Pesan Rahbar

Home » » Ibnu Sirin Tidak Menganggap Abu Bakar dan Umar Sebagai Manusia Yang Paling Utama, Ini Penjelasannya !!

Ibnu Sirin Tidak Menganggap Abu Bakar dan Umar Sebagai Manusia Yang Paling Utama, Ini Penjelasannya !!

Written By Unknown on Monday, 21 July 2014 | 19:06:00


Diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Ibnu Sirin mengakui kalau Abu Bakar dan Umar tidak lebih utama dari Imam Mahdi. Bahkan diriwayatkan ia dengan jelas mengatakan kalau Al Mahdi lebih baik atau utama dari Abu Bakar dan Umar.

حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ عَوْفٍ عَنْ مُحَمَّدٍ قَالَ يَكُونُ فِي هَذِهِ الأُمَّةِ خَلِيفَةٌ لاَ يُفَضَّلُ عَلَيْهِ أَبُو بَكْرٍ وَلاَ عُمَرُ

Telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari ‘Auf dari Muhammad yang berkata “[Al Mahdi] adalah Khalifah bagi umat ini, Abu Bakar tidak lebih utama darinya dan tidak pula Umar” [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 15/198 no 38805].

Atsar ini shahih. Para perawinya adalah perawi kutubus sittah jadi atsar ini shahih sesuai syarat Bukhari Muslim. Abu Usamah disebutkan Ibnu Hajar dalam mudallis martabat kedua yaitu mudallis yang ‘an anahnya dijadikan hujjah dalam kitab shahih.
  • Abu Usamah adalah Hammad bin Usamah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad, Ibnu Ma’in, Al Ijli dan Ibnu Hibban menyatakan tsiqat. Ibnu Qani’ berkata “shalih al hadits” [At Tahdzib juz 3 no 1]. Daruquthni berkata “hafizh yang tsiqat” [Al Ilal 5/44]. Adz Dzahabi berkata “hujjah alim akhbari” [Al Kasyf no 1212]. Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqat ma’mun dan melakukan tadlis [Thabaqat Ibnu Sa’ad 6/395]. Atas dasar perkataan Ibnu Sa’ad inilah maka Ibnu Hajar memasukkannya sebagai mudallis martabat kedua [Thabaqat Al Mudallisin no 44] dimana menurut Ibnu Hajar mudallis martabat kedua telah dijadikan hujjah ‘an anahnya dalam kitab shahih.
  • ‘Auf bin Abi Jamilah adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Ahmad, Ibnu Ma’in, Ibnu Sa’ad dan Ibnu Hibban menyatakan tsiqat. Nasa’i berkata “tsiqat tsabit”. Abu Hatim, Marwan bin Mu’awiyah dan Muhammad bin Abdullah Al Anshari berkata “shaduq” [At Tahdzib juz 8 no 302]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 1/759]
  • Muhammad bin Sirin Al Anshari adalah tabiin perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad, Ibnu Ma’in dan Al Ijli berkata “tsiqat”. Ibnu Sa’ad berkata “seorang yang tsiqat ma’mun, tinggi kedudukannya, seorang faqih, Imam yang wara’ dan memiliki banyak ilmu” [At Tahdzib juz 9 no 338]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit” [At Taqrib 2/85]
Ibnu Sirin seorang tabiin yang tsiqat mengakui keutamaan Al Mahdi dimana Abu Bakar dan Umar tidak lebih utama darinya. Selain riwayat di atas terdapat riwayat penguat lain yang diriwayatkan Nu’aim bin Hammad dalam kitab Al Fitan hal 221. Ia membawakan atsar ini dengan sanad dari Dhamrah bin Rabi’ah dari Abdullah bin Syawdzab dari Ibnu Sirin dengan matan “Al Mahdi lebih baik dari Abu Bakar dan Umar”. Dhamrah bin Rabi’ah seorang yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Ahmad, Nasa’i, Ibnu Sa’ad, Ibnu Hibban dan Al Ijli menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 4 no 804]. Abdullah bin Syawdzab seorang yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Ibnu Ammar, Nasa’i, Ahmad, Ibnu Hibban, Ibnu Khalfun, Ibnu Numair, Al Ijli berkata “tsiqat” [At Tahdzib juz 5 no 448]. Apakah mengakui kalau ada yang lebih utama dari Abu Bakar dan Umar dikatakan rafidhah?. Jika iya maka Ibnu Sirin jelas bisa dikatakan rafidhah, mengagumkan betapa tabiin imam yang tsiqat tsabit mau dikatakan rafidhah. Kesimpulan pembahasan ini adalah Ibnu Sirin tidak Menganggap Abu Bakar dan Umar sebagai manusia yang paling utama karena Ibnu Sirin dengan jelas menyebutkan mereka tidak lebih utama dari Al Mahdi AS.
Penjelasannya: 
Kepalsuan hadits tentang Abu Bakar dan Umar.
1.  Kepalsuan hadits tentang Abu Bakar.

Saat itu majelis dihadiri oleh ulama Ahlu Sunah, dan Ma’mun (khalifah ketujuh Bani Abbas) duduk paling depan. Banyak dialog terjadi di majelis itu, yang salah satunya:
Salah seorang dari ulama Ahlu Sunah berkata, “Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda tentang Abu Bakar dan Umar:
“Abu Bakar dan Umar adalah pimpinan orang-orang tua di surga.”
Lalu Ma’mun berkata, “Hadits itu aneh, bukannya di surga tidak ada orang-orang tua? Karena pernah diriwayatkan bahwa saat seorang wanita tua menemui nabi, Rasulullah saw berkata:
“Wanita tua tidak akan berada di surga.”
Mendengar ucapan nabi wanita itu menangis. Kemudian Rasulullah saw berkata: “Allah swt berfirman:
“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS Al Waqi’ah: 35-37).
Jika menurut kalian Abu Bakar dan Umar akan menjadi muda lalu masuk surga, maka bagi para pemuda sudah ada pemimpin yang dijelaskan nabi; beliau bersabda:
“Sesungguhnya Hasan dan Husain adalah pemimpin pemuda surga dari awal sampai akhir.”[1]

Referensi:

[1] Biharul Anwar, jilid 49, halaman 193.


2. Keutamaan Imam Ali as Atas Abu Bakar dan Umar. 

Pada suatu hari, Abu Hanifah sedang mengajar murid-muridnya di masjid Kufah.  Salah satu murid Imam Ja’far Shadiq as yang bernama Fadhal bin Hasan ada di situ bersama beberapa orang dari kawan-kawannya. Fadhal berkata kepada kawannya, “Aku tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum aku ajak Abu Hanifah untuk mengikuti ajaran Imam Shadiq as.” Akhirnya mereka pun ikut duduk bersama murid-murid Abu Hanfah dan akhirnya terjadi dialog antara Abu Hanifah dengan murid-murid Imam Shadiq as itu:
Fadhal: “Hai Abu Hanifah, aku punya saudara yang lebih tua dariku, namun ia Syiah. Setiap kali aku membawakan bukti-bukti keutamaan Abu Bakar dan Umar atas Ali supaya ia mau menjadi Suni, ia selalu menolaknya. Sekarang aku ingin minta tolong kepadamu untuk kau sebutkan bukti-bukti keutamaan Abu Bakar dan Umar atas Ali lalu akan kusampaikan kepada saudaraku agar dia puas dengan dalil-dalilku.”.

Abu Hanifah: “Tanyakan kepada saudaramu, bagaimana engkau mendahulukan Ali atas Abu Bakar dan Umar padahal: dalam peperangan-peperangan, Abu Bakar dan Umar selalu duduk di samping nabi, dan nabi selalu mengirim Ali untuk maju berperang. Ini adalah bukti bahwa nabi lebih mencintai nyawa Abu Bakar dan Umar.”.

Fadhal: “Kebetulan aku telah menceritakan hal itu kepada saudaraku. Namun ia menjawab: Berdasarkan Al Qur’an, Ali lebih mulia dari selainnya karena selalu yang terdepan dalam medan perang. Allah swt berfirman:
“Allah memuliakan orang-orang yang berperang daripada orang-orang yang duduk dan melebihkan pahala yang banyak untuk mereka.” (An Nisa’: 97).

Abu Hanifah: “Tanyakan pada saudaramu bagaimana ia mendahulukan Ali padahal Abu Bakar dan Umar dikuburkan di samping kuburan nabi. Adapun kuburan Ali, ia dikuburkan sangat jauh dari nabi.”.

Fadhal: “Aku juga pernah bilang begitu, namun ia berkata: Allah swt berfirman dalam kitab suci-Nya:
“Janganlah kalian memasuki rumah nabi kecuali kalian diberi ijin masuk.” (Al Ahzab: 53)
Nabi Muhammad saw dikuburkan di rumah miliknya sendiri. Jelas beliau sudah meninggal dan tidak pernah memberikan ijin Abu Bakar dan Umar untuk masuk ke rumahnya apa lagi dikuburkan di dalam rumahnya. Anak-anak dan keturunan/ahli waris beliau pun tidak mengijinkan mereka masuk.
Demikian kata saudaraku.”.

Abu Hanifah: “Katakan kepada saudaramu bahwa saat Aisyah dan Hafshah meminta mahar dari nabi, sebagai gantinya mereka mendapatkan tanah dari beliau lalu mereka memberikannya kepada orang tua mereka (Abu Bakar dan Umar).”.

Fadhal: “Itu pun pernah aku katakan, namun ia menjawab: Bukankah kamu pernah membaca ayat yang berbunyi:
“Wahai nabi, sesungguhnya kami menghalalkan istri-istrimu atasmu yang mana telah kau berikan maharnya kepada mereka.” (QS Al Ahzab: 49).

Artinya nabi sudah memberikan mahar kepada mereka saat beliau masih hidup.
Demikian katanya.”.

Abu Hanifah: “Katakan pada saudaramu, Aisyah dan Hafshah adalah istri nabi, dan mereka mewarisi tanah dari nabi. Lalu mereka memberikan jatah tanah itu kepada ayah mereka agar dikuburkan di tanah itu.”.

Fadhal: “Aku juga sudah mengatakan itu dan ia berkata:
Bukannya kalian, orang-orang Ahlu Sunah, berkeyakinan bahwa nabi tidak mewarisi apapun? Dan atas dasar keyakinan itu kalian merampas tanah Fadak yang diwariskan nabi kepada Fathimah Azzahra? Lalu kenapa kalian berkata Aisyah dan Hafshah mewarisi tanah dari nabi?

Anggap saja memang benar nabi meninggalkan warisan. Nabi pernah punya sembilan istri.[1] Jadi mereka semua berhak mendapatkan warisan, yang berupa seperdelapan dari tanah tersebut. Lalu jika seperdelapan tanah itu dibagi untuk sembilan orang, setiap orang mendapat satu jengkal tanah saja, bukan selebar tanah yang digunakan untuk kuburan Abu Bakar dan Umar!

Begitu jawab saudaraku.”
Abu Hanifah Hanifah akhirnya faham kalau penanya itu Syiah. Lalu ia berkata, “Keluarkan mereka karena mereka adalah rafidhi dan tidak ada saudara bagi mereka!”[2]

Referensi:

[1] Aisyah, Hafshah, Ummu Salamah, Ummu Habibah, Zainab, Maimunah, Shafiyah, Juwairiyah, Saudah.
[2] Khazain Naraqi, halaman 109; Ihtijaj Thabrasi, jilid 2, halaman 317.


Apakah Ali dan Zubair Mengakui Abu Bakar Berhak Menjadi Khalifah?

Ada riwayat yang sering dinukil oleh para nashibi untuk membuktikan klaim mereka bahwa Imam Ali mengakui Abu Bakar berhak sebagai khalifah. Riwayat tersebut dinukil oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya Al Bidayah Wan Nihayah dimana ia sendiri menukil dari Musa bin Uqbah dalam kitab Maghazi-nya. Kami akan meneliti riwayat tersebut dan membuktikan bahwa riwayat tersebut tidaklah tsabit.

وقال موسى بن عقبة في مغازيه عن سعد بن إبراهيم حدثني أبي أن أباه عبد الرحمن بن عوف كان مع عمر وأن محمد بن مسلمة كسر سيف الزبير ثم خطب أبو بكر واعتذر إلى الناس وقال والله ما كنت حريصا على الإمارة يوما ولا ليلة ولا سألتها الله في سر ولا علانية فقبل المهاجرون مقالته وقال علي والزبير ما غضبنا إلا لأننا أخرنا عن المشورة وإنا نرى أبا بكر أحق الناس بها بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم إنه لصاحب الغار وإنا لنعرف شرفه وخيره ولقد أمره رسول الله صلى الله عليه وسلم بالصلاة بالناس وهو حي

Dan berkata Musa bin Uqbah dalam Maghazi-nya dari Sa’d bin Ibrahiim yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku bahwa ayahnya Abdurrahman bin ‘Auf bersama Umar, dan bahwa Muhammad bin Maslamah mematahkan pedang Zubair kemudian Abu Bakar berkhutbah, memohon maaf kepada orang orang dan berkata “demi Allah sesungguhnya aku tidak pernah berambisi atas kepemimpinan ini baik siang maupun malam, dan aku tidak pernah meminta hal tersebut kepada Allah baik sembunyi maupun terang terangan”. Maka kaum Muhajirin menerima perkataannya. Ali dan Zubair berkata “kami tidak marah kecuali karena kami tidak diikutkan dalam musyawarah ini dan kami berpandangan bahwa Abu Bakar adalah orang yang paling berhak atasnya sepeninggal Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Dialah orang yang menemani Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] di dalam gua, kami telah mengenal kemuliaan dan kebaikannya. Dialah yang diperintahkan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memimpin shalat manusia ketika Beliau masih hidup [Al Bidayah Wan Nihayah Ibnu Katsir 9/471].

Riwayat ini [jika memang tsabit dari Musa bin Uqbah] diriwayatkan oleh para perawi tsiqat tetapi mengandung illat [cacat]. Riwayat ini sanadnya berhenti pada Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf dimana ia menceritakan kisah pembaiatan kepada Abu Bakar bahwa ayahnya ikut bersama rombongan Umar bin Khaththab yang mematahkan pedang Zubair kemudian ia juga menceritakan khutbah Abu Bakar dan pengakuan Ali dan Zubair bahwa Abu Bakar berhak atas khilafah. Peristiwa itu terjadi pada tahun 11 H yaitu saat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat.

Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf wafat pada tahun 96 H [Al Kasyf no 165]. Jadi ada jeda sekitar 85 tahun antara peristiwa tersebut dan wafatnya Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin Auf. Diperselisihkan kapan ia lahir. Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat menyatakan ia wafat di madinah tahun 96 H dalam usia 75 tahun [Ats Tsiqat juz 4 no 1594]. Menurut keterangan Ibnu Hibban maka ia lahir sekitar tahun 21 H dan itu berarti sangat jelas riwayat tersebut inqitha’ [sanadnya terputus].

Ibnu Hajar menyebutkan kalau ia sebenarnya lahir pada masa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. [At Tahdzib juz 1 no 248]. Pernyataan ini patut diberikan catatan. Ibu dari Ibrahim bin ‘Abdurrahman adalah Ummu Kultsum binti Uqbah dan ayahnya adalah ‘Abdurrahman bin Auf. Ummu Kultsum binti Uqbah awalnya menikah dengan Zaid bin Haritsah kemudian ketika Zaid terbunuh [pada perang mu’tah tahun 8 H] ia menikah dengan Zubair sehingga melahirkan Zainab kemudian bercerai dan baru menikah dengan ‘Abdurrahman bin ‘Auf. [Al Ishabah 8/291 no 12227 biografi Ummu Kultsum]. Jika ia menikah dengan Zubair pada tahun 8 H maka mungkin ia melahirkan Zainab pada tahun 9 H. Itu berarti Ummu Kultsum menikah dengan ‘Abdurrahman bin ‘Auf pada tahun 9 H. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat pada tahun 11 H. Seandainya dikatakan Ibrahim bin ‘Abdurrahman lahir dimasa hidup Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka ia lahir pada tahun 10 H atau 11 H.

Jadi saat peristiwa tersebut terjadi yaitu Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat, Abu Bakar dibaiat kemudian berkhutbah, Ali dan Zubair mengakui khalifah Abu Bakar, Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf berusia lebih kurang satu tahun maka riwayat ini sanadnya inqitha’ [terputus]. Ibrahim tidak menyaksikan peristiwa tersebut dan ia meriwayatkannya melalui perantara yang tidak ia sebutkan. Kesimpulannya riwayat Musa bin Uqbah itu dhaif karena sanadnya terputus.

Selain itu terdapat illat [cacat] lain dari riwayat Musa bin Uqbah tersebut, sanadnya tidaklah tsabit sampai Musa bin Uqbah. Riwayat ini disebutkan dalam kitab Al Ahadits Al Muntakhab Min Maghazi Musa bin Uqbah Ibnu Qaadhiy Asy Syuhbah hal 94 no 19. Berikut ringkasan sanad penulis kitab ini sampai Musa bin Uqbah

قنا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَحْمَدَ بْنِ عَتَّابٍ الْعَبْدِيُّ ، ثنا أَبُو مُحَمَّدٍ الْقَاسِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُغِيرَةِ ، ثنا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي أُوَيْسٍ ، ثنا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عُقْبَةَ ، عَنْ عَمِّهِ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ ، صَاحِبِ الْمَغَازِي

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Muhammad bin ‘Abdullah bin Ahmad bin ‘Attaab Al ‘Abdiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad Al Qaasim bin ‘Abdullah bin Mughiirah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ismail bin Abi Uwais yang berkata telah menceritakan kepada kami Ismaiil bin Ibrahim bin Uqbah dari pamannya Musa bin Uqbah penulis Maghaaziy.

Sanad ini dhaif karena Ismail bin Abi Uwais. Ia adalah perawi Bukhari Muslim yang dikenal dhaif. Ahmad bin Hanbal berkata “tidak ada masalah padanya” [Akwal Ahmad no 166]. Nasa’i berkata “dhaif” [Adh Dhu’afa An Nasa’i no 42]. Daruquthni menyatakan ia dhaif [Akwal Daruquthni fii Rijal no 544]. Abu Hatim berkata “tempat kejujuran dan ia pelupa” [Al Jarh Wat Ta’dil 2/180 no 613]. Terdapat perselisihan soal pendapat Ibnu Ma’in.
  • Ad Darimi meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa tidak ada masalah padanya [Al Kamil Ibnu Adiy 1/323].
  • Ibnu Abi Khaitsamah meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa ia shaduq tetapi lemah akalnya [Al Jarh Wat Ta’dil 2/180 no 613].
  • Muawiyah bin Shalih meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa Ismail bin Abi Uwais dhaif [Adh Dhu’afa Al Uqaili 1/87 no 100].
  • Ibnu Junaid meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa Ismail bin Abi Uwais kacau [hafalannya], berdusta dan tidak ada apa apanya [Su’alat Ibnu Junaid no 162].
  • Abu Abbas Ahmad bin Muhammad bin Qaasim meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa ia dhaif, orang yang paling dhaif, tidak halal seorang muslim meriwayatkan darinya [Ma’rifat Ar Rijal Yahya bin Ma’in no 121].
Pendapat yang rajih, Ibnu Ma’in pada awalnya menganggap ia tidak ada masalah tetapi selanjutnya terbukti bahwa ia lemah akalnya, kacau hafalannya dan berdusta maka Ibnu Ma’in menyatakan ia dhaif dan tidak boleh meriwayatkan darinya.

Ibnu Adiy berkata “ini hadis mungkar dari Malik, tidak dikenal kecuali dari hadis Ibnu Abi Uwais, Ibnu Abi Uwais ini meriwayatkan dari Malik hadis-hadis yang ia tidak memiliki mutaba’ah atasnya dan dari Sulaiman bin Bilal dari selain mereka berdua dari syaikh syaikh-nya [Al Kamil Ibnu Adiy 1/324]. Ibnu Jauzi memasukkannya dalam Adh Dhu’afa [Adh Dhu’afa Ibnu Jauzi no 395]. Ibnu Hazm berkata “dhaif” [Al Muhalla 8/7]. Salamah bin Syabib berkata aku mendengar Ismail bin Abi Uwais mengatakan mungkin aku membuat-buat hadis untuk penduduk Madinah jika terjadi perselisihan tentang sesuatu diantara mereka [Su’alat Abu Bakar Al Barqaniy hal 46-47 no 9].

Ibnu Hajar dalam At Taqrib berkata “shaduq tetapi sering salah dalam hadis dari hafalannya” kemudian dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib bahwa ia seorang yang dhaif tetapi dapat dijadikan I’tibar [Tahrir At Taqrib no 460]. Ibnu Hajar dalam Al Fath menyatakan bahwa ia tidak bisa dijadikan hujjah hadisnya kecuali yang terdapat dalam kitab shahih karena celaan dari Nasa’i dan yang lainnya [Muqaddimah Fath Al Bari hal 391]

Riwayat ini juga diriwayatkan dengan sanad lain hingga Musa bin Uqbah sebagaimana disebutkan oleh Al Hakim dalam Mustadrak Ash Shahihain juz 3 no 4422 dan Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 8/152 no 16364 dan Al I’tiqaad hal 350. Riwayat Baihaqi berasal dari gurunya Al Hakim jadi sanadnya kembali kepada Al Hakim, berikut sanad riwayat tersebut dalam kitab Al Mustadrak Al Hakim

حدثنا محمد بن صالح بن هانئ ثنا الفضل بن محمد البيهقي ثنا إبراهيم بن المنذر الحزامي ثنا محمد بن فليح عن موسى بن عقبة عن سعد بن إبراهيم قال حدثني إبراهيم بن عبد الرحمن بن عوف

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Shalih bin Haani’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Al Fadhl bin Muhammad Al Baihaqiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Mundzir Al Hizaamiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fulaih dari Musa bin Uqbah dari Sa’d bin Ibrahiim yang berkata telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf [Mustadrak Ash Shahihain juz 3 no 4422].

Sanad ini mengandung illat [cacat] yaitu dua orang perawinya diperbincangkan yaitu Fadhl bin Muhammad Al Baihaqiy dan Muhammad bin Fulaih bin Sulaiman.
  • Fadhl bin Muhammad Al Baihaqiy, Ibnu Abi Hatim berkata “ia dibicarakan” [Al Jarh Wat Ta’dil 7/396 no 393]. Al Hakim menyatakan ia tsiqat. Abu Ali Al Hafizh mendustakannya. Abu ‘Abdullah Al Akhram berkata shaduq hanya saja berlebihan dalam bertasyayyu’ [Lisan Al Mizan juz 4 no 1368]. Adz Dzahabi memasukkannya dalam Mughni Adh Dhu’afa 2/513 no 4939].
  • Muhammad bin Fulaih bin Sulaiman, Ibnu Main menyatakan ia tidak tsiqat. Abu Hatim berkata “tidak mengapa dengannya tidak kuat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Daruquthni berkata “tsiqat” [At Tahdzib juz 9 no 661]. Al Uqaili memasukkannya dalam Adh Dhu’afa dan berkata “tidak diikuti hadisnya” [Adh Dhu’afa Al Uqaili 4/124 no 1682]. Ibnu Jauzi memasukkannya dalam Adh Dhu’afa [Adh Dhu’afa Ibnu Jauzi no 3159]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq sering salah dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib bahwa Muhammad bin Fulaih dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar [Tahrir At Taqrib no 6228].
Riwayat Muhammad bin Fulaih dari Musa bin Uqbah juga disebutkan oleh Abdullah bin Ahmad tetapi dengan matan yang tidak memuat khutbah Abu Bakar dan perkataan Ali dan Zubair.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ مُحَمَّدٍ الْمَخْزُومِيُّ الْمُسَيَّبِيُّ نا مُحَمَّدُ بْنُ فُلَيْحِ بْنِ سُلَيْمَانَ عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ وَغَضِبَ رِجَالٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ فِي بَيْعَةِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، مِنْهُمْ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ  وَالزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، فَدَخَلا بَيْتَ فَاطِمَةَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهُمَا السِّلاحُ فَجَاءَهُمَا عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي عِصَابَةٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فِيهِمْ أُسَيْدُ وَسَلَمَةُ بْنُ سَلامَةَ بْنِ وَقْشٍ وَهُمَا مِنْ بَنِي عَبْدِ الأَشْهَلِ وَيُقَالُ فِيهِمْ ثَابِتُ بْنُ قَيْسِ بْنِ الشَّمَّاسِ أَخُو بَنِي الْحَارِثِ بْنِ الْخَزْرَجِ فَأَخَذَ أَحَدُهُمْ سَيْفَ الزُّبَيْرِ فَضَرَبَ بِهِ الْحَجَرَ حَتَّى كَسَرَهُ  قَالَ مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ : قَالَ سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ : حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ كَانَ مَعَ عُمَرَ يَوْمَئِذٍ وَأَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ مَسْلَمَةَ كَسَرَ سَيْفَ الزُّبَيْرِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq bin Muhammad Al Makhzuumiy Al Musayyabiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fulaih bin Sulaiman dari Musa bin Uqbah dari Ibnu Syihaab yang berkata sekelompok orang dari Muhajirin marah atas dibaiatnya Abu Bakar, diantara mereka ada Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin ‘Awwaam radiallahu ‘anhuma, maka masuklah mereka ke rumah Fathimah binti Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan bersama mereka ada senjata. Umar datang kepada mereka dengan sekelompok kaum muslimin diantaranya Usaid dan Salamah bin Salamah bin Waqsy keduanya dari bani ‘Abdul Asyhal, dikatakan juga diantara mereka ada Tsaabit bin Qais bin Asy Syammaas saudara bani Haarits bin Khazraaj. Maka salah satu dari mereka mengambil pedang Zubair dan memukulkannya ke batu hingga patah. Musa bin Uqbah berkata Sa’d bin Ibrahim berkata telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf bahwa Abdurrahman bersama Umar pada hari itu dan Muhammad bin Maslamah yang mematahkan pedang Zubair, wallahu a’lam [As Sunnah Abdullah bin Ahmad 2/553-554 no 1291].

Muhammad bin Ishaq bin Muhammad Al Makhzuumiy adalah seorang tsiqat. Shalih bin Muhammad berkata aku mendengar Mushab bin Zubair berkata “tidak ada diantara orang quraisy yang lebih utama dari Al Musayyabiy” dan Shalih berkata “ia tsiqat”. Ibnu Qaani’ dan Ibrahin bin Ishaq Ash Shawwaaf menyatakan tsiqat. [At Tahdzib juz 9 no 49]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 2/54]. Adz Dzahabiy berkata “tsiqat faqih shalih” [Al Kasyf no 4716]. Maka ada dua riwayat:
  1. Riwayat Abdullah bin Ahmad dari Muhammad bin Ishaq Al Makhzuumiy dari Muhammad bin Fulaih [lebih tsabit].
  2. Riwayat Fadhl bin Muhammad Al Baihaqiy dari Ibrahim bin Mundzir dari Muhammad bin Fulaih.
Riwayat Abdullah bin Ahmad lebih tsabit dari riwayat Fadhl bin Muhammad. Hal ini karena Fadhl bin Muhammad seorang yang diperbincangkan dan matan riwayat Muhammad bin Fulaih yang ia sebutkan soal khutbah Abu Bakar adalah matan riwayat Ismail bin Abi Uwais dari Ismail bin Ibrahim dari Musa bin Uqbah.
Fadhl bin Muhammad memang dikenal meriwayatkan dari Ismail bin Abi Uwais sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim [Al Jarh Wat Ta’dil 7/69 no 393]. Jadi nampak disini Fadhl bin Muhammad mencampuradukkan riwayat Muhammad bin Fulaih dengan riwayat Ismail bin Abi Uwais. Riwayat Muhammad bin Fulaih yang tsabit berasal darinya adalah:

أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ كَانَ مَعَ عُمَرَ يَوْمَئِذٍ وَأَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ مَسْلَمَةَ كَسَرَ سَيْفَ الزُّبَيْرِ

Bahwa ‘Abdurrahman bersama Umar pada hari itu dan Muhammad bin Maslamah mematahkan pedang Zubair.

Sedangkan matan yang menyebutkan khutbah Abu Bakar dan pengakuan Ali dan Zubair bahwa Abu Bakar lebih berhak sebagai khalifah adalah matan riwayat Ismail bin Abi Uwais dari Ismail bin Ibrahim dari Musa bin Uqbah. Kesimpulannya riwayat Musa bin Uqbah yang menyebutkan soal pengakuan Ali dan Zubair kedudukannya dhaif dan tidak tsabit sampai ke Musa bin Uqbah karena diriwayatkan oleh Ismail bin Abi Uwais seorang yang dhaif.


Kapan Imam Ali Membaiat Abu Bakar? : Membantah Para Nashibi
Cukup banyak situs nashibi [yang ngaku-ngaku salafy] menyebarkan syubhat bahwa Imam Ali membaiat Abu Bakar pada awal-awal ia dibaiat. Mereka mengutip riwayat dhaif dan melemparkan riwayat shahih. Mereka mengutip dari riwayat [yang tidak mu’tabar menurut sebagian mereka] dan melemparkan riwayat mu’tabar dan shahih di sisi mereka. Mengapa hal itu terjadi?. Karena kebencian mereka terhadap Syiah. Salafy nashibi itu menganggap pernyataan Imam Ali membaiat Abu Bakar setelah enam bulan sebagai “syubhat Syi’ah”. Menurut salafy nashibi yang namanya “syubhat Syi’ah” pasti dusta jadi harus dibantah meskipun dengan dalih mengais-ngais riwayat dhaif.

Kami akan berusaha membahas masalah ini dengan objektif dan akan kami tunjukkan bahwa kabar yang shahih dan tsabit adalah Imam Ali membaiat Abu Bakar setelah enam bulan yaitu setelah wafatnya Sayyidah Fathimah [‘Alaihis Salam] dan ini tidak ada kaitannya dengan Syiah dan riwayat di sisi mereka. Riwayat yang menyatakan Imam Ali membaiat Abu Bakar setelah enam bulan adalah riwayat shahih dan tsabit dari kitab yang mu’tabar di sisi para ulama yaitu Shahih Bukhari. Tidak ada keraguan akan keshahihan riwayat ini:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَام بِنْتَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَتْ إِلَى أَبِي بَكْرٍ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ بِالْمَدِينَةِ وَفَدَكٍ وَمَا بَقِيَ مِنْ خُمُسِ خَيْبَرَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْمَالِ وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ مِنْهَا شَيْئًا فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ فَهَجَرَتْهُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ وَعَاشَتْ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ دَفَنَهَا زَوْجُهَا عَلِيٌّ لَيْلًا وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ وَصَلَّى عَلَيْهَا وَكَانَ لِعَلِيٍّ مِنْ النَّاسِ وَجْهٌ حَيَاةَ فَاطِمَةَ فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ اسْتَنْكَرَ عَلِيٌّ وُجُوهَ النَّاسِ فَالْتَمَسَ مُصَالَحَةَ أَبِي بَكْرٍ وَمُبَايَعَتَهُ وَلَمْ يَكُنْ يُبَايِعُ تِلْكَ الْأَشْهُرَ فَأَرْسَلَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ أَنْ ائْتِنَا وَلَا يَأْتِنَا أَحَدٌ مَعَكَ كَرَاهِيَةً لِمَحْضَرِ عُمَرَ فَقَالَ عُمَرُ لَا وَاللَّهِ لَا تَدْخُلُ عَلَيْهِمْ وَحْدَكَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ وَمَا عَسَيْتَهُمْ أَنْ يَفْعَلُوا بِي وَاللَّهِ لآتِيَنَّهُمْ فَدَخَلَ عَلَيْهِمْ أَبُو بَكْرٍ فَتَشَهَّدَ عَلِيٌّ فَقَالَ إِنَّا قَدْ عَرَفْنَا فَضْلَكَ وَمَا أَعْطَاكَ اللَّهُ وَلَمْ نَنْفَسْ عَلَيْكَ خَيْرًا سَاقَهُ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَكِنَّكَ اسْتَبْدَدْتَ عَلَيْنَا بِالْأَمْرِ وَكُنَّا نَرَى لِقَرَابَتِنَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَصِيبًا حَتَّى فَاضَتْ عَيْنَا أَبِي بَكْرٍ فَلَمَّا تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَرَابَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَصِلَ مِنْ قَرَابَتِي وَأَمَّا الَّذِي شَجَرَ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ مِنْ هَذِهِ الْأَمْوَالِ فَلَمْ آلُ فِيهَا عَنْ الْخَيْرِ وَلَمْ أَتْرُكْ أَمْرًا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُهُ فِيهَا إِلَّا صَنَعْتُهُ فَقَالَ عَلِيٌّ لِأَبِي بَكْرٍ مَوْعِدُكَ الْعَشِيَّةَ لِلْبَيْعَةِ فَلَمَّا صَلَّى أَبُو بَكْرٍ الظُّهْرَ رَقِيَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَتَشَهَّدَ وَذَكَرَ شَأْنَ عَلِيٍّ وَتَخَلُّفَهُ عَنْ الْبَيْعَةِ وَعُذْرَهُ بِالَّذِي اعْتَذَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ اسْتَغْفَرَ وَتَشَهَّدَ عَلِيٌّ فَعَظَّمَ حَقَّ أَبِي بَكْرٍ وَحَدَّثَ أَنَّهُ لَمْ يَحْمِلْهُ عَلَى الَّذِي صَنَعَ نَفَاسَةً عَلَى أَبِي بَكْرٍ وَلَا إِنْكَارًا لِلَّذِي فَضَّلَهُ اللَّهُ بِهِ وَلَكِنَّا نَرَى لَنَا فِي هَذَا الْأَمْرِ نَصِيبًا فَاسْتَبَدَّ عَلَيْنَا فَوَجَدْنَا فِي أَنْفُسِنَا فَسُرَّ بِذَلِكَ الْمُسْلِمُونَ وَقَالُوا أَصَبْتَ وَكَانَ الْمُسْلِمُونَ إِلَى عَلِيٍّ قَرِيبًا حِينَ رَاجَعَ الْأَمْرَ الْمَعْرُوفَ

Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Bukair yang berkata telah menceritakan kepada kami Al-Laits dari ‘Uqail dari Ibnu Syihaab dari ‘Urwah dari ‘Aaisyah Bahwasannya Faathimah [‘alaihis-salaam] binti Nabi [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] mengutus utusan kepada Abu Bakr meminta warisannya dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dari harta fa’i yang Allah berikan kepada beliau di Madinah dan Fadak, serta sisa seperlima ghanimah Khaibar. Abu Bakr berkata ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda ‘Kami tidak diwarisi, segala yang kami tinggalkan hanya sebagai sedekah”. Hanya saja, keluarga Muhammad [shallallahu 'alaihi wasallam] makan dari harta ini’. Dan demi Allah, aku tidak akan merubah sedikitpun shadaqah Rasulullah [shallallaahu 'alaihi wa sallam] dari keadaannya semula sebagaimana harta itu dikelola semasa Rasulullah [shallallaahu 'alaihi wa sallam], dan akan aku kelola sebagaimana Rasulullah mengelola. Maka Abu Bakr enggan menyerahkan sedikitpun kepada Fathimah sehingga Fathimah marah kepada Abu Bakr dalam masalah ini. Fathimah akhirnya mengabaikan Abu Bakr dan tak pernah mengajaknya bicara hingga ia meninggal. Dan ia hidup enam bulan sepeninggal Nabi [shallallaahu 'alaihi wa sallam]. Ketika wafat, ia dimandikan oleh suaminya, Aliy, ketika malam hari, dan ‘Aliy tidak memberitahukan perihal meninggalnya kepada Abu Bakr. Padahal semasa Faathimah hidup, Aliy dituakan oleh masyarakat tetapi, ketika Faathimah wafat, ‘Aliy memungkiri penghormatan orang-orang kepadanya, dan ia lebih cenderung berdamai dengan Abu Bakr dan berbaiat kepadanya, meskipun ia sendiri tidak berbaiat di bulan-bulan itu. ‘Aliy kemudian mengutus seorang utusan kepada Abu Bakar yang inti pesannya  ‘Tolong datang kepada kami, dan jangan seorangpun bersamamu!’. Ucapan ‘Aliy ini karena ia tidak suka jika Umar turut hadir. Namun ‘Umar berkata ‘Tidak, demi Allah, jangan engkau temui mereka sendirian’. Abu Bakr berkata ‘Kalian tidak tahu apa yang akan mereka lakukan terhadapku. Demi Allah, aku sajalah yang menemui mereka.’ Abu Bakr lantas menemui mereka. ‘Aliy mengucapkan syahadat dan berkata ”Kami tahu keutamaanmu dan apa yang telah Allah kurniakan kepadamu. Kami tidak mendengki kebaikan yang telah Allah berikan padamu, namun engkau telah sewenang-wenang dalam memperlakukan kami. Kami berpandangan, kami lebih berhak karena kedekatan kekerabatan kami dari Rasulullah [shallallaahu 'alaihi wa sallam’]. Hingga kemudian kedua mata Abu Bakr menangis. Ketika Abu Bakr bicara, ia berkata “Demi Yang jiwaku ada di tangan-Nya, kekerabatan Rasulullah lebih aku cintai daripada aku menyambung kekerabatanku sendiri. Adapun perselisihan antara aku dan kalian dalam perkara ini, sebenarnya aku selalu berusaha berbuat kebaikan. Tidaklah kutinggalkan sebuah perkara yang kulihat Rasulullah [shallallahu 'alaihi wa sallam] melakukannya, melainkan aku melakukannya juga’. Kemudian ‘Aliy berkata kepada Abu Bakr ‘Waktu baiat kepadamu adalah nanti sore’. Ketika Abu Bakr telah shalat Dhuhur, ia naik mimbar. Ia ucapkan syahadat, lalu ia menjelaskan permasalahan ‘Aliy dan ketidakikutsertaannya dari bai’at serta alasannya. ‘Aliy kemudian beristighfar dan mengucapkan syahadat, lalu mengemukakan keagungan hak Abu Bakar, dan ia menceritakan bahwa apa yang ia lakukan tidak sampai membuatnya dengki kepada Abu Bakar. Tidak pula sampai mengingkari keutamaan yang telah Allah berikan kepada Abu Bakr. Ia berkata “Hanya saja, kami berpandangan bahwa kami lebih berhak  dalam masalah ini namun Abu Bakr telah bertindak sewenang-wenang terhadap kami sehingga kami pun merasa marah terhadapnya”. Kaum muslimin pun bergembira atas pernyataan ‘Aliy dan berkata “Engkau benar”. Sehingga kaum muslimin semakin dekat dengan ‘Aliy ketika ‘Aliy mengembalikan keadaan menjadi baik” [Shahih Bukhaari no. 4240-4241].

Hadis riwayat Bukhari ini juga disebutkan dalam Shahih Muslim 3/1380 no 1759 dan Shahih Ibnu Hibban 11/152 no 4823. Dari hadis yang panjang di atas terdapat bukti nyata kalau Imam Ali membaiat Abu Bakar setelah enam bulan yaitu setelah wafatnya Sayyidah Fathimah [‘alaihis salam]. Sisi pendalilannya adalah sebagai berikut. Pehatikan lafaz Perkataan Aisyah.

فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ اسْتَنْكَرَ عَلِيٌّ وُجُوهَ النَّاسِ فَالْتَمَسَ مُصَالَحَةَ أَبِي بَكْرٍ وَمُبَايَعَتَهُ وَلَمْ يَكُنْ يُبَايِعُ تِلْكَ الْأَشْهُرَ

Ketika [Sayyidah Fathimah] wafat ‘Aliy memungkiri penghormatan orang-orang kepadanya, dan ia lebih cenderung berdamai dengan Abu Bakr dan berbaiat kepadanya, meskipun ia sendiri tidak berbaiat di bulan-bulan itu.


Aisyah [radiallahu ‘anha] menyatakan dengan jelas bahwa baiat Imam Ali kepada Abu Bakar adalah setelah kematian Sayyidah Fathimah [‘alaihis salam] yaitu setelah enam bulan dan Imam Ali tidak pernah membaiat pada bulan-bulan sebelumnya. Jadi dari sisi ini tidak ada yang namanya istilah baiat kedua. Itulah baiat Imam Ali yang pertama dan satu-satunya.


Aisyah [radiallahu ‘anha] kemudian menyebutkan dengan jelas peristiwa yang terjadi setelah Sayyidah Fathimah wafat yaitu Imam Ali memanggil Abu Bakar kemudian memutuskan untuk memberikan baiat di hadapan kaum muslimin. Aisyah [radiallahu ‘anha] menyebutkan bahwa Abu Bakar berkhutbah di hadapan kaum muslimin, perhatikan lafaz:

فَلَمَّا صَلَّى أَبُو بَكْرٍ الظُّهْرَ رَقِيَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَتَشَهَّدَ وَذَكَرَ شَأْنَ عَلِيٍّ وَتَخَلُّفَهُ عَنْ الْبَيْعَةِ وَعُذْرَهُ بِالَّذِي اعْتَذَرَ إِلَيْهِ

Ketika Abu Bakr telah shalat Dhuhur, ia menaiki mimbar. Ia mengucapkan syahadat, lalu ia menjelaskan permasalahan ‘Aliy dan ketidakikutsertaan Ali dari bai’at serta alasannya.

Abu Bakar sendiri sebagai khalifah yang akan dibaiat menyatakan di hadapan kaum muslimin alasan Imam Ali tidak memberikan baiat kepadanya. Ini bukti nyata kalau Abu Bakar sendiri merasa dirinya tidak pernah dibaiat oleh Imam Ali. Khutbah Abu Bakar disampaikan di hadapan kaum muslimin dan tidak satupun dari mereka yang mengingkarinya. Maka dari sini dapat diketahui bahwa Abu Bakar dan kaum muslimin bersaksi bahwa Ali tidak pernah membaiat sebelumnya kepada Abu Bakar.

Kemudian mari kita lihat riwayat yang dijadikan hujjah oleh salafy nashibi bahwa Imam Ali telah memberikan baiat kepada Abu Bakar pada awal pembaiatan Abu Bakar.

حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ثنا جعفر بن محمد بن شاكر ثنا عفان بن مسلم ثنا وهيب ثنا داود بن أبي هند ثنا أبو نضرة عن أبي سعيد الخدري رضى الله تعالى عنه قال لما توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم قام خطباء الأنصار فجعل الرجل منهم يقول يا معشر المهاجرين إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا استعمل رجلا منكم قرن معه رجلا منا فنرى أن يلي هذا الأمر رجلان أحدهما منكم والآخر منا قال فتتابعت خطباء الأنصار على ذلك فقام زيد بن ثابت فقال إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان من المهاجرين وإن الإمام يكون من المهاجرين ونحن أنصاره كما كنا أنصار رسول الله صلى الله عليه وسلم فقام أبو بكر رضى الله تعالى عنه فقال جزاكم الله خيرا يا معشر الأنصار وثبت قائلكم ثم قال أما لو فعلتم غير ذلك لما صالحناكم ثم أخذ زيد بن ثابت بيد أبي بكر فقال هذا صاحبكم فبايعوه ثم انطلقوا فلما قعد أبو بكر على المنبر نظر في وجوه القوم فلم ير عليا فسأل عنه فقال ناس من الأنصار فأتوا به فقال أبو بكر بن عم رسول الله صلى الله عليه وسلم وختنه أردت أن تشق عصا المسلمين فقال لا تثريب يا خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعه ثم لم ير الزبير بن العوام فسأل عنه حتى جاؤوا به فقال بن عمة رسول الله صلى الله عليه وسلم وحواريه أردت أن تشق عصا المسلمين فقال مثل قوله لا تثريب يا خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعاه

Telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub yang berkata telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Muhammad bin Syaakir yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Affan bin Muslim yang berkata telah menceritakan kepada kami Wuhaib yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud bin Abi Hind yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Nadhrah dari Abu Sa’id Al Khudriy radiallahu ta’ala ‘anhu yang berkata “ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat maka khatib khatib di kalangan anshar berdiri kemudian datanglah salah seorang dari mereka yang berkata “wahai kaum muhajirin sungguh jika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyuruh salah seorang diantara kalian maka Beliau menyertakan salah seorang dari kami maka kami berpandangan bahwa yang memegang urusan ini adalah dua orang, salah satunya dari kalian dan salah satunya dari kami, maka khatib-khatib Anshar itu mengikutinya. Zaid bin Tsabit berdiri dan berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berasal dari kaum muhajirin maka Imam adalah dari kaum muhajirin dan kita adalah penolongnya sebagaimana kita adalah penolong Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Abu Bakar radiallahu ta’ala anhu berdiri dan berkata “semoga Allah membalas kebaikan kepada kalian wahai kaum Anshar, benarlah juru bicara kalian itu” kemudian ia berkata “jika kalian mengerjakan selain daripada itu maka kami tidak akan sepakat dengan kalian” kemudian Zaid bin Tsabit memegang tangan Abu Bakar dan berkata “ini sahabat kalian maka baiatlah ia” kemudian mereka pergi.
Ketika Abu Bakar berdiri di atas mimbar, ia melihat kepada orang-orang kemudian ia tidak melihat Ali, ia bertanya tentangnya maka ia menyuruh orang-orang dari kalangan Anshar memanggilnya, Abu Bakar berkata “wahai sepupu Rasulullah dan menantunya apakah engkau ingin memecah belah kaum muslimin?”. Ali berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]” maka ia membaiatnya. Kemudian Abu Bakar tidak melihat Zubair, ia menanyakan tentangnya dan memanggilnya kemudian berkata “wahai anak bibi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan penolongnya [hawariy] “apakah engkau ingin memecah belah kaum muslimin?”. Zubair berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah” maka ia membaiatnya. [Mustadrak Al Hakim juz 3 no 4457].

Hadis riwayat Al Hakim di atas juga diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 8/143 no 16315 dan Al I’tiqad Wal Hidayah hal 349-350 dengan jalan sanad yang sama dengan riwayat Al Hakim di atas.
Hadis semakna juga diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dalam Tarikh Ibnu Asakir 30/276-277, Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 8/143 no 16316 dan Al I’tiqad Wal Hidayah hal 350. Berikut riwayat Ibnu Asakir.

وأخبرنا أبو القاسم الشحامي أنا أبو بكر البيهقي أنا أبو الحسن علي بن محمد بن علي الحافظ الإسفراييني قال نا أبو علي الحسين بن علي الحافظ نا أبو بكر بن إسحاق بن خزيمة وإبراهيم بن أبي طالب قالا نا بندار بن بشار نا أبو هشام المخزومي نا وهيب نا داود بن أبي هند نا أبو نضرة عن أبي سعيد الخدري قال قبض النبي (صلى الله عليه وسلم) واجتمع الناس في دار سعد بن عبادة وفيهم أبو بكر وعمر قال فقام خطيب الأنصار فقال أتعلمون أن رسول الله (صلى الله عليه وسلم) كان من المهاجرين وخليفته من المهاجرين ونحن كنا أنصار رسول الله (صلى الله عليه وسلم) فنحن أنصار خليفته كما كنا أنصاره قال فقام عمر بن الخطاب فقال صدق قائلكم أما لو قلتم غير هذا لم نتابعكم وأخذ بيد أبي بكر وقال هذا صاحبكم فبايعوه وبايعه عمر وبايعه المهاجرون والأنصار قال فصعد أبو بكر المنبر فنظر في وجوه القوم فلم ير الزبير قال فدعا بالزبير فجاء فقال قلت أين ابن عمة رسول الله (صلى الله عليه وسلم) وحواريه أردت أن تشق عصا المسلمين قال لا تثريب يا خليفة رسول الله (صلى الله عليه وسلم) فقام فبايعه ثم نظر في وجوه القوم فلم ير عليا فدعا بعلي بن أبي طالب فجاء فقال قلت ابن عم رسول الله (صلى الله عليه وسلم) وختنه على ابنته أردت أن تشق عصا المسلمين قال لا تثريب يا خليفة رسول الله (صلى الله عليه وسلم) فبايعه هذا أو معنا

Telah mengabarkan kepada kami Abul Qaasim Asy Syahaamiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Al Baihaqi yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Al Al Hafizh Al Isfirayiniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ali Husain bin ‘Ali Al Hafizh yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Ishaq bin Khuzaimah dan Ibrahim bin Abi Thalib, keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Bindaar bin Basyaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Hisyaam Al Makhzuumiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Wuhaib yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud bin Abi Hind yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Nadhrah dari Abu Sa’id Al Khudriy yang berkata “Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat dan orang-orang berkumpul di rumah Sa’ad bin Ubadah dan diantara mereka ada Abu Bakar dan Umar. Pembicara [khatib] Anshar berdiri dan berkata “tahukah kalian bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dari golongan muhajirin dan penggantinya dari Muhajirin juga sedangkan kita adalah penolong Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka kita adalah penolong penggantinya sebagaimana kita menolongnya. Umar berkata “sesungguhnya pembicara kalian benar, seandainya kalian mengatakan selain itu maka kami tidak akan membaiat kalian” dan Umar memegang tangan Abu Bakar dan berkata “ini sahabat kalian maka baiatlah ia”. Umar mulai membaiatnya kemudian diikuti kaum Muhajirin dan Anshar.
Abu Bakar naik ke atas mimbar dan melihat kearah orang-orang dan ia tidak melihat Zubair maka ia memanggilnya dan Zubair datang. Abu Bakar berkata “wahai anak bibi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan penolongnya [hawariy] “apakah engkau ingin memecah belah kaum muslimin?”. Zubair berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah” maka ia membaiatnya. Kemudian Abu Bakar melihat kearah orang-orang dan ia tidak melihat Ali maka ia memanggilnya dan Ali pun datang. Abu Bakar berkata “wahai sepupu Rasulullah dan menantunya apakah engkau ingin memecah belah kaum muslimin?”. Ali berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]” maka ia membaiatnya. Inilah riwayatnya atau dengan maknanya [Tarikh Ibnu Asakir 30/276-277].

Salafy berhujjah dengan riwayat Abu Sa’id di atas dan melemparkan riwayat Aisyah dalam kitab shahih. Mereka mengatakan “bisa saja Aisyah tidak menyaksikan baiat tersebut”. Sayang sekali hujjah mereka keliru, riwayat Aisyah shahih dan tsabit sedangkan riwayat Abu Sa’id mengandung illat [cacat] yaitu pada sisi kisah “adanya pembaiatan Ali dan Zubair”.

Perhatikan kedua riwayat di atas yang kami kutip. Kami membagi riwayat tersebut dalam dua bagian. Bagian pertama yang menyebutkan pembaiatan Abu Bakar oleh kaum Anshar dan bagian kedua yang menyebutkan pembaiatan Ali dan Zubair [yang kami cetak biru]. Bagian pertama kedudukannya shahih sedangkan bagian kedua mengandung illat [cacat] yaitu inqitha’. Perawinya melakukan kesalahan dengan menggabungkan kedua bagian tersebut. Buktinya adalah sebagai berikut:

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عفان ثنا وهيب ثنا داود عن أبي نضرة عن أبي سعيد الخدري قال لما توفى رسول الله صلى الله عليه و سلم قام خطباء الأنصار فجعل منهم من يقول يا معشر المهاجرين ان رسول الله صلى الله عليه و سلم كان إذا استعمل رجلا منكم قرن معه رجلا منا فنرى أن يلي هذا الأمر رجلان أحدهما منكم والآخر منا قال فتتابعت خطباء الأنصار على ذلك قال فقام زيد بن ثابت فقال إن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان من المهاجرين وإنما الإمام يكون من المهاجرين ونحن أنصاره كما كنا أنصار رسول الله صلى الله عليه و سلم فقام أبو بكر فقال جزاكم الله خيرا من حي يا معشر الأنصار وثبت قائلكم ثم قال والله لو فعلتم غير ذلك لما صالحناكم

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Affan yang berkata telah menceritakan kepada kami Wuhaib yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud dari Abi Nadhrah dari Abi Sa’id Al Khudriy yang berkata “ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat maka khatib khatib di kalangan anshar berdiri kemudian datanglah salah seorang dari mereka yang berkata “wahai kaum muhajirin sungguh jika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menunjuk salah seorang diantara kalian maka Beliau menyertakan salah seorang dari kami maka kami berpandangan bahwa yang memegang urusan ini adalah dua orang, salah satunya dari kalian dan salah satunya dari kami, maka khatib-khatib Anshar itu mengikutinya. Zaid bin Tsabit berdiri dan berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berasal dari kaum muhajirin maka Imam adalah dari kaum muhajirin dan kita adalah penolongnya sebagaimana kita adalah penolong Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Abu Bakar radiallahu ta’ala anhu berdiri dan berkata “semoga Allah membalas kebaikan kepada kalian wahai kaum Anshar, benarlah juru bicara kalian itu” kemudian ia berkata “ demi Allah, jika kalian mengerjakan selain daripada itu maka kami tidak akan sepakat dengan kalian” [Musnad Ahmad 5/185 no 21657, Syaikh Syu’aib berkata “sanadnya shahih sesuai dengan syarat Muslim”].

Hadis riwayat Ahmad ini juga diriwayatkan dalam Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 5/114 no 4785, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 14/562 no 38195, Ahadits ‘Affan bin Muslim no 307, Tarikh Ibnu Asakir 30/278 dengan jalan sanad ‘Affan bin Muslim. ‘Affan bin Muslim memiliki mutaba’ah yitu Abu Dawud Ath Thayalisi sebagaimana disebutkan dalam Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi 1/84 no 602. Riwayat Wuhaib bin Khalid dengan jalan sanad yang tinggi hanya menyebutkan bagian pertama tanpa menyebutkan bagian kedua. Sedangkan bagian kedua adalah perkataan Abu Nadhrah.

حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ الْقَوَارِيرِيُّ ، نا عَبْدُ الأَعْلَى بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى ، نا دَاوُدُ بْنُ أَبِي هِنْدٍ ، عَنْ أَبِي نَضْرَةَ ، قَالَ : ” لَمَّا اجْتَمَعَ النَّاسُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ مَا لِي لا أَرَى عَلِيًّا ، قَالَ : فَذَهَبَ رِجَالٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَجَاءُوا بِهِ ، فَقَالَ لَهُ : يَا عَلِيُّ قُلْتَ ابْنُ عَمِّ رَسُولِ اللَّهِ وَخَتَنُ رَسُولِ اللَّهِ ؟ فَقَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : لا تَثْرِيبَ يَا خَلِيفَةَ رَسُولِ اللَّهِ ابْسُطْ يَدَكَ فَبَسَطَ يَدَهُ فَبَايَعَهُ ، ثُمَّ قَالَ أَبُو بَكْرٍ : مَا لِي لا أَرَى الزُّبَيْرَ ؟ قَالَ : فَذَهَبَ رِجَالٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَجَاءُوا بِهِ ، فَقَالَ : يَا زُبَيْرُ قُلْتَ ابْنُ عَمَّةِ رَسُولِ اللَّهِ وَحَوَارِيُّ رَسُولِ اللَّهِ ؟ قَالَ الزُّبَيْرُ : لا تَثْرِيبَ يَا خَلِيفَةَ رَسُولِ اللَّهِ ابْسُطْ يَدَكَ فَبَسَطَ يَدَهُ فَبَايَعَهُ “

Telah menceritakan kepadaku Ubaidullah bin Umar Al Qawaariiriy  yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul A’laa bin ‘Abdul A’laa yang berkata telah menceritakan kepada kami Daawud bin Abi Hind dari Abu Nadhrah yang berkata Ketika orang-orang berkumpul kepada Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu, ia berkata “Ada apa denganku, aku tidak melihat ‘Aliy ?”. Maka pergilah beberapa orang dari kalangan Anshaar yang kemudian kembali bersamanya Lalu Abu Bakr berkata kepadanya “Wahai ‘Ali, engkau katakan engkau anak paman Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan sekaligus menantu beliau?”. ‘Ali radliyallaahu ‘anhu berkata : “Jangan mencela wahai khalifah Rasulullah. Bentangkanlah tanganmu” kemudian ia membentangkan tangannya dan berbaiat kepadanya. Kemudian Abu Bakr pun berkata “Ada apa denganku, aku tidak melihat Az-Zubair?”. Maka pergilan beberapa orang dari kalangan Anshaar yang kemudian kembali bersamanya. Abu Bakr berkata “Wahai Zubair, engkau katakan engkau anak bibi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan sekaligus hawariy beliau”. Az-Zubair berkata “Janganlah engkau mencela wahai khalifah Rasulullah. Bentangkanlah tanganmu”. Kemudian ia membentangkan tangannya dan berbaiat kepadanya” [As Sunnah Abdullah bin Ahmad no 1292].

Dawud bin Abi Hind dalam periwayatannya dari Abu Nadhrah memiliki mutaba’ah dari Al Jurairiy sebagaimana yang diriwayatkan Al Baladzuri dalam Ansab Al Asyraf 1/252 dengan jalan sanad Hudbah bin Khalid dari Hammad bin Salamah dari Al Jurairy dari Abu Nadhrah. Hammad bin Salamah memiliki mutaba’ah dari Ibnu Ulayyah dari Al Jurairy dari Abu Nadhrah sebagaimana disebutkan Abdullah bin Ahmad dalam As Sunnah no 1293.

Riwayat Al Jurairy juga disebutkan oleh Ibnu Asakir dengan jalan sanad dari Ali bin ‘Aashim dari Al Jurairy dari Abu Nadhrah dari Abu Sa’id [Tarikh Ibnu Asakir 30/278]. Riwayat Ibnu Asakir ini tidak mahzfuzh karena kelemahan Ali bin ‘Aashim. Yaqub bin Syaibah mengatakan ia banyak melakukan kesalahan. Ibnu Ma’in menyatakan tidak ada apa-apanya dan tidak bisa dijadikan hujjah. Al Fallas berkata “ada kelemahan padanya, ia insya Allah termasuk orang jujur”. Al Ijli menyatakan tsiqat. Al Bukhari berkata “tidak kuat di sisi para ulama”. Daruqutni juga menyatakan ia sering keliru. [At Tahdzib juz 7 no 572]. An Nasa’i menyatakan Ali bin ‘Aashim “dhaif” [Ad Dhu’afa no 430]. Ali bin ‘Aashim dhaif karena banyak melakukan kesalahan dan dalam riwayatnya dari Al Jurairiy ia telah menyelisihi Hammad bin Salamah dan Ibnu Ulayyah keduanya perawi tsiqat. Riwayat yang mahfuzh adalah riwayat dari Al Jurairy dari Abu Nadhrah tanpa tambahan dari Abu Sa’id.

Dengan jalan sanad yang tinggi yaitu riwayat Dawud bin Abi Hind dan riwayat Al Jurairiy dari Abu Nadhrah maka diketahui bahwa bagian kedua yang menyebutkan pembaiatan Ali dan Zubair bukan perkataan Abu Sa’id Al Khudriy melainkan perkataan Abu Nadhrah.

Riwayat Wuhaib yang disebutkan Al Hakim, Baihaqi dan Ibnu Asakir dengan sanad yang panjang menggabungkan kedua bagian tersebut dalam satu riwayat padahal sebenarnya bagian pertama adalah perkataan Abu Sa’id Al Khudriy sedangkan bagian kedua adalah perkataan Abu Nadhrah. Riwayat Ja’far bin Muhammad bin Syaakir dari ‘Affan bin Muslim dari Wuhaib dan riwayat Abu Hisyaam dari Wuhaib memiliki pertentangan yang menunjukkan bahwa riwayat tersebut diriwayatkan dengan maknanya sehingga memungkinkan terjadinya pencampuran kedua perkataan Abu Sa’id dan Abu Nadhrah.
  • Pada riwayat ‘Affan dari Wuhaib disebutkan kalau yang berkata “sesungguhnya juru bicara kalian benar” adalah Abu Bakar tetapi pada riwayat Abu Hisyaam dari Wuhaib yang mengatakan itu adalah Umar.
  • Pada riwayat ‘Affan dari Wuhaib disebutkan kalau yang memegang tangan Abu Bakar dan berkata “ini sahabat kalian” adalah Zaid bin Tsabit tetapi dalam riwayat Abu Hisyaam dari Wuhaib yang memegang tangan Abu Bakar dan mengatakan itu adalah Umar.
Riwayat yang tsabit dalam penyebutan baiat Ali dan Zubair kepada Abu Bakar adalah riwayat perkataan Abu Nadhrah sedangkan riwayat Wuhaib dengan sanad yang panjang telah terjadi pencampuran antara perkataan Abu Nadhrah dan Abu Sa’id Al Khudri. Hal ini dikuatkan oleh riwayat Wuhaib dengan sanad yang tinggi tidak terdapat keterangan penyebutan baiat Ali dan Zubair. Abu Nadhrah Mundzir bin Malik adalah tabiin yang riwayatnya dari Ali, Abu Dzar dan para sahabat terdahulu [Abu Bakar, Umar dan Utsman] adalah mursal [Jami’ Al Tahsil Fii Ahkam Al Marasil no 800] maka riwayat yang menyebutkan pembaiatan Ali dan Zubair adalah riwayat dhaif.

Apalagi telah disebutkan dalam riwayat shahih dan tsabit dari Aisyah sebelumnya bahwa baiat Imam Ali kepada Abu Bakar terjadi setelah kematian Sayyidah Fathimah [‘alaihis salam] yaitu setelah enam bulan. Dalih salafy yang melahirkan istilah “baiat kedua” jelas tidak masuk akal karena jika memang riwayat Abu Sa’id benar maka baiat Imam Ali kepada Abu Bakar itu sudah disaksikan oleh kaum muslimin lantas mengapa perlu ada lagi baiat kepada Imam Ali setelah enam bulan dihadapan kaum muslimin. Apalagi setelah enam bulan Abu Bakar malah dalam khutbahnya menyebutkan kalau Ali belum pernah memberikan baiat dan alasannya. Kemusykilan ini terjelaskan bahwa riwayat Abu Sa’id itu dhaif, Abu Sa’id tidak menyebutkan baiat Ali dan Zubair, itu adalah perkataan Abu Nadhrah yang tercampur dengan riwayat Abu Sa’id.

Jadi jika kita melengkapi riwayat Al Hakim dan yang lainnya [tentang penyebutan baiat Ali] dengan riwayat yang mahfuzh maka riwayat tersebut sebenarnya sebagai berikut:

حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ثنا جعفر بن محمد بن شاكر ثنا عفان بن مسلم ثنا وهيب ثنا داود بن أبي هند ثنا أبو نضرة عن أبي سعيد الخدري رضى الله تعالى عنه قال لما توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم قام خطباء الأنصار فجعل الرجل منهم يقول يا معشر المهاجرين إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا استعمل رجلا منكم قرن معه رجلا منا فنرى أن يلي هذا الأمر رجلان أحدهما منكم والآخر منا قال فتتابعت خطباء الأنصار على ذلك فقام زيد بن ثابت فقال إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان من المهاجرين وإن الإمام يكون من المهاجرين ونحن أنصاره كما كنا أنصار رسول الله صلى الله عليه وسلم فقام أبو بكر رضى الله تعالى عنه فقال جزاكم الله خيرا يا معشر الأنصار وثبت قائلكم ثم قال أما لو فعلتم غير ذلك لما صالحناكم ثم أخذ زيد بن ثابت بيد أبي بكر فقال هذا صاحبكم فبايعوه ثم انطلقوا أبو نضرة قال فلما قعد أبو بكر على المنبر نظر في وجوه القوم فلم ير عليا فسأل عنه فقال ناس من الأنصار فأتوا به فقال أبو بكر بن عم رسول الله صلى الله عليه وسلم وختنه أردت أن تشق عصا المسلمين فقال لا تثريب يا خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعه ثم لم ير الزبير بن العوام فسأل عنه حتى جاؤوا به فقال بن عمة رسول الله صلى الله عليه وسلم وحواريه أردت أن تشق عصا المسلمين فقال مثل قوله لا تثريب يا خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعاه

Telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub yang berkata telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Muhammad bin Syaakir yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Affan bin Muslim yang berkata telah menceritakan kepada kami Wuhaib yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud bin Abi Hind yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Nadhrah dari Abu Sa’id Al Khudriy radiallahu ta’ala ‘anhu yang berkata “ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat maka khatib khatib di kalangan anshar berdiri kemudian datanglah salah seorang dari mereka yang berkata “wahai kaum muhajirin sungguh jika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyuruh salah seorang diantara kalian maka Beliau menyertakan salah seorang dari kami maka kami berpandangan bahwa yang memegang urusan ini adalah dua orang, salah satunya dari kalian dan salah satunya dari kami, maka khatib-khatib Anshar itu mengikutinya. Zaid bin Tsabit berdiri dan berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berasal dari kaum muhajirin maka Imam adalah dari kaum muhajirin dan kita adalah penolongnya sebagaimana kita adalah penolong Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Abu Bakar radiallahu ta’ala anhu berdiri dan berkata “semoga Allah membalas kebaikan kepada kalian wahai kaum Anshar, benarlah juru bicara kalian itu” kemudian ia berkata “jika kalian mengerjakan selain daripada itu maka kami tidak akan sepakat dengan kalian” kemudian Zaid bin Tsabit memegang tangan Abu Bakar dan berkata “ini sahabat kalian maka baiatlah ia” kemudian mereka pergi.
Abu Nadhrah berkata Ketika Abu Bakar berdiri di atas mimbar, ia melihat kepada orang-orang kemudian ia tidak melihat Ali, ia bertanya tentangnya maka ia menyuruh orang-orang dari kalangan Anshar memanggilnya, Abu Bakar berkata “wahai sepupu Rasulullah dan menantunya apakah engkau ingin memecah belah kaum muslimin?”. Ali berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]” maka ia membaiatnya. Kemudian Abu Bakar tidak melihat Zubair, ia menanyakan tentangnya dan memanggilnya kemudian berkata “wahai anak bibi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan penolongnya [hawariy] “apakah engkau ingin memecah belah kaum muslimin?”. Zubair berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah” maka ia membaiatnya.

Akhir kata sepertinya Salafy nashibi harus berusaha lagi mengais-ngais riwayat dhaif untuk melindungi doktrin mereka. Atau mungkin akan keluar jurus “ngeyelisme” yang seperti biasa adalah senjata pamungkas orang yang berakal kerdil. Lebih dan kurang kami mohon maaf [kayak bahasa “kata sambutan”]. (Source)


Hadis Imam Ali Penduduk Madinah Yang Paling Utama : Keutamaan Di Atas Abu Bakar, Umar Dan Utsman
Diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa sebagian sahabat menyatakan kalau Imam Ali adalah penduduk Madinah yang paling utama. Tidak diragukan lagi bahwa Madinah adalah tempat tinggal mayoritas sahabat besar kaum muhajirin dan anshar termasuk Abu Bakar, Umar dan Utsman, jadi adanya hadis ini menunjukkan di mata sebagian sahabat Imam Ali lebih utama dibanding para sahabat lainnya termasuk Abu Bakar, Umar dan Utsman.

حدثنا محمد بن أحمد بن الجنيد قال نا يحيى بن السكن قال نا شعبة قال نا أبو إسحاق عن عبد الرحمن بن يزيد عن علقمة عن عبد الله قال كنا نتحدث أن أفضل أهل المدينة ابن أبي طالب

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad bin Junaid yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin As Sakaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq dari ‘Abdurrahman bin Yazid dari Alqamah dari ‘Abdullah yang berkata “kami mengatakan bahwa penduduk Madinah yang paling utama adalah Ibnu Abi Thalib[Musnad Al Bazzar 5/20 no 1437]
Hadis ini sanadnya hasan. Para perawinya adalah perawi tsiqat kecuali Yahya bin As Sakaan dia seorang perawi yang hadisnya hasan.
  • Muhammad bin Ahmad bin Junaid adalah perawi yang tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 9 no 15639]. Telah meriwayatkan darinya Ibnu Abi Hatim dan ayahnya dimana Ibnu Abi Hatim menyatakan ia shaduq [Al Jarh Wat Ta’dil 7/183 no 1039]. Telah meriwayatkan darinya Abdullah bin Ahmad [Al Ikmal Al Husaini no 758] dan Abdullah bin Ahmad seperti ayahnya [Ahmad bin Hanbal] hanya meriwayatkan dari orang yang perawinya tsiqat dalam pandangan mereka.
  • Yahya bin As Sakan termasuk sahabat Syu’bah. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan menyatakan kalau telah meriwayatkan darinya Ahmad bin Hanbal [Ats Tsiqat juz 9 no 16282]. Ahmad bin Hanbal termasuk ulama yang hanya meriwayatkan dari perawi yang tsiqat menurutnya maka di sisi Ahmad, Yahya bin As Sakan itu tsiqat. Abu Hatim menyatakan “laisa bil qawiy [tidak kuat]” [Al Jarh Wat Ta’dil 9/155 no 643]. Di sisi Abu Hatim pernyataan ini berarti seorang yang hadisnya hasan atau tidak mencapai derajat shahih apalagi Abu Hatim sendiri termasuk yang meriwayatkan dari Yahya bin As Sakaan. Adz Dzahabi berkata “Yahya bin As Sakan mendengar dari Syu’bah, didhaifkan oleh Shalih Jazarah dan diterima oleh yang lainnya” [Al Mughni 2/735 no 6975]. Dalam biografi Yahya bin ‘Abbad Adh Dhuba’iy, Ibnu Main menyatakan kalau Yahya bin ‘Abbad seorang yang shaduq dan Yahya bin As Sakan lebih tsabit darinya [At Tahdzib juz 11 no 383]. Hal ini berarti di sisi Ibnu Ma’in, Yahya bin As Sakan seorang yang shaduq atau tsiqat.
  • Syu’bah bin Hajjaj adalah perawi kutubus sittah yang telah disepakati tsiqat. Syu’bah seorang yang tsiqat hafizh mutqin dan Ats Tsawri menyebutnya “amirul mukminin dalam hadis” [At Taqrib 1/418].
  • Abu Ishaq adalah Amru bin Abdullah As Sabi’i perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad, Ibnu Ma’in, Nasa’i, Abu Hatim, Al Ijli menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 8 no 100]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat ahli ibadah dan mengalami ikhtilath di akhir umurnya [At Taqrib 1/739]. Tetapi yang meriwayatkan darinya adalah Syu’bah dimana Bukhari dan Muslim telah berhujjah dengan riwayat Syu’bah dari Abu Ishaq begitu pula Bukhari Muslim telah berhujjah dengan riwayat Abu Ishaq dari ‘Abdurrahman bin Yazid An Nakha’i [Tahdzib Al Kamal 22/102 no 4400].
  • Abdurrahman bin Yazid An Nakha’iy adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in menyatakan ia tsiqat. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat memiliki banyak hadis”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijli berkata “tabiin kufah yang tsiqat”. Daruquthni menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 6 no 583]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/596].
  • Alqamah bin Qais An Nakha’iy adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit faqih dan ahli ibadah [At Taqrib 1/687].
Riwayat Abdullah bin Mas’ud di atas sanadnya hasan. Yahya bin As Sakan adalah seorang yang hadisnya hasan dan dalam periwayatannya dari Syu’bah ia memiliki mutaba’ah dari Muhammad bin Ja’far yaitu riwayat berikut:

حدثنا عبد الله قال حدثني أبي قثنا محمد بن جعفر نا شعبة عن أبي إسحاق عن عبد الرحمن بن يزيد عن علقمة عن عبد الله قال كنا نتحدث ان أفضل أهل المدينة علي بن أبي طالب

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abu Ishaq dari ‘Abdurrahman bin Yazid dari ‘Alqamah dari ‘Abdullah yang berkata “kami mengatakan bahwa penduduk Madinah yang paling utama adalah Ali bin Abi Thalib [Fadha’il Ash Shahabah no 1033].

Hadis ini sanadnya shahih dengan syarat Bukhari dan Muslim. Abdullah bin Ahmad dan ayahnya Ahmad bin Hanbal telah dikenal dan disepakati ketsiqahannya. Muhammad bin Ja’far Al Hudzaliy Abu Abdullah Al Bashriy yang dikenal dengan sebutan Ghundar adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ali bin Madini berkata “ia lebih aku sukai daripada Abdurrahman [Ibnu Mahdi] dalam periwayatan dari Syu’bah”. Abu Hatim berkata dari Muhammad bin Aban Al Balkhiy bahwa Ibnu Mahdi berkata “Ghundar lebih tsabit dariku dalam periwayatan dari Syu’bah”. Abu Hatim, Ibnu Hibban dan Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat. Al Ijli menyatakan ia orang bashrah yang tsiqat dan ia adalah orang yang paling tsabit dalam riwayat dari Syu’bah [At Tahdzib juz 9 no 129]. Sedangkan sisa perawi lainnya adalah perawi shahih sebagaimana telah berlalu penjelasannya.

Maka riwayat Ahmad bin Hanbal disini kedudukannya shahih sesuai dengan syarat Bukhari Muslim. Muhammad bin Ja’far atau Ghundar adalah orang yang paling tsabit dalam riwayat dari Syu’bah dan disini ia memiliki mutaba’ah dari Yahya bin As Sakan seorang yang hasanul hadits. Kesimpulannya riwayat tersebut shahih tanpa keraguan.

Penjelasan Hadis.
Hadis tersebut menggunakan lafaz “kami” dimana secara umum dalam ilmu hadis lafaz ini menunjukkan para sahabat atau mayoritas sahabat atau ijma’ sahabat. Tentu dengan pengertian ini maka dapat dikatakan kalau mayoritas sahabat atau ijma’ sahabat menganggap Imam Ali adalah penduduk Madinah yang paling utama. Diketahui pula bahwa Abu Bakar [radiallahu ‘anhu], Umar [radiallahu ‘anhu] dan Utsman [radiallahu ‘anhu] termasuk penduduk madinah dan diriwayatkan dalam atsar Ibnu Umar kalau sebagian sahabat mengutamakan Abu Bakar kemudian Umar kemudian Utsman diatas para sahabat lainnya.

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمِ بْنِ بَزِيعٍ حَدَّثَنَا شَاذَانُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ الْمَاجِشُونُ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كُنَّا فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَعْدِلُ بِأَبِي بَكْرٍ أَحَدًا ثُمَّ عُمَرَ ثُمَّ عُثْمَانَ ثُمَّ نَتْرُكُ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نُفَاضِلُ بَيْنَهُمْ

Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Hatim bin Bazii’ yang menceritakan kepada kami Syadzaan yang menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Abi Salamah Al Majsyuun dari Ubaidillah dari Nafi’ dari Ibnu Umar radiallahu’anhuma yang berkata “kami di zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam tidak membandingkan Abu Bakar dengan seorangpun kemudian Umar kemudian Utsman kemudian kami membiarkan sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam yang lain dan tidak mengutamakan siapapun diantara mereka[Shahih Bukhari no 3697].

Maka sudah seharusnya kita memahami kalau atsar Ibnu Mas’ud bukan sebagai mayoritas sahabat atau ijma’ sahabat tetapi sebagian sahabat. Jadi makna atsar Ibnu Mas’ud adalah sebagian sahabat menganggap Imam Ali sebagai orang yang paling utama diantara penduduk madinah. Begitu pula atsar Ibnu Umar di atas dipahami bahwa sebagian sahabat lain telah mengutamakan Abu Bakar kemudian Umar kemudian Utsman kemudian setelah Utsman mereka tidak mengutamakan siapapun diantara para sahabat bahkan mereka juga tidak mengutamakan Imam Ali di atas para sahabat lainnya.
Di zaman Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri yang mengutamakan Imam Ali di atas para sahabat lainnya. Siapakah yang ditunjuk di Khaibar yang dikatakan sebagai “mencintai Allah dan Rasul-Nya dan dicintai Allah dan Rasul-Nya”?, bukan Abu Bakar, bukan Umar dan bukan Utsman tetapi Ali bin Abi Thalib. Siapakah yang dikatakan kedudukannya di sisi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] seperti kedudukan Harun di sisi Musa? Bukan Abu Bakar, bukan Umar dan bukan Utsman tetapi Ali bin Abi Thalib. Siapakah yang dikatakan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] di ghadir khum dimana Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengutamakannya di atas semua sahabat lainnya? Bukan Abu Bakar, bukan Umar dan bukan Utsman tetapi Ali bin Abi Thalib. Siapakah yang Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] katakan sebagai Ahlul Bait salah satu Ats Tsaqalain pegangan umat agar tidak tersesat sepeninggal Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam]? Bukan Abu Bakar, bukan Umar dan bukan Utsman tetapi Ali bin Abi Thalib. Justru aneh sekali kalau sebagian sahabat itu tidak mengutamakan Imam Ali di antara sahabat lainnya bahkan setelah Utsman pun mereka menganggap Imam Ali tidak lebih utama dari sahabat yang lain. Kami disini lebih memilih pandangan sebagian sahabat yang mengutamakan Imam Ali di atas para sahabat lainnya termasuk  di atas Abu Bakar, Umar dan Utsman karena pendapat ini kami nilai dalilnya lebih kuat berdasarkan berbagai hadis shahih Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Ada lagi yang aneh terkait hadis Ibnu Umar di atas, munculnya kelompok yang ngaku-ngaku salafy terus mengartikan hadis Ibnu Umar berarti terdapat ijma’ sahabat yang mengutamakan Abu Bakar, terus Umar dan terus Utsman. Baik sadar atau tidak mereka ini sudah inkonsisten atau tanaqudh atau menentang dirinya sendiri. Kalau memang atsar Ibnu Umar di atas dipandang ijma’ sahabat maka yang pertama menentang ijma’ itu adalah mereka sendiri, toh kelompok itu mengakui bahwa setelah Utsman, Imam Ali adalah sahabat yang paling utama diantara yang lainnya, secara bahasa mereka Imam Ali itu utama yang keempat. Nah ini kan bertentangan dengan atsar Ibnu Umar yang jika diartikan ijma’ sahabat maka sahabat telah berijma’ kalau setelah Utsman mereka tidak mengutamakan satupun sahabat dari yang lainnya termasuk disini Imam Ali. Apakah mereka paham soal ini? tidak, inkonsisten ini malah dijadikan pilar utama dalam keyakinan mereka, bahkan dengan inkonsisten ini mereka menuduh siapapun yang melanggar dogma inkonsitensi yang mereka anut sebagai sesat atau menyimpang. Betapa kebodohan menjadi begitu menyakitkan dan betapa keangkuhan telah menjadi tameng untuk menolak kebenaran yang akhirnya membuat mereka sangat konsisten dalam inkonsistensi mereka.

Syubhat Para Pengingkar.
Mereka yang suka melemahkan keutamaan ahlul bait tidak henti-hentinya menghembuskan syubhat. Setiap hadis keutamaan ahlul bait yang melebihi keutamaan Abu bakar dan Umar selalu saja ada syubhat yang dicari-cari. Diantara syubhat mereka untuk melemahkan hadis di atas adalah mereka mengatakan hadis tersebut lafaznya khata’ atau salah, yang benar adalah hadis berikut:

أخبرنا وهب بن جرير بن حازم وعمرو بن الهيثم أبو قطن قالا أخبرنا شعبة عن أبي إسحاق عن عبد الرحمن بن يزيد عن علقمة عن عبد الله قال كنا نتحدث أن من أقضى أهل المدينة بن أبي طالب

Telah mengabarkan kepada kami Wahab bin Jarir bin Hazm dan ‘Amru bin Al Haitsam Abu Quthn yang keduanya berkata telah mengabarkan kepada kami Syu’bah dari Abu Ishaq dari ‘Abdurrahman bin Yazid dari Alqamah dari Abdullah yang berkata “kami mengatakan bahwa penduduk Madinah yang paling mengetahui dalam masalah hukum adalah Ibnu Abi Thalib” [Thabaqat Ibnu Sa’ad 2/81]
Hadis ini memang sanadnya shahih. Baik hadis ini dan hadis di atas keduanya shahih, keduanya diterima dan tidak ada pertentangan sedikitpun. Telah dibuktikan sebelumnya bahwa hadis dengan lafaz “penduduk madinah yang paling utama” adalah hadis yang shahih dan tsabit. Tidak ada dasar sedikitpun menyatakan lafaz hadis tersebut salah, mereka yang mengatakan ini memang sengaja mencari-cari syubhat untuk melemahkan hadis keutamaan Imam Ali. Sekali lagi hadis dengan lafaz “penduduk Madinah yang paling utama” telah diriwayatkan oleh Ghundar dan Yahya bin As Sakan dari Syu’bah dan Ghundar adalah orang yang paling tsabit riwayatnya dari Syu’bah. Jadi tidak ada dasarnya menyatakan lafaz hadis tersebut salah. Pendapat yang benar kedua hadis tersebut benar, Imam Ali adalah penduduk Madinah yang paling utama dan Imam Ali adalah penduduk Madinah yang paling mengetahui atau paling ahli dalam masalah hukum.

Syubhat lain yang dihembuskan adalah mereka menyimpangkan makna hadis tersebut yaitu bahwa Imam Ali adalah penduduk Madinah yang paling utama setelah Abu Bakar, Umar dan Utsman. Jadi dengan ini mereka tetap bisa menyatakan kalau hadis ini tidak menunjukkan keutamaan Imam Ali di atas Abu Bakar, Umar dan Utsman. Inipun sebenarnya hanya syubhat yang dicari-cari, prinsipnya kita berpegang pada zahir lafaz. Lafaz hadis ini umum, bukankah Abu Bakar, Umar dan Utsman adalah penduduk Madinah maka jika ada sebagian sahabat mengatakan Imam Ali penduduk Madinah yang paling utama maka itu berarti menurut mereka Imam Ali lebih utama dari Abu Bakar, Umar dan Utsman.

Kesimpulan:
Sebagian sahabat memang diketahui mengutamakan Imam Ali diatas para sahabat lainnya termasuk Abu Bakar, Umar dan Utsman dan sebagian sahabat lainnya mengutamakan Abu Bakar, Umar dan Utsman di atas para sahabat lainnya dan setelah itu mereka tidak menganggap Imam Ali lebih utama dari sahabat yang lain. Perbedaan pandangan di sisi para sahabat adalah hal yang wajar, justru yang tidak benar adalah doktrin yang dianut sebagian orang kalau ijma’ sahabat menganggap Abu Bakar, Umar dan Utsman lebih utama dari Imam Ali. Jika dikatakan sebagian sahabat maka itulah yang benar tetapi jika dikatakan ijma’ sahabat maka itu jelas keliru. Terdapat riwayat shahih dimana sebagian sahabat mengutamakan Imam Ali seperti yang telah ditunjukkan di atas. (Source)

Hadis Imam Ali Sahabat Yang Paling Berilmu : Keutamaan Di Atas Abu Bakar dan Umar.
Tulisan kali ini hanya menguatkan pembahasan kami sebelumnya kalau Imam Ali adalah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling berilmu dibanding para sahabat lainnya termasuk Abu Bakar dan Umar. Diriwayatkan kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada Sayyidah Fathimah Alaihis salam.

قال أو ما ترضين أني زوجتك أقدم أمتي سلما وأكثرهم علما وأعظمهم حلما

[Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam] bersabda “tidakkah engkau ridha kunikahkan dengan umatku yang paling dahulu masuk islam, paling banyak ilmunya dan paling besar kelembutannya”.
Hadis Hasan Lighairihi. Hadis ini diriwayatkan dalam Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah no 31514 dan Al Ahad Al Mutsanna Ibnu Abi Ashim 1/142 no 169 dengan jalan dari Fadhl bin Dukain dari Syarik dari Abu Ishaq. Fadhl bin Dukain memiliki mutaba’ah dari Waki‘ bin Jarrah dari Syarik dari Abu Ishaq sebagaimana diriwayatkan dalam Mushannaf Abdurrazaq 5/490 no 9783 dan Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 1/94 no 156.
  • Fadhl bin Dukain adalah seorang yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/11] dan Waki’ bin Jarrah seorang yang tsiqat hafizh dan ‘abid [At Taqrib 2/283-284].
  • Syarik bin Abdullah An Nakha’i perawi Bukhari dalam Ta’liq Shahih Bukhari, Muslim dan Ashabus Sunan. Ibnu Ma’in, Al Ijli, Ibrahim Al Harbi menyatakan ia tsiqat. Nasa’i menyatakan “tidak ada masalah padanya”. Ahmad berkata “Syarik lebih tsabit dari Zuhair, Israil dan Zakaria dalam riwayat dari Abu Ishaq”. Ibnu Ma’in lebih menyukai riwayat Syarik dari Abu Ishaq daripada Israil. [At Tahdzib juz 4 no 587].
  • Abu Ishaq adalah Amru bin Abdullah As Sabi’i perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad, Ibnu Ma’in, Nasa’i, Abu Hatim, Al Ijli menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 8 no 100].
Para perawi hadis ini tsiqat hanya saja Syarik seorang yang tsiqat tetapi terdapat pembicaraan pada hafalannya dan riwayat Abu Ishaq tersebut mursal. Kemudian hadis ini juga disebutkan dalam Tarikh Ibnu Asakir 42/132 dan Mudhih Awham Al Jami’ wat Tafriq Al Khatib 2/148 dengan jalan sanad dari Abu Ishaq dari Anas. Berikut sanad hadis riwayat Al Khatib.

أخبرنا الحسن بن أبي بكر أخبرنا أبو سهل أحمد بن محمد بن عبد الله بن زياد القطان حدثنا عبد الله بن روح حدثنا سلام بن سليمان أبو العباس المدائني حدثنا عمر بن المثنى عن أبي إسحاق عن أنس رضي الله عنه

Telah mengabarkan kepada kami Al Hasan bin Abi Bakar yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Sahl Ahmad bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Ziyaad Al Qaththan yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Rauh yang berkata telah menceritakan kepada kami Sallaam bin Sulaiman Abu ‘Abbas Al Mada’iniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Umar bin Al Mutsanna dari Abu Ishaq dari Anas radiallahu ‘anhu [Mudhih Awham Al Jami’ Wat Tafriq Al Khatib 2/148].

Hadis ini mengandung kelemahan karena di dalam sanadnya terdapat Sallam bin Sulaiman Al Mada’iniy dan Umar bin Al Mutsanna. Salam bin Sulaiman Al Mada’iniy terdapat pembicaraan tentang kedudukannya tetapi jika dianalisis dengan baik pendapat yang menta’dilkannya lebih kuat daripada yang menjarh-nya. Berikut keterangan para perawi sanad di atas.
  • Hasan bin Abi Bakar adalah Hasan bin Ahmad bin Ibrahim bin Hasan bin Muhammad bin Syadzaan Abu Ali bin Abu Bakar Al Baghdadi. Adz Dzahabi menyebutnya Imam, memiliki keutamaan dan shaduq [As Siyar 17/415 no 273]. Al Khatib berkata “kami menulis darinya dan ia shaduq” [Tarikh Baghdad 7/279].
  • Abu Sahl Ahmad bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Ziyaad Al Qaththan seorang yang tsiqat. Adz Dzahabi menyebutnya Imam Muhaddis tsiqat [As Siyar 15/521 no 299].
  • ‘Abdullah bin Rauh Al Mada’iny seorang yang tsiqat. Al Khatib menyebutkan biografinya dalam Tarikh Baghdad bahwa ia seorang yang tsiqat shaduq [Tarikh Baghdad 9/461]. Daruquthni terkadang menyatakan tsiqat dan terkadang menyatakan “tidak ada masalah padanya” [Mausu’ah Qaul Daruquthni no 1840].
  • Sallam bin Sulaiman Al Mada’iniy seorang yang diperbincangkan. Abu Hatim yang meriwayatkan darinya berkata “tidak kuat”. Nasa’i dalam Al Kuna menyebutkan telah mengabarkan kepada kami ‘Abbas bin Walid  yang berkata telah menceritakan kepada kami Sallaam bin Sulaiman Abul Abbas seorang penduduk madinah yang tsiqat. [At Tahdzib juz 4 no 498]. Al Uqaili memasukkannya ke dalam Adh Dhu’afa dan berkata “di dalam hadisnya dari perawi tsiqat terdapat hal-hal yang mungkar” [Adh Dhu’afa Al Uqaili 2/161 no 668]. Ibnu Ady berkata “mungkar al hadits” [Al Kamil Ibnu Ady 3/309].
  • Umar bin Al Mutsanna, telah meriwayatkan darinya Sallam bin Sulaiman, Umar bin Ubaid Ath Thanafisiy, A’la bin Hilal Al Bahiliy dan Baqiyah bin Walid. Abu Arubah menyebutkannya dalam Thabaqat ketiga dari tabiin ahlul jazirah [At Tahdzib juz 7 no 820]. Ibnu Hajar berkata “mastur” [At Taqrib 1/725]. Al Uqailiy memasukkannya ke dalam Adh Dhu’afa dan berkata “Umar bin Al Mutsanna meriwayatkan dari Qatadah dan telah meriwayatkan darinya Baqiyah, hadisnya tidak mahfuzh” kemudian Al Uqailiy membawakan hadis yang dimaksud yaitu riwayat Umar bin Al Mutsanna dari Qatadah dari Anas [Adh Dhu’afa Al Uqailiy 3/190 no 1185]. Pernyataan Al Uqailiy patut diberikan catatan, hadis yang disebutkannya sebagai tidak mahfuzh bukan bukti kelemahan Umar bin Al Mutsanna karena dalam sanad hadis tersebut Qatadah meriwayatkan secara ‘an ‘anah dari Anas dan ma’ruf diketahui kalau Qatadah perawi mudallis martabat ketiga yang berarti sering melakukan tadlis dari perawi dhaif sehingga riwayatnya dengan ‘an ‘anah dinilai dhaif. Jadi sangat mungkin kalau hadis ini tidak mahfuzh karena tadlis Qatadah.
Daruquthni menyebutkan juga hadis ini dan mengatakan Umar bin Al Mutsanna meriwayatkan dari Abu Ishaq dari Bara’ dari Fathimah. Kemudian ia berkata “tidak dikenal kecuali dari hadis ini” [Mausu’ah Qaul Daruquthni no 2565].

Pernyataan Daruquthni keliru karena riwayat yang benar disini adalah riwayat Umar bin Al Mutsanna dari Abu Ishaq dari Anas sebagaimana yang disebutkan di atas. Disini Daruquthni tidak menyebutkan sanadnya secara lengkap kemudian Daruquthni juga keliru karena Umar bin Al Mutsanna tidak hanya dikenal melalui hadis ini. Umar bin Al Mutsanna juga memiliki hadis lain salah satunya dalam kitab Sunan Ibnu Majah riwayat Umar bin Ubaid Ath Thanafisiy dari Umar bin Al Mutsanna dari Atha Al Khurasaniy dari Anas bin Malik [Sunan Ibnu Majah 1/182 no 548].


Pembahasan Kedudukan Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iniy
Yang memberikan predikat ta’dil pada Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iny adalah ‘Abbas bin Walid Al Baryuthi seorang yang tsiqat [Al Jarh Wat Ta’dil 6/214 no 1178] dan ‘Abbas bin Walid ini adalah salah satu murid dari Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iny. Ia menyebutkan kalau gurunya Sallaam bin Sulaiman seorang yang tsiqat.

Kemudian jarh Abu Hatim “laisa bil qawiy” tidaklah menjatuhkan kedudukannya karena jarh seperti ini bisa berarti seseorang yang hadisnya hasan apalagi Abu Hatim terkenal tasyadud [ketat] dalam menilai perawi. Dalam hal ini Sallaam telah tetap penta’dilannya kalau ia seorang yang tsiqat maka jarh Abu Hatim disini diartikan hadisnya hasan [tidak mencapai derajat shahih] apalagi hal ini dikuatkan oleh kenyataan kalau Abu Hatim sendiri mengambil hadis dari Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iny. Jika ia seorang yang dhaif di sisi Abu Hatim maka sudah pasti Abu Hatim tidak akan mengambil riwayat darinya.

Al Uqailiy menyebutkan Sallam meriwayatkan hadis mungkar dari perawi tsiqat kemudian ia membawakan hadis yang dimaksud yaitu hadis Sallam bin Sulaiman dari Syu’bah dari Zaid dari Abu Shadiq dari Abu Sa’id Al Khudri kemudian Al Uqaili berkata “hadis ini tidak ada asalnya dari Syu’bah dan juga tidak dari hadis perawi tsiqat” [Adh Dhu’afa Al Uqaili 2/161 no 668]. Hadis yang disebutkan Al Uqaili berasal dari Muhammad bin Zaidan Al Kufiy yang meriwayatkan dari Sallam bin Sulaiman Al Mada’iniy. Muhammad bin Zaidan Al Kufi adalah seorang yang majhul hal. Biografinya disebutkan dalam Tarikh Al Islam oleh Adz Dzahabi tanpa menyebutkan jarh dan ta’dil [Tarikh Al Islam 21/260]. Tentu saja jika dikatakan hadis tersebut tidak ada asalnya dari Syu’bah maka cacat atau kelemahan hadis tersebut lebih tepat ditujukan kepada Muhammad bin Zaidan Al Kufiy karena Sallaam bin Sulaiman Al Mad’iny telah mendapatkan predikat ta’dil.

Mengenai jarh Ibnu Ady “mungkar al hadis” maka banyak sekali catatan yang patut diberikan. Ibnu Ady menyatakan Sallaam bin Sulaiman sebagai mungkar al hadits dengan melihat berbagai hadis yang diriwayatkan oleh Sallaam. Hadis-hadis itulah yang menjadi dasar Ibnu Ady untuk menjarh Sallaam bin Sulaiman.

Ibnu Ady dalam hal ini keliru, Kekeliruan-nya yang pertama adalah ia menyebutkan kalau kuniyah Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iny adalah Abul Mundzir. Hal ini tidak benar karena kuniyah Sallaam bin Sulaiman adalah Abul ‘Abbas. Kekeliruan-nya yang kedua adalah terkadang dalam riwayat yang ia sebutkan terdapat perkataan “Sallaam bin Sulaiman Abu Mundzir Al Qariy”. Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iny tidak dikenal dengan sebutan Al Qariy.

Kekeliruan-nya yang ketiga adalah kebanyakan hadis-hadis yang ia sebutkan banyak yang tidak tepat ditujukan sebagai cacat Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iny. Hal ini disebabkan dua alasan yaitu:
  • Bisa jadi perawi yang meriwayatkan dari Sallaam adalah perawi dhaif sehingga ialah yang tertuduh atau
  • Sallaam meriwayatkan dari perawi dhaif sehingga perawi itulah yang tertuduh dalam hadis tersebut.
Misalnya ada diantara hadis yang disebutkan Ibnu Ady adalah riwayat Dhahhak bin Hajwah Al Manbajiy dari Sallaam bin Sulaiman. Dhahak bin Hajwah ini dikatakan oleh Daruquthni adalah seorang pemalsu hadis [Mausu’ah Qaul Daruquthni no 1692] kemudian riwayat Muhammad bin Isa bin Hayan Al Mad’iniy dari Sallaam bin Sulaiman. Muhammad bin Isa bin Hayyan Al Mada’iny dikatakan Daruquthni adalah seorang yang “matruk al hadits” [Su’alat Al Hakim no 171]. Riwayat-riwayat perawi tersebut tidak bisa dijadikan bukti cacatnya Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iny.

Ibnu Ady juga membawakan riwayat Sallaam bin Sulaiman dari Katsir bin Sulaim. Katsir bin Sulaim adalah seorang yang dhaif. Ibnu Ma’in menyatakan dhaif. Yahya berkata “tidak ditulis hadisnya”. Nasa’i menyatakan matruk [At Tahdzib juz 8 no 747]. Kemudian terdapat riwayat Sallam bin Sulaiman dari Maslamah bin Ash Shalt. Abu Hatim berkata tentangnya “matruk al hadits” [Al Jarh Wat Ta’dil 8/269 no 1228]. Ibnu Ady juga menyebutkan riwayat Sallaam bin Sulaiman dari Muhammad bin Fadhl bin Athiyah. Muhammad bin Fadhl bin Athiyyah dikatakan Ibnu Ma’in “dhaif” atau “tidak ada apa-apanya dan tidak ditulis hadisnya” atau “pendusta tidak tsiqat”. Abu Zur’ah dan Ibnu Madini mendhaifkannya. Abu Hatim berkata “matruk al hadits pendusta”. Muslim, Nasa’i, Daruquthni dan Ibnu Khirasy berkata “matruk”. Shalih bin Muhammad berkata “pemalsu hadis”. Ibnu Hibban berkata ia meriwayatkan hadis-hadis palsu dari perawi tsabit dan tidak halal meriwayatkan darinya. [At Tahdzib juz 9 no 658]. Yang terakhir Ibnu Ady membawakan riwayat Sallaam dari Nahsyal bin Sa’id dari Dhahhak dari Ibnu Abbas. Nahsyal bin Sa’id dikatakan Ibnu Ma’in “tidak tsiqat”, Abu Dawud Ath Thayalisi dan Ishaq bin Rahawaih menyatakan “pendusta”. Abu Zur’ah dan Daruquthni berkata “dhaif”. Nasa’i dan Abu Hatim menyatakan matruk. Abu Sa’id An Nuqaasy berkata “ia meriwayatkan dari Adh Dhahhak hadis-hadis palsu” [At Tahdzib juz 10 no 866]. Riwayat-riwayat ini juga tidak bisa dijadikan bukti untuk menjarh Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iniy.

Hadis di atas memiliki syahid yaitu diriwayatkan dalam Musnad Ahmad 5/26 no 20322 dan Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 2/229 no 16323 dengan jalan sanad dari Abu Ahmad Az Zubairi dari Khalid bin Thahman dari Nafi’ bin Abi Nafi’ dari Ma’qil bin Yasar secara marfu’.
  • Abu Ahmad Az Zubairi adalah Muhammad bin ‘Abdullah bin Zubair Al Asdi perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Al Ijli dan Ibnu Qani’ menyatakan tsiqat. Abu Zur’ah, Ibnu Khirasy, Ibnu Numair dan Ibnu Sa’ad berkata “shaduq” [At Tahdzib juz 9 no 422]. Ibnu Hajar mengatakan tsiqat tsabit [At Taqrib 2/95].
  • Khalid bin Thahman adalah perawi yang shaduq. Abu Hatim mengatakan ia syiah dan tempat kejujuran. Abu Ubaid berkata “Abu Dawud tidak menyebutnya kecuali yang baik”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan berkata “terkadang salah atau keliru”. Ibnu Ma’in berkata “dhaif” tetapi Ibnu Ma’in menjelaskan kalau ia dhaif karena ikhtilath sedangkan sebelum ia mengalami ikhtilath maka ia tsiqat. Ibnu Jarud berkata “dhaif” [At Tahdzib juz 3 no 184]. Ibnu Hajar berkata “shaduq tasyayyu’ dan mengalami ikhtilath” [At Taqrib 1/259]. Adz Dzahabi berkata “seorang syiah yang shaduq didhaifkan oleh Ibnu Ma’in” [Al Kasyf no 1330]. Pendapat yang rajih disini Khalid bin Thahman seorang yang shaduq sedangkan pembicaraan kepadanya disebabkan ia mengalami ikhtilath sebelum wafatnya.
  • Nafi’ bin Abu Nafi’ adalah tabiin yang tsiqat. Ia meriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar dan Abu Hurairah dan telah meriwayatkan darinya Khalid bin Thahman dan Ibnu Abi Dzi’b. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat [Tahdzib Al Kamal no 2370]. Adz Dzahabi berkata “Nafi’ bin Abi Nafi’ Al Bazzaz meriwayatkan dari Abu Hurairah dan Ma’qil bin Yasar, telah meriwayatkan darinya Khalid bin Thahman dan Ibnu Abi Dzi’b, ia seorang yang tsiqat [Al Kasyf no 5788].
Terdapat sedikit pembicaraan tentang Nafi’ bin Abu Nafi’. Ibnu Hajar dalam At Tahdzib menyebutkan kalau Nafi’ yang meriwayatkan dari Abu Hurairah berbeda dengan yang meriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar. Ibnu Hajar menyatakan kalau yang meriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar adalah Abu Daud Nufai’ dan dia dhaif. [At Tahdzib juz 10 no 740].

Pernyataan ini patut diberikan catatan, yang disebut sebagai Abu Daud Nufai’ adalah Nufai’ bin Al Harits Al Hamdani Ad Darimi dia seorang yang matruk, pendusta dan dhaif. Biografinya disebutkan Ibnu Hajar dalam At Tahdzib [At Tahdzib juz 10 no 849]. Nufai’ bin Al Harits tidak dikenal dengan sebutan Ibnu Abi’ Nafi’ sedangkan zahir sanad tersebut adalah Nafi’ bin Abi Nafi’. Jadi menyatakan kalau Nafi’ bin Abi Nafi’ yang meriwayatkan dari Ma’qil adalah Nufai’ bin Al Harits Abu Dawud jelas membutuhkan bukti kuat. Apalagi telah disebutkan kalau Al Mizziy dan Adz Dzahabi menyebutkan dengan jelas kalau Nafi’ bin Abi Nafi’ baik yang meriwayatkan dari Abu Hurairah dan Ma’qil bin Yasar adalah orang yang sama.

Selain itu Ibnu Hajar sendiri terbukti tanaqudh soal Nafi’ bin Abi Nafi’. Adz Dzahabi dalam biografi Khalid bin Thahman menyebutkan hadis riwayat Tirmidzi yaitu riwayat Khalid bin Thahman dari Nafi bin Abu Nafi’ dari Ma’qil bin Yasar. Kemudian Adz Dzahabi berkomentar “tidak dihasankan oleh Tirmidzi, hadis sangat gharib dan Nafi’ tsiqat”. [Al Mizan juz 1 no 2433].

Ibnu Hajar berkomentar tentang hadis ini dalam Nata’ij Al Afkar “para perawinya tsiqat kecuali Al Khaffaf dia didhaifkan oleh Ibnu Ma’in dan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat berkata “terkadang salah dan keliru” [Nata’ij Al Afkar Ibnu Hajar 2/383]. Disini Ibnu Hajar menyatakan para perawinya tsiqat kecuali Al Khaffaaf yaitu Khalid bin Thahman padahal Khalid meriwayatkan dari Nafi’ bin Abi Nafi’ dari Ma’qil bin Yasar. Kalau memang dikatakan Nafi’ yang meriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar adalah Abu Daud Nufai’ seorang yang matruk, tidak mungkin Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat.


Kesimpulan Kedudukan Hadis.
Secara keseluruhan hadis-hadis ini sanadnya saling menguatkan dan kedudukannya adalah hasan lighairihi. Riwayat Abu Ishaq yang mursal  dikuatkan oleh riwayat Abu Ishaq oleh Umar bin Al Mutsanna seorang yang mastur dan riwayat ini memiliki syahid dari hadis Ma’qil bin Yasar dimana para perawinya tsiqat atau shaduq hanya saja Khalid dikatakan ikhtilath. Al Haitsami berkata tentang hadis ini “riwayat Ahmad dan Thabrani di dalam sanadnya ada Khalid bin Thahman yang ditsiqatkan Abu Hatim dan yang lainnya, sisa perawi lainnya adalah tsiqat” [Majma’ Az Zawaid 9/123 no 14595].

Penjelasan Singkat Hadis.
Hadis ini menjadi bukti keutamaan Imam Ali di atas para sahabat lainnya termasuk Abu Bakar ra dan Umar ra. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan kalau Imam Ali adalah orang yang paling terdahulu atau pertama keislamannya sebagaimana yang telah disebutkan dalam berbagai riwayat shahih kalau Imam Ali adalah orang pertama yang masuk Islam.

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا وكيع ثنا شعبة عن عمرو بن مرة عن أبي حمزة مولى الأنصار عن زيد بن أرقم قال أول من أسلم مع رسول الله صلى الله عليه و سلم علي رضي الله تعالى عنه

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Waki’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Amru bin Murrah dari Abu Hamzah Mawla Al Anshari dari Zaid bin Arqam yang berkata “Orang  yang pertama kali masuk Islam dengan Rasulullah SAW adalah Ali radiallahu ta’aala ‘anhu” [Musnad Ahmad 4/368 sanadnya shahih].

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan kalau Imam Ali adalah orang yang paling banyak ilmu diantara umatnya, dan banyak sekali riwayat yang menunjukkan betapa tingginya ilmu imam Ali. Apalagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menetapkan Ahlul Bait Beliau [termasuk Imam Ali] sebagai pedoman atau pegangan bagi umat islam agar tidak tersesat, bukankah ini bukti nyata ketinggian ilmu Imam Ali.

Hadis ini juga menjadi bukti keutamaan di atas Abu Bakar dan Umar karena sebagaimana yang tertera dalam hadis shahih dan sirah bahwa keduanya telah melamar Sayyidah Fathimah Alaihis salam dan Rasulullah shallallahu’ alaihi wasallam menolak lamaran mereka berdua kemudian ketika Imam Ali melamar Sayyidah Fathimah Alaihis salam Rasulullah shallallahu’ alaihi wasallam menerimanya. Jadi pernyataan “paling berilmu” yang tertuju pada Imam Ali menunjukkan keutamaannya yang melebihi Abu Bakar dan Umar. (Source)


Studi Kritis Hadis Yang Dijadikan Hujjah Salafy Dalam Mengutamakan Abu Bakar Dan Umar Di Atas Ali
Kebiasaan buruk salafy dan salafy nashibi adalah mereka merasa-rasa sebagai orang yang paling berpegang kepada Al Qur’an dan Sunnah dan merasa-rasa paling berpegang kepada salafus salih. Ditambah lagi dengan tingkah mereka yang sering mensesatkan mahzab lain dan mengumbar tuduhan kepada siapapun yang bertentangan dengan mereka maka tidaklah aneh jika keberadaan salafy menjadi kontroversial di kalangan umat islam. Salah satu mahzab dalam islam yang paling dibenci oleh salafy adalah Syiah. Begitu besarnya kebencian salafy terhadap Syiah sampai-sampai orang yang bukan Syiah-pun mereka tuduh sebagai Syiah hanya karena orang tersebut bertasyayyu’ atau lebih mengutamakan Ahlul Bait dibanding semua sahabat yang lain. Padahal tasyayyu’ di dalam islam memiliki landasan yang shahih [tentu bagi orang yang mengetahuinya]. 

Salafy sok berasa-rasa sebagai pemilik hadis-hadis sunni. Kalau salafy bisa menegakkan keyakinan mahzabnya dengan hadis-hadis sunni maka mengapa pula orang islam lain tidak bisa menegakkan keyakinannya dengan hadis-hadis sunni. Sejak kapan hadis-hadis sunni menjadi hak milik salafy. Salafy suka menuduh kalau orang islam selain mahzabnya tidak konsisten kalau berhujjah dengan hadis-hadis sunni padahal kenyataannya salafy sendiri sangat jauh dari konsisten. Diantara mereka ada yang tersinggung kalau dikatakan “nashibi” tetapi anehnya mulut mereka sendiri dengan lancangnya menyatakan “syiah” atau “rafidhah” atau “sesat” kepada orang lain. Memang mereka yang suka merendahkan orang lain sering lupa untuk berkaca pada dirinya sendiri.

Kami akan menunjukkan kepada para pembaca, contoh inkonsistensi salafy dalam berhujjah dengan hadis-hadis sunni. Kami akan membahas hadis-hadis yang dijadikan dalil keyakinan salafy untuk mengutamakan Abu Bakar dan Umar di atas Imam Ali. Diantara mereka ada yang mengatakan kalau mengutamakan Abu Bakar dan Umar di atas Ali adalah ijma’ para sahabat dan kaum muslimin. Perkataan ini tidaklah benar, para sahabat sendiri berselisih mengenai siapa yang paling utama, diantara sahabat Nabi ada yang mengutamakan Imam Ali diantara semua sahabat lainnya [termasuk Abu Bakar dan Umar] seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr

وروى عن سلمان وأبى ذر والمقداد وخباب وجابر وأبى سعيد الخدرى وزيد بن الأرقم أن على بن ابى طالب رضى الله عنه أول من أسلم وفضله هؤلاء على غيره

Diriwayatkan dari Salman, Abu Dzar, Miqdad, Khabbab, Jabir, Abu Said Al Khudri dan Zaid bin Al Arqam bahwa Ali bin Abi Thalib RA adalah orang yang pertama masuk islam dan mereka mengutamakan Ali dibanding sahabat yang lain [Al Isti’ab Ibnu Abdil Barr 3/1090].

Ibnu Abdil Barr ketika menuliskan biografi salah seorang sahabat Nabi yaitu Amru bin Watsilah dengan kuniyah Abu Thufail, ia mengatakan kalau Abu Thufail seorang yang bertasyayyu’ mengutamakan Imam Ali di atas syaikhan yaitu Abu Bakar dan Umar [Al Isti’ab Ibnu Abdil Barr 4/1697].
Perselisihan soal tafdhil ini tidak hanya terjadi di kalangan para sahabat tetapi juga di kalangan kaum muslimin sebagaimana yang dikatakan Ibnu Hazm.

اختلف المسلمون فيمن هو أفضل بعد الأنبياء عليهم السلام , فذهب بعض أهل السنة , وبعض المعتزله , وبعض المرجئة , وجميع الشيعة , إلى أن أفضل الأمة بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم علي بن أبي طالب رضي الله عنه , وقد روينا هذا القول نصاً عن بعض الصحابة رضي الله عنهم , وعن جماعة من التابعين والفقهاء , و ذهب بعض أهل السنة ,وبعض المعتزله , وبعض المرجئة , إلى أن أفضل الصحابة بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم ,أبوبكر ,ثم عمر .

Kaum muslimin berselisih mengenai siapa yang paling utama setelah para Nabi [alaihis salam]. Sebagian ahlu sunnah, sebagian mu’tazilah, sebagian murji’ah dan seluruh syiah menyatakan bahwa di kalangan umat yang paling utama setelah Rasulullah SAW adalah Ali bin Abi Thalib RA. Dan diriwayatkan dari sebagian sahabat, jama’ah tabiin dan fuqaha, sebagian ahlus sunnah, sebagian mu’tazilah dan sebagian murjiah yang menyatakan sahabat yang paling utama setelah Rasulullah SAW adalah Abu Bakar kemudian Umar [Al Fishal Ibnu Hazm 4/181].
 

Jadi perkara mengutamakan Imam Ali di atas Abu Bakar dan Umar bukanlah monopoli kaum syiah, bahkan hal tersebut telah muncul di kalangan para sahabat Nabi sebagai salafus shalih yaitu Jabir RA, Abu Sa’id RA, Zaid bin Arqam RA, Salman RA, Miqdad RA dan Abu Thufail RA.

Hampir semua pengikut salafy ketika membahas keutamaan Abu Bakar dan Umar di atas Imam Ali, mereka membawakan atsar Ibnu Umar yang diriwayatkan dalam kitab shahih

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كُنَّا نُخَيِّرُ بَيْنَ النَّاسِ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنُخَيِّرُ أَبَا بَكْرٍ ثُمَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ ثُمَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ

Telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Sulaiman dari Yahya bin Sa’id dari Nafi’ dari Ibnu Umar radiallahu ’anhuma yang berkata “Kami membandingkan diantara manusia di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka kami menganggap yang terbaik adalah Abu Bakar, kemudian Umar bin Khaththab kemudian Utsman bin Affan radiallahu ‘anhum” [Shahih Bukhari no 3655].

Atsar Ibnu Umar ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih tetapi menjadikan hadis ini dalil keutamaan Abu Bakar dan Umar di atas Ali adalah tidak tepat. Hal ini disebabkan bahwa apa yang dinukil dari Ibnu Umar hanyalah pendapat sebagian sahabat saja dan riwayat Ibnu Umar di atas itu tidak lengkap, riwayat yang lebih lengkap adalah sebagai berikut:

أخبرنا عبدالله قال ثنا سلمة بن شبيب قال مروان الطاطري قال ثنا سليمان بن بلال قال ثنا يحيى بن سعيد عن نافع عن ابن عمر قال كنا نفضل على عهد رسول الله  صلى الله عليه وسلم  أبا بكر وعمر وعثمان ولا نفضل أحدا على أحد

Telah mengabarkan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Salamah bin Syabib yang berkata Marwan Ath Thaathari berkata menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilal yang berkata menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id dari Nafi’ dari Ibnu Umar yang berkata “kami mengutamakan di masa hidup Rasulullah SAW Abu Bakar, Umar dan Utsman kemudian kami tidak mengutamakan satupun dari yang lain[As Sunnah Al Khallal no 580].

Atsar Ibnu Umar di atas juga shahih. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal seorang imam yang tsiqat [At Taqrib 1/477]. Salamah bin Syabib perawi Muslim yang tsiqat [At Taqrib 1/377] dan Marwan bin Muhammad Ath Thaathari perawi Muslim yang tsiqat [At Taqrib 2/172].

Diantara pengikut salafy ada yang dengan gaya lucu mengatakan kalau Atsar Ibnu Umar ini dalil yang qath’i keutamaan Abu Bakar dan Umar di atas Ali dengan dua alasan
  • Dalam atsar Ibnu Umar di atas terdapat kalimat penting yaitu “kami membandingkan” atau “kami mengutamakan”. Perkataan ini menunjukkan ucapan para sahabat seluruhnya dan tidak ada yang membantahnya.
  • Dalam atsar Ibnu Umar di atas terdapat lafaz “saat Rasulullah SAW hidup” atau “di zaman Rasulullah”. Salafy mengatakan lafaz ini menunjukkan kalau ucapan tersebut didengar oleh Rasulullah SAW dan Beliau SAW tidak membantahnya.
Kami jawab : Jika memang kita harus menuruti logika salafy di atas maka atsar Ibnu Umar menunjukkan dalil yang qath’i bahwa semua sahabat berpandangan orang yang paling utama setelah Nabi SAW adalah Abu Bakar, Umar dan Utsman kemudian mereka tidak mengutamakan satupun dari yang lain termasuk Imam Ali. Anehnya justru kesimpulan ini sangat bertentangan dengan keyakinan mahzab salafy, mengingat mereka sendiri mengutamakan Imam Ali sebagai yang keempat di atas sahabat yang lain. Menurut salafy, sahabat yang paling utama itu adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman, kemudian Ali. Bukankah ini sangat bertentangan dengan atsar Ibnu Umar di atas bahwa setelah Utsman semua sahabat tidak mengutamakan satupun dari yang lain?. Ini adalah bukti pertama inkonsistensi salafy dalam berhujjah. Mereka berhujjah dengan gaya sepotong-sepotong, mengambil penggalan hadis yang sesuai dengan akidahnya saja.

Inkonsistensi salafy lainnya dapat para pembaca lihat dari diskusi atau pembahasan salafy soal nikah mut’ah. Dalam pembahasan nikah mut’ah terdapat hadis yang memuat lafaz yang sama persis dengan atsar Ibnu Umar di atas.

قال عطاء قدم جابر بن عبدالله معتمرا فجئناه في منزله فسأله القوم عن أشياء ثم ذكروا المتعة فقال نعم استمتعنا على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم وأبي بكر وعمر

Atha’ berkata “Jabir bin Abdullah datang untuk menunaikan ibadah umrah. Maka kami mendatangi tempatnya menginap. Beberapa orang dari kami bertanya berbagai hal sampai akhirnya mereka bertanya tentang mut’ah. Jabir menjawab “benar, memang kami melakukannya pada masa hidup Rasulullah SAW, masa Abu Bakar dan Umar”. [Shahih Muslim 2/1022 no 15 (1405) tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi].

Kembali lagi kalau kita berhujjah dengan logika salafy maka atsar Jabir di atas menunjukkan kalau semua sahabat melakukan mut’ah di masa hidup Rasulullah SAW, masa Abu Bakar dan masa Umar atau Ijma’ sahabat membolehkan nikah mut’ah. Silakan para pembaca mengingat kembali, Salafy dengan lantangnya mengatakan kalau nikah mut’ah adalah zina, padahal berdasarkan atsar di atas maka semua sahabat melakukan mut’ah di masa Abu Bakar dan Umar. Apakah salafy berani mengatakan kalau semua sahabat telah berzina?. Naudzubillah

Menghadapi kemusykilan atsar Jabir di atas, ada diantara pengikut salafy yang mengatakan kalau atsar Jabir itu hanya menunjukkan bahwa sebagian kecil sahabat masih melakukan nikah mut’ah karena mereka belum tahu kalau nikah tersebut diharamkan. Sekarang kata “kami melakukan” diartikan sebagai “sebagian kecil” bukan “semua sahabat” atau “ijma’ sahabat”. Benar-benar tidak konsisten :mrgreen:
Kembali ke atsar Ibnu Umar di atas kami menafsirkan perkataan Ibnu Umar itu hanyalah pendapat sebagian sahabat saja dan tidak memiliki landasan qath’i dari Rasulullah SAW karena:
  • Telah disebutkan sebelumnya kalau diantara para sahabat ada yang mengutamakan Ali di atas Abu Bakar dan Umar. Selain itu telah shahih riwayat Jabir bin Abdullah yang mengatakan kalau Imam Ali adalah manusia terbaik [dalam riwayat Jabir ini pun terdapat lafaz “kami”].
  • Telah shahih dari Rasulullah SAW berbagai hadis yang mengutamakan Imam Ali di atas para sahabat lainnya [termasuk Abu Bakar dan Umar].
Kami sudah cukup banyak menuliskan hadis Rasulullah SAW tentang keutamaan Imam Ali di atas Abu Bakar dan Umar, kami akan menyebutkan salah satunya

عن عبد الله رضى الله تعالى عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم الحسن والحسين سيدا شباب أهل الجنة وأبوهما خير منهما

Dari Abdullah RA yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Hasan dan Husain Sayyid [Pemimpin] pemuda surga dan Ayah mereka lebih baik dari mereka” [Al Mustadrak Ash Shahihain no 4779, Al Hakim dan Adz Dzahabi menshahihkannya].

Jika pengikut salafy itu mengakui kalau para sahabat [termasuk Abu Bakar dan Umar] adalah pemuda ahli surga maka tidak bisa tidak Sayyid bagi mereka adalah Imam Hasan dan Imam Husain. Kedudukan “Sayyid” menunjukkan kalau keduanya lebih utama dari para sahabat Nabi [yang juga termasuk pemuda ahli surga]. Jika Imam Ali dikatakan oleh Rasulullah SAW lebih baik atau utama dari Sayyid pemuda ahli surga maka sudah jelas Imam Ali lebih utama dari semua sahabat lainnya [termasuk Abu Bakar dan Umar]. Dalil ini yang lebih pantas dikatakan dalil qath’i.

عن بن عباس قال بعثني النبي صلى الله عليه وسلم الى علي بن أبي طالب فقال أنت سيد في الدنيا وسيد في الآخرة من احبك فقد احبني وحبيبك حبيب الله وعدوك عدوي وعدوي عدو الله الويل لمن ابغضك من بعدي

Dari Ibnu Abbas yang berkata “Nabi SAW mengutusku kepada Ali bin Abi Thalib lalu Beliau bersabda “Wahai Ali kamu adalah Sayyid [pemimpin] di dunia dan Sayyid [pemimpin] di akhirat. Siapa yang mencintaimu maka sungguh ia mencintaiku, kekasihmu adalah kekasih Allah dan musuhmu adalah musuhku dan musuhku adalah musuh Allah. Celakalah mereka yang membencimu sepeninggalKu [Fadhail Shahabah Ahmad bin Hanbal no 1092, dengan sanad yang shahih].

Hadis ini adalah dalil qath’i kalau Imam Ali lebih utama dari semua sahabat lainnya [termasuk Abu Bakar dan Umar] karena Rasulullah SAW menyatakan dengan jelas kedudukan Imam Ali sebagai “Sayyid” baik di dunia maupun di akhirat.

Bagi kami atsar Ibnu Umar di atas hanya pendapat sebagian sahabat yang merupakan ijtihad mereka. Atsar ini tidak bisa dijadikan hujjah jika terdapat atsar lain yang menyelisihinya ditambah lagi telah shahih dari Rasulullah SAW keutamaan Imam Ali yang begitu tinggi di atas para sahabat. Jadi atsar Ibnu Umar di atas dilihat dari sisi manapun tidak menjadi hujjah bagi salafy bahkan atsar itu berbalik menentang keyakinan mereka. Sungguh aneh mereka tidak menyadari inkonsistensi yang mereka alami, apakah mereka tidak mampu memahami apa itu “inkonsistensi”? atau sebenarnya mereka paham tetapi hati mereka tidak sanggup menerima.

Hadis lain yang sering dijadikan hujjah salafy untuk mengutamakan Abu Bakar dan Umar di atas Imam Ali adalah perkataan Imam Ali bahwa Abu Bakar dan Umar umat terbaik setelah Nabi SAW.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا جَامِعُ بْنُ أَبِي رَاشِدٍ حَدَّثَنَا أَبُو يَعْلَى عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَنَفِيَّةِ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ عُمَرُ وَخَشِيتُ أَنْ يَقُولَ عُثْمَانُ قُلْتُ ثُمَّ أَنْتَ قَالَ مَا أَنَا إِلَّا رَجُلٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir yang berkata telah mengabarkan kepada kami Sufyan yang berkata telah menceritakan kepada kami Jami’ bin Abi Raasyid yang menceritakan kepada kami Abu Ya’la dari Muhammad bin Al Hanafiah yang berkata “aku bertanya kepada ayahku “siapakah manusia terbaik setelah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Beliau menjawab “Abu Bakar”. Aku berkata “kemudian siapa?”. Beliau menjawab “Umar” dan aku khawatir ia akan berkata Utsman, aku berkata “kemudian engkau”. Beliau menjawab “Aku tidak lain hanya seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin” [Shahih Bukhari no 3671].

Atsar Imam Ali di atas adalah atsar yang shahih tetapi kami tidak memahami atsar di atas seperti pemahaman salafy. Atsar di atas dengan jelas menunjukkan sikap tawadhu’ Imam Ali, buktinya adalah perkataan Imam Ali ketika ditanya tentang dirinya, Beliau menjawab “Aku tidak lain hanya seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin”. Siapapun akan mengetahui berbagai keutamaan Imam Ali yang begitu tinggi dan dengan keutamaan tersebut Beliau jelas lebih utama dari lafaz “seorang laki-laki” tetapi Imam Ali mengatakannya untuk menunjukkan sikap tawadhu’ Beliau. Apakah salafy ketika berhujjah dengan hadis ini mereka menempatkan Imam Ali sebagai hanya seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin?. Bukankah para sahabat, tabiin dan banyak umat muslim lain juga bisa dikatakan sebagai “seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin”. Lantas bagaimana bisa salafy mengutamakan Imam Ali sebagai yang keempat di atas sahabat lain dan para tabiin kalau Imam Ali sendiri beranggapan dirinya hanya seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin?.

Sudah jelas memaknai atsar di atas secara zahir justru menimbulkan inkonsistensi di sisi salafy. Kami tidak memahami atsar Imam Ali di atas secara zahir, bagi kami atsar di atas menunjukkan pujian Imam Ali kepada Abu Bakar dan Umar, dan bagaimana kedudukan mereka di antara sahabat lainnya. Imam Ali tidak sedang membicarakan kedudukan dirinya oleh karena itu ketika ditanya tentang dirinya, Beliau menjawab dengan perkataan yang menunjukkan sikap tawadhu’ bukan dengan perkataan yang menjelaskan kedudukan sebenarnya tentang dirinya. Sedangkan kedudukan sebenarnya Imam Ali telah jelas disebutkan dalam berbagai hadis shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam [diantaranya yang telah kami sebutkan sebelumnya].

حدثنا عبد الله قال حدثني أبو صالح الحكم بن موسى قثنا شهاب بن خراش قثنا الحجاج بن دينار عن حصين بن عبد الرحمن عن أبي جحيفة قال كنت أرى أن عليا أفضل الناس بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم قلت يا أمير المؤمنين إني لم أكن أرى أن أحدا من المسلمين من بعد رسول الله أفضل منك قال أولا أحدثك يا أبا جحيفة بأفضل الناس بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم قلت بلى قال أبو بكر قال أفلا أخبرك بخير الناس بعد رسول الله وأبي بكر قال قلت بلى فديتك قال عمر

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Shalih Al Hakam bin Musa yang menceritakan kepada kami Syihab bin Khirasy  yang berkata telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Diinar dari Hushain bin Abdurrahman dari Abu Juhaifah yang berkata “Aku berpendapat bahwa Ali adalah orang yang paling utama setelah Rasulullah SAW, aku berkata “wahai amirul mukminin aku tidak melihat ada seseorang dari kalangan kaum muslimin setelah Rasulullah SAW yang lebih utama daripada engkau”. Ali berkata “tidakkah engkau mau kuberitahukan kepadamu wahai Abu Juhaifah orang yang paling utama setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku berkata “tentu”. Beliau berkata “Abu Bakar”. Kemudian beliau berkata “tidakkah engkau mau kuberitahukan padamu orang yang paling baik setelah Rasulullah [SAW] dan Abu Bakar. Aku berkata “tentu, beritahukanlah”. Beliau menjawab “Umar” [Fadhail Ash Shahabah no 404].

Sama seperti sebelumnya, kami memahami bahwa perkataan Imam Ali di atas adalah bagian dari sikap tawadhu’ Beliau. Perhatikan baik-baik Abu Juhaifah adalah seorang sahabat Nabi SAW dan pendapatnya kalau Imam Ali orang yang paling utama setelah Rasulullah SAW menunjukkan bahwa atsar Ibnu Umar sebelumnya memang tidak berlaku untuk seluruh sahabat melainkan hanya sebagian sahabat sedangkan sahabat lain seperti Abu Juhaifah memandang Imam Ali sebagai orang yang paling utama. Dalam hadis di atas Imam Ali tidaklah mengingkari, mencela, marah atau menghukum Abu Juhaifah karena pandangannya yang mengutamakan dirinya. Tentu saja hal ini menunjukkan bathilnya hadis yang dijadikan hujjah oleh salafy bahwa Imam Ali akan mencambuk atau menghukum mereka yang mengutamakan dirinya atas Abu Bakar dan Umar. Bagi Imam Ali tidak ada masalah jika ada orang yang mengutamakan dirinya atas Abu Bakar dan Umar.

Anehnya ketika ditunjukkan atsar dari Abu Bakar yang mengakui kalau dirinya bukanlah orang yang terbaik, salafy dengan mudahnya mengatakan bahwa itu adalah bagian dari sikap tawadhu’ Abu Bakar. Abu Bakar pernah berkhutbah dihadapan manusia.

قال أما بعد أيها الناس فأني قد وليت عليكم ولست بخيركم فان أحسنت فأعينوني وإن أسأت فقوموني الصدق أمانة والكذب خيانة والضعيف فيكم قوي عندي حتى أرجع عليه حقه إن شاء الله والقوي فيكم ضعيف حتى آخذ الحق منه إن شاء الله لا يدع قوم الجهاد في سبيل الله إلا خذلهم الله بالذل ولا تشيع الفاحشة في قوم إلا عمهم الله بالبلاء أطيعوني ما أطعت الله ورسوله فاذا عصيت الله ورسوله فلا طاعة لي عليكم قوموا الى صلاتكم يرحمكم الله

Ia berkata “Amma ba’du, wahai manusia sekalian sesungguhnya aku telah dipilih sebagai pimpinan atas kalian dan bukanlah aku orang yang terbaik diantara kalian maka jika berbuat kebaikan bantulah aku. Jika aku bertindak keliru maka luruskanlah aku, kejujuran adalah amanah dan kedustaan adalah khianat. Orang yang lemah diantara kalian ia kuanggap kuat hingga aku mengembalikan haknya kepadanya jika Allah menghendaki. Sebaliknya yang kuat diantara kalian aku anggap lemah hingga aku mengambil darinya hak milik orang lain yang diambilnya jika Allah mengehendaki. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah kecuali Allah timpakan kehinaan dan tidaklah kekejian tersebar di suatu kaum kecuali adzab Allah ditimpakan kepada kaum tersebut. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan RasulNya. Tetapi jika aku tidak mentaati Allah dan RasulNya maka tiada kewajiban untuk taat kepadaku. Sekarang berdirilah untuk melaksanakan shalat semoga Allah merahmati kalian. [Sirah Ibnu Hisyam 4/413-414 tahqiq Hammam Sa’id dan Muhammad Abu Suailik, dinukil Ibnu Katsir dalam Al Bidayah 5/269 dan 6/333 dimana ia menshahihkannya].

Kalau diartikan secara zahir sudah jelas atsar Abu Bakar ini merupakan bantahan yang telak atas salafy. Bagaimana mungkin mereka mengakui kalau Abu Bakar orang yang paling baik setelah Rasulullah SAW kalau Abu Bakar sendiri justru mengakui kalau ia bukanlah orang yang terbaik diantara para sahabat Nabi. Jadi kalau hanya mengandalkan atsar sahabat maka akan muncul berbagai inkonsistensi dan kontradiksi. Satu-satunya pemecahan adalah dengan melihat berbagai hadis shahih dari Rasulullah SAW yang menunjukkan keutamaan dan kedudukan yang sebenarnya.

Pandangan kami soal “siapa yang paling utama” berdasarkan metode yang sangat berbeda dengan salafy. Metode yang kami gunakan adalah mengumpulkan hadis-hadis shahih dari Rasulullah SAW mengenai keutamaan para sahabat yaitu Imam Ali ataupun Abu Bakar dan Umar kemudian membandingkan antara keutamaan tersebut mana yang menjadi hujjah bagi yang lain. Dengan metode seperti ini dapat diketahui dengan jelas kedudukan sahabat yang sebenarnya. Sedangkan metode salafy adalah metode sepihak yang hanya mengandalkan hadis yang itu-itu saja dan mengabaikan berbagai hadis lain yang justru menunjukkan kedudukan yang sebenarnya. Contohnya adalah bagaimana bisa salafy mengabaikan hadis Tsaqalain sebagai keutamaan yang tinggi bagi Imam Ali?. Bagaimana bisa salafy mengabaikan kedudukan imam Ali sebagai maula bagi kaum mukminin [termasuk Abu Bakar dan Umar]?. Bagaimana bisa salafy mengabaikan kedudukan Imam Ali sebagai waly bagi setiap orang beriman [termasuk Abu Bakar dan Umar]?, dan masih banyak hadis-hadis lainnya.

Hadis lain yang dijadikan hujjah salafy dalam mengutamakan Abu Bakar dan Umar di atas Ali adalah

حَدَّثَنِي الْوَلِيدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ أَبِي الْحُسَيْنِ الْمَكِّيُّ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ إِنِّي لَوَاقِفٌ فِي قَوْمٍ فَدَعَوْا اللَّهَ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَقَدْ وُضِعَ عَلَى سَرِيرِهِ إِذَا رَجُلٌ مِنْ خَلْفِي قَدْ وَضَعَ مِرْفَقَهُ عَلَى مَنْكِبِي يَقُولُ رَحِمَكَ اللَّهُ إِنْ كُنْتُ لَأَرْجُو أَنْ يَجْعَلَكَ اللَّهُ مَعَ صَاحِبَيْكَ لِأَنِّي كَثِيرًا مَا كُنْتُ أَسْمَعُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُنْتُ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَفَعَلْتُ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَانْطَلَقْتُ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ فَإِنْ كُنْتُ لَأَرْجُو أَنْ يَجْعَلَكَ اللَّهُ مَعَهُمَا فَالْتَفَتُّ فَإِذَا هُوَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ

Telah menceritakan kepadaku Walid bin Shalih yang berkata telah menceritakan kepada kami Isa bin Yunus yang berkata menceritakan kepada kami Umar bin Sa’id bin Abi Husain Al Makkiy dari Ibnu Abi Mulaikah dari Ibnu Abbas radiallahu ‘anhuma yang berkata “Sungguh aku pernah berdiri di kerumunan orang yang sedang mendoakan Umar bin Khathab ketika ia telah diletakkan di atas pembaringannya. Tiba-tiba seseorang dari belakangku yang meletakkan kedua sikunya di bahuku berkata: “Semoga Allah merahmatimu dan aku berharap agar Allah menggabungkan engkau bersama dua shahabatmu karena aku sering mendengar Rasulullah SAW bersabda “aku bersama Abu Bakar dan Umar” atau “Aku telah mengerjakan bersama Abu Bakar dan Umar” atau “aku pergi dengan Abu Bakar dan Umar”. Maka sungguh aku berharap semoga Allah menggabungkan engkau dengan keduanya. Maka aku melihat ke belakangku ternyata ia adalah Ali bin Abi Thalib [Shahih Bukhari no 3677].

Dalam hadis ini tidak ada sedikitpun petunjuk keutamaan Abu Bakar dan Umar di atas Ali. Hadis ini memuat doa Imam Ali agar Umar bergabung bersama Rasulullah SAW dan Abu Bakar. Insya Allah perkara bergabung bersama Rasulullah SAW nanti adalah harapan setiap sahabat Nabi SAW dan bukan kekhususan Abu Bakar dan Umar. Begitu pula perkataan Rasulullah SAW “Aku bersama Abu Bakar dan Umar” tidaklah menunjukkan kekhususan terhadap mereka berdua. Bahkan banyak hadis shahih lain yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW sangat dekat kepada Imam Ali. Pernahkah para pembaca mendengar hadis shahih yang menunjukkan kecintaan kepada Ali berarti kecintaan kepada Rasulullah SAW? Hadis shahih siapa yang menyakiti Ali maka menyakiti Rasulullah SAW?. Hadis shahih siapa yang mencaci Ali berarti mencaci Rasulullah SAW?. Hadis shahih siapa yang memisahkan diri dari Ali berarti memisahkan diri dari Rasulullah SAW?. Tidak diragukan lagi hadis-hadis tersebut menunjukkan betapa tingginya kedudukan Imam Ali di sisi Rasulullah SAW.
Masih banyak lagi hadis yang menunjukkan kedekatan Imam Ali kepada Rasulullah SAW, diantaranya ketika di Thaif Rasulullah SAW dan Ali memisahkan diri dari para sahabat dan terlihat mengadakan pembicaraan yang lama sehingga membuat sebagian sahabat mengeluh, ketika mereka mengadukan keluhan mereka kepada Rasulullah SAW, Rasulullah SAW menjawab bahwa bukan Beliau yang berbicara dengan Imam Ali tetapi Allah SWT yang berbicara dengan Imam Ali. Tentu saja kekhususan seperti ini hanya dimiliki Imam Ali dan tidak pernah dimiliki Abu Bakar dan Umar.

عن أم سلمة رضى الله تعالى عنها قالت والذي أحلف به إن كان علي لأقرب الناس عهدا برسول الله صلى الله عليه وسلم عدنا رسول الله صلى الله عليه وسلم غداة وهو يقول جاء علي جاء علي مرارا فقالت فاطمة رضى الله تعالى عنها كأنك بعثته في حاجة قالت فجاء بعد قالت أم سلمة فظننت أن له إليه حاجة فخرجنا من البيت فقعدنا عند الباب وكنت من أدناهم إلى الباب فأكب عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم وجعل يساره ويناجيه ثم قبض رسول الله صلى الله عليه وسلم من نومه ذلك فكان علي أقرب الناس عهدا

Dari Ummu Salamah radiallahu ta’ala ‘anha yang berkata “Demi Yang aku bersumpah dengan-Nya, sesungguhnya Ali adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah SAW. Kami menjenguk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pada suatu pagi dan Beliau berkata ‘Apakah Ali sudah datang? Apakah Ali sudah datang?’ Beliau tanyakan itu berkali-kali, lalu Fathimah berkata “sepertinya Anda mengutusnya untuk sebuah keperluan”. Kemudian datanglah Ali, Ummu Salamah berkata “kami mengira bahwa Beliau ada perlu dengannya maka kami keluar dari kamar dan duduk di dekat pintu. Dan aku yang paling dekat dengan pintu, maka Rasulullah SAW merundukkan kepalanya [ketubuh Ali] dan membisikkan sesuatu kepadanya, kemudian beliau wafat hari itu juga. Maka Ali adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah SAW” [Al Mustadrak Ash Shahihain no 4671 dimana Al Hakim dan Adz Dzahabi bersepakat menshahihkannya].
 

Bukankah hadis di atas menunjukkan betapa dekatnya hubungan antara Imam Ali dan Rasulullah SAW?. Hadis ini tidak kalah utama dari atsar Ibnu Abbas di atas. Bagaimana bisa salafy mengabaikan berbagai hadis lain yang menunjukkan kedekatan Imam Ali dengan Rasulullah SAW. Kami tidak menolak atsar Ibnu Abbas yang dijadikan hujjah salafy, yang kami tolak adalah cara pendalilan versi salafy yang menjadikan atsar tersebut sebagai hujjah keutamaan Abu Bakar dan Umar di atas Ali, karena memang tidak ada penunjukkan yang demikian dalam atsar tersebut.

Sebenarnya kalau menuruti metode salafy maka perkataan Abu Bakar sebelumnya bahwa beliau bukanlah yang terbaik diantara sahabat Nabi yang lain adalah perkataan yang terang benderang dan cukup telak meruntuhkan syubhat salafy yang sok memakai dalil sunni untuk menguatkan keyakinannya. Abu Bakar sendiri mengakui kalau ia bukan yang terbaik lantas mengapa salafy malah mengatakan Abu Bakar umat terbaik?. Apakah salafy merasa lebih mengetahui dari Abu Bakar. Begitu pula kalau menuruti cara berpikir salafy, maka semua sahabat yang mendengar khutbah Abu Bakar tidak ada yang membantahnya. Jadi semua sahabat setuju dengan pernyataan Abu Bakar kalau dirinya bukanlah yang terbaik diantara mereka. Maka kita kembalikan permasalahan ini kepada salafy, tunjukkan sikap yang konsisten dalam berhujjah jika memang kalian mampu. Kalau tidak mampu maka diamlah, jangan merasa sok berdalil dengan hadis-hadis sunni.

Salafy berusaha mengingkari keutamaan hadis manzilah dengan berbagai syubhat. Syubhat-syubhat yang justru meruntuhkan keutamaan hadis manzilah. Sehingga jika kita atau salafy menerima syubhat-syubhat tersebut maka tidak tersisa keutamaan yang ada dalam hadis manzilah. Pembahasan hadis manzilah telah kami paparkan dalam thread khusus dan telah kami buktikan bahwa hadis manzilah menunjukkan keutamaan Imam Ali di atas Abu Bakar dan Umar. Kami hanya akan membahas syubhat-syubhat salafy yang tidak ada nilainya sama sekali.

Salafy mengatakan kalau menjadikan hadis manzilah sebagai keutamaan Imam Ali di atas Abu Bakar dan Umar akan menyebabkan pertentangan dengan atsar Imam Ali bahwa manusia terbaik setelah Rasulullah SAW adalah Abu Bakar.

Kami jawab : kalau salafy hanya berkeras pada cara mereka berdalil maka akan muncul berbagai inkonsistensi yang nyata, contohnya saja apakah mereka berani menganggap Imam Ali hanya sebagai seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin?. Bagi kami perkataan Imam Ali tidaklah bertentangan dengan hadis manzilah. Perkataan Imam Ali tersebut adalah bagian sikap tawadhu’ beliau sehingga Beliau tidak sedang membicarakan kedudukan Beliau yang sebenarnya oleh karena itu ketika ditanya tentang dirinya, Imam Ali menjawab dengan jawaban yang menunjukkan sikap tawadhu’ bukan menjelaskan kedudukan dirinya yang sebenarnya. Sedangkan kedudukan Imam Ali yang sebenarnya di sisi Nabi SAW tampak dalam berbagai hadis shahih yang diucapkan oleh Rasulullah SAW, nah diantaranya adalah hadis Manzilah.

Salafy mengatakan kalau Nabi SAW juga pernah membandingkan Abu Bakar dan Umar dengan para Nabi yaitu Abu Bakar dengan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Isa AS, Umar dengan Nabi Nuh AS dan Nabi Musa AS. Salafy berhujjah dengan perkataan berikut:
Dalam Sahih Bukhari dan Muslim mengenai tawanan perang. Ketika Nabi meminta pendapat Abu Bakar, ia mengusulkan tebusan. Ketika Nabi bertanya kepada ‘Umar, ia mengusulkan untuk dibunuh saja. Lalu Nabi bersabda: “Akan kuceritakan kepadamu tentang dua orang yang sepadan dengan kamu. Engkau, wahai Abu Bakar, sama dengan Ibrahim ketika ia berkata: Barangsiapa mengikuti aku, ia termasuk golonganku. Barangsiapa durhaka kepadaku, sesungguhnya Tuhan maha pengampun dan maha Pengasih (QS, Ibrahim, 14:36). Engkau juga sama dengan Nabi Isa ketika ia berkata: “Jika Engkau menyiksa mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu. Dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkau Maha Mulia dan Maha Bijaksana”. (QS, al-Ma’idah, 5:118). Adapun engkau, wahai ‘Umar, sama seperti Nuh ketika ia berkata: “Ya Tuhanku janganlah Engkau biarkan seorang pun diantara orang-orang kafir tinggal di atas bumi”. (QS, Nuh, 71:26). Engkau juga seperti Nabi Musa ketika ia berkata: “Ya Tuhan kami binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, sehingga mereka tidak beriman sampai mereka melihat siksaan yang pedih”. (QS, Yunus, 10:88).
Kami jawab : hujjah ini hanyalah pengulangan cara berhujjah syaikh mereka Ibnu Taimiyyah yang diikuti oleh Mahmud Az Za’bi dalam Al Bayyinat. Hujjah mereka ini tidak nyambung karena hadis yang mereka jadikan hujjah tidak sedang menjelaskan tentang keutamaan atau kedudukan Abu Bakar dan Umar. Siapapun akan melihat dengan jelas bahwa Nabi SAW sendiri menjelaskan maksud perkataan Beliau SAW “Engkau, wahai Abu Bakar, sama dengan Ibrahim ketika ia berkata dan “Engkau juga sama dengan Nabi Isa ketika ia berkata atau “Adapun engkau, wahai ‘Umar, sama seperti Nuh ketika ia berkata dan “Engkau juga seperti Nabi Musa ketika ia berkata”. Perhatikan perkataan “ketika ia berkata”, lafaz inilah yang menunjukkan apa yang sebenarnya sedang dianalogikan oleh Nabi SAW dalam hadis di atas. Jadi sebenarnya yang disamakan oleh Nabi SAW adalah sifat yang ada dalam jawaban Abu Bakar dan Umar dengan sifat yang ada dalam perkataan Nabi-Nabi tersebut. Sedangkan hadis manzilah sangat jelas menunjukkan tentang keutamaan dan kedudukan.

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا أبو سعيد مولى بنى هاشم ثنا سليمان بن بلال ثنا الجعيد بن عبد الرحمن عن عائشة بنت سعد عن أبيها ان عليا رضي الله عنه خرج مع النبي صلى الله عليه و سلم حتى جاء ثنية الوداع وعلى رضي الله عنه يبكى يقول تخلفني مع الخوالف فقال أو ما ترضى أن تكون منى بمنزلة هارون من موسى الا النبوة

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id mawla bani hasyim yang berkata menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilal yang menceritakan kepada kami Al Ju’aid bin Abdurrahman dari Aisyah binti Sa’ad dari ayahnya bahwa Ali pergi bersama Nabi SAW hingga tiba di balik bukit. Saat itu Ali menangis dan berkata “Tidakkah engkau rela bahwa kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa kecuali Kenabian” [Musnad Ahmad 1/170 no 1463 dengan sanad yang shahih].

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الله بن نمير قال ثنا موسى الجهني قال حدثتني فاطمة بنت علي قالت حدثتني أسماء بنت عميس قالت سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول يا علي أنت مني بمنزلة هارون من موسى الا انه ليس بعدي نبي

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Numair yang berkata telah menceritakan kepada kami Musa Al Juhani yang berkata telah menceritakan kepadaku Fathimah binti Ali yang berkata telah menceritakan kepadaku Asma’ binti Umais yang berkata aku mendengar Rasulullah SAW berkata “wahai Ali engkau di sisiKu seperti kedudukan Harun di sisi Musa kecuali tidak ada Nabi setelahku” [Musnad Ahmad 6/438 no 27507 dishahihkan oleh Syaikah Syu’aib Al Arnauth].

Kami tidak mengingkari bahwa hadis ini diucapkan Nabi SAW di perang tabuk tetapi terdapat pula penunjukkan kalau Nabi SAW mengucapkan hadis ini di saat lain selain perang Tabuk seperti yang telah kami bahas sebelumnya. Hadis Asma’ binti Umais dengan penyimakan langsung dari Rasulullah SAW itu didengar pada peristiwa lain selain perang tabuk. Perhatikan lafaz hadis yang diucapkan Rasulullah SAW “kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa kecuali Kenabian”. Lafaz ini adalah lafaz yang umum karena di dalam lafaznya terkandung pengecualian kedudukan yang tidak dimiliki Imam Ali yaitu Kenabian. Semua kedudukan Harun di sisi Musa dimiliki oleh Imam Ali di sisi Nabi SAW kecuali kenabian. Oleh karena itu sangat wajar jika para sahabat menganggap ini sebagai keutamaan yang besar dan sangat berharap kalau saja mereka bisa mendapatkannya. Berbeda halnya dengan hadis yang dijadikan hujjah salafy di atas, tidak ada satupun para sahabat yang menganggap itu sebagai keutamaan yang besar serta berandai-andai memilikinya.

Salafy berhujjah dengan hadis bahwa Rasulullah SAW menghendaki Abu Bakar sebagai khalil dan menurut salafy kedudukan ini menunjukkan Abu Bakar lebih utama dari imam Ali. Seperti biasa salafy itu terlalu terburu-buru dalam menarik kesimpulan. Silakan perhatikan hadis yang dimaksud:

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَمَنِّ النَّاسِ عَلَيَّ فِي صُحْبَتِهِ وَمَالِهِ أَبَا بَكْرٍ وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيلًا غَيْرَ رَبِّي لَاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ وَلَكِنْ أُخُوَّةُ الْإِسْلَامِ وَمَوَدَّتُهُ لَا يَبْقَيَنَّ فِي الْمَسْجِدِ بَابٌ إِلَّا سُدَّ إِلَّا بَابَ أَبِي بَكْرٍ

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata “sesungguhnya manusia yang paling banyak jasanya dalam persahabatan dan hartanya adalah Abu Bakar. Seandainya aku [boleh] mengambil khalil selain Rabbku niscaya aku mengambil Abu Bakar tetapi cukuplah [kedudukan] persaudaraan dalam islam dan kasih sayang. Tidak akan tersisa satu pintu di masjid yang tertutup kecuali pintu Abu Bakar” [Shahih Bukhari no 3654].

حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيلًا لَاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ وَلَكِنْ أَخِي وَصَاحِبِي

Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim yang berkata telah menceritakan kepada kami Wuhaib yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayub dari Ikrimah dari Ibnu Abbas radiallhu ‘anhuma dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam yang berkata “seandainya aku [boleh] mengambil khalil dari umatku maka aku akan mengambil Abu Bakar tetapi cukuplah ia sebagai saudaraku dan sahabatku” [Shahih Bukhari no 3656].
 

Jika diperhatikan dengan baik maka dalam hadis di atas tidak ada penetapan oleh Rasulullah SAW bahwa Abu Bakar adalah khalil Beliau. Diisyaratkan dalam hadis di atas adalah pengandaian jika Rasul SAW dibolehkan mengambil khalil dan kenyataannya kedudukan yang jelas bagi Abu Bakar dalam hadis di atas adalah saudara dan sahabat Nabi atau kedudukan dalam kasih sayang dan persaudaraan. Sama halnya dengan perkataan Nabi SAW “jika ada Nabi setelahku maka Umarlah orangnya” dimana dalam perkataan ini tidak ada pernyataan bahwa Umar adalah Nabi setelah Beliau SAW. Jadi poin pertama yang harus dimengerti dalam hadis ini adalah perandaian sangat berbeda dengan penetapan. Kedudukan yang ditetapkan oleh Nabi SAW terhadap Abu Bakar adalah saudara dan sahabat Beliau. Dan kedudukan saudara ini tidak lah terbatas kepada Abu Bakar saja mengingat Rasulullah SAW telah menyatakan pula kalau Imam Ali adalah saudara Beliau, sahabat Beliau, wazir dan pewaris Beliau SAW.

Dan jika mau dibandingkan antara Abu Bakar dan Ali, maka kedudukan saudara Rasulullah SAW yang dimiliki Imam Ali lebih bersifat khusus dan utama. Dalam hadis di atas disebutkan bahwa kedudukan saudara bagi Abu Bakar adalah persaudaraan dalam islam dan kasih sayang. Persaudaraan ini tidaklah bersifat khusus karena para sahabat lain juga memiliki kedudukan seperti itu yaitu persaudaraan dalam islam dan kasih sayang terhadap Nabi SAW, sedangkan kedudukan “saudara” yang dimiliki Imam Ali diakui Imam Ali sendiri bersifat khusus

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ نُمَيْرٍ , عَنِ الْحَارِثِ بْنِ حَصِيرَةَ , قَالَ : حَدَّثَنِي أَبُو سُلَيْمَانَ الْجُهَنِيُّ , يَعْنِي زَيْدَ بْنَ وَهْبٍ ، قَالَ : سَمِعْتُ عَلِيًّا عَلَى الْمِنْبَرِ وَهُوَ يَقُولُ : أَنَا عَبْدُ اللهِ , وَأَخُو رَسُولِهِ صلى الله عليه وسلم , لَمْ يَقُلْهَا أَحَدٌ قَبْلِي , وَلاَ يَقُولُهَا أَحَدٌ بَعْدِي إلاَّ كَذَّابٌ مُفْتَرٍ

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Numair dari Al Harits bin Hashirah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Sulaiman Al Juhani yakni Zaid bin Wahb yang berkata aku mendengar Ali berkata di atas mimbar “aku adalah hamba Allah dan saudara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak ada seorangpun sebelumku yang mengatakannya dan tidak pula seorang pun setelahku mengatakannya kecuali ia seorang pendusta yang mengada-ada [Al Mushannaf 12/62 no 32742].

Atsar Imam Ali ini kedudukannya hasan. Diriwayatkan oleh para perawi tsiqat kecuali Al Harits bin Hashirah seorang yang shaduq hasanul hadis.
  • Abdullah bin Numair Al Hamdani adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Ibnu Ma’in, Ibnu Hibban, Al Ijli dan Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 6 no 110].
  • Al Harits bin Hashirah adalah perawi yang shaduq hasanul hadis. Ia adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad dan perawi Nasa’i dalam Khasa’is Ali. Ibnu Ma’in, Nasa’i, Ibnu Hibban, Al Ijli dan Ibnu Numair menyatakan tsiqat. Abu Dawud berkata “seorang syiah yang shaduq”. Al Uqaili mengatakan “tidak diikuti hadisnya”. [At Tahdzib juz 2 no 236].
  • Zaid bin Wahb Al Juhani adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Ibnu Ma’in, Ibnu Khirasy, Ibnu Sa’ad, Ibnu Hibban dan Al Ijli menyatakan “tsiqat” [At Tahdzib juz 3 no 781].
Atsar di atas menyatakan kekhususan kedudukan saudara Rasulullah SAW bagi Imam Ali sehingga Imam Ali mengatakan pendusta kepada mereka yang berani mengatakan hal yang seperti itu baik orang sebelum Beliau ataupun setelah Beliau. Perlu ditekankan kami tidak menafikan kedudukan “saudara Rasulullah SAW” bagi Abu Bakar tetapi kami menafsirkan bahwa kedudukan saudara yang dimiliki Abu Bakar berbeda dengan kedudukan saudara yang dimiliki Imam Ali, dimana bagi kami persaudaraan Rasulullah SAW dengan Imam Ali lebih khusus dan lebih utama.

Rasulullah SAW menjadikan perandaian “khalil” menunjukkan besarnya kecintaan dan kasih sayang antara Abu Bakar dan Rasulullah SAW, kami tidaklah mengingkari hal ini. Tetapi menjadikan ini dalil keutamaan Abu Bakar di atas Ali adalah keliru karena telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Rasulullah SAW justru lebih mencintai Ali dari Abu Bakar

ثنا أبو نعيم ثنا يونس ثنا العيزار بن حريث قال قال النعمان بن بشير قال استأذن أبو بكر على رسول الله صلى الله عليه و سلم فسمع صوت عائشة عاليا وهى تقول والله لقد عرفت ان عليا أحب إليك من أبي ومنى مرتين أو ثلاثا فاستأذن أبو بكر فدخل فأهوى إليها فقال يا بنت فلانة الا أسمعك ترفعين صوتك على رسول الله صلى الله عليه و سلم

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim yang berkata telah menceritakan kepada kami Yunus yang berkata telah menceritakan kepada kami Al ‘Aizar bin Huraits yang berkata Nu’man bin Basyir berkata “Abu Bakar meminta izin untuk bertemu dengan Rasulullah SAW. Kemudian beliau mendengar suara tinggi Aisyah yang berkata kepada Rasulullah SAW “Demi Allah sungguh aku telah mengetahui bahwa Ali lebih Engkau cintai daripada aku dan ayahku” sebanyak dua atau tiga kali. Abu Bakar meminta izin masuk menemuinya dan berkata “Wahai anak perempuan Fulanah tidak seharusnya kau meninggikan suaramu terhadap Rasulullah SAW” [Musnad Ahmad no 18333 tahqiq Syaikh Ahmad Syakir dan Hamzah Zain dengan sanad yang shahih].

Begitu pula telah diriwayatkan di dalam hadis yang shahih bahwa Imam Ali adalah manusia yang paling dicintai oleh Allah SWT. Kedudukan ini justru menunjukkan bahwa Imam Ali adalah manusia yang paling utama setelah Rasulullah SAW.

حدثنا سفيان بن وكيع حدثنا عبيد الله بن موسى عن عيسى بن عمر عن السدي عن أنس بن مالك قال كان عند النبي صلى الله عليه و سلم وسلم طير فقال اللهم آئتني بأحب خلقك إليك يأكل معي هذا الطير فجاء علي فأكل معه

Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Waki’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Musa dari Isa bin Umar dari As Suddi dari Anas bin Malik yang berkata Rasulullah SAW suatu ketika memiliki daging burung kemudian Beliau SAW bersabda “Ya Allah datangkanlah hambamu yang paling Engkau cintai agar dapat memakan daging burung ini bersamaKu. Maka datanglah Ali dan ia memakannya bersama Nabi SAW” [Sunan Tirmidzi 5/636 no 3721 hadis shahih dengan keseluruhan jalannya].

Begitu pula dengan lafaz terakhir hadis Bukhari di atas soal penutupan pintu masjid selain Abu Bakar, tidak bisa dijadikan dalil sebagai keutamaan Abu Bakar di atas Ali karena telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih dan mutawatir kalau Rasulullah SAW menyatakan “tutuplah semua pintu masjid kecuali pintu Ali bin Abi Thalib”.

قال بن عباس وسد رسول صلى الله عليه وسلم أبواب المسجد غير باب علي فكان يدخل المسجد جنبا وهو طريقه ليس له طريق غيره

Ibnu Abbas berkata Rasulullah SAW memerintahkan agar semua pintu rumah-rumah yang berhubungan langsung dengan masjid Beliau ditutup, kecuali pintu rumah Ali. Oleh karena itu adakalanya Ali masuk ke masjid dalam keadan junub sebab ia tidak memiliki jalan lain kecuali lewat masjid itu [Al Mustadrak Ash Shahihain no 4652 dimana Al Hakim dan Adz Dzahabi bersepakat menshahihkannya].

Jadi dilihat dari sisi manapun tidak ada satupun dalil salafy yang bisa dijadikan hujjah untuk mengutamakan Abu Bakar dan Umar di atas Ali. Bahkan hadis-hadis Rasulullah SAW yang shahih telah menunjukkan kalau kedudukan Imam Ali dan keutamaannya lebih tinggi dari Abu Bakar dan Umar [seperti yang telah kami tunjukkan di atas]. Berikut ini kami akan menunjukkan hadis lain keutamaan Imam Ali yang terdapat dalam Shahih Muslim.

عن أبي حازم أخبرني سهل بن سعد أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال يوم خيبر لأعطين هذه الراية رجلا يفتح الله على يديه يحب الله ورسوله ويحبه الله ورسوله قال فبات الناس يدوكون ليلتهم أيهم يعطاها قال فلما أصبح الناس غدوا على رسول الله صلى الله عليه و سلم كلهم يرجون أن يعطاها فقال أين علي بن أبي طالب ؟ فقالوا هو يا رسول الله يشتكي عينيه قال فأرسلوا إليه فأتى به فبصق رسول الله صلى الله عليه و سلم في عينيه ودعا له فبرأ حتى كأن لم يكن به وجع فأعطاه الراية فقال علي يا رسول الله أقاتلهم حتى يكونوا مثلنا فقال انفذ على رسلك حتى تنزل بساحتهم ثم ادعهم إلى الإسلام وأخبرهم بما يجب عليهم من حق الله فيه فوالله لأن يهدي الله بك رجلا واحدا خير لك من أن يكون لك حمر النعم

Dari Abu Hazim yang berkata telah mengabarkan kepadaku Sahl bin Sa’ad bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda di hari Khaibar “Demi Allah, Sungguh bendera ini akan saya berikan besok hari kepada seorang lelaki yang mana Allah akan mengaruniakan kemenangan melalui tangannya.  Ia mencintai Allah dan Rasul-Nya dan juga dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.” Maka semalam suntuk para sahabat membicarakan kepada siapakah kiranya bendera itu akan diserahkan.”[Sahl] berkata “Ketika tiba esok harinya, para sahabat berangkat dini menghadap Rasulullah SAW semuanya masing-masing berharap agar diserahi bendera itu. Tetapi beliau bersabda “Di mana Ali bin Abi Thalib?” Mereka menjawab: “Wahai Rasulullah, dia sedang menderita sakit mata.” Beliau  s.a.w. bersabda: “Pergilah kalian  kepadanya  dan bawalah ia ke sini.” Maka dibawalah Ali kepada Beliau, lalu Rasulullah s.a.w. mengusapkan air ludah pada kedua matanya dan men-doa-kannya. Kemudian ia pun sembuh, sehingga seolah-olah ia tidak pernah menderita sakit seperti itu. Lalu Beliau SAW menyerahkan ben-dera itu kepadanya. Ali berkata “Wahai Rasulullah, apakah saya harus memerangi mereka sampai mereka menjadi seperti kita?” Beliau bersabda “Bersikap tenanglah sampai engkau tiba di depan mereka, kemudian serulah mereka agar masuk ke dalam Islam dan jelaskan kepada mereka akan kewajiban-kewajiban atas mereka yang berkaitan dengan hak-hak Allah. Demi Allah, sekiranya Allah berkenan mengaruniakan petunjuk [hidayah] kepada seseorang melalui dirimu, maka itu akan lebih baik bagimu daripada unta-unta merah” [Shahih Muslim 4/1872 no 2406].

Perhatikanlah baik-baik hadis di atas, terutama pada bagian “Maka semalam suntuk para sahabat membicarakan kepada siapakah kiranya bendera itu akan diserahkan.”[Sahl] berkata “Ketika tiba besok harinya, para sahabat berangkat dini menghadap Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, semuanya masing-masing berharap agar diserahi bendera itu”. Lafaz ini menunjukkan bahwa semua sahabat saat itu mengharapkan mendapat keutamaan yang tinggi yaitu penetapan dari Allah dan Rasulnya sebagai ”Orang yang mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya dan dicintai oleh Allah SWT dan Rasul-Nya”. Dan tidak ada pula yang akan menyangkal kalau Abu Bakar dan Umar termasuk sahabat yang ikut dalam perang Khaibar, sehingga tentu saja merekapun berharap mendapatkan keutamaan tersebut dan memang diriwayatkan bahwa Umar bin Khaththab RA sangat mengharapkan keutamaan ini sehingga ia datang lebih dahulu dari Imam Ali agar Rasulullah SAW memberikan bendera itu kepadanya [Shahih Muslim 4/1871 no 2405] tetapi Rasulullah SAW justru memberikan keutamaan tersebut kepada orang yang saat itu sedang menderita uzur atau sedang sakit yaitu Imam Ali bin Abi Thalib. Bagi kami hadis ini lebih tepat menunjukkan keutamaan Imam Ali di atas semua sahabat yang lain termasuk Abu Bakar dan Umar.

Akhir kata kami ingin membahas sedikit sikap sinisme sebagian pengikut salafy terhadap kitab-kitab yang tidak mu’tabar menurut mereka. Maka ketahuilah wahai yang mengaku salafy, para ulama yang mu’tabar seperti Ibnu Hajar dan yang lainnya bahkan Syaikh Al Albani yang sangat kalian puji juga sering mengandalkan kitab-kitab yang menurut kalian tidak mu’tabar. Tidak jarang Ibnu Hajar berhujjah dengan kitab Ansab Al Asyraf Al Baladzuri dalam kitabnya Al Ishabah, silakan buka dan baca baik-baik maka kalian akan temukan Ibnu Hajar pernah berkata ”dan diriwayatkan oleh Al Baladzuri dengan sanad yang la ba’sa bihi” [Al Ishabah 2/98 no 1767]. Jadi tidak ada alasannya bagi salafy menolak hadis shahih walaupun itu terdapat dalam kitab yang menurut orang awam mereka ”tidak mu’tabar”. (Source)

Sekarang kita perhatikan disini diantara abu bakar Abu Bakr Dan Umar Bukanlah Kafir Sebagaimana Yg Termaktub Dlm Kitab-Kitab Syiah.Benarkah Demikian syiah menganggapnya kafir? Lalu Dimana letak kesalahan Abu bakar yang merasa dirinya sahabat Utama. Mari kita lihat Kesalahan Abu Bakar. dan Umar Kesalahan Umar bin Khathab  saya tidak melaknatnya tetapi saya mengkritik tindakan abu bakar dan umar terhadap perbuatannya, urusan melaknat hanya Allah kelak dihari perhitungannya. silahkan renungkan??????

(Hauzah-Maya/Scondprince/Syiah-Ali/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: