Diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Ibnu Sirin mengakui kalau Abu Bakar dan Umar tidak lebih utama dari Imam Mahdi. Bahkan diriwayatkan ia dengan jelas mengatakan kalau Al Mahdi lebih baik atau utama dari Abu Bakar dan Umar.
حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ عَوْفٍ عَنْ مُحَمَّدٍ قَالَ يَكُونُ فِي هَذِهِ الأُمَّةِ خَلِيفَةٌ لاَ يُفَضَّلُ عَلَيْهِ أَبُو بَكْرٍ وَلاَ عُمَرُ
Telah menceritakan kepada kami
Abu Usamah dari ‘Auf dari Muhammad yang berkata “[Al Mahdi] adalah
Khalifah bagi umat ini, Abu Bakar tidak lebih utama darinya dan tidak
pula Umar” [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 15/198 no 38805].
Atsar ini shahih. Para
perawinya adalah perawi kutubus sittah jadi atsar ini shahih sesuai
syarat Bukhari Muslim. Abu Usamah disebutkan Ibnu Hajar dalam mudallis
martabat kedua yaitu mudallis yang ‘an anahnya dijadikan hujjah dalam
kitab shahih.
- Abu Usamah adalah Hammad bin Usamah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad, Ibnu Ma’in, Al Ijli dan Ibnu Hibban menyatakan tsiqat. Ibnu Qani’ berkata “shalih al hadits” [At Tahdzib juz 3 no 1]. Daruquthni berkata “hafizh yang tsiqat” [Al Ilal 5/44]. Adz Dzahabi berkata “hujjah alim akhbari” [Al Kasyf no 1212]. Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqat ma’mun dan melakukan tadlis [Thabaqat Ibnu Sa’ad 6/395]. Atas dasar perkataan Ibnu Sa’ad inilah maka Ibnu Hajar memasukkannya sebagai mudallis martabat kedua [Thabaqat Al Mudallisin no 44] dimana menurut Ibnu Hajar mudallis martabat kedua telah dijadikan hujjah ‘an anahnya dalam kitab shahih.
- ‘Auf bin Abi Jamilah adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Ahmad, Ibnu Ma’in, Ibnu Sa’ad dan Ibnu Hibban menyatakan tsiqat. Nasa’i berkata “tsiqat tsabit”. Abu Hatim, Marwan bin Mu’awiyah dan Muhammad bin Abdullah Al Anshari berkata “shaduq” [At Tahdzib juz 8 no 302]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 1/759]
- Muhammad bin Sirin Al Anshari adalah tabiin perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad, Ibnu Ma’in dan Al Ijli berkata “tsiqat”. Ibnu Sa’ad berkata “seorang yang tsiqat ma’mun, tinggi kedudukannya, seorang faqih, Imam yang wara’ dan memiliki banyak ilmu” [At Tahdzib juz 9 no 338]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit” [At Taqrib 2/85]
Ibnu Sirin seorang tabiin yang tsiqat
mengakui keutamaan Al Mahdi dimana Abu Bakar dan Umar tidak lebih utama
darinya. Selain riwayat di atas terdapat riwayat penguat lain yang
diriwayatkan Nu’aim bin Hammad dalam kitab Al Fitan hal 221. Ia
membawakan atsar ini dengan sanad dari Dhamrah bin Rabi’ah dari Abdullah
bin Syawdzab dari Ibnu Sirin dengan matan “Al Mahdi lebih baik dari Abu Bakar dan Umar”. Dhamrah bin Rabi’ah
seorang yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Ahmad, Nasa’i, Ibnu Sa’ad, Ibnu Hibban
dan Al Ijli menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 4 no 804]. Abdullah bin Syawdzab
seorang yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Ibnu Ammar, Nasa’i, Ahmad, Ibnu
Hibban, Ibnu Khalfun, Ibnu Numair, Al Ijli berkata “tsiqat” [At Tahdzib
juz 5 no 448]. Apakah mengakui kalau ada yang lebih utama dari Abu Bakar
dan Umar dikatakan rafidhah?. Jika iya maka Ibnu Sirin jelas bisa
dikatakan rafidhah, mengagumkan betapa tabiin imam yang tsiqat tsabit
mau dikatakan rafidhah. Kesimpulan pembahasan ini adalah Ibnu Sirin
tidak Menganggap Abu Bakar dan Umar sebagai manusia yang paling utama
karena Ibnu Sirin dengan jelas menyebutkan mereka tidak lebih utama dari
Al Mahdi AS.
Penjelasannya:
Kepalsuan hadits tentang Abu Bakar dan Umar.
1. Kepalsuan hadits tentang Abu Bakar.
Saat itu majelis dihadiri oleh ulama Ahlu Sunah, dan Ma’mun (khalifah ketujuh Bani Abbas) duduk paling depan. Banyak dialog terjadi di majelis itu, yang salah satunya:
Salah seorang dari ulama Ahlu Sunah berkata, “Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda tentang Abu Bakar dan Umar:
“Abu Bakar dan Umar adalah pimpinan orang-orang tua di surga.”
Lalu Ma’mun berkata, “Hadits itu aneh, bukannya di surga tidak ada orang-orang tua? Karena pernah diriwayatkan bahwa saat seorang wanita tua menemui nabi, Rasulullah saw berkata:
“Wanita tua tidak akan berada di surga.”
Mendengar ucapan nabi wanita itu menangis. Kemudian Rasulullah saw berkata: “Allah swt berfirman:
“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS Al Waqi’ah: 35-37).Jika menurut kalian Abu Bakar dan Umar akan menjadi muda lalu masuk surga, maka bagi para pemuda sudah ada pemimpin yang dijelaskan nabi; beliau bersabda:
“Sesungguhnya Hasan dan Husain adalah pemimpin pemuda surga dari awal sampai akhir.”[1]
Referensi:
[1] Biharul Anwar, jilid 49, halaman 193.
[1] Biharul Anwar, jilid 49, halaman 193.
2. Keutamaan Imam Ali as Atas Abu Bakar dan Umar.
Pada suatu hari, Abu Hanifah sedang mengajar murid-muridnya di masjid Kufah. Salah satu murid Imam Ja’far Shadiq as yang bernama Fadhal bin Hasan ada di situ bersama beberapa orang dari kawan-kawannya. Fadhal berkata kepada kawannya, “Aku tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum aku ajak Abu Hanifah untuk mengikuti ajaran Imam Shadiq as.” Akhirnya mereka pun ikut duduk bersama murid-murid Abu Hanfah dan akhirnya terjadi dialog antara Abu Hanifah dengan murid-murid Imam Shadiq as itu:
Fadhal: “Hai Abu Hanifah, aku punya saudara yang lebih tua dariku, namun ia Syiah. Setiap kali aku membawakan bukti-bukti keutamaan Abu Bakar dan Umar atas Ali supaya ia mau menjadi Suni, ia selalu menolaknya. Sekarang aku ingin minta tolong kepadamu untuk kau sebutkan bukti-bukti keutamaan Abu Bakar dan Umar atas Ali lalu akan kusampaikan kepada saudaraku agar dia puas dengan dalil-dalilku.”.
Abu Hanifah: “Tanyakan kepada saudaramu, bagaimana engkau mendahulukan Ali atas Abu Bakar dan Umar padahal: dalam peperangan-peperangan, Abu Bakar dan Umar selalu duduk di samping nabi, dan nabi selalu mengirim Ali untuk maju berperang. Ini adalah bukti bahwa nabi lebih mencintai nyawa Abu Bakar dan Umar.”.
Fadhal: “Kebetulan aku telah menceritakan hal itu kepada saudaraku. Namun ia menjawab: Berdasarkan Al Qur’an, Ali lebih mulia dari selainnya karena selalu yang terdepan dalam medan perang. Allah swt berfirman:
“Allah memuliakan orang-orang yang berperang daripada orang-orang yang duduk dan melebihkan pahala yang banyak untuk mereka.” (An Nisa’: 97).
Abu Hanifah: “Tanyakan pada saudaramu bagaimana ia mendahulukan Ali padahal Abu Bakar dan Umar dikuburkan di samping kuburan nabi. Adapun kuburan Ali, ia dikuburkan sangat jauh dari nabi.”.
Fadhal: “Aku juga pernah bilang begitu, namun ia berkata: Allah swt berfirman dalam kitab suci-Nya:
“Janganlah kalian memasuki rumah nabi kecuali kalian diberi ijin masuk.” (Al Ahzab: 53)
Nabi Muhammad saw dikuburkan di rumah miliknya sendiri. Jelas beliau sudah meninggal dan tidak pernah memberikan ijin Abu Bakar dan Umar untuk masuk ke rumahnya apa lagi dikuburkan di dalam rumahnya. Anak-anak dan keturunan/ahli waris beliau pun tidak mengijinkan mereka masuk.
Demikian kata saudaraku.”.
Abu Hanifah: “Katakan kepada saudaramu bahwa saat Aisyah dan Hafshah meminta mahar dari nabi, sebagai gantinya mereka mendapatkan tanah dari beliau lalu mereka memberikannya kepada orang tua mereka (Abu Bakar dan Umar).”.
Fadhal: “Itu pun pernah aku katakan, namun ia menjawab: Bukankah kamu pernah membaca ayat yang berbunyi:
“Wahai nabi, sesungguhnya kami menghalalkan istri-istrimu atasmu yang mana telah kau berikan maharnya kepada mereka.” (QS Al Ahzab: 49).
Artinya nabi sudah memberikan mahar kepada mereka saat beliau masih hidup.
Demikian katanya.”.
Abu Hanifah: “Katakan pada saudaramu, Aisyah dan Hafshah adalah istri nabi, dan mereka mewarisi tanah dari nabi. Lalu mereka memberikan jatah tanah itu kepada ayah mereka agar dikuburkan di tanah itu.”.
Fadhal: “Aku juga sudah mengatakan itu dan ia berkata:
Bukannya kalian, orang-orang Ahlu Sunah, berkeyakinan bahwa nabi tidak mewarisi apapun? Dan atas dasar keyakinan itu kalian merampas tanah Fadak yang diwariskan nabi kepada Fathimah Azzahra? Lalu kenapa kalian berkata Aisyah dan Hafshah mewarisi tanah dari nabi?
Anggap saja memang benar nabi meninggalkan warisan. Nabi pernah punya sembilan istri.[1] Jadi mereka semua berhak mendapatkan warisan, yang berupa seperdelapan dari tanah tersebut. Lalu jika seperdelapan tanah itu dibagi untuk sembilan orang, setiap orang mendapat satu jengkal tanah saja, bukan selebar tanah yang digunakan untuk kuburan Abu Bakar dan Umar!
Begitu jawab saudaraku.”
Abu Hanifah Hanifah akhirnya faham kalau penanya itu Syiah. Lalu ia berkata, “Keluarkan mereka karena mereka adalah rafidhi dan tidak ada saudara bagi mereka!”[2]
Referensi:
[1] Aisyah, Hafshah, Ummu Salamah, Ummu Habibah, Zainab, Maimunah, Shafiyah, Juwairiyah, Saudah.
[1] Aisyah, Hafshah, Ummu Salamah, Ummu Habibah, Zainab, Maimunah, Shafiyah, Juwairiyah, Saudah.
[2] Khazain Naraqi, halaman 109; Ihtijaj Thabrasi, jilid 2, halaman 317.
Apakah Ali dan Zubair Mengakui Abu Bakar Berhak Menjadi Khalifah?
Ada riwayat yang sering dinukil oleh para nashibi untuk membuktikan klaim mereka bahwa Imam Ali mengakui Abu Bakar berhak sebagai khalifah. Riwayat tersebut dinukil oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya Al Bidayah Wan Nihayah
dimana ia sendiri menukil dari Musa bin Uqbah dalam kitab Maghazi-nya.
Kami akan meneliti riwayat tersebut dan membuktikan bahwa riwayat
tersebut tidaklah tsabit.
وقال موسى بن عقبة في مغازيه عن سعد بن إبراهيم حدثني أبي أن أباه عبد الرحمن بن عوف كان مع عمر وأن محمد بن مسلمة كسر سيف الزبير ثم خطب أبو بكر واعتذر إلى الناس وقال والله ما كنت حريصا على الإمارة يوما ولا ليلة ولا سألتها الله في سر ولا علانية فقبل المهاجرون مقالته وقال علي والزبير ما غضبنا إلا لأننا أخرنا عن المشورة وإنا نرى أبا بكر أحق الناس بها بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم إنه لصاحب الغار وإنا لنعرف شرفه وخيره ولقد أمره رسول الله صلى الله عليه وسلم بالصلاة بالناس وهو حي
Dan berkata Musa bin Uqbah dalam Maghazi-nya dari Sa’d bin Ibrahiim yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku
bahwa ayahnya Abdurrahman bin ‘Auf bersama Umar, dan bahwa Muhammad bin
Maslamah mematahkan pedang Zubair kemudian Abu Bakar berkhutbah,
memohon maaf kepada orang orang dan berkata “demi Allah sesungguhnya aku
tidak pernah berambisi atas kepemimpinan ini baik siang maupun malam,
dan aku tidak pernah meminta hal tersebut kepada Allah baik sembunyi
maupun terang terangan”. Maka kaum Muhajirin menerima perkataannya. Ali
dan Zubair berkata “kami tidak marah kecuali karena kami tidak diikutkan dalam musyawarah ini dan kami berpandangan bahwa Abu Bakar adalah orang yang paling berhak atasnya sepeninggal Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Dialah orang yang menemani Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] di
dalam gua, kami telah mengenal kemuliaan dan kebaikannya. Dialah yang
diperintahkan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memimpin
shalat manusia ketika Beliau masih hidup [Al Bidayah Wan Nihayah Ibnu Katsir 9/471].
Riwayat ini [jika memang tsabit dari Musa
bin Uqbah] diriwayatkan oleh para perawi tsiqat tetapi mengandung illat
[cacat]. Riwayat ini sanadnya berhenti pada Ibrahim bin ‘Abdurrahman
bin ‘Auf dimana ia menceritakan kisah pembaiatan kepada Abu Bakar bahwa
ayahnya ikut bersama rombongan Umar bin Khaththab yang mematahkan pedang
Zubair kemudian ia juga menceritakan khutbah Abu Bakar dan pengakuan
Ali dan Zubair bahwa Abu Bakar berhak atas khilafah. Peristiwa itu
terjadi pada tahun 11 H yaitu saat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] wafat.
Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf wafat
pada tahun 96 H [Al Kasyf no 165]. Jadi ada jeda sekitar 85 tahun antara
peristiwa tersebut dan wafatnya Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin Auf.
Diperselisihkan kapan ia lahir. Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat menyatakan
ia wafat di madinah tahun 96 H dalam usia 75 tahun [Ats Tsiqat juz 4 no
1594]. Menurut keterangan Ibnu Hibban maka ia lahir sekitar tahun 21 H
dan itu berarti sangat jelas riwayat tersebut inqitha’ [sanadnya
terputus].
Ibnu Hajar menyebutkan kalau ia
sebenarnya lahir pada masa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. [At
Tahdzib juz 1 no 248]. Pernyataan ini patut diberikan catatan. Ibu dari
Ibrahim bin ‘Abdurrahman adalah Ummu Kultsum binti Uqbah dan ayahnya
adalah ‘Abdurrahman bin Auf. Ummu Kultsum binti Uqbah awalnya menikah
dengan Zaid bin Haritsah kemudian ketika Zaid terbunuh [pada perang
mu’tah tahun 8 H] ia menikah dengan Zubair sehingga melahirkan Zainab
kemudian bercerai dan baru menikah dengan ‘Abdurrahman bin ‘Auf. [Al
Ishabah 8/291 no 12227 biografi Ummu Kultsum]. Jika ia menikah dengan
Zubair pada tahun 8 H maka mungkin ia melahirkan Zainab pada tahun 9 H.
Itu berarti Ummu Kultsum menikah dengan ‘Abdurrahman bin ‘Auf pada tahun
9 H. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat pada tahun 11 H.
Seandainya dikatakan Ibrahim bin ‘Abdurrahman lahir dimasa hidup Nabi
[shallallahu ‘alaihi wasallam] maka ia lahir pada tahun 10 H atau 11 H.
Jadi saat peristiwa tersebut terjadi yaitu Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat, Abu Bakar dibaiat kemudian berkhutbah, Ali dan Zubair mengakui khalifah Abu Bakar,
Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf berusia lebih kurang satu tahun maka
riwayat ini sanadnya inqitha’ [terputus]. Ibrahim tidak menyaksikan
peristiwa tersebut dan ia meriwayatkannya melalui perantara yang tidak
ia sebutkan. Kesimpulannya riwayat Musa bin Uqbah itu dhaif karena
sanadnya terputus.
Selain itu terdapat illat [cacat] lain dari riwayat Musa bin Uqbah tersebut, sanadnya tidaklah tsabit sampai Musa bin Uqbah. Riwayat ini disebutkan dalam kitab Al Ahadits Al Muntakhab Min Maghazi Musa bin Uqbah Ibnu Qaadhiy Asy Syuhbah hal 94 no 19. Berikut ringkasan sanad penulis kitab ini sampai Musa bin Uqbah
قنا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَحْمَدَ بْنِ عَتَّابٍ الْعَبْدِيُّ ، ثنا أَبُو مُحَمَّدٍ الْقَاسِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُغِيرَةِ ، ثنا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي أُوَيْسٍ ، ثنا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عُقْبَةَ ، عَنْ عَمِّهِ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ ، صَاحِبِ الْمَغَازِي
Telah menceritakan kepada kami Abu
Bakar Muhammad bin ‘Abdullah bin Ahmad bin ‘Attaab Al ‘Abdiy yang
berkata telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad Al Qaasim bin
‘Abdullah bin Mughiirah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ismail bin Abi Uwais yang berkata telah menceritakan kepada kami Ismaiil bin Ibrahim bin Uqbah dari pamannya Musa bin Uqbah penulis Maghaaziy.
Sanad ini dhaif karena Ismail bin Abi Uwais.
Ia adalah perawi Bukhari Muslim yang dikenal dhaif. Ahmad bin Hanbal
berkata “tidak ada masalah padanya” [Akwal Ahmad no 166]. Nasa’i berkata
“dhaif” [Adh Dhu’afa An Nasa’i no 42]. Daruquthni menyatakan ia dhaif
[Akwal Daruquthni fii Rijal no 544]. Abu Hatim berkata “tempat kejujuran
dan ia pelupa” [Al Jarh Wat Ta’dil 2/180 no 613]. Terdapat perselisihan
soal pendapat Ibnu Ma’in.
- Ad Darimi meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa tidak ada masalah padanya [Al Kamil Ibnu Adiy 1/323].
- Ibnu Abi Khaitsamah meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa ia shaduq tetapi lemah akalnya [Al Jarh Wat Ta’dil 2/180 no 613].
- Muawiyah bin Shalih meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa Ismail bin Abi Uwais dhaif [Adh Dhu’afa Al Uqaili 1/87 no 100].
- Ibnu Junaid meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa Ismail bin Abi Uwais kacau [hafalannya], berdusta dan tidak ada apa apanya [Su’alat Ibnu Junaid no 162].
- Abu Abbas Ahmad bin Muhammad bin Qaasim meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa ia dhaif, orang yang paling dhaif, tidak halal seorang muslim meriwayatkan darinya [Ma’rifat Ar Rijal Yahya bin Ma’in no 121].
Pendapat yang rajih, Ibnu Ma’in pada
awalnya menganggap ia tidak ada masalah tetapi selanjutnya terbukti
bahwa ia lemah akalnya, kacau hafalannya dan berdusta maka Ibnu Ma’in
menyatakan ia dhaif dan tidak boleh meriwayatkan darinya.
Ibnu Adiy berkata “ini hadis mungkar dari
Malik, tidak dikenal kecuali dari hadis Ibnu Abi Uwais, Ibnu Abi Uwais
ini meriwayatkan dari Malik hadis-hadis yang ia tidak memiliki mutaba’ah
atasnya dan dari Sulaiman bin Bilal dari selain mereka berdua dari
syaikh syaikh-nya [Al Kamil Ibnu Adiy 1/324]. Ibnu Jauzi memasukkannya
dalam Adh Dhu’afa [Adh Dhu’afa Ibnu Jauzi no 395]. Ibnu Hazm berkata
“dhaif” [Al Muhalla 8/7]. Salamah bin Syabib berkata aku mendengar
Ismail bin Abi Uwais mengatakan mungkin aku membuat-buat hadis untuk
penduduk Madinah jika terjadi perselisihan tentang sesuatu diantara
mereka [Su’alat Abu Bakar Al Barqaniy hal 46-47 no 9].
Ibnu Hajar dalam At Taqrib berkata
“shaduq tetapi sering salah dalam hadis dari hafalannya” kemudian
dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib bahwa ia seorang yang dhaif tetapi
dapat dijadikan I’tibar [Tahrir At Taqrib no 460]. Ibnu Hajar dalam Al
Fath menyatakan bahwa ia tidak bisa dijadikan hujjah hadisnya kecuali
yang terdapat dalam kitab shahih karena celaan dari Nasa’i dan yang
lainnya [Muqaddimah Fath Al Bari hal 391]
Riwayat ini juga diriwayatkan dengan
sanad lain hingga Musa bin Uqbah sebagaimana disebutkan oleh Al Hakim
dalam Mustadrak Ash Shahihain juz 3 no 4422 dan Al Baihaqi dalam Sunan
Al Kubra 8/152 no 16364 dan Al I’tiqaad hal 350. Riwayat Baihaqi berasal
dari gurunya Al Hakim jadi sanadnya kembali kepada Al Hakim, berikut
sanad riwayat tersebut dalam kitab Al Mustadrak Al Hakim
حدثنا محمد بن صالح بن هانئ ثنا الفضل بن محمد البيهقي ثنا إبراهيم بن المنذر الحزامي ثنا محمد بن فليح عن موسى بن عقبة عن سعد بن إبراهيم قال حدثني إبراهيم بن عبد الرحمن بن عوف
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Shalih bin Haani’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Al Fadhl bin Muhammad Al Baihaqiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Mundzir Al Hizaamiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fulaih dari Musa bin Uqbah dari Sa’d bin Ibrahiim yang berkata telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf [Mustadrak Ash Shahihain juz 3 no 4422].
Sanad ini mengandung illat [cacat] yaitu
dua orang perawinya diperbincangkan yaitu Fadhl bin Muhammad Al Baihaqiy
dan Muhammad bin Fulaih bin Sulaiman.
- Fadhl bin Muhammad Al Baihaqiy, Ibnu Abi Hatim berkata “ia dibicarakan” [Al Jarh Wat Ta’dil 7/396 no 393]. Al Hakim menyatakan ia tsiqat. Abu Ali Al Hafizh mendustakannya. Abu ‘Abdullah Al Akhram berkata shaduq hanya saja berlebihan dalam bertasyayyu’ [Lisan Al Mizan juz 4 no 1368]. Adz Dzahabi memasukkannya dalam Mughni Adh Dhu’afa 2/513 no 4939].
- Muhammad bin Fulaih bin Sulaiman, Ibnu Main menyatakan ia tidak tsiqat. Abu Hatim berkata “tidak mengapa dengannya tidak kuat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Daruquthni berkata “tsiqat” [At Tahdzib juz 9 no 661]. Al Uqaili memasukkannya dalam Adh Dhu’afa dan berkata “tidak diikuti hadisnya” [Adh Dhu’afa Al Uqaili 4/124 no 1682]. Ibnu Jauzi memasukkannya dalam Adh Dhu’afa [Adh Dhu’afa Ibnu Jauzi no 3159]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq sering salah dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib bahwa Muhammad bin Fulaih dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar [Tahrir At Taqrib no 6228].
Riwayat Muhammad bin Fulaih dari Musa bin
Uqbah juga disebutkan oleh Abdullah bin Ahmad tetapi dengan matan yang
tidak memuat khutbah Abu Bakar dan perkataan Ali dan Zubair.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ مُحَمَّدٍ الْمَخْزُومِيُّ الْمُسَيَّبِيُّ نا مُحَمَّدُ بْنُ فُلَيْحِ بْنِ سُلَيْمَانَ عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ وَغَضِبَ رِجَالٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ فِي بَيْعَةِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، مِنْهُمْ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَالزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، فَدَخَلا بَيْتَ فَاطِمَةَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهُمَا السِّلاحُ فَجَاءَهُمَا عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي عِصَابَةٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فِيهِمْ أُسَيْدُ وَسَلَمَةُ بْنُ سَلامَةَ بْنِ وَقْشٍ وَهُمَا مِنْ بَنِي عَبْدِ الأَشْهَلِ وَيُقَالُ فِيهِمْ ثَابِتُ بْنُ قَيْسِ بْنِ الشَّمَّاسِ أَخُو بَنِي الْحَارِثِ بْنِ الْخَزْرَجِ فَأَخَذَ أَحَدُهُمْ سَيْفَ الزُّبَيْرِ فَضَرَبَ بِهِ الْحَجَرَ حَتَّى كَسَرَهُ قَالَ مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ : قَالَ سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ : حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ كَانَ مَعَ عُمَرَ يَوْمَئِذٍ وَأَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ مَسْلَمَةَ كَسَرَ سَيْفَ الزُّبَيْرِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Ishaq bin Muhammad Al Makhzuumiy Al Musayyabiy yang berkata
telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fulaih bin Sulaiman dari
Musa bin Uqbah dari Ibnu Syihaab yang berkata sekelompok orang dari
Muhajirin marah atas dibaiatnya Abu Bakar, diantara mereka ada Ali bin
Abi Thalib dan Zubair bin ‘Awwaam radiallahu ‘anhuma, maka masuklah
mereka ke rumah Fathimah binti Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]
dan bersama mereka ada senjata. Umar datang kepada mereka dengan
sekelompok kaum muslimin diantaranya Usaid dan Salamah bin Salamah bin
Waqsy keduanya dari bani ‘Abdul Asyhal, dikatakan juga diantara mereka
ada Tsaabit bin Qais bin Asy Syammaas saudara bani Haarits bin Khazraaj.
Maka salah satu dari mereka mengambil pedang Zubair dan memukulkannya
ke batu hingga patah. Musa bin Uqbah berkata Sa’d bin Ibrahim berkata telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf bahwa Abdurrahman bersama Umar pada hari itu dan Muhammad bin Maslamah yang mematahkan pedang Zubair, wallahu a’lam [As Sunnah Abdullah bin Ahmad 2/553-554 no 1291].
Muhammad bin Ishaq bin Muhammad Al
Makhzuumiy adalah seorang tsiqat. Shalih bin Muhammad berkata aku
mendengar Mushab bin Zubair berkata “tidak ada diantara orang quraisy
yang lebih utama dari Al Musayyabiy” dan Shalih berkata “ia tsiqat”.
Ibnu Qaani’ dan Ibrahin bin Ishaq Ash Shawwaaf menyatakan tsiqat. [At
Tahdzib juz 9 no 49]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 2/54]. Adz
Dzahabiy berkata “tsiqat faqih shalih” [Al Kasyf no 4716]. Maka ada dua
riwayat:
- Riwayat Abdullah bin Ahmad dari Muhammad bin Ishaq Al Makhzuumiy dari Muhammad bin Fulaih [lebih tsabit].
- Riwayat Fadhl bin Muhammad Al Baihaqiy dari Ibrahim bin Mundzir dari Muhammad bin Fulaih.
Riwayat Abdullah bin Ahmad lebih tsabit
dari riwayat Fadhl bin Muhammad. Hal ini karena Fadhl bin Muhammad
seorang yang diperbincangkan dan matan riwayat Muhammad bin Fulaih yang
ia sebutkan soal khutbah Abu Bakar adalah matan riwayat Ismail bin Abi
Uwais dari Ismail bin Ibrahim dari Musa bin Uqbah.
Fadhl bin Muhammad memang dikenal
meriwayatkan dari Ismail bin Abi Uwais sebagaimana disebutkan oleh Ibnu
Abi Hatim [Al Jarh Wat Ta’dil 7/69 no 393]. Jadi nampak disini Fadhl bin
Muhammad mencampuradukkan riwayat Muhammad bin Fulaih dengan riwayat
Ismail bin Abi Uwais. Riwayat Muhammad bin Fulaih yang tsabit berasal
darinya adalah:
أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ كَانَ مَعَ عُمَرَ يَوْمَئِذٍ وَأَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ مَسْلَمَةَ كَسَرَ سَيْفَ الزُّبَيْرِ
Bahwa ‘Abdurrahman bersama Umar pada hari itu dan Muhammad bin Maslamah mematahkan pedang Zubair.
Sedangkan matan yang menyebutkan khutbah
Abu Bakar dan pengakuan Ali dan Zubair bahwa Abu Bakar lebih berhak
sebagai khalifah adalah matan riwayat Ismail bin Abi Uwais dari Ismail
bin Ibrahim dari Musa bin Uqbah. Kesimpulannya riwayat Musa bin Uqbah
yang menyebutkan soal pengakuan Ali dan Zubair kedudukannya dhaif dan
tidak tsabit sampai ke Musa bin Uqbah karena diriwayatkan oleh Ismail
bin Abi Uwais seorang yang dhaif.
Kapan Imam Ali Membaiat Abu Bakar? : Membantah Para Nashibi
Cukup banyak situs nashibi [yang ngaku-ngaku salafy] menyebarkan syubhat bahwa Imam Ali membaiat Abu Bakar pada awal-awal ia dibaiat.
Mereka mengutip riwayat dhaif dan melemparkan riwayat shahih. Mereka
mengutip dari riwayat [yang tidak mu’tabar menurut sebagian mereka] dan
melemparkan riwayat mu’tabar dan shahih di sisi mereka. Mengapa hal itu
terjadi?. Karena kebencian mereka terhadap Syiah. Salafy nashibi itu
menganggap pernyataan Imam Ali membaiat Abu Bakar setelah enam bulan
sebagai “syubhat Syi’ah”. Menurut salafy nashibi yang namanya “syubhat
Syi’ah” pasti dusta jadi harus dibantah meskipun dengan dalih
mengais-ngais riwayat dhaif.
Kami akan berusaha membahas masalah ini
dengan objektif dan akan kami tunjukkan bahwa kabar yang shahih dan
tsabit adalah Imam Ali membaiat Abu Bakar setelah enam bulan yaitu
setelah wafatnya Sayyidah Fathimah [‘Alaihis Salam] dan ini tidak ada
kaitannya dengan Syiah dan riwayat di sisi mereka. Riwayat yang
menyatakan Imam Ali membaiat Abu Bakar setelah enam bulan adalah riwayat
shahih dan tsabit dari kitab yang mu’tabar di sisi para ulama yaitu
Shahih Bukhari. Tidak ada keraguan akan keshahihan riwayat ini:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَام بِنْتَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَتْ إِلَى أَبِي بَكْرٍ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ بِالْمَدِينَةِ وَفَدَكٍ وَمَا بَقِيَ مِنْ خُمُسِ خَيْبَرَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْمَالِ وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ مِنْهَا شَيْئًا فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ فَهَجَرَتْهُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ وَعَاشَتْ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ دَفَنَهَا زَوْجُهَا عَلِيٌّ لَيْلًا وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ وَصَلَّى عَلَيْهَا وَكَانَ لِعَلِيٍّ مِنْ النَّاسِ وَجْهٌ حَيَاةَ فَاطِمَةَ فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ اسْتَنْكَرَ عَلِيٌّ وُجُوهَ النَّاسِ فَالْتَمَسَ مُصَالَحَةَ أَبِي بَكْرٍ وَمُبَايَعَتَهُ وَلَمْ يَكُنْ يُبَايِعُ تِلْكَ الْأَشْهُرَ فَأَرْسَلَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ أَنْ ائْتِنَا وَلَا يَأْتِنَا أَحَدٌ مَعَكَ كَرَاهِيَةً لِمَحْضَرِ عُمَرَ فَقَالَ عُمَرُ لَا وَاللَّهِ لَا تَدْخُلُ عَلَيْهِمْ وَحْدَكَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ وَمَا عَسَيْتَهُمْ أَنْ يَفْعَلُوا بِي وَاللَّهِ لآتِيَنَّهُمْ فَدَخَلَ عَلَيْهِمْ أَبُو بَكْرٍ فَتَشَهَّدَ عَلِيٌّ فَقَالَ إِنَّا قَدْ عَرَفْنَا فَضْلَكَ وَمَا أَعْطَاكَ اللَّهُ وَلَمْ نَنْفَسْ عَلَيْكَ خَيْرًا سَاقَهُ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَكِنَّكَ اسْتَبْدَدْتَ عَلَيْنَا بِالْأَمْرِ وَكُنَّا نَرَى لِقَرَابَتِنَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَصِيبًا حَتَّى فَاضَتْ عَيْنَا أَبِي بَكْرٍ فَلَمَّا تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَرَابَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَصِلَ مِنْ قَرَابَتِي وَأَمَّا الَّذِي شَجَرَ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ مِنْ هَذِهِ الْأَمْوَالِ فَلَمْ آلُ فِيهَا عَنْ الْخَيْرِ وَلَمْ أَتْرُكْ أَمْرًا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُهُ فِيهَا إِلَّا صَنَعْتُهُ فَقَالَ عَلِيٌّ لِأَبِي بَكْرٍ مَوْعِدُكَ الْعَشِيَّةَ لِلْبَيْعَةِ فَلَمَّا صَلَّى أَبُو بَكْرٍ الظُّهْرَ رَقِيَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَتَشَهَّدَ وَذَكَرَ شَأْنَ عَلِيٍّ وَتَخَلُّفَهُ عَنْ الْبَيْعَةِ وَعُذْرَهُ بِالَّذِي اعْتَذَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ اسْتَغْفَرَ وَتَشَهَّدَ عَلِيٌّ فَعَظَّمَ حَقَّ أَبِي بَكْرٍ وَحَدَّثَ أَنَّهُ لَمْ يَحْمِلْهُ عَلَى الَّذِي صَنَعَ نَفَاسَةً عَلَى أَبِي بَكْرٍ وَلَا إِنْكَارًا لِلَّذِي فَضَّلَهُ اللَّهُ بِهِ وَلَكِنَّا نَرَى لَنَا فِي هَذَا الْأَمْرِ نَصِيبًا فَاسْتَبَدَّ عَلَيْنَا فَوَجَدْنَا فِي أَنْفُسِنَا فَسُرَّ بِذَلِكَ الْمُسْلِمُونَ وَقَالُوا أَصَبْتَ وَكَانَ الْمُسْلِمُونَ إِلَى عَلِيٍّ قَرِيبًا حِينَ رَاجَعَ الْأَمْرَ الْمَعْرُوفَ
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa
bin Bukair yang berkata telah menceritakan kepada kami Al-Laits dari
‘Uqail dari Ibnu Syihaab dari ‘Urwah dari ‘Aaisyah Bahwasannya Faathimah
[‘alaihis-salaam] binti Nabi [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] mengutus
utusan kepada Abu Bakr meminta warisannya dari Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam dari harta fa’i yang Allah berikan kepada beliau di
Madinah dan Fadak, serta sisa seperlima ghanimah Khaibar. Abu Bakr
berkata ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda ‘Kami
tidak diwarisi, segala yang kami tinggalkan hanya sebagai sedekah”.
Hanya saja, keluarga Muhammad [shallallahu 'alaihi wasallam] makan dari
harta ini’. Dan demi Allah, aku tidak akan merubah sedikitpun shadaqah
Rasulullah [shallallaahu 'alaihi wa sallam] dari keadaannya semula
sebagaimana harta itu dikelola semasa Rasulullah [shallallaahu 'alaihi
wa sallam], dan akan aku kelola sebagaimana Rasulullah mengelola. Maka
Abu Bakr enggan menyerahkan sedikitpun kepada Fathimah sehingga Fathimah
marah kepada Abu Bakr dalam masalah ini. Fathimah akhirnya mengabaikan
Abu Bakr dan tak pernah mengajaknya bicara hingga ia meninggal. Dan ia
hidup enam bulan sepeninggal Nabi [shallallaahu 'alaihi wa sallam].
Ketika wafat, ia dimandikan oleh suaminya, Aliy, ketika malam hari, dan
‘Aliy tidak memberitahukan perihal meninggalnya kepada Abu Bakr. Padahal
semasa Faathimah hidup, Aliy dituakan oleh masyarakat tetapi, ketika
Faathimah wafat, ‘Aliy memungkiri penghormatan orang-orang kepadanya,
dan ia lebih cenderung berdamai dengan Abu Bakr dan berbaiat kepadanya,
meskipun ia sendiri tidak berbaiat di bulan-bulan itu.
‘Aliy kemudian mengutus seorang utusan kepada Abu Bakar yang inti
pesannya ‘Tolong datang kepada kami, dan jangan seorangpun bersamamu!’.
Ucapan ‘Aliy ini karena ia tidak suka jika Umar turut hadir. Namun
‘Umar berkata ‘Tidak, demi Allah, jangan engkau temui mereka sendirian’.
Abu Bakr berkata ‘Kalian tidak tahu apa yang akan mereka lakukan
terhadapku. Demi Allah, aku sajalah yang menemui mereka.’ Abu Bakr
lantas menemui mereka. ‘Aliy mengucapkan syahadat dan berkata ”Kami tahu
keutamaanmu dan apa yang telah Allah kurniakan kepadamu. Kami tidak
mendengki kebaikan yang telah Allah berikan padamu, namun engkau telah
sewenang-wenang dalam memperlakukan kami. Kami berpandangan, kami lebih
berhak karena kedekatan kekerabatan kami dari Rasulullah [shallallaahu
'alaihi wa sallam’]. Hingga kemudian kedua mata Abu Bakr menangis.
Ketika Abu Bakr bicara, ia berkata “Demi Yang jiwaku ada di tangan-Nya,
kekerabatan Rasulullah lebih aku cintai daripada aku menyambung
kekerabatanku sendiri. Adapun perselisihan antara aku dan kalian dalam
perkara ini, sebenarnya aku selalu berusaha berbuat kebaikan. Tidaklah
kutinggalkan sebuah perkara yang kulihat Rasulullah [shallallahu 'alaihi
wa sallam] melakukannya, melainkan aku melakukannya juga’. Kemudian
‘Aliy berkata kepada Abu Bakr ‘Waktu baiat kepadamu adalah nanti sore’. Ketika Abu Bakr telah shalat Dhuhur, ia naik mimbar. Ia ucapkan syahadat, lalu ia menjelaskan permasalahan ‘Aliy dan ketidakikutsertaannya dari bai’at serta alasannya.
‘Aliy kemudian beristighfar dan mengucapkan syahadat, lalu mengemukakan
keagungan hak Abu Bakar, dan ia menceritakan bahwa apa yang ia lakukan
tidak sampai membuatnya dengki kepada Abu Bakar. Tidak pula sampai
mengingkari keutamaan yang telah Allah berikan kepada Abu Bakr. Ia
berkata “Hanya saja, kami berpandangan bahwa kami lebih berhak dalam
masalah ini namun Abu Bakr telah bertindak sewenang-wenang terhadap kami
sehingga kami pun merasa marah terhadapnya”. Kaum muslimin pun
bergembira atas pernyataan ‘Aliy dan berkata “Engkau benar”. Sehingga
kaum muslimin semakin dekat dengan ‘Aliy ketika ‘Aliy mengembalikan
keadaan menjadi baik” [Shahih Bukhaari no. 4240-4241].
Hadis riwayat Bukhari ini juga disebutkan
dalam Shahih Muslim 3/1380 no 1759 dan Shahih Ibnu Hibban 11/152 no
4823. Dari hadis yang panjang di atas terdapat bukti nyata kalau Imam
Ali membaiat Abu Bakar setelah enam bulan yaitu setelah wafatnya
Sayyidah Fathimah [‘alaihis salam]. Sisi pendalilannya adalah sebagai
berikut. Pehatikan lafaz Perkataan Aisyah.
فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ اسْتَنْكَرَ عَلِيٌّ وُجُوهَ النَّاسِ فَالْتَمَسَ مُصَالَحَةَ أَبِي بَكْرٍ وَمُبَايَعَتَهُ وَلَمْ يَكُنْ يُبَايِعُ تِلْكَ الْأَشْهُرَ
Ketika [Sayyidah Fathimah] wafat
‘Aliy memungkiri penghormatan orang-orang kepadanya, dan ia lebih
cenderung berdamai dengan Abu Bakr dan berbaiat kepadanya, meskipun ia
sendiri tidak berbaiat di bulan-bulan itu.
Aisyah [radiallahu ‘anha] menyatakan
dengan jelas bahwa baiat Imam Ali kepada Abu Bakar adalah setelah
kematian Sayyidah Fathimah [‘alaihis salam] yaitu setelah enam bulan dan
Imam Ali tidak pernah membaiat pada bulan-bulan sebelumnya. Jadi dari
sisi ini tidak ada yang namanya istilah baiat kedua. Itulah baiat Imam
Ali yang pertama dan satu-satunya.
Aisyah [radiallahu ‘anha] kemudian
menyebutkan dengan jelas peristiwa yang terjadi setelah Sayyidah
Fathimah wafat yaitu Imam Ali memanggil Abu Bakar kemudian memutuskan
untuk memberikan baiat di hadapan kaum muslimin. Aisyah [radiallahu
‘anha] menyebutkan bahwa Abu Bakar berkhutbah di hadapan kaum muslimin,
perhatikan lafaz:
فَلَمَّا صَلَّى أَبُو بَكْرٍ الظُّهْرَ رَقِيَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَتَشَهَّدَ وَذَكَرَ شَأْنَ عَلِيٍّ وَتَخَلُّفَهُ عَنْ الْبَيْعَةِ وَعُذْرَهُ بِالَّذِي اعْتَذَرَ إِلَيْهِ
Ketika Abu Bakr telah shalat Dhuhur,
ia menaiki mimbar. Ia mengucapkan syahadat, lalu ia menjelaskan
permasalahan ‘Aliy dan ketidakikutsertaan Ali dari bai’at serta
alasannya.
Abu Bakar sendiri sebagai khalifah yang
akan dibaiat menyatakan di hadapan kaum muslimin alasan Imam Ali tidak
memberikan baiat kepadanya. Ini bukti nyata kalau Abu Bakar sendiri
merasa dirinya tidak pernah dibaiat oleh Imam Ali. Khutbah Abu Bakar
disampaikan di hadapan kaum muslimin dan tidak satupun dari mereka yang
mengingkarinya. Maka dari sini dapat diketahui bahwa Abu Bakar dan kaum
muslimin bersaksi bahwa Ali tidak pernah membaiat sebelumnya kepada Abu
Bakar.
Kemudian mari kita lihat riwayat yang
dijadikan hujjah oleh salafy nashibi bahwa Imam Ali telah memberikan
baiat kepada Abu Bakar pada awal pembaiatan Abu Bakar.
حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ثنا جعفر بن محمد بن شاكر ثنا عفان بن مسلم ثنا وهيب ثنا داود بن أبي هند ثنا أبو نضرة عن أبي سعيد الخدري رضى الله تعالى عنه قال لما توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم قام خطباء الأنصار فجعل الرجل منهم يقول يا معشر المهاجرين إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا استعمل رجلا منكم قرن معه رجلا منا فنرى أن يلي هذا الأمر رجلان أحدهما منكم والآخر منا قال فتتابعت خطباء الأنصار على ذلك فقام زيد بن ثابت فقال إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان من المهاجرين وإن الإمام يكون من المهاجرين ونحن أنصاره كما كنا أنصار رسول الله صلى الله عليه وسلم فقام أبو بكر رضى الله تعالى عنه فقال جزاكم الله خيرا يا معشر الأنصار وثبت قائلكم ثم قال أما لو فعلتم غير ذلك لما صالحناكم ثم أخذ زيد بن ثابت بيد أبي بكر فقال هذا صاحبكم فبايعوه ثم انطلقوا فلما قعد أبو بكر على المنبر نظر في وجوه القوم فلم ير عليا فسأل عنه فقال ناس من الأنصار فأتوا به فقال أبو بكر بن عم رسول الله صلى الله عليه وسلم وختنه أردت أن تشق عصا المسلمين فقال لا تثريب يا خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعه ثم لم ير الزبير بن العوام فسأل عنه حتى جاؤوا به فقال بن عمة رسول الله صلى الله عليه وسلم وحواريه أردت أن تشق عصا المسلمين فقال مثل قوله لا تثريب يا خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعاه
Telah menceritakan kepada kami Abul
‘Abbas Muhammad bin Ya’qub yang berkata telah menceritakan kepada kami
Ja’far bin Muhammad bin Syaakir yang berkata telah menceritakan kepada
kami ‘Affan bin Muslim yang berkata telah menceritakan kepada kami
Wuhaib yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud bin Abi Hind
yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Nadhrah dari Abu Sa’id
Al Khudriy radiallahu ta’ala ‘anhu yang berkata “ketika Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat maka khatib khatib di kalangan
anshar berdiri kemudian datanglah salah seorang dari mereka yang berkata
“wahai kaum muhajirin sungguh jika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] menyuruh salah seorang diantara kalian maka Beliau menyertakan
salah seorang dari kami maka kami berpandangan bahwa yang memegang
urusan ini adalah dua orang, salah satunya dari kalian dan salah satunya
dari kami, maka khatib-khatib Anshar itu mengikutinya. Zaid bin Tsabit
berdiri dan berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berasal
dari kaum muhajirin maka Imam adalah dari kaum muhajirin dan kita adalah
penolongnya sebagaimana kita adalah penolong Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam]”. Abu Bakar radiallahu ta’ala anhu berdiri dan berkata
“semoga Allah membalas kebaikan kepada kalian wahai kaum Anshar,
benarlah juru bicara kalian itu” kemudian ia berkata “jika kalian
mengerjakan selain daripada itu maka kami tidak akan sepakat dengan
kalian” kemudian Zaid bin Tsabit memegang tangan Abu Bakar dan berkata
“ini sahabat kalian maka baiatlah ia” kemudian mereka pergi.
Ketika
Abu Bakar berdiri di atas mimbar, ia melihat kepada orang-orang kemudian
ia tidak melihat Ali, ia bertanya tentangnya maka ia menyuruh
orang-orang dari kalangan Anshar memanggilnya, Abu Bakar berkata “wahai
sepupu Rasulullah dan menantunya apakah engkau ingin memecah belah kaum
muslimin?”. Ali berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam]” maka ia membaiatnya. Kemudian Abu Bakar
tidak melihat Zubair, ia menanyakan tentangnya dan memanggilnya kemudian
berkata “wahai anak bibi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan
penolongnya [hawariy] “apakah engkau ingin memecah belah kaum
muslimin?”. Zubair berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah”
maka ia membaiatnya. [Mustadrak Al Hakim juz 3 no 4457].
Hadis riwayat Al Hakim di atas juga
diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 8/143 no 16315 dan Al
I’tiqad Wal Hidayah hal 349-350 dengan jalan sanad yang sama dengan
riwayat Al Hakim di atas.
Hadis semakna juga diriwayatkan oleh Ibnu
Asakir dalam Tarikh Ibnu Asakir 30/276-277, Baihaqi dalam Sunan Al
Kubra 8/143 no 16316 dan Al I’tiqad Wal Hidayah hal 350. Berikut riwayat
Ibnu Asakir.
وأخبرنا أبو القاسم الشحامي أنا أبو بكر البيهقي أنا أبو الحسن علي بن محمد بن علي الحافظ الإسفراييني قال نا أبو علي الحسين بن علي الحافظ نا أبو بكر بن إسحاق بن خزيمة وإبراهيم بن أبي طالب قالا نا بندار بن بشار نا أبو هشام المخزومي نا وهيب نا داود بن أبي هند نا أبو نضرة عن أبي سعيد الخدري قال قبض النبي (صلى الله عليه وسلم) واجتمع الناس في دار سعد بن عبادة وفيهم أبو بكر وعمر قال فقام خطيب الأنصار فقال أتعلمون أن رسول الله (صلى الله عليه وسلم) كان من المهاجرين وخليفته من المهاجرين ونحن كنا أنصار رسول الله (صلى الله عليه وسلم) فنحن أنصار خليفته كما كنا أنصاره قال فقام عمر بن الخطاب فقال صدق قائلكم أما لو قلتم غير هذا لم نتابعكم وأخذ بيد أبي بكر وقال هذا صاحبكم فبايعوه وبايعه عمر وبايعه المهاجرون والأنصار قال فصعد أبو بكر المنبر فنظر في وجوه القوم فلم ير الزبير قال فدعا بالزبير فجاء فقال قلت أين ابن عمة رسول الله (صلى الله عليه وسلم) وحواريه أردت أن تشق عصا المسلمين قال لا تثريب يا خليفة رسول الله (صلى الله عليه وسلم) فقام فبايعه ثم نظر في وجوه القوم فلم ير عليا فدعا بعلي بن أبي طالب فجاء فقال قلت ابن عم رسول الله (صلى الله عليه وسلم) وختنه على ابنته أردت أن تشق عصا المسلمين قال لا تثريب يا خليفة رسول الله (صلى الله عليه وسلم) فبايعه هذا أو معنا
Telah mengabarkan kepada kami Abul
Qaasim Asy Syahaamiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu
Bakar Al Baihaqi yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Hasan
Ali bin Muhammad bin Al Al Hafizh Al Isfirayiniy yang berkata telah
menceritakan kepada kami Abu ‘Ali Husain bin ‘Ali Al Hafizh yang berkata
telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Ishaq bin Khuzaimah dan
Ibrahim bin Abi Thalib, keduanya berkata telah menceritakan kepada kami
Bindaar bin Basyaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu
Hisyaam Al Makhzuumiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Wuhaib
yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud bin Abi Hind yang
berkata telah menceritakan kepada kami Abu Nadhrah dari Abu Sa’id Al
Khudriy yang berkata “Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat dan
orang-orang berkumpul di rumah Sa’ad bin Ubadah dan diantara mereka ada
Abu Bakar dan Umar. Pembicara [khatib] Anshar berdiri dan berkata
“tahukah kalian bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dari
golongan muhajirin dan penggantinya dari Muhajirin juga sedangkan kita
adalah penolong Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka kita
adalah penolong penggantinya sebagaimana kita menolongnya. Umar berkata
“sesungguhnya pembicara kalian benar, seandainya kalian mengatakan
selain itu maka kami tidak akan membaiat kalian” dan Umar memegang
tangan Abu Bakar dan berkata “ini sahabat kalian maka baiatlah ia”. Umar
mulai membaiatnya kemudian diikuti kaum Muhajirin dan Anshar.
Abu
Bakar naik ke atas mimbar dan melihat kearah orang-orang dan ia tidak
melihat Zubair maka ia memanggilnya dan Zubair datang. Abu Bakar berkata
“wahai anak bibi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan
penolongnya [hawariy] “apakah engkau ingin memecah belah kaum
muslimin?”. Zubair berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah”
maka ia membaiatnya. Kemudian Abu Bakar melihat kearah orang-orang dan
ia tidak melihat Ali maka ia memanggilnya dan Ali pun datang. Abu Bakar
berkata “wahai sepupu Rasulullah dan menantunya apakah engkau ingin
memecah belah kaum muslimin?”. Ali berkata “jangan mencelaku wahai
khalifah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]” maka ia membaiatnya.
Inilah riwayatnya atau dengan maknanya [Tarikh Ibnu Asakir 30/276-277].
Salafy berhujjah dengan riwayat Abu Sa’id di atas dan melemparkan riwayat Aisyah dalam kitab shahih. Mereka mengatakan “bisa saja Aisyah tidak menyaksikan baiat tersebut”.
Sayang sekali hujjah mereka keliru, riwayat Aisyah shahih dan tsabit
sedangkan riwayat Abu Sa’id mengandung illat [cacat] yaitu pada sisi
kisah “adanya pembaiatan Ali dan Zubair”.
Perhatikan kedua riwayat di atas yang
kami kutip. Kami membagi riwayat tersebut dalam dua bagian. Bagian
pertama yang menyebutkan pembaiatan Abu Bakar oleh kaum Anshar dan
bagian kedua yang menyebutkan pembaiatan Ali dan Zubair [yang kami cetak
biru]. Bagian pertama kedudukannya shahih sedangkan bagian kedua
mengandung illat [cacat] yaitu inqitha’. Perawinya melakukan kesalahan
dengan menggabungkan kedua bagian tersebut. Buktinya adalah sebagai
berikut:
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عفان ثنا وهيب ثنا داود عن أبي نضرة عن أبي سعيد الخدري قال لما توفى رسول الله صلى الله عليه و سلم قام خطباء الأنصار فجعل منهم من يقول يا معشر المهاجرين ان رسول الله صلى الله عليه و سلم كان إذا استعمل رجلا منكم قرن معه رجلا منا فنرى أن يلي هذا الأمر رجلان أحدهما منكم والآخر منا قال فتتابعت خطباء الأنصار على ذلك قال فقام زيد بن ثابت فقال إن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان من المهاجرين وإنما الإمام يكون من المهاجرين ونحن أنصاره كما كنا أنصار رسول الله صلى الله عليه و سلم فقام أبو بكر فقال جزاكم الله خيرا من حي يا معشر الأنصار وثبت قائلكم ثم قال والله لو فعلتم غير ذلك لما صالحناكم
Telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata
telah menceritakan kepada kami ‘Affan yang berkata telah menceritakan
kepada kami Wuhaib yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud
dari Abi Nadhrah dari Abi Sa’id Al Khudriy yang berkata “ketika
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat maka khatib khatib di
kalangan anshar berdiri kemudian datanglah salah seorang dari mereka
yang berkata “wahai kaum muhajirin sungguh jika Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] menunjuk salah seorang diantara kalian maka Beliau
menyertakan salah seorang dari kami maka kami berpandangan bahwa yang
memegang urusan ini adalah dua orang, salah satunya dari kalian dan
salah satunya dari kami, maka khatib-khatib Anshar itu mengikutinya.
Zaid bin Tsabit berdiri dan berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] berasal dari kaum muhajirin maka Imam adalah dari kaum
muhajirin dan kita adalah penolongnya sebagaimana kita adalah penolong
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Abu Bakar radiallahu ta’ala
anhu berdiri dan berkata “semoga Allah membalas kebaikan kepada kalian
wahai kaum Anshar, benarlah juru bicara kalian itu” kemudian ia berkata “
demi Allah, jika kalian mengerjakan selain daripada itu maka kami tidak
akan sepakat dengan kalian” [Musnad Ahmad 5/185 no 21657, Syaikh Syu’aib berkata “sanadnya shahih sesuai dengan syarat Muslim”].
Hadis riwayat Ahmad ini juga diriwayatkan
dalam Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 5/114 no 4785, Mushannaf Ibnu Abi
Syaibah 14/562 no 38195, Ahadits ‘Affan bin Muslim no 307, Tarikh Ibnu
Asakir 30/278 dengan jalan sanad ‘Affan bin Muslim. ‘Affan bin Muslim
memiliki mutaba’ah yitu Abu Dawud Ath Thayalisi sebagaimana disebutkan
dalam Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi 1/84 no 602. Riwayat Wuhaib bin
Khalid dengan jalan sanad yang tinggi hanya menyebutkan bagian pertama
tanpa menyebutkan bagian kedua. Sedangkan bagian kedua adalah perkataan
Abu Nadhrah.
حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ الْقَوَارِيرِيُّ ، نا عَبْدُ الأَعْلَى بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى ، نا دَاوُدُ بْنُ أَبِي هِنْدٍ ، عَنْ أَبِي نَضْرَةَ ، قَالَ : ” لَمَّا اجْتَمَعَ النَّاسُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ مَا لِي لا أَرَى عَلِيًّا ، قَالَ : فَذَهَبَ رِجَالٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَجَاءُوا بِهِ ، فَقَالَ لَهُ : يَا عَلِيُّ قُلْتَ ابْنُ عَمِّ رَسُولِ اللَّهِ وَخَتَنُ رَسُولِ اللَّهِ ؟ فَقَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : لا تَثْرِيبَ يَا خَلِيفَةَ رَسُولِ اللَّهِ ابْسُطْ يَدَكَ فَبَسَطَ يَدَهُ فَبَايَعَهُ ، ثُمَّ قَالَ أَبُو بَكْرٍ : مَا لِي لا أَرَى الزُّبَيْرَ ؟ قَالَ : فَذَهَبَ رِجَالٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَجَاءُوا بِهِ ، فَقَالَ : يَا زُبَيْرُ قُلْتَ ابْنُ عَمَّةِ رَسُولِ اللَّهِ وَحَوَارِيُّ رَسُولِ اللَّهِ ؟ قَالَ الزُّبَيْرُ : لا تَثْرِيبَ يَا خَلِيفَةَ رَسُولِ اللَّهِ ابْسُطْ يَدَكَ فَبَسَطَ يَدَهُ فَبَايَعَهُ “
Telah menceritakan kepadaku
Ubaidullah bin Umar Al Qawaariiriy yang berkata telah menceritakan
kepada kami ‘Abdul A’laa bin ‘Abdul A’laa yang berkata telah
menceritakan kepada kami Daawud bin Abi Hind dari Abu Nadhrah yang berkata
Ketika orang-orang berkumpul kepada Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu, ia
berkata “Ada apa denganku, aku tidak melihat ‘Aliy ?”. Maka pergilah
beberapa orang dari kalangan Anshaar yang kemudian kembali bersamanya
Lalu Abu Bakr berkata kepadanya “Wahai ‘Ali, engkau katakan engkau anak
paman Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan sekaligus menantu
beliau?”. ‘Ali radliyallaahu ‘anhu berkata : “Jangan mencela wahai
khalifah Rasulullah. Bentangkanlah tanganmu” kemudian ia membentangkan
tangannya dan berbaiat kepadanya. Kemudian Abu Bakr pun berkata “Ada apa
denganku, aku tidak melihat Az-Zubair?”. Maka pergilan beberapa orang
dari kalangan Anshaar yang kemudian kembali bersamanya. Abu Bakr berkata
“Wahai Zubair, engkau katakan engkau anak bibi Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam dan sekaligus hawariy beliau”. Az-Zubair berkata
“Janganlah engkau mencela wahai khalifah Rasulullah. Bentangkanlah
tanganmu”. Kemudian ia membentangkan tangannya dan berbaiat kepadanya” [As Sunnah Abdullah bin Ahmad no 1292].
Dawud bin Abi Hind dalam periwayatannya
dari Abu Nadhrah memiliki mutaba’ah dari Al Jurairiy sebagaimana yang
diriwayatkan Al Baladzuri dalam Ansab Al Asyraf 1/252 dengan jalan sanad
Hudbah bin Khalid dari Hammad bin Salamah dari Al Jurairy dari Abu Nadhrah.
Hammad bin Salamah memiliki mutaba’ah dari Ibnu Ulayyah dari Al Jurairy
dari Abu Nadhrah sebagaimana disebutkan Abdullah bin Ahmad dalam As
Sunnah no 1293.
Riwayat Al Jurairy juga disebutkan oleh Ibnu Asakir dengan jalan sanad dari Ali bin ‘Aashim dari Al Jurairy dari Abu Nadhrah dari Abu Sa’id
[Tarikh Ibnu Asakir 30/278]. Riwayat Ibnu Asakir ini tidak mahzfuzh
karena kelemahan Ali bin ‘Aashim. Yaqub bin Syaibah mengatakan ia banyak melakukan kesalahan. Ibnu Ma’in menyatakan tidak ada apa-apanya dan tidak bisa dijadikan hujjah. Al Fallas berkata “ada kelemahan padanya, ia insya Allah termasuk orang jujur”. Al Ijli menyatakan tsiqat. Al Bukhari berkata “tidak kuat di sisi para ulama”. Daruqutni juga menyatakan ia sering keliru. [At Tahdzib juz 7 no 572]. An Nasa’i menyatakan Ali bin ‘Aashim “dhaif”
[Ad Dhu’afa no 430]. Ali bin ‘Aashim dhaif karena banyak melakukan
kesalahan dan dalam riwayatnya dari Al Jurairiy ia telah menyelisihi
Hammad bin Salamah dan Ibnu Ulayyah keduanya perawi tsiqat. Riwayat yang
mahfuzh adalah riwayat dari Al Jurairy dari Abu Nadhrah tanpa tambahan dari Abu Sa’id.
Dengan jalan sanad yang tinggi yaitu
riwayat Dawud bin Abi Hind dan riwayat Al Jurairiy dari Abu Nadhrah maka
diketahui bahwa bagian kedua yang menyebutkan pembaiatan Ali dan Zubair
bukan perkataan Abu Sa’id Al Khudriy melainkan perkataan Abu Nadhrah.
Riwayat Wuhaib yang disebutkan Al Hakim,
Baihaqi dan Ibnu Asakir dengan sanad yang panjang menggabungkan kedua
bagian tersebut dalam satu riwayat padahal sebenarnya bagian pertama
adalah perkataan Abu Sa’id Al Khudriy sedangkan bagian kedua adalah
perkataan Abu Nadhrah. Riwayat Ja’far bin Muhammad bin Syaakir dari ‘Affan bin Muslim dari Wuhaib dan riwayat Abu Hisyaam dari Wuhaib
memiliki pertentangan yang menunjukkan bahwa riwayat tersebut
diriwayatkan dengan maknanya sehingga memungkinkan terjadinya
pencampuran kedua perkataan Abu Sa’id dan Abu Nadhrah.
- Pada riwayat ‘Affan dari Wuhaib disebutkan kalau yang berkata “sesungguhnya juru bicara kalian benar” adalah Abu Bakar tetapi pada riwayat Abu Hisyaam dari Wuhaib yang mengatakan itu adalah Umar.
- Pada riwayat ‘Affan dari Wuhaib disebutkan kalau yang memegang tangan Abu Bakar dan berkata “ini sahabat kalian” adalah Zaid bin Tsabit tetapi dalam riwayat Abu Hisyaam dari Wuhaib yang memegang tangan Abu Bakar dan mengatakan itu adalah Umar.
Riwayat yang tsabit dalam penyebutan baiat Ali dan Zubair kepada Abu Bakar adalah riwayat perkataan Abu Nadhrah
sedangkan riwayat Wuhaib dengan sanad yang panjang telah terjadi
pencampuran antara perkataan Abu Nadhrah dan Abu Sa’id Al Khudri. Hal
ini dikuatkan oleh riwayat Wuhaib dengan sanad yang tinggi tidak terdapat keterangan penyebutan baiat Ali dan Zubair.
Abu Nadhrah Mundzir bin Malik adalah tabiin yang riwayatnya dari Ali,
Abu Dzar dan para sahabat terdahulu [Abu Bakar, Umar dan Utsman] adalah
mursal [Jami’ Al Tahsil Fii Ahkam Al Marasil no 800] maka riwayat yang
menyebutkan pembaiatan Ali dan Zubair adalah riwayat dhaif.
Apalagi telah disebutkan dalam riwayat shahih dan tsabit dari Aisyah sebelumnya bahwa baiat Imam Ali kepada Abu Bakar terjadi setelah kematian Sayyidah Fathimah [‘alaihis salam] yaitu setelah enam bulan. Dalih salafy yang melahirkan istilah “baiat kedua”
jelas tidak masuk akal karena jika memang riwayat Abu Sa’id benar maka
baiat Imam Ali kepada Abu Bakar itu sudah disaksikan oleh kaum muslimin
lantas mengapa perlu ada lagi baiat kepada Imam Ali setelah enam bulan
dihadapan kaum muslimin. Apalagi setelah enam bulan Abu Bakar malah
dalam khutbahnya menyebutkan kalau Ali belum pernah memberikan baiat dan
alasannya. Kemusykilan ini terjelaskan bahwa riwayat Abu Sa’id itu
dhaif, Abu Sa’id tidak menyebutkan baiat Ali dan Zubair, itu adalah
perkataan Abu Nadhrah yang tercampur dengan riwayat Abu Sa’id.
Jadi jika kita melengkapi riwayat Al
Hakim dan yang lainnya [tentang penyebutan baiat Ali] dengan riwayat
yang mahfuzh maka riwayat tersebut sebenarnya sebagai berikut:
حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ثنا جعفر بن محمد بن شاكر ثنا عفان بن مسلم ثنا وهيب ثنا داود بن أبي هند ثنا أبو نضرة عن أبي سعيد الخدري رضى الله تعالى عنه قال لما توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم قام خطباء الأنصار فجعل الرجل منهم يقول يا معشر المهاجرين إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا استعمل رجلا منكم قرن معه رجلا منا فنرى أن يلي هذا الأمر رجلان أحدهما منكم والآخر منا قال فتتابعت خطباء الأنصار على ذلك فقام زيد بن ثابت فقال إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان من المهاجرين وإن الإمام يكون من المهاجرين ونحن أنصاره كما كنا أنصار رسول الله صلى الله عليه وسلم فقام أبو بكر رضى الله تعالى عنه فقال جزاكم الله خيرا يا معشر الأنصار وثبت قائلكم ثم قال أما لو فعلتم غير ذلك لما صالحناكم ثم أخذ زيد بن ثابت بيد أبي بكر فقال هذا صاحبكم فبايعوه ثم انطلقوا أبو نضرة قال فلما قعد أبو بكر على المنبر نظر في وجوه القوم فلم ير عليا فسأل عنه فقال ناس من الأنصار فأتوا به فقال أبو بكر بن عم رسول الله صلى الله عليه وسلم وختنه أردت أن تشق عصا المسلمين فقال لا تثريب يا خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعه ثم لم ير الزبير بن العوام فسأل عنه حتى جاؤوا به فقال بن عمة رسول الله صلى الله عليه وسلم وحواريه أردت أن تشق عصا المسلمين فقال مثل قوله لا تثريب يا خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعاه
Telah menceritakan kepada kami Abul
‘Abbas Muhammad bin Ya’qub yang berkata telah menceritakan kepada kami
Ja’far bin Muhammad bin Syaakir yang berkata telah menceritakan kepada
kami ‘Affan bin Muslim yang berkata telah menceritakan kepada kami
Wuhaib yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud bin Abi Hind
yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Nadhrah dari Abu Sa’id
Al Khudriy radiallahu ta’ala ‘anhu yang berkata “ketika Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat maka khatib khatib di kalangan
anshar berdiri kemudian datanglah salah seorang dari mereka yang berkata
“wahai kaum muhajirin sungguh jika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] menyuruh salah seorang diantara kalian maka Beliau menyertakan
salah seorang dari kami maka kami berpandangan bahwa yang memegang
urusan ini adalah dua orang, salah satunya dari kalian dan salah satunya
dari kami, maka khatib-khatib Anshar itu mengikutinya. Zaid bin Tsabit
berdiri dan berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berasal
dari kaum muhajirin maka Imam adalah dari kaum muhajirin dan kita adalah
penolongnya sebagaimana kita adalah penolong Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam]”. Abu Bakar radiallahu ta’ala anhu berdiri dan berkata
“semoga Allah membalas kebaikan kepada kalian wahai kaum Anshar,
benarlah juru bicara kalian itu” kemudian ia berkata “jika kalian
mengerjakan selain daripada itu maka kami tidak akan sepakat dengan
kalian” kemudian Zaid bin Tsabit memegang tangan Abu Bakar dan berkata
“ini sahabat kalian maka baiatlah ia” kemudian mereka pergi.
Abu Nadhrah berkata
Ketika Abu Bakar berdiri di atas mimbar, ia melihat kepada orang-orang
kemudian ia tidak melihat Ali, ia bertanya tentangnya maka ia menyuruh
orang-orang dari kalangan Anshar memanggilnya, Abu Bakar berkata “wahai
sepupu Rasulullah dan menantunya apakah engkau ingin memecah belah kaum
muslimin?”. Ali berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam]” maka ia membaiatnya. Kemudian Abu Bakar
tidak melihat Zubair, ia menanyakan tentangnya dan memanggilnya kemudian
berkata “wahai anak bibi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan
penolongnya [hawariy] “apakah engkau ingin memecah belah kaum
muslimin?”. Zubair berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah”
maka ia membaiatnya.
Akhir kata sepertinya Salafy nashibi
harus berusaha lagi mengais-ngais riwayat dhaif untuk melindungi doktrin
mereka. Atau mungkin akan keluar jurus “ngeyelisme” yang
seperti biasa adalah senjata pamungkas orang yang berakal kerdil. Lebih
dan kurang kami mohon maaf [kayak bahasa “kata sambutan”]. (Source)
Hadis Imam Ali Penduduk Madinah Yang Paling Utama : Keutamaan Di Atas Abu Bakar, Umar Dan Utsman
Diriwayatkan dengan sanad yang shahih
bahwa sebagian sahabat menyatakan kalau Imam Ali adalah penduduk Madinah
yang paling utama. Tidak diragukan lagi bahwa Madinah adalah tempat
tinggal mayoritas sahabat besar kaum muhajirin dan anshar termasuk Abu
Bakar, Umar dan Utsman, jadi adanya hadis ini menunjukkan di mata
sebagian sahabat Imam Ali lebih utama dibanding para sahabat lainnya
termasuk Abu Bakar, Umar dan Utsman.
حدثنا محمد بن أحمد بن الجنيد قال نا يحيى بن السكن قال نا شعبة قال نا أبو إسحاق عن عبد الرحمن بن يزيد عن علقمة عن عبد الله قال كنا نتحدث أن أفضل أهل المدينة ابن أبي طالب
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Ahmad bin Junaid yang berkata telah menceritakan kepada
kami Yahya bin As Sakaan yang berkata telah menceritakan kepada kami
Syu’bah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq dari
‘Abdurrahman bin Yazid dari Alqamah dari ‘Abdullah yang berkata “kami
mengatakan bahwa penduduk Madinah yang paling utama adalah Ibnu Abi Thalib” [Musnad Al Bazzar 5/20 no 1437]
Hadis ini sanadnya hasan. Para perawinya adalah perawi tsiqat kecuali Yahya bin As Sakaan dia seorang perawi yang hadisnya hasan.
- Muhammad bin Ahmad bin Junaid adalah perawi yang tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 9 no 15639]. Telah meriwayatkan darinya Ibnu Abi Hatim dan ayahnya dimana Ibnu Abi Hatim menyatakan ia shaduq [Al Jarh Wat Ta’dil 7/183 no 1039]. Telah meriwayatkan darinya Abdullah bin Ahmad [Al Ikmal Al Husaini no 758] dan Abdullah bin Ahmad seperti ayahnya [Ahmad bin Hanbal] hanya meriwayatkan dari orang yang perawinya tsiqat dalam pandangan mereka.
- Yahya bin As Sakan termasuk sahabat Syu’bah. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan menyatakan kalau telah meriwayatkan darinya Ahmad bin Hanbal [Ats Tsiqat juz 9 no 16282]. Ahmad bin Hanbal termasuk ulama yang hanya meriwayatkan dari perawi yang tsiqat menurutnya maka di sisi Ahmad, Yahya bin As Sakan itu tsiqat. Abu Hatim menyatakan “laisa bil qawiy [tidak kuat]” [Al Jarh Wat Ta’dil 9/155 no 643]. Di sisi Abu Hatim pernyataan ini berarti seorang yang hadisnya hasan atau tidak mencapai derajat shahih apalagi Abu Hatim sendiri termasuk yang meriwayatkan dari Yahya bin As Sakaan. Adz Dzahabi berkata “Yahya bin As Sakan mendengar dari Syu’bah, didhaifkan oleh Shalih Jazarah dan diterima oleh yang lainnya” [Al Mughni 2/735 no 6975]. Dalam biografi Yahya bin ‘Abbad Adh Dhuba’iy, Ibnu Main menyatakan kalau Yahya bin ‘Abbad seorang yang shaduq dan Yahya bin As Sakan lebih tsabit darinya [At Tahdzib juz 11 no 383]. Hal ini berarti di sisi Ibnu Ma’in, Yahya bin As Sakan seorang yang shaduq atau tsiqat.
- Syu’bah bin Hajjaj adalah perawi kutubus sittah yang telah disepakati tsiqat. Syu’bah seorang yang tsiqat hafizh mutqin dan Ats Tsawri menyebutnya “amirul mukminin dalam hadis” [At Taqrib 1/418].
- Abu Ishaq adalah Amru bin Abdullah As Sabi’i perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad, Ibnu Ma’in, Nasa’i, Abu Hatim, Al Ijli menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 8 no 100]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat ahli ibadah dan mengalami ikhtilath di akhir umurnya [At Taqrib 1/739]. Tetapi yang meriwayatkan darinya adalah Syu’bah dimana Bukhari dan Muslim telah berhujjah dengan riwayat Syu’bah dari Abu Ishaq begitu pula Bukhari Muslim telah berhujjah dengan riwayat Abu Ishaq dari ‘Abdurrahman bin Yazid An Nakha’i [Tahdzib Al Kamal 22/102 no 4400].
- Abdurrahman bin Yazid An Nakha’iy adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in menyatakan ia tsiqat. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat memiliki banyak hadis”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijli berkata “tabiin kufah yang tsiqat”. Daruquthni menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 6 no 583]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/596].
- Alqamah bin Qais An Nakha’iy adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit faqih dan ahli ibadah [At Taqrib 1/687].
Riwayat Abdullah bin Mas’ud di atas
sanadnya hasan. Yahya bin As Sakan adalah seorang yang hadisnya hasan
dan dalam periwayatannya dari Syu’bah ia memiliki mutaba’ah dari
Muhammad bin Ja’far yaitu riwayat berikut:
حدثنا عبد الله قال حدثني أبي قثنا محمد بن جعفر نا شعبة عن أبي إسحاق عن عبد الرحمن بن يزيد عن علقمة عن عبد الله قال كنا نتحدث ان أفضل أهل المدينة علي بن أبي طالب
Telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata
telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah
menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abu Ishaq dari ‘Abdurrahman bin
Yazid dari ‘Alqamah dari ‘Abdullah yang berkata “kami mengatakan bahwa penduduk Madinah yang paling utama adalah Ali bin Abi Thalib” [Fadha’il Ash Shahabah no 1033].
Hadis ini sanadnya shahih dengan syarat Bukhari dan Muslim. Abdullah bin Ahmad dan ayahnya Ahmad bin Hanbal telah dikenal dan disepakati ketsiqahannya. Muhammad bin Ja’far Al Hudzaliy Abu Abdullah Al Bashriy yang dikenal dengan sebutan Ghundar adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ali bin Madini berkata “ia lebih aku sukai daripada Abdurrahman [Ibnu Mahdi] dalam periwayatan dari Syu’bah”. Abu Hatim berkata dari Muhammad bin Aban Al Balkhiy bahwa Ibnu Mahdi berkata “Ghundar lebih tsabit dariku dalam periwayatan dari Syu’bah”. Abu Hatim, Ibnu Hibban dan Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat. Al Ijli menyatakan ia orang bashrah yang tsiqat dan ia adalah orang yang paling tsabit dalam riwayat dari Syu’bah [At Tahdzib juz 9 no 129]. Sedangkan sisa perawi lainnya adalah perawi shahih sebagaimana telah berlalu penjelasannya.
Maka riwayat Ahmad bin Hanbal disini
kedudukannya shahih sesuai dengan syarat Bukhari Muslim. Muhammad bin
Ja’far atau Ghundar adalah orang yang paling tsabit dalam riwayat dari
Syu’bah dan disini ia memiliki mutaba’ah dari Yahya bin As Sakan seorang
yang hasanul hadits. Kesimpulannya riwayat tersebut shahih tanpa
keraguan.
Penjelasan Hadis.
Hadis tersebut menggunakan lafaz “kami” dimana secara umum dalam ilmu hadis lafaz ini menunjukkan para sahabat atau mayoritas sahabat atau ijma’ sahabat.
Tentu dengan pengertian ini maka dapat dikatakan kalau mayoritas
sahabat atau ijma’ sahabat menganggap Imam Ali adalah penduduk Madinah
yang paling utama. Diketahui pula bahwa Abu Bakar [radiallahu ‘anhu],
Umar [radiallahu ‘anhu] dan Utsman [radiallahu ‘anhu] termasuk penduduk
madinah dan diriwayatkan dalam atsar Ibnu Umar kalau sebagian sahabat
mengutamakan Abu Bakar kemudian Umar kemudian Utsman diatas para sahabat
lainnya.
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمِ بْنِ بَزِيعٍ حَدَّثَنَا شَاذَانُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ الْمَاجِشُونُ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كُنَّا فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَعْدِلُ بِأَبِي بَكْرٍ أَحَدًا ثُمَّ عُمَرَ ثُمَّ عُثْمَانَ ثُمَّ نَتْرُكُ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نُفَاضِلُ بَيْنَهُمْ
Telah menceritakan kepadaku Muhammad
bin Hatim bin Bazii’ yang menceritakan kepada kami Syadzaan yang
menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Abi Salamah Al Majsyuun dari
Ubaidillah dari Nafi’ dari Ibnu Umar radiallahu’anhuma yang berkata
“kami di zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam tidak membandingkan Abu
Bakar dengan seorangpun kemudian Umar kemudian Utsman kemudian kami
membiarkan sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam yang lain dan tidak mengutamakan siapapun diantara mereka” [Shahih Bukhari no 3697].
Maka sudah seharusnya kita memahami kalau
atsar Ibnu Mas’ud bukan sebagai mayoritas sahabat atau ijma’ sahabat
tetapi sebagian sahabat. Jadi makna atsar Ibnu Mas’ud adalah sebagian sahabat menganggap Imam Ali sebagai orang yang paling utama diantara penduduk madinah.
Begitu pula atsar Ibnu Umar di atas dipahami bahwa sebagian sahabat
lain telah mengutamakan Abu Bakar kemudian Umar kemudian Utsman kemudian
setelah Utsman mereka tidak mengutamakan siapapun diantara para sahabat
bahkan mereka juga tidak mengutamakan Imam Ali di atas para sahabat lainnya.
Di zaman Nabi [shallallahu ‘alaihi
wasallam] bahkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri yang
mengutamakan Imam Ali di atas para sahabat lainnya. Siapakah yang
ditunjuk di Khaibar yang dikatakan sebagai “mencintai Allah dan Rasul-Nya dan dicintai Allah dan Rasul-Nya”?, bukan Abu Bakar, bukan Umar dan bukan Utsman tetapi Ali bin Abi Thalib. Siapakah yang dikatakan kedudukannya di sisi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] seperti kedudukan Harun di sisi Musa? Bukan Abu Bakar, bukan Umar dan bukan Utsman tetapi Ali bin Abi Thalib. Siapakah yang dikatakan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] di ghadir khum
dimana Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengutamakannya di atas
semua sahabat lainnya? Bukan Abu Bakar, bukan Umar dan bukan Utsman
tetapi Ali bin Abi Thalib. Siapakah yang Nabi [shallallahu ‘alaihi
wasallam] katakan sebagai Ahlul Bait salah satu Ats Tsaqalain pegangan umat agar tidak tersesat sepeninggal Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam]?
Bukan Abu Bakar, bukan Umar dan bukan Utsman tetapi Ali bin Abi Thalib.
Justru aneh sekali kalau sebagian sahabat itu tidak mengutamakan Imam
Ali di antara sahabat lainnya bahkan setelah Utsman pun mereka menganggap Imam Ali tidak lebih utama dari sahabat yang lain.
Kami disini lebih memilih pandangan sebagian sahabat yang mengutamakan
Imam Ali di atas para sahabat lainnya termasuk di atas Abu Bakar, Umar
dan Utsman karena pendapat ini kami nilai dalilnya lebih kuat
berdasarkan berbagai hadis shahih Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam].
Ada lagi yang aneh terkait hadis Ibnu
Umar di atas, munculnya kelompok yang ngaku-ngaku salafy terus
mengartikan hadis Ibnu Umar berarti terdapat ijma’ sahabat yang mengutamakan Abu Bakar, terus Umar dan terus Utsman.
Baik sadar atau tidak mereka ini sudah inkonsisten atau tanaqudh atau
menentang dirinya sendiri. Kalau memang atsar Ibnu Umar di atas
dipandang ijma’ sahabat maka yang pertama menentang ijma’ itu adalah mereka sendiri, toh kelompok itu mengakui bahwa setelah Utsman, Imam Ali adalah sahabat yang paling utama diantara yang lainnya,
secara bahasa mereka Imam Ali itu utama yang keempat. Nah ini kan
bertentangan dengan atsar Ibnu Umar yang jika diartikan ijma’ sahabat
maka sahabat telah berijma’ kalau setelah Utsman mereka tidak mengutamakan satupun sahabat dari yang lainnya termasuk disini Imam Ali.
Apakah mereka paham soal ini? tidak, inkonsisten ini malah dijadikan
pilar utama dalam keyakinan mereka, bahkan dengan inkonsisten ini mereka
menuduh siapapun yang melanggar dogma inkonsitensi yang mereka anut
sebagai sesat atau menyimpang. Betapa kebodohan menjadi begitu
menyakitkan dan betapa keangkuhan telah menjadi tameng untuk menolak
kebenaran yang akhirnya membuat mereka sangat konsisten dalam inkonsistensi mereka.
Syubhat Para Pengingkar.
Mereka yang suka melemahkan keutamaan
ahlul bait tidak henti-hentinya menghembuskan syubhat. Setiap hadis
keutamaan ahlul bait yang melebihi keutamaan Abu bakar dan Umar selalu
saja ada syubhat yang dicari-cari. Diantara syubhat mereka untuk
melemahkan hadis di atas adalah mereka mengatakan hadis tersebut
lafaznya khata’ atau salah, yang benar adalah hadis berikut:
أخبرنا وهب بن جرير بن حازم وعمرو بن الهيثم أبو قطن قالا أخبرنا شعبة عن أبي إسحاق عن عبد الرحمن بن يزيد عن علقمة عن عبد الله قال كنا نتحدث أن من أقضى أهل المدينة بن أبي طالب
Telah mengabarkan kepada kami Wahab
bin Jarir bin Hazm dan ‘Amru bin Al Haitsam Abu Quthn yang keduanya
berkata telah mengabarkan kepada kami Syu’bah dari Abu Ishaq dari
‘Abdurrahman bin Yazid dari Alqamah dari Abdullah yang berkata “kami
mengatakan bahwa penduduk Madinah yang paling mengetahui dalam masalah
hukum adalah Ibnu Abi Thalib” [Thabaqat Ibnu Sa’ad 2/81]
Hadis ini memang sanadnya shahih.
Baik hadis ini dan hadis di atas keduanya shahih, keduanya diterima dan
tidak ada pertentangan sedikitpun. Telah dibuktikan sebelumnya bahwa
hadis dengan lafaz “penduduk madinah yang paling utama” adalah
hadis yang shahih dan tsabit. Tidak ada dasar sedikitpun menyatakan
lafaz hadis tersebut salah, mereka yang mengatakan ini memang sengaja
mencari-cari syubhat untuk melemahkan hadis keutamaan Imam Ali. Sekali
lagi hadis dengan lafaz “penduduk Madinah yang paling utama”
telah diriwayatkan oleh Ghundar dan Yahya bin As Sakan dari Syu’bah dan
Ghundar adalah orang yang paling tsabit riwayatnya dari Syu’bah. Jadi
tidak ada dasarnya menyatakan lafaz hadis tersebut salah. Pendapat yang
benar kedua hadis tersebut benar, Imam Ali adalah penduduk Madinah yang paling utama dan Imam Ali adalah penduduk Madinah yang paling mengetahui atau paling ahli dalam masalah hukum.
Syubhat lain yang dihembuskan adalah
mereka menyimpangkan makna hadis tersebut yaitu bahwa Imam Ali adalah
penduduk Madinah yang paling utama setelah Abu Bakar, Umar dan Utsman.
Jadi dengan ini mereka tetap bisa menyatakan kalau hadis ini tidak
menunjukkan keutamaan Imam Ali di atas Abu Bakar, Umar dan Utsman.
Inipun sebenarnya hanya syubhat yang dicari-cari, prinsipnya kita
berpegang pada zahir lafaz. Lafaz hadis ini umum, bukankah Abu Bakar,
Umar dan Utsman adalah penduduk Madinah maka jika ada sebagian sahabat
mengatakan Imam Ali penduduk Madinah yang paling utama maka itu berarti
menurut mereka Imam Ali lebih utama dari Abu Bakar, Umar dan Utsman.
Kesimpulan:
Sebagian sahabat memang diketahui
mengutamakan Imam Ali diatas para sahabat lainnya termasuk Abu Bakar,
Umar dan Utsman dan sebagian sahabat lainnya mengutamakan Abu Bakar,
Umar dan Utsman di atas para sahabat lainnya dan setelah itu mereka
tidak menganggap Imam Ali lebih utama dari sahabat yang lain. Perbedaan
pandangan di sisi para sahabat adalah hal yang wajar, justru yang tidak
benar adalah doktrin yang dianut sebagian orang kalau ijma’ sahabat menganggap Abu Bakar, Umar dan Utsman lebih utama dari Imam Ali. Jika dikatakan sebagian sahabat maka itulah yang benar tetapi jika dikatakan ijma’ sahabat maka itu jelas keliru. Terdapat riwayat shahih dimana sebagian sahabat mengutamakan Imam Ali seperti yang telah ditunjukkan di atas. (Source)
Hadis Imam Ali Sahabat Yang Paling Berilmu : Keutamaan Di Atas Abu Bakar dan Umar.
Tulisan kali ini hanya menguatkan pembahasan kami sebelumnya kalau Imam
Ali adalah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling
berilmu dibanding para sahabat lainnya termasuk Abu Bakar dan Umar. Diriwayatkan kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada Sayyidah Fathimah Alaihis salam.
قال أو ما ترضين أني زوجتك أقدم أمتي سلما وأكثرهم علما وأعظمهم حلما
[Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wassalam] bersabda “tidakkah engkau ridha kunikahkan dengan umatku yang
paling dahulu masuk islam, paling banyak ilmunya dan paling besar
kelembutannya”.
Hadis Hasan Lighairihi. Hadis ini diriwayatkan dalam Al
Mushannaf Ibnu Abi Syaibah no 31514 dan Al Ahad Al Mutsanna Ibnu Abi
Ashim 1/142 no 169 dengan jalan dari Fadhl bin Dukain dari Syarik dari Abu Ishaq. Fadhl bin Dukain memiliki mutaba’ah dari Waki‘ bin Jarrah dari Syarik dari Abu Ishaq sebagaimana diriwayatkan dalam Mushannaf Abdurrazaq 5/490 no 9783 dan Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 1/94 no 156.
- Fadhl bin Dukain adalah seorang yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/11] dan Waki’ bin Jarrah seorang yang tsiqat hafizh dan ‘abid [At Taqrib 2/283-284].
- Syarik bin Abdullah An Nakha’i perawi Bukhari dalam Ta’liq Shahih Bukhari, Muslim dan Ashabus Sunan. Ibnu Ma’in, Al Ijli, Ibrahim Al Harbi menyatakan ia tsiqat. Nasa’i menyatakan “tidak ada masalah padanya”. Ahmad berkata “Syarik lebih tsabit dari Zuhair, Israil dan Zakaria dalam riwayat dari Abu Ishaq”. Ibnu Ma’in lebih menyukai riwayat Syarik dari Abu Ishaq daripada Israil. [At Tahdzib juz 4 no 587].
- Abu Ishaq adalah Amru bin Abdullah As Sabi’i perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad, Ibnu Ma’in, Nasa’i, Abu Hatim, Al Ijli menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 8 no 100].
Para perawi hadis ini tsiqat hanya saja Syarik seorang yang tsiqat tetapi terdapat pembicaraan pada hafalannya dan riwayat Abu Ishaq tersebut mursal.
Kemudian hadis ini juga disebutkan dalam Tarikh Ibnu Asakir 42/132 dan
Mudhih Awham Al Jami’ wat Tafriq Al Khatib 2/148 dengan jalan sanad dari
Abu Ishaq dari Anas. Berikut sanad hadis riwayat Al Khatib.
أخبرنا الحسن بن أبي بكر أخبرنا أبو سهل أحمد بن محمد بن عبد الله بن زياد القطان حدثنا عبد الله بن روح حدثنا سلام بن سليمان أبو العباس المدائني حدثنا عمر بن المثنى عن أبي إسحاق عن أنس رضي الله عنه
Telah mengabarkan kepada kami Al
Hasan bin Abi Bakar yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Sahl
Ahmad bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Ziyaad Al Qaththan yang berkata
telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Rauh yang berkata telah
menceritakan kepada kami Sallaam bin Sulaiman Abu ‘Abbas Al Mada’iniy
yang berkata telah menceritakan kepada kami Umar bin Al Mutsanna dari
Abu Ishaq dari Anas radiallahu ‘anhu [Mudhih Awham Al Jami’ Wat Tafriq Al Khatib 2/148].
Hadis ini mengandung kelemahan karena di dalam sanadnya terdapat Sallam bin Sulaiman Al Mada’iniy dan Umar bin Al Mutsanna.
Salam bin Sulaiman Al Mada’iniy terdapat pembicaraan tentang
kedudukannya tetapi jika dianalisis dengan baik pendapat yang
menta’dilkannya lebih kuat daripada yang menjarh-nya. Berikut keterangan
para perawi sanad di atas.
- Hasan bin Abi Bakar adalah Hasan bin Ahmad bin Ibrahim bin Hasan bin Muhammad bin Syadzaan Abu Ali bin Abu Bakar Al Baghdadi. Adz Dzahabi menyebutnya Imam, memiliki keutamaan dan shaduq [As Siyar 17/415 no 273]. Al Khatib berkata “kami menulis darinya dan ia shaduq” [Tarikh Baghdad 7/279].
- Abu Sahl Ahmad bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Ziyaad Al Qaththan seorang yang tsiqat. Adz Dzahabi menyebutnya Imam Muhaddis tsiqat [As Siyar 15/521 no 299].
- ‘Abdullah bin Rauh Al Mada’iny seorang yang tsiqat. Al Khatib menyebutkan biografinya dalam Tarikh Baghdad bahwa ia seorang yang tsiqat shaduq [Tarikh Baghdad 9/461]. Daruquthni terkadang menyatakan tsiqat dan terkadang menyatakan “tidak ada masalah padanya” [Mausu’ah Qaul Daruquthni no 1840].
- Sallam bin Sulaiman Al Mada’iniy seorang yang diperbincangkan. Abu Hatim yang meriwayatkan darinya berkata “tidak kuat”. Nasa’i dalam Al Kuna menyebutkan telah mengabarkan kepada kami ‘Abbas bin Walid yang berkata telah menceritakan kepada kami Sallaam bin Sulaiman Abul Abbas seorang penduduk madinah yang tsiqat. [At Tahdzib juz 4 no 498]. Al Uqaili memasukkannya ke dalam Adh Dhu’afa dan berkata “di dalam hadisnya dari perawi tsiqat terdapat hal-hal yang mungkar” [Adh Dhu’afa Al Uqaili 2/161 no 668]. Ibnu Ady berkata “mungkar al hadits” [Al Kamil Ibnu Ady 3/309].
- Umar bin Al Mutsanna, telah meriwayatkan darinya Sallam bin Sulaiman, Umar bin Ubaid Ath Thanafisiy, A’la bin Hilal Al Bahiliy dan Baqiyah bin Walid. Abu Arubah menyebutkannya dalam Thabaqat ketiga dari tabiin ahlul jazirah [At Tahdzib juz 7 no 820]. Ibnu Hajar berkata “mastur” [At Taqrib 1/725]. Al Uqailiy memasukkannya ke dalam Adh Dhu’afa dan berkata “Umar bin Al Mutsanna meriwayatkan dari Qatadah dan telah meriwayatkan darinya Baqiyah, hadisnya tidak mahfuzh” kemudian Al Uqailiy membawakan hadis yang dimaksud yaitu riwayat Umar bin Al Mutsanna dari Qatadah dari Anas [Adh Dhu’afa Al Uqailiy 3/190 no 1185]. Pernyataan Al Uqailiy patut diberikan catatan, hadis yang disebutkannya sebagai tidak mahfuzh bukan bukti kelemahan Umar bin Al Mutsanna karena dalam sanad hadis tersebut Qatadah meriwayatkan secara ‘an ‘anah dari Anas dan ma’ruf diketahui kalau Qatadah perawi mudallis martabat ketiga yang berarti sering melakukan tadlis dari perawi dhaif sehingga riwayatnya dengan ‘an ‘anah dinilai dhaif. Jadi sangat mungkin kalau hadis ini tidak mahfuzh karena tadlis Qatadah.
Daruquthni menyebutkan juga hadis ini dan
mengatakan Umar bin Al Mutsanna meriwayatkan dari Abu Ishaq dari Bara’
dari Fathimah. Kemudian ia berkata “tidak dikenal kecuali dari hadis
ini” [Mausu’ah Qaul Daruquthni no 2565].
Pernyataan Daruquthni keliru karena riwayat yang benar disini adalah riwayat Umar bin Al Mutsanna dari Abu Ishaq dari Anas sebagaimana
yang disebutkan di atas. Disini Daruquthni tidak menyebutkan sanadnya
secara lengkap kemudian Daruquthni juga keliru karena Umar bin Al
Mutsanna tidak hanya dikenal melalui hadis ini. Umar bin Al Mutsanna
juga memiliki hadis lain salah satunya dalam kitab Sunan Ibnu Majah
riwayat Umar bin Ubaid Ath Thanafisiy dari Umar bin Al Mutsanna dari
Atha Al Khurasaniy dari Anas bin Malik [Sunan Ibnu Majah 1/182 no 548].
Pembahasan Kedudukan Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iniy
Yang memberikan predikat ta’dil pada
Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iny adalah ‘Abbas bin Walid Al Baryuthi
seorang yang tsiqat [Al Jarh Wat Ta’dil 6/214 no 1178] dan ‘Abbas bin
Walid ini adalah salah satu murid dari Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iny.
Ia menyebutkan kalau gurunya Sallaam bin Sulaiman seorang yang tsiqat.
Kemudian jarh Abu Hatim “laisa bil qawiy”
tidaklah menjatuhkan kedudukannya karena jarh seperti ini bisa berarti
seseorang yang hadisnya hasan apalagi Abu Hatim terkenal tasyadud
[ketat] dalam menilai perawi. Dalam hal ini Sallaam telah tetap
penta’dilannya kalau ia seorang yang tsiqat maka jarh Abu Hatim disini
diartikan hadisnya hasan [tidak mencapai derajat shahih] apalagi hal ini
dikuatkan oleh kenyataan kalau Abu Hatim sendiri mengambil hadis dari
Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iny. Jika ia seorang yang dhaif di sisi Abu
Hatim maka sudah pasti Abu Hatim tidak akan mengambil riwayat darinya.
Al Uqailiy menyebutkan Sallam meriwayatkan hadis mungkar dari perawi tsiqat kemudian ia membawakan hadis yang dimaksud yaitu hadis Sallam bin Sulaiman dari Syu’bah dari Zaid dari Abu Shadiq dari Abu Sa’id Al Khudri
kemudian Al Uqaili berkata “hadis ini tidak ada asalnya dari Syu’bah
dan juga tidak dari hadis perawi tsiqat” [Adh Dhu’afa Al Uqaili 2/161 no
668]. Hadis yang disebutkan Al Uqaili berasal dari Muhammad bin Zaidan Al Kufiy yang
meriwayatkan dari Sallam bin Sulaiman Al Mada’iniy. Muhammad bin Zaidan
Al Kufi adalah seorang yang majhul hal. Biografinya disebutkan dalam
Tarikh Al Islam oleh Adz Dzahabi tanpa menyebutkan jarh dan ta’dil
[Tarikh Al Islam 21/260]. Tentu saja jika dikatakan hadis tersebut tidak
ada asalnya dari Syu’bah maka cacat atau kelemahan hadis tersebut lebih
tepat ditujukan kepada Muhammad bin Zaidan Al Kufiy karena Sallaam bin
Sulaiman Al Mad’iny telah mendapatkan predikat ta’dil.
Mengenai jarh Ibnu Ady “mungkar al hadis” maka
banyak sekali catatan yang patut diberikan. Ibnu Ady menyatakan Sallaam
bin Sulaiman sebagai mungkar al hadits dengan melihat berbagai hadis
yang diriwayatkan oleh Sallaam. Hadis-hadis itulah yang menjadi dasar
Ibnu Ady untuk menjarh Sallaam bin Sulaiman.
Ibnu Ady dalam hal ini keliru,
Kekeliruan-nya yang pertama adalah ia menyebutkan kalau kuniyah Sallaam
bin Sulaiman Al Mada’iny adalah Abul Mundzir. Hal ini tidak benar karena kuniyah Sallaam bin Sulaiman adalah Abul ‘Abbas. Kekeliruan-nya yang kedua adalah terkadang dalam riwayat yang ia sebutkan terdapat perkataan “Sallaam bin Sulaiman Abu Mundzir Al Qariy”. Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iny tidak dikenal dengan sebutan Al Qariy.
Kekeliruan-nya yang ketiga adalah
kebanyakan hadis-hadis yang ia sebutkan banyak yang tidak tepat
ditujukan sebagai cacat Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iny. Hal ini
disebabkan dua alasan yaitu:
- Bisa jadi perawi yang meriwayatkan dari Sallaam adalah perawi dhaif sehingga ialah yang tertuduh atau
- Sallaam meriwayatkan dari perawi dhaif sehingga perawi itulah yang tertuduh dalam hadis tersebut.
Misalnya ada diantara hadis yang disebutkan Ibnu Ady adalah riwayat Dhahhak bin Hajwah Al Manbajiy
dari Sallaam bin Sulaiman. Dhahak bin Hajwah ini dikatakan oleh
Daruquthni adalah seorang pemalsu hadis [Mausu’ah Qaul Daruquthni no
1692] kemudian riwayat Muhammad bin Isa bin Hayan Al Mad’iniy dari
Sallaam bin Sulaiman. Muhammad bin Isa bin Hayyan Al Mada’iny dikatakan
Daruquthni adalah seorang yang “matruk al hadits” [Su’alat Al Hakim no
171]. Riwayat-riwayat perawi tersebut tidak bisa dijadikan bukti
cacatnya Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iny.
Ibnu Ady juga membawakan riwayat Sallaam bin Sulaiman dari Katsir bin Sulaim.
Katsir bin Sulaim adalah seorang yang dhaif. Ibnu Ma’in menyatakan
dhaif. Yahya berkata “tidak ditulis hadisnya”. Nasa’i menyatakan matruk
[At Tahdzib juz 8 no 747]. Kemudian terdapat riwayat Sallam bin Sulaiman
dari Maslamah bin Ash Shalt. Abu
Hatim berkata tentangnya “matruk al hadits” [Al Jarh Wat Ta’dil 8/269 no
1228]. Ibnu Ady juga menyebutkan riwayat Sallaam bin Sulaiman dari Muhammad bin Fadhl bin Athiyah.
Muhammad bin Fadhl bin Athiyyah dikatakan Ibnu Ma’in “dhaif” atau
“tidak ada apa-apanya dan tidak ditulis hadisnya” atau “pendusta tidak
tsiqat”. Abu Zur’ah dan Ibnu Madini mendhaifkannya. Abu Hatim berkata
“matruk al hadits pendusta”. Muslim, Nasa’i, Daruquthni dan Ibnu Khirasy
berkata “matruk”. Shalih bin Muhammad berkata “pemalsu hadis”. Ibnu
Hibban berkata ia meriwayatkan hadis-hadis palsu dari perawi tsabit dan
tidak halal meriwayatkan darinya. [At Tahdzib juz 9 no 658]. Yang
terakhir Ibnu Ady membawakan riwayat Sallaam dari Nahsyal bin Sa’id
dari Dhahhak dari Ibnu Abbas. Nahsyal bin Sa’id dikatakan Ibnu Ma’in
“tidak tsiqat”, Abu Dawud Ath Thayalisi dan Ishaq bin Rahawaih
menyatakan “pendusta”. Abu Zur’ah dan Daruquthni berkata “dhaif”. Nasa’i
dan Abu Hatim menyatakan matruk. Abu Sa’id An Nuqaasy berkata “ia
meriwayatkan dari Adh Dhahhak hadis-hadis palsu” [At Tahdzib juz 10 no
866]. Riwayat-riwayat ini juga tidak bisa dijadikan bukti untuk menjarh
Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iniy.
Hadis di atas memiliki syahid yaitu
diriwayatkan dalam Musnad Ahmad 5/26 no 20322 dan Mu’jam Al Kabir Ath
Thabrani 2/229 no 16323 dengan jalan sanad dari Abu Ahmad Az Zubairi
dari Khalid bin Thahman dari Nafi’ bin Abi Nafi’ dari Ma’qil bin Yasar
secara marfu’.
- Abu Ahmad Az Zubairi adalah Muhammad bin ‘Abdullah bin Zubair Al Asdi perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Al Ijli dan Ibnu Qani’ menyatakan tsiqat. Abu Zur’ah, Ibnu Khirasy, Ibnu Numair dan Ibnu Sa’ad berkata “shaduq” [At Tahdzib juz 9 no 422]. Ibnu Hajar mengatakan tsiqat tsabit [At Taqrib 2/95].
- Khalid bin Thahman adalah perawi yang shaduq. Abu Hatim mengatakan ia syiah dan tempat kejujuran. Abu Ubaid berkata “Abu Dawud tidak menyebutnya kecuali yang baik”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan berkata “terkadang salah atau keliru”. Ibnu Ma’in berkata “dhaif” tetapi Ibnu Ma’in menjelaskan kalau ia dhaif karena ikhtilath sedangkan sebelum ia mengalami ikhtilath maka ia tsiqat. Ibnu Jarud berkata “dhaif” [At Tahdzib juz 3 no 184]. Ibnu Hajar berkata “shaduq tasyayyu’ dan mengalami ikhtilath” [At Taqrib 1/259]. Adz Dzahabi berkata “seorang syiah yang shaduq didhaifkan oleh Ibnu Ma’in” [Al Kasyf no 1330]. Pendapat yang rajih disini Khalid bin Thahman seorang yang shaduq sedangkan pembicaraan kepadanya disebabkan ia mengalami ikhtilath sebelum wafatnya.
- Nafi’ bin Abu Nafi’ adalah tabiin yang tsiqat. Ia meriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar dan Abu Hurairah dan telah meriwayatkan darinya Khalid bin Thahman dan Ibnu Abi Dzi’b. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat [Tahdzib Al Kamal no 2370]. Adz Dzahabi berkata “Nafi’ bin Abi Nafi’ Al Bazzaz meriwayatkan dari Abu Hurairah dan Ma’qil bin Yasar, telah meriwayatkan darinya Khalid bin Thahman dan Ibnu Abi Dzi’b, ia seorang yang tsiqat [Al Kasyf no 5788].
Terdapat sedikit pembicaraan tentang Nafi’ bin Abu Nafi’. Ibnu Hajar dalam At Tahdzib menyebutkan kalau Nafi’ yang meriwayatkan dari Abu Hurairah berbeda dengan yang meriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar.
Ibnu Hajar menyatakan kalau yang meriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar
adalah Abu Daud Nufai’ dan dia dhaif. [At Tahdzib juz 10 no 740].
Pernyataan ini patut diberikan catatan, yang disebut sebagai Abu Daud Nufai’ adalah Nufai’ bin Al Harits Al Hamdani Ad Darimi dia seorang yang matruk, pendusta dan dhaif. Biografinya disebutkan Ibnu Hajar dalam At Tahdzib [At Tahdzib juz 10 no 849]. Nufai’ bin Al Harits tidak dikenal dengan sebutan Ibnu Abi’ Nafi’ sedangkan
zahir sanad tersebut adalah Nafi’ bin Abi Nafi’. Jadi menyatakan kalau
Nafi’ bin Abi Nafi’ yang meriwayatkan dari Ma’qil adalah Nufai’ bin Al
Harits Abu Dawud jelas membutuhkan bukti kuat. Apalagi telah disebutkan
kalau Al Mizziy dan Adz Dzahabi menyebutkan dengan jelas kalau Nafi’ bin
Abi Nafi’ baik yang meriwayatkan dari Abu Hurairah dan Ma’qil bin Yasar
adalah orang yang sama.
Selain itu Ibnu Hajar sendiri terbukti
tanaqudh soal Nafi’ bin Abi Nafi’. Adz Dzahabi dalam biografi Khalid bin
Thahman menyebutkan hadis riwayat Tirmidzi yaitu riwayat Khalid bin Thahman dari Nafi bin Abu Nafi’ dari Ma’qil bin Yasar.
Kemudian Adz Dzahabi berkomentar “tidak dihasankan oleh Tirmidzi, hadis
sangat gharib dan Nafi’ tsiqat”. [Al Mizan juz 1 no 2433].
Ibnu Hajar berkomentar tentang hadis ini
dalam Nata’ij Al Afkar “para perawinya tsiqat kecuali Al Khaffaf dia
didhaifkan oleh Ibnu Ma’in dan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat berkata
“terkadang salah dan keliru” [Nata’ij Al Afkar Ibnu Hajar 2/383]. Disini
Ibnu Hajar menyatakan para perawinya tsiqat kecuali Al Khaffaaf yaitu
Khalid bin Thahman padahal Khalid meriwayatkan dari Nafi’ bin Abi Nafi’
dari Ma’qil bin Yasar. Kalau memang dikatakan Nafi’ yang meriwayatkan
dari Ma’qil bin Yasar adalah Abu Daud Nufai’ seorang yang matruk, tidak
mungkin Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat.
Kesimpulan Kedudukan Hadis.
Secara keseluruhan hadis-hadis ini sanadnya saling menguatkan dan kedudukannya adalah hasan lighairihi.
Riwayat Abu Ishaq yang mursal dikuatkan oleh riwayat Abu Ishaq oleh
Umar bin Al Mutsanna seorang yang mastur dan riwayat ini memiliki syahid
dari hadis Ma’qil bin Yasar dimana para perawinya tsiqat atau shaduq
hanya saja Khalid dikatakan ikhtilath. Al Haitsami berkata tentang hadis
ini “riwayat
Ahmad dan Thabrani di dalam sanadnya ada Khalid bin Thahman yang
ditsiqatkan Abu Hatim dan yang lainnya, sisa perawi lainnya adalah
tsiqat” [Majma’ Az Zawaid 9/123 no 14595].
Penjelasan Singkat Hadis.
Hadis ini menjadi bukti keutamaan Imam Ali di atas para sahabat lainnya termasuk Abu Bakar ra dan Umar ra.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan kalau Imam Ali
adalah orang yang paling terdahulu atau pertama keislamannya sebagaimana
yang telah disebutkan dalam berbagai riwayat shahih kalau Imam Ali
adalah orang pertama yang masuk Islam.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا وكيع ثنا شعبة عن عمرو بن مرة عن أبي حمزة مولى الأنصار عن زيد بن أرقم قال أول من أسلم مع رسول الله صلى الله عليه و سلم علي رضي الله تعالى عنه
Telah menceritakan kepada kami
Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata
telah menceritakan kepada kami Waki’ yang berkata telah menceritakan
kepada kami Syu’bah dari Amru bin Murrah dari Abu Hamzah Mawla Al
Anshari dari Zaid bin Arqam yang berkata “Orang yang pertama kali masuk Islam dengan Rasulullah SAW adalah Ali radiallahu ta’aala ‘anhu” [Musnad Ahmad 4/368 sanadnya shahih].
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
mengatakan kalau Imam Ali adalah orang yang paling banyak ilmu diantara
umatnya, dan banyak sekali riwayat yang menunjukkan betapa tingginya ilmu imam Ali. Apalagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menetapkan Ahlul Bait Beliau [termasuk Imam Ali] sebagai pedoman atau pegangan bagi umat islam agar tidak tersesat, bukankah ini bukti nyata ketinggian ilmu Imam Ali.
Hadis ini juga menjadi bukti keutamaan di
atas Abu Bakar dan Umar karena sebagaimana yang tertera dalam hadis
shahih dan sirah bahwa keduanya telah melamar Sayyidah Fathimah Alaihis
salam dan Rasulullah shallallahu’ alaihi wasallam menolak lamaran mereka
berdua kemudian ketika Imam Ali melamar Sayyidah Fathimah Alaihis salam
Rasulullah shallallahu’ alaihi wasallam menerimanya. Jadi pernyataan “paling berilmu” yang tertuju pada Imam Ali menunjukkan keutamaannya yang melebihi Abu Bakar dan Umar. (Source)
Studi Kritis Hadis Yang Dijadikan Hujjah Salafy Dalam Mengutamakan Abu Bakar Dan Umar Di Atas Ali
Kebiasaan buruk salafy dan salafy nashibi adalah mereka merasa-rasa sebagai orang yang paling berpegang kepada Al Qur’an dan Sunnah dan merasa-rasa paling berpegang kepada salafus salih. Ditambah lagi dengan tingkah mereka yang sering mensesatkan mahzab lain dan mengumbar tuduhan kepada siapapun yang bertentangan dengan mereka
maka tidaklah aneh jika keberadaan salafy menjadi kontroversial di
kalangan umat islam. Salah satu mahzab dalam islam yang paling dibenci
oleh salafy adalah Syiah. Begitu besarnya kebencian salafy
terhadap Syiah sampai-sampai orang yang bukan Syiah-pun mereka tuduh
sebagai Syiah hanya karena orang tersebut bertasyayyu’ atau lebih
mengutamakan Ahlul Bait dibanding semua sahabat yang lain. Padahal
tasyayyu’ di dalam islam memiliki landasan yang shahih [tentu bagi orang
yang mengetahuinya].
Salafy sok berasa-rasa sebagai pemilik
hadis-hadis sunni. Kalau salafy bisa menegakkan keyakinan mahzabnya
dengan hadis-hadis sunni maka mengapa pula orang islam lain
tidak bisa menegakkan keyakinannya dengan hadis-hadis sunni. Sejak kapan
hadis-hadis sunni menjadi hak milik salafy. Salafy suka menuduh kalau
orang islam selain mahzabnya tidak konsisten kalau berhujjah dengan
hadis-hadis sunni padahal kenyataannya salafy sendiri sangat jauh dari
konsisten. Diantara mereka ada yang tersinggung kalau dikatakan “nashibi” tetapi anehnya mulut mereka sendiri dengan lancangnya menyatakan “syiah” atau “rafidhah” atau “sesat” kepada orang lain. Memang mereka yang suka merendahkan orang lain sering lupa untuk berkaca pada dirinya sendiri.
Kami akan menunjukkan kepada para
pembaca, contoh inkonsistensi salafy dalam berhujjah dengan hadis-hadis
sunni. Kami akan membahas hadis-hadis yang dijadikan dalil keyakinan salafy untuk mengutamakan Abu Bakar dan Umar di atas Imam Ali. Diantara mereka ada yang mengatakan kalau mengutamakan Abu Bakar dan Umar di atas Ali adalah ijma’ para sahabat dan kaum muslimin.
Perkataan ini tidaklah benar, para sahabat sendiri berselisih mengenai
siapa yang paling utama, diantara sahabat Nabi ada yang mengutamakan
Imam Ali diantara semua sahabat lainnya [termasuk Abu Bakar dan Umar]
seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr
وروى عن سلمان وأبى ذر والمقداد وخباب وجابر وأبى سعيد الخدرى وزيد بن الأرقم أن على بن ابى طالب رضى الله عنه أول من أسلم وفضله هؤلاء على غيره
Diriwayatkan dari Salman, Abu
Dzar, Miqdad, Khabbab, Jabir, Abu Said Al Khudri dan Zaid bin Al Arqam
bahwa Ali bin Abi Thalib RA adalah orang yang pertama masuk islam dan
mereka mengutamakan Ali dibanding sahabat yang lain [Al Isti’ab Ibnu Abdil Barr 3/1090].
Ibnu Abdil Barr ketika menuliskan biografi salah seorang sahabat Nabi yaitu Amru bin Watsilah dengan kuniyah Abu Thufail, ia mengatakan kalau Abu Thufail seorang yang bertasyayyu’ mengutamakan Imam Ali di atas syaikhan yaitu Abu Bakar dan Umar [Al Isti’ab Ibnu Abdil Barr 4/1697].
Ibnu Abdil Barr ketika menuliskan biografi salah seorang sahabat Nabi yaitu Amru bin Watsilah dengan kuniyah Abu Thufail, ia mengatakan kalau Abu Thufail seorang yang bertasyayyu’ mengutamakan Imam Ali di atas syaikhan yaitu Abu Bakar dan Umar [Al Isti’ab Ibnu Abdil Barr 4/1697].
Perselisihan soal tafdhil ini tidak hanya
terjadi di kalangan para sahabat tetapi juga di kalangan kaum muslimin
sebagaimana yang dikatakan Ibnu Hazm.
اختلف المسلمون فيمن هو أفضل بعد الأنبياء عليهم السلام , فذهب بعض أهل السنة , وبعض المعتزله , وبعض المرجئة , وجميع الشيعة , إلى أن أفضل الأمة بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم علي بن أبي طالب رضي الله عنه , وقد روينا هذا القول نصاً عن بعض الصحابة رضي الله عنهم , وعن جماعة من التابعين والفقهاء , و ذهب بعض أهل السنة ,وبعض المعتزله , وبعض المرجئة , إلى أن أفضل الصحابة بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم ,أبوبكر ,ثم عمر .
Kaum muslimin berselisih mengenai
siapa yang paling utama setelah para Nabi [alaihis salam]. Sebagian
ahlu sunnah, sebagian mu’tazilah, sebagian murji’ah dan seluruh syiah
menyatakan bahwa di kalangan umat yang paling utama setelah Rasulullah
SAW adalah Ali bin Abi Thalib RA. Dan diriwayatkan dari sebagian
sahabat, jama’ah tabiin dan fuqaha, sebagian ahlus sunnah, sebagian
mu’tazilah dan sebagian murjiah yang menyatakan sahabat yang paling
utama setelah Rasulullah SAW adalah Abu Bakar kemudian Umar [Al Fishal Ibnu Hazm 4/181].
Jadi perkara mengutamakan Imam Ali di atas Abu Bakar dan Umar bukanlah monopoli kaum syiah, bahkan hal tersebut telah muncul di kalangan para sahabat Nabi sebagai salafus shalih yaitu Jabir RA, Abu Sa’id RA, Zaid bin Arqam RA, Salman RA, Miqdad RA dan Abu Thufail RA.
Jadi perkara mengutamakan Imam Ali di atas Abu Bakar dan Umar bukanlah monopoli kaum syiah, bahkan hal tersebut telah muncul di kalangan para sahabat Nabi sebagai salafus shalih yaitu Jabir RA, Abu Sa’id RA, Zaid bin Arqam RA, Salman RA, Miqdad RA dan Abu Thufail RA.
Hampir semua pengikut salafy ketika
membahas keutamaan Abu Bakar dan Umar di atas Imam Ali, mereka
membawakan atsar Ibnu Umar yang diriwayatkan dalam kitab shahih
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كُنَّا نُخَيِّرُ بَيْنَ النَّاسِ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنُخَيِّرُ أَبَا بَكْرٍ ثُمَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ ثُمَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
Telah menceritakan kepada kami
Abdul Aziz bin Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami
Sulaiman dari Yahya bin Sa’id dari Nafi’ dari Ibnu Umar radiallahu
’anhuma yang berkata “Kami membandingkan diantara manusia di zaman Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam maka kami menganggap yang terbaik adalah
Abu Bakar, kemudian Umar bin Khaththab kemudian Utsman bin Affan
radiallahu ‘anhum” [Shahih Bukhari no 3655].
Atsar Ibnu Umar ini diriwayatkan dengan
sanad yang shahih tetapi menjadikan hadis ini dalil keutamaan Abu Bakar
dan Umar di atas Ali adalah tidak tepat. Hal ini disebabkan bahwa apa
yang dinukil dari Ibnu Umar hanyalah pendapat sebagian sahabat saja dan
riwayat Ibnu Umar di atas itu tidak lengkap, riwayat yang lebih lengkap
adalah sebagai berikut:
أخبرنا عبدالله قال ثنا سلمة بن شبيب قال مروان الطاطري قال ثنا سليمان بن بلال قال ثنا يحيى بن سعيد عن نافع عن ابن عمر قال كنا نفضل على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم أبا بكر وعمر وعثمان ولا نفضل أحدا على أحد
Telah mengabarkan kepada kami
Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Salamah bin Syabib
yang berkata Marwan Ath Thaathari berkata menceritakan kepada kami
Sulaiman bin Bilal yang berkata menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id
dari Nafi’ dari Ibnu Umar yang berkata “kami mengutamakan di masa hidup
Rasulullah SAW Abu Bakar, Umar dan Utsman kemudian kami tidak mengutamakan satupun dari yang lain” [As Sunnah Al Khallal no 580].
Atsar Ibnu Umar di atas juga shahih.
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal seorang imam yang tsiqat [At Taqrib
1/477]. Salamah bin Syabib perawi Muslim yang tsiqat [At Taqrib 1/377]
dan Marwan bin Muhammad Ath Thaathari perawi Muslim yang tsiqat [At
Taqrib 2/172].
Diantara pengikut salafy ada yang dengan
gaya lucu mengatakan kalau Atsar Ibnu Umar ini dalil yang qath’i
keutamaan Abu Bakar dan Umar di atas Ali dengan dua alasan
- Dalam atsar Ibnu Umar di atas terdapat kalimat penting yaitu “kami membandingkan” atau “kami mengutamakan”. Perkataan ini menunjukkan ucapan para sahabat seluruhnya dan tidak ada yang membantahnya.
- Dalam atsar Ibnu Umar di atas terdapat lafaz “saat Rasulullah SAW hidup” atau “di zaman Rasulullah”. Salafy mengatakan lafaz ini menunjukkan kalau ucapan tersebut didengar oleh Rasulullah SAW dan Beliau SAW tidak membantahnya.
Kami jawab : Jika memang kita harus menuruti logika salafy di atas maka atsar Ibnu Umar menunjukkan dalil yang qath’i bahwa semua
sahabat berpandangan orang yang paling utama setelah Nabi SAW adalah
Abu Bakar, Umar dan Utsman kemudian mereka tidak mengutamakan satupun
dari yang lain termasuk Imam Ali. Anehnya justru kesimpulan ini sangat bertentangan dengan keyakinan mahzab salafy, mengingat mereka sendiri mengutamakan Imam Ali sebagai yang keempat di atas sahabat yang lain.
Menurut salafy, sahabat yang paling utama itu adalah Abu Bakar,
kemudian Umar, kemudian Utsman, kemudian Ali. Bukankah ini sangat
bertentangan dengan atsar Ibnu Umar di atas bahwa setelah Utsman semua sahabat tidak mengutamakan satupun dari yang lain?.
Ini adalah bukti pertama inkonsistensi salafy dalam berhujjah. Mereka
berhujjah dengan gaya sepotong-sepotong, mengambil penggalan hadis yang
sesuai dengan akidahnya saja.
Inkonsistensi salafy lainnya dapat para
pembaca lihat dari diskusi atau pembahasan salafy soal nikah mut’ah.
Dalam pembahasan nikah mut’ah terdapat hadis yang memuat lafaz yang sama
persis dengan atsar Ibnu Umar di atas.
قال عطاء قدم جابر بن عبدالله معتمرا فجئناه في منزله فسأله القوم عن أشياء ثم ذكروا المتعة فقال نعم استمتعنا على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم وأبي بكر وعمر
Atha’ berkata “Jabir bin Abdullah
datang untuk menunaikan ibadah umrah. Maka kami mendatangi tempatnya
menginap. Beberapa orang dari kami bertanya berbagai hal sampai akhirnya
mereka bertanya tentang mut’ah. Jabir menjawab “benar, memang kami
melakukannya pada masa hidup Rasulullah SAW, masa Abu Bakar dan Umar”. [Shahih Muslim 2/1022 no 15 (1405) tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi].
Kembali lagi kalau kita berhujjah dengan logika salafy maka atsar Jabir di atas menunjukkan kalau semua
sahabat melakukan mut’ah di masa hidup Rasulullah SAW, masa Abu Bakar
dan masa Umar atau Ijma’ sahabat membolehkan nikah mut’ah. Silakan para pembaca mengingat kembali, Salafy dengan lantangnya mengatakan kalau nikah mut’ah adalah zina, padahal berdasarkan atsar di atas maka semua sahabat melakukan mut’ah di masa Abu Bakar dan Umar. Apakah salafy berani mengatakan kalau semua sahabat telah berzina?. Naudzubillah
Menghadapi kemusykilan atsar Jabir di
atas, ada diantara pengikut salafy yang mengatakan kalau atsar Jabir itu
hanya menunjukkan bahwa sebagian kecil sahabat masih melakukan nikah
mut’ah karena mereka belum tahu kalau nikah tersebut diharamkan.
Sekarang kata “kami melakukan” diartikan sebagai “sebagian kecil” bukan “semua sahabat” atau “ijma’ sahabat”. Benar-benar tidak konsisten :mrgreen:
Kembali ke atsar Ibnu Umar di atas kami
menafsirkan perkataan Ibnu Umar itu hanyalah pendapat sebagian sahabat
saja dan tidak memiliki landasan qath’i dari Rasulullah SAW karena:
- Telah disebutkan sebelumnya kalau diantara para sahabat ada yang mengutamakan Ali di atas Abu Bakar dan Umar. Selain itu telah shahih riwayat Jabir bin Abdullah yang mengatakan kalau Imam Ali adalah manusia terbaik [dalam riwayat Jabir ini pun terdapat lafaz “kami”].
- Telah shahih dari Rasulullah SAW berbagai hadis yang mengutamakan Imam Ali di atas para sahabat lainnya [termasuk Abu Bakar dan Umar].
Kami sudah cukup banyak menuliskan hadis
Rasulullah SAW tentang keutamaan Imam Ali di atas Abu Bakar dan Umar,
kami akan menyebutkan salah satunya
عن عبد الله رضى الله تعالى عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم الحسن والحسين سيدا شباب أهل الجنة وأبوهما خير منهما
Dari Abdullah RA yang berkata
Rasulullah SAW bersabda “Hasan dan Husain Sayyid [Pemimpin] pemuda surga
dan Ayah mereka lebih baik dari mereka” [Al Mustadrak Ash Shahihain no 4779, Al Hakim dan Adz Dzahabi menshahihkannya].
Jika pengikut salafy itu mengakui kalau para sahabat [termasuk Abu Bakar dan Umar] adalah pemuda ahli surga maka tidak bisa tidak Sayyid bagi mereka adalah Imam Hasan dan Imam Husain. Kedudukan “Sayyid” menunjukkan kalau keduanya lebih utama dari para sahabat Nabi [yang juga termasuk pemuda ahli surga]. Jika Imam Ali dikatakan oleh Rasulullah SAW lebih baik atau utama dari Sayyid pemuda ahli surga maka sudah jelas Imam Ali lebih utama dari semua sahabat lainnya [termasuk Abu Bakar dan Umar]. Dalil ini yang lebih pantas dikatakan dalil qath’i.
Jika pengikut salafy itu mengakui kalau para sahabat [termasuk Abu Bakar dan Umar] adalah pemuda ahli surga maka tidak bisa tidak Sayyid bagi mereka adalah Imam Hasan dan Imam Husain. Kedudukan “Sayyid” menunjukkan kalau keduanya lebih utama dari para sahabat Nabi [yang juga termasuk pemuda ahli surga]. Jika Imam Ali dikatakan oleh Rasulullah SAW lebih baik atau utama dari Sayyid pemuda ahli surga maka sudah jelas Imam Ali lebih utama dari semua sahabat lainnya [termasuk Abu Bakar dan Umar]. Dalil ini yang lebih pantas dikatakan dalil qath’i.
عن بن عباس قال بعثني النبي صلى الله عليه وسلم الى علي بن أبي طالب فقال أنت سيد في الدنيا وسيد في الآخرة من احبك فقد احبني وحبيبك حبيب الله وعدوك عدوي وعدوي عدو الله الويل لمن ابغضك من بعدي
Dari Ibnu Abbas yang berkata
“Nabi SAW mengutusku kepada Ali bin Abi Thalib lalu Beliau bersabda
“Wahai Ali kamu adalah Sayyid [pemimpin] di dunia dan Sayyid [pemimpin]
di akhirat. Siapa yang mencintaimu maka sungguh ia mencintaiku,
kekasihmu adalah kekasih Allah dan musuhmu adalah musuhku dan musuhku
adalah musuh Allah. Celakalah mereka yang membencimu sepeninggalKu [Fadhail Shahabah Ahmad bin Hanbal no 1092, dengan sanad yang shahih].
Hadis ini adalah dalil qath’i kalau Imam
Ali lebih utama dari semua sahabat lainnya [termasuk Abu Bakar dan Umar]
karena Rasulullah SAW menyatakan dengan jelas kedudukan Imam Ali sebagai “Sayyid” baik di dunia maupun di akhirat.
Bagi kami atsar Ibnu Umar di atas hanya
pendapat sebagian sahabat yang merupakan ijtihad mereka. Atsar ini tidak
bisa dijadikan hujjah jika terdapat atsar lain yang menyelisihinya
ditambah lagi telah shahih dari Rasulullah SAW keutamaan Imam Ali yang
begitu tinggi di atas para sahabat. Jadi atsar Ibnu Umar di atas dilihat
dari sisi manapun tidak menjadi hujjah bagi salafy bahkan atsar itu
berbalik menentang keyakinan mereka. Sungguh aneh mereka tidak menyadari
inkonsistensi yang mereka alami, apakah mereka tidak mampu memahami apa
itu “inkonsistensi”? atau sebenarnya mereka paham tetapi hati mereka tidak sanggup menerima.
Hadis lain yang sering dijadikan hujjah
salafy untuk mengutamakan Abu Bakar dan Umar di atas Imam Ali adalah
perkataan Imam Ali bahwa Abu Bakar dan Umar umat terbaik setelah Nabi
SAW.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا جَامِعُ بْنُ أَبِي رَاشِدٍ حَدَّثَنَا أَبُو يَعْلَى عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَنَفِيَّةِ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ عُمَرُ وَخَشِيتُ أَنْ يَقُولَ عُثْمَانُ قُلْتُ ثُمَّ أَنْتَ قَالَ مَا أَنَا إِلَّا رَجُلٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Katsir yang berkata telah mengabarkan kepada kami Sufyan
yang berkata telah menceritakan kepada kami Jami’ bin Abi Raasyid yang
menceritakan kepada kami Abu Ya’la dari Muhammad bin Al Hanafiah yang
berkata “aku bertanya kepada ayahku “siapakah manusia terbaik setelah
Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Beliau menjawab “Abu Bakar”. Aku
berkata “kemudian siapa?”. Beliau menjawab “Umar” dan aku khawatir ia
akan berkata Utsman, aku berkata “kemudian engkau”. Beliau menjawab “Aku
tidak lain hanya seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin” [Shahih Bukhari no 3671].
Atsar Imam Ali di atas adalah atsar yang
shahih tetapi kami tidak memahami atsar di atas seperti pemahaman
salafy. Atsar di atas dengan jelas menunjukkan sikap tawadhu’ Imam Ali, buktinya adalah perkataan Imam Ali ketika ditanya tentang dirinya, Beliau menjawab “Aku tidak lain hanya seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin”.
Siapapun akan mengetahui berbagai keutamaan Imam Ali yang begitu tinggi
dan dengan keutamaan tersebut Beliau jelas lebih utama dari lafaz “seorang laki-laki” tetapi
Imam Ali mengatakannya untuk menunjukkan sikap tawadhu’ Beliau. Apakah
salafy ketika berhujjah dengan hadis ini mereka menempatkan Imam Ali
sebagai hanya seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin?. Bukankah para sahabat, tabiin dan banyak umat muslim lain juga bisa dikatakan sebagai “seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin”.
Lantas bagaimana bisa salafy mengutamakan Imam Ali sebagai yang keempat
di atas sahabat lain dan para tabiin kalau Imam Ali sendiri beranggapan
dirinya hanya seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin?.
Sudah jelas memaknai atsar di atas secara
zahir justru menimbulkan inkonsistensi di sisi salafy. Kami tidak
memahami atsar Imam Ali di atas secara zahir, bagi kami atsar di atas
menunjukkan pujian Imam Ali kepada Abu Bakar dan Umar, dan bagaimana kedudukan mereka di antara sahabat lainnya.
Imam Ali tidak sedang membicarakan kedudukan dirinya oleh karena itu
ketika ditanya tentang dirinya, Beliau menjawab dengan perkataan yang
menunjukkan sikap tawadhu’ bukan dengan perkataan yang menjelaskan kedudukan sebenarnya tentang dirinya. Sedangkan kedudukan sebenarnya Imam Ali telah jelas disebutkan dalam berbagai hadis shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam [diantaranya yang telah kami sebutkan sebelumnya].
حدثنا عبد الله قال حدثني أبو صالح الحكم بن موسى قثنا شهاب بن خراش قثنا الحجاج بن دينار عن حصين بن عبد الرحمن عن أبي جحيفة قال كنت أرى أن عليا أفضل الناس بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم قلت يا أمير المؤمنين إني لم أكن أرى أن أحدا من المسلمين من بعد رسول الله أفضل منك قال أولا أحدثك يا أبا جحيفة بأفضل الناس بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم قلت بلى قال أبو بكر قال أفلا أخبرك بخير الناس بعد رسول الله وأبي بكر قال قلت بلى فديتك قال عمر
Telah menceritakan kepada kami
Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Shalih Al Hakam
bin Musa yang menceritakan kepada kami Syihab bin Khirasy yang berkata
telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Diinar dari Hushain bin
Abdurrahman dari Abu Juhaifah yang berkata “Aku berpendapat bahwa Ali
adalah orang yang paling utama setelah Rasulullah SAW, aku berkata
“wahai amirul mukminin aku tidak melihat ada seseorang dari kalangan
kaum muslimin setelah Rasulullah SAW yang lebih utama daripada engkau”.
Ali berkata “tidakkah engkau mau kuberitahukan kepadamu wahai Abu
Juhaifah orang yang paling utama setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Aku berkata “tentu”. Beliau berkata “Abu Bakar”. Kemudian
beliau berkata “tidakkah engkau mau kuberitahukan padamu orang yang
paling baik setelah Rasulullah [SAW] dan Abu Bakar. Aku berkata “tentu,
beritahukanlah”. Beliau menjawab “Umar” [Fadhail Ash Shahabah no 404].
Sama seperti sebelumnya, kami memahami bahwa perkataan Imam Ali di atas adalah bagian dari sikap tawadhu’ Beliau. Perhatikan baik-baik Abu Juhaifah adalah seorang sahabat Nabi SAW dan pendapatnya kalau Imam Ali orang yang paling utama setelah Rasulullah SAW menunjukkan bahwa atsar Ibnu Umar sebelumnya
memang tidak berlaku untuk seluruh sahabat melainkan hanya sebagian
sahabat sedangkan sahabat lain seperti Abu Juhaifah memandang Imam Ali sebagai orang yang paling utama.
Dalam hadis di atas Imam Ali tidaklah mengingkari, mencela, marah atau
menghukum Abu Juhaifah karena pandangannya yang mengutamakan dirinya.
Tentu saja hal ini menunjukkan bathilnya hadis yang dijadikan hujjah
oleh salafy bahwa Imam Ali akan mencambuk atau menghukum mereka yang mengutamakan dirinya atas Abu Bakar dan Umar. Bagi Imam Ali tidak ada masalah jika ada orang yang mengutamakan dirinya atas Abu Bakar dan Umar.
Anehnya ketika ditunjukkan atsar dari Abu
Bakar yang mengakui kalau dirinya bukanlah orang yang terbaik, salafy
dengan mudahnya mengatakan bahwa itu adalah bagian dari sikap tawadhu’
Abu Bakar. Abu Bakar pernah berkhutbah dihadapan manusia.
قال أما بعد أيها الناس فأني قد وليت عليكم ولست بخيركم فان أحسنت فأعينوني وإن أسأت فقوموني الصدق أمانة والكذب خيانة والضعيف فيكم قوي عندي حتى أرجع عليه حقه إن شاء الله والقوي فيكم ضعيف حتى آخذ الحق منه إن شاء الله لا يدع قوم الجهاد في سبيل الله إلا خذلهم الله بالذل ولا تشيع الفاحشة في قوم إلا عمهم الله بالبلاء أطيعوني ما أطعت الله ورسوله فاذا عصيت الله ورسوله فلا طاعة لي عليكم قوموا الى صلاتكم يرحمكم الله
Ia berkata “Amma ba’du, wahai manusia sekalian sesungguhnya aku telah dipilih sebagai pimpinan atas kalian dan bukanlah aku orang yang terbaik diantara kalian maka
jika berbuat kebaikan bantulah aku. Jika aku bertindak keliru maka
luruskanlah aku, kejujuran adalah amanah dan kedustaan adalah khianat.
Orang yang lemah diantara kalian ia kuanggap kuat hingga aku
mengembalikan haknya kepadanya jika Allah menghendaki. Sebaliknya yang
kuat diantara kalian aku anggap lemah hingga aku mengambil darinya hak
milik orang lain yang diambilnya jika Allah mengehendaki. Tidaklah suatu
kaum meninggalkan jihad di jalan Allah kecuali Allah timpakan kehinaan
dan tidaklah kekejian tersebar di suatu kaum kecuali adzab Allah
ditimpakan kepada kaum tersebut. Taatilah aku selama aku taat kepada
Allah dan RasulNya. Tetapi jika aku tidak mentaati Allah dan RasulNya
maka tiada kewajiban untuk taat kepadaku. Sekarang berdirilah untuk
melaksanakan shalat semoga Allah merahmati kalian. [Sirah Ibnu
Hisyam 4/413-414 tahqiq Hammam Sa’id dan Muhammad Abu Suailik, dinukil
Ibnu Katsir dalam Al Bidayah 5/269 dan 6/333 dimana ia menshahihkannya].
Kalau diartikan secara zahir sudah jelas
atsar Abu Bakar ini merupakan bantahan yang telak atas salafy. Bagaimana
mungkin mereka mengakui kalau Abu Bakar orang yang paling baik setelah Rasulullah SAW
kalau Abu Bakar sendiri justru mengakui kalau ia bukanlah orang yang
terbaik diantara para sahabat Nabi. Jadi kalau hanya mengandalkan atsar
sahabat maka akan muncul berbagai inkonsistensi dan kontradiksi.
Satu-satunya pemecahan adalah dengan melihat berbagai hadis shahih dari Rasulullah SAW yang menunjukkan keutamaan dan kedudukan yang sebenarnya.
Pandangan kami soal “siapa yang paling utama” berdasarkan metode yang sangat berbeda dengan salafy. Metode yang kami gunakan adalah mengumpulkan
hadis-hadis shahih dari Rasulullah SAW mengenai keutamaan para sahabat
yaitu Imam Ali ataupun Abu Bakar dan Umar kemudian membandingkan antara
keutamaan tersebut mana yang menjadi hujjah bagi yang lain.
Dengan metode seperti ini dapat diketahui dengan jelas kedudukan sahabat
yang sebenarnya. Sedangkan metode salafy adalah metode sepihak yang
hanya mengandalkan hadis yang itu-itu saja dan mengabaikan berbagai
hadis lain yang justru menunjukkan kedudukan yang sebenarnya. Contohnya
adalah bagaimana bisa salafy mengabaikan hadis Tsaqalain sebagai keutamaan yang tinggi bagi Imam Ali?. Bagaimana bisa salafy mengabaikan kedudukan imam Ali sebagai maula bagi kaum mukminin [termasuk Abu Bakar dan Umar]?. Bagaimana bisa salafy mengabaikan kedudukan Imam Ali sebagai waly bagi setiap orang beriman [termasuk Abu Bakar dan Umar]?, dan masih banyak hadis-hadis lainnya.
Hadis lain yang dijadikan hujjah salafy dalam mengutamakan Abu Bakar dan Umar di atas Ali adalah
حَدَّثَنِي الْوَلِيدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ أَبِي الْحُسَيْنِ الْمَكِّيُّ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ إِنِّي لَوَاقِفٌ فِي قَوْمٍ فَدَعَوْا اللَّهَ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَقَدْ وُضِعَ عَلَى سَرِيرِهِ إِذَا رَجُلٌ مِنْ خَلْفِي قَدْ وَضَعَ مِرْفَقَهُ عَلَى مَنْكِبِي يَقُولُ رَحِمَكَ اللَّهُ إِنْ كُنْتُ لَأَرْجُو أَنْ يَجْعَلَكَ اللَّهُ مَعَ صَاحِبَيْكَ لِأَنِّي كَثِيرًا مَا كُنْتُ أَسْمَعُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُنْتُ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَفَعَلْتُ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَانْطَلَقْتُ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ فَإِنْ كُنْتُ لَأَرْجُو أَنْ يَجْعَلَكَ اللَّهُ مَعَهُمَا فَالْتَفَتُّ فَإِذَا هُوَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ
Telah menceritakan kepadaku Walid bin
Shalih yang berkata telah menceritakan kepada kami Isa bin Yunus yang
berkata menceritakan kepada kami Umar bin Sa’id bin Abi Husain Al Makkiy
dari Ibnu Abi Mulaikah dari Ibnu Abbas radiallahu ‘anhuma yang berkata
“Sungguh aku pernah berdiri di kerumunan orang yang sedang mendoakan
Umar bin Khathab ketika ia telah diletakkan di atas pembaringannya.
Tiba-tiba seseorang dari belakangku yang meletakkan kedua sikunya di
bahuku berkata: “Semoga Allah merahmatimu dan aku berharap agar Allah
menggabungkan engkau bersama dua shahabatmu karena aku sering mendengar
Rasulullah SAW bersabda “aku bersama Abu Bakar dan Umar” atau “Aku telah
mengerjakan bersama Abu Bakar dan Umar” atau “aku pergi dengan Abu
Bakar dan Umar”. Maka sungguh aku berharap semoga Allah menggabungkan
engkau dengan keduanya. Maka aku melihat ke belakangku ternyata ia
adalah Ali bin Abi Thalib [Shahih Bukhari no 3677].
Dalam hadis ini tidak ada sedikitpun petunjuk keutamaan Abu Bakar dan Umar di atas Ali. Hadis ini memuat doa Imam Ali agar Umar bergabung bersama Rasulullah SAW dan Abu Bakar.
Insya Allah perkara bergabung bersama Rasulullah SAW nanti adalah
harapan setiap sahabat Nabi SAW dan bukan kekhususan Abu Bakar dan Umar.
Begitu pula perkataan Rasulullah SAW “Aku bersama Abu Bakar dan Umar” tidaklah menunjukkan kekhususan terhadap mereka berdua. Bahkan banyak hadis shahih lain yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW sangat dekat kepada Imam Ali. Pernahkah para pembaca mendengar hadis shahih yang menunjukkan kecintaan kepada Ali berarti kecintaan kepada Rasulullah SAW? Hadis shahih siapa yang menyakiti Ali maka menyakiti Rasulullah SAW?. Hadis shahih siapa yang mencaci Ali berarti mencaci Rasulullah SAW?. Hadis shahih siapa yang memisahkan diri dari Ali berarti memisahkan diri dari Rasulullah SAW?. Tidak diragukan lagi hadis-hadis tersebut menunjukkan betapa tingginya kedudukan Imam Ali di sisi Rasulullah SAW.
Masih banyak lagi hadis yang menunjukkan
kedekatan Imam Ali kepada Rasulullah SAW, diantaranya ketika di Thaif
Rasulullah SAW dan Ali memisahkan diri dari para sahabat dan terlihat
mengadakan pembicaraan yang lama sehingga membuat sebagian sahabat
mengeluh, ketika mereka mengadukan keluhan mereka kepada Rasulullah SAW,
Rasulullah SAW menjawab bahwa bukan Beliau yang berbicara dengan Imam
Ali tetapi Allah SWT yang berbicara dengan Imam Ali. Tentu saja kekhususan seperti ini hanya dimiliki Imam Ali dan tidak pernah dimiliki Abu Bakar dan Umar.
عن أم سلمة رضى الله تعالى عنها قالت والذي أحلف به إن كان علي لأقرب الناس عهدا برسول الله صلى الله عليه وسلم عدنا رسول الله صلى الله عليه وسلم غداة وهو يقول جاء علي جاء علي مرارا فقالت فاطمة رضى الله تعالى عنها كأنك بعثته في حاجة قالت فجاء بعد قالت أم سلمة فظننت أن له إليه حاجة فخرجنا من البيت فقعدنا عند الباب وكنت من أدناهم إلى الباب فأكب عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم وجعل يساره ويناجيه ثم قبض رسول الله صلى الله عليه وسلم من نومه ذلك فكان علي أقرب الناس عهدا
Dari Ummu Salamah radiallahu
ta’ala ‘anha yang berkata “Demi Yang aku bersumpah dengan-Nya,
sesungguhnya Ali adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah SAW.
Kami menjenguk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pada suatu pagi
dan Beliau berkata ‘Apakah Ali sudah datang? Apakah Ali sudah datang?’
Beliau tanyakan itu berkali-kali, lalu Fathimah berkata “sepertinya Anda
mengutusnya untuk sebuah keperluan”. Kemudian datanglah Ali, Ummu
Salamah berkata “kami mengira bahwa Beliau ada perlu dengannya maka kami
keluar dari kamar dan duduk di dekat pintu. Dan aku yang paling dekat
dengan pintu, maka Rasulullah SAW merundukkan kepalanya [ketubuh Ali]
dan membisikkan sesuatu kepadanya, kemudian beliau wafat hari itu juga.
Maka Ali adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah SAW” [Al Mustadrak Ash Shahihain no 4671 dimana Al Hakim dan Adz Dzahabi bersepakat menshahihkannya].
Bukankah hadis di atas menunjukkan betapa dekatnya hubungan antara Imam Ali dan Rasulullah SAW?. Hadis ini tidak kalah utama dari atsar Ibnu Abbas di atas. Bagaimana bisa salafy mengabaikan berbagai hadis lain yang menunjukkan kedekatan Imam Ali dengan Rasulullah SAW. Kami tidak menolak atsar Ibnu Abbas yang dijadikan hujjah salafy, yang kami tolak adalah cara pendalilan versi salafy yang menjadikan atsar tersebut sebagai hujjah keutamaan Abu Bakar dan Umar di atas Ali, karena memang tidak ada penunjukkan yang demikian dalam atsar tersebut.
Bukankah hadis di atas menunjukkan betapa dekatnya hubungan antara Imam Ali dan Rasulullah SAW?. Hadis ini tidak kalah utama dari atsar Ibnu Abbas di atas. Bagaimana bisa salafy mengabaikan berbagai hadis lain yang menunjukkan kedekatan Imam Ali dengan Rasulullah SAW. Kami tidak menolak atsar Ibnu Abbas yang dijadikan hujjah salafy, yang kami tolak adalah cara pendalilan versi salafy yang menjadikan atsar tersebut sebagai hujjah keutamaan Abu Bakar dan Umar di atas Ali, karena memang tidak ada penunjukkan yang demikian dalam atsar tersebut.
Sebenarnya kalau menuruti metode salafy maka perkataan Abu Bakar sebelumnya bahwa beliau bukanlah yang terbaik diantara sahabat Nabi yang lain
adalah perkataan yang terang benderang dan cukup telak meruntuhkan
syubhat salafy yang sok memakai dalil sunni untuk menguatkan
keyakinannya. Abu Bakar sendiri mengakui kalau ia bukan yang terbaik
lantas mengapa salafy malah mengatakan Abu Bakar umat terbaik?. Apakah
salafy merasa lebih mengetahui dari Abu Bakar. Begitu pula kalau
menuruti cara berpikir salafy, maka semua sahabat yang mendengar khutbah
Abu Bakar tidak ada yang membantahnya. Jadi semua sahabat setuju dengan
pernyataan Abu Bakar kalau dirinya bukanlah yang terbaik diantara
mereka. Maka kita kembalikan permasalahan ini kepada salafy, tunjukkan
sikap yang konsisten dalam berhujjah jika memang kalian mampu. Kalau
tidak mampu maka diamlah, jangan merasa sok berdalil dengan hadis-hadis
sunni.
Salafy berusaha mengingkari keutamaan
hadis manzilah dengan berbagai syubhat. Syubhat-syubhat yang justru
meruntuhkan keutamaan hadis manzilah. Sehingga jika kita atau salafy
menerima syubhat-syubhat tersebut maka tidak tersisa keutamaan yang ada
dalam hadis manzilah. Pembahasan hadis manzilah telah kami paparkan
dalam thread khusus dan telah kami buktikan bahwa hadis manzilah menunjukkan keutamaan Imam Ali di atas Abu Bakar dan Umar. Kami hanya akan membahas syubhat-syubhat salafy yang tidak ada nilainya sama sekali.
Salafy mengatakan kalau menjadikan hadis
manzilah sebagai keutamaan Imam Ali di atas Abu Bakar dan Umar akan
menyebabkan pertentangan dengan atsar Imam Ali bahwa manusia terbaik
setelah Rasulullah SAW adalah Abu Bakar.
Kami jawab : kalau
salafy hanya berkeras pada cara mereka berdalil maka akan muncul
berbagai inkonsistensi yang nyata, contohnya saja apakah mereka berani
menganggap Imam Ali hanya sebagai seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin?. Bagi kami perkataan Imam Ali tidaklah bertentangan dengan hadis manzilah. Perkataan Imam Ali tersebut adalah bagian
sikap tawadhu’ beliau sehingga Beliau tidak sedang membicarakan
kedudukan Beliau yang sebenarnya oleh karena itu ketika ditanya tentang
dirinya, Imam Ali menjawab dengan jawaban yang menunjukkan sikap
tawadhu’ bukan menjelaskan kedudukan dirinya yang sebenarnya.
Sedangkan kedudukan Imam Ali yang sebenarnya di sisi Nabi SAW tampak
dalam berbagai hadis shahih yang diucapkan oleh Rasulullah SAW, nah
diantaranya adalah hadis Manzilah.
Salafy mengatakan kalau Nabi SAW juga
pernah membandingkan Abu Bakar dan Umar dengan para Nabi yaitu Abu Bakar
dengan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Isa AS, Umar dengan Nabi Nuh AS dan
Nabi Musa AS. Salafy berhujjah dengan perkataan berikut:
Dalam Sahih Bukhari dan Muslim mengenai tawanan perang. Ketika Nabi meminta pendapat Abu Bakar, ia mengusulkan tebusan. Ketika Nabi bertanya kepada ‘Umar, ia mengusulkan untuk dibunuh saja. Lalu Nabi bersabda: “Akan kuceritakan kepadamu tentang dua orang yang sepadan dengan kamu. Engkau, wahai Abu Bakar, sama dengan Ibrahim ketika ia berkata: Barangsiapa mengikuti aku, ia termasuk golonganku. Barangsiapa durhaka kepadaku, sesungguhnya Tuhan maha pengampun dan maha Pengasih (QS, Ibrahim, 14:36). Engkau juga sama dengan Nabi Isa ketika ia berkata: “Jika Engkau menyiksa mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu. Dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkau Maha Mulia dan Maha Bijaksana”. (QS, al-Ma’idah, 5:118). Adapun engkau, wahai ‘Umar, sama seperti Nuh ketika ia berkata: “Ya Tuhanku janganlah Engkau biarkan seorang pun diantara orang-orang kafir tinggal di atas bumi”. (QS, Nuh, 71:26). Engkau juga seperti Nabi Musa ketika ia berkata: “Ya Tuhan kami binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, sehingga mereka tidak beriman sampai mereka melihat siksaan yang pedih”. (QS, Yunus, 10:88).
Kami jawab : hujjah ini
hanyalah pengulangan cara berhujjah syaikh mereka Ibnu Taimiyyah yang
diikuti oleh Mahmud Az Za’bi dalam Al Bayyinat. Hujjah mereka ini tidak
nyambung karena hadis yang mereka jadikan hujjah tidak sedang
menjelaskan tentang keutamaan atau kedudukan Abu Bakar dan Umar.
Siapapun akan melihat dengan jelas bahwa Nabi SAW sendiri menjelaskan
maksud perkataan Beliau SAW “Engkau, wahai Abu Bakar, sama dengan Ibrahim ketika ia berkata” dan “Engkau juga sama dengan Nabi Isa ketika ia berkata” atau “Adapun engkau, wahai ‘Umar, sama seperti Nuh ketika ia berkata” dan “Engkau juga seperti Nabi Musa ketika ia berkata”. Perhatikan perkataan “ketika ia berkata”,
lafaz inilah yang menunjukkan apa yang sebenarnya sedang dianalogikan
oleh Nabi SAW dalam hadis di atas. Jadi sebenarnya yang disamakan oleh
Nabi SAW adalah sifat yang ada dalam jawaban Abu Bakar dan Umar dengan sifat yang ada dalam perkataan Nabi-Nabi tersebut. Sedangkan hadis manzilah sangat jelas menunjukkan tentang keutamaan dan kedudukan.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا أبو سعيد مولى بنى هاشم ثنا سليمان بن بلال ثنا الجعيد بن عبد الرحمن عن عائشة بنت سعد عن أبيها ان عليا رضي الله عنه خرج مع النبي صلى الله عليه و سلم حتى جاء ثنية الوداع وعلى رضي الله عنه يبكى يقول تخلفني مع الخوالف فقال أو ما ترضى أن تكون منى بمنزلة هارون من موسى الا النبوة
Telah menceritakan kepada kami
Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata
telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id mawla bani hasyim yang berkata
menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilal yang menceritakan kepada
kami Al Ju’aid bin Abdurrahman dari Aisyah binti Sa’ad dari ayahnya
bahwa Ali pergi bersama Nabi SAW hingga tiba di balik bukit. Saat itu
Ali menangis dan berkata “Tidakkah engkau rela bahwa kedudukanmu di
sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa kecuali Kenabian” [Musnad Ahmad 1/170 no 1463 dengan sanad yang shahih].
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الله بن نمير قال ثنا موسى الجهني قال حدثتني فاطمة بنت علي قالت حدثتني أسماء بنت عميس قالت سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول يا علي أنت مني بمنزلة هارون من موسى الا انه ليس بعدي نبي
Telah menceritakan kepada kami
Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata
telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Numair yang berkata telah
menceritakan kepada kami Musa Al Juhani yang berkata telah menceritakan
kepadaku Fathimah binti Ali yang berkata telah menceritakan kepadaku
Asma’ binti Umais yang berkata aku mendengar Rasulullah SAW berkata
“wahai Ali engkau di sisiKu seperti kedudukan Harun di sisi Musa kecuali
tidak ada Nabi setelahku” [Musnad Ahmad 6/438 no 27507 dishahihkan oleh Syaikah Syu’aib Al Arnauth].
Kami tidak mengingkari bahwa hadis ini
diucapkan Nabi SAW di perang tabuk tetapi terdapat pula penunjukkan
kalau Nabi SAW mengucapkan hadis ini di saat lain selain perang Tabuk
seperti yang telah kami bahas sebelumnya. Hadis Asma’ binti Umais dengan penyimakan langsung dari Rasulullah SAW itu didengar pada peristiwa lain selain perang tabuk. Perhatikan lafaz hadis yang diucapkan Rasulullah SAW “kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa kecuali Kenabian”.
Lafaz ini adalah lafaz yang umum karena di dalam lafaznya terkandung
pengecualian kedudukan yang tidak dimiliki Imam Ali yaitu Kenabian.
Semua kedudukan Harun di sisi Musa dimiliki oleh Imam Ali di sisi Nabi
SAW kecuali kenabian. Oleh karena itu sangat wajar jika para sahabat
menganggap ini sebagai keutamaan yang besar dan sangat berharap kalau
saja mereka bisa mendapatkannya. Berbeda halnya dengan hadis yang
dijadikan hujjah salafy di atas, tidak ada satupun para sahabat yang
menganggap itu sebagai keutamaan yang besar serta berandai-andai
memilikinya.
Salafy berhujjah dengan hadis bahwa
Rasulullah SAW menghendaki Abu Bakar sebagai khalil dan menurut salafy
kedudukan ini menunjukkan Abu Bakar lebih utama dari imam Ali. Seperti
biasa salafy itu terlalu terburu-buru dalam menarik kesimpulan. Silakan
perhatikan hadis yang dimaksud:
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَمَنِّ النَّاسِ عَلَيَّ فِي صُحْبَتِهِ وَمَالِهِ أَبَا بَكْرٍ وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيلًا غَيْرَ رَبِّي لَاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ وَلَكِنْ أُخُوَّةُ الْإِسْلَامِ وَمَوَدَّتُهُ لَا يَبْقَيَنَّ فِي الْمَسْجِدِ بَابٌ إِلَّا سُدَّ إِلَّا بَابَ أَبِي بَكْرٍ
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam berkata “sesungguhnya manusia yang paling banyak jasanya dalam
persahabatan dan hartanya adalah Abu Bakar. Seandainya aku [boleh]
mengambil khalil selain Rabbku niscaya aku mengambil Abu Bakar tetapi
cukuplah [kedudukan] persaudaraan dalam islam dan kasih sayang. Tidak
akan tersisa satu pintu di masjid yang tertutup kecuali pintu Abu Bakar”
[Shahih Bukhari no 3654].
حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيلًا لَاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ وَلَكِنْ أَخِي وَصَاحِبِي
Telah menceritakan kepada kami
Muslim bin Ibrahim yang berkata telah menceritakan kepada kami Wuhaib
yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayub dari Ikrimah dari Ibnu
Abbas radiallhu ‘anhuma dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam yang
berkata “seandainya aku [boleh] mengambil khalil dari umatku maka aku
akan mengambil Abu Bakar tetapi cukuplah ia sebagai saudaraku dan
sahabatku” [Shahih Bukhari no 3656].
Jika diperhatikan dengan baik maka dalam hadis di atas tidak ada penetapan oleh Rasulullah SAW bahwa Abu Bakar adalah khalil Beliau. Diisyaratkan dalam hadis di atas adalah pengandaian jika Rasul SAW dibolehkan mengambil khalil dan kenyataannya kedudukan yang jelas bagi Abu Bakar dalam hadis di atas adalah saudara dan sahabat Nabi atau kedudukan dalam kasih sayang dan persaudaraan. Sama halnya dengan perkataan Nabi SAW “jika ada Nabi setelahku maka Umarlah orangnya” dimana dalam perkataan ini tidak ada pernyataan bahwa Umar adalah Nabi setelah Beliau SAW. Jadi poin pertama yang harus dimengerti dalam hadis ini adalah perandaian sangat berbeda dengan penetapan. Kedudukan yang ditetapkan oleh Nabi SAW terhadap Abu Bakar adalah saudara dan sahabat Beliau. Dan kedudukan saudara ini tidak lah terbatas kepada Abu Bakar saja mengingat Rasulullah SAW telah menyatakan pula kalau Imam Ali adalah saudara Beliau, sahabat Beliau, wazir dan pewaris Beliau SAW.
Jika diperhatikan dengan baik maka dalam hadis di atas tidak ada penetapan oleh Rasulullah SAW bahwa Abu Bakar adalah khalil Beliau. Diisyaratkan dalam hadis di atas adalah pengandaian jika Rasul SAW dibolehkan mengambil khalil dan kenyataannya kedudukan yang jelas bagi Abu Bakar dalam hadis di atas adalah saudara dan sahabat Nabi atau kedudukan dalam kasih sayang dan persaudaraan. Sama halnya dengan perkataan Nabi SAW “jika ada Nabi setelahku maka Umarlah orangnya” dimana dalam perkataan ini tidak ada pernyataan bahwa Umar adalah Nabi setelah Beliau SAW. Jadi poin pertama yang harus dimengerti dalam hadis ini adalah perandaian sangat berbeda dengan penetapan. Kedudukan yang ditetapkan oleh Nabi SAW terhadap Abu Bakar adalah saudara dan sahabat Beliau. Dan kedudukan saudara ini tidak lah terbatas kepada Abu Bakar saja mengingat Rasulullah SAW telah menyatakan pula kalau Imam Ali adalah saudara Beliau, sahabat Beliau, wazir dan pewaris Beliau SAW.
Dan jika mau dibandingkan antara Abu Bakar dan Ali, maka kedudukan saudara Rasulullah SAW yang dimiliki Imam Ali lebih bersifat khusus dan utama.
Dalam hadis di atas disebutkan bahwa kedudukan saudara bagi Abu Bakar
adalah persaudaraan dalam islam dan kasih sayang. Persaudaraan ini
tidaklah bersifat khusus karena para sahabat lain juga memiliki
kedudukan seperti itu yaitu persaudaraan dalam islam dan kasih sayang
terhadap Nabi SAW, sedangkan kedudukan “saudara” yang dimiliki Imam Ali
diakui Imam Ali sendiri bersifat khusus
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ نُمَيْرٍ , عَنِ الْحَارِثِ بْنِ حَصِيرَةَ , قَالَ : حَدَّثَنِي أَبُو سُلَيْمَانَ الْجُهَنِيُّ , يَعْنِي زَيْدَ بْنَ وَهْبٍ ، قَالَ : سَمِعْتُ عَلِيًّا عَلَى الْمِنْبَرِ وَهُوَ يَقُولُ : أَنَا عَبْدُ اللهِ , وَأَخُو رَسُولِهِ صلى الله عليه وسلم , لَمْ يَقُلْهَا أَحَدٌ قَبْلِي , وَلاَ يَقُولُهَا أَحَدٌ بَعْدِي إلاَّ كَذَّابٌ مُفْتَرٍ
Telah menceritakan kepada kami
Abdullah bin Numair dari Al Harits bin Hashirah yang berkata telah
menceritakan kepada kami Abu Sulaiman Al Juhani yakni Zaid bin Wahb yang
berkata aku mendengar Ali berkata di atas mimbar “aku adalah hamba
Allah dan saudara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak ada
seorangpun sebelumku yang mengatakannya dan tidak pula seorang pun
setelahku mengatakannya kecuali ia seorang pendusta yang mengada-ada [Al Mushannaf 12/62 no 32742].
Atsar Imam Ali ini kedudukannya hasan.
Diriwayatkan oleh para perawi tsiqat kecuali Al Harits bin Hashirah
seorang yang shaduq hasanul hadis.
- Abdullah bin Numair Al Hamdani adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Ibnu Ma’in, Ibnu Hibban, Al Ijli dan Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 6 no 110].
- Al Harits bin Hashirah adalah perawi yang shaduq hasanul hadis. Ia adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad dan perawi Nasa’i dalam Khasa’is Ali. Ibnu Ma’in, Nasa’i, Ibnu Hibban, Al Ijli dan Ibnu Numair menyatakan tsiqat. Abu Dawud berkata “seorang syiah yang shaduq”. Al Uqaili mengatakan “tidak diikuti hadisnya”. [At Tahdzib juz 2 no 236].
- Zaid bin Wahb Al Juhani adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Ibnu Ma’in, Ibnu Khirasy, Ibnu Sa’ad, Ibnu Hibban dan Al Ijli menyatakan “tsiqat” [At Tahdzib juz 3 no 781].
Atsar di atas menyatakan kekhususan kedudukan saudara Rasulullah SAW bagi Imam Ali sehingga
Imam Ali mengatakan pendusta kepada mereka yang berani mengatakan hal
yang seperti itu baik orang sebelum Beliau ataupun setelah Beliau. Perlu
ditekankan kami tidak menafikan kedudukan “saudara Rasulullah SAW”
bagi Abu Bakar tetapi kami menafsirkan bahwa kedudukan saudara yang
dimiliki Abu Bakar berbeda dengan kedudukan saudara yang dimiliki Imam
Ali, dimana bagi kami persaudaraan Rasulullah SAW dengan Imam Ali lebih
khusus dan lebih utama.
Rasulullah SAW menjadikan perandaian
“khalil” menunjukkan besarnya kecintaan dan kasih sayang antara Abu
Bakar dan Rasulullah SAW, kami tidaklah mengingkari hal ini. Tetapi
menjadikan ini dalil keutamaan Abu Bakar di atas Ali adalah keliru
karena telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Rasulullah SAW
justru lebih mencintai Ali dari Abu Bakar
ثنا أبو نعيم ثنا يونس ثنا العيزار بن حريث قال قال النعمان بن بشير قال استأذن أبو بكر على رسول الله صلى الله عليه و سلم فسمع صوت عائشة عاليا وهى تقول والله لقد عرفت ان عليا أحب إليك من أبي ومنى مرتين أو ثلاثا فاستأذن أبو بكر فدخل فأهوى إليها فقال يا بنت فلانة الا أسمعك ترفعين صوتك على رسول الله صلى الله عليه و سلم
Telah menceritakan kepada kami
Abu Nu’aim yang berkata telah menceritakan kepada kami Yunus yang
berkata telah menceritakan kepada kami Al ‘Aizar bin Huraits yang
berkata Nu’man bin Basyir berkata “Abu Bakar meminta izin untuk bertemu
dengan Rasulullah SAW. Kemudian beliau mendengar suara tinggi Aisyah
yang berkata kepada Rasulullah SAW “Demi Allah sungguh aku telah mengetahui bahwa Ali lebih Engkau cintai daripada aku dan ayahku”
sebanyak dua atau tiga kali. Abu Bakar meminta izin masuk menemuinya
dan berkata “Wahai anak perempuan Fulanah tidak seharusnya kau
meninggikan suaramu terhadap Rasulullah SAW” [Musnad Ahmad no 18333 tahqiq Syaikh Ahmad Syakir dan Hamzah Zain dengan sanad yang shahih].
Begitu pula telah diriwayatkan di dalam
hadis yang shahih bahwa Imam Ali adalah manusia yang paling dicintai
oleh Allah SWT. Kedudukan ini justru menunjukkan bahwa Imam Ali adalah
manusia yang paling utama setelah Rasulullah SAW.
حدثنا سفيان بن وكيع حدثنا عبيد الله بن موسى عن عيسى بن عمر عن السدي عن أنس بن مالك قال كان عند النبي صلى الله عليه و سلم وسلم طير فقال اللهم آئتني بأحب خلقك إليك يأكل معي هذا الطير فجاء علي فأكل معه
Telah menceritakan kepada kami
Sufyan bin Waki’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaidillah
bin Musa dari Isa bin Umar dari As Suddi dari Anas bin Malik yang
berkata Rasulullah SAW suatu ketika memiliki daging burung kemudian
Beliau SAW bersabda “Ya Allah datangkanlah
hambamu yang paling Engkau cintai agar dapat memakan daging burung ini
bersamaKu. Maka datanglah Ali dan ia memakannya bersama Nabi SAW” [Sunan Tirmidzi 5/636 no 3721 hadis shahih dengan keseluruhan jalannya].
Begitu pula dengan lafaz terakhir hadis
Bukhari di atas soal penutupan pintu masjid selain Abu Bakar, tidak bisa
dijadikan dalil sebagai keutamaan Abu Bakar di atas Ali karena telah
diriwayatkan dengan sanad yang shahih dan mutawatir kalau Rasulullah SAW
menyatakan “tutuplah semua pintu masjid kecuali pintu Ali bin Abi Thalib”.
قال بن عباس وسد رسول صلى الله عليه وسلم أبواب المسجد غير باب علي فكان يدخل المسجد جنبا وهو طريقه ليس له طريق غيره
Ibnu Abbas berkata Rasulullah SAW memerintahkan agar semua pintu rumah-rumah yang berhubungan langsung dengan masjid Beliau ditutup, kecuali pintu rumah Ali. Oleh karena itu adakalanya Ali masuk ke masjid dalam keadan junub sebab ia tidak memiliki jalan lain kecuali lewat masjid itu [Al Mustadrak Ash Shahihain no 4652 dimana Al Hakim dan Adz Dzahabi bersepakat menshahihkannya].
Jadi dilihat dari sisi manapun tidak ada
satupun dalil salafy yang bisa dijadikan hujjah untuk mengutamakan Abu
Bakar dan Umar di atas Ali. Bahkan hadis-hadis Rasulullah SAW yang
shahih telah menunjukkan kalau kedudukan Imam Ali dan keutamaannya lebih
tinggi dari Abu Bakar dan Umar [seperti yang telah kami tunjukkan di
atas]. Berikut ini kami akan menunjukkan hadis lain keutamaan Imam Ali
yang terdapat dalam Shahih Muslim.
عن أبي حازم أخبرني سهل بن سعد أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال يوم خيبر لأعطين هذه الراية رجلا يفتح الله على يديه يحب الله ورسوله ويحبه الله ورسوله قال فبات الناس يدوكون ليلتهم أيهم يعطاها قال فلما أصبح الناس غدوا على رسول الله صلى الله عليه و سلم كلهم يرجون أن يعطاها فقال أين علي بن أبي طالب ؟ فقالوا هو يا رسول الله يشتكي عينيه قال فأرسلوا إليه فأتى به فبصق رسول الله صلى الله عليه و سلم في عينيه ودعا له فبرأ حتى كأن لم يكن به وجع فأعطاه الراية فقال علي يا رسول الله أقاتلهم حتى يكونوا مثلنا فقال انفذ على رسلك حتى تنزل بساحتهم ثم ادعهم إلى الإسلام وأخبرهم بما يجب عليهم من حق الله فيه فوالله لأن يهدي الله بك رجلا واحدا خير لك من أن يكون لك حمر النعم
Dari Abu Hazim yang berkata telah
mengabarkan kepadaku Sahl bin Sa’ad bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam bersabda di hari Khaibar “Demi Allah, Sungguh bendera ini akan
saya berikan besok hari kepada seorang lelaki yang mana Allah akan
mengaruniakan kemenangan melalui tangannya. Ia mencintai Allah dan Rasul-Nya dan juga dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.”
Maka semalam suntuk para sahabat membicarakan kepada siapakah kiranya
bendera itu akan diserahkan.”[Sahl] berkata “Ketika tiba esok harinya,
para sahabat berangkat dini menghadap Rasulullah SAW semuanya masing-masing berharap agar diserahi bendera itu.
Tetapi beliau bersabda “Di mana Ali bin Abi Thalib?” Mereka menjawab:
“Wahai Rasulullah, dia sedang menderita sakit mata.” Beliau s.a.w.
bersabda: “Pergilah kalian kepadanya dan bawalah ia ke sini.” Maka
dibawalah Ali kepada Beliau, lalu Rasulullah s.a.w. mengusapkan air
ludah pada kedua matanya dan men-doa-kannya. Kemudian ia pun sembuh,
sehingga seolah-olah ia tidak pernah menderita sakit seperti itu. Lalu
Beliau SAW menyerahkan ben-dera itu kepadanya. Ali berkata “Wahai
Rasulullah, apakah saya harus memerangi mereka sampai mereka menjadi
seperti kita?” Beliau bersabda “Bersikap tenanglah sampai engkau tiba di
depan mereka, kemudian serulah mereka agar masuk ke dalam Islam dan
jelaskan kepada mereka akan kewajiban-kewajiban atas mereka yang
berkaitan dengan hak-hak Allah. Demi Allah, sekiranya Allah berkenan
mengaruniakan petunjuk [hidayah] kepada seseorang melalui dirimu, maka
itu akan lebih baik bagimu daripada unta-unta merah” [Shahih Muslim 4/1872 no 2406].
Perhatikanlah baik-baik hadis di atas, terutama pada bagian “Maka
semalam suntuk para sahabat membicarakan kepada siapakah kiranya
bendera itu akan diserahkan.”[Sahl] berkata “Ketika tiba besok harinya,
para sahabat berangkat dini menghadap Rasulullah shallallahu ’alaihi
wasallam, semuanya masing-masing berharap agar diserahi bendera itu”.
Lafaz ini menunjukkan bahwa semua sahabat saat itu mengharapkan
mendapat keutamaan yang tinggi yaitu penetapan dari Allah dan Rasulnya
sebagai ”Orang yang mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya dan dicintai oleh Allah SWT dan Rasul-Nya”.
Dan tidak ada pula yang akan menyangkal kalau Abu Bakar dan Umar
termasuk sahabat yang ikut dalam perang Khaibar, sehingga tentu saja
merekapun berharap mendapatkan keutamaan tersebut dan memang
diriwayatkan bahwa Umar bin Khaththab RA sangat mengharapkan
keutamaan ini sehingga ia datang lebih dahulu dari Imam Ali agar
Rasulullah SAW memberikan bendera itu kepadanya [Shahih Muslim
4/1871 no 2405] tetapi Rasulullah SAW justru memberikan keutamaan
tersebut kepada orang yang saat itu sedang menderita uzur atau sedang
sakit yaitu Imam Ali bin Abi Thalib. Bagi kami hadis ini lebih tepat menunjukkan keutamaan Imam Ali di atas semua sahabat yang lain termasuk Abu Bakar dan Umar.
Akhir kata kami ingin membahas sedikit
sikap sinisme sebagian pengikut salafy terhadap kitab-kitab yang tidak
mu’tabar menurut mereka. Maka ketahuilah wahai yang mengaku salafy, para
ulama yang mu’tabar seperti Ibnu Hajar dan yang lainnya bahkan Syaikh
Al Albani yang sangat kalian puji juga sering mengandalkan kitab-kitab
yang menurut kalian tidak mu’tabar. Tidak jarang Ibnu Hajar berhujjah
dengan kitab Ansab Al Asyraf Al Baladzuri dalam kitabnya Al Ishabah, silakan buka dan baca baik-baik maka kalian akan temukan Ibnu Hajar pernah berkata ”dan diriwayatkan oleh Al Baladzuri dengan sanad yang la ba’sa bihi”
[Al Ishabah 2/98 no 1767]. Jadi tidak ada alasannya bagi salafy menolak
hadis shahih walaupun itu terdapat dalam kitab yang menurut orang awam
mereka ”tidak mu’tabar”. (Source)
Sekarang kita perhatikan disini diantara abu bakar Abu
Bakr Dan Umar Bukanlah Kafir Sebagaimana Yg Termaktub Dlm Kitab-Kitab
Syiah.Benarkah Demikian syiah menganggapnya kafir? Lalu Dimana letak
kesalahan Abu bakar yang merasa dirinya sahabat Utama. Mari kita lihat
Kesalahan Abu Bakar. dan Umar Kesalahan Umar bin Khathab saya tidak melaknatnya tetapi saya mengkritik tindakan abu bakar dan umar terhadap perbuatannya, urusan melaknat hanya Allah kelak dihari perhitungannya. silahkan renungkan??????
(Hauzah-Maya/Scondprince/Syiah-Ali/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
(Hauzah-Maya/Scondprince/Syiah-Ali/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email