguran (pe-mansuk-han) hukum tersebut adalah tidak berdasar dan tidak benar, ayat-ayat Alqur’an yang kata mereka sebagai pemansukh ayat mut’ah tidak tepat sasaran dan hanya sekedar salah tafsir dari mereka, sedangkan hadis-hadis yang mereka ajukan sebagai bukti adanya larangan juga centang perentang, saling kontradiksi, di samping banyak darinya yang tidak sahih. Di bawah ini akan saya sebutkan beberapa hadis yang tegas-tegas mengatakan bahwa nikah mut’ah adalah halal dan tidak pernah ada hukum Allah SWT yang mengharamannya.

Hadis Pertama: Hadis Abdullah ibn Mas’ud.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Qais ibn Abi Hazim ia mendengar Abdullah ibn Mas’ud ra. berkata:
“Kami berperang keluar kota bersama Rasulullah saw., ketika itu kami tidak bersama wanita-wanita, lalu kami berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami mengebiri diri?”, maka beliau melarang kami melakukannya lalu beliau mengizinkan kami mengawini seorang wanita dengan mahar (emas kawin) bitstsaub, sebuah baju. Setelah itu Abdullah membacakan ayat:

يَا أَيُّها الذِيْنَ آمَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا طَيِّباتِ ما أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ وَ لاَ تَعْتَدُوا، إِنَّ اللهَ لا يُحِبُّ المعْتَدِيِنَ.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan jangan kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.(QS:5;87)“.

Hadis di atas dapat Anda temukan dalam:
1. Shahih Bukhari:
Kitabut tafsir, bab Qauluhu Ta’ala يَا أَيُّها الذِيْنَ آمَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا طَيِّباتِ ما أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ . xxxx [7]
Kitabun Nikah, bab Ma Yukrahu minat Tabattul wal Khashbaa’. [8]
2. Shahih Muslim:
Kitabun Nikah, bab Ma Ja’a fi Nikah al-Mut’ah [9]
Ketika menerangkan hadis di atas, Ibnu Hajar dan al-Nawawi mengatakan:
“kata-kata ‘beliau mengizinkan kami mengawini seorang wanita dengan mahar (emas kawin) sebuah baju’ sampai jangka waktu tertentu dalam nikah mut’ah… .” Ia juga mengatakan bahwa pembacaan ayat tersebut oleh Ibnu Mas’ud adalah isyarat kuat bahwa beliau meyakni dibolehkannya nikah mut’ah, seperti juga Ibnu Abbas.

Hadis Kedua: Hadis Jabir Ibn Abdillah dan Salamah ibn al-Akwa’ ra.
A. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Hasan ibn Muhammad dari Jabir ibn Abdillah dan Salamah ibn Al-Akwa’ keduanya berkata:
“Kami bergabung dalam sebuah pasukan, lalu datanglah rasul (utusan) Rasulullah sa., ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw. telah mengizinkan kalian untuk menikah mut’ah, maka bermut’ahlah kalian.”
Hadis di atas dapat Anda baca dalam:
1. Shahih Bukhari: Kitabun Nikah, bab Nahyu Rasulillah saw ‘An-Nikah al-Mut’ah ‘Akhiran. [10]
2. Shahih Muslim: Kitabun Nikah, bab Nikah al-Mut’ah. [11]
B. Jabir ibn Abdillah dan Salamah ibn al-Akwa’: Sesungguhnya Rasulullah saw. datang menemui kami dan mengizinkan kami untuk bermut’ah. [12]

Hadis Ketiga: Hadis Jabir ibn Abdillah:
A. Muslim meriwayatkan dari Atha’, ia berkata:
“Jabir ibn Abdillah datang untuk umrah, lalu kami mendatanginya di tempat tinggalnya dan orang-orang bertanya kepadanya banyak masalah, kemudian mereka menyebut-nyebut mut’ah, maka Jabir berkata, “Kami bermut’ah di masa Rasulullah saw., masa Abu Bakar dan masa Umar.” [13]
B. Dari Abu Bashrah, ia berkata:
“Aku berada di sisi Jabir lalu datanglah seseorang dan berkata, ” Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair berselisih tentang dua jenis mut’ah”. Jabir berkata,” Kami melakukannya bersama Rasululah saw., kemudian Umar melarang melaksanakan keduanya, maka kami tidak kembali (melakukannya) lagi.” [14]
C. Abu Zubair berkata, “Aku mendengar Jabir ibn Abdillah berkata:
“Kami bermut’ah dengan emas kawin (mahar) segenggam kurma dan tepung untuk jangka waktu beberapa hari di masa Rasulullah saw. dan masa Abu Bakar, sampai Umar melarangnya kerena kasus Amr ibn Huraits.” [15]

Ibnu Jakfari berkata:
Jelaslah bahwa maksud Jabir dengan ucapannya bahwa “Kami bermut’ah di masa Rasulullah…”, “Kami melakukannya bersama Rasululah saw” bukanlah bahwa saya sendirian melakukannya hanya sekali saja, akan tetapi ia hendak menjelaskan bahwa kami (saya dan rekan-rekan sahabat Nabi saw.) melakukannya banyak kali, dan dengan sepengetahuan Nabi saw., beliau membenarkannya dan tidak melarangnya sampai beliau dipanggil Allah SWT ke alam baqa’. Dan ini adalah bukti kuat bahwa tidak pernah ada pengharaman dari Allah dan Rasul-Nya, nikah mut’ah tetap halal hingga hari kiamat, sebab “halalnya Muhammad saw. adalah halal hingga hari kiamat dan haramnya Muhammad adalah haram hingga hari kiamat”, kecuali jika kita meyakini bahwa ada nabi baru setelah Nabi Muhammad saww dan ada wahyu baru yang diturunkan Jibril as. setelah sempurnanya agama Islam.

Adapun arahan sebagian ulama, seperti al-Nawawi yang mengatakan bahwa para sahabat mulia itu mempraktikan nikah mut’ah di masa hidup Nabi saw. dan juga di masa kekhalifahan Abu Bakar dan beberapa tahun masa kekhalifahan Umar itu dikarenakan mereka belum mengetahui pemansukhan hukum tersebut, adalah ucapan tidak berdasar, sebab bagainama mungkin pemansukhan itu samar atas para sahabat itu -dan tidak jarang dari mereka yang dekat persahabatannya dengan Nabi saw.-, sementara pemansukhan itu diketahui oleh sahabat-sabahat “cilik” seperti Abdullah ibn Zubair atau yang lainnya?!

Bagaimana mungkin juga hukum pengharaman mut’ah itu juga tidak diketahui oleh Khalifah Umar, sehingga ia membiarkan praktik nikah mut’ah para sabahat, dan baru sampai kepadanya berita pemansukhan itu di masa akhir kekhalifahannya?! Ketika menerangkan ucapan Jabir, “sampai Umar melarangnya”, Al-Nawawi berkata, “Yaitu ketika sampai kepadanya berita pemansukhan.”[16]

Selain itu jelas sekali dari ucapan Jabir bahwa ia menisbatkan pengharaman/ larangan itu kepada Umar “sampai Umar melarangnya kerena kasus Amr ibn Huraits”. Jadi larangan itu bukan datang dari Allah SWT dan Rasul-Nya, ia datang dari Khalifah Umar dalam kasus Amr ibn Huraits. Umar sendiri seperti telah Anda baca dalam pidatonya menegakan bahwa dua jenis mut’ah itu ada di masa Rasululah saww. dan beliau menghalalkannya, namun ia (Umar) melarangnya!

Coba Anda perhatikan hadis di bawah ini: Al-Baihaqi meriwayatkan dalam as-Sunan al-Kubranya dari Abu Nadhrah dari Jabir ra.:
saya (Abu Nadhrah) berkata, ” Sesungguhnya Ibnu Zubair melarang mut’ah dan Ibnu Abbas memerintahkannya”. Maka jabir berkata, “Di tangan sayalah hadis ini berputar, kami bermut’ah bersama Rasulullah saw. dan Abu Bakar ra. dan ketika Umar menjabat sebagai Khalifah ia berpidato di hadapan orang-orang, “Hai sekalian manusia, sesungguhnya Rasulullah saw. adalah Rasul utusan Allah, dan Alqur’an adalah Alqur’an ini. Dan sesungguhnya ada dua jenis mut’ah yang berlaku di masa Rasulullah saw., tapi aku melarang keduanya dan memberlakukan sanksi atas keduanya, salah satunya adalah nikah mut’ah, dan saya tidak menemukan seseorang yang menikahi wanita dengan jangka tertentu kecuali saya lenyapkan dengan bebatuan. Dan kedua adalah haji tamattu’, maka pisahkan pelaksanaan haji dari umrah kamu karena sesungguhnya itu lebih sempurna buat haji dan umrah kamu.” [17]

Dan selain hadis yang telah disebutkan di atas masih banyak hadis-hadis lain yang sengaja saya tinggalkan, sebab apa yang telah disebut sudah cukup mewakili.
Dan kini mari kita meyimak hadis-hadis yang mengharamkan nikah Mut’ah.

Riwayat-riwayat Pengharaman Nikah Mut’ah.
Setelah kita simak sekelumit hadis yang menerangkan tetap berlakunya hukum kehalalan nikah mut’ah, maka sekarang kami akan mencoba menyajikan beberapa hadis terkuat yang dijadikan hujjah oleh mereka yang meyaniki bahwa hukum halalnya nikah mut’ah telah dimansukhkan.

Sebelumnya perlu diketahui bahwa kasus pengharaman nikah mut’ah -dalam pandangan yang mengharamnkan- adalah terbilang kasus aneh yang tidak pernah dialami oleh satu hukum Islam lainnya, yaitu dihalalkan kemudian diharamkan, kemudian dihalalkan dan kemudian diharamkan lagi. Dan sebagiannya hanya berlangsung beberapa hari saja. [18]

Imam Muslim dalam kitab Shahihnya menulis sebuah judul, “Bab Nikah-ul Mut’ah wa Bayaanu ‘Annahu Ubiiha Tsumma Nusikha Tsumma Ubiiha Tsumma Nusikha wa istaqarra Tahriimuhu Ila yaumil Qiyamah (Bab tentang Nikah mut’ah dan keterangan bahwa ia dibolehkan kemudian dimansukkan kemudian dibolehkan kemudian di mansukhkan dan tetaplah pengharaman hingga hari kiamat)”.

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir mengatakan, “Imam Syafi’i dan sekelompok ulama berpendapat bahwa nikah mut’ah dibolehkan kemudian dimansukhkan kemudian dibolehkan kemudian dimansukhkan, dua kali.” [19]
Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan:
“Masalah kesepuluh: para ulama berselisih pendapat berapa kali ia dibolehkan dan mansukhkan… ia mengatakan bahwa mut’ah pada awalnya dilarang kemudian dibolehkan kemudian Nabi melarang pada perang Khaibar kemudian mengizinkan lagi pada fathu Makkah kemudian mengharamkannya setelah tiga hari berlaku dan ia haram hingga hari kiamat. Ibnu al-Arabi berkata: “Adapun nikah mut’ah ia termasuk hukum syari’at yang aneh sebab ia dibolehkan pada awal masa Islam kemudian diharamkan pada perang Khaibar kemudian dibolehkan pada perang Awthas kemudian di haramkan setelah itu dan tetaplah pengharaman, dan tidak ada yang menyamainya kecuali masalah kiblat… ulama lain yang telah merangkum hadis-hadis masalah ini mengatakan ia meniscayakan adanya penghalalan dan pengharaman sebanyak tujuh kali…”. [20]

Kemudian ia menyebutkan tujuh peristiwa dan kesempatan penghalalan dan pengharaman nikah mut’ah tersebut yang terbilang aneh yang tetuntunya mengundang kecurigaan akan kebenarnnya itu. Sebab kesimpulan ini diambil sebenarnya karena mereka menerima sekelompok hadis yang mengharamkan nikah tersebut, sementara hadis-hadis itu tidak sepakat dalam menyebutkan waktu ditetapkannya pengharaman, akaibatnya harus dikatakan bahwa ia terjadi bebarapa kali. Hadis-hadis tentangnya dapat kita kelompokkan dalam dua klasifikasi global,
pertama, hadis-hadis yang dipandang lemah dan cacat baik sanad maupun matannya oleh para pakar dan ulama Ahlusunnah sendiri. Hadis-hadis kelompok ini tidak akan saya sebutkan dalam kajian kali ini, sebab pencacatan para pakar itu sudah cukup dan tidak perlu lagi tambahan apapun dari saya, dan sekaligus sebagai penghematan ruang dan pikiran serta beban penelitian yang harus dipikul.

Kedua, hadis-hadis yang disahihkan oleh para ulama Ahlusunnah, namun pada dasarnya ia tidak sahih, ia lemah bahkan sangat kuat kemungkinan ia diproduksi belakangan oleh para sukarelawan demi mencari “keridhaan Allah SWT”, hasbatan, untuk mendukung dan membenarkan kebijakan para khulafa’.
Dan untuk membuktikan hal itu saya perlu melakukan uji kualitas kesahihan hadis sesuai dengan kaidah-kaidah yang dirancang para pakar dan ulama.

Hadis Pertama:
Dalam Shahih Muslim, Sunan al-Nasa’i, al-Baihaqi dan Mushannaf Abdir Razzaq, (dan teks yang saya sebutkan dari Mushannaf) dari Ibnu Syihab al-Zuhri, dari Abdullah dan Hasan keduanya putra Muhammad ibn Ali (Hanafiyah) dari ayah mereka, bahwa ia mendengar Ali berkata kepada Ibnu Abbas, “Sesungguhnya kamu benar-benar seorang yang taaih (bingung dan menyimpang dari jalan mustaqiim), sesungguhnya Rasulullah saw. telah melarangnya (nikah mut’ah) pada hari peperangan Khaibar dan juga mengharamkan daging keledai jinak.” [21]

Hadis di atas dengan sanad yang sama dan sedikit perbedaan dalam redaksinya dapat Anda jumpai dalam Shahih Bukhari, Sunan Abu Daud, Ibnu Majah, al-Turmudzi, al-Darimi, Muwaththa’ Imam Malik, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, Musnad Ahmad dan al-Thayalisi dll.[22] 

Hadis kedua:
Para muhaddis meriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghiffari ra. bahwa ia berkata:
“Sesungguhnya nikah mut’ah itu hanya dihalalkan khusus untuk kami para sahabat Rasulullah saw. untuk jangka waktu tiga hari saja kemudian setelahnya Rasulullah saw. melarangnya.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Itu dibolehkan karena rasa takut kita dan karena kita sedang berperang.” [23]

Hadis Ketiga:
Dalam Shahih Muslim, Sunan al-Darimi, Ibnu Majah, Abu Daud, dan lainnya (redaksi yang saya sebutkan in dari Muslim) dari Saburah al-Juhani, sesungguhnya ia berperang bersama Rasulullah saw. menaklukkan kota Mekkah. Ia berkata,
“Kami tinggal selama lima belas hari (tiga puluh malam dan siang), maka Rasulullah saw. mengizinkan kami menikahi wanita dengan nikah mut’ah. Lalu saya dan seseorang dari kaumku keluar, dan aku memiliki kelebihan ketampanan di banding dia, ia sedikit jelek, masing-masing kami membawa selimut, selimutku agak jelek adapun selimut miliknya baru, sampailah kami dibawah lembah Mekkah atau di atasnya, kami berjumpa dengan seorang wanita tinggi semanpai dan lincah, kami berkata kepadanya, “Apakah Anda sudi menikah mut’ah dengan salah seeoarng dari kami?” wanita itu bertanya, “Apa yang akan kalian berikan sebagai mahar?”. Maka masing-masing dari kami membeberkan selimutnya, wanita itu memperhatikan kami, dan ia melihat bahwa temanku memperhatikan dirinya dari kaki hingga ujung kepala, temanku berkata, “Selimut orang ini jelek sedangkan selimutku baru”. Kemudian wanita itu megatakan, “Selimut orang itu lumayan. Ia ucapkan dua atau tiga kali. Kemudian saya menikahinya dengan nikah mut’ah, dan aku belum menyelesaikan jangka waktuku melainkan Rasululah saw. telah mengharamkannya. [24]

Dalam riwayat lain: Rasulullah saw. bersabda, “Hai manusia! Sesungguhnya aku telah mengizinkan kalian bermut’ah dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sekarang hingga hari kiamat.” [25]

Dalam riwayat lain: “Aku menyaksikan Rasulullah berdiri diantara rukun dan maqam (dua sudut ka’bah) sambil bersabda…. (seperti sabda di atas)”. [26]

Dalam riwayat lain: “Rasululah memerintah kami bermut’ah pada tahun penaklukan kota Mekkah ketika kami memasuki kota tersebut, kemudian kami tidak keluar darinya melainkan beliau telah melarangnya”. [27]
Dalam riwayat lain: “Aku benar-benar telah bermut’ah di masa Rasulullah saw. dengan seorang wanita dari suku bani ‘Amir dengan mahar dua helai selimut berwarna merah kemudian Rasulullah saw. melarang kami bermut’ah”. [28]

Dalam riwayat lain: “Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang nikah mut’ah pada Fathu Makkah”. [29]
Dalam riwayat lain: “Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang mut’ah, beliau bersabda, “Sesungguhnya ia haram sejak hari ini hingga hari kiamat”. [30]

Dalam Sunan Abu Daud, al-Baihaqi dan lainnya diriwayatkan dari Rabi’ ibn Saburah, ia berkata, “Aku bersaksi atas ayahku bahwa ia menyampaikan hadis bahwa Rasulullah saw. melarang nikah mut’ah pada haji wada“. [31]

Dalam riwayat lain: “Rasulullah saw. melarang nikah mut’ah pada fathu Mekkah”. [32]

Hadis Keempat:
Dalam Shahih Muslim, Mushannaf Ibn Abi Syaibah, Musnad Ahmad dan lainya (dan redaksi yang saya kutip adalah dari Muslim) diriwayatkan dari Salamah ibn al-Akwa’, ia berkata, “Rasulullah saw. mengizinkan pada tahun perang Awthas untuk bermut’ah selama tiga hari kemudian beliau melarangnya.” [33] Awthas adalah lembah di kota Thaif. Dan perlu Anda ketahui bahwa peristiwa Awthas terjadi beberapa bulan setelah fathu Mekkah, walaupun dalam tahun yang sama. [34]

Inilah beberapa hadis yang menjadi andalah dan sandaran terkuat pengharaman nikah mut’ah oleh Nabi saw. dan saya berusaha meriwayatkannya dari sumber-sumber terpercaya. Dan kini mari kita telaah hadis-hadis di atas tersebut.

Tentang hadis Imam Ali as. Ada pun tentang hadis Imam Ali as. yang diriwayatkan Zuhri melalui dua cucu Imam Ali as.; Abdullah dan Hasan putra Muhammad ibn Ali as. yang mendapat sambutan luar biasa sehingga hampir semua kitab [35] hadis berebut “hak paten” dalam meriwayatkannya, -tidak seperti biasanya dimana kitab- kitab itu kurang antusias dalam meriwayatkan hadis-hadis dari beliau as. dan tidak memberikan porsi layak bagi hadis-adis Imam Ali as. seperti porsi yang diberikan kepada riwayat-riwayat para sahabat yang berseberangan dengan beliau dan yang diandalkan oleh para penentang Ali as. dan Ahlulbait Nabi saw.-.

Adapun tentang hadis Imam Ali di atas maka ada beberapa hal yang perlu Anda ketahui tentangnya.
Pertama,
ia dari riwayat Zuhri, nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab Az Zuhri lahir pada tahun 58 H dan wafat tahun 124H. Ia dekat sekali dengan Abdul Malik bin Marwan dan Hisyam bin Abdul Malik dan pernah dijadikan qodhi (jaksa) oleh Yazid bin Abdul Malik. Ia dipercaya Hisyam menjadi guru privat putra-putra istana. Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzib-nya [36] menyebutkan, “Hisyam memerintahnya untuk mengajarkan kepada putra-putranya hadis, lalu ia mendektekan empat ratus hadis”.
Tampaknya Zuhri sangat diandalkan untuk meramu riwayat demi mendukung kepentingan rezim bani Umayyah yang berkuasa saat itu dengan menyajikan riwayat-riwayat yang berseberangan dengan ajaran Ahlulbait as. namun justru dia sajikan dengan menyebut nama para pemuka Ahlulbait as. sendiri, atau riwayat-riwayat yang justru melecehkan keagungan Ahlulbait as., namun sekali lagi ia sajikan dengan mengatas-namakan pribadi-pribadi agung Ahlulbait as., seperti tuduhannya melalui riwayat yang ia produksi bahwa Imam Ali dan Fatimah as. melakukan tindakan kekafiran dengan menentang Nabi saw. Zuhri tampaknya memilih spesialisasi dalam bidang ini. Dan adalah aneh seorang Zuhri yang dikenal benci kepada Imam Ali as. tiba-tiba sekarang tampil sebagai seorang muhaddis yang sangat peduli dalam menyampaikan riwayat-riwayat dari Ali as.
Ibnu Abi al-Hadid, ketika menyebut nama-nama para perawi yang membenci Imam Ali as, ia menyebut, “Dan Zuhri adalah termasuk yang menyimpang dari Ali as”. [37]
Sufyan bin Wakii’ menyebutkan bahwa Zuhri memalsukan banyak hadis untuk kepentingan Bani Marwan. Ia bersama Abdul Malik melaknat Ali as. Asy-Syadzkuni meriwayatkan dari dua jalur sebuah berita yang menyebutkan bahwa Zuhri pernah membunuh seorang budaknya tanpa alasan yang dibenarkan. [38]

Kedua,
terlepas dari penilaian kita terhadap kualitas salah satu mata rantai perawi dalam hadis tersebut yang telah Anda baca, maka di sini ada beberapa catatan yang perlu Anda perhatikan. Pertama: Dalam hadis tersebut ditegaskan bahwa Imam Ali as. menegur dan menyebut Ibnu Abbas ra. sebagai seorang yang menyimpang karena ia masih menghalalkan nikah mut’ah padahal nikah tersebut telah diharamkan pada peristiwa peperangan Khaibar. Selain nikah mut’ah, daging keledai jinak juga diharamkan saat itu. Jadi menurut Imam Ali as. keduanya diharamkan pada peristiwa tersebut.

Di sini kita perlu meneliti kedua masalah ini, akan tetapi karena yang terkait dengan masalah kita sekarang adalah nikah mut’ah maka telaah saya akan saya batasi pada pengharaman nikah mut’ah pada hari Khaibar.

Pengharaman nikah Mut’ah pada hari Khaibar.
Pengharaman Nabi saw. atas nikah mut’ah pada peristiwa Khaibar, seperti ditegaskan para ulama Ahlusunnah sendiri, seperti Ibnu Qayyim, Ibnu Hajar dkk. tidak sesuai dengan kanyataan sejarah, sebab beberapa tahun setelah itu nikah mut’ah masih dibolehkan oleh Nabi saw., seperti contoh pada tahun penaklukan kota Mekkah. Oleh karenanya sebagian menuduh Imam Ali as. bodoh dan tidak mengetahui hal itu, sehingga beliau menegur Ibnu Abbas dengan teguran yang kurang tepat, sebab, kata mereka semestinya Imam Ali as. berhujjah atas Ibnu Abbas dengan pengharaman terakhir yaitu pada penaklukan kota Mekkah agar hujjah sempurna, dan kalau tidak maka hujjah itu tidak mengena[39]

Selain itu, dalam peristiwa penyerangan ke kota Khaibar, tidak seorangpun dari sahabat Nabi saw. yang bermut’ah dengan wanita-wanita yahudi, dan mereka tidak juga memohon izin kepada Nabi saw. untuk melakukannya. Tidak seorangpun menyebut-nyebut praktik sabahat dan tidak ada sebutan apapun tentang mut’ah. Di kota Khaibar tidak ada seorang wanita muslimahpun sehingga sah untuk dinikahi secara mut’ah, sementara dihalalkannya menikah dengan wanita yahudi itu belum disyari’atkan, ia baru disyari’atkan setelah haji wada’ dengan firman Allah ayat 5 surah al-Maidah. Demikian ditegaskan Ibnu Qayyim dalam Zaad al-Ma’aad. [40]

Ketika menerangkan hadis Imam Ali as. dalam kitab al-Maghazi, bab Ghazwah Khaibar, Ibnu Hajar al-Asqallani menegaskan, “Dan kata pada hari Khaibar bukan menunjukkan tempat bagi diharamkannya nikah mut’ah, sebab dalam ghazwah (peperangan) itu tidak terjadi praktik nikah mut’ah”. [41]
Ibn Hajar juga menukil al-Suhaili sebagai mengatakan, “Dan terkait dengan hadis ini ada peringatan akan kemusykilan, yaitu sebab dalam hadis itu ditegaskan bahwa larangan nikah mut’ah terjadi pada peperangan Khaibar, dan ini sesuatu yang tidak dikenal oleh seorangpun dari ulama pakar sejarah dan perawi atsar/data sejarah. [42]

Al-hasil, hadis tersebut di atas tegas-tegas mengatakan bahwa pada peristiwa Khaibar Nabi mengharamkan nikah mut’ah dan juga keledai, Ibnu Hajar berkomentar, “Yang dzahir dari kata-kata (dalam hadis itu) pada zaman Khaibar adalah menunjuk waktu pengharaman keduanya (mut’ah dan daging keledai)” [43] , sementara sejarah membuktikan bahwa pada peristiwa itu sebenarnya tidak terjadi pengharaman, sehingga untuk menyelamatkan wibawa hadis para muhadis agung itu, mereka meramu sebuah solusi yang mengatakan bahwa hadis Imam Ali as. itu hanya menujukkan pengharaman keledai saja, adapun pengharaman nikah mut’ah sebenarnya hadis itu tidak menyebut-nyebutnya barang sedikitpun!

Penafsiran nyeleneh ini disampaikan oleh Sufyaan ibnu Uyainah, ia berkata, “Kata-kata (dalam hadis itu) pada zaman Khaibar hanya terkait dengan waktu pengharaman keledai jinak bukan terkait dengan nikah mut’ah.” [44]

Dan upaya untuk mengatakan bahwa hadis itu tidak menunjukkan pengharaman nikah mut’ah pada zaman Khaibar yang dilakukan sebagian ulama hanya karena mereka terlanjur mensahihkan hadis-hadis yang mengatakan bahwa sebenarnya nikah mut’ah itu masih dibolehkan setelah zaman Khaibar. Demikian diungkap oleh Ibnu Hajar. [45]

Akan tetapi arahan itu sama sekali tidak benar, ia menyalahi kaidah bahasa Arab dan lebih mirip lelucon, sebab;
A. Dalam dialek orang-orang Arab dan juga bahasa apapun, jika Anda mengatakan, misalnya:

أَكْرَمْتُ زَيْدًا و عَمْروًا يَوْمَ الجمعةِ

“Saya menghormati Zaid dan ‘Amr pada hari jum’at”.

maka semua orang yang mendengarnya akan memahami bahwa penghormatan kepada keduanya itu terjadi dan dilakukan pada hari jum’at.

Bukan bahwa dengan kata-kata itu Anda hanya bermaksud menghormati ‘Amr saja, sementara terkait dengan pak Zaid Anda tidak maksudkan, penghormatan itu mungkin Anda berikan pada hari lain. Sebab jika itu maksud Anda semestinya Anda mengatakan:

أَكْرَمْتُ زَيْدًا و أَكْرَمْتُ عَمْروًا يَوْمَ الجمعةِ

“Saya menghormati Zaid , dan saya menghormati ‘Amr pada hari jum’at”.

Dalam riwayat itu kata kerja nahaa itu hanya disebut sekali, oleh karena itu ia mesti terkait dengan kedua obyek yang disebutkan setelahnya. Dan saya tidak yakin bawa para ulama itu tidak mengerti kaidah dasar bahasa Arab ini.

B. Anggapan itu bertentangan dengan banyak riwayat hadis Imam Ali as. dan juga dari Ibnu Umar yang diriwayatkan para tokoh muhadis, seperti Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad yang tegas-tegas menyebutkan bahwa waktu pengharaman nikah mut’ah adalah zaman Khaibar. Merka meriwayatkan:

نَهَى رسولُ اللهِ (ص) عن مُتْعَةِ النساءيَومَ خيْبَر، و عن لُحُومِ الحمرِ الإنْسِيَّةِ.

“Rasulullah saw. melarang nikah kmut’ah pada hari Khaibar, dan juga daging keledai”. [46]

Ibnu Jakfari berkata:
Bagaimana kita dapat benarkan riwayat-riwayat kisah pengharaman itu baik di hari Khaibar maupun hari dan kesempatan lainnya, sementara telah datang berita pasti dan mutawatir bahwa Khalifah Umar ra. berpidato mengatakan bahwa dua jenis mut’ah itu ada dan berlaku di masa hidup Nabi saw. akan tetapi saya (Umar) melarang, mengharamkan dan merajam yang melakukan nikahnya:

مُتْعَتانِ كانَتَا على عَهْدِ رَسُول ِاللهِ أنا أَنْهَى عَنْهُما وَ أُعاقِبُ عليهِما : مُتْعَةُ الحج و متعة النِّسَاءِ.

“Ada dua bentuk mut’ah yang keduanya berlaku di sama Rasulullah saw., aku melarang keduannya dan menetepkan sanksi atas (yang melaksanakan) keduanya: haji tamattu’ dan nikah mut’ah. [47]

Bagaiamana dapat kita benarkan riwayat-riwayat itu sementara kita membaca bahwa Jabir ibn Abdillah ra. berkata dengan tegas, “kami bermut’ah di masa Rasulullah saw., masa Abu Bakar dan masa Umar.” [48]
Dalam kesempatan lain ia mengatakan, “Kami bermut’ah dengan emas kawin (mahar) segenggam kurma dan tepung untuk jangka waktu beberapa hari di masa Rasulullah saw. dan masa Abu Bakar, sampai Umar melarangnya kerena kasus Amr ibn Huraits.” [49]

Bagaimana kita dapat menerima riwayat hadis-hadis yang mengatakan bahwa nikah mut’ah telah diharamkan di masa Nabi saw. oleh beliau sendiri, sementara itu Khalifah Umar tidak pernah mengetahuinya, tidak juga Khalifah Abu Bakar dan tidak juga para sahabat dan tabi’in mengetahuinya, bahkan sampai zaman kekuasaan Abdullah ibn Zubair -setelah kematian Yazid ibn Mu’awiyah- dan tidak juga seorang dari kaum Muslim mengetahui riwayat-riwayat sepeti itu. Andai mereka mengetahuinya pasti ia sangat berharga dan sangat mereka butuhkan dalam mendukung pendapat mereka tentang pengharaman nikah mut’ah tersebut.
Dan pastilah para pendukung kekhalifahan akan meresa mendapat nyawa baru untuk membela diri dalam pengharaman sebagai tandingan bukti-bukti sunah yuang selalu di bawakan sahabat-sabahat lain yang menhalalkan nikah mut’ah seperti Ibnu Abbas, Abdullah ibn Mas’ud dan Jabir, misalnya.

Dalam perdebatan yang terjadi antara pihak yang mengharamkan dan pihak yang menhalalkan mereka yang mengharamkan tidak pernah berdalil bahwa Rasulullah saw. telah mengharamkannya di Khaibar… atau pada peristiwa penaklukan kota Mekkah dan lain sebaigainya. Bagaimana mungkin hadis Imam Ali as. dapat kita terima sementara kita menyaksikan bahwa beliau bersabda:

,لَوْ لاَ أَنَّ عُمر نَهَى الناسَ عَنِ المُتْعَةِ ما زَنَى إلاَّ شَقِيٌّ.

“Andai bukan karena Umar melarang manusia melakukan nikah mut’ah pastilah tidak akan berzina kecuali orang yang celaka”.Demikian disebutkan ar Razi dari al-Thabari. [50]

Dan Muttaqi al-Hindi meriwayatkan dari Imam Ali as. beliau bersabda:

لَوْ لا ما سَبَقَ مِنْ نَهْيِ عُمر بن الخطاب لأَمَرْتُ بالمُنْعَةِ، ثُمَّ ما زنى إلا شقي

“Andai bukan karena Umar ibn Khaththab sudah melarang nikah mut’ah pastilah akan aku perintahkan dengannya dan kemudian tidaklah menlakukan zina kecuali orang yang celaka”. [51]

Bagaimana mungkin kita menerima riwayat para ulama itu dari Imam Ali as. yang menegur Ibnu Abbas ra. sementara kita menyaksikan Ibnu Abbas adalah salah satu sahabat yang begitu getol menyuarakan hukum halalnya nikah mut’ah, beliau siap menerima berbagai resiko dan teror dari Abdullah ibn Zubair pembrontak yang berhasil berkuasa setelah kematian Yazid?

Apakah kita menuduh bahwa Ibnu Abbas ra. degil, angkuh menerima kebenaran yang disampaikan maha gurunya; Imam Ali as. sehingga ia terus saja dalam kesesatan pandangannya tentang halalnya nikah mut’ah? Adapun dongeng-dengeng yang dirajut para sukarelawan bahwa Ibnu Abbas bertaubat dan mencabut fatwanya tentang halalnya nikah mut’ah, adalah hal mengelikan setelah bukti-bukti tegak dengan sempurna bahwa ia tetap hingga akhir hayatnya meyakni kehalalan nikah mut’ah dan mengatakannya sebagai rahmat dan kasih sayang Allah SWT untuk hamb-hamba-Nya:

ما كانَتْ المُتْعَةُ إلاَّ رَحْمَةً رَحِمَ اللهُ بِها أُمَّةَ محمد (ص)، لَوْ لاَ نَهْيُهُ (عمر) ما احْتاجَ إلى الزنا إلاَّ شقِي

Tiada lain mut’ah itu adalah rahmat, dengannya Allah merahmati umat Muhammad saw., andai bukan karena larangan Umar maka tiada membutuhkan zina kecuali seorang yang celaka. [52]

Bagaimana dongeng rujuknya Ibnu Abbas ra. dapat dibenarkan sementara seluruh ahli fikih kota Mekkah dan ulama dari murid-muridnya meyakini kehalalan nikah mut’ah dan mengatakan bahwa itu adalah pendapat guru besar mereka?!

Telaah terhadap Hadis Rabi’ ibn Saburah.
Adapun tentang riwayat-riwayat Rabi’ ibn saburah, Anda perlu memperhatikan poin-poin di bawah ini.
Pertama,
seperti Anda saksikan bahwa banyak atau kebanyakan dari riwayat-riwayat para muhadis Ahlusunnah tentang pengharaman nikah mut’ah adalah dari riwayat Rabii’ -putra Saburah al-Juhani- dari ayahnya; Saburah al-Juhani. Hadis-hadis riwayat Saburah al-Juhani tentang masalah ini berjumlah tujuh belas, Imam Muslim meriwayatkan dua belas darinya, Imam Ahmad meiwayatkan enam, Ibnu Majah meriwayatkan satu hadis. Dan di dalamnya terdapat banyak berbeda-beda dan ketidak akuran antara satu riwayat dengan lainnya.
Di antara kontradiksi yang ada di dalamnya ialah:
A. Dalam satu riwayat ia menyebutkan bahwa yang bermut’ah dengan wanita yang ditemui adalah ayahnya, sementara dalam riwayat lain adalah temannya.
B. Dalam sebuah riwayat ia menyebutkan bahwa bersama ayahnya adalah temannya dari suku bani Sulaim, sementara dalam riwayat lain adalah anak pamannya.
C. Dalam beberapa riwayat ia mengatakan bahwa mahar yang diberikan kepada wanita itu adalah sehelai kain selimut, sementara dalam riwayat lainnya ia mengatakan dua selimut berwarna merah.
D. Sebagian riwayatnya mengatakan bahwa wanita itu memilih ayahnya karena ketampanan dan ayahnya masih muda sementara yang lain mengatakan karena selimut ayahnya masih baru.
E. Dalam beberapa riwayat ia mengatakan bahwa ayahnya sempat bersama wanita itu selama tiga hari sebelum akhirnya dilarang Nabi saw. sementara yang lainnya mengatakan bahwa hanya semalam, dan keesokan harinya telah dilarang.
F. Dalam beberapa riwayat ia mengatakan bahwa ayahnya sejak hari pertama kedatangan di kota Mekkah telah keluar mencari wanita yang mau dinikahi secara mut’ah, sementara yang lainnya mengatakan bahwa itu setelah lima belas hari, setelah Nabi saw. mendapat laporan bahwa wanita-wanita di Mekkah tidak mau kecuali nikah dengan jangka waktu, kemudian Nabi saw. mengizinkan dan Saburah pun keluar mencari wanita yang mau dinikahi. Dan masih banyak pertentangan lain yang dapat disaksikan dalam riwayat-riwayat yang dikutip dari Rabi’ ibn Saburah, seperti apakah ayahnya sebelumnya telah mengetahui konsep nikah mut’ah, atau belum, ia baru tahu dan diizinkan Nabi saw. setelah wanita-wanita kota Mekkah enggan kecuali nikah dengan jangka waktu.
Kedua,
disamping itu kita menyaksikan bahwa Saburah ayah Rabi’ -sang perawi- mendapat izin langsung dari Rasulullah saw. untuk bermut’ah, atau dalam riwayat lain Nabi-lah yang memerintah para sahabat beliau untuk bermut’ah dihari-hari penaklukan (fathu) kota Mekkah, dan setelah ia langusng merespon perintah atau izin itu, dan ia mendapatkan pada hari itu juga wanita yang ia nikahi secara mut’ah tiba-tiba keesokan harinya ketika ia salat subuh bersama Nabi saw. beliau berpidato mengharamkan nikah mut’ah yang baru saja beliau perintahkan para sahabat beliau untuk melakukannya, logiskah itu?! Dalam sekejap mata, sebuah hukum Allah SWT berubah-ubah, hari ini memerintahkan keesokan harinya mengharamkan dengan tanpa sebab yang jelas!Tidakkah para pakar kita perlu merenungkan kenyataan ini?!
Ketiga,
terbatasnya periwayatan kisah Saburah hanya pada Rabi’ putranya mengundang kecurigaan, sebab kalau benar ada pe-mansuk-han kehalalan nikah mut’ah pastilah para sahabat besar mengetahuinya, seperti tentang penghalalan yang diriwayatkan oleh para sahabat besar dan dekat.
Keempat,
riwayat Rabi’ ibn Saburah itu bertentangan dengan riwayat para sahabat lain seperti Jabir ibn Abdillah, Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, ‘Imraan ibn Hushain, Salamah ibn al-Akwa’ dan kawan-kawan.
Dan riwayat-riwayat mereka tidak mengahadapi masalah-masalah seperti yang menghadangf riwayat-riwayat Rabi’ ibn Saburah.

Catatan Penting!
Sebenarnya dalam peristiwa itu tidak ada pengharaman yang ada hanya Nabi saw. memerintah para sahabat yang bermut’ah dan jangka waktunya belum habis agar meninggalkan wanita-wanita itu sebab Rasulullah saw. bersama rombongan akan segera meninggalkan kota Mekkah. Akan tetapi para sukarelawan itu memanfaatkan hal ini dan memplesetkannya dengan menambahkan bahwa Nabi berpidato mengharamkannya. Sekali lagi, Nabi saw. hanya memerintahkan para sahabat beliau yang bermut’ah agar menghibahkan sisa waktu nikah mut’ah mereka kepada wanita-wanita itu sebab rombongan segera meninggalkan kota suci Mekkah.

Hal ini dapat Anda temukan dalam riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya, Ahmad dalam Musnadnya, dan al-Baihaqi dalam Sunannya, juga dari Sabrah. Dari Rabi’ ibn sabrah al-Juhani dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah saw. mengizinkan kami bermut’ah, lalu aku bersama seorang berangkat menuju seeorang wanita dari suku bani ‘Amir, wanita itu muda, tinggi semampai berleher panjang, kami menawarkan diri kami, lalu ia bertanya, “Apa yang akan kalian berikan?” Aku menjawab, “Selimutku”. Dan temanku berkata, “Selimutku”. Selimut temanku itu lebih bagus dari selimutku tapi aku lebih muda darinya. Apabila wanita itu memperhatikan selimut temanku, ia tertarik, tapi ketika ia memandangku ia tertarik denganku. Lalu ia berkata, “Kamu dan selimutmu cukup buatku! Maka aku bersamanya selama tiga hari, kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa di sisinya ada seorang wanita yang ia nikahi dengan mut’ah hendaknya ia biarkan ia pergi/tinggalkan”. [53]

Dalam pernyataan itu tidak ada pengharaman dari Nabi saw. Ada pun hadis Abu Dzar, adalah aneh rasanya hukum itu tidak diketahui oleh semua sahabat sepanjang masa hidup mereka sepeninggal Nabi saw. termasuk Abu Bakar dan Umar, hingga sampai dipenghujung masa kekhalifahan Umar, ia baru terbangun dari tidur panjangnya dan mengumandangkan suara pengharaman itu. Jika benar ada hadis dari Nabi saw., dimanakah hadis selama kurun waktu itu.Yang pasti para sukarelawan telah berbaik hati dengan membantu Khalifah Umar ra. jauh setelah wafat beliau dalam memproduksi hadis yang dinisbatkan kepada Nabi saw., agar kebijakan pengharaman itu tidak berbenturan dengan sunah dan ajaran Nabi saw. dan agar Khalifah Umar tampil sebagai penyegar sunah setelah sekian belas tahun terpasung.

Dan kebaikan hati sebagian ulama dan muhadis berhati luhur dengan memalsu hadis bukan hal aneh, dan saya harap anda tidak kaget. Karena memang demikian adanya di dunia hadis kita; kaum Muslim. Tidak semua para sukarelawan yang memalsu hadis orang bejat dan jahat, berniat merusak agama, tidak jarang dari mereka berhati luhur, rajin dan tekun beribadah, hanya saja mereka memiliki sebuah kegemaran memalsu hadis atas nama Rasulullah saw. Dan para sukarelawan model ini adalah paling berbahaya dan mengancam kemurnian agama, sebab kebanyakan orang akan terpesona dan kemudian tertipu dengan tampilan lahiriah yang khusu’ dan simpatik mereka. Demikian ditegaskan ulama seperti Al Nawawi dan Al Suyuthi.

(bersambung )

CATATAN KAKI:
[1] Tafsir Khazin (Lubab al-Ta’wiil).1,506
[2] Shahih Muslim dengan syarah al-Nawawi.9179, bab Nikah al-Mut’ah.
[3] Fathu al-Baari.19,200, Ktaabun- Nikah, bab Nahyu an-Nabi saw. ‘an Nikah al-Mut’ah Akhiran (bab tentang larangan Nabi saw. akan nikah mut’ah pada akhirnya).
[4] Tafsir Fathu al-Qadir.1,449.
[5] Tafsir Ibnu Katsir.1,474.
[6] Ibid.
[7] Fathu al-Baari.17,146, hadis no.4615.
[8] Ibid.19,142-143, hadis no.5075.
[9] Shahih Muslim dengan syarah al-Nawawi.9,182.
[10] Fathu al-Baari.19,206-207, hadis no.5117-5118.
[11] Shahih Muslim dengan syarah al-Nawawi.9,182. hanya saja kata rasul (utusan) diganti dengan kata munaadi (pengumandang pengumuman).
[12] Ibdi.183.
[13] Ibid.183.
[14] Ibdi.184.
[15] Ibid.183-184.
[16] Ibid.183.
[17] Al-Sunan al-Kubra, Kitab al-Mut’ah, Bab Nikah-ul Mut’ah.7,206 dan ia mengatakan bahwa hadis ini juga diriwayatkan Muslim dari jalur lain dari Hummam.
[18] Keterangan lebih lanjut baca Fath al-Baari.19,201 203 dan Syarah al-Nawawi atas Shahih Muslim,9179-180.
[19] Tafsir Ibnu Katsir.1,484, pada tafsir ayat 24 surah al-Nisaa’.
[20] Al-Jaami’ Li Ahkaami Alqur’an.5130-131.
[21] Shahih Muslim (dengan syarah al-Nawawi), Kitab al-Nikah, bab Nikah-ul Mut’ah.9,189-190, dua hadis terakhir dalam bab tersebut, Sunan al-Nasa’i, bab Tahriim al-Mut’ah, Sunan al-Baihaqi, Kitab al-Nikah, bab Nikah al-Mut’ah.7,201, Mushannaf Abdur Razzaq.7,36 dan Majma’ al-Zawaid.4,265.
[22] Bukhari, Kitab al-Maghazi, bab Ghazwah Khaibar, dan bab Nahyu Rasulillah ‘an nikah al-mut’ah akhiran, bab al-hiilah fi al-nikah, Sunan Abu Daud.2,90, bab Tahriim al-Mut’ah, Sunan Ibnu Majah.1,630, Kitab-un Nikah, bab an-nahyu ‘an Nikah al-Mut’ah, hadis no.1961, Sunan al-Turmudzi (dengan syarah al-Mubarakfuuri).4,267-268, bab Ma ja’a fi Nikah al-Mut’ah(27), hadis no.1130 Muwaththa’, bab Nikah mut’ah, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.4,292 Sunan al-Darimi.2,140 bab al-Nahyu ‘an Mut’ah al-Nisa’, Musnad al-Thayalisi hadis no.111 dan Musnad Imam Ahmad.1,79,130 dan142, dan Anda dapat jumpai dalam Fathu al-Baari dalam baba-baba tersebut di atas.
[23] Baca Sunan al-Baihaqi.7,207.
[24] Shahih Muslim.9,185.
[25] Ibid.186.
[26] Ibdi.
[27] Ibid.187.
[28] Ibdi.188-189.
[29] Ibid.187.
[30] Ibid.189.
[31] Abu Daud.2,227, Kitab al-Nikah, bab Nikah al-Mut’ah dan Sunan al-Baihaqi.7,204.
[32] Sunan al-Baihaqi.7,204.
[33] Shahih Muslim.9,184, Mushannaf.4,292, Musnad Ahmad.4,55, Sunan al-Baihaqi.7,204 dan Fath al-Baari.11,73.
[34] Baca Sunan al-Baihaqi.7,204.
[35] Seperti Anda saksikan bahwa hadis tersebut telah saya kutipkan dari empat belas sumber terpercaya.
[36] 9, 449.
[37] Syarh Nahjul Balaghah 1, 371-372.
[38] Ash-Shirath al-Mustaqim.3,245.
[39] Fathu al-Baari.19,202 menukil pernyataan al-Baihaqi.
[40] Zaad al-Ma’aad.2,204, pasal Fi Ibaahati Mut’ati al-Nisaa’i tsumma Tahriimuha (tentang dibolehkannya nikah mut’ah kemudian pengharamannya). Dan keterangan panjang Ibnu qayyim juga dimuat Ibnu Hajar.
[41] Fath al-Baari.16,62. hadis no.4216.
[42] Ibid.19,202.
[43] Ibid.201.
[44] Ibdi.202.
[45] Ibid.
[46] Bukhari Bab Ghazwah Khaibar, hadis no.4216, Kitab al-Dzabaaih, bab Luhuum al-Humur al-Insiyyah, hadis no.5523, Shahih Muslim, bab Ma Ja’a Fi Nikahi al-Mut’ah (dengan syarah a-Nawawi).9,190, Sunan Ibnu Majah.1, bab al-Nahyu ‘an Nikah al-Mut’ah (44) hadis no1961 dan Sunan Al-Baihaqi.7,201, dan meriwayatkan hadis serupa dari Ibnu Umar. Dan di sini sebagian ulama melakukan penipuan terhadap diri sendiri dengn mengatakan bahwa sebenarnya dalam hadis itu ada pemajuan dan pemunduran, maksudnya semestinya yang disebut duluan adalah Luhum Humur insiyah bukan Mut’ah al-Nisaa’. (Fath al-baari.16,62) Mengapa? Sekali lagi agar riwayat Bukhari dkk. di atas tetap terjaga wibawanya dan agar tidak tampak bertentang dengan kenyataan sejarah.
[47] Ucapan pengharaman ini begitu masyhur dari Umar dan dinukil banyak ulama dalam buku-buku mereka, di antaranya: Tafsir al-Razi.10,50, Al-Jashshash. Ahkam Alqur’an.2,152, Al-Qurthubi. Jami’ Ahkam Alqur’an.2,270, Ibnu Qayyim. Zaad al-Ma’ad.1,444 dan ia megatakan” dan telah tetap dari Umar…, Ibnu Abi al-Hadid. Syarh Nahj al-Balaghah.1,182 dan 12,251 dan 252, Al-Sarakhsi al-Hanafi. Al-Mabsuuth, kitab al-Haj, bab Alqur’an dan ia mensahihkannya, Ibnu Qudamah. Al-Mughni.7,527, Ibnu Hazam. Al-Muhalla.7,107, Al-Muttaqi al-Hindi. Kanz al-Ummal.8,293 dan294, al-Thahawi. Syarh Ma’ani al-Akhbaar.374 dan Sunan al-Baihaqi.7,206.
[48] Ibid.183.
[49] Ibid.183-184.
[50] Mafaatiih al-Ghaib (tafsir al-Razi).10,51
[51] Kanz al-Ummal.8,294.
[52] Dan dalam sebagian riwayat إلاَّ شفي dengan huruf faa’ sebagai ganti huruf qaaf, dan artinay ialah jarang/sedikit sekali. Pernyataan Ibnu Abbas diriwayatkan banyak ulama, seperti Ibnu al-Atsir dalam Nihayahnya, kata kerja syafa.
[53] Shahih Muslim.9,184-185, Sunan al-Baihaqi.7,202, dan Musnad Ahmad.3,405.
============================================
============================================
Berhubung dengan isu hangat yaitu Nikah Mut’ah yang dikaitkan dengan zina, pendapat ini menimbulkan kemusykilan yang amat sangat. Ini karena menyamakan Mut’ah Nikah dengan zina membawa maksud seolah-olah Nabi Muhammad SAW pernah menghalalkan zina dalam keadaan-keadaan darurat seperti perang Khaibar dan pembukaan kota Mekah. Pendapat ini tidak boleh diterima karena perzinaan memang telah diharamkan sejak awal Islam dan tidak ada rokhsah dalam isu zina.

Sejarah menunjukkan bahwa Abdullah bin Abbas diriwayatkan pernah membolehan Nikah Mut’ah tetapi kemudian menarik balik fatwanya di zaman selepas zaman Nabi Muhammad SAW.
Kalau mut’ah telah diharamkan pada zaman Nabi SAW apakah mungkin Abdullah bin Abbas membolehkannya?

Sekiranya beliau tidak tahu [mungkinkah beliau tidak tahu?] tentang hukum haramnya mut’ah apakah mungkin beliau berani menghalalkannya pada waktu itu?
Fatwa Abdullah bin Abbas juga menimbulkan tanda tanya karena tidak mungkin beliau berani membolehkan zina [mut'ah] dalam keadaan darurat seperti makan bangkai, darah dan daging babi kerana zina [mut'ah] tidak ada rokhsah sama sekali walaupun seseorang itu akan mati jika tidak melakukan jimak. Sebaliknya Abdullah menyandarkan pengharaman mut’ah kepada Umar al-Khattab seperti tercatat dalam tafsir al-Qurtubi meriiwayatkan Abdullah bin Abbas berkata, ” Sekiranya Umar tidak mengharamkan mut’ah nescaya tidak akan ada orang yang berzina kecuali orang yang benar-benar jahat.” (Lihat tafsiran surah al-Nisa:24)

Begitu juga pengakuan sahabat Nabi SAW yaitu Jabir bin Abdullah dalam riwayat Sohih Muslim, ” Kami para sahabat di zaman Nabi SAW dan di zaman Abu Bakar melakukan mut’ah dengan segenggam korma dan tepung sebagai maharnya, kemudian Umar mengharamkannya karena Amr bin khuraits.”
Jelaslah mut’ah telah diamalkan oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW selepas zaman Rasulullah SAW wafat. Oleh itu hadith-hadith yang meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW telah mengharamkan mut’ah nikah sebelum baginda wafat adalah hadith-hadith dhaif.

Dua riwayat yang dianggap kuat oleh ulama Ahlul Sunnah yaitu riwayat yang mengatakan nikah mut’ah telah dihapuskan pada saat Perang Khaibar dan pembukaan kota Mekah sebenarnya hadith-hadith yang dhaif. Riwayat yang mengaitkan pengharaman mut’ah nikah pada ketika Perang Khaibar lemah karena seperti menurut Ibn al-Qayyim ketika itu di Khaibar tidak terdapat wanita-wanita muslimah yang dapat dikawini. Wanita-wanita Yahudi (Ahlul Kitab) ketika itu belum ada izin untuk dikawini. Izin untuk mengahwini Ahlul Kitab seperti tersebut dalam Surah al-Maidah terjadi selepas Perang Khaibar. Tambahan pula kaum muslimin tidak berminat untuk mengawini wanita Yahudi ketika itu karena mereka adalah musuh mereka.
Riwayat kedua diriwayatkan oleh Sabirah yang menjelaskan bahwa nikah mut’ah diharamkan saat dibukanya kota Mekah (Sahih Muslim bab Nikah Mut’ah) hanya diriwayatkan oleh Sabirah dan keluarganya saja tetapi kenapa para sahabat yang lain tidak meriwayatkannya seperti Jabir bin Abdullah, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud?

Sekiranya kita menerima pengharaman nikah mut’ah di Khaibar, ini bermakna mut’ah telah diharamkan di Khaibar dan kemudian diharuskan pada peristiwa pembukaan Mekah dan kemudian diharamkan sekali lagi. Ada pendapat mengatakan nikah mut’ah telah dihalalkan 7 kali dan diharamkan 7 kali sehingga timbul pula golongan yang berpendapat mut’ah nikah telah diharamkan secara bertahap seperti pengharaman arak dalam al-Qur’an tetapi mereka lupa bahwa tidak ada ayat Qur’an yang menyebutkan pengharaman mut’ah secara bertahap seperti itu. Ini hanyalah dugaan semata-mata.

Yang jelas nikah mut’ah dihalalkan dalam al-Qur’an surah al-Nisa:24 dan ayat ini tidak pernah dimansuhkan sama sekali. Al-Bukhari meriwayatkan dari Imran bin Hushain: “Setelah turunnya ayat mut’ah, tidak ada ayat lain yang menghapuskan ayat itu. Kemudian Rasulullah SAW pernah memerintahkan kita untuk melakukan perkara itu dan kita melakukannya semasa beliau masih hidup. Dan pada saat beliau meninggal, kita tidak pernah mendengar adanya larangan dari beliau SAW tetapi kemudian ada seseorang yang berpendapat menurut kehendaknya sendiri.”

Orang yang dimaksudkan ialah Umar. Walau bagaimanapun Bukhari telah memasukkan hadith ini dalam bab haji tamattu.

Pendapat Imam Ali AS adalah jelas tentang harusnya nikah muta’ah dan pengharaman mut’ah dinisbahkan kepada Umar seperti yang diriwayatkan dalam tafsir al-Tabari: “Kalau bukan kerana Umar melarang nikah mut’ah maka tidak akan ada orang yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka.”
Sanadnya sahih. Justeru itu Abdullah bin Abbas telah memasukkan tafsiran (Ila Ajalin Mussama) selepas ayat 24 Surah al-Nisa bagi menjelaskan maksud ayat tersebut adalah ayat mut’ah (lihat juga Syed Sobiq bab nikah mut’ah).

Pengakuan Umar yang menisbahkan pengharaman mut’ah kepada dirinya sendiri bukan kepada Nabi SAW cukup jelas bahawa nikah mut’ah halal pada zaman Nabi SAW seperti yang tercatat dalam Sunan Baihaqi, ” Dua jenis mut’ah yang dihalalkan di zaman Nabi SAW aku haramkan sekarang dan aku akan dera siapa yang melakukan kedua jenis mut’ah tersebut. Pertama nikah mut’ah dan kedua haji tamattu”.

Perlulah diingatkan bahwa nikah mut’ah yang diamalkan oleh Mazhab Syiah bukan bermaksud semua orang wajib melakukan nikah mut’ah seperti juga kehalalan kawin empat bukan bermaksud semua orang wajib kawin empat. Penyelewengan yang berlaku pada amalan nikah mut’ah dan kawin empat bukan disebabkan hukum Allah SWT itu lemah tetapi disebabkan oleh kejahilan seseorang itu dan kelemahan akhlaknya sebagai seorang Islam. Persoalannya jika nikah mut’ah sama dengan zina, apakah bentuk mut’ah yang diamalkan oleh para sahabat pada zaman Nabi Muhammad SAW dan zaman khalifah Abu Bakar? [catatan: Nikah muta'ah memang tidak sama dengan zina]

——————————-
hadis Bukhari menukilkan tentang perkahwinan Mut’ah
Terjemahan:
Imran bin Hushain berkata: Ayat Mut’ah dalam kitab Allah telah turun dan kami melaksanakannya bersama Rasulullah dan ayat pengharamannya tidak diturunkan dan tidak dihalang melakukannya hingga nabi yang mulia wafat. Datang seorang lelaki dan dengan pandangannya sendiri menitahkan menurut kehendaknya. Muhammad mengatakan: Mereka berkata dia ialah Umar.

Seperti yang disebut: “datang seorang lelaki dan dengan pandangannya sendiri menitahkan menurut kehendaknya”

Maksudnya ialah: seorang lelaki mengharamkannya. Disebut juga “Muhammad berkata: mereka mengatakan beliau ialah Umar” Iaitu Muhammad Ismail Bukhari (Pemilik kitab) berkata: beliau ialah Umar. Sekarang titik tolak di sini ialah. Sayangnya mereka siap sedia menafikan amalan tersebut sekaligus menentang sunnah nabi (s) dalam cetakan Bukhari yang baru seperti dalam 3 cetakan Darul Ihya Beirut, Darul Kitab al-Alamiyah – Beirut, Darul Mu’arif- Beirut.

————-
Saudaraku………
Hadits Abdullah bin Mas’ud: “berkata: Kami berperang bersama Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedangkan kami tidak membawa istri istri kami, maka kami berkata bolehkan kami berkebiri? Namun Rasululloh melarangnya tapi kemudian beliau memberikan kami keringanan untuk menikahi wanita dengan mahar pakaian sampai batas waktu tertentu”. (HR. Bukhari 5075, Muslim 1404).

Hadits Jabir bin Salamah: “Dari Jabir bin Abdillah dan Salamah bin ‘Akwa berkata: Pernah kami dalam sebuah peperangan, lalu datang kepada kami Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan berkata: Telah diizinkan bagi kalian nikah mut’ah maka sekarang mut’ahlah”. (HR. Bukhari 5117).

Jadi singkatnya:
Nikah Daim di atur di An Nisa 3-4.
Nikah Mut’ah di atur An Nisa 24.
Nikah dengan budak di atur An Nisa 25.
===============================================================================================================================================
Nikah Mut’ah Dibolehkan Nabi SAW Tapi Diharamkan Umar bin Khattab…
Siapa yang Mengharamkan Nikah Mutah?

Simak…
“Kita, para sahabat di zaman Nabi Saw dan di zaman Abu Bakar melakukan mut’ah dengan segenggam kurma dan tepung sebagai mas kawinnya, kemudian Umar mengharamkannya karena ulah Amr bin Khuraits.” (Shahih Muslim, juz 4, hlm. 131, cet. Masykul Th. 1334 H).

Al-Hakam, Ibnu Juraij dan sesamanya meriwayatkan bahwa Imam Ali kw berkata, “kalau bukan karena Umar melarang nikah mut’ah maka tidak akan ada orang berzina kecuali orang-orang yang benar-benar celaka.”

Dalam riwayat lain Imam Ali berkata, “Kalau pendapatku tentang nikah mut’ah tidak kedahuluan Umar, aku akan perintahkan nikah mut’ah. Setelah itu, jika masih ada orang yang berzina dia memang benar-benar celaka.” (Tafsir Thabari, juz 5, hlm. 9) SANADNYA SHAHIH.

Umar adalah yang pertama kali melarang nikah mut’ah. (Tarikh Khulafa’, Imam as-Suyuthi, Bab II, hlm. 158).

Dari riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa nikah mut’ah halal di zaman Nabi Sawaw dan zaman Abu Bakar, tetapi ketika Umar menjadi khalifah, ia mengharamkan nikah mut’ah hanya karena ulah seseorang. Tentunya pendapat Umar ini tidak pantas kita ikuti, apalagi pengharaman atas nikah mut’ah hanya karena adanya penyelewengan yang dilakukan perorangan. Apakah jika ada orang yang menyalah gunakan nikah da’im kita akan mengharamkan nikah da’im (nikah permanen)?

Serangan balik kami :
- Mengapa banyak sahabat yang masih menikah mut’ah setelah Nabi SAW wafat ?????????????? Bukankah kata kalian Nabi SAW telah mengharamkannya ????????????????
- Ibnu Abbas, Jabir, Asma’, Zubair dll menikah mut’ah setelah wafat NAbi SAW, kok bisa ????????????
- Kalau benar demikian maka kalian juga menuduh sahabat Nabi SAW adalah pezina, artinya perawi hadis ada yang pezina !!!!!!!!!!! Jabir bin Abdullah perawi andalan Aswaja yang nikah MUT’AH pada masa Abubakar…Ibnu Abbas menikah mut’ah pada awal awal masa pemerintahan Umar.
- Kalau benar shahih hadis yang dinisbahkan pada Ali bahwa mut’ah telah diharamkan, mengapa pula ada hadis shahih dalam kitab aswaja yang menyatakan bahwa YANG PERTAMA MENGHARAMKAN MUT’AH adalah Umar ????? MUngkinkah dua hal kontradiktif terjadi ??? Yang satu bilang diharamkan zaman Nabi SAW, yang satunya lagi bilang tidak diharamkan ????? Apakah akal sehat bisa menerima dua hal tersebut dua duanya benar ?????????????

Ada beberapa kawan kita yang ”shaleh” sering kali mengatakan bahwa bukan Umar yang mengharamkan nikah mut’ah. Umar hanya mempertegas apa yang telah diharamkan oleh Rasulullah.
Marilah kita menyimak secara seksama apa yang diucapkan oleh Umar, ”Dua mut’ah yang dilakukan pada masa Rasulullah (Saw.) tetapi aku melarang kedua-duanya dan aku akan mengenakan hukuman ke atasnya, iaitu mut’ah perempuan dan mut’ah haji.””

Silakan Anda cermati, disitu Umar dalam mengharamkan nikah mut’ah tidak mengatasnamakan Rasulullah, tetapi mengatasnamakan dirinya sendiri (ra’yu), terlihat dalam kalimat, “Dua mut’ah yang dilakukan pada masa Rasulullah (Saw.) tetapi aku melarang kedua-duanya.”

Umar sendiri dalam suatu riwayat mengakui bahwa ia yakin betul Allah telah mensyariatkan nikah mut’ah di dalam Al-Qur’an.

“Saya melarang nikah mut’ah walaupun nikah itu disebut dalam al-Qur’an dan juga haji tamattu’ walaupun haji itu dikerjakan oleh Nabi Sawaw.” (Sunan An-Nasai juz 5, hlm. 153; Al-Ghadir, juz 6, hlm. 205, di situ disebutkan bahwa keseluruhannya hasil ijtihad Umar).

Bahkan, Ibnu Umar ketika di tanya, “Bukankah ayahandamu mengharamkannya (nikah mut’ah)? Ia menjawab, “Benar! Tetapi itu pendapatnya sendiri. (Dalail Al-Shidq, juz 3, hlm. 97)
Lihat bagaimana Jalaluddin As-Suyuthi melaporkan kepada kita:
Umar adalah yang pertama kali melarang nikah mut’ah. (Tarikh Khulafa’, Imam as-Suyuthi, Bab II, hlm. 158).

Umar sendiri dalam suatu riwayat mengakui bahwa ia yakin betul Allah telah mensyariatkan nikah mut’ah di dalam Al-Qur’an. “Saya melarang nikah mut’ah walaupun nikah itu disebut dalam al-Qur’an dan juga haji tamattu’ walaupun haji itu dikerjakan oleh Nabi Sawaw.” (Sunan An-Nasai juz 5, hlm. 153; Al-Ghadir, juz 6, hlm. 205, di situ disebutkan bahwa keseluruhannya hasil ijtihad Umar ).

Bahkan, Ibnu Umar ketika di tanya, “Bukankah ayahandamu mengharamkannya (nikah mut’ah)? Ia menjawab, “Benar! Tetapi itu pendapatnya sendiri. (Dalail Al-Shidq, juz 3, hlm. 97)
Imam Ja’far Shadiq meriwayatkan dari ayah-ayahnya bahwa Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Farji-farji wanita bisa menjadi halal dengan tiga cara, yaitu nikah da’im, nikah mut’ah, dan dengan memilikinya sebagai budak.”Diriwayatkan bahwa Imam Ali pernah melakukan mut’ah dengan seorang wanita dari Bani Nasyhal di kota Kufah. (Al-Wasa’il bab Nikah Mut’ah)

Abi Bashir berkata dalam shahihnya: Aku bertanya kepada Imam Baqir tentang halalnya nikah mut’ah. Beliau menjawab: Halalnya nikah mut’ah tercantum dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 24. (Al-Wasa’il bab Nikah Mut’ah).

Dan masih banyak lagi hadits dari keluarga Rasulullah yang suci mengenai halalnya nikah mut’ah. Seandainya ada dalil yg kuat mengatakan bahwa Nabi saw dan Imam Ali mengharamakan mutah, maka ana tdk akan mengikuti mereka… krn Allah menghalalkan pernikahan mutah dalam firman Nya di surat an-nisa 24.. dan Allah tidak pernah membatalkan ayat tersebut…

Apa berani Nabi saw dan imam Ali melawan hukum Allah yg telah ditetapkan??? JELAS MUSTAHIL DAN TIDAK MUNGKIN MEREKA AKAN MELAKUKANNYA… HANYA IBLISLAH YG BERANI MENENTANG DAN MEMBANGKAN TERHADAP ALLLAH.. DAN JUGA HANYA UMAR BIN KHATABLAH YG BERANI MENGHARAMKAN HUKUM ALLAH YG HALAL SEPERTI PERNIKAHAN MUTAH ITU…
JADI SEMUA MANUSIA YG BERANI MENENTANG ALLAH MAKA DAPAT DIPASTIKAN ORG TERSEBUT ADALAH SEORG PEMBANGKANG
==============================================================================================================================
Senin, 30 Mei 2005 04:55
Ushul Fiqh Progresif
Nikah Mut’ah Dalam Pandangan Sunni dan Syi’ah
Pembicara:
Dr. Jalaluddin Rakhmat
Direktur Yayasan Muthahhari
Abdul Moqsith Ghazali
Kepala Madrasah Wahid Institute
bukan Rasulullah SAW yang mengharamkan Mut’ah , tapi Umar bin al-Khattab
Menurut Kang Jalal, kebolehan nikah mut’ah selain berdasarkan argumen hadits, juga didasarkan pada QS al-Nisa’ ayat 24. Ayat ini berbunyi famastamta’tum bih minhunna faatuhunna ujurahunna faridhah. “Dan perempuan-perempuan yang kamu nikahi dengan mut’ah, hendaklah kamu berikan ujrahnya (mahar) sebagai satu kewajiban.”

Bahkan shahabat Rasulullah SAW yaitu Ibn Abbas dan Ubay bin Ka’b ketika membaca ayat ini selalu menambahkan kalimat ila ajalin musamma (sampai waktu yang ditentukan). Famastamta’tum bih minhunna ila ajalin musamma faatuhunna ujurahunna faridhah.
“Dan perempuan yang kamu mut’ah sampai waktu yang ditentukan, hendaklah kamu berikan ujrahnya (mahar) sebagai satu kewajiban.”

“Itu menunjukkan legitimasi yang kuat untuk nikah mut’ah.”
“Tidak ada satupun shahabat yang menyangkal Ibn ‘Abbas dan Ubay bin Ka’b ini. Kalau mengikuti tradisi Sunni, ini berarti umat telah ijma’ (sepakat) tentang kebenaran qiraat (versi membaca) dua shahabat tadi,” jelas Kang Jalal.

Kang Jalal juga menunjukkan, setidaknya ada 20 shahabat dan tabi’in yang sampai akhir hayatnya selalu mempraktekkan nikah mut’ah. Mereka antara lain, Imran bin al-Hushain, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Muawiyah bin Abi Sufyan, Abu Sa’id al-Khudri, Salamah bin Umayyah bin Khallad, Ma’bad bin Umairah, Umayyah, Zubair bin al-Awwam, Khalid bin Walid al-Makhzumi, Amr bin Harits, Ubay bin Ka’b, dan seterusnya.

Oleh sebab itu, Kang Jalal menyatakan mut’ah dihalalkan Muhammad SAW dan kehalalannya berlaku sampai Hari Kiamat, seraya mengutip adagium kaum Muslim Syi’ah; halalu Muhammad halal ila yaumil qiyamah wa haram Muhammad haram ila yaumil qiyamah (Apa yang dihalalkan Muhammad, halal sampai Hari Kiamat. Apa yang diharamkan Muhammad, haram sampai Hari Kiamat).

Menurut Kang Jalal, nikah mut’ah adalah nikah. Seluruh hukum pernikahan (nafkah, pewarisan, iddah, dan sebagainya) juga berlaku dalam nikah mut’ah, kecuali jangka waktu.
Bahkan Kang Jalal menilai nikah yang dihalalkan oleh kaum Muslim Sunni yaitu nikah da’im (permanen) bukanlah tanpa batas waktu. Dalam nikah da’im masih dibuka peluang untuk mengakhiri hubungan pernikahan tersebut melalui perceraian. Pandangan ini dikutip Kang jalal dari sebuah buku karya penulis Mesir dari kalangan Islam Sunni.

“Nikah mut’ah adalah nikah yang temporer, tapi setiap saat bisa diperpanjang, bahkan bisa diabadikan. Sementara nikah da’im adalah nikah yang katanya tidak terikat waktu, tapi setiap saat bisa diputuskan. Pikirkanlah oleh kamu! Mana sebetulnya yang lebih manusiawi?”

Pada kesempatan itu, Abdul Moqsith Ghazali menyatakan bahwa halalnya nikah mut’ah memiliki argumen doktrinal yang lebih kokoh daripada argumen yang menolaknya.
“Saya sepakat dengan Kang Jalal, tidak ada ikhtilaf (perdebatan) di kalangan ulama bahwa nikah mut’ah pernah disyariatkan,” ungkap Moqsith.

Moqsith kemudian menguraikan latar belakang dihalalkannya nikah mut’ah pada zaman Rasulullah SAW. Awalnya, para shahabat yang berperang jauh dari istrinya tidak sanggup menanggung beban biologis.
Tetapi Nabi Muhammad SAW tidak menyuruh para shahabat melakukan onani, masturbasi atau berpuasa, melainkan menyuruh nikah dengan jangka waktu.
“Ini berarti, saat itu nikah mut’ah pernah dipakai sebagai solusi untuk menghadapi kegentingan biologis para shahabat,” jelas Moqsith.

Sedangkan penilaian haram dan halalnya nikah mut’ah, Moqsith menilai soal itu hanyalah sebuah pertentangan tafsir antara kaum Sunni dan Syi’ah.
“Jika diperdebatkan terus-menerus maka tidak akan berkesudahan.
========================================================================================================
Nikah Mut’ah Sama dengan Zina?
Ia (Jabir) mengatakan: “Melalui diriku hadis tersebut didapat, kita telah melakukan mut’ah bersama Rasulullah (saww) juga bersama Abu bakar, akan tetapi setelah berkuasanya Umar, ia (Umar) pun mengumumkannya pada masyarakat dengan ucapan: “Sesungguhnya Al-Qur’an tetap posisinya sebagai Al-Qur’an sedang Rasulullah (saww) tetap sebagai Rasul, ada dua jenis mut’ah yang ada pada zaman Rasul; haji mut’ah (haji tamattu’ .red) dan nikah mut’ah”. Kalaupun nikah mut’ah haram lantas kenapa kita juga tidak mengharamkan mut’ah haji yang sampai detik ini masih dilakukan oleh semua kaum muslimin dunia padahal ia termasuk yang diharamkan oleh khalifah kedua?

Sudah menjadi kesepakatan segenap kaum muslimin bahwa nikah mut’ah pernah ada pada zaman Rasul sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab standar Sunni maupun Syiah. Disebutkan bahwa Rasul (saww) pernah membolehkan pernikahan jenis tersebut, akan tetapi lantas terjadi perbedaan pendapat diantara para pengikut Islam adakah Rasul sampai akhir hayat beliau tetap membolehkan pernikahan itu ataukah tidak? Sebagian dari mereka mengatakan bahwa sebelum pulangnya Rasul (saww) ke rahmatullah beliau telah melarang pernikahan tersebut atau dengan istilah yang sering dipakai hukum dibolehkannya nikah mut’ah telah mansukh (terhapus). Sebagian lagi mengatakan bahwa sampai akhir hayat beliaupun beliau tidak pernah melarangnya, akan tetapi seorang yang bernama Umar bin Khatab lah yang kemudian melarangnya sewaktu ia menjabat kekhalifahan.

Dari dua pendapat diatas dalam tulisan ini akan di bahas manakah dari pendapat tersebut yang lebih dekat pada kenyataan? Apakah nikah mut’ah telah dimansukh oleh Rasul atau tidak? Kalaulah tidak lantas apakah wewenang dan dasar yang dipakai oleh Umar untuk mengharamkannya? Adakah ia melakukan berdasarkan konsep ijtihad? Sedang Imam Ali (as) –sebagai khalifah keempat ahlissunnah- tidak pernah mengharamkannya? Bolehkah dalam Islam melakukan ijtihad walau bertentangan dengan ayat atau riwayat yang sebagai sumber utama syariat Islam? Kalaulah kita terima bahwa nikah jenis itu haram karena ijtihad Umar kenapa mut’ah haji (haji tamattu’) yang juga diharamkan oleh Umar tetap dianggap halal oleh seluruh kaum muslimin? Bukankah kalau kita menerima ijtihad Umar tentang pelarangan nikah mut’ah berarti juga harus menerima pelarangannya atas mut’ah haji? Lantas apakah alasan ahlissunnah menerima pelarangan nikah mut’ah sedang mut’ah haji tetap mereka halalkan? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang bisa kita munculkan dari permasalahan-permasalahan mut’ah yang sering dipakai sebagai bahan untuk melumatkan mazhab Syi’ah karena hanya Syi’ahlah (imamiah itsna asyariah) yang sampai sekarang ini masih tetap menganggapnya halal.

Yang perlu diingat oleh pembaca yang budiman adalah bahwa kita disini dalam rangka mencari kebenaran akan konsep hukum mut’ah dan lepas dari permasalahan praktis dari hal tersebut, oleh karenanya dalam membahas haruslah didasari oleh argumen dari teks agama ataupun akal dan bukan bersandar pada emosional maupun fanatisme golongan.

Argumentasi dari Kitab-kitab Standar Ahlissunnah akan Pembolehan Nikah Mut’ah
Sebagaimana yang telah singgung diatas bahwa nikah mut’ah pernah disyariatkan oleh Allah (swt) sebagaimana yang telah disepakati oleh seluruh ulama’ kaum muslimin, hal ini sesuai dengan ayat yang berbunyi:
“dan (diharamkan atas kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki, (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapanNya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina, maka (istri-istri) yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”(Qs; An-Nisaa’:24)

Jelas sekali bahwa ayat tersebut berkenaan denga nikah mut’ah sebagaimana yang telah dikemukakan oleh para perawi hadis dari sahabat-sahabat Rasul seperti: Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Habib bin Abi Tsabit, Said bin Jubair, Jabir bin Abullah al-Anshari (ra) dst.
Pendapat beberapa ulama’ tafsir dan hadis ahlussunnah

Adapun dari para penulis hadis dan penafsir dari ahlussunnah kita sebutkan saja secara ringkas:
1. Imam Ahmad bin Hambal dalam “Musnad Ahmad” jilid:4 hal:436.
2. Abu Ja’far Thabari dalam “Tafsir at-Thabari” jilid:5 hal:9.
3. Abu Bakar Jasshas dalam “Ahkamul-Qur’an” jilid:2 hal:178.
4. Abu bakar Baihaqi dalam “as-Sunan-al-Qubra” jilid:7 hal:205.
5. Mahmud bin Umar Zamakhsari dalam “Tafsir al-Kassyaf” jil:1 hal:360.
6. Fakhruddin ar-Razi dalam “Mafatih al-Ghaib” jil:3 hal:267.
7. dst.

Pendapat beberapa Sahabat (Salaf Saleh) dan Tabi’in.
Beberapa ungkapan para sahabat Rasul dan para tabi’in (yang hidup setelah zaman para sahabat) sebagai contoh pribadi-pribadi yang mengingkari akan pelarangan (pengharaman) mut’ah:
Imam Ali bin Abi Thalib, sebagaimana diungkapakan oleh Thabari dalam kitab tafsirnya (lihat: jil:5 hal:9) dimana Imam Ali bersabda: “jika mut’ah tidak dilarang oleh Umar niscaya tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka saja”.

Riwayat ini sebagai bukti bahwa yang mengharamkan mut’ah adalah Umar bin Khatab, lantas setelah banyaknya kasus perzinaan dan pemerkosaan sekarang ini –berdasarkan riwayat diatas- siapakah yang termasuk bertanggungjawab atas semua peristiwa itu?

Abdullah bin Umar bin Khatab (putera khalifah kedua), sebagaimana yang dinukil oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab musnadnya (lihat: jil:2 hal:95) dimana Abdullah berkata ketika ditanya tentang nikah mut’ah: “Demi Allah, sewaktu kita dizaman Rasul tidak kita dapati orang berzina ataupun serong”. Kemudian berkata, aku pernah mendengar Rasul bersabda: “sebelum datangnya hari kiamat akan muncul masihud-dajjal dan pembohong besar sebanyak tiga puluh orang atau lebih”. Lantas siapakah yang layak disebut pembohong dalam riwayat diatas tadi? Adakah orang yang memutar balikkan syariat Rasul layak untuk dibilang pembohong?

Abdullah bin Masud, sebagaimana yang dinukil oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya (lihat: jil:7 hal:4 kitab nikah bab:8 hadis ke:3), dimana Abdullah berkata: “sewaktu kita berperang bersama Rasulullah sedang kita tidak membawa apa-apa, lantas kita bertanya kepada beliau: bolehkah kita lakukan pengebirian? Lantas beliau melarang kita untuk melakukannya kemudian beliau memberi izin kita untuk menikahi wanita dengan mahar baju untuk jangka waktu tertentu. Saat itu beliau membacakan kepada kami ayat yang berbunyi: “wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian dan janganlah kalian melampaui batas…”(Qs Al-Ma’idah:87)

Cobalah renungkan makna ayat dan riwayat diatas lantas hubungkanlah antara penghalalan ataupun pengharaman nikah mut’ah! Manakah dari dua hukum tersebut yang sesuai dengan syariat Allah yang dibawa oleh Rasul?

Imran bin Hashin, sebagaimana yang dinukil oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya (lihat: jil:6 hal:27 kitab tafsir; dalam menafsirkan ayat: faman tamatta’a bil-umrati ilal-hajji (Qs Al-Baqarah)), dimana Imran berkata: “Diturunkan ayat mut’ah dalam kitabullah (Al-Qur’an) kemudian kita melakukannya di zaman Rasul, sedang tidak ada ayat lagi yang turun dan mengharamkannya, juga Rasul tidak pernah melarangnya sampai beliau wafat”. Riwayat seperti diatas juga dinukil oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitan musnadnya.
Dua riwayat ini menjelaskan bahwa tidak ada ayat yang menghapus (nasikh) penghalalan mut’ah dan juga sebagai bukti mahwa mut’ah sampai akhir hayat Rasul beliau tidak mengharamkannya.

Ibn Abi Nadhrah, sebagaimana yang dinukil oleh al-Muslim dalam kitab shahihnya (lihat: jil:4 hal:130 bab:nikah mut’ah hadis ke:8), dimana Ibn abi nadhrah berkata: “Dahulu Ibn abbas memerintahkan (baca:menghalalkan) nikah mut’ah sedang Ibn zubair melarangnya kemudia peristiwa tersebut sampai pada telinga Jabir bin Abdullah al-Anshori (ra) lantas dia berkata: “Akulah orang yang mendapatkan hadis tersebut, dahulu kita melakukan mut’ah bersama Rasulullah akan tetapi setelah Umar berkuasa lantas ia mengumumkan bahwa; “Dahulu Allah menghalalkan buat Rasul-Nya sesuai dengan apa yang dikehendakinya, maka umat pun menyempurnakan haji dan umrah mereka, juga melakukan pernikahan dengan wanita-wanita tersebut, jika terdapat seseorang menikahi seorang wanita untuk jangka wanita tertentu niscaya akan kurajam ia dengan batu”.

Riwayat diatas juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam musnadnya (lihat: jil:1 hal:52). Dikatakan bahwa Abi Nadhrah berkata: “Aku berkata kepada Jabir bin Abdullah Anshari (ra), sesungguhnya Ibn zubair melarang nikah mut’ah sedangkan Ibn Abbas membolehkannya”. Kemudian ia (Jabir) mengatakan: “Melalui diriku hadis tersebut didapat, kita telah melakukan mut’ah bersama Rasulullah (saww) juga bersama Abu bakar, akan tetapi setelah berkuasanya Umar, ia (Umar) pun mengumumkannya pada masyarakat dengan ucapan: “Sesungguhnya Al-Qur’an tetap posisinya sebagai Al-Qur’an sedang Rasulullah (saww) tetap sebagai Rasul, ada dua jenis mut’ah yang ada pada zaman Rasul; haji mut’ah dan nikah mut’ah”.

Dua riwayat diatas dengan jelas sekali menyebutkan bahwa pertama orang yang mengharamkan nikah mut’ah adalah Umar bukan Rasul ataupun turun ayat yang berfungsi sebagai penghapus hukum mut’ah sebagaimana yang dikatakan sebagian orang yang tidak mengetahui tentang isi kandungan yang terdapat dalam buku-buku standar mereka sendiri.

Sebagai tambahan kami nukilkan pendapat Fakhrur Razi dalam tafsir al-Kabir, ketika menafsirkan ayat 24 surat an-Nisa. Ar-Razi mengutip ucapan Umar (“ Dua jenis mut’ah yang berlaku di masa rasulullah, yang kini ku larang dan pelakunya akan kuhukum, adalah mutah haji dan mut’ah wanita” ) dalam menetapkan pengharaman nikah mut’ah. Begitu juga tokoh besar dari kamu Asy,ariyah, Imam al-Qausyaji dalam kitab Syarh At-Tajrid, dalam pengharamannya mut’ah adalah ucapan Umar (ucapan Umar: Tiga perkara yang pernah berlaku di zaman Rasulullah, kini kularang, kuharamkan dan kuhukum pelakuknya adalah mut’ah wanita dan mutah haji serta seruan (azan): hayya ‘ala khayr al-‘amal (marilah mengerjakan sebaik-baik amal)). Qusyaji membela tindakan Umar ini, menyatakan bahwa semata-mata takwil atau ijtihad Umar.
Abdullah ibn Abbas, sebagaimana yang dinukil oleh al-Jasshas dalam Ahkamul-Qu’an (jil:2 hal:179), Ibn Rusyd dalam bidayatul mujtahid (jil:2 hal:58), Ibn Atsir dalam an-Nihayah (jil:2 hal:249), al-Qurtubi dalam tafsirnya (jil:5 hal:130), suyuti dalam tafsirnya (jil:2 hal:140) dikatakan bahwa Ibn Abbas berkata: “semoga Allah merahmati Umar, bukanlah mut’ah kecuali merupakan rahmat dari Allah bagi umat Muhammad (saww) jikalau ia (Umar) tidak melarang mut’ah tersebut niscaya tiada orang yang menghendaki berbuat zina kecuali ia bisa terobati”

Riwayat yang dikemukakan oleh Ibn Khalqan dalam kitab Wafayaatul-A’yaan jil:6 hal:149-150, durrul mantsur jil:2 hal:140, kanzul ummal jil:8 hal:293, tarikh tabari jil:5 hal:32, tarikh Ibn khalkan jil:2 hal:359, tajul-arus jil:10 hal:200. Dan masih banyak lagi riwayat dalam kitab-kitab lainnya, .
Untuk mempersingkat tulisan singkat ini kita cukupkan hanya dengan menyebutkan riwayat-riwayat diatas. Untuk melengkapinya akan kita sebutkan beberapa permasalahan yang sering dilontarkan oleh orang-orang yang tidak paham akan maksud dari hikmah Ilahi tentang penghalalan nikah mut’ah dan kita berusaha untuk menjawabnya secara ringkas.

Soal: Salah satu fungsi pernikahan adalah untuk membina keluarga dan menghasilkan keturunan dan itu hanya bisa terwujud dalam nikah da’im (baca:nikah biasa), sedang nikah mut’ah tujuannya hanya sekedar sebagai pelampiasan nafsu belaka.

Jawab: Jelas sekali bahwa pertanyaan diatas menunjukkan akan adanya percampuran paham antara hukum obyek dengan fungsi/hikmah pernikahan. Yang ia sampaikan tadi adalah berkisar tentang hikmah pernikahan bukan hukum pernikahan. Karena kita tahu bahwa Islam mengatakan bahwa sah saja orang menikah walaupun dengan tidak memiliki tujuan untuk hal yang telah disebutkan diatas, sebagaimana orang lelaki yang sengaja mengawini wanita yang mandul atau wanita tua sehingga tidak terlintas sama sekali dibenaknya untuk mendapat anak dari wanita tersebut ataupun lelaki yang mengawini seorang wanita dengan nikah daim akan tetapi hanya untuk beberapa saat saja-taruhlah dua bulan saja- setelah itu ia talak wanita tersebut. Dua contoh pernikahan tersebut jelas tidak seorang ulama pun yang mengatakan bahwa itu batil hukumnya sebagaimana yang disampaikan oleh penulis tafsir “Al-Manaar” dimana ia mengatakan: “pelarangan para ulama’ terdahulu maupun yang sekarang akan nikah mut’ah mengharuskan juga pelarangan akan nikah dengan niat mentalak (istrinya setelah beberapa saat) walaupun para ahli fiqih sepakat bahwa akad nikah dikatakan sah walaupun ada niatan suami untuk menikahinya hanya untuk saat tertentu saja sedang niat tersebut tidak diungkapkannya saat akat nikah, sedang penyembunyian niat tersebut merupakan salah satu jenis penipuan sehingga hal itu lebih layak untuk dihukumi batil jika syarat niat tadi diungkapkan sewaktu akad dilangsungkan” (Tafsir al-Manaar jil:5 hal:17).

Dari sini kita akan heran melihat orang yang menganggap bahwa mut’ah hanya berfungsi sebagai sarana pelampiasan nafsu belaka dan bukankah dalam nikah da’im pun bisa saja orang berniat untuk pelampiasan nafsu saja, niatan itu semua kembali kepada pribadi masing-masing bukan dari jenis pernikahannya.
Soal: Nikah mut’ah menjadikan wanita tidak dapat menjaga kehormatan dirinya karena ia bisa berganti-ganti pasangan kapanpun ia mau, padahal Islam sangat menekankan penjagaan kehormatan terkhusus bagi para wanita.

Jawab: Justru dalam nikah mut’ah sama seperti nikah da’im dimana bukan hanya wanita yang ditekankan untuk menjaga kehormatannya tapi bagi silelaki pun diharuskan untuk menjaga hal tersebut, karena legalitas pernikahan tersebut sudah ditetapkan dalam syariat maka dengan cara inilah mereka menjaga kehormatan mereka dan tidak menjerumuskan diri mereka keperzinaan. Dalam Islam ada tiga alternatif dalam menangani gejolak nafsu birahi:Nikah da’im, Nikah mut’ah dengan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dan meredam nafsu dengan puasa misalnya.

Sekarang jika seseorang tidak mampu melaksanakan nikah da’im dengan berbagai alasan seperti karena masalah ekonomi, studi ataupun yang lainnya, dan untuk meredam nafsu dengan puasa misalnya iapun tidak mampu atau gejolaknya muncul diwaktu malam yang tidak memungkinkan untuk puasa, maka alternatif terakhir dengan nikah mut’ah tadi. Inilah yang diajarkan Islam kepada pengikutnya karena kita tahu bahwa Islam adalah agama terakhir, syariatnya pun adalah syariat terakhir yang dibawa oleh Nabi terakhir maka ia harus selalu up to date dan universal yang mencakup segala aspek kehidupan manusia yang mampu menjawab apapun kemungkinan yang bakal terjadi, dan ia merupakan agama yang bijaksana dimana salah satu ciri hal yang bijak adalah disaat ia melarang sesuatu maka ia harus memberi jalan keluarnya. Lantas jika seseorang tidak dapat melakukan nikah da’im ataupun meredam nafsunya lantas apa yang harus ia lakukan, sementara Islam melarang penyimpangan seksual jenis apapun? Atau jika ada seorang pemuda ingin mengenal seorang wanita lebih dekat untuk nanti menjadikannya seorang istri dalam masa pendekatan itu –karena boleh jadi gagal karena tidak ada kecocokan- hubungan apakah yang harus ia lakukan sehingga ia dapat berbicara dengan wanita tersebut berdua-duaan sedang Islam melarang berpacaran tanpa ada ikatan pernikahan?

Dan banyak lagi contoh lain yang Islam sebagai agama terakhir dan sebagai agama yang bijak dituntut untuk mampu menjawab tantangan tersebut, jika mut’ah diharamkan lantas kira-kira jalan keluar manakah yang akan diberikan oleh si pengharam mut’ah tadi? Oleh karenanya jangan heran jika Imam Ali (as) mengeluarkan statemen seperti diatas ( Imam Ali: “jika mut’ah tidak dilarang oleh Umar niscaya tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka saja”).

Kesalahan besar yang selama ini banyak terdapat pada benak kaum muslimin adalah mereka sering mengidentikkan nikah mut’ah dengan hubungan seksual padahal tidak mesti semacam itu –sebagaimana nikah da’im dengan anak dibawah usia yang diperbolehkan oleh para ahli fiqih semuanya- bisa saja siwanita mensyarati untuk tidak melakukan hal tersebut dalam akad nya sehingga mut’ah hanya sebagai sarana untuk menghilangkan dosa -semasa berkenalan untuk nantinya menikah daim- dengan adanya ikatan pernikahan diantara mereka.

Soal: Adanya beberapa sumber dari ahlussunnah yang menunjukkan adanya pelarangan mut’ah walaupun dari sisi waktu dan tempat pelarangannya berbeda-beda sehingga menjadi argumen bahwa ayat mut’ah (an-Nisaa:23) sudah terhapus dengan riwayat-riwayat itu, seperti:
1. Dibolehkannya mut’ah lantas dilarang pada seusai perang Khaibar.
2. Dibolehkannya nikah mut’ah lantas dilarang pada saat Fathul-Makkah.
3. Hanya dibolehkan pada saat peristiwa Awthas saja.
4. Diperbolehkan pada saat umrah qadha’ saja.

Jawab: Kita bisa katakan bahwa:
1- Ungkapan-ungkapan yang berbeda-beda itu menunjukkan tidak adanya kesepakatan akan pelarangannya karena perbedaan riwayat menunjukkan bahwa riwayat itu tunggal sifatnya (khabar wahid) dan riwayat jenis itu tidak bisa dijadikan sandaran sebagai penghapus hukum yang ada dalam Al-Qur’an, oleh karenanya Imran bin Hashin mengatakan tidak ada riwayat ataupun ayat yang menghapus hukum mut’ah (lihat kembali riwayat Imran diatas).
2- Khalifah kedua sebagai pengharam mut’ah pun tidak menyandaran ijtihadnya –kalaulah itu bisa disebut ijtihad- kepada ayat ataupun riwayat karena memang tidak ada riwayat yang menghapus hukum mut’ah tersebut sehingga dari sinilah menyebabkan banyak sahabat yang menentang keputusan Umar dalam pengharaman mut’ah. Kalau ada ayat atau riwayat yang mengharamkan nikah Mut’ah, kenapa Umar menyandarkan pelarangannya pada diri sendiri? Bukankah dengan menyandarkan pada ayat dan riwayat dari Rasul maka pendapatnya akan lebih kuat?
Soal: Diperbolehkannya melakukan nikah mut’ah adalah sebagaimana diperbolehkannya memakan daging babi yaitu pada saat-saat tertentu saja (dharurat) karena mut’ah sama hukumnya seperti zina yaitu haram, maka sebagaimana haramnya babi dalam saat-saat tertentu halal maka pada saat-saat tertentupun mut’ah halal juga hukumnya.
Jawab: Jelas penyamaan antara diperbolehkannya makan daging babi disaat dharurat berbeda dengan mut’ah, salah satu perbedaannya adalah:
Hukum dharurat hanya pada hal-hal yang mengakibatkan kelangsungan hidup (jiwa) terancam oleh karenanya diperbolehkan makan daging babi sebatas untuk menyambung hidup saja sehingga dilarang untuk makan secara berlebihan, adapun mut’ah apakah ia sama seperti daging babi sehingga jika seseorang tidak mut’ah lantas ia terancam kelangsungan hidupnya?
Kalaupun –walaupun alasan ini tidak dapat diterima- mut’ah bisa disamakan sama seperti daging babi yaitu terkenai hukum dharurat, lantas kenapa banyak sahabat yang melakukan mut’ah saat itu padahal gairah seksual tidak mesti muncul bersamaan sebagaimana rasa lapar?
Kalau dikatakan hukum dharurat itu ada, seharusnya hukum setelah hilang nya dharurat, kembali ke hukum awal nya (haram), akan tetapi yang kita dapati bahwa rasulullah tidak mengharamkan sampai akhir hayatnya. Sehingga tidak benar penghalalan hukum mutah itu dikarenakan dharurat.

Penutup:
Dari sini jelaslah bahwa nikah mut’ah diperbolehkan oleh syariat Islam –yang bersumber dari ayat dan hadis shohih- dimana sepakat kaum muslimin bahwa sumber syariat hanyalah Allah semata sebagaimana ayat yang berbunyi: “keputusan menetapkan suatu hukum hanyalah hak Allah”(Qs Yusuf:67). Sedang Rasul diutus untuk menjelaskannya oleh karenanya apa yang diungkapkan oleh beliau merupakan apa yang sudah disetujui oleh Allah. Rasul bersabda:“dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan”(Qs An-Najm:3-4). Oleh karenanya:“apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”(Qs Al-Hasyr:7).

Adapun ucapan para sahabat jika sesuai dengan firman Allah atau ungkapan Rasul maka bisa juga dikategorikan sebagai teks agama, akan tetapi jika tidak maka hal itu telah keluar dari apa yang telah tercantum dari ayat-ayat diatas tadi karena mereka manusia biasa seperti kita yang juga bisa salah sehingga tidak bisa dijadikan rujukan dalam menangani masalah syariat secara independen (mustaqil) tanpa tolok ukur kebenaran yang lain. Karena jika tidak, apa mungkin akan kita jadikan tolok ukur sedang kita dapati banyak pendapat mereka yang saling paradoksal sebagaimana yang kita saksikan tadi, bukankah dalam situasi perbedaan pendapat semacam itu kita diperintahkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya;“kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir”(Qs An-Nisaa’:59).

Bukanlah Allah dan Rasulnya tetap menghalalkan nikah mut’ah? Sewaktu sumber syariat adalah Al-Qur’an dan Hadis shohih lantas apakah diperbolehkan orang berijtihad –yang lantas hasilnya-hasilnya dianggap sebagai syariat- akan tetapi bertentangan dengan kehendak Allah dan Rasul yang sebagai sumber syariat?, bukankah dalam Al-Qur’an telah ditetapkan bahwa; “dan tidak patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka, dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata”(Qs al-Ahzab:36).

Apakah pemberian ketetapan lain yang tidak sesuai dengan ketetapan Allah dan Rasul tersebut tidak dikategorikan sebagai bid’ah -yang berarti mengada-adakan hukum syariat- dimana dalam riwayat disebutkan bahwa semua jenis bid’ah adalah sesat – “kullu bid’atin dholalah” -sehingga tidak ada lagi lubang untuk membagi bid’ah kepada bid’ah yang baik dan yang buruk? Lantas apakah konsekwensi bagi orang ahli bid’ah yang berarti ahli kesesatan yang dalam riwayat tentang bid’ah juga telah disebutkan “wakullu dhalalatin finnaar”? Kemudian apakah kita akan terus mengikuti ahli bid’ah dengan mengharamkan nikah mut’ah? Kalaupun nikah mut’ah haram lantas kenapa kita juga tidak mengharamkan mut’ah haji yang sampai detik ini masih dilakukan oleh semua kaum muslimin dunia padahal ia termasuk yang diharamkan oleh khalifah kedua? Dan masih banyak pertanyaan lain yang harus dijawab oleh saudara-saudara ahlussunnah yang berkisar tentang mut’ah. Renungkanlah dan bacalah saudara-saudaraku.[islamalternatif]

Sejak beberapa dekade yang lalu telah terjadi kesepakatan dikalangan ulama Sunni maupun Shiah bahwa Nikah Mut’ah adalah HALAL berdasarkan Firman Allah SWT :
“dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu ni`mati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An Nisa [4] : 24}.

Tetapi kedua golongan Islam (Suni dan Shiah) tetap berbeda pendapat tentang PENGHARAMAN Nikah Mut’ah.
Golongan Suni mempunyai tiga pendapat sehubungan dengan pengharaman Nikah Mut’ah, yaitu :
1. Pendapat yang mengatakan bahwa Nikah Mut’ah telah diharamkan, kemudian dihalalkan, kemudian diharamkan, kemudian dihalalkan dan akhirnya di haramkan, berdasarkan Hadist Nabi SAW.
Bantahan Shiah :
a. Hadist Nabi SAW tidak biasa membatalkan (memanzukhkan) firman Allah SWT
pada Al Qur’an. Karena hanya Allah SWT yang berhak memanzukhkan ayat Al Qur’an.
b. Hadist2 telah pengharaman yang berulang-ulang itu semuanya merupakan Hadist Ahad yang tidak berkuataan sahih.
c. Tidak mungkin Rasulullah SAW mengharamkan nikah mut’ah karena alasan perzinahan, kemudian menghalalkan lagi, kemudian pengharamkan lagi, kemudian menghalalkan lagi dan akhirnya mengharamkan. Bukankah selama penghalalan kembali itu berarti juga Rasulullah SAW menghalalkan perzinaan?
2. Pendapat yang mengatakan bahwa Nikah Mut’ah dihalalkan pada masa Nabi SAW, masa Abu Bakar dan dua tahun pertama masa Umar bin Khattab, kemudian diharamkan oleh Khalifah Umar Bin Khattab bersamaan dengan pengharaman Mut’ah Haji (Haji Tamattu).
Bantahan Shiah :
a. Kalau Nabi SAW saja tidak bisa membatalkan (memanzukhkan) firman Allah SWT pada Al Qur’an, maka apalagi Umar bin Khattab.
b. Kalau Nabi SAW saja tidak bisa mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah (Nikah Mut’ah – QS. An Nisa [4]: 24) , maka apalagi Umar Bin Khattab.
3. Pendapat yang mengatakan Nikah Mut’ah yang tercantum pada QS. An Nisa [4] :24 telah dibatalkan (di naskhkan) oleh Allah Ta’ala berdasarkan firman Allah SWT:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.”
(QS. Al Mukminun [23] : 1-6 dan Al Ma’arij [70] : 29-30).
Bantahan Shiah :
Meskipun Surat Al Mukminun (Surat ke-23) dan Surat Al Ma’arij (Surat ke-70) sedangkan Surat An Nisa merupakan Surat ke-4, dalam Mushaf Al Qur’an. Namun berdasarkan turunnya Surat Al Qur’an, maka Surat Al Mukminun merupakan Surat Makkiyah ke- 74 dan Surat Al Ma’arij merupakan Surat Makkiyah ke-79, sedangkan Surat An Nisaa merupakan Surat Madaniyah ke-6.
Tidak Ada Satu Ayat Quran pun Turun Mengharamkan Nikah Bertempoh ini atau Nikah Mutaah
Sehingga tidaklah mungkin Surat Al Mukminun dan Surat Al Ma’arij dikatakan telah membatalkan ayat tentang Nikah Mut’ah pada Surat An Nisaa yang diturunkan belakangan daripada kedua Surat terdahulu. Suatu ayat hanya dapat dibatalkankan oleh ayat lainnya yang diturunkan kemudian, berdasarkan firman Allah SWT :
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguh-nya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”
(QS. Al Baqarah [2] : 106)
Berdasarkan penjelasan di atas maka Nikah Mut’ah adalah HALAL berdasarkan QS. An Nisaa [4] : 24. Dan segala sesuatu yang di-HALAL-kan oleh Allah tidak bisa di-HARAM-kan oleh manusia. Dan apa yang Halal menurut Allah SWT pastinya didalamnya hanya mengandung kebaikan serta terbebas dari keburukan. Namun ada diantara manuasia yang merasa dirinya lebih hebat dari Allah SWT, sehingga menilai di dalam Nikah Mut’ah semata-mata hanya terdapat keburukan (seperti diartikan sebagai penghalalan pelacuran, dsb).

Dewasa ini banyak dari kalangan Ulama Suni di Indonesia yang berpendapat bahwa Nikah Mut’ah adalah Halal berdasarkan nash Al Qur’an, dan bahkan tidak sedikit diantaranya yang melakukannya, bukan semata-mata karena kebutuhan seksual, tetapi guna menunjukan ke-halalan Nikah Mut’ah itu sendiri.
Halalnya Nikah Mut’ah bukanlah berarti wajib atau di sunnahkan untuk dilakukan, melainkan siapapun diperbolehkan memilih untuk melakukan ataupun meninggal-kannya (tidak melakukannya). Tetapi ia menjadi wajib bagi sepasang pria wanita yang tidak terikat pada Nikah Daim (Nikah Permanen) yang melakukan hubungan seksual. Karena tanpa Nikah Mut’ah maka hubungan seksual tersebut menjadi tergolongan perbuatan zina yang mendatangkan dosa.

Seseorang boleh saja mengatakan, “Aku tidak memerlukan Nikah Mut’ah, karena aku tidak akan mungkin terjerumus pada perbuatan zina”, meskipun sesungguhnya Allah Ta’ala adalah Maha Mengetahui bahwa manusia tidak bisa menahan hawa nafsunya (syahwatnya). Nah Nikah Mut’ah adalah rahmat Allah Ta’ala kepada Umat Muhammad SAW untuk menyelamatkannya dari jurang perzinaan. Nikah Mut’ah adalah solusi Islam sebagai agama terakhir terhadap praktek perzinaan, yang menjangkiti keturunan Adam as sejak generasi awal serta tidak kunjung berhasil dihapuskan semata-mata melalui ancaman dosa dan larangan oleh syariat2 yang diturunkan sebelumnya.

Bagi setiap mukmin tersedia dua alternatif (dalam hal tidak dapat menahan hawa nafsu seksualnya yang tidak tertampung oleh isteri2nya atau yang belum mempunyai isteri tetapi telah cukup umur), yaitu 1). melakukan hubungan seksual dengan Nikah Mut’ah, atau 2). melakukan hubungan seksual tanpa Nikah Mut’ah.
Sementara itu dikalangan umat Islam terjadi perbedaan pendapat tentang halal dan haramnya Nikah Mut’ah. Sebagai seorang yang berakal, bagaimanakah anda menentukan pilihan atas kedua alternatif di atas?
Kebenaran hakiki adalah sisi Allah SWT.

Jika Nikah Mut’ah adalah haram di sisi Allah, maka sekalipun anda melaksananya, tetap tergolong sebagai zina.
Jika Nikah Mut’ah adalah Halal di sisi Allah, maka sungguh merugi jika tidak melaksanakannya, karena seharusnya bisa terhindar dari perbuatan zina, tetapi karena kekerasan kepala, malah terjerumus pada perbuatan zina.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa pembicaraan tentang Nikah Mut’ah sangat tidak disenangi oleh sebagian umat Islam sendiri terutama dari kalangan wanita. Seperti halnya juga berbicara tentang Poligami yang sampai sekarang belum bisa diterima oleh kebanyakan kaum muslimah.
Tetapi berbicara tentang aqidah dan syariat agama bukanlah tergantung pada senang atau tidak senangnya pihak2 tertentu. Slogan ISLAM YANG KAFFAH (Menyeluruh) adalah termasuk dalam hal pembicaraan seperti ini. (Apa yang engkau anggap buruk belum tentu hal itu buruk disisi Allah).

Sebagai penutup, saya kutip ucapan Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib as: “Bilamana saja Umar tidak melarang Nikah Mut’ah, niscaya tidak ada lagi seorang mukminpun yang akan terjerumus kedalam zina, kecuali mereka yang benar benar celaka”.
=======================================================================================================
ASWAJA SUNNi HANYA AMBiL HADiS YANG UNTUNGKAN MEREKA
Memang ada juga hadis yang melarang Nikah Mut’ah, tapi yang melarang bukan Rasulullah saww tapi Umar Ibn Khattab. Hadisnya adalah yang bersumber dari Musnad Ibn Hanbal Volume 1 halaman 437 :
Abu Nandra berkata kepada Jabir bin Abdullah : ” Mut’ah itu dilarang oleh Ibn Zubair akan tetapi Ibn Abbas memperbolehkan”.

Dia (Jabir) menjawab ” Rasulullah pernah menghalalkan Mut’ah dan kita
melakukannya bersama Rasulullah saww”.
Affan juga berkata ” Pada masa Khekalifan Abu Bakar Nikah Mut’ah itu masih dihalalkan, dan pada zaman Umar Ibn Khatab menduduki kekhalifahan dia juga memfatwakan bahwa Al-Quran adalah Al-Quran, dan sesungguhnya Rasulullah saww adalah seorang rasul., ada dua Mut’ah yang dihalalkan pada zaman Nabi saww yaitu Mut’ah dalam Hajji (haji tamattu) dan Nikah Mut’ah.”

Lalu ada juga hadis dari Sahih Muslim jilid 008, nomer 3249 :
Nikah Mut’ah itu diizinkan dan dihalalkan pada zaman Rasulullah saww, dan juga masih dihalalkan pada zaman kekhalifahan Abu bakar, akan tetapi pada masa Umar Ibn Khatab menjadi khalifah hal itu diharamkan oleh beliau dikarenakan kasus Amr b. Huraith

Dengan adanya beberapa hadis yang saya sampaikan diatas kita bisa menilai bahwa kalau kita ingin mengkaji sesuatu topik atau masalah, kita tidak bisa hanya bersandar dari satu hujah saja. dimana ada dalil yang mengharamkan Mut’ah akan tetapi banyak dalil juga yang menghalalkan Mut’ah.

Untuk mencegah konflik maka sangat disarankan jika ingin mengupas suatu hadis yang bertentangan atau tidak, para Ulama menyanrankan bahwa dalam pengkajian suatu hadis harus di dukung dengan Al-Quran. Dan jika tidak ada dalam Al-Quran kita harus mencarinya di dalam hadis dengan catatan tidak benrtentangan dengan Al-Quran, seperti contohnya Shalat, di dalam Al-Quran tidak ada ayat yang menerangkan cara sholat. Akan tetapi kita mengambil dari hadis yang sifatnya tidak bertentangan dengan Al-Quran.
Landasan pensyariatannya adalah firman Allah SWT, “… (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan ( dalam perkawinan) dua perempuan yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) perempuan yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri ) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya ( dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban. Dan tidak mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana. ” (QS. an-Nisa’ [4]: 23-24).

Ayat ini menjelaskan nikah mut’ah karena beberapa alasan berikut:
Mengartikan Ayat di Atas Untuk Nikah Permanen
1. Menjadikan Pengulangan Hukum yang Tidak Perlu
Surah ini. yakni surah an-Nisa., menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan hukum-hukum dan hak-hak perempuan. Disebutkan jenis-jenis pernikahan pada awal surah dengan susunan khusus. Adapun pernikahan permanen telah ditunjukkan Allah SWT dengan firman-Nya. “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil; maka (kawinilah) seorang saja. “(QS. an-Nisa [4]: 3).

Tentang hukum-hukum mahar telah disebutkan dalam ayat berikutnya,
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”(QS.an-Nisa. [4]: 4).

Allah SWT juga berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menghalangi mereka untuk kawin lagi dan menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya. (QS. an-Nisa’ [4]: 19)
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? (QS. an-Nisa’ [4]: 20).

Sedangkan tentang menikahi budak-budak telah dijelaskan dalam firman-Nya,”Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini perempuan merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu. Sebagian kamu adalah dari sebagian yang lain. Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang mereka pun perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan pula perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. ” ( QS. an-Nisa’ [ 4] : 25 ).

Firman Allah SWT min ma malakat aymanukum ( dari budak-budak yang kamu miliki) menunjukkan pernikahan majikan dengan budaknya. Hal ini dijelaskan juga dalam firman-Nya, “kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. ” (QS. al-Mu’minun [23]: 6).

Firman Allah swt karena itu nikahilah mereka dengan seizin tuan mereka menunjukkan pernikahan budak milik orang lain.
Sampai di sini, selesailah penjelasan tentang jenis-jenis pernikahan. Tidak ada lagi jenis pernikahan yang tersisa selain nikah mut’ah. Itulah yang dijelaskan dalam ayat sebelumnya. Sedangkan menyamakan firman Allah: famastamt’tum dengan pernikahan permanen. Dan firman Allah: fa atuhunna ujurohunna dengan mahar dan sedekah, menjadikan penyebutan hukum yang berulang-ulang.

Akan dijelaskan kepada Anda keberadaan nikah mut’ah pada pennulaan Islam. Tidaklah pantas Pemberi syariat (Allah) mengabaikan hukumnya.
Orang yang memperhatikan surah tersebut akan mengetahui bahwa ayat-ayatnya menjelaskan jenis-jenis pernikahan dengan susunan khusus. Hal itu tidak terwujud kecuali dengan mengartikan kandungan ayat itu dengan nikah mut’ah,sebagaimana yang tampak pada lahiriah ayat tersebut.

2. Penjelasan para Sahabat tentang Turunnya Ayat Tersebut.
Sejumlah besar ahli hadis menjelaskan bahwa ayat tersebut -turun berkenaan dengan nikah mut’ah. Periwayatan mereka sampai kepada Ibn ‘ Abbas, Ubay bin Ka ‘ab, ‘Abdullah bin Mas’ud, Jabir bin ‘Abdullah al-Anshari, Hubaib bin Abi Tsabit, Sa’id bin Jubair, dan lain-lain dari kalangan ahli hadis yang tidak mungkin merekayasa hadis dan membuat kebohongan.

Para mufasir dan ahli hadis telah menyebutkan turunnya ayat tersebut.
Imam mazhab Hanbali, Ahmad bin hanbal, dalam Musnadnya.
Abu Ja ‘far athThabari dalam Tafsir-nya.
Abu Bakar al-Jashshash al-Hanafi dalam Ahkam al-Qur’an.
Abu Bakar al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra.
Mahmud bin ‘Umar az-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf
Abu Bakar bin Sa’dun al-Qurthubi dalam tafsir Jami’ al-Ahkam al-Qur’an.
Fakhruddin ar-Razi dalaffi MaJatih al-Ghayb.

Masih banyak lagi ahli hadis dan mufasir yang datang setelah itu hingga masa kita ini. Saya tidak akan memperpanjang pembahasan ini dengan menyebutkan nama-nama mereka.
Tidak seorang pun menuduh para ulama tersebut dengan menyebutkan apa yang tidak mereka fatwakan. Dengan memperhatikan bukti-bukti ini, tidak diragukan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan nikah mut’ah.

Makna ayat itu adalah: Sesungguhnya Allah swt mensyariatkan bagi kamu pernikahan selain yang diharamkan untuk mencari dengan hartamu apa yang dapat melindungimu, memelihara kesucian dirimu, dan mencegahmu dari perzinaan. Jika kamu menikah untuk bersenang-5enang, bayarkanlah maskawinnya kepada mereka.

Pada dasamya, tujuan pernikahan itu adalah untuk memelihara diri. Tujuan itu dapat terwujud melalui semua jenis pernikahan, baik pernikahan permanen, pernikahan mut’ah, maupun pernikahan dengan budak milik orang lain yang disebutkan dalam surah ini dari awal hingga ayat 25.

Inilah yang dipahami setiap orang dari lahiriah ayat-ayat tersebut. Namun, orang-orang yang tidak berhati bening mengambil lahiriah ayat: famlis tamta’tum bihi minhunna fa ‘tuhunna ujurahunna (maka istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya) karena dorongan nafsu atau lingkungan yang berusaha menerapkan makna ayat tersebut pada akad pernikahan permanen. Dalam masalah ini ia menyebutkan beberapa keraguan yang tidak berarti apa-apa setelah diberi bantahan.
Berikut ini rangkumannya :

Pertama, tujuan disyariatkannya pernikahan adalah untuk membina keluarga dan meneruskan keturunan. Hal ini hanya dapat terwujud melalui pernikahan permanen, tidak melalui pernikahan temporal (nikah mut’ah) yang hanya menghasilkan kecuali kepuasan syahwat dan mencurahkan sperma.

Jawab: Mereka telah mencampur-adukkan antara masalah ini dan manfaat yang dihasilkannya. Apa yang ia sebutkan hanyalah dari aspek hikmah. Padahal, hukum berbeda dengan hikmah. Karena keadaan terpaksa, suatu pernikahan dikatakan sah walaupun dilakukan tanpa memperhatikan tujuan-tujuan di atas, seperti pernikahan dengan perempuan mandul, yang telah menopous, dan anak di bawah urnur. Bahkan kebanyakan orang yang menikah pada usia muda melalui pernikahan permanen tidak memiliki tujuan kecuali untuk menyalurkan hasrat dan memenuhi dorongan syahwat melalui cara yang sah. Mereka sarna sekali tidak berpikir untuk mencari keturunan walaupun akhirnya keturunan itu mereka peroleh juga. Hal itu tidak merusak keabsahan pernikahan mereka.

Adalah mengherankan, memberikan batas bahwa tujuan nikah mut’ah adalah untuk memenuhi hasrat semata-mata. Padahal, pernikahan tersebut, seperti juga pernikahan permanen, kadang-kadang dimaksudkan untuk menghasilkan keturunan, mengabdi, membina rumah tangga, serta mendidik, menyusui, dan merawat anak-anak walaupun hal seperti itu jarang ditemui.

Karni ingin bertanya kepada orang-orang yang melarang nikah mut’ah, yang menganggap pernikahan tersebut menyalahi hikmah yang menjadi tujuan disyariatkan pernikahan. Kami bertanya kepada mereka tentang suami-istri yang menikah dengan pernikahan permanen tetapi mereka berniat untuk bercerai setelah dua bulan. Apakah pernikahan seperti ini sah atau tidak? Saya kira tidak ada seorang pun dari ahli fiqih Islam yang melarang hal itu kecuali apabila ia mengeluarkan fatwa tanpa dalil dan burhan. Dengan demikian, tampaklah dengan jelas keabsahan pernikahan ini. Tidak ada perbedaan antara pernikahan mut’ah dan pernikahan permanen seperti ini selain pada jenis pertama disebutkan jangka waktunya sedangkan pada jenis kedua tidak disebutkan jangka waktunya?

Penulis tafsir al-Manar berkata, “Mengingat adanya penegasan para ulama terdahulu dan para ulama kemudian dalam melarang nikah mut’ah, maka pernikahan (permanen) dengan niat akan bercerai pun harus dilarang. Kalau para ahli fiqih mengatakan bahwa akad nikah yang dilakukan itu-sementara suami meniatkannya untuk jangka waktu tertentu tetapi tidak disyaratkan dalam redaksi (shighat) akad, melainkan menyembunyikannya dalam hati-adalah sah, hal itu dipandang sebagai tipuan dan kebohongan. Akad seperti itu lebih pantas dibatalkan daripada akad yang mensyaratkan ditentukannya jangka waktu (dalam redaksinya).”

Kita asumsikan bahwa suami-istri itu rela dengan ketentuan jangka waktu tersebut sehingga tidak terdapat usaha penipuan dan kebohongan. Maka akad pernikahan itu sah tanpa dapat disangkal lagi.
Kedua, menghalalkan nikah mut’ah adalah bertentangan dengan apa yang ditegaskan dalam al-Qur’an, seperti firman Allah swt ketika menyebutkan. sifat-sifat kaum Mukmin, “… dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. ” (QS. al-Mu’minun [23]: 5-7).

Yang dimaksud dengan firman-Nya Barangsiapa yang mencari adalah orang-orang yang berpaling dari apa yang telah dihalalkan Allah kepada apa yang diharamkan-Nya. Perempuan yang dinikah mut’ah bukan istri yang memperoleh hak-hak dari suami, dengan cara yang baik.

Keraguan itu dapat dijawab. Hal itu merupakan pengakuan tanpa bukti. Sebab, ia adalah seorang istri dan ada hukum-hukum yang mengaturnya. Tidak adanya pemberian nafkah dan pembagian harta tidak mengubah statusnya sebagai seorang istri. Perempuan yang berbuat durhaka kepada suami tetap berstatus sebagai istri, tetapi ia tidak berhak mendapatkan nafkah dan hak pembagian.

Seperti itu pula perempuan yang dinikahi dalam usia kanak-kanak. Anehnya,mereka berdalil dengan tidak adanya hukum-hukum yang menafikan esensi tersebut. Padahal, pernikahan mengikatkan antara suami dan istri yang menyebabkan timbulnya sejumlah hukum. Kadang-kadang sebagian hukum itu mengkhususkan sebagian yang lain.

Ketiga, laki-laki yang melakukan nikah mut’ah tidak bermaksud memelihara kesucian diri. Melainkan ia hanya bertujuan untuk memuaskan dorongan seksualnya. Kalaupun ia bertujuan untuk memelihara kesucian dirinya agar tidak jatuh ke dalam perzinaan, tetapi tidak demikian halnya dengan perempuan yang melacurkan dirinya setiap jangka waktu tertentu kepada seorang laki-laki. Keadaan perempuan itu seperti yang dikatakan penyair:
Bola dilempar dengan tongkat perak
laki-laki demi laki-laki menangkapnya.

Jawab: dari mana diketahui bahwa memelihara kesucian diri hanya dilakukan oleh laki-laki~ tidak oleh perempuan. Jika kita asumsikan bahwa akad nikah itu sah, maka dengan cara ini masing-masing dari kedua pihak itu menjaga kesucian dirinya. Jika tidak, tidak diragukan bahwa ia akan jatuh ke dalam perzinaan. Yang dapat memelihara pemuda dan pemudi dari perzinaan adalah salah satu dari tiga hal berikut:

Pernikahan permanen.
Pernikahan mut’ah dengan cara yang telah disebutkan.

Menahan dorong seksual.
Cara pertama, kadang-kadang tidak mudah dilakukan, terutama bagi mahasiswa dan mahasiswi yang hidup dari uang kiriman yang tidak seberapa dari orangtua mereka atau beasiswa dari pemerintah. Menahan dorongan seksual adalah sesuatu yang tidak mudah. Tidak ada yang dapat melakukannya kecuali orang pemuda dan pemudi yang sempurna. Tetapi jumlah mereka sangat sedikit. Maka tidak ada cara lain selain cara kedua. Cara ini dapat memelihara pemuda dan pemudi dari mendatangi rumah-rumah pelacuran.
Agama Islam adalah agama penutup semua agama; Nabinya merupakan penutup para nabi; Kitabnya merupakan penutup semua kitab suci; syariatnya merupakan penutup semua syariat.

Karenanya Islam harus memberikan solusi menurut syariat bagi setiap permasalahan. Dengan cara itu Islam akan memelihara kemuliaan kaum Mukmin baik laki-laki maupun perempuan. Masalah seksual pada laki-laki dan perempuan tidak mungkin diabaikan oleh agama Islam. Ketika itu, dengan sendirinya muncul pertanyaan berikut;
Apa yang harus dilakukan mahasiswa dan mahasiswi yang tidak mampu melakukan pernikahan permanen, tetapi kemuliaan dan agama mereka melarang mereka mendatangi rumah-rumah pelacuran, sementara keindahan kehidupan materialistis mengobarkan api syahwat dalam diri mereka? Pada umumnya, dalam keadaan seperti itu mustahil seseorang dapat memelihara kesucian dirinya kecuali orang yang dipelihara oleh Allah. Tidak ada lagi cara lain selain menempuh pernikahan mut’ah yang merupakan solusi terbaik untuk menghindari perzinaan. Ada satu ucapan ‘Ali bin Abi Thalib yang selalu terngiang di telinga, yang memperingatkan akan memuncaknya masalah ini jika penanggulangan nya dengan cara yang diajarkan Pemberi syariat diabaikan. ‘

Ali bin Abi Thalib berkata, “Kalau ‘Umar tidak melarang mut’ah, tentu tidak akan ada yang berzina kecuali laki-laki atau perempuan yang celaka.”
Menyamakan pernikahan mut’ah dengan apa yang disebutkan dalam syair di atas menunjukkan ketidaktahuan orang itu terhadap hakikat dan definisi nikah mut’ah. Yang disebutkan dalam syair itu adalah nikah mut’ah periodik yang dituduhkan oleh orang itul dan yang lain kepada Syi’ah. Padahal, kaum Syi’ah sendiri berlepas diri dari kebohongan ini. Sebab, setelah berakhir jangka waktu yang ditentukan, perempuan yang dinikahi mut’ah harus menunggu masa ‘iddah seperti yang telah disebutkan di atas. Maka, bagaimana mungkin ia menjajakan dirinya setiap saat kepada laki-laki? Mahasuci Allah dari kelancangan mereka dalam membuat dusta dan kebohongan kepada Syi’ah. Isi dari syair itu hanyalah satu bentuk kelancangan terhadap wahyu dan syariat.

Ilahi. Padahal, para ahli hadis dan ahli tafsir sepakat bahwa nikah mut’ah itu telah disyariatkan. Kalaupun ada larangan atau penghapusan hukum, hal itu hanyAlah datang setelah nikah mut’ah itu disyariatkan dan dilaksanakan.

Keempat, ayat itu telah dihapus dengan sunah. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat dalam menetapkan kapan masa penghapusan itu dilakukan. Berikut ini beberapa pendapat tentang itu:
1. Nikah mut’ah dibolehkan, kemudian dilarang pada saat terjadi Perang
Khaybar.
2. Mut’ah tidak dihalalkan kecuali pada ‘umrah qadha.
3. Nikah mut’ah dihalalkan, lalu dilarang pada saat Penaklukan kota Makkah.
4. Nikah mut’ah dibolehkan pada saat terjadi peperangan, tetapi kemudian
dilarang.

Pernyataan-pernyataan ini menafikan keyakinan adanya penghapusan hukum (naskh) , sebagaimana penghapusan hukum Al Qur’an dengan hadis ahad yang sangat dilarang. Diriwayatkan sebuah hadis sahih dari ‘Imran bin al-Hushain bahwa ia berkata, “Sesungguhnya Allah SWT menurunkan (ayat tentang) nikah mut’ah dan tidak melarangnya. Rasulullah saw memerintahkan kami untuk melakukan pernikahan mut’ah dan tidak melarangnya. Kemudian seseorang mengatakan menurut pendapatnya sendiri.” Seseorang yang ia maksud ialah: ‘Umar bin al-Khaththab.

Khalifah kedua itu tidak mengatakan adanya penghapusan. Melainkan ia menetapkan larangan itu berdasarkan pendapatnya sendiri. Kalau ada nas dari Allah ‘ Azza wa Jalla atau dari Rasulullah saw yang menghapusnya, tentu ia menetapkan larangan itu berdasarkan keduanya. Telah tersebar,luas ucapan ‘Umar di atas mimbar, “Ada dua mut’ah yang berlaku pada zaman Rasulullah saw tetapi saya meIarangnya dan akan menghukum siapa saja yang melakukannya.

Yaitu, mut’ah haji dan mut’ah (dalam menikahi) perempuan. Bahkan, seorang ahli kalam mazhab Asy’ariyah menukil dalam Syarh ‘ala Syarh at-Tajrid, bahwa ‘Umar mengatakan, “Wahai orang-orang, ada tiga hal yang berlaku pada zaman Rasulullah saw tetapi saya melarang dan mengharamkannya, serta menghukum siapa saja yangmelakukannya. Yaitu mut’ah haji, mut’ah (dalam menikahi) perempuan, dan (ucapan) hayya ‘ala khayril ‘amat dalam azan.”

Telah diriwayatkan dari Ibn ‘ Abbas-ia termasuk orang-orang yang menjelaskan kehalalan mut’ah dan membolehkannya-bahwa ia menanggapi orang yang mendebatnya dengan pelarangan dari Abu Bakar dan ‘Umar. la berkata, “Hampir turun hujan batu dari langit kepadamu. Saya katakan, ‘Rasulullah saw bersabda …’, sedangkan kalian mengatakan, ‘Abu Bakar dan ‘Umar berkata …’”

Bahkan ketika Ibn ‘Umar ditanya tentang mut’ah, ia memberi fatwa tentang kehalalannya. Kemudian mereka mempertentangkannya dengan ucapan ayahnya. Tetapi ia bertanya kepada mereka, “Perintah siapakah yang lebih patut diikuti, perintah Rasulullah saw atau perintah ‘Umar?”

Semua itu menunjukkan bahwa tidak ada penghapusan dan pelarangan dari Nabi saw. Yang ada hanyalah pengharaman dari khalifah. Pada dasarnya, pelarangan itu merupakan ijtihad melawan nas yang jelas. Selain itu, sejumlah sahabat terus-menerus menyatakan penolakan mereka terhadapnya dan ketidakpatuhan mereka pada perintahnya itu. Apabila khalifah itu berijtihad karena alasan-alasan yang dilihatnya dan mengeluarkan fatwa berdasarkan alasan-alasan tersebut, yang utama bagi orang-orang yang mengikutinya adalah bersikap hati-hati terhadap masalah ini. Hendaknya mereka tidak berlebih-lebihan dalam membenarkannya tanpa hujah dan dalil.

Orang-orang yang Menolak Larangan Itu .
Telah kami sebutkan bahwa sejumlah besar sahabat dan tabi’in menolak
larangan itu dan tidak mengakuinya. Di antara mereka adalah sebagai berikut:
I. ‘ Ali Amirul Mukminin. Dalam hadis yang diriwayatkan ath-Thabari dengan sanad-sanad yang bersambung kepada Imam ‘Ali, bahwa Imam ‘ Ali berkata, “Kalau ‘Umar tidak melarang mut’ah, tentu tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang celaka.”
2. ‘ Abdullah bin ‘Umar. Imam Ahmad meriwayatkan hadis dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa ia-setelah ditanya tentang nikah mut’ah-berkata, “Demi Allah, pada zaman Rasulullah saw kami tidak berzina.” Selanjutnya ia berkata, “Demi Allah, saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Sebelum hari kiamat, pasti muncul al-Masih ad-Dajjal dan tiga puluh pendusta atau lebih.”
3. ‘ Abdullah bin Mas’ud. AI-Bukhari meriwayatkan hadis dari ‘Abdullah bin Mas’ud, bahwa ia berkata, “Kami pergi berperang bersama Rasulullah saw dan tidak membawa sesuatu apa pun. Lalu kami bertanya, ‘Bolehkah kami berkebiri?’ Namun, beliau melarang hal itu. Kemudian beliau memberikan keringanan kepada kami agar menikahi perempuan hingga jangka waktu tertentu.
Kemudian beliau membaca ayat, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai urang-orang yang melampaui batas. ” (QS. al-Ma’idah [4]: 87)
4. ‘lmran bin Hushain. Al-Bukhari dalam Shahihnya meriwayatkan hadis
darinya. la berkata, “Turun ayat tentang mut’ah dalam Kitab Allah. Maka kami melaksanakannya bersama Rasulullah saw. Tidak pemah turun ayat Al-Qur’an yang mengharamkannya dan beliau pun tidak melarangnnya hingga beliau wafat.Seseorang hanya mengatakan menurut pendapatnya sendiri sekehendak hatinya.
Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan hadis dari Abu Raja’ dari ‘Imran bin Hushain. la berkata, “Turun ayat tentang mut’ah dalam Kitab Allah dan kami mengamalkannya bersama Rasulullah saw. Tidak pemah turun ayat yang melarangnya dan Nabi saw pun tidak melarangnya hingga beliau wafat.
5. Selain itu, seorang khalifah Abbasiyyah, al-Ma’mun, pada masa
pemerintahannya hampir menyerukan penghalalan nikah mut’ah. Namun, ia merasa khawatir akan munculnya fitnah dan perpecahan di tengah kaum Muslim. Ibn Khalkan mengutip ucapan Muhammad bin Manshur: Kami bersama al-Ma’mun dalam suatu perjalanan menuju Syam. Lalu ia memerintahkan agar diserukan penghalalan nikah mut’ah. Kemudian Yahya bin Aktsam berkata kepada saya dan Abu al-’ Ayna ‘ , “Datanglah kepadanya besok pagi-pagi sekali. Kalau kalian
melihat kesempatan untuk berbicara maka berbicaralah. Jika tidak, maka diamlah hingga saya masuk.” Esok harinya kami menemuinya, sementara ia sedang bersiwak (menyikat gigi). Sambil berjongkok ia berkata, ” Ada dua mut’ah yang pernah berlaku pada zaman Rasulullah saw dan zaman Abu Bakar ra tetapi saya malarangnya. Siapakah engkau, berani-beraninya melarang apa yang pernah dilakukan Rasulullah saw dan Abu Bakar ra?” Sambil memberi isyarat
kepada Muhammad bin Manshur, Abu al-’ Ayna’ berkata, “Orang ini berbicara tentang ‘Umar bin al-Khaththab, apakah perlu kita jawab?’ Namun kami diam saja sampai akhimya. Lalu Yahya bin Aktsam datang. la duduk dan kami pun duduk. Al-Ma’mun bertanya kepada Yahya, “Mengapa aku lihat engkau berubah?”
Yahya menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, ini adalah perasaan sedih karena sesuatu telah terjadi pada Islam.” AI-Ma’mun bertanya, “Apa yang terjadi pada Islam?” Mauhammad bin Manshur men.jawab, “Seruan menghalalkan zina..”
Al-Ma’mun bertanya, “Zina?’ Muhammad bin Manshur menjawab, “Benar. Nikah mu’tah adalah zina.” Al-Manshur bertanya lagi, Dari mana engkau mengetahui al ini?” la menjawab, Dari Kitab Allah’ Azza wa Jalla dan hadis Rasulullah saw Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orangorang yang menunaihan zahat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereha atau budak yang mereka miliki. Maha sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu maka mereka itulah orangorangyang melampaui batas” (QS.al-Mu’minun [23]: 1-7). Wahai Amirul Mukminin, apakah perempuan yang dinikah mut’ah itu adalah budak yang dimiliki?” Al-Ma’mun menjawab, “Bukan.”
Muhammad bin Manshur bertanya lagi, ” Apakah ia istri yang di sisi Allah
mewarisi dan mewariskan, serta mempunyai anak (yang dinasabkan kepadanya) ,dan dipenuhi syarat-syaratnya?” Al-Ma’mun menjawab, “Tidak.” Maka Muhammad bin Manshur berkata, “Maka orang yang melampaui batas dalam kedua hal ini termasuk orang-orang yang melampaui batas (yang disebutkan dalam ayat di
atas).”

Saya katakan: Ibn Aktsam telah menyimpang jauh-dan ia termasuk orang-orang yang menyembunyikan permusuhan kepada ahlulbait-dengan menganggap bahwa nikah mut’ah termasuk dalam firman Allah SWT, …kecuali kepada istri-istri mereka dan bahwa tidak adanya pewarisan merupakan takhshish dalam hukum.
Padahal, hal itu tidak menafikan berlaku hukum tersebut. Betapa banyak hal serupa itu, seperti istri yang kafir tidak mewarisi harta suami yang Muslim,begitu pula sebaliknya; istri yang membunuh suaminya tidak mendapat warisan harta darinya, demikian pula sebaliknya. Adapun anak, tentu bemasab kepadanya. Menafikan penasaban anak ini muncul karena ketidaktahuan terhadap hukum nikah mut’ah atau berpura-pura tidak mengetahuinya.

Betapa buruk yang ia ucapkan. la menafsirkan nikah mut’ah dengan perzinaan. Padahal, umat ini telah menerima kehalalannya pada zaman Rasulullah saw dan khalifah pertama. Apakah Ibn Aktsam mengira bahwa Rasulullah saw menghalalkan perzinaan Walaupun dalam jangka waktu yang singkat?
Terdapat banyak hadis yang diriwayatkan dari khalifah (‘Umar) sendiri.

Hadis-hadis itu menunjukkan bahwa pelarangan nikah mut’ah itu semata-mata keputusan menurut pendapatnya sendiri, tidak bersandar pada satu ayat atau satu hadis pun.
Muslim dalam Shahih-nya meriwayatkan hadis dari Ibn Abi Nadhrah. la berkata: Ibn .Abbas memerintahkan mut’ah, sedangkan Ibn Zubair melarangnya. Maka ia menyampaikan hal itu kepada Jabir. Jabir menjawab, “Di hadapanku beredar hadis: Kami melaksanakan mut’ah bersama Rasulullah saw. Ketika ‘Umar menjadi khalifah, ia berkata, Sesungguhnya Allah menghalalkan kepada Rasul-Nya apa yang Dia kehendaki dengan apa yang Dia kehendaki. Maka sempumakanlah haji dan ‘umrah dan laksanakanlah pernikahan ini (permanen-penej.). Namun,jika ada” seorang laki-laki menikahi seorang perempuan untuk jangka waktu tertentu (nikah mut’ah), pasti aku akan merajamnya dengan batu..”

Imam Ahmad dalam Musnad-nya meriwayatkan hadis dari Abu Nadhrah. la berkata: Saya berkata kepada Jabir bahwa Ibn Zubair melarang nikah mut’ah, sedangkan Ibn ‘Abbas memerintahkannya. Maka Jabir menjawab, “Di hadapanku beredar hadis: Kami melaksanakan nikah mut’ah bersama Rasulullah saw dan Abu Bakar.

Ketika ‘Umar diangkat menjadi khalifah, ia berpidato di hadapan khalayak,’Sesungguhnya Al-Qur’an adalah Al-Qur’an, dan sesungguhnya Rasulullah saw adalah seorang rasul. Keduanya memberlakukan dua mut’ah pada zaman Rasulullah saw. Yang pertama adalah mut’ah dalam haji (haji tamattu’) dan yang kedua adalah mut’ah (dalam menikahi) perempuan.”

Dari hadis-hadis di atas dapat ditarik dua kesimpulan berikut:
I. Kehalalan nikah mut’ah tetap berlaku hingga zaman kekhalifahan ‘Umar bin al-Khaththab hingga saat ia melarangnya.
2. Dengan ijtihadnya sendiri ia memberlakukan pengharaman terhadap apa yang dihalalkan dalam Al-Qur’an dan sunah. Seperti telah diketahui,ijtihadnya-kalaupun dapat disebut ijtihad-adalah hujah yang berlaku bagi dirinya sendiri, tidak berlaku bagi orang lain.

Akhimya, kami katakan: Ketidaktahuan terhadap fiqih Syi’ah menyebabkan banyak penulis mereka-reka perkataan atas nama Syi’ah, khususnya dalam masalah nikah mut’ah yang sedang kita bahas. Mereka melemparkan berbagai pendapat dan hukum-hukum. Hal itu menunjukkan ketidaktahuan dan niat buruk mereka. Ucapan-ucapan itu di antaranya bahwa di antara hukum-hukum nikah mut’ah dalam mazhab Syi’ah adalah tidak adanya hak anak terhadap warisan ayahnya, dan bahwa perempuan yang dinikah mut’ah tidak memiliki masa ‘iddah sehingga ia dapat berpindah dari satu laki-laki ke laki-laki yang lain jika ia mau. Karena itu, mereka memandang buruk dan menolak pernikahan mut’ah.

Mereka pun mencela orang-orang yang menghalalkannya.
Hakikat yang sebenamya tidak mereka ketahui. Yaitu :
Pertama, pernikahan mut’ah menurut Syi’ah adalah seperti pernikahan
permanen. Pernikahan itu tidak sah kecuali dilakukan melalui akad yang
mengisyaratkan adanya tujuan pernikahan itu secara jelas.
Kedua, perempuan yang dinikah mut’ah harus terhindar dari seluruh penghalang (bukan muhrim).
Ketiga, anak yang dihasilkan dari pernikahan itu adalah seperti anak yang diperoleh dari pernikahan permanen Dalam hal wajibnya mendapat warisan, pemberian nafkah, dan hak-hak material lainnya.
Keempat, perempuan yang dinikah mut’ah itu harus menunggu masa ‘iddah setelah jangka waktu pernikahan itu berakhir dan jika telah bercampur.Apabila suaminya meninggal dunia dan ia berada dalam pemeliharaannya, ia harus menunggu ‘iddah seperti yang berlaku Dalam pernikahan permanen tanpa ada perbedaan. Dan konsekuensi-konsekuensi lainnya.

Suatu hal yang harus kita perhatikan dan kita ketahui dengan jelas adalah bahwa walaupun kaum Syi’ah mempercayai dan meyakini kehalalan nikah mut’ah dan tidak ada sesuatu yang mengharamkannya-itulah yang mereka nyatakan dengan jelas dan tanpa ragu-tetapi mereka tidak serta-merta melaksanakan pernikahan itu kecuali dengan syarat-syarat dan batasan-batasan yang ketat.Hal itu tidak seperti yang digambarkan dan dibayangkan oleh sebagian orang yang tersebar di tengah masyarakat mereka dan dalam bentuk yang sejelek-jeleknya.
Allah berfirman, “…Maka istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka mahar (mas kawin) dengan sempurna…” (Q.S. An-Nisa: 24)

Al-Qurthubi, Al-Syaukani dan orang-orang yang sependapat dengan mereka mengatakan bahwa hampir semua ulama menafsirkan ayat tersebut dengan nikah mut’ah yang sudah ditetapkan sejak permulaan Islam. (Tafsir Qurthubi, juz 5, hlm. 130; Ma’a Al-Qur’an karangan Baquri, hlm. 167; Al-Ghadir, juz 6, saduran dari tafsir Syaukani, juz 1, hlm. 144).

Dalam Mustadrak Al-Hakim dan kitab-kitab yang lain disebutkan bahwa Ibnu Abbas bersumpah bahwa Allah menurunkan ayat tersebut untuk pembatasan waktu dalam mut’ah. (Mustadrak Al-Hakim, juz 2, hlm. 305 berikut keterangan Al-Dzahabi yang terdapat di tepi kitab tersebut pada hlm. Yang sama).
Ibnu Abbas, Ubai bin Ka’ab, Said bin Zubair, dan Ibnu Mas’ud membaca ayat tersebut dengan menyisipkan tafsirnya dengan bacaan sebagai berikut: “Barangsiapa di antara kalian melakukan perkawinan dengan menggunakan batas waktu maka bayarlah maharnya.”

Al-Razi dan Al-Naisaburi setelah meriwayatkan bacaan tesrebut dari Ibnu Abbas dan Ubai bin Ka’ab berkata, bahwa seluruh sahabat tidak ada yang menyalahkan bacaan kedua sahabat itu sehingga dapat dikatakan bahwa bacaan tersebut telah disepakati kebenarannya oleh seluruh umat. (Tafsir Al-Naisaburi yang terdapat di tepi kitab Tafsir Al-Thabari juz 5, hlm. 18 dan dalam Kitab Tafsir Al-Razi, juz 10, hlm. 51, cet. Th. 1357 H

Berdasarkan ayat al-Qur’an di atas dan beberapa tafsirnya diketahui bahwa Islam telah mensyariatkan nikah mut’ah. Namun, ada sebagian orang yang menganggap bahwa nikah mut’ah telah dinasakh oleh ayat al-Qur’an yang lain.

Untuk menjawab pernyataan seperti itu, cukuplah saya mengutip perkataan Al-Zamakhsyari dalam buku tafsirnya A-Kasysyaf “Kalau kalian bertanya kepadaku apakah ayat mut’ah sudah dihapus, maka akan kujawab ‘tidak’, karena seorang wanita yang dinikahi secara mut’ah dapat disebut sebagai istrinya.” (Al-Kasysyaf juz 3, hlm. 177, cet. Beirut).Anehnya lagi, ada beberapa kalangan yang menganggap bahwa nikah mut’ah telah dinasakh (dihapus) oleh hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Aalihi wassalam. Tetapi pendapat kebanyakan sahabat dan pengikut Al-Zhahiri, Syafi’I, dan Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayatnya mengatakan bahwa hadits tidak dapat menasakh Al-Qur’an. (Al-Mustashfa juz 1, hlm. 124).
Hadits-hadits yang mengatakan bahwa nikah mut’ah telah diharamkan – menurut saya – tidak dapat kita ikuti, karena terjadi kontradiksi antara hadits yang satu dengan yang lain mengenai waktu pengharamannya, diantaranya sebagai berikut:
Ø Nikah mut’ah halal pada permulaan Islam, diharamkan pada saat perang Khaibar. (Zad Al-Ma’ad, hlm. 183)
Ø Dihalalkan pada permulaan Islam, diharamkan pada Fath Mekkah.Diharamkan pada hari Haji Wada’ (Al-Sirah Al-Halabiyah, juz 3, hlm. 104)
Ø Diharamkan pada saat perang Tabuk, dll.

Al-Suhaili, yang mengatakan bahwa :
“Kebenaran dalil mengenai haramnya nikah mut’ah pada saat perang Khaibar tidak pernah diakui oleh seorangpun dari ahli sejarah maupun dari kalangan perawi hadits”
Lihat :
a.Ibnu Hajar Al-Asqalani, dalam “Fathul Bari’”, juz 9, hal. 145.
b.Suhaili, dalam “Raudh Al-Anf”, juz 4, hal. 59.
c.Siroh Al-Halabiyah, juz 3, hal. 45.
Abu Uyanah dalam kitab Shohih-nya mengatakan :
“Yang saya dengar dari kalangan ulama bahwa yang dilarang dalam hadits Ali adalah hanya memakan daging keledai jinak, bukan tentang mut’ah”.
Ref. :
a.Ibnu Hajar, dalam Fathul Bari, juz 9, hal. 145.
b.Muhammad Asy-Syaukani, dalam Nailul Authar, juz 6, hal. 146.
Dan dalam hadits yang menyatakan bahwa Imam Ali (AS) melarang nikah mut’ah, terdapat peraai-perawi yang pelupa, juga terdapat perawai-perawi yang memang membenci Imam Ali dan keluarga beliau (AS). Hal ini dapat dibaca di kitab sejarah para perawi, seperti :
a.”Tahdzib At-Tahdzib”, oleh Ibn Hajar Al-Asqolani.
b.”Lisanul Mizan”, oleh Ibn Hajar Al-Asqolani.
————————————————————————————————————————————–
Bahkan ada yang mengatakan bahwa nikah mut’ah dibolehkan sebanyak 7 kali dan dilarang 7 kali, yakni pada saat perang Khaibar, Perang Hunain, saat Rasulullah melakukan Umrah Qadha’, Fath Mekkah, Perang Authas, Perang Tabuk, dan Haji Wada’.
Jawaban :
Untuk anggapan yang seperti ini cukuplah kita kutip perkataan Ibnu Qoyyim, “Tidak pernah terjadi dalam syariat penghapusan dua kali dalam satu masalah, dan tidak pernah terjadi penghapusan tentang mut’ah.” (Zad Al-Ma’ad, juz 2, hlm. 183).
—————————————————————–
Nikah Mut’ah Halal Tetapi Dengan Syarat Ketat ,
misal : Tidak Menzalimi Wanita…
Imam Ja’far Shadiq meriwayatkan dari ayah-ayahnya bahwa Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Farji-farji wanita bisa menjadi halal dengan tiga cara, yaitu nikah da’im, nikah mut’ah, dan dengan memilikinya sebagai budak.”Diriwayatkan bahwa Imam Ali pernah melakukan mut’ah dengan seorang wanita dari Bani Nasyhal di kota Kufah. (Al-Wasa’il bab Nikah Mut’ah)
Abi Bashir berkata dalam shahihnya: Aku bertanya kepada Imam Baqir tentang halalnya nikah mut’ah. Beliau menjawab: Halalnya nikah mut’ah tercantum dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 24. (Al-Wasa’il ba
==================================================================================================================================================================
Rujukan Hadis PALSU termasuk dari Imam Ali tentang pengharaman nikah mut’ah ?????????
Bukhari hidup sezaman dengan Imam Al Jawad, Imam Al Hadi dan Imam Al Askari ( imam 9,10, 11 ).. Bukhari tidak mau mengambil hadis dari imam imam ahlul bait yang jujur !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!Hadis hadis yang dinisbatkan pada Nabi SAW dan Imam Ali bukan semua hadis Nabi SAW dan hadis Imam Ali yang asli tapi juga mengandung REKAAN ORANG ORANG TERTENTU YANG DiNiSBATKAN PADA NABi SESUAi DENGAN SELERA PERAWi dan MAZHAB nya…
Bukhari menulis hadis dari 1.080 guru tapi hadis yang dimuat dalam kitab Bukhari hanya diriwayatkan oleh 289 guru.. Apakah semua gurunya terjamin jujur ???? dan MENGAPA TiDAK ADA GURU DARi AHLUL BAiT ????
Al-Bukhari meriwayatkan dari `Ali bin Abi Thalib bahwa Nabi saw , melarang menikahi wanita dengan nikah mut’ah dan makan daging keledai piaraan pada waktu Khaibar.’ ( HR. Al-Bukhari (no. 5115) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1406) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1135) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1961) kitab an-Nikaah.)
Surat an-nisa 24 itu jelas hukum tentang HALALNYA nikah mut’ah, TIDAK ADA KERAGUAN LGI OLEH PARA ULAMA AHLI TAFSIR SUNNI MAUPUN SYIAH dalam kitab2 mereka.. Dalil tafsirnya lengkap sudah dijelaskan dlm topik Nikah Mut’ah dalam Quraan (harap ente baca kitab2 pendukungnya oleh ulama sunni sendiri yg saya sebutkan nama kitabnya)…
Imam Ali tidak akan dan tidak pernah berdusta, oleh sebab itu beliau tidak akan mungkin MENGHARAMKAN apa yg DIHALALKAN ALLAH sampai akhir kiamat… Jadi justru perawi hadis itu yg berdusta, siapa perawi hadis itu??? (ente coba cari tau siapa perawinya??? disitu ente akan mengetahuinya bahwa perawi tersebut sangat membenci imam Ali, bagaimana mungkin seorg yg membenci Imam Ali dpt dipercaya meriwayatkan hadis dari Imam Ali??)…
Imam Ali mengatakan tentang hukum nikah mut’ah:
Imam Ali mengatakan, “Sekiranya Umar tidak melarang nikah mut’ah niscaya tidak seorang pun berzina melainkan orang yang celaka.” [al-Tabari, Tafsir, V, hlm. 9; Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, III, hlm.200; al-Suyuti, al-Durr al-Manthur, II, hlm.140]. Kata-kata Ali ini menolak dakwaan orang yang mengatakan bahwa Ali telah melarang nikah mut’ah karena beliau tidak memansuhkan ayat di dalam Surah al-Nisa’ (4):24.
Jadi saudaraku Solahuddin, ente tidak punya dalil yg kuat utk mengharamkan nikah mut’ah… hanya Umar bin khatab lah yg mempunyai keberanian utk menentang hukum Allah dgn mengharamkan nikah mut’ah, sementara Allah menghalalkannya.. Dalilnya jelas sekali atas pengakuan Umar sendiri, silahkan merujuk dalam kitab:
1. Al-Baihaqi di dalam al-Sunan, V, hlm. 206, meriwayatkan kata-kata Umar,”Dua mut’ah yang dilakukan pada masa Rasulullah (Saw.) tetapi aku melarang kedua-duanya dan aku akan mengenakan hukuman ke atasnya, iaitu mut’ah perempuan dan mut’ah haji.
2. Al-Raghib di dalam al-Mahadarat, II, hlm. 94 meriwayatkan bahwa Yahya bin Aktam berkata kepada seorang syaikh di Basrah:”Siapakah orang yang anda ikuti tentang harusnya nikah mut’ah.”Dia menjawab:”Umar al-Khatab.”Dia bertanya lagi,”Bagaimana sedangkan Umarlah orang yang melarangnya.”Dia menjawab: “Mengikut riwayat yang sahih bahwa dia menaiki mimbar masjid dan berkata: Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah menghalalkan untuk kalian dua mut’ah tetapi aku aku mengharamkan kedua-duanya (mut’ah perempuan dan mut’ah haji). Maka kami menerima kesaksiannya tetapi kami tidak menerima pengharamannya.”
3. Daripada Jabir bin Abdullah, dia berkata:”Kami telah melakukan nikah mut’ah dengan segenggam kurma dan gandum selama beberapa hari pada masa Rasulullah dan Abu Bakar sehingga Umar melarang dan mengharamkannya dalam kes Umru bin Harith.[Muslim, Sahih, I, hlm. 395; Ibn Hajar, Fatih al-Bari, IX, hlm.41; al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, VIII, hlm.294]
4. Daripada Urwah bin al-Zubair,”Sesungguhnya Khaulah bt. Hakim berjumpa Umar al-Khattab dan berkata:”Sesungguhnya Rabiah bin Umaiyyah telah melakukan nikah mut’ah dengan seorang perempuan, kemudian perempuan itu mengandung, maka Umar keluar dengan marah dan berkata:”Sekiranya aku telah memberitahukan kalian mengenainya awal-awal lagi niscaya aku merajamnya.”Isnad hadith ini adalah tsiqah, dikeluarkan oleh Malik di dalam al-Muwatta’, II, hlm. 30;al-Syafi’i, al-Umm, VII, hlm. 219;al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, VII, hlm. 206]
Apakah masih kurang bukti dan dalil yg telah disebutkan diatas bahwa yg mengharamkan nikah mut’ah itu adalah Umar bin Khatab…. BUKAN Imam Ali…Imam Ali mengatakan, “Sekiranya Umar tidak melarang nikah mut’ah niscaya tidak seorang pun berzina melainkan orang yang celaka.”
Inilah 4 contoh hadis REKAYASA/HADiS PALSU :
1.Muslim meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Saburah , bahwa ayahnya berperang bersama Rasulullah saw dalam Fat-hu Makkah. la menuturkan: “Kami bermukim selama 15 hari, lalu Rasulullah saw, mengizinkan kepada kami untuk menikahi wanita sementara waktu. Lalu aku keluar bersama seseorang dari kaumku. Aku mempunyai kelebihan atasnya dalam hal ketampanan, sedangkan dia memiliki rupa yang kurang tampan. Masing-masing dari kami mempunyai selendang. Selendangku jelek, sedangkan selendang sepupuku adalah selendang yang masih baru. Hingga ketika kami berada di wilayah Makkah yang terbawah, atau yang tertinggi, seorang gadis yang seperti unta perawan berpapasan dengan kami. Maka kami bertanya: ‘Apakah salah seorang dari kami bisa menikahimu sementara waktu?’ la bertanya: ‘Apa yang akan kalian berikan?’ Maka masing-masing dari kami menyerah­kan selendangnya, lalu dia mulai memandang dua laki-laki in!. Ketika Sahabatku melihat dia memandang dirinya, maka ia mengatakan: ‘Selendang orang ini buruk, dan selendangku masih baru.’ Dia mengatakan: ‘Selendang ini tidak mengapa, (diucapkannya) tiga kali atau dua kali.’ Kemudian aku menikahinya sementara waktu, dan aku tidak keluar hingga Rasulullah saw ; mengharamkannya.”( HR. Muslim (no. 1406), kitab an-Nikaah
2.hadis yang diriwayatkan dari Rabi’ bin Sabrah r.a. :
“Sesungguhnya rasulullah s.a.w. bersabda: “wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh karenanya barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian mut’ah”.(HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban).
3.Dalam riwayat Muslim, bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang memiliki sesuatu dari wanita-wanita yang dinikahinya sementara waktu, maka hendaklah dia menceraikannya.” (HR. Muslim (no. 1406), kitab an-Nikaah.)
4.“Diriwayatkan bahwa sahabat Ali r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. melarang nikah mut’ah ketika perang Khaibar”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Saudaraku………..
Sejak islam diperintah oleh kerajaan Bani Umayyah dan Abbasiyah, banyak sekali hadis dibuat atas perintah penguasa.. Jadi hadis pengharaman mut’ah kami anggap palsu
Nikah Mut’ah Halal Tetapi Dengan Syarat Ketat , misal : Tidak Menzalimi Wanita…syarat lainnnya tidak melanggar prinsip prinsip syari’at….Jadi nikah mut’ah bukan pelacuran terselubung
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam beberapa sabdanya, di antaranya hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu dan Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu: “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemui kami kemudian mengizinkan kami untuk melakukan nikah mut’ah.” (HR. Muslim)
Muslim meriwayatkan dari Iyas bin Salamah, dari Labiyyah ia mengatakan: “Rasulullah saw , memberi keringanan pada tahun Authas” untuk menikah sementara selama tiga (hari), kemudian beliau melarangnya.” ( Tahun Authas, ini memperjelas bahwa nikah mut’ah diperbolehkan pada hari penaklukan Makkah. Hari penaklukan Makkah dan hari Authas adalah satu hal. Dan Authas adalah lembah di Tha-if. HR. Muslim (no. 1405), kitab an-Nikaah.)
==================================================================================================================================================
Nikah mut’ah dalam pandangan syi’ah imamiyah.
`Umar bin khattab lah yang melarang nikah mut’ah lewat penuturan Jabir r.a dalam riwayat Muslim
Jabir bin `Abdillah r.a dan para Sahabat melakukan nikah mut’ah pada masa Abu Bakar dan `Umar
Hukum Nikah Mut’ah dalam Al-Qur’an
Allah berfirman, “…Maka istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka mahar (mas kawin) dengan sempurna…” (Q.S. An-Nisa: 24)
Al-Qurthubi, Al-Syaukani dan orang-orang yang sependapat dengan mereka mengatakan bahwa hampir semua ulama menafsirkan ayat tersebut dengan nikah mut’ah yang sudah ditetapkan sejak permulaan Islam. (Tafsir Qurthubi, juz 5, hlm. 130; Ma’a Al-Qur’an karangan Baquri, hlm. 167; Al-Ghadir, juz 6, saduran dari tafsir Syaukani, juz 1, hlm. 144).
Dalam Mustadrak Al-Hakim dan kitab-kitab yang lain disebutkan bahwa Ibnu Abbas bersumpah bahwa Allah menurunkan ayat tersebut untuk pembatasan waktu dalam mut’ah. (Mustadrak Al-Hakim, juz 2, hlm. 305 berikut keterangan Al-Dzahabi yang terdapat di tepi kitab tersebut pada hlm. Yang sama).
Ibnu Abbas, Ubai bin Ka’ab, Said bin Zubair, dan Ibnu Mas’ud membaca ayat tersebut dengan menyisipkan tafsirnya dengan bacaan sebagai berikut: “Barangsiapa di antara kalian melakukan perkawinan dengan menggunakan batas waktu maka bayarlah maharnya.”
Al-Razi dan Al-Naisaburi setelah meriwayatkan bacaan tesrebut dari Ibnu Abbas dan Ubai bin Ka’ab berkata, bahwa seluruh sahabat tidak ada yang menyalahkan bacaan kedua sahabat itu sehingga dapat dikatakan bahwa bacaan tersebut telah disepakati kebenarannya oleh seluruh umat. (Tafsir Al-Naisaburi yang terdapat di tepi kitab Tafsir Al-Thabari juz 5, hlm. 18 dan dalam Kitab Tafsir Al-Razi, juz 10, hlm. 51, cet. Th. 1357 H).
Berdasarkan ayat al-Qur’an di atas dan beberapa tafsirnya diketahui bahwa Islam telah mensyariatkan nikah mut’ah. Namun, ada sebagian orang yang menganggap bahwa nikah mut’ah telah dinasakh oleh ayat al-Qur’an yang lain.
Untuk menjawab pernyataan seperti itu, cukuplah saya mengutip perkataan Al-Zamakhsyari dalam buku tafsirnya A-Kasysyaf “Kalau kalian bertanya kepadaku apakah ayat mut’ah sudah dihapus, maka akan kujawab ‘tidak’, karena seorang wanita yang dinikahi secara mut’ah dapat disebut sebagai istrinya.” (Al-Kasysyaf juz 3, hlm. 177, cet. Beirut).Anehnya lagi, ada beberapa kalangan yang menganggap bahwa nikah mut’ah telah dinasakh (dihapus) oleh hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Aalihi wassalam. Tetapi pendapat kebanyakan sahabat dan pengikut Al-Zhahiri, Syafi’I, dan Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayatnya mengatakan bahwa hadits tidak dapat menasakh Al-Qur’an. (Al-Mustashfa juz 1, hlm. 124).
Hadits-hadits yang mengatakan bahwa nikah mut’ah telah diharamkan – menurut saya – tidak dapat kita ikuti, karena terjadi kontradiksi antara hadits yang satu dengan yang lain mengenai waktu pengharamannya, diantaranya sebagai berikut:
Ø Nikah mut’ah halal pada permulaan Islam, diharamkan pada saat perang Khaibar. (Zad Al-Ma’ad, hlm. 183)
Ø Dihalalkan pada permulaan Islam, diharamkan pada Fath Mekkah.Diharamkan pada hari Haji Wada’ (Al-Sirah Al-Halabiyah, juz 3, hlm. 104)
Ø Diharamkan pada saat perang Tabuk, dll.
———————————————————
Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa hukum nikah mut’ah adalah tetap diperbolehkan dan tidak pernah mansukh. Jadi masih diperbolehkan hingga kelak hari kiamat. Syiah Imamiyah berdalil dengan ucapan Imam mereka yaitu Abu Ja’far, yang nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali Al Baqir :

1- عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ سَهْلِ بْنِ زِيَادٍ وَ عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ جَمِيعاً عَنِ ابْنِ أَبِي نَجْرَانَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ حُمَيْدٍ عَنْ أَبِي بَصِيرٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) عَنِ الْمُتْعَةِ فَقَالَ نَزَلَتْ فِي الْقُرْآنِ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَ لا جُناحَ عَلَيْكُمْ فِيما تَراضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ .[64] ك ج 5 ص 448

Dari Abu Bashir dia berkata : aku bertanya pada Abu Ja’far Alaihissalam tentang mut’ah. Lalu dia menjawab : Allah telah mewahyukan dalam Al Qur’an Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya,[65] (footnote : syiah memahami ayat ini bukan dalam kontek istri, jika ayat ini difahami dengan kontek istri tentu tidak dapat dijadikan dalil bagi diperbolehkannya nikah mut’ah)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سُلَيْمَانَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) يَقُولُ كَانَ عَلِيٌّ ( عليه السلام ) يَقُولُ لَوْ لَا مَا سَبَقَنِي بِهِ بَنِي الْخَطَّابِ مَا زَنَى إِلَّا شَقِيٌّ .[66]

Dari Abdullah bin Sulaiman dia berkata : Aku mendengar Abu Ja’far berkata : Ali bin Abi Thalib berkata : jika anak Khottob tidak mendahului aku, maka tidak ada yang berzina kecuali orang yang celaka.

عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَمَّنْ ذَكَرَهُ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ إِنَّمَا نَزَلَتْ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً .[67]

Dari Ibnu Abi Umair dari seseorang yang telah memberitahunya, dari Abu Abdullah dia berkata : Ayat yang sebenarnya turun dari Allah adalah ” Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka hingga waktu tertentu, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban,

عَلِيٌّ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ أُذَيْنَةَ عَنْ زُرَارَةَ قَالَ جَاءَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَيْرٍ اللَّيْثِيُّ إِلَى أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) فَقَالَ لَهُ مَا تَقُولُ فِي مُتْعَةِ النِّسَاءِ فَقَالَ أَحَلَّهَا اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ ( صلى الله عليه وآله ) فَهِيَ حَلَالٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَقَالَ يَا أَبَا جَعْفَرٍ مِثْلُكَ يَقُولُ هَذَا وَ قَدْ حَرَّمَهَا عُمَرُ وَ نَهَى عَنْهَا فَقَالَ وَ إِنْ كَانَ فَعَلَ قَالَ إِنِّي أُعِيذُكَ بِاللَّهِ مِنْ ذَلِكَ أَنْ تُحِلَّ شَيْئاً حَرَّمَهُ عُمَرُ قَالَ فَقَالَ لَهُ فَأَنْتَ عَلَى قَوْلِ صَاحِبِكَ وَ أَنَا عَلَى قَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ ( صلى الله عليه وآله ) فَهَلُمَّ أُلَاعِنْكَ أَنَّ الْقَوْلَ مَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ( صلى الله عليه وآله ) وَ أَنَّ الْبَاطِلَ مَا قَالَ صَاحِبُكَ قَالَ فَأَقْبَلَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَيْرٍ فَقَالَ يَسُرُّكَ أَنَّ نِسَاءَكَ وَ بَنَاتِكَ وَ أَخَوَاتِكَ وَ بَنَاتِ عَمِّكَ يَفْعَلْنَ قَالَ فَأَعْرَضَ عَنْهُ أَبُو جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) حِينَ ذَكَرَ نِسَاءَهُ وَ بَنَاتِ عَمِّهِ . [68]

Dari Zurarah dia berkata : Abdullah bin Umair Allaithy pada Abu Ja’far, lalu dia bertanya : apa pendapat anda tentang nikah mut’ah? Lalu Abu Ja’far menjawab : telah dihalalkan oleh Allah dalam Al Qur’an dan melalui lisan RasulNya, maka hukumnya tetap halal hingga hari kiamat. Lalu dia bertanya : Wahai Abu Ja’far apakah orang seperti anda mengatakan hal ini sedangkan umar telah melarang dan mengharamkan mut’ah? Lalu Abu Ja’far mengatakan : walaupun telah dilarang oleh Umar. Dia berkata : Aku memohon pada Allah agar anda dijauhkan dari menghalalkan perkara yang telah diharamkan oleh Umar. Lalu Abu Ja”far berkata : engkau memegang pendapat kawanmu, dan aku memegang hadits Nabi, mari kita memohon laknat dari Allah bahwa yang benar adalah apa yang diucapkan Rasulullah dan omongan kawanmu adalah batil. Lalu Abu Umair mengatakan pada Abu Ja’far : Apakah anda suka jika istri anda, anak wanita anda, saudara wanita anda dan anak wanita paman anda dinikahi secara mut’ah? Lalu Abu Ja’far berpaling ketika disebut istrinya dan anak pamannya.

Nikah mut’ah adalah halal tapi Imam Abu Ja’far sendiri tidak senang jika ada orang yang menikahi anaknya atau anak pamannya dengan nikah mut’ah. Yang mengharamkan nikah mut’ah adalah Umar, yang berani-beraninya mengharamkan perbuatan yang dihalalkan oleh Nabi. Sampai Imam Abu Ja’far berani bermula’anah, memohon laknat dari Allah jika pendapatnya salah.

catatan kaki :
[64] Al Kulaini. Muhammad bin Ya’qub. Al Kafi.. http://www.islam4u.com Tanpa Tahun. Jilid 5 hal. 448
[65] Syiah memahami ayat ini bukan dalam kontek istri, jika ayat ini difahami dengan kontek istri tentu tidak dapat dijadikan dalil bagi diperbolehkannya nikah mut’ah
[66] Al Kulaini. Muhammad bin Ya’qub. Loc. Cit. Riwayat. No2
[67] Al Kulaini. Muhammad bin Ya’qub. Op. Cit. Jilid 5 hal. 448 . Riwayat. No. 3
[68] [68] Al Kulaini. Muhammad bin Ya’qub. Loc. Cit. Riwayat. No. 4
—————————————————————————————-
Pendapat beberapa Sahabat dan Tabi’in
Beberapa ungkapan para sahabat Rasul dan para tabi’in (yang hidup setelah zaman para sahabat) sebagai contoh pribadi-pribadi yang mengingkari akan pelarangan (pengharaman) mut’ah:
Imam Ali bin Abi Thalib, sebagaimana diungkapakan oleh Thabari dalam kitab tafsirnya (lihat: jil:5 hal:9) dimana Imam Ali bersabda: “jika mut’ah tidak dilarang oleh Umar niscaya tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka saja”.

Riwayat ini sebagai bukti bahwa yang mengharamkan mut’ah adalah Umar bin Khatab, lantas setelah banyaknya kasus perzinaan dan pemerkosaan sekarang ini –berdasarkan riwayat diatas- siapakah yang termasuk bertanggungjawab atas semua peristiwa itu?

Abdullah bin Umar bin Khatab (putera khalifah kedua), sebagaimana yang dinukil oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab musnadnya (lihat: jil:2 hal:95) dimana Abdullah berkata ketika ditanya tentang nikah mut’ah: “Demi Allah, sewaktu kita dizaman Rasul tidak kita dapati orang berzina ataupun serong”. Kemudian berkata, aku pernah mendengar Rasul bersabda: “sebelum datangnya hari kiamat akan muncul masihud-dajjal dan pembohong besar sebanyak tiga puluh orang atau lebih”. Lantas siapakah yang layak disebut pembohong dalam riwayat diatas tadi? Adakah orang yang memutar balikkan syariat Rasul layak untuk dibilang pembohong?

Abdullah bin Masud, sebagaimana yang dinukil oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya (lihat: jil:7 hal:4 kitab nikah bab:8 hadis ke:3), dimana Abdullah berkata: “sewaktu kita berperang bersama Rasulullah sedang kita tidak membawa apa-apa, lantas kita bertanya kepada beliau: bolehkah kita lakukan pengebirian? Lantas beliau melarang kita untuk melakukannya kemudian beliau memberi izin kita untuk menikahi wanita dengan mahar baju untuk jangka waktu tertentu. Saat itu beliau membacakan kepada kami ayat yang berbunyi: “wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian dan janganlah kalian melampaui batas…”(Qs Al-Ma’idah:87)
Cobalah renungkan makna ayat dan riwayat diatas lantas hubungkanlah antara penghalalan ataupun pengharaman nikah mut’ah! Manakah dari dua hukum tersebut yang sesuai dengan syariat Allah yang dibawa oleh Rasul?

Imran bin Hashin, sebagaimana yang dinukil oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya (lihat: jil:6 hal:27 kitab tafsir; dalam menafsirkan ayat: faman tamatta’a bil-umrati ilal-hajji (Qs Al-Baqarah)), dimana Imran berkata: “Diturunkan ayat mut’ah dalam kitabullah (Al-Qur’an) kemudian kita melakukannya di zaman Rasul, sedang tidak ada ayat lagi yang turun dan mengharamkannya, juga Rasul tidak pernah melarangnya sampai beliau wafat”. Riwayat seperti diatas juga dinukil oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitan musnadnya.
Dua riwayat ini menjelaskan bahwa tidak ada ayat yang menghapus (nasikh) penghalalan mut’ah dan juga sebagai bukti mahwa mut’ah sampai akhir hayat Rasul beliau tidak mengharamkannya.

Ibn Abi Nadhrah, sebagaimana yang dinukil oleh al-Muslim dalam kitab shahihnya (lihat: jil:4 hal:130 bab:nikah mut’ah hadis ke:8), dimana Ibn abi nadhrah berkata: “Dahulu Ibn abbas memerintahkan (baca:menghalalkan) nikah mut’ah sedang Ibn zubair melarangnya kemudia peristiwa tersebut sampai pada telinga Jabir bin Abdullah al-Anshori (ra) lantas dia berkata: “Akulah orang yang mendapatkan hadis tersebut, dahulu kita melakukan mut’ah bersama Rasulullah akan tetapi setelah Umar berkuasa lantas ia mengumumkan bahwa; “Dahulu Allah menghalalkan buat Rasul-Nya sesuai dengan apa yang dikehendakinya, maka umat pun menyempurnakan haji dan umrah mereka, juga melakukan pernikahan dengan wanita-wanita tersebut, jika terdapat seseorang menikahi seorang wanita untuk jangka wanita tertentu niscaya akan kurajam ia dengan batu”.

Riwayat diatas juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam musnadnya (lihat: jil:1 hal:52). Dikatakan bahwa Abi Nadhrah berkata: “Aku berkata kepada Jabir bin Abdullah Anshari (ra), sesungguhnya Ibn zubair melarang nikah mut’ah sedangkan Ibn Abbas membolehkannya”. Kemudian ia (Jabir) mengatakan: “Melalui diriku hadis tersebut didapat, kita telah melakukan mut’ah bersama Rasulullah (saww) juga bersama Abu bakar, akan tetapi setelah berkuasanya Umar, ia (Umar) pun mengumumkannya pada masyarakat dengan ucapan: “Sesungguhnya Al-Qur’an tetap posisinya sebagai Al-Qur’an sedang Rasulullah (saww) tetap sebagai Rasul, ada dua jenis mut’ah yang ada pada zaman Rasul; haji mut’ah dan nikah mut’ah”.

Dua riwayat diatas dengan jelas sekali menyebutkan bahwa pertama orang yang mengharamkan nikah mut’ah adalah Umar bukan Rasul ataupun turun ayat yang berfungsi sebagai penghapus hukum mut’ah sebagaimana yang dikatakan sebagian orang yang tidak mengetahui tentang isi kandungan yang terdapat dalam buku-buku standar mereka sendiri.

Sebagai tambahan kami nukilkan pendapat Fakhrur Razi dalam tafsir al-Kabir, ketika menafsirkan ayat 24 surat an-Nisa. Ar-Razi mengutip ucapan Umar (“ Dua jenis mut’ah yang berlaku di masa rasulullah, yang kini ku larang dan pelakunya akan kuhukum, adalah mutah haji dan mut’ah wanita” ) dalam menetapkan pengharaman nikah mut’ah. Begitu juga tokoh besar dari kamu Asy,ariyah, Imam al-Qausyaji dalam kitab Syarh At-Tajrid, dalam pengharamannya mut’ah adalah ucapan Umar (ucapan Umar: Tiga perkara yang pernah berlaku di zaman Rasulullah, kini kularang, kuharamkan dan kuhukum pelakuknya adalah mut’ah wanita dan mutah haji serta seruan (azan): hayya ‘ala khayr al-‘amal (marilah mengerjakan sebaik-baik amal)). Qusyaji membela tindakan Umar ini, menyatakan bahwa semata-mata takwil atau ijtihad Umar.
Abdullah ibn Abbas, sebagaimana yang dinukil oleh al-Jasshas dalam Ahkamul-Qu’an (jil:2 hal:179), Ibn Rusyd dalam bidayatul mujtahid (jil:2 hal:58), Ibn Atsir dalam an-Nihayah (jil:2 hal:249), al-Qurtubi dalam tafsirnya (jil:5 hal:130), suyuti dalam tafsirnya (jil:2 hal:140) dikatakan bahwa Ibn Abbas berkata: “semoga Allah merahmati Umar, bukanlah mut’ah kecuali merupakan rahmat dari Allah bagi umat Muhammad (saww) jikalau ia (Umar) tidak melarang mut’ah tersebut niscaya tiada orang yang menghendaki berbuat zina kecuali ia bisa terobati”.

Riwayat yang dikemukakan oleh Ibn Khalqan dalam kitab Wafayaatul-A’yaan jil:6 hal:149-150, durrul mantsur jil:2 hal:140, kanzul ummal jil:8 hal:293, tarikh tabari jil:5 hal:32, tarikh Ibn khalkan jil:2 hal:359, tajul-arus jil:10 hal:200. Dan masih banyak lagi riwayat dalam kitab-kitab lainnya, .
Untuk mempersingkat tulisan singkat ini kita cukupkan hanya dengan menyebutkan riwayat-riwayat diatas. Untuk melengkapinya akan kita sebutkan beberapa permasalahan yang sering dilontarkan oleh orang-orang yang tidak paham akan maksud dari hikmah Ilahi tentang penghalalan nikah mut’ah dan kita berusaha untuk menjawabnya secara ringkas.

Soal: Salah satu fungsi pernikahan adalah untuk membina keluarga dan menghasilkan keturunan dan itu hanya bisa terwujud dalam nikah da’im (baca:nikah biasa), sedang nikah mut’ah tujuannya hanya sekedar sebagai pelampiasan nafsu belaka.

Jawab: Jelas sekali bahwa pertanyaan diatas menunjukkan akan adanya percampuran paham antara hukum obyek dengan fungsi/hikmah pernikahan. Yang ia sampaikan tadi adalah berkisar tentang hikmah pernikahan bukan hukum pernikahan. Karena kita tahu bahwa Islam mengatakan bahwa sah saja orang menikah walaupun dengan tidak memiliki tujuan untuk hal yang telah disebutkan diatas, sebagaimana orang lelaki yang sengaja mengawini wanita yang mandul atau wanita tua sehingga tidak terlintas sama sekali dibenaknya untuk mendapat anak dari wanita tersebut ataupun lelaki yang mengawini seorang wanita dengan nikah daim akan tetapi hanya untuk beberapa saat saja-taruhlah dua bulan saja- setelah itu ia talak wanita tersebut. Dua contoh pernikahan tersebut jelas tidak seorang ulama pun yang mengatakan bahwa itu batil hukumnya sebagaimana yang disampaikan oleh penulis tafsir “Al-Manaar” dimana ia mengatakan: “pelarangan para ulama’ terdahulu maupun yang sekarang akan nikah mut’ah mengharuskan juga pelarangan akan nikah dengan niat mentalak (istrinya setelah beberapa saat) walaupun para ahli fiqih sepakat bahwa akad nikah dikatakan sah walaupun ada niatan suami untuk menikahinya hanya untuk saat tertentu saja sedang niat tersebut tidak diungkapkannya saat akat nikah, sedang penyembunyian niat tersebut merupakan salah satu jenis penipuan sehingga hal itu lebih layak untuk dihukumi batil jika syarat niat tadi diungkapkan sewaktu akad dilangsungkan” (Tafsir al-Manaar jil:5 hal:17).

Dari sini kita akan heran melihat orang yang menganggap bahwa mut’ah hanya berfungsi sebagai sarana pelampiasan nafsu belaka dan bukankah dalam nikah da’im pun bisa saja orang berniat untuk pelampiasan nafsu saja, niatan itu semua kembali kepada pribadi masing-masing bukan dari jenis pernikahannya.
Soal: Nikah mut’ah menjadikan wanita tidak dapat menjaga kehormatan dirinya karena ia bisa berganti-ganti pasangan kapanpun ia mau, padahal Islam sangat menekankan penjagaan kehormatan terkhusus bagi para wanita.

Jawab: Justru dalam nikah mut’ah sama seperti nikah da’im dimana bukan hanya wanita yang ditekankan untuk menjaga kehormatannya tapi bagi silelaki pun diharuskan untuk menjaga hal tersebut, karena legalitas pernikahan tersebut sudah ditetapkan dalam syariat maka dengan cara inilah mereka menjaga kehormatan mereka dan tidak menjerumuskan diri mereka keperzinaan. Dalam Islam ada tiga alternatif dalam menangani gejolak nafsu birahi:Nikah da’im, Nikah mut’ah dengan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dan meredam nafsu dengan puasa misalnya.

Sekarang jika seseorang tidak mampu melaksanakan nikah da’im dengan berbagai alasan seperti karena masalah ekonomi, studi ataupun yang lainnya, dan untuk meredam nafsu dengan puasa misalnya iapun tidak mampu atau gejolaknya muncul diwaktu malam yang tidak memungkinkan untuk puasa, maka alternatif terakhir dengan nikah mut’ah tadi. Inilah yang diajarkan Islam kepada pengikutnya karena kita tahu bahwa Islam adalah agama terakhir, syariatnya pun adalah syariat terakhir yang dibawa oleh Nabi terakhir maka ia harus selalu up to date dan universal yang mencakup segala aspek kehidupan manusia yang mampu menjawab apapun kemungkinan yang bakal terjadi, dan ia merupakan agama yang bijaksana dimana salah satu ciri hal yang bijak adalah disaat ia melarang sesuatu maka ia harus memberi jalan keluarnya. Lantas jika seseorang tidak dapat melakukan nikah da’im ataupun meredam nafsunya lantas apa yang harus ia lakukan, sementara Islam melarang penyimpangan seksual jenis apapun? Atau jika ada seorang pemuda ingin mengenal seorang wanita lebih dekat untuk nanti menjadikannya seorang istri dalam masa pendekatan itu –karena boleh jadi gagal karena tidak ada kecocokan- hubungan apakah yang harus ia lakukan sehingga ia dapat berbicara dengan wanita tersebut berdua-duaan sedang Islam melarang berpacaran tanpa ada ikatan pernikahan?

Dan banyak lagi contoh lain yang Islam sebagai agama terakhir dan sebagai agama yang bijak dituntut untuk mampu menjawab tantangan tersebut, jika mut’ah diharamkan lantas kira-kira jalan keluar manakah yang akan diberikan oleh si pengharam mut’ah tadi? Oleh karenanya jangan heran jika Imam Ali (as) mengeluarkan statemen seperti diatas ( Imam Ali: “jika mut’ah tidak dilarang oleh Umar niscaya tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka saja”).

Kesalahan besar yang selama ini banyak terdapat pada benak kaum muslimin adalah mereka sering mengidentikkan nikah mut’ah dengan hubungan seksual padahal tidak mesti semacam itu –sebagaimana nikah da’im dengan anak dibawah usia yang diperbolehkan oleh para ahli fiqih semuanya- bisa saja siwanita mensyarati untuk tidak melakukan hal tersebut dalam akad nya sehingga mut’ah hanya sebagai sarana untuk menghilangkan dosa -semasa berkenalan untuk nantinya menikah daim- dengan adanya ikatan pernikahan diantara mereka.

Soal: Adanya beberapa sumber dari ahlussunnah yang menunjukkan adanya pelarangan mut’ah walaupun dari sisi waktu dan tempat pelarangannya berbeda-beda sehingga menjadi argumen bahwa ayat mut’ah (an-Nisaa:23) sudah terhapus dengan riwayat-riwayat itu, seperti:
Dibolehkannya mut’ah lantas dilarang pada seusai perang Khaibar.
Dibolehkannya nikah mut’ah lantas dilarang pada saat Fathul-Makkah.
Hanya dibolehkan pada saat peristiwa Awthas saja.
Diperbolehkan pada saat umrah qadha’ saja.

Jawab: Kita bisa katakan bahwa:
1- Ungkapan-ungkapan yang berbeda-beda itu menunjukkan tidak adanya kesepakatan akan pelarangannya karena perbedaan riwayat menunjukkan bahwa riwayat itu tunggal sifatnya (khabar wahid) dan riwayat jenis itu tidak bisa dijadikan sandaran sebagai penghapus hukum yang ada dalam Al-Qur’an, oleh karenanya Imran bin Hashin mengatakan tidak ada riwayat ataupun ayat yang menghapus hukum mut’ah (lihat kembali riwayat Imran diatas).
2- Khalifah kedua sebagai pengharam mut’ah pun tidak menyandaran ijtihadnya –kalaulah itu bisa disebut ijtihad- kepada ayat ataupun riwayat karena memang tidak ada riwayat yang menghapus hukum mut’ah tersebut sehingga dari sinilah menyebabkan banyak sahabat yang menentang keputusan Umar dalam pengharaman mut’ah. Kalau ada ayat atau riwayat yang mengharamkan nikah Mut’ah, kenapa Umar menyandarkan pelarangannya pada diri sendiri? Bukankah dengan menyandarkan pada ayat dan riwayat dari Rasul maka pendapatnya akan lebih kuat?

Soal: Diperbolehkannya melakukan nikah mut’ah adalah sebagaimana diperbolehkannya memakan daging babi yaitu pada saat-saat tertentu saja (dharurat) karena mut’ah sama hukumnya seperti zina yaitu haram, maka sebagaimana haramnya babi dalam saat-saat tertentu halal maka pada saat-saat tertentupun mut’ah halal juga hukumnya.

Jawab: Jelas penyamaan antara diperbolehkannya makan daging babi disaat dharurat berbeda dengan mut’ah, salah satu perbedaannya adalah:
Hukum dharurat hanya pada hal-hal yang mengakibatkan kelangsungan hidup (jiwa) terancam oleh karenanya diperbolehkan makan daging babi sebatas untuk menyambung hidup saja sehingga dilarang untuk makan secara berlebihan, adapun mut’ah apakah ia sama seperti daging babi sehingga jika seseorang tidak mut’ah lantas ia terancam kelangsungan hidupnya?

Kalaupun –walaupun alasan ini tidak dapat diterima- mut’ah bisa disamakan sama seperti daging babi yaitu terkenai hukum dharurat, lantas kenapa banyak sahabat yang melakukan mut’ah saat itu padahal gairah seksual tidak mesti muncul bersamaan sebagaimana rasa lapar?
Kalau dikatakan hukum dharurat itu ada, seharusnya hukum setelah hilang nya dharurat, kembali ke hukum awal nya (haram), akan tetapi yang kita dapati bahwa rasulullah tidak mengharamkan sampai akhir hayatnya. Sehingga tidak benar penghalalan hukum mutah itu dikarenakan dharurat.

Penutup:
Dari sini jelaslah bahwa nikah mut’ah diperbolehkan oleh syariat Islam –yang bersumber dari ayat dan hadis shohih- dimana sepakat kaum muslimin bahwa sumber syariat hanyalah Allah semata sebagaimana ayat yang berbunyi: “keputusan menetapkan suatu hukum hanyalah hak Allah”(Qs Yusuf:67). Sedang Rasul diutus untuk menjelaskannya oleh karenanya apa yang diungkapkan oleh beliau merupakan apa yang sudah disetujui oleh Allah. Rasul bersabda:“dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan”(Qs An-Najm:3-4). Oleh karenanya:“apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”(Qs Al-Hasyr:7).

Adapun ucapan para sahabat jika sesuai dengan firman Allah atau ungkapan Rasul maka bisa juga dikategorikan sebagai teks agama, akan tetapi jika tidak maka hal itu telah keluar dari apa yang telah tercantum dari ayat-ayat diatas tadi karena mereka manusia biasa seperti kita yang juga bisa salah sehingga tidak bisa dijadikan rujukan dalam menangani masalah syariat secara independen (mustaqil) tanpa tolok ukur kebenaran yang lain. Karena jika tidak, apa mungkin akan kita jadikan tolok ukur sedang kita dapati banyak pendapat mereka yang saling paradoksal sebagaimana yang kita saksikan tadi, bukankah dalam situasi perbedaan pendapat semacam itu kita diperintahkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya;“kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir”(Qs An-Nisaa’:59)

Bukanlah Allah dan Rasulnya tetap menghalalkan nikah mut’ah? Sewaktu sumber syariat adalah Al-Qur’an dan Hadis shohih lantas apakah diperbolehkan orang berijtihad –yang lantas hasilnya-hasilnya dianggap sebagai syariat- akan tetapi bertentangan dengan kehendak Allah dan Rasul yang sebagai sumber syariat?, bukankah dalam Al-Qur’an telah ditetapkan bahwa; “dan tidak patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka, dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata”(Qs al-Ahzab:36)

Apakah pemberian ketetapan lain yang tidak sesuai dengan ketetapan Allah dan Rasul tersebut tidak dikategorikan sebagai bid’ah -yang berarti mengada-adakan hukum syariat- dimana dalam riwayat disebutkan bahwa semua jenis bid’ah adalah sesat – “kullu bid’atin dholalah” -sehingga tidak ada lagi lubang untuk membagi bid’ah kepada bid’ah yang baik dan yang buruk? Lantas apakah konsekwensi bagi orang ahli bid’ah yang berarti ahli kesesatan yang dalam riwayat tentang bid’ah juga telah disebutkan “wakullu dhalalatin finnaar”? Kemudian apakah kita akan terus mengikuti ahli bid’ah dengan mengharamkan nikah mut’ah? Kalaupun nikah mut’ah haram lantas kenapa kita juga tidak mengharamkan mut’ah haji yang sampai detik ini masih dilakukan oleh semua kaum muslimin dunia padahal ia termasuk yang diharamkan oleh khalifah kedua? Dan masih banyak pertanyaan lain yang harus dijawab oleh saudara-saudara ahlussunnah yang berkisar tentang mut’ah. Renungkanlah dan bacalah saudara-saudaraku.

Sebagian orang menilai bahwa kebolehan nikah mut’ah memang diperlukan masa tertentu saja, karena itu Umar bin Khatab mengharamkannya setelah itu?
Jika memang faktor keperluan menjadikan nikah mut’ah itu diperbolehkan, dan itu merupakan kesadaran Nabi saw untuk melindungi kaum Muslim pada sebagian peperangan dari tekanan seksual, maka keperluan ini ada pada setiap zaman dan tempat. Banyak orang yang mengalami tekanan seksual tapi mereka tidak mampu menikah. Apabila faktor keperluan (darurat) itulah yang ‘mendikte’ Rasulullah saww untuk memberlakukan hukum nikah mut’ah, maka keperluan tersebut tidak hanya terbatas pada zaman itu atau tempat itu, tapi ia sekarang jauh lebih mendesak daripada seperti zaman Nabi saw. Maka tak ada hal yang membenarkan kalau nikah mut’ah telah dihapus, karena ia adalah suatu keperluan bagi setiap generasi, kapan saja dan dimana saja.

Kaum muslimin dari kalangan ahlussunah mengatakan bahwa rasulullah saww mengharamkan mut’ah setelah sebelumnya dihalalkan. Apa memang demikian?
Ahlussunnah meriwayatkan beberapa hadith yang dinisbatkan pada Nabi saw dan Ali as bahwa Nabi mengharamkan mut’ah. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa mereka menyebutkan bahwa beliau mengharamkannya didua tempat, tapi seandainya beliau memang telah benar-benar menghapusnya maka tiada alasan yang membenarkan bahwa ia pernah dibatalkan disuatu hari lalu diharamkan esok harinya kemudian dihalalkan kembali, hal yang menunjukkan bahwa pengharaman tersebut tidak realistis dan tidak benar. Dan yang mendukung hal itu adalah apa yang disampaikan oleh sahabat Umar, “Dua mut’ah ada pada zaman Rasulullah dan dihalalkannya; akulah yang melarang keduanya dan memberikan sangsi atas keduanya” [ Sunan al-baihaqi 5/5 bab: orang yang memilih kesendirian dan menganggapnya sebagai hal yang utama ; Tarikh Ibn Katsir 5/123, Tafsir al-Qurthubi 2/370, Tafsir Fakhrur ar-razi 20/167 dan 3/201 dan 220, kanzul ‘Ummal 8/293-294 dan al-Bayan wa at-tabyin, karya al-Jahith 223 ]

Adalah hal yang maklum bahwa Umar tidak mempunyai hak untuk mengharam hal-hal yang dihalalkan oleh Allah. Konon, Nabi saw menegaskan tentang keharaman nikah mut’ah dan riwayat yang dinisbatkan kepada beliau dalam hal ini adalah, “Wahai manusia, sesungguhnya aku telah mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut’ah dengan para wanita. Ketahuilah bahwa kini Allah telah mengharamkan hal itu sampai hari kiamat.” [ Sahih Muslim, hal 1025 ; Sunan ad-Darimy, 2/140 ; Sunan Ibn Majah, hal 631, catatan 1962, dengan terdapat perbedaan redaksi dalam Thabaqat Ibn Sa’ad, 4/328. ]

Hadith ini tidak shahih. Buktinya, beberapa sahabat terang-terangan menghalalkan perkawinan sementara, seperti Ibn Abbas, ibn Mas’ud, dan lain-lain. Bahkan, mereka membaca ayat, “maka barangsiapa yang bersenang-senang dengan mereka—dalam batas waktu tertentu, maka berikanlah kepada mereka maharnya.” Terdapat perdebatan seru seputar masalah ini, yang tentunya memerlukan kejian panjang, yang tidak tepat untuk disampaikan disini.

Allah Maha Sempurna. Lalu bagaimana mungkin Dia memberlakukan hukum yang terdapat nilai-nilai negatif didalamnya?
Allah memang Maha Sempurna, tetapi makhluk-makhlukNya yang terbatas; dan batasan-batasan mengharuskan adanya kekurangan dalam tabiat (sifat) benda-benda ketika terkena sekat-sekat. Sebab, suatu benda mengandung banyak kepositifan dari pelbagai isinya, sampai terdapat batas-batas dan sekat-sekat yang mengurangi nilai positifnya. Sesungguhnya hal-hal yang disyariatkan oleh Allah bukan Allah itu sendiri. Masalah kesempurnaan hal-hal tersebut atau kekurangannya bertitik tolak dari identitasnya (dzattiyah). Misalnya, Allah mengharamkan khamar (minuman keras), Allah sendiri Maha Sempurna tetapi didalam khamar terdapat manfaat dan madharatnya dan ketika Allah mengharamkan khamar itu karena mudharatnya jauh lebih besar daripada manfaatnya. Kesempurnaan Allah adalah mutlak, karena kemutlakan tidak dapat berada kecuali ditempat yang mutlak, dengan pengertian bahwa Dia keluar dari ruang lingkup keterbatasan. Adapun hukum berkaitan dengan perbuatan-perbuatan manusia, dan perbuatan-perbuatan manusia terbatas pada keadaannya, dan ia kemudian mengandung nilai-nilai positif dan negatif tetapi hukum yang mengendalikannya bertitik tolak dari keunggulan nilai-nilai positif atas nilai-nilai negatif, atau sebaliknya.
Perkawinan sementara merupakan nilai positif besar karena ia berposisi sebagai solusi bagi problem seksual pada saat orang tidak mampu untuk melakukan perkawinan permanen. Tapi pada saat yang sama, ia membawa pengaruh negatif atas pihak-pihak yang bersangkutan karena pandangan negatif sosial atasnya, dan juga dikarenakan tidak terwujudnya ketenangan yang diciptakannya, atau yang lain-lain.

Seluruh ayat yang menerangkan tentang warisan, talak, iddah tidak dapat dijadikan penghapus (nasikh) ayat yang menerangkan tentang nikah mut’ah[Q.S. An-Nisaa' 24], termasuk juga ayat tentang penjagaan aurat. Mereka menganggap bahwa wanita yang dinikahi secara mut’ah tidak berstatus isteri dikarenakan sebab-sebab tersebut.

Alasan penolakan argumen mereka tersebut adalah :
1. Rasul SAWW menggunakan lafadz “pernikahan” saat berbicara tentang nikahmut’ah ini, seperti :
“Barangsiapa yang mengawini seorang wanita dengan batas waktu maka berilah hak-haknya”
Muslim dalam Shohih-nya juga meriwayatkan hadits yang menggunakan istilah”pernikahan” pada nikah mut’ah, berdasarkan riwayat Abi Nadhrah.Lafadz “pernikahan” tersebut jelas menunjukkan bahwa wanita yang dinikahi secara mut’ah berstatus sebagai isteri
Ref. :
a. Abdurrozaq, dalam “Mushannaf”, juz 7, hal. 504
b. Shohih Muslim, juz 1, bab “kawin mut’ah saat Haji dan Umroh”.
2. Kalimat sebelum ayat mut’ah itu sendiri adalah :
“Dan dihalalkan bagi kalian untuk mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina”
Yang kemudian dilanjutkan dengan ayat mut’ah (famastamta’tum bihinna…) tersebut.Sehingga jelas sekali bahwa mut’ah merupakan perkawinan bukan perzinaan.Bila “mut’ah” diartikan sebagai “dinikmati/dicampuri”, maka mahar mesti diberikan secara penuh setelah wanita tersebut “dicampuri”, berdasarkan ayat mut’ah tersebut.
Sementara, semua ahli fikih mengatakan bahwa maharwajib diberikan secara penuh pada wanita setelah ia dinikahi, walaupun wanita tersebut belum “dicampuri”.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam [Q.S 4:25]
“Nikahilah mereka dengan seijin tuannya dan berikanlah mereka mahar mereka”
Atau dalam [Q.S. 60:10] :
“Dan tidak ada dosa bagi kalian mengawini mereka bila kalian berikan maharmereka”
Dari sini jelas sekali bahwa mut’ah pada ayat tersebut, adalah pernikahan mut’ah, bukan pengertian yang lain.
Ref. ahlusunnah :Tafsir Ar-Razi, tentang [Q.S. An-Nisaa' 24].
3. Zamakhsyari berkata dalam tafsirnya :
“Kalau kalian bertanya kepadaku apakah ayat mut’ah sudah dihapus (mansukh),maka akan kujawab ‘Tidak’. Karena seorang wanita yang dinikahi secara mut’ah dapat disebut sebagai isterinya”
Ref. ahlusunnah : Zamakhsyari, dalam tafsir “Al-Kasysyaf”, juz 3, hal.177.
4. Ubay bin Ka’ab, Ibnu Abbas, dan Ibnu Mas’ud membaca ayat tersebut dengan tambahan tafsir mereka, yaitu “Ilaa Ajalin Musamma” yang artinya “sampai waktu yang ditentukan”.
Ref. ahlusunnah :
a. Thabari, dalam Tafsir “Al-Kabir”
b. Zamakhsyari, dalam kitab “Al-Fa’iq”
c. Ar-Razi, dalam Tafsir-nya
d. Nawawi, dalam “Syarh Shohih Muslim”.
e. Ibnu Rusyd, dalam “Bidayatul Mujtahid”, juz. 2, hal. 43-44.dll.
5. Banyaknya riwayat yang menyatakan bahwa banyak para sahabat yangmenghalalkan (bahkan melakukan) nikah mut’ah ini, seperti Asma’ bintiAbubakar, Zubair bin Awwam, Salamah, Jabir bin Abdullah, Amr bin Harits,Ibnu Abbas, Ibn Mas’ud, dll.
Ref. ahlusunnah :
a. Ibn Hajar Al-Asqolani, dalam “Al-Ishobah”, jilid II, hal. 63.
b. Ibnu Hazm, dalam “Al-Mahalli” (sebagaimana dikutip oleh Ibn Hajar).
6. Justru nikah mut’ah ini dilarang pada masa Umar, bahkan dengan ancaman akan dirajam dengan batu.
Ref. :
a. Muntakhab Kanzul Ummal di tepi Musnad Ahmad, juz 6, hal. 404.
b. Shohih Muslim, juz 1, bab “kawin mut’ah saat Haji dan Umroh”.
c. Al-Baihaqi, dalam “Sunan Al-Kubro”, jilid 7, hal. 206.
d. Shohih Muslim, jilid 1, bab “Nikah Mut’ah”.
e.Dr. Ruway’l Ar-Ruhaily, dalam “Fikih Umar 1″, penerbit Pustaka Al-Kautsar.
f. Muhammad Abdul Aziz Al-Halawi, dalam “Fatwa dan Ijtihad Umar binKhattab”, penerbit Risalah Gusti.
g. Ibnu Rusyd, dalam “Bidayatul Mujtahid”, juz 2, hal. 43-44.dll.
7. Ayat Mut’ah turun setelah ayat talak, warisan dan ayat-ayat lain yang berkaitan dengan itu. Sehingga mustahil bahwa ayat yang mendahului me-nasakh ayat yang muncul belakangan.
8. Adanya warisan juga bukan kewajiban mutlak yang menentukan sahnya perkawinan, misalkan seorang Muslim yang menikah dengan wanita ahlul kitab,maka si isteri tidak dapat mewarisi harta suaminya. Dan perkawinan mereka tetap sah
Tidak ada saling mewarisi bagi seorang merdeka yang kawin dengan hambasahaya milik orang lain, walaupun ikatan perkawinan mereka tetap ada.Tidak ada saling mewarisi bila ada bila ada persyaratan sebelumnya untuk tidak saling mewarisi yang ditentukan sebelum akad.Isteri yang membunuh suaminya, maka isteri tidak dapat mewarisi hartasuaminya.Sehingga apakah semua itu tidak disebut “perkawinan sah” hanya tidak adanyasaling mewarisi. Tidak kan.
9. Adanya talak juga bukan ciri sahnya pernikahan. Sebab mencampuri budak juga disahkan oleh agama, sementara padanya tidak ada talak. Sehinggahubungan badan dengan budak bukan merupakan perzinaan walaupun tidak adatalak di dalamnya.
10. Mengenai masalah iddah. Dalam nikah mut’ah juga dikenal masa iddah yaitu dua kali bersih dari haid.
11. Imran bin Hushain berkata: Sesungguhnya Allah SWT menurunkan satu ayat tentang nikah mut’ah dan tidak me-nasakh-nya dengan ayat yang lain. Dan kita diperintahkan nikah mut’ah oleh Rasul SAWW. Dan beliau tidakmelarangnya.
Kemudian berkatalah seseorang lelaki dengan ra’yu-nya tentangapa yang dia kehendaki”. Yaitu Umar yang melarangnya.
Ref. :Tafsir Ar-Rozi, juz 10, hal. 51/52.
12. Dari Hakam, ketika beliau ditanya apakah ayat mut’ah [Q.S. An-Nisaa' 24]telah di-nasakh, maka beliau menjawab “Tidak”.
Ref. :
a. Thabari, dalam Tafsir-nya, juz 5, hal 9.
b. Suyuthi, dalam “Dur Al-Mantsur”, juz 2, hal. 140.
c. Abi Hayyan, dalam Tafsir-nya, juz 3, hal. 218.
d. Ar-Razi, dalam Tafsir-nya, juz 3, hal. 200.dll.
13. Qurthubi dan As-Syaukani mengatakan bahwa hampir semua ulama menafsirkanayat tersebut [Q.S. An-Nisaa' 24] dengan nikah mut’ah yang sudah ditetapkansejakpermulaan Islam.
Ref :
a. Tafsir Qurthubi, juz 5, hal. 130
b. Tafsir Syaukani, juz 1, hal. 144.
14. Atha’ berkata :”Yang terdapat pada surat An-Nisaa’ yang menjelaskan tentang adanya bataswaktu dalam perkawinan, ialah perkawinan mut’ah”.
Ref. :Abdurrozaq, dalam “Al-Mukatabat”.
15. Hubaib bin Abi Tsabit dan Mujahid juga mengatakan bahwa ayat tersebut[Q.S. An-Nisaa' 24] turun untuk menjelaskan perkawinan mut’ah.
Ref.:
a. Tafsir Ibn Katsir, juz 1, hal. 474.
b. Suyuthi, dalam “Durr Al-Mantsur”, juz 2, hal. 140.
c. Tafsir Qurthubi, juz 5, hal. 130.dll.
16. Ibnu Abbas berkata :”Mut’ah adalah rahmat Allah bagi umat Muhammad. Bila Umar tidakmelarangnya, maka tidak ada orang yang berzina kecuali orang yang celaka”.
Ref. :
a.Ibnu Rusyd, dalam “Bidayatul Mujtahid”, juz 2, hal. 43-44.
b.Suyuthi, dalam “Durr Al-Mantsur”, juz 2, hal. 140.
c.Tafsir Qurthubi, juz 5, hal. 130.dll.
Dan masih banyak lagi hujjah-hujjah yang menerangkan bahwa nikah mut’ah merupakan perkawinan yang sah (alias bukan zina). Justru seandainya nikahmut’ah ini tidak dilarang oleh Umar, maka tidak ada yang berzina kecualiorang-orang yang celaka. Dan tidak ada satu ayatpun yang me-nasakh nikah mut’ah.Apalagi diperkuat dengan banyaknya hadits yang menerangkan bahwa nikahmut’ah dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan yang melarangnya adalah Umar.
================================================================================================================================================================
Bukti-bukti Asma’ dan Zubair Melakukan Nikah Mut’ah hingga Melahirkan Anak
I. Riwayat Muslim dalam Shohih-nya dan Abu Dawud Thayalisi dalam Musnad-nya.
Dari Syu’bah dari Muslim Al-Quri, ia berkata :
“Aku bertanya pada Ibnu Abbas tentang mut’ah haji. Beliau menjawab :’Boleh’. Sedang Ibnu Zubair melarangnya. Sementara ibunya Ibnu Zubair meriwayatkan bahwa Rasulullah membolehkannya, lalu Ibnu Abbas menyuruh Ibnu Zubair untuk menanyakan pada ibunya kalau tidak percaya. Kemudian kami bersama-sama masuk ke rumah beliau, kami dapati dia seorang yang gemuk sekali dan buta matanya. Saat kami bertanya tentang itu, dia menjawab :’Rasul membolehkannya’.”
Dan riwayat tersebut ada dua versi.
Versi kedua adalah riwayat lewat Abdurahman. Dalam riwayat lewat Abdurahman ini, tidak disebutkan “mut’ah haji”, melainkan “mut’ah” saja. Dan menurut Ibnu Ja’far dari Syu’bah yang mengatakan bahwa Muslim Al-Quri berkata :”Aku tidak tahu apakah yang dia maksud adalah mut’ah haji atau nikah mut’ah”.
Ref. : Shohih Muslim, juz 1, sub bab “mut’ah haji”.
Hal ini diperkuat juga dengan riwayat pada Musnad Abu Dawud Thayalisi, yang meriwayatkan peristiwa tersebut melalui Syu’bah dari Muslim Al-Qurosyi, yang mengatakan : “Kami pada suatu hari mendatangi rumah Asma’ binti Abubakar, kemudian kami bertanya padanya tentang nikah mut’ah. Dijawab olehnya :’Kami melakukannya di zaman Rasul’. “
Ref : Musnad Abu Dawud Thayalisi , juz 1, hal. 309.
II. Perdebatan antara Ibnu Abbas dengan Urwah bin Zubair maupun Abdullah bin Zubair
a) Dari Ayyub berkata :
“Urwah berkata kepada Ibnu Abbas :’Apakah engkau tidak takut pada Allah dengan membolehkan mut’ah ?’. Ibnu Abbas menjawab :’Tanyakan pada ibumu sendiri, hai Urwah’. Kemudian Urwah mengatakan :’Abubakar dan Umar tidak melakukannya’. Ibnu Abbas menjawab :’Demi Allah, aku tidak melihat kamu menjadi lebih baik sampai Allah mengazab kamu. Kami menyampaikan hadits Rasulullah kepada kamu dan kamu menyampaikan hadits Abubakar dan Umar’.
Ref : Ibnu Qoyyim, dalam “Zaadul Ma’ad”, juz 1, hal. 213.
Dalam hadits ini, kata “mut’ah” adalah “nikah mut’ah”. Hal ini dapat dibuktikan dengan merujuk pada kitab lainnya yang meriwayatkan perdebatan Ibnu Abbas dan Urwah tersebut.
Ref. : Muntakhab Kanzul Ummal di tepi Musnad Ahmad, juz 6, hal. 404
Ibnu Abbas berkata pada Ibnu Zubair : “Adapun tentang mut’ah, tanyakanlah pada ibumu, Asma’, tentang selendang ‘Ausajah”. Kemudian Ibnu Zubair menanyakan selendang tersebut pada ibunya. Dan Ibunya (Asma’) berkata pada Ibnu Zubair untuk berhati-hati pada Ibnu Abbas, karena Ibnu Abbas mengetahui rahasia orang-orang Quraisy secara keseluruhan.
Ref. : Ibn Abil Hadid, dalam “Syarh Nahjul Balaghah”, jilid 20, hal. 130.
Dari Ibnu Abi Mulaikah : Berkata Urwah bin Zubair kepada Ibnu Abbas :”Orang-orang mendurhakaimu”. Berkata Ibnu Abbas :”Apa sebabnya”. Berkata Urwah :”Engkau mengeluarkan fatwa bagi mereka tentang dua mut’ah, sedang engkau tahu bahwa Abubakar dan Umar melarang keduanya”. Berkata Ibnu Abbas :”Aneh, aku meriwayatkan dari Rasulullah dan mereka meriwayatkan dari Abubakar dan Umar”.
Lihat juga :
a. Musnad Ahmad, juz 1, hal. 337.
b. Juga riwayat dari Shohih Muslim, juz 1, bab “Nikah Mut’ah”sebagai berikut :
Dari Abu Nadhrah, dia berkata : “Ketika aku sedang di samping Jabir, mendadak datang seseorang menceritakan perdebatan Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair tentang dua mut’ah. Kemudian Jabir berkata :”Kami pernah melakukan kedua jenis mut’ah tersebut (mut’ah haji dan nikah mut’ah) BERSAMA Rasul SAW. Dan ketika Umar melarangnya, maka kami tidak melakukannya lagi”.
b) Dari Abu Nadhrah, dia berkata :
“Ibnu Abbas pernah menganjurkan nikah mut’ah, sementara Ibnu Zubair malah melarangnya. Kemudian persoalan ini aku adukan kepada Jabir bin Abdullah. Berkata Jabir : ‘Dahulu aku pernah melakukan nikah mut’ah BERSAMA Rasul SAW, kemudian Umar melarangnya. Umar menegaskan :’Sesungguhnya Allah bisa menghalalkan apa saja kepada utusan-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Al-Qur’an diturunkan kepadanya. Yang penting ialah sempurnakan ibadah haji dan umroh anda seperti yang diperintahkan Allah, untuk-Nya. Barangsiapa berani melakukan nikah mut’ah ini, maka aku akan menghukumnya dengan melempari batu’ “
Ref. : Shohih Muslim, juz 1, sub bab “Masalah kawin Mut’ah pada saat menunaikan Haji dan Umroh”.
c) Abdullah bin Zubair mencela Ibnu Abbas karena menghalalkan nikah mut’ah.
Ibnu Abbas kemudian berkata ;”Tanyakan pada ibumu bagaimana perapian yang menyala antara ibumu dan ayahmu”. Maka Ibnu Zubair bertanya kepada ibunya, dan ibunya menjawab :”Aku tidak melahirkanmu kecuali melalui nikah mut’ah”.
Ref : Ar-Raghib, dalam “Al-Muhadharat”, juz 2, hal. 94.
d) Pada riwayat Muslim :
Pada riwayat tersebut Ibnu Abbas berkata : “Demi Allah, nikah mut’ah berlaku di zaman Nabi, dilakukan oleh orang-orang yang bertakwa”. Lalu Abdullah bin Zubair berkata :”Demi Allah, aku akan rajam engkau dengan batu rumahmu apabila engkau melakukannya”.
Ref : Shohih Muslim, juz 4, hal. 133.
III. Pernyataan Ibnu Abbas di saat yang lain (bukan saat berdebat)
Ibnu Abbas berkata :”Perapian pertama yang menyala dalam mut’ah adalah perapian keluarga Zubair”.
Ref : Ibn Abdu Rabbih, dalam “Iqdu Al-Farid”, juz 4, hal. 414
“perapian yang menyala” adalah kiasan arab yang berarti “bangkitnya hasrat seksual antara suami dan isteri”. Sehingga istilah jelas sekali berhubungan dengan masalah pernikahan.
Hal ini diperkuat dengan riwayat dalam Musnad Ahmad tentang “satha’at al-majamir (perapian yang menyala)” ini, yang berhubungan dengan masalah pernikahan.
Lihat : Musnad Ahmad, Jilid 6, hal. 348/349.
Dari semua uraian di atas, jelas sekali terbukti bahwa Asma’ dan Zubair melakukan nikah mut’ah sampai membuahkan keturunan, yaitu Abdullah dan Urwah bin Zubair. Sebagaimana yang diutarakan oleh Ibnu Abbas sendiri, maupun ketika beliau berdebat dengan Urwah ataupun Abdullah bin Zubair, juga pernyataan Asma’ sendiri.
Dan sebenarnya masih banyak referensi lainnya yang mendukung, seperti : 1. Abu Umar, dalam “Al-’Ilm”, juz 2, hal. 196. 2. Thabari, dalam “Jami’ Al-Bayan”, juz 2, hal. 239. dll.
Dan sampai detik ini tidak pernah ditemukan dalam sejarah bahwa Asma’ dan Zubair menikah dengan cara SELAIN nikah mut’ah.
=================================================================================================================================================================
Bukti Lemahnya Pengharaman Mut’ah
BUKTI PERTAMA
Ketika riwayat waktu pengharamannya dikatakan simpang siur, maka riwayat pengharamannya menjadi meragukan. Karena tidak ada kepastian waktu pengharamannya. Sehingga masing-masing riwayat bermuatan “khabar wahid” bukan “mutawattir”. Sekarang bandingkan dengan banyaknya riwayat yang mengatakan bahwa Rasul SAWW menghalalkannya, dan yang mengharamkannya adalah Umar, seperti yang telah saya postingkan.
Ref.: Ibnu Rusyd, dalam “Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid”, Jilid 2, hal 43-44.
BUKTI KEDUA
Adanya pernyataan dari para ulama, seperti :
1. Al-Suhaili, yang mengatakan bahwa :
“Kebenaran dalil mengenai haramnya nikah mut’ah pada saat perang Khaibar tidak pernah diakui oleh seorangpun dari ahli sejarah maupun dari kalangan perawi hadits”
Lihat :
a.Ibnu Hajar Al-Asqalani, dalam “Fathul Bari’”, juz 9, hal. 145.
b.Suhaili, dalam “Raudh Al-Anf”, juz 4, hal. 59.
c.Siroh Al-Halabiyah, juz 3, hal. 45.
2. Abu Uyanah dalam kitab Shohih-nya mengatakan :
“Yang saya dengar dari kalangan ulama bahwa yang dilarang dalam hadits Ali adalah hanya memakan daging keledai jinak, bukan tentang mut’ah”.
Ref. :
a.Ibnu Hajar, dalam Fathul Bari, juz 9, hal. 145.
b.Muhammad Asy-Syaukani, dalam Nailul Authar, juz 6, hal. 146.
3. Dan dalam hadits yang menyatakan bahwa Imam Ali (AS) melarang nikah mut’ah, terdapat peraai-perawi yang pelupa, juga terdapat perawai-perawi yang memang membenci Imam Ali dan keluarga beliau (AS). Hal ini dapat dibaca di kitab sejarah para perawi, seperti :
a.Tahdzib At-Tahdzib”, oleh Ibn Hajar Al-Asqolani.
b.Lisanul Mizan”, oleh Ibn Hajar Al-Asqolani.
4. Pernyataan Imam Ali (AS) sendiri yang menyatakan bahwa Umar yang melarang nikah mut’ah. Hal ini akan saya singgung di bawah.
5. Al-Suhaili, mengatakan :
“Memang benar telah terjadi perbedaan pendapat kapan nikah mut’ah diharamkan, akan tetapi yang paling saya anggap ANEH tentang hal itu ialah adanya orang yang mengatakan bahwa nikah mut’ah diharamkan saat terjadinya perang Tabuk atau riwayat yang mengatakan saat Rasul melakukan Umratul Qadla’”
Lihat :
a.Suhaili, dalam “Raudh Al-Anf”, juz 4, hal. 59.
b.Ibnu Hajar, dalam “Fathul Bari’”, juz 9, hal. 145.
BUKTI KETIGA
Ibnu Baththal mengatakan :
“Kebanyakan riwayat yang disandarkan pada Ibnu Abbas tentang haramnya nikah mut’ah, sebenarnya adalah hadits-hadits yang lemah sanadnya”
Ref : Ibnu Hajar, dalam “Fathul Bari’”, juz 9, hal. 150.
Atha’ mengatakan :
“Ibnu Abbas tidak lagi mengharamkan nikah mut’ah bahkan sebaliknya”
Ref :
a.Abdurrozzaq, dalam “Al-Mushannaf”, juz 7, hal. 498.
b.Suyuthi, dalam “Durr Al-Mantsur”, juz 2, hal. 141.
Kalimat-kalimat Ibnu Abbas pada riwayat-riwayat lain, justru menunjukkan bahwa Ibnu Abbas tidak pernah membatasi pelaksanaan nikah mut’ah.
Riwayat pembatasan nikah mut’ah sebenarnya diucapkan oleh Abu Umarah Al-Anshori, yang oleh sebagian orang kemudian disandarkan pada Ibnu Abbas. Namun riwayat yang menyandarkan pada diri Ibnu Abbas itu dibantah sendiri oleh Abu Umarah, dengan mengatakan bahwa Ibnu Abbas menghalalkan nikah mut’ah secara mutlak, sementara Abu Umarah menghalalkan nikah mut’ah dalam kondisi darurat.
Lihat :
Abdurrozaq, dalam “Mushannaf”, juz 7, hal. 502.
BUKTI KEEMPAT
Bukti dlo’if-nya riwayat Rabi’ bin Sabirah Al-Juhani tentang keharaman nikah mut’ah pada saat Fathul Mekkah , yaitu :
Riwayat Rabi’ bin Sabirah berasal dari ayahnya, Sabirah bin Ma’bad. Dikatakan dalam riwayat tersebut bahwa :
“…..Pada saat itu tiba-tiba Rasulullah muncul dan bersabda :’Siapa yang mengawini wanita secara mut’ah harus meninggalkan isteri-isteri mereka’”.
Ini adalah salah satu hadits yang diriwayatkan Muslim dalam Shohih-nya. Hadits ini dikatakan dlo’if, dengan alasan :
1.Hadits ini bermuatan khabar wahid, karena hanya diriwayatkan oleh Rabi’ dari ayahnya. Sementara banyak riwayat lainnya yang mengatakan bahwa pelarangannya pada peristiwa yang lain (bukan saat Fath Mekkah).
2.Hadits ini diucapkan pada saat Fath Mekkah di depan khalayak ramai. Tetapi anehnya tidak ada sahabat lain yang meriwayatkan hadits ini, padahal di situ ada orang-orang seperti Ibnu Mas’ud, Jabir bin Abdullah, dll. Yang meriwayatkan hadits ini hanya anak Sabirah bin Ma’bad, yaitu Rabi’ bin Sabirah dan juga cucu Sabirah, yang bernama Abdul Malik bin Rabi’ bin Sabirah.
3.Belum didapat keterangan dalam kitab sejarah bahwa Sabirah bin Ma’bad atau Rabi’ (anaknya) adalah orang yang dapat dipercaya. Bahkan cucunya Sabirah, yang bernama Abdul Malik justru tergolong orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Ref : Ibnu hajar, dalam “Tahdzib At-Tahdzib”, .
4.Ada kontradiksi pada riwayat Sabirah yang lain :
a.Dalam Muslim disebutkan oleh Sabirah bahwa pelarangan nikah mut’ah saat Fath Mekkah. Tetapi pada riwayat Ibnu Majah disebutkan oleh Sabirah bahwa pelarangannya pada saat Haji Wada’. Hal tersebut juga dapat dilihat pada Musnad Ahmad dan Baihaqi.
b.Di satu riwayat diriwayatkan bahwa orang yang bersama Sabirah saat itu adalah sepupunya dari kaumnya (dari Bani yang sama dengan Sabirah). Sabirah berasal dari Bani Juhainah dari Bani Qudha’ah. Sementara di riwayat lainnya, dikatakan bahwa orang yang bersama Sabirah adalah dari Bani Sulaim, yang merupakan keturunan Bani Adnan atau Bani Qahthan.
Ref. : Ibnu Hazm, dalam “Jamhar Al-Ansabil Al-A’rab”, hal. 261,379,408,444.
c.Di riwayat “Shohih Muslim”, Sabirah mengatakan bahwa ia yang menikahi wanita tersebut, bukan sepupunya yang saat itu bersamanya, karena Sabirah lebih muda dan ganteng walaupun selendangnya jelek. Sementara pada riwayat “Musnad Ahmad (juz 3, hal. 405)”, Sabirah mengatakan bahwa yang menikahi wanita tersebut adalah sepupunya yang saat itu bersamanya, karena sepupunya lebih muda dan ganteng walaupun selendangnya jelek.
BUKTI KELIMA
Umar bin Khattab yang melarang nikah mut’ah.
1. Perkataan Imam Ali (AS) sendiri dari Al-Hakam, Ibnu Juraij, dll :
“Kalau Umar tidak melarang nikah mut’ah, maka tidak ada orang yang berzina, kecuali orang yang benar-benar celaka”.
Atau dengan kalimat yang berbeda, tetapi muatannya sama.
Ref.:
a.Muntakhab Kanzul Ummal pada Musnad Ahmad juz 6, hal. 405.
b.Suyuthi, dalam “Durr Al-Mantsur”, juz 2, hal. 140.
c.Tafsir Thabari, juz 5, hal. 9.
d.Muttaqi Al-Hindi, dalam “Kanzul Ummal”, juz 8, hal. 294.
2. Dari Jabir :
“Kami melakukan nikah mut’ah di zaman Nabi dan di zaman Abubakar dengan segenggam kurma dan tepung sebagai mas kawinnya, kemudian Umar melarangnya pada peristiwa Amr bin Harits”
Ref. :
a.Shohih Muslim, Jilid 1, hal. 390.
b.Ibnu Qoyyim, dalam “Zaadul Ma’ad”, jilid 1, hal. 444.
c.Ibn Hajar, dalam “Fathul Bari’”, jilid 9, hal 141. dll.
3. Riwayat dari Ibnu Abbas :
“……Mut’ah adalah rahmat Allah bagi umat Muhammad. Bila Umar tidak melarangnya, maka tidak ada alasan bagi orang untuk berzina kecuali orang-orang yang celaka”.
Ref. rujukan ahlusunnah :
a.Ibnu Rusyd, dalam “Bidayatul Mujtahid”.
b.Ibnu Atsir, dalam “An-Nihayah”.
c.Al-Qurthubi, dalam Tafsir-nya.
d.Zamakhsyari, dalam “Al-Fa’iq”
e.Suyuthi, dalam Tafsir-nya.
f.Jashshash, dalam “Ahkam Al-Qur’an”
g.Ibnu Mandzur, dalam “Lisanul ‘Arab”. dll.
4. Umar bin Khattab berkata :
“Dua jenis Mut’ah yang dihalalkan di zaman Rasul dan sekarang aku haramkan keduanya, yaitu Mut’ah Haji dan Nikah Mut’ah”.
Di saat lain, ketika ia mengetahui bahwa Rabi’ah bin Ummayah telah menikah mut’ah, maka ia berkata :
“Nikah Mut’ah ini, kalau saja aku temui setelah aku melarangnya, maka akan aku rajam dia”
Di saat yang lain, ia juga berkata :
“Barangsiapa berani melakukan nikah mut’ah ini, maka aku akan menghukumnya dengan melempari batu’ “
Juga riwayat-riwayat lainnya, yang isinya pelarangan terhadap Nikah Mut’ah oleh Umar. Dan riwayat-riwayat tersebut berasal dari sahabat dan dikutip dari rujukan ahlusunnah sebagai berikut.
Sanad : Jabir bin Abdullah, Ali bin Abi Tholib, Ibnu Abbas, Ibnu Jarih, Umar bin Khattab, Sulaiman bin Yasar, Abu Sa’id Al-Khudri, Urwah bin Zubair, dll.
Ref. rujukan ahlusunnah :
a.Dr. Ruway’l Ar-Ruhaily, dalam “Fikih Umar 1″, penerbit Pustaka Al-Kautsar.
b.Muhammad Abdul Aziz Al-Halawi, dalam “Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khattab”, penerbit Risalah Gusti.
c.Imam Malik, dalam “Al-Muwaththo’”.
d.Al-Baihaqi, dalam Sunan.
e.Mutakhab Kanzul Ummal pada Musnad Ahmad, jilid 6, hal. 404.
f.Muttaqi Al-Hindi, dalam “Kanzul Ummal”.
g.Muslim, dalam Shohih, juz 1, sub bab “Masalah kawin Mut’ah pada saat menunaikan Haji dan Umroh”.
h.Ar-Razi, dalam Tafsir-nya.
i.Suyuthi, dalam “Dur Al-Mantsur”.
j.Al-Jahidz, dalam “Al-Bayan Wa Al-Thibyan”.
k.Thabari, dalam Tafsir-nya.
l.Ibnu Asakir, dalam Tarikh-nya.
m. Dan masih banyak lagi.
===============================================================================================================================================================
Nikah Mut’ah Sama dengan Zina?
Ia (Jabir) mengatakan: “Melalui diriku hadis tersebut didapat, kita telah melakukan mut’ah bersama Rasulullah (saww) juga bersama Abu bakar, akan tetapi setelah berkuasanya Umar, ia (Umar) pun mengumumkannya pada masyarakat dengan ucapan: “Sesungguhnya Al-Qur’an tetap posisinya sebagai Al-Qur’an sedang Rasulullah (saww) tetap sebagai Rasul, ada dua jenis mut’ah yang ada pada zaman Rasul; haji mut’ah (haji tamattu’ .red) dan nikah mut’ah”. Kalaupun nikah mut’ah haram lantas kenapa kita juga tidak mengharamkan mut’ah haji yang sampai detik ini masih dilakukan oleh semua kaum muslimin dunia padahal ia termasuk yang diharamkan oleh khalifah kedua?
Nikah Mut’ah Sama dengan Zina?
Sudah menjadi kesepakatan segenap kaum muslimin bahwa nikah mut’ah pernah ada pada zaman Rasul sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab standar Sunni maupun Syiah. Disebutkan bahwa Rasul (saww) pernah membolehkan pernikahan jenis tersebut, akan tetapi lantas terjadi perbedaan pendapat diantara para pengikut Islam adakah Rasul sampai akhir hayat beliau tetap membolehkan pernikahan itu ataukah tidak? Sebagian dari mereka mengatakan bahwa sebelum pulangnya Rasul (saww) ke rahmatullah beliau telah melarang pernikahan tersebut atau dengan istilah yang sering dipakai hukum dibolehkannya nikah mut’ah telah mansukh (terhapus). Sebagian lagi mengatakan bahwa sampai akhir hayat beliaupun beliau tidak pernah melarangnya, akan tetapi seorang yang bernama Umar bin Khatab lah yang kemudian melarangnya sewaktu ia menjabat kekhalifahan.
Dari dua pendapat diatas dalam tulisan ini akan di bahas manakah dari pendapat tersebut yang lebih dekat pada kenyataan? Apakah nikah mut’ah telah dimansukh oleh Rasul atau tidak? Kalaulah tidak lantas apakah wewenang dan dasar yang dipakai oleh Umar untuk mengharamkannya? Adakah ia melakukan berdasarkan konsep ijtihad? Sedang Imam Ali (as) –sebagai khalifah keempat ahlissunnah- tidak pernah mengharamkannya? Bolehkah dalam Islam melakukan ijtihad walau bertentangan dengan ayat atau riwayat yang sebagai sumber utama syariat Islam? Kalaulah kita terima bahwa nikah jenis itu haram karena ijtihad Umar kenapa mut’ah haji (haji tamattu’) yang juga diharamkan oleh Umar tetap dianggap halal oleh seluruh kaum muslimin? Bukankah kalau kita menerima ijtihad Umar tentang pelarangan nikah mut’ah berarti juga harus menerima pelarangannya atas mut’ah haji? Lantas apakah alasan ahlissunnah menerima pelarangan nikah mut’ah sedang mut’ah haji tetap mereka halalkan? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang bisa kita munculkan dari permasalahan-permasalahan mut’ah yang sering dipakai sebagai bahan untuk melumatkan mazhab Syi’ah karena hanya Syi’ahlah (imamiah itsna asyariah) yang sampai sekarang ini masih tetap menganggapnya halal.
Yang perlu diingat oleh pembaca yang budiman adalah bahwa kita disini dalam rangka mencari kebenaran akan konsep hukum mut’ah dan lepas dari permasalahan praktis dari hal tersebut, oleh karenanya dalam membahas haruslah didasari oleh argumen dari teks agama ataupun akal dan bukan bersandar pada emosional maupun fanatisme golongan.
Argumentasi dari Kitab-kitab Standar Ahlissunnah akan Pembolehan Nikah Mut’ah
Sebagaimana yang telah singgung diatas bahwa nikah mut’ah pernah disyariatkan oleh Allah (swt) sebagaimana yang telah disepakati oleh seluruh ulama’ kaum muslimin, hal ini sesuai dengan ayat yang berbunyi:
“dan (diharamkan atas kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki, (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapanNya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina, maka (istri-istri) yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”(Qs; An-Nisaa’:24)
Jelas sekali bahwa ayat tersebut berkenaan denga nikah mut’ah sebagaimana yang telah dikemukakan oleh para perawi hadis dari sahabat-sahabat Rasul seperti: Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Habib bin Abi Tsabit, Said bin Jubair, Jabir bin Abullah al-Anshari (ra) dst.
Pendapat beberapa ulama’ tafsir dan hadis ahlussunnah
Adapun dari para penulis hadis dan penafsir dari ahlussunnah kita sebutkan saja secara ringkas:
1. Imam Ahmad bin Hambal dalam “Musnad Ahmad” jilid:4 hal:436.
2. Abu Ja’far Thabari dalam “Tafsir at-Thabari” jilid:5 hal:9.
3. Abu Bakar Jasshas dalam “Ahkamul-Qur’an” jilid:2 hal:178.
4. Abu bakar Baihaqi dalam “as-Sunan-al-Qubra” jilid:7 hal:205.
5. Mahmud bin Umar Zamakhsari dalam “Tafsir al-Kassyaf” jil:1 hal:360.
6. Fakhruddin ar-Razi dalam “Mafatih al-Ghaib” jil:3 hal:267.
7. dst.
Pendapat beberapa Sahabat (Salaf Saleh) dan Tabi’in
Beberapa ungkapan para sahabat Rasul dan para tabi’in (yang hidup setelah zaman para sahabat) sebagai contoh pribadi-pribadi yang mengingkari akan pelarangan (pengharaman) mut’ah:
Imam Ali bin Abi Thalib, sebagaimana diungkapakan oleh Thabari dalam kitab tafsirnya (lihat: jil:5 hal:9) dimana Imam Ali bersabda: “jika mut’ah tidak dilarang oleh Umar niscaya tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka saja”.
Riwayat ini sebagai bukti bahwa yang mengharamkan mut’ah adalah Umar bin Khatab, lantas setelah banyaknya kasus perzinaan dan pemerkosaan sekarang ini –berdasarkan riwayat diatas- siapakah yang termasuk bertanggungjawab atas semua peristiwa itu?
Abdullah bin Umar bin Khatab (putera khalifah kedua), sebagaimana yang dinukil oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab musnadnya (lihat: jil:2 hal:95) dimana Abdullah berkata ketika ditanya tentang nikah mut’ah: “Demi Allah, sewaktu kita dizaman Rasul tidak kita dapati orang berzina ataupun serong”. Kemudian berkata, aku pernah mendengar Rasul bersabda: “sebelum datangnya hari kiamat akan muncul masihud-dajjal dan pembohong besar sebanyak tiga puluh orang atau lebih”. Lantas siapakah yang layak disebut pembohong dalam riwayat diatas tadi? Adakah orang yang memutar balikkan syariat Rasul layak untuk dibilang pembohong?
Abdullah bin Masud, sebagaimana yang dinukil oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya (lihat: jil:7 hal:4 kitab nikah bab:8 hadis ke:3), dimana Abdullah berkata: “sewaktu kita berperang bersama Rasulullah sedang kita tidak membawa apa-apa, lantas kita bertanya kepada beliau: bolehkah kita lakukan pengebirian? Lantas beliau melarang kita untuk melakukannya kemudian beliau memberi izin kita untuk menikahi wanita dengan mahar baju untuk jangka waktu tertentu. Saat itu beliau membacakan kepada kami ayat yang berbunyi: “wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian dan janganlah kalian melampaui batas…”(Qs Al-Ma’idah:87)
Cobalah renungkan makna ayat dan riwayat diatas lantas hubungkanlah antara penghalalan ataupun pengharaman nikah mut’ah! Manakah dari dua hukum tersebut yang sesuai dengan syariat Allah yang dibawa oleh Rasul?
Imran bin Hashin, sebagaimana yang dinukil oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya (lihat: jil:6 hal:27 kitab tafsir; dalam menafsirkan ayat: faman tamatta’a bil-umrati ilal-hajji (Qs Al-Baqarah)), dimana Imran berkata: “Diturunkan ayat mut’ah dalam kitabullah (Al-Qur’an) kemudian kita melakukannya di zaman Rasul, sedang tidak ada ayat lagi yang turun dan mengharamkannya, juga Rasul tidak pernah melarangnya sampai beliau wafat”. Riwayat seperti diatas juga dinukil oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitan musnadnya.
Dua riwayat ini menjelaskan bahwa tidak ada ayat yang menghapus (nasikh) penghalalan mut’ah dan juga sebagai bukti mahwa mut’ah sampai akhir hayat Rasul beliau tidak mengharamkannya.
Ibn Abi Nadhrah, sebagaimana yang dinukil oleh al-Muslim dalam kitab shahihnya (lihat: jil:4 hal:130 bab:nikah mut’ah hadis ke:8), dimana Ibn abi nadhrah berkata: “Dahulu Ibn abbas memerintahkan (baca:menghalalkan) nikah mut’ah sedang Ibn zubair melarangnya kemudia peristiwa tersebut sampai pada telinga Jabir bin Abdullah al-Anshori (ra) lantas dia berkata: “Akulah orang yang mendapatkan hadis tersebut, dahulu kita melakukan mut’ah bersama Rasulullah akan tetapi setelah Umar berkuasa lantas ia mengumumkan bahwa; “Dahulu Allah menghalalkan buat Rasul-Nya sesuai dengan apa yang dikehendakinya, maka umat pun menyempurnakan haji dan umrah mereka, juga melakukan pernikahan dengan wanita-wanita tersebut, jika terdapat seseorang menikahi seorang wanita untuk jangka wanita tertentu niscaya akan kurajam ia dengan batu”.
Riwayat diatas juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam musnadnya (lihat: jil:1 hal:52). Dikatakan bahwa Abi Nadhrah berkata: “Aku berkata kepada Jabir bin Abdullah Anshari (ra), sesungguhnya Ibn zubair melarang nikah mut’ah sedangkan Ibn Abbas membolehkannya”. Kemudian ia (Jabir) mengatakan: “Melalui diriku hadis tersebut didapat, kita telah melakukan mut’ah bersama Rasulullah (saww) juga bersama Abu bakar, akan tetapi setelah berkuasanya Umar, ia (Umar) pun mengumumkannya pada masyarakat dengan ucapan: “Sesungguhnya Al-Qur’an tetap posisinya sebagai Al-Qur’an sedang Rasulullah (saww) tetap sebagai Rasul, ada dua jenis mut’ah yang ada pada zaman Rasul; haji mut’ah dan nikah mut’ah”.
Dua riwayat diatas dengan jelas sekali menyebutkan bahwa pertama orang yang mengharamkan nikah mut’ah adalah Umar bukan Rasul ataupun turun ayat yang berfungsi sebagai penghapus hukum mut’ah sebagaimana yang dikatakan sebagian orang yang tidak mengetahui tentang isi kandungan yang terdapat dalam buku-buku standar mereka sendiri.
Sebagai tambahan kami nukilkan pendapat Fakhrur Razi dalam tafsir al-Kabir, ketika menafsirkan ayat 24 surat an-Nisa. Ar-Razi mengutip ucapan Umar (“ Dua jenis mut’ah yang berlaku di masa rasulullah, yang kini ku larang dan pelakunya akan kuhukum, adalah mutah haji dan mut’ah wanita” ) dalam menetapkan pengharaman nikah mut’ah. Begitu juga tokoh besar dari kamu Asy,ariyah, Imam al-Qausyaji dalam kitab Syarh At-Tajrid, dalam pengharamannya mut’ah adalah ucapan Umar (ucapan Umar: Tiga perkara yang pernah berlaku di zaman Rasulullah, kini kularang, kuharamkan dan kuhukum pelakuknya adalah mut’ah wanita dan mutah haji serta seruan (azan): hayya ‘ala khayr al-‘amal (marilah mengerjakan sebaik-baik amal)). Qusyaji membela tindakan Umar ini, menyatakan bahwa semata-mata takwil atau ijtihad Umar.
Abdullah ibn Abbas, sebagaimana yang dinukil oleh al-Jasshas dalam Ahkamul-Qu’an (jil:2 hal:179), Ibn Rusyd dalam bidayatul mujtahid (jil:2 hal:58), Ibn Atsir dalam an-Nihayah (jil:2 hal:249), al-Qurtubi dalam tafsirnya (jil:5 hal:130), suyuti dalam tafsirnya (jil:2 hal:140) dikatakan bahwa Ibn Abbas berkata: “semoga Allah merahmati Umar, bukanlah mut’ah kecuali merupakan rahmat dari Allah bagi umat Muhammad (saww) jikalau ia (Umar) tidak melarang mut’ah tersebut niscaya tiada orang yang menghendaki berbuat zina kecuali ia bisa terobati”
Riwayat yang dikemukakan oleh Ibn Khalqan dalam kitab Wafayaatul-A’yaan jil:6 hal:149-150, durrul mantsur jil:2 hal:140, kanzul ummal jil:8 hal:293, tarikh tabari jil:5 hal:32, tarikh Ibn khalkan jil:2 hal:359, tajul-arus jil:10 hal:200. Dan masih banyak lagi riwayat dalam kitab-kitab lainnya, .
Untuk mempersingkat tulisan singkat ini kita cukupkan hanya dengan menyebutkan riwayat-riwayat diatas. Untuk melengkapinya akan kita sebutkan beberapa permasalahan yang sering dilontarkan oleh orang-orang yang tidak paham akan maksud dari hikmah Ilahi tentang penghalalan nikah mut’ah dan kita berusaha untuk menjawabnya secara ringkas.
Soal: Salah satu fungsi pernikahan adalah untuk membina keluarga dan menghasilkan keturunan dan itu hanya bisa terwujud dalam nikah da’im (baca:nikah biasa), sedang nikah mut’ah tujuannya hanya sekedar sebagai pelampiasan nafsu belaka.
Jawab: Jelas sekali bahwa pertanyaan diatas menunjukkan akan adanya percampuran paham antara hukum obyek dengan fungsi/hikmah pernikahan. Yang ia sampaikan tadi adalah berkisar tentang hikmah pernikahan bukan hukum pernikahan. Karena kita tahu bahwa Islam mengatakan bahwa sah saja orang menikah walaupun dengan tidak memiliki tujuan untuk hal yang telah disebutkan diatas, sebagaimana orang lelaki yang sengaja mengawini wanita yang mandul atau wanita tua sehingga tidak terlintas sama sekali dibenaknya untuk mendapat anak dari wanita tersebut ataupun lelaki yang mengawini seorang wanita dengan nikah daim akan tetapi hanya untuk beberapa saat saja-taruhlah dua bulan saja- setelah itu ia talak wanita tersebut. Dua contoh pernikahan tersebut jelas tidak seorang ulama pun yang mengatakan bahwa itu batil hukumnya sebagaimana yang disampaikan oleh penulis tafsir “Al-Manaar” dimana ia mengatakan: “pelarangan para ulama’ terdahulu maupun yang sekarang akan nikah mut’ah mengharuskan juga pelarangan akan nikah dengan niat mentalak (istrinya setelah beberapa saat) walaupun para ahli fiqih sepakat bahwa akad nikah dikatakan sah walaupun ada niatan suami untuk menikahinya hanya untuk saat tertentu saja sedang niat tersebut tidak diungkapkannya saat akat nikah, sedang penyembunyian niat tersebut merupakan salah satu jenis penipuan sehingga hal itu lebih layak untuk dihukumi batil jika syarat niat tadi diungkapkan sewaktu akad dilangsungkan” (Tafsir al-Manaar jil:5 hal:17).
Dari sini kita akan heran melihat orang yang menganggap bahwa mut’ah hanya berfungsi sebagai sarana pelampiasan nafsu belaka dan bukankah dalam nikah da’im pun bisa saja orang berniat untuk pelampiasan nafsu saja, niatan itu semua kembali kepada pribadi masing-masing bukan dari jenis pernikahannya.
Soal: Nikah mut’ah menjadikan wanita tidak dapat menjaga kehormatan dirinya karena ia bisa berganti-ganti pasangan kapanpun ia mau, padahal Islam sangat menekankan penjagaan kehormatan terkhusus bagi para wanita.
Jawab: Justru dalam nikah mut’ah sama seperti nikah da’im dimana bukan hanya wanita yang ditekankan untuk menjaga kehormatannya tapi bagi silelaki pun diharuskan untuk menjaga hal tersebut, karena legalitas pernikahan tersebut sudah ditetapkan dalam syariat maka dengan cara inilah mereka menjaga kehormatan mereka dan tidak menjerumuskan diri mereka keperzinaan. Dalam Islam ada tiga alternatif dalam menangani gejolak nafsu birahi:Nikah da’im, Nikah mut’ah dengan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dan meredam nafsu dengan puasa misalnya.
Sekarang jika seseorang tidak mampu melaksanakan nikah da’im dengan berbagai alasan seperti karena masalah ekonomi, studi ataupun yang lainnya, dan untuk meredam nafsu dengan puasa misalnya iapun tidak mampu atau gejolaknya muncul diwaktu malam yang tidak memungkinkan untuk puasa, maka alternatif terakhir dengan nikah mut’ah tadi. Inilah yang diajarkan Islam kepada pengikutnya karena kita tahu bahwa Islam adalah agama terakhir, syariatnya pun adalah syariat terakhir yang dibawa oleh Nabi terakhir maka ia harus selalu up to date dan universal yang mencakup segala aspek kehidupan manusia yang mampu menjawab apapun kemungkinan yang bakal terjadi, dan ia merupakan agama yang bijaksana dimana salah satu ciri hal yang bijak adalah disaat ia melarang sesuatu maka ia harus memberi jalan keluarnya. Lantas jika seseorang tidak dapat melakukan nikah da’im ataupun meredam nafsunya lantas apa yang harus ia lakukan, sementara Islam melarang penyimpangan seksual jenis apapun? Atau jika ada seorang pemuda ingin mengenal seorang wanita lebih dekat untuk nanti menjadikannya seorang istri dalam masa pendekatan itu –karena boleh jadi gagal karena tidak ada kecocokan- hubungan apakah yang harus ia lakukan sehingga ia dapat berbicara dengan wanita tersebut berdua-duaan sedang Islam melarang berpacaran tanpa ada ikatan pernikahan?
Dan banyak lagi contoh lain yang Islam sebagai agama terakhir dan sebagai agama yang bijak dituntut untuk mampu menjawab tantangan tersebut, jika mut’ah diharamkan lantas kira-kira jalan keluar manakah yang akan diberikan oleh si pengharam mut’ah tadi? Oleh karenanya jangan heran jika Imam Ali (as) mengeluarkan statemen seperti diatas ( Imam Ali: “jika mut’ah tidak dilarang oleh Umar niscaya tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka saja”).
Kesalahan besar yang selama ini banyak terdapat pada benak kaum muslimin adalah mereka sering mengidentikkan nikah mut’ah dengan hubungan seksual padahal tidak mesti semacam itu –sebagaimana nikah da’im dengan anak dibawah usia yang diperbolehkan oleh para ahli fiqih semuanya- bisa saja siwanita mensyarati untuk tidak melakukan hal tersebut dalam akad nya sehingga mut’ah hanya sebagai sarana untuk menghilangkan dosa -semasa berkenalan untuk nantinya menikah daim- dengan adanya ikatan pernikahan diantara mereka.
Soal: Adanya beberapa sumber dari ahlussunnah yang menunjukkan adanya pelarangan mut’ah walaupun dari sisi waktu dan tempat pelarangannya berbeda-beda sehingga menjadi argumen bahwa ayat mut’ah (an-Nisaa:23) sudah terhapus dengan riwayat-riwayat itu, seperti:
Dibolehkannya mut’ah lantas dilarang pada seusai perang Khaibar.
Dibolehkannya nikah mut’ah lantas dilarang pada saat Fathul-Makkah.
Hanya dibolehkan pada saat peristiwa Awthas saja.
Diperbolehkan pada saat umrah qadha’ saja.
Jawab: Kita bisa katakan bahwa:
1- Ungkapan-ungkapan yang berbeda-beda itu menunjukkan tidak adanya kesepakatan akan pelarangannya karena perbedaan riwayat menunjukkan bahwa riwayat itu tunggal sifatnya (khabar wahid) dan riwayat jenis itu tidak bisa dijadikan sandaran sebagai penghapus hukum yang ada dalam Al-Qur’an, oleh karenanya Imran bin Hashin mengatakan tidak ada riwayat ataupun ayat yang menghapus hukum mut’ah (lihat kembali riwayat Imran diatas).
2- Khalifah kedua sebagai pengharam mut’ah pun tidak menyandaran ijtihadnya –kalaulah itu bisa disebut ijtihad- kepada ayat ataupun riwayat karena memang tidak ada riwayat yang menghapus hukum mut’ah tersebut sehingga dari sinilah menyebabkan banyak sahabat yang menentang keputusan Umar dalam pengharaman mut’ah. Kalau ada ayat atau riwayat yang mengharamkan nikah Mut’ah, kenapa Umar menyandarkan pelarangannya pada diri sendiri? Bukankah dengan menyandarkan pada ayat dan riwayat dari Rasul maka pendapatnya akan lebih kuat?
Soal: Diperbolehkannya melakukan nikah mut’ah adalah sebagaimana diperbolehkannya memakan daging babi yaitu pada saat-saat tertentu saja (dharurat) karena mut’ah sama hukumnya seperti zina yaitu haram, maka sebagaimana haramnya babi dalam saat-saat tertentu halal maka pada saat-saat tertentupun mut’ah halal juga hukumnya.
Jawab: Jelas penyamaan antara diperbolehkannya makan daging babi disaat dharurat berbeda dengan mut’ah, salah satu perbedaannya adalah:
Hukum dharurat hanya pada hal-hal yang mengakibatkan kelangsungan hidup (jiwa) terancam oleh karenanya diperbolehkan makan daging babi sebatas untuk menyambung hidup saja sehingga dilarang untuk makan secara berlebihan, adapun mut’ah apakah ia sama seperti daging babi sehingga jika seseorang tidak mut’ah lantas ia terancam kelangsungan hidupnya?
Kalaupun –walaupun alasan ini tidak dapat diterima- mut’ah bisa disamakan sama seperti daging babi yaitu terkenai hukum dharurat, lantas kenapa banyak sahabat yang melakukan mut’ah saat itu padahal gairah seksual tidak mesti muncul bersamaan sebagaimana rasa lapar?
Kalau dikatakan hukum dharurat itu ada, seharusnya hukum setelah hilang nya dharurat, kembali ke hukum awal nya (haram), akan tetapi yang kita dapati bahwa rasulullah tidak mengharamkan sampai akhir hayatnya. Sehingga tidak benar penghalalan hukum mutah itu dikarenakan dharurat.
Penutup
Dari sini jelaslah bahwa nikah mut’ah diperbolehkan oleh syariat Islam –yang bersumber dari ayat dan hadis shohih- dimana sepakat kaum muslimin bahwa sumber syariat hanyalah Allah semata sebagaimana ayat yang berbunyi: “keputusan menetapkan suatu hukum hanyalah hak Allah”(Qs Yusuf:67). Sedang Rasul diutus untuk menjelaskannya oleh karenanya apa yang diungkapkan oleh beliau merupakan apa yang sudah disetujui oleh Allah. Rasul bersabda:“dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan”(Qs An-Najm:3-4). Oleh karenanya:“apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”(Qs Al-Hasyr:7).
Adapun ucapan para sahabat jika sesuai dengan firman Allah atau ungkapan Rasul maka bisa juga dikategorikan sebagai teks agama, akan tetapi jika tidak maka hal itu telah keluar dari apa yang telah tercantum dari ayat-ayat diatas tadi karena mereka manusia biasa seperti kita yang juga bisa salah sehingga tidak bisa dijadikan rujukan dalam menangani masalah syariat secara independen (mustaqil) tanpa tolok ukur kebenaran yang lain. Karena jika tidak, apa mungkin akan kita jadikan tolok ukur sedang kita dapati banyak pendapat mereka yang saling paradoksal sebagaimana yang kita saksikan tadi, bukankah dalam situasi perbedaan pendapat semacam itu kita diperintahkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya;“kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir”(Qs An-Nisaa’:59)
Bukanlah Allah dan Rasulnya tetap menghalalkan nikah mut’ah? Sewaktu sumber syariat adalah Al-Qur’an dan Hadis shohih lantas apakah diperbolehkan orang berijtihad –yang lantas hasilnya-hasilnya dianggap sebagai syariat- akan tetapi bertentangan dengan kehendak Allah dan Rasul yang sebagai sumber syariat?, bukankah dalam Al-Qur’an telah ditetapkan bahwa; “dan tidak patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka, dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata”(Qs al-Ahzab:36)
Apakah pemberian ketetapan lain yang tidak sesuai dengan ketetapan Allah dan Rasul tersebut tidak dikategorikan sebagai bid’ah -yang berarti mengada-adakan hukum syariat- dimana dalam riwayat disebutkan bahwa semua jenis bid’ah adalah sesat – “kullu bid’atin dholalah” -sehingga tidak ada lagi lubang untuk membagi bid’ah kepada bid’ah yang baik dan yang buruk? Lantas apakah konsekwensi bagi orang ahli bid’ah yang berarti ahli kesesatan yang dalam riwayat tentang bid’ah juga telah disebutkan “wakullu dhalalatin finnaar”? Kemudian apakah kita akan terus mengikuti ahli bid’ah dengan mengharamkan nikah mut’ah? Kalaupun nikah mut’ah haram lantas kenapa kita juga tidak mengharamkan mut’ah haji yang sampai detik ini masih dilakukan oleh semua kaum muslimin dunia padahal ia termasuk yang diharamkan oleh khalifah kedua? Dan masih banyak pertanyaan lain yang harus dijawab oleh saudara-saudara ahlussunnah yang berkisar tentang mut’ah. Renungkanlah dan bacalah saudara-saudaraku
===============================================================================================================================================================
TANYA JAWAB TENTANG NiKAH MUT’AH :
Pertanyaan :
bagaimana dengan hadits shohih yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib ra ini:
“Dari Ali bin abi Thalib berkata: Sesungguhnya Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang nikah mut’ah dan memakan daging himar jinak pada perang khaibar” (HR. Bukhari 5115, Muslim 1407).
jika diperhatikan, hadits ini dengan sendirinya menggugurkan pernyataan Ali bin Abi thalib ra diatas yang berbunyi:“jika mut’ah tidak dilarang oleh Umar niscaya tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka saja”.
jika kita hanya melihat dua pernyataan diatas (sekali lagi hanya melihat dua pernyataan diatas), yang nota bene sama-sama sanadnya pada Ali bin Abi Thalib ra, maka terdapat keanehan dan kontradiksi. Tidak mungkin kedua pernyataan tersebut benar karena kontradiksi isinya, yang satu mengharamkan yang lain mendukung mut’ah.
jadi manakah yang benar? silahkan dinilai sendiri:pernyataan pertama mempunyai derajat hadits shahih (Bukhari & Muslim) sedangkan pernyataan kedua bukan hadits.
mengenai Annisaa:24
kata “istamta’a bih” sama sekali tidak merujuk kepada kata “mut’ah”, karena kedua kata itu sangat berbeda arti:istamta’a bih berarti menikmati, mendapat kesenangan dari …, (diambil dari Aqrab Al Mawrid)
kata mut’ah lebih diartikan sebagai pernikahan sementara.
sehingga terjemahan dari “istamta’a bih” tidak ada sangkut pautnya dengan kata “mut’ah”.
Wallahu ‘alam.
———————-
Jawab:
Anda benar bahwa ada beberapa hadis yang menyatakan hal itu dalam kitab Ahlusunah. Tetapi kita juga harus melihat bahwa ada hadis-hadis lain (dalam kitab yang sama-sama shohihnya yaitu yang diriwayatkan dari Ibn Abi Nadhrah yang dinukil oleh al-Muslim dalam kitab shahihnya jil:4 hal:130 bab:nikah mut’ah hadis ke:8) yang menyatakan bahwa Rasul hingga akhir hayat beliau tidak pernah mengharamkannya, bahkan khalifah kedualah yang mengharamkannya…dan terbukti bahwa para ulama Ahlusunah tidak ada kesepakatan pendapat tentang kapan mut’ah diharamkan, yang jelas, pendapat-pendapat mereka masing-masing memakai dalil hadis yang berbeda-beda…
Adapun mengenai surat an-Nisa tentang ayat mut’ah itu, kita tidak bisa mengarang-ngarang penafsirannya dan terbukti bahwa ayat itu turun untuk mut’ah. Silahkan anda melihat kembali beberapa kitab tafsir Ahlusunah sendiri -spt: Tafsir al-Kabir karya Fakhrur Razi, Durrul Mantsur karya as-Suyuthi, Fathul Qadir karya as-Syaukani, Ruhul Ma’ani karya al-Alusi, Tafsir al-Quranul Karim karya Ibnu Katsir…dsb- yang menyatakan bahwa ayat itu (an-Nisaa: 24) turun untuk nikah mut’ah, walaupun kembali mereka menyatakan bahwa ayat itu lantas dihapus (mansukh)…dihapus dengan apa? Itulah yang menjadi masalah…apakah mungkin hadis (yang tidak terjaga oleh Allah) akan dapat menghapus ayat al-Quran (yang dijaga oleh Allah)? apakah mungkin sebuah ayat akan dapat dihapus oleh statemen sahabat? Silahkan anda renungkan…!?
Pak, yang berhak menghalalkan dan mengharamkan itu Allah, bukan Rasul, apalagi manusia biasa seperti anda dan saya…itu hak mutlak Ilahi.
Dan kita juga harus tahu bahwa, sewaktu Allah menghalalkan atau mengharamkan itu berdasarkan ilmu Allah yang bersifat Absolut, bukan kira-kira seperti yang anda katakan itu.
Dalam kasus nikah Mut’ah, terbukti bahwa Allah tidak pernah menghapus (naskh) hukum itu, begitu juga dengan penjelasan Rasul atas syariat Ilahi…tetapi sahabat Umarlah yang mengharamkannya berdasarkan pendapat pribadinya…Apakah mungkin hukum Allah akan terhapus dengan pendapat pribadi? Siapapun tidak berhak mengganti hukum Allah, walaupun itu manusia termulia seperti Rasulullah, apalagi manusia biasa. Silahkan direnungkan!
—————————————————
Pertanyaan :
secara dalil, memang nikah mut’ah tidak bisa saya nafikan. tetapi banyak orang yang kemudian menyalahgunakan semua itu lantaran nafsu semata, atau bagi wanita adalah untuk mendapatkan uang seperti halnya pekerja seks komersial.
itu terbukti seperti di bandung, seorang wanita bercadar mendatangi seorang dokter kemudian divonis menderita sipilis. ketika ditanya, “anda mengikuti islam syiah ya? tinggalkanlah!” tetapi wanita itu justru marah-marah.
di daerah jakarta selatan, ada yang melakukan itu dan imagenya buruk dan tidak memuliakan wanitanya meski wanitanya jadi kaya.
lalu bagaimana kita memandang fakta itu? apakah kita akan menutup mata dengan kembali pada hukum mutah yang diyakini kebenarannya tanpa merujuk berdasarkan nilai moral?
Jawaban:
Pertama, saya pernah mengecek kebenaran kisah2 yang anda sebutkan itu, dan ternyata itu hanya bikinan dan tidak ada realitanya, sengaja dibikin untuk menjatuhkan Syiah.
Kalaulah benar, apakah sipilis itu mesti diidap oleh pengobral nafsu? Ternyata jawabannya tidak. Jika anda kencing sembarangan pun bisa teridap penyakit itu, karena loncatan virus. Ini telah terbukti secara medis. Begitu juga HIV yang penularannya bukan hanya karena hubungan seksual saja. Anda tahu itu bukan?
Kedua, penyimpangan yang mungkin saja terjadi dikarenakan pelaku tidak melakukannya sesuai prosedur yang telah ditentukan oleh Islam. Karena kita yakini, jika Islam membolehkan (baca: mensyariatkan) sesuatu maka disitu terdapat hikmah yang besar, selama dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan oleh Allah. Jika tidak maka bukan hanya membikin petaka di masyarakat, juga mengakibatkan murka Ilahi. Jadi harus dibedakan antara hukum dan prosedur Ilahi dengan penyimpangan oknum.
Ketiga, kalaulah ada penyimpangan, maka apakah itu lantas meniscayakan pengharaman, sebagaimana banyak dalam kasus nikah daim (nikah biasa) juga terdapat penyimpangan, seperti kawin-cerai sampai puluhan kali dalam jangka waktu setahun umpamanya? Begitu juga pada kasus2 hukum2 agama lainnya, seperti perceraian, pengumpulan zakat, poligami (spt menelantarkan istri tua), dst.
—————————————————
Pertanyaan :
maksud saya, kalimat mana yang dianggap memiliki makna nikah mut’ah dalam surat an-nisa’ ayat 24 itu…
kata “istamta’a bih” sama sekali tidak merujuk kepada kata “mut’ah”, karena kedua kata itu sangat berbeda arti:istamta’a bih berarti menikmati, mendapat kesenangan dari …, (diambil dari Aqrab Al Mawrid)
kata mut’ah lebih diartikan sebagai pernikahan sementara.
sehingga terjemahan dari “istamta’a bih” tidak ada sangkut pautnya dengan kata “mut’ah”.
Syiah……….syiah coba saudara mengunakan logika jangan terhayut dengan dokrin dokrin yang ada, karena logika salah satu nikmat Allah yang membedakan manusia dengan mahluk lainya (binatang)
Jawaban:
1- Pengunaan kata istimta’ berkaitan dengan wanita-wanita itu.
2- Penggunaan ujrah yang berarti bayaran, bukan mahar sebagaimana kawin biasa.
3- Penafsiran banyak ahli tafsir (plus berdasarkan hadis dan riwayat para sahabat), sebagaimana yang tertulis dalam tulisan di atas.
Kalau kita hanya bertumpu pada kajian philologi maka kata istimta’, mut’ah atau tamattu’ berasal dari kata yang satu ma-ta-a’ yang berarti kesenangan atau kenikmatan. Istimta’ berarti mencari kesenangan, mut’ah berarti senang/nikmat dan tamattu’ berarti bersenang-senang. Itu dari segi bahasa.
Tapi penafsiran ayat al-Quran tidak dapat bertumpu pada sekedar kajian bahasa saja bukan? Kembali kepada penafsiran para ulama anda sendiri yang mengartikan ayat itu –dimana ada kata istimta’- sebagai nikah mut’ah, berdasarkan asabab nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) dan penjelasan Rasul maupun banyak sahabat beliau. Di sini anda tidak akan mampu lari dari kenyataan bahwa ayat itu turun untuk nikah mut’ah. Adapun apakah telah diharamkan (dihapus validitas ayatnya) atau tidak maka silahkan baca lagi tulisan di atas dengan baik dan teliti…silahkan mencoba!?
Tidak meyakini kebenarannya? Hatta anda tidak meyakini kebenaran Injil umpamanya apakah sewaktu di Injil ada pelarangan berzina maka lantas tetap anda ingkari, padahal itu juga sesuai dengan ajaran Islam? Saya menggunakan dalil anda agar anda memahami bahwa ternyata kitab anda juga mengatakan sebagaimana apa yang diyakini Syiah, bahwa bukan Rasul yang mengharamkan nikah Mut’ah, tapi orang biasa seperti anda dan saya. Itu pengakuannya sendiri koq, gak percaya, silahkan cek rujukan yang sudah kami berikan. Itulah kitab anda yang berbicara! Kalau kami memakai kitab Syiah, pasti anda tidak akan menerimanya bukan?
Doktrin? Silahkan anda perhatikan kembali tulisan di atas, apakah berdasarkan doktrin tak berdalil ataukah sebaliknya, berdalil dengan kitab anda sendiri? Berbicara ttg logika, logikamana yang anda inginkan? Silahkan sebutkan mana argumen di atas yang tidak sesuai dengan kaedah-kaedah logika sepanjang yang anda ketahui?
Lantas kapan dan siapa yang mengharamkan? Ini terjadiperbedaan pendapat. Yang mengatakan bahwa Rasul dan di zaman Rasul-lah diharamkan, ini akan terbentur dalam banyak kontradiksi dalam penetapan dan berargumennya. Sementara, banyak dalil yang menjelaskan bahwa sahabat Umar-lah yang mengharamkan, termasuk pengakuannya sendiri seperti yang telah dicantumkan dalam artikel di atas..
Dalam Islam, tidak ada istilah pacaran (perkenalan secara pribadi tanpa ikatan pernikahan) yang sering dipraktikkan oleh masyarakat. Namun di sisi lain, hampir mustahil nikah tanpa perkenalan sebelumnya, terkhusus berbicara dari ati ke hati yang hanya melibatkan dua orang saja. Dan Islam harus memberi solusinya. Nikah mut’ah adalah solusi terbaik dalam hal ini.
Dalam nikah mut’ah, pihak perempuan bisa memberi syarat -sewaktu akad nikah- kepada pihak lelaki untuk tdk melakukan hubungan selayaknya suami-istri, hanya sekedar ngobrol-ngobrol saja. Ini juga salah satu perbedaan antara nikah mut’ah dengan nikah biasa (da’im), adanya syarat untuk tidak berubungan intim. Jadi saran saya, untuk perkenalan dengan pasangan anda, lebih baik anda menikah dengan akad mut’ah, tetapi dengan syarat tanpa ada hubungan intim dengan bentuk apapun. Dengan begitu, anda bisa terbebas dari dosa pacaran yang tanpa ikatan, selain anda juga tetap terjaga dari ‘kemungkinan buruk’ pra nikah da’im.
Perbedaan bagi seorang gadis dan janda, antara nikah da’im dan mut’ah sama, yaitu untuk gadis HARUS dengan izin wali yang dalam mazhab Syiah adalah ayah, kakek dari ayah, buyut dari ayah dst. Namun jika status perempuan itu janda maka tidak disyaratkan untuk izin wali. Itu hukum aslinya (hukum primer). Namun perlu diingat bahwa, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan -apalagi kita sebagai orang timur yang halus tata krama- dan jangan sampai berbenturan dengan adat istiadat setempat, maka tidak ada salahnya kita juga meminta izin ibu atau pribadi yang dekat lainnya.
Dalam Islam, dari mazhab manapun, tidak pernah mengizinkan seorang perempuan untuk berpraktik polyandri. Hanya oknum-oknum yang mengatasnamakan Islam akan tetapi mengusung bendera kebebasan ala Barat (Liberal) yang ingin membikin syariat sendiri saja yang berusaha melegalkannya.
—————————————————-
Pertanyaan :
namun jika ada dilema begini:
1. katakanlah orang yang menikah mut’ah di usia muda, kemudian berjanji untuk tidak melakukan aktifitas seksual dalam bentuk apapun, namun, kalau pada praktiknya, mereka tidak kuasa sehingga akhirnya melakukannya, apakah itu dihitung zina mengingat mereka tidak menepati janjinya?
2. di QS. Al-Mukminun Allah berfirman, “Yaitu mereka yang memelihara kemaluannya, kecuali kepada istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, barangsiapa yang mencari dibalik dari itu, maka mereka melampaui batas.”
dalam hal ini, saya berfikir bahwa ini juga mencangkup istri-istri mut’ah, lalu apakah yang dimaksud memelihara kemaluan itu sebatas hubungan seks mengingat di nikah mut’ah dapat menggunakan perjanjian untuk tidak melakukan ini?
3.dalam ayat 24 surat An Nisaa’ istilah ujrah itu diterjemahkan dengan mahar menurut terjemahan Dep. Agama. Sedangkan dalam segi bahasa ujrah itu artinya upah. Nah, pertama, yang saya tanyakan dalam segi bahasa apa bedanya mahar dan ujrah itu ?
yang kedua, apakah sama prosedur akad nikah mut’ah dengan nikah da’im
Jawaban :
Jawaban dari keumgkinan-kemungkinan (postulat) itu sudah dijawab oleh para Marja’ Syiah Imamiah Istna Syariyah (Jakfary) di dalam buku-buku ‘Kumpulan Fatwa’ (risalah amaliyah) mereka. Di sini, saya akan menjawab sesuai dengan fatwa Imam Khumaini ra. Beliau dalam karyanya yang berjudul ‘Tahrir Wasilah’ pada kitab Nikah, dan pada kajian ttg ‘Syarat-syarat dalam nikah’ di masalah ketiga menyatakan bahwa; Jika terdapat syarat dalam nikah maka syarat tersebut harus dijalankan (selama tidak bertentangan dengan syariat, sebagaimana yang disinggung dalam masalah kedua). Namun, jika ditengah-tengan pernikahan terdapat kesepakatan antara kedua pasangan maka, diperbolehkan untuk membatalkan (meninggalkan) syarat tersebut. Dan tidak ada bedanya antara nikah Da’im ataupun nikah Mut’ah. Ini adalah kesimpulan dari fatwa beliau. Jadi, pada prinsipnya, pemberian syarat diperbolehkan. Namun melanggar syarat dalam nikah pun diperbolehkan selama ada kesepakatan untuk menghapusnya. Jika tidak ada kesepakatan maka hukumnya tetap, HARUS dijalankan.
Namun, jika nikah Mut’ah itu bertujuan untuk pengenalan (baca: pacaran) dan status perempuan adalah perawan (gadis) maka untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan negatif yang dapat merugikan pihak perempuan maka selayaknya pihak perempuan tidak memberi izin pihak lelaki untuk melanggar syarat tersebut. Sekali lagi, demi kemaslahatan perempuan.
Mengenai pertanyaan kedua. Jelas bahwa seorang muslim/mukmin harus menjaga kemaluannya dari yang diharamkan oleh Allah. Adapun maksud dari kata ‘maa malakat aimaan’ adalah budak yang dimilikinya. Sementara sekarang ini sistem perbudakan tidak lagi dapat diterapkan, karena syarat-syarat tertentu yang tidak terpenuhi, ini versi Syiah. Adapun masalah istri-istri dalam ayat itu, lebih umum dari istri Da’im. Karena hubungan antara lelaki dan perempuan dengan akad nikah Mut’ah pun tergolong perkawinan yang meniscayakan perempuan menjadi istrinya. Jadi, menjaga kamaluan dari yang diharamkan oleh Allah adalah hukumnya WAJIB, dan dihalalkan kepada budak dan istri-istri, baik dari nikah Da’im maupun Mut’ah. Jika tidak, dan jika penghalalan khusus pada nikah Da’im saja, maka pertama; berarti Mut’ah bukan nikah, dan ini bertentangan dengan argumen di artikel di atas. Kedua; pertama kali yang membolehkan dan melanggar ayat di atas adalah Rasuldan sahabat-sahabat mulia Rasul, karena mereka melakukan nikah Mut’ah dan berhubungan dengan istri-istri Mut’ahan mereka. Apakah mungkin Rasul beserta sahabat melanggar perintah al-Quran untuk menjaga kemaluan mereka, bahkan melakukan Zina? Naudzubillah min dzalik
Jadi ayat di atas tidak mungkin dipakai untuk dalil pengharaman nikah Mut’ah, dengan alasan menjaga kemaluaan. Karena nikah Mut’ah adalah nikah (bukan diluar nikah yang berhubungan dengan perempuan hasil mut’ah berarti zina) yang meniscayakan pelakunya memiliki hubungan suami-istri yang syah (legal secara syar’i). Apalagi kalau nikah Mut’ah itu dilakukan hanya untuk penghalalan sekedar ngobrol-ngobrol saja, tidak lebih….
Waalaikumsalam
1- Dalam memahami penafsiran ayat hukum, kita tidak boleh berpegangan kepada terjemahan versi DEPAG yang syarat dengan kesalahan penerjemahan, terkhusus berkaitan dengan penggunaan kata yang kurang tepat dan tidak sesuai dengan redaksi al-Quran. Jadi perlu kepada kamus “Mufradat al-Quran” (Pilologi kosa kata al-Quran), minimnya.
2- Tentu, disaat ada dua hal yang berbeda (seperti terdapat dua jenis nikah; Da
im dan Mut’ah) maka mesti meniscayakan perbedaan. Perbedaan yang prinsip adalah;
a- Terdapat penentuan jangka waktu.
b- Tidak ada kewajiban memberi nafkah, baik zahir maupun batin.
c- Tidak ada saling mewarisi antar pasangan.
Namun dari sisi-sisi yang lain, prosedur nikah ini adalah sama.
——————————————————————————
Pertanyaan :
ada lagi,
1. saya pernah membaca buku yang ditulis Husein* al Musawi, terbitan Al-Kautsar, dia mengatakan pernah pergi bersama Imam Khomeini ke sebuah rumah seseorang dan ketika malam, Imam Khomeini tertarik kepada anak gadis pemilik rumah yang masih kecil karena kecantikannnya kemudian meminta mut’ah. maka akadpun dilaksanakan dan Husein al Musawi pada saat itu mendengar teriakan sakit dari si anak gadis itu sehingga pagi harinya ia menunjukkan ketidaksukaannya kepada Imam Khomeini. imam kemudian menangkap ketidaksukaan itu kemudian menjelaskan bahwa anak kecil itu boleh dimut’ah namun ‘hal itu’ tidak boleh dilakukan.
apakah kabar ini benar?
kalau memang benar, sisi baik dari mut’ah jenis ini apa?
*nama penulisnya agak lupa, sepertinya Husein, karena saya banyak mendapati nama yang berujung pada Musawi yang kemudian tidak setuju dengan beberapa pemikiran syiah.
2. saya membaca buku fiqh dewasa, buku syiah juga, penulisnya… sya lupa, di sana ada penjelasan bahwa Mut’ah tidak boleh dilakukan jika hal itu membuat istri daim kita terzalimi, atau tidak setuju, atau cenderung jadi menafikan kebenaran islam. itu artinya Mut’ah pada situasi tertentu dilarang? lalu menurut Islamsyiah, hal-hal apa saja yang menjadikan tidak bolehnya melakukan mut’ah?
3. Setujukah anda bahwa tidak semua orang diperbolehkan mut’ah?
Jawaban :
1- MAsalah buku itu, aslinya berjudul ‘As-Syiah wa At-Tashih’ buku yang dipakai oleh pembenci Syiah untuk menyerang Syiah. Banyak kejanggalan-kejangalan di buku itu. Dikatakan bahwa penulisnya adalah mantan Syiah yang tobat, dan dia mujtahid. NAmu sayang, sepandai-pandai menyembunyikan bangkai pasti akan tercium juga. Ternyata buku itu adalah rekaan kaum Wahaby dan dicetak atas dana dari Saudi, untuk menyerang Syiah. Penulisnya tidak diketahui asal muasalnya. Pemberi gelar ijtihadnya juga gak jelas, bukti kebodohannya tentang konsep Ijtihad dalam Syiah. Mengaku-ngaku sekelas denga ulama-ulama kaliber di jajaran Syiah namun usianya masih kecil sekali (muda dan gak sebanding)….dst. Ini bukti kebodohan mereka.
KArena gak punya argumen yang baik untuk menyerang Syiah maka dibikinlah kisah-kisah bohong murahan semacam itu.
2- Itu kembali kepada konsep hukum primer dan hukum sekunder. Jangankan nikah mut’ah, nikah daim pun juga sama persis. Jika anda mau nikah lagi (daim, bukan mut’ah) dan sebab dari hal itu istri tua akan teraniaya (menganiaya muslim adalah perbuatan HARAM) maka apakah boleh anda melakukan hal mubah/yang dibolehkan (nikah daim) dengan cara haram (menzalimi istri)? Saya kira ini merupakan ukum yang jelas sekali, bak matahari di siang hari.
3- Sekali lagi, jika anda memahami konsep hukum primer dan hukum sekunder maka pertanyaan ini tidak perlu diulang. Jangankan nikah mut’ah, minum kopi saja tidak semua orang diperbolehkan…kalau kopi membikin dia sakit yang parah dan membahayakan maka di saat itu kopi menjadi haram baginya.
penulis Intisari Islam (… Bahesyti) penerbit lentera, mengatakan bahwa pernikahan yang ideal adalah pernikahan monogami, namun karena kondisi-kondisi tertentu menuntut seseorang untuk melakukan poligami maka seorang muslim dapat melakukan poligami itu,
——————————————————————–
Pertanyaan :
saya trtarik dengan pembahasan ini dan saya igin bertanya
1. Apa perbedaan antara nikah sirri dan mut’ah?
2. Ketika seseorang memutuskan untuk ber mut’ah dan ia ingin melanjutkan dengan nikah da’im bgmana hukumnya? dan bagaimana dengan sisa wkt yang masih ada dlm perjanjian mut’ahnya?
3. Bagaimana cara nikah mut’ah itu sendiri? apakah akadnya HARUS dan WAJIB dengan menggunakan bhs. Arab? atau boleh dengan menggunakan redaksi bhsnya sendiri?
sy sangt tertarik dengan pembahasan ini mengingat zaman yang seperti saat ini sangatlah rentan bagi siapa saja untuk dapat melakukan hal-hal yanng diharamkan oleh agama.
nah..dengan mengenal dan mengetahui ajaran yang ada dlm aga ini smg dpt menambah perbendaharaan ilmu sy dan dpt mempertebal iman sy shg tdk mudah terpengaruh oleh DUNIA.
Jawaban :
Sebagaimana namanya, nikah Sirri itu adalah nikah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Dalam arti, nikah yang dilakukan tanpa tercatat di KUA. Namun jenis akadnya biasanya sama seperti nikah daim (bikah permanen), bukan nikah mut’ah. Walaupun bisa saja nikah sirri tetapi akad nikahnya menggunakan akad nikah mut’ah, walaupun nikah mut’ah sendiri tidak akan diakui oleh KUA, maka dengan sendirinya nikah mut’ah itu sendiri sudah sirri. Adapun kenapa nikah mut’ah tidak diakui oleh KUA, tentu anda tau sendiri penyebabnya.
Bisa, perpindahan dari nikah mut’ah ke nikah daim secara langsung. Kalau jangka waktunya (nikah mut’ah) masih tersisa maka pihak lelaki bisa menghadiahkannya (hibah) ke pihak perempuan, sehingga dengan sendirinya terputus nikah mut’ahnya. Si lelaki hanya tinggal mengatakan: “Aku hibahkan waktu yang tersisa kepadamu”. Lantas si lelaki kembali berakad dengan akad nikah daim. Mungkin anda bertanya, bagaimana dengan masa iddah si perempuan seusai nikah mut’ah? Dalam fikih Ahlul Bait dinyatakan, jika pelakunya (dari nikah mut’ah ke nikah daim) adalah lelaki sama (bukan lelaki lain) maka tidak perlu iddah. Namun jika lelakinya lain maka perlu iddah, kalau sudah berhubungan badan. Namun jika tidak pernah berhubungan badan maka tidak perlu iddah, walaupun berlainan lelaki.
Perbedaan antara akad nikah mut’ah dan nikah daim adalah dari sisi penentuan jangka waktu saja. Kalau nikah mut’ah harus menyebutkan jangka waktu, sedang nikah daim tidak. Jika seseorang melakukan nikah mut’ah dan lupa atau sengaja tidak menyebut jangka waktu maka jatuhnya hukum nikah daim. Secara hukum aslinya, dalam fikih Ahlul Bait, penggunaan bahasa Arab diharuskan. Jika tidak bisa maka bisa menggunakan teks yang dibaca, tentu dengan dipahami terlebih dahulu maksudnya (dengan proses penerjemahan). Jika tidak bisa membaca huruf bahasa Arab, maka kalimat perkalimat bisa ditulis dengan tulisan latin. Jika tidak bisa membaca maka bisa dituntun. Jika itupun tidak bisa juga maka bisa diwakilkan. Jika tidak ada yang bisa diwakilkan maka baru bisa dengan bahasa sendiri, dengan tidak merubah kandungan akad nikah mut’ah.
Pada prinsipnya, kurang lebih arti dan kandngan akad nikah mut’ah sebagai berikut:
Pihak perempuan mengatakan: “Aku nikahkan diriku kepadamu dengan mahar …. dengan jangka waktu ….(bisa ditambahkan syarat di sini, seperti hanya untuk perkenalan (pacaran) saja, tidak lebih)”. Maka pihak lelaki menjawab: “Aku terima…..”.
—————————————————————————-
Pertanyaan :
Saya ingin bertanya sekaligus berpendapat.
1. Syarat apa saja harus dipenuhi dalam nikah Mut’ah,
2. apakah tidak melakukan hubungan badan itu juga termasuk syarat? Jika dalam nikah mut’ah ada syarat tersebut dan wajib dipenuhi saya bisa menerima diperbolehkannya nikah mut’ah
3. Jika dalam nikah mut’ah diperbolehkan berhubungan intim dengan kesepakatan kedua belah pihak. Namun jika Kedua pihak sebenarnya tidak berniat meneruskan hubungan setelah batas waktu yang ditetapkan apa itu diperbolehkan? Jika jawabannya iya, bagaimana jika seseorang
nikah mut’ah-berhubungan intim-selesai
dan seterusnya. Apa seperti itu juga diperbolehkan? Sungguh mebayangkanya saja itu tidaklah berbeda dengan laki-laki yang sering gonta-i pasangan(dlm hal yang intim), perbedaannya dengan nikah mut’ah si laki-laki dapat status yang jelas.
4. Apa yang menjadi sebab seseorang melakukan nikah mut’ah?
Jawaban:
Ringkasnya begini..
1- Secara umum syarat nikah mut’ah gak beda dengan nikah daim. Namun karena ada dua jenis nikah maka pasti ada perbedaan yang membedakan keduanya. Salah satunya masalah, waktu, wajib nafkah, beberapa bentuk syarat.
2- Sebagaimana yang sudah dijelaskan. Di nikah Mut’ah pihak perempuan atau lelaki bisa memberi syarat itu. Tetapi di nikah daim tidak boleh memberi syarat itu. Jika syarat itu dilontarkan dalam akad maka WAJIB bagi keduanya untuk mentaati syarat itu, kecuali mereka sepakat untuk membatalkan syarat tadi. Yang jelas pembatalan syarat itu tidak bisa sepihak. Saya kira jelas di sini. Jika tidak ada syarat maka kewajiban memenuhi syarat tentu akan tiada, lha wong syaratnya aja gak ada koq mau diwajibkan mengikuti syarat?
3- Jika anda berbicara pada hukum primer (hukum asli / awwali) maka itu tidak mengapa. Tapi jika anda bicara ttg hukum sekunder (hukum tsnawi) maka dikarenakan -mungkin- hal itu menyebabkan fitnah maka bisa menjadi haram ataupun makruh, tergantung besar kecilnya madharat yang ada. Makanya kalau anda lihat dalam beberapa kitab Syiah maka anda akan temui Imam Jakfar Shadiq pernah mengharamkan Syiahnya untuk melakukan nikah mutah di Makkah dan MAdinah, itu berdasarkan hukum sekunder, bukan hukum primer. Toch apa yang anda jelaskan tadi juga bisa juga diterapkan di nikah daim bukan? Ada lelaki kawin daim, setelah dua minggu istri dicerai. Kawin lagi dengan yang lain, setelah dua mingu cerai lagi. dan seterusnya….Dan ingat! Dalam kawin mut’ah juga sama dengan kawin daim, istri muta’ahan setelah kawin dan bersetubuh dengan pria, untuk menikah lagi ia harus melakukan iddah, sebagaimana istri daim. Tidak bisa seenaknya dia seperti pelacur yang ganti-ganti pasangan aja. Islam sudah menjabarkan semua itu.
4- Sebab itu kembali kepada pribadi masing-masing, persis seperti nikah daim khan sebabnya macam2…ada yang nikah daim karena memuaskan nafsu saja, ada yang karena mencari warisan karena sang istri kaya, ada yang karena Allah..dst. Jadi masalah motivasi nikah mutah sama persis dalam nikah daim, TERGANTUNG ORANGNYA.
Jika anda memahami konsep hukum primer dan hukum sekunder dalam kajian usul fikih Syiah maka kebingungan anda itu akan terjawab. Bukan hanya nikah mut’ah, nikah daim pun hukum sekundernya bisa jadi haram, bisa jadi makruh, dan bisa jadi wajib jika kembalikan kepada mafsadah dan madharatnya.
Adapun mengenai pengharaman nikah mut’ah. Jelas menurut Syiah itu tidak pernah ada, kecuali pada kasus hukum sekunder tadi, bukan hukum primernya.
Adapun dalam masalah pengharaman versi ikhwan Ahusunnah, di sini mereka tidak pernah ada kesepakatan. Justru yang mengharamkan atas dasar -katanya / konon- hadis Rasul maka itu dengan mudah dapat dielakkan. Karena problem mereka adalah, mereka akan berbenturan dengan hadis / riwayat yang terdapat dalam kitab yang TERLANJUR dianggap semua isinya SAHIH. Beranikah menentang kitab Sahih yang situ menjelaskan bahwa pengharam nikah Mut’ah bukan Rasul?
Kita hanya mengomentari ungkapan anda yang mengatakan: “saya pribadi meragukan kehalalannya.”…anda memiliki dalil Al-Quran dan Hadisnya? Mas, ini masalah hukum Islam lho..jadi jangan main hanya ragu doang, harus berdalil dengan sumber-sumber Islam yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Hukum Allah tidak bisa dikira-kira dengan pendapat pribadi (Birra’yi)!!
Silahkan hubungi sayid Mohammad Zen Alatas (085655586857). Insya-Allah beliau akan bisa mengajak anda untuk berkenalan dengan ikhwan Syiah di kota Malang.
———————————————–
Pertanyaan :
sdr Islam Syiah, anda belum menjawap pertanyaan dari sdr kesatria sughani tentang Imam Khumaini, tentang beliau memut’ah anak kecil ( tgl 3 februari 2009 ) saya juga pernah mendengar berita ini sebelumnya. apakah anda ada bantahan tuk berita ini ?
Jawaban :
Sudah saya jawab…maaf terlewatkan.
Masalah buku itu, aslinya berjudul ‘As-Syiah wa At-Tashih’ buku yang dipakai oleh pembenci Syiah untuk menyerang Syiah. Banyak kejanggalan-kejangalan di buku itu. Dikatakan bahwa penulisnya adalah mantan Syiah yang tobat, dan dia mujtahid. NAmu sayang, sepandai-pandai menyembunyikan bangkai pasti akan tercium juga. Ternyata buku itu adalah rekaan kaum Wahaby dan dicetak atas dana dari Saudi, untuk menyerang Syiah. Penulisnya tidak diketahui asal muasalnya. Pemberi gelar ijtihadnya juga gak jelas, bukti kebodohannya tentang konsep Ijtihad dalam Syiah. Mengaku-ngaku sekelas denga ulama-ulama kaliber di jajaran Syiah namun usianya masih kecil sekali (muda dan gak sebanding)….dst. Ini bukti kebodohan mereka.
Karena gak punya argumen yang baik untuk menyerang Syiah maka dibikinlah kisah-kisah bohong murahan semacam itu.
Saya pribadi selalunya meminta teman-teman Ahlusunnah yang ingin mengetaui Syiah atau mau diskusi dengan orang Syiah untuk membaca terlebih dahulu buku-buku anti Syiah seperti buku di atas dan buku-buku karya Ihsan Ilai Zahir. Agar kalau mereka bertemu dengan Syiah ada yang bisa didiskusikan, dan mempertanyakan argumen baliknya.
Sedang kita orang2 Syiah “sama sekali tidak gentar” dengan fitnah2 murahan semacam itu. KArena selain kita punya dalil ilmiah yang cukup, kita juga memiliki negara seperti Iran yang juga turut bekerja. Jadi Syiah bukan hanya bisa NGOMONG DOANG…tapi ada contoh konkritnya…belum lagi kelompok-kelompok Syiah lain seperti Hizbullah di Lebanon, yang juga punya link dengan Iran.
Hanya kaum awam dan intelektual rendah saja yang mudah termakan dengan isu-isu murahan itu
———————————————————–
Pertanyaan :
Atas dasar untuk menambah ilmu pengetahuan, saya ada beberapa persoalan tentang nikah mutaah ini,
1.Jika hukum wali adalah Harus, bagaimana sekiranya wali tidak mengizinkan lantaran ia berfahaman sunni, adakah nikah mutaah masih bisa di jalankan?
2.Adakah mahar itu di berikan selepas akad nikah, atau pun selepas masa tempoh di tetapkan tamat, maka mahar itu baru di bayar?
3.Adakah nikah mutaah itu mewajibkan suami memberi nafkah zahir seperti pakaian, tempat tinggal dan minum dan kewajiban memberi nafakah batin? (adakah berdosa sekiranya tidak memberi nafkah)
sekian, terima kasih atas penjelasan..
Jawaban :
1- Izin Wali adalah syarat buat mempelai yang masih perawan, kecuali janda. Jika Wali tidak mengizinkan maka nikah tidak akan dapat dilaksanakan.
2- Pemberian mahar tergantung kesepakatan. Jika suami meminta pembayarannya setelah mau habis masa berlaku -mungkin karena masih belum punya uang- dan istri mengizinkan maka tidak mengapa. Tapi jika istri mensyarati kontan maka selepas akad harus langsung dibayar. Yang jelas, Mahar adalah hak istri yang harus diberikan sesuai permintaannya.
3- Salah satu perbedaan nikah Mutah dengan nikah daim (permanen) adalah pemberian nafkah. Suami tidak diwajibkan memberi nafkah zahir maupun batin terhadap istri. Namun jika suami memberi bafkah zahir maka itu tergolong kebaikan (ihsanan) kepada istri saja, bukan melaksanakan kewajiban. Oleh karenanya, nikah mut’ah ini bisa dipakai hanya sekedar untuk ‘mengikat’ saja, biar tidak berdosa di saat berjalan kesana-kemari dengan lawan jenis yang tidak mahram.
——————————————–
Pertanyaan :
BAGAIMANA HUKUMNYA NIKAH MUT’AH JIKA TANPA SEPENGETAHUAN ORANGTUA
SOALNYA ANA SUDAH TERLANJUR
DAN SEPENGETAHUAN YANG SAYA BACA SYARTA2NYA KAN TANPA SAKSI SUDAH SYAH
MAJLIS TA’LIM SYIAH DIMALANG ALAMATNYA DIMANA?
jawaban :
Sesuai dengan fatwa mayoritas Marja’ Syiah, hal itu tidak diperbolehkan. Jika terlanjur maka harus dibenahi ulang, akad ulang dengan meminta izin terlebih dahulu itu jika pihak perempuan tidak berstatus janda.
Kalau boleh tahu, anda membaca dari kitab apa dan karya siapa? Karena dalam Syiah, dibedakan antara buku fikih teoritis dan fikih praktis. Ini yang seringnya membikin rancu sebagian ikhwan yang baru mengenal Syiah, beramal dengan buku fikih teoritis.
Untuk di Malang, silahkan hubungi 085655586857
Bukti-bukti Asma’ dan Zubair Melakukan Nikah Mut’ah
hingga Melahirkan Anak
I. Riwayat Muslim dalam Shohih-nya dan Abu Dawud Thayalisi dalam Musnad-nya.
Dari Syu’bah dari Muslim Al-Quri, ia berkata :
“Aku bertanya pada Ibnu Abbas tentang mut’ah haji. Beliau menjawab :’Boleh’. Sedang Ibnu Zubair melarangnya. Sementara ibunya Ibnu Zubair meriwayatkan bahwa Rasulullah membolehkannya, lalu Ibnu Abbas menyuruh Ibnu Zubair untuk menanyakan pada ibunya kalau tidak percaya. Kemudian kami bersama-sama masuk ke rumah beliau, kami dapati dia seorang yang gemuk sekali dan buta matanya. Saat kami bertanya tentang itu, dia menjawab :”Rasul membolehkannya’.”
Dan riwayat tersebut ada dua versi.
Versi kedua adalah riwayat lewat Abdurahman. Dalam riwayat lewat Abdurahman ini, tidak disebutkan “mut’ah haji”, melainkan “mut’ah” saja. Dan menurut Ibnu Ja’far dari Syu’bah yang mengatakan bahwa Muslim Al-Quri berkata :”Aku tidak tahu apakah yang dia maksud adalah mut’ah haji atau nikah mut’ah”.
Ref. : Shohih Muslim, juz 1, sub bab “mut’ah haji”.
Hal ini diperkuat juga dengan riwayat pada Musnad Abu Dawud Thayalisi, yang meriwayatkan peristiwa tersebut melalui Syu’bah dari Muslim Al-Qurosyi, yang mengatakan : “Kami pada suatu hari mendatangi rumah Asma’ binti Abubakar, kemudian kami bertanya padanya tentang nikah mut’ah. Dijawab olehnya :’Kami melakukannya di zaman Rasul’. “
Ref : Musnad Abu Dawud Thayalisi , juz 1, hal. 309.
II. Perdebatan antara Ibnu Abbas dengan Urwah bin Zubair maupun Abdullah bin Zubair
a) Dari Ayyub berkata :
“Urwah berkata kepada Ibnu Abbas :’Apakah engkau tidak takut pada Allah dengan membolehkan mut’ah ?’. Ibnu Abbas menjawab :’Tanyakan pada ibumu sendiri, hai Urwah’. Kemudian Urwah mengatakan :’Abubakar dan Umar tidak melakukannya’. Ibnu Abbas menjawab :’Demi Allah, aku tidak melihat kamu menjadi lebih baik sampai Allah mengazab kamu. Kami menyampaikan hadits Rasulullah kepada kamu dan kamu menyampaikan hadits Abubakar dan Umar’.
Ref : Ibnu Qoyyim, dalam “Zaadul Ma’ad”, juz 1, hal. 213.
Dalam hadits ini, kata “mut’ah” adalah “nikah mut’ah”. Hal ini dapat dibuktikan dengan merujuk pada kitab lainnya yang meriwayatkan perdebatan Ibnu Abbas dan Urwah tersebut.
Ref. : Muntakhab Kanzul Ummal di tepi Musnad Ahmad, juz 6, hal. 404
Ibnu Abbas berkata pada Ibnu Zubair : “Adapun tentang mut’ah, tanyakanlah pada ibumu, Asma’, tentang selendang ‘Ausajah”. Kemudian Ibnu Zubair menanyakan selendang tersebut pada ibunya. Dan Ibunya (Asma’) berkata pada Ibnu Zubair untuk berhati-hati pada Ibnu Abbas, karena Ibnu Abbas mengetahui rahasia orang-orang Quraisy secara keseluruhan.
Ref. : Ibn Abil Hadid, dalam “Syarh Nahjul Balaghah”, jilid 20, hal. 130.
Dari Ibnu Abi Mulaikah : Berkata Urwah bin Zubair kepada Ibnu Abbas :”Orang-orang mendurhakaimu”. Berkata Ibnu Abbas :”Apa sebabnya”. Berkata Urwah :”Engkau mengeluarkan fatwa bagi mereka tentang dua mut’ah, sedang engkau tahu bahwa Abubakar dan Umar melarang keduanya”. Berkata Ibnu Abbas :”Aneh, aku meriwayatkan dari Rasulullah dan mereka meriwayatkan dari Abubakar dan Umar”.
Lihat juga :
a. Musnad Ahmad, juz 1, hal. 337.
b. Juga riwayat dari Shohih Muslim, juz 1, bab “Nikah Mut’ah”sebagai berikut :
Dari Abu Nadhrah, dia berkata : “Ketika aku sedang di samping Jabir, mendadak datang seseorang menceritakan perdebatan Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair tentang dua mut’ah. Kemudian Jabir berkata :”Kami pernah melakukan kedua jenis mut’ah tersebut (mut’ah haji dan nikah mut’ah) BERSAMA Rasul SAW. Dan ketika Umar melarangnya, maka kami tidak melakukannya lagi”.
b) Dari Abu Nadhrah, dia berkata :
“Ibnu Abbas pernah menganjurkan nikah mut’ah, sementara Ibnu Zubair malah melarangnya. Kemudian persoalan ini aku adukan kepada Jabir bin Abdullah. Berkata Jabir : ‘Dahulu aku pernah melakukan nikah mut’ah BERSAMA Rasul SAW, kemudian Umar melarangnya. Umar menegaskan :’Sesungguhnya Allah bisa menghalalkan apa saja kepada utusan-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Al-Qur’an diturunkan kepadanya. Yang penting ialah sempurnakan ibadah haji dan umroh anda seperti yang diperintahkan Allah, untuk-Nya. Barangsiapa berani melakukan nikah mut’ah ini, maka aku akan menghukumnya dengan melempari batu’ “
Ref. : Shohih Muslim, juz 1, sub bab “Masalah kawin Mut’ah pada saat menunaikan Haji dan Umroh”.
c) Abdullah bin Zubair mencela Ibnu Abbas karena menghalalkan nikah mut’ah.
Ibnu Abbas kemudian berkata ;”Tanyakan pada ibumu bagaimana perapian yang menyala antara ibumu dan ayahmu”. Maka Ibnu Zubair bertanya kepada ibunya, dan ibunya menjawab :”Aku tidak melahirkanmu kecuali melalui nikah mut’ah”.
Ref : Ar-Raghib, dalam “Al-Muhadharat”, juz 2, hal. 94.
d) Pada riwayat Muslim :
Pada riwayat tersebut Ibnu Abbas berkata : “Demi Allah, nikah mut’ah berlaku di zaman Nabi, dilakukan oleh orang-orang yang bertakwa”. Lalu Abdullah bin Zubair berkata :”Demi Allah, aku akan rajam engkau dengan batu rumahmu apabila engkau melakukannya”.
Ref : Shohih Muslim, juz 4, hal. 133.
III. Pernyataan Ibnu Abbas di saat yang lain (bukan saat berdebat)
Ibnu Abbas berkata :”Perapian pertama yang menyala dalam mut’ah adalah perapian keluarga Zubair”.
Ref : Ibn Abdu Rabbih, dalam “Iqdu Al-Farid”, juz 4, hal. 414
“perapian yang menyala” adalah kiasan arab yang berarti “bangkitnya hasrat seksual antara suami dan isteri”. Sehingga istilah jelas sekali berhubungan dengan masalah pernikahan.
Hal ini diperkuat dengan riwayat dalam Musnad Ahmad tentang “satha’at al-majamir (perapian yang menyala)” ini, yang berhubungan dengan masalah pernikahan.
Lihat : Musnad Ahmad, Jilid 6, hal. 348/349.
Dari semua uraian di atas, jelas sekali terbukti bahwa Asma’ dan Zubair melakukan nikah mut’ah sampai membuahkan keturunan, yaitu Abdullah dan Urwah bin Zubair. Sebagaimana yang diutarakan oleh Ibnu Abbas sendiri, maupun ketika beliau berdebat dengan Urwah ataupun Abdullah bin Zubair, juga pernyataan Asma’ sendiri.
Dan sebenarnya masih banyak referensi lainnya yang mendukung, seperti : 1. Abu Umar, dalam “Al-’Ilm”, juz 2, hal. 196. 2. Thabari, dalam “Jami’ Al-Bayan”, juz 2, hal. 239. dll.
Dan sampai detik ini tidak pernah ditemukan dalam sejarah bahwa Asma’ dan Zubair menikah dengan cara SELAIN nikah mut’ah.

Sumber:  http://syiahali.wordpress.com/
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: