Hadis Safinah atau Bahtera Nuh menjelaskan kalau Ahlul Bait adalah pintu keselamatan bagi umat islam. Ahlul Bait layaknya bahtera Nuh bagi umat barang siapa yang menaikinya maka ia akan selamat.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُعَلَّى بْنِ مَنْصُورٍ ، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ ، عَنْ أَبِي الأَسْوَدِ ، عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ ، عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَثَلُ أَهْلِ بَيْتِي مَثَلُ سَفِينَةِ نُوحٍ ، مَنْ رَكِبَهَا سَلِمَ وَمَنْ تَرَكَهَا غَرِقَ
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Mu’alla bin Manshur yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Maryam yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahii’ah dari Abul Aswad dari Amir bin Abdullah bin Zubair dari ayahnya bahwa Nabi SAW bersabda “Ahlul Baitku seperti bahtera Nuh barang siapa yang menaikinya akan selamat dan barangsiapa yang meninggalkannya akan celaka [Kasyf Al Astar Zawaid Musnad Al Bazzar 3/222 no 2613].
Hadis ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqat kecuali Abdullah bin Lahii’ah dia seorang yang dhaif tetapi dapat dijadikan i’tibar. Abdullah bin Lahii’ah dinyatakan dhaif dari segi dhabit atau hafalannya.
1. Yahya bin Mu’alla bin Manshur adalah perawi Ibnu Majah yang tsiqat. Al Khatib berkata “tsiqat”. [At Tahdzib juz 11 no 461]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 2/316]. Dalam Tahrir At Taqrib ia dinyatakan tsiqat [Tahrir At Taqrib no 7650].
2. Ibnu Abi Maryam adalah Sa’id bin Hakam bin Muhammad perawi kutubus sittah yang tsiqat. Abu Hatim, Ibnu Hibban dan Ibnu Ma’in berkata “tsiqat” [At Tahdzib juz 4 no 23]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit faqih” [At Taqrib 1/350].
3. Abdullah bin Lahii’ah adalah perawi Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Ahmad bin Shalih menyatakan ia tsiqat. Mereka memperbincangkan hafalannya dimana dikatakan ia mengalami ikhtilath setelah kitabnya terbakar. Abu Hatim dan Abu Zur’ah menyatakan bahwa hadisnya ditulis dan dapat dijadikan i’tibar [At Tahdzib juz 5 no 648]. Ibnu Hajar berkata “shaduq dan mengalami ikhtilath setelah kitabnya terbakar” [At Taqrib 1/526].
4. Abul Aswad adalah Muhammad bin Abdurrahman bin Nawfal perawi kutubus sittah yang tsiqat. Abu Hatim, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Ibnu Syahin menyatakan tsiqat. [At Tahdzib juz 9 no 508]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 2/105].
5. Amir bin Abdullah bin Zubair adalah tabiin perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad, Ibnu Ma’in, Nasa’i, Ibnu Hibban, Al Ijli dan Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat. [At Tahdzib juz 5 no 117]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 1/462].
Hadis Abdullah bin Zubair yang diriwayatkan Ibnu Lahii’ah dikuatkan oleh hadis Abdullah bin Abbas riwayat Hasan bin Abi Ja’far berikut:
حدثنا علي بن عبد العزيز حدثنا مسلم بن إبراهيم ثنا الحسن بن أبي جعفر عن أبي الصهباء عن سعيد بن جبير عن ابن عباس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : مثل أهل بيتي مثل سفينة نوح من ركب فيها نجا ومن تخلف عنها غرق
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdul ‘Aziz yang berkata telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim yang berkata telah menceritakan kepada kami Hasan bin Abi Ja’far dari Abu Shahba’ dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas RA yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Ahlul Baitku seperti bahtera Nuh barang siapa yang menaikinya akan selamat dan barangsiapa yang meninggalkannya akan celaka” [Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 3/46 no 2638].
Hadis ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqat dan shaduq hasanul hadis kecuali Hasan bin Abi Ja’far ia seorang yang dhaif tetapi hadisnya dapat dijadikan i’tibar. Cacat yang ada pada Hasan bin Abi Ja’far karena di dalam hadisnya terdapat hal-hal yang diingkari dan ini dikarenakan waham [kesalahan] atau hafalan yang tidak dhabit sedangkan dirinya sendiri adalah seorang yang shaduq.
1. Ali bin Abdul ‘Aziz adalah Syaikh Thabrani yang tsiqat. Daruquthni berkata “tsiqat ma’mun” [Su’alat Hamzah no 389]. Ibnu Abi Hatim berkata “shaduq” [Al Jarh Wat Ta’dil 6/196 no 1076].
2. Muslim bin Ibrahim adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Al Ijli, Abu Hatim, Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Qani’ berkata “shalih” [At Tahdzib juz 10 no 220]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat ma’mun” [At Taqrib 2/177].
3. Hasan bin Abi Ja’far adalah perawi Ibnu Majah dan Tirmidzi yang dhaif tetapi ia bukanlah seorang pendusta melainkan seorang yang jujur dan hadisnya dapat dijadikan i’tibar. Ia dinyatakan dhaif karena sering meriwayatkan hadis mungkar. Amru bin Ali berkata “shaduq munkar al hadits, yahya tidak meriwayatkan darinya”. Nasa’i menyatakan dhaif. Bukhari berkata “munkar al hadits”. Abu Hatim berkata “tidak kuat, dia seorang syaikh shalih hanya saja sebagian hadis-hadisnya terdapat hal yang diingkari”. Abu Zur’ah berkata “tidak kuat”. Ibnu Hibban mengatakan kalau ia seorang yang baik, rajin beribadah, doanya selalu diijabahkan hanya saja ia melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan hadis dari hafalannya sehingga tidak bisa dijadikan hujjah dan ia memiliki keutamaan. Muslim bin Ibrahim yang meriwayatkan darinya berkata “ia termasuk orang yang paling baik”. Abu Bakar bin Abil Aswad berkata “Ibnu Mahdi awalnya meninggalkan hadisnya tetapi kemudian Ibnu Mahdi meriwayatkan darinya “[periwayatan Ibnu Mahdi berarti Hasan tsiqah menurutnya]. Ibnu Ady menyatakan bahwa Hasan bin Abi Ja’far memiliki hadis-hadis shalih [baik], hadis-hadisnya lurus dan shalih, di sisiku ia bukanlah seorang pendusta ia seorang yang shaduq. Cacat yang ada pada Hasan bin Abi Ja’far karena di dalam hadisnya terdapat hal-hal yang diingkari dan ini dikarenakan waham atau hafalan yang tidak dhabit sedangkan dirinya sendiri adalah seorang yang shaduq. [At Tahdzib juz 2 no 482].
4. Abu Shahba’ Al Kufi adalah orang kufah shaduq hasanul hadis. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqat. [At Tahdzib juz 12 no 644]. Ibnu Hajar berkata “maqbul” [At Taqrib 2/420] dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau ia seorang yang shaduq hasanul hadis [Tahrir At Taqrib no 8180].
5. Sa’id bin Jubair adalah tabiin perawi kutubus sittah yang tsiqat. Abu Qasim Thabari berkata “ia tsiqat imam hujjah kaum muslimin”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat seraya berkata “fakih ahli ibadah yang memiliki keutamaan” [At Tahdzib juz 4 no 14]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit fakih” [At Taqrib 1/349].
Kedua hadis di atas saling menguatkan sehingga derajatnya naik menjadi hasan lighairihi. Ibnu Hajar Al Haitsami berkata tentang hadis Safinah ini “hadis ini memiliki banyak jalan yang saling menguatkan satu sama lain” [Ash Shawaiq Al Muhriqah 2/445]. Al Hafizh As Sakhawi menyatakan hadis ini hasan [Al Baladaniyaat hal 186]. Sebagian orang yang dengki kepada kemuliaan Ahlul Bait telah menolak hadis ini dan menyatakan kalau hadis Safinah palsu. Alhamdulillah Imam Ali sendiri sebagai Ahlul Bait Nabi SAW telah mengakui bahwa kedudukannya bagi umat seperti bahtera Nuh dan pintu pengampunan bani Israil.
حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ هِشَامٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَمَّارٌ عَنِ الأَعْمَشِ عَنِ الْمِنْهَالِ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ إنَّمَا مَثَلُنَا فِي هَذِهِ الأُمَّةِ كَسَفِينَةِ نُوحٍ وَكِتَابِ حِطَّةٍ فِي بَنِي إسْرَائِيلَ
Telah menceritakan kepada kami Mu’awiyah bin Hisyaam yang berkata telah menceritakan kepada kami Ammar dari Al A’masy dari Minhal dari Abdullah bin Al Harits dari Ali yang berkata “Sesungguhnya kedudukan kami bagi umat ini seperti bahtera Nuh dan pintu pengampunan bani Israil” [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah no 32110].
Kedudukan Atsar ini Shahih. Para perawinya adalah perawi terpercaya hanya saja Al A’masy dikenal sebagai mudallis tetapi hal ini tidak mencacatkan atsar tersebut karena Al A’masy adalah mudallis martabat kedua yaitu mudallis yang ‘an anahnya dijadikan hujjah dalam kitab shahih.
1. Mu’awiyah bin Hisyaam adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim dan Ashabus Sunan. Abu Dawud dan Al Ijli menyatakan “tsiqat”. Abu Hatim dam Ibnu Sa’ad berkata “shaduq”. As Saji berkata “shaduq yahiim”. Ibnu Syahin memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan mengutip Utsman bin Abi Syaibah yang berkata “shaduq tidak bisa dijadikan hujjah” [At Tahdzib juz 10 no 403]. Ibnu Hajar memberikan predikat “shaduq lahu awham” [At Taqrib 2/197] dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau Muawiyah bin Hisyaam seorang yang shaduq hasanul hadis [Tahrir At Taqrib no 6771]. Adz Dzahabi menyatakan “tsiqat” [Al Kasyf no 5535].
2. Ammar adalah Ammar bin Ruzaiq perawi Muslim, Abu Dawud, Nasa’i dan Ibnu Majah. Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah, Ibnu Hibban, Ibnu Syahin dan Ali bin Madini menyatakan “tsiqat”. Abu Hatim, Nasa’i dan Al Bazzar berkata “tidak ada masalah padanya” [At Tahdzib juz 7 no 648]. Ibnu Hajar menyatakan “tidak ada masalah” [At Taqrib 1/706] dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau Ammar bin Ruzaiq seorang yang tsiqat [Tahrir At Taqrib no 4821].
3. Al A’masy adalah Sulaiman bin Mihran Al A’masyi perawi kutubus sittah yang tsiqat. Al Ijli dan Nasa’i berkata “tsiqat tsabit”. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 4 no 386]. Ibnu Hajar menyebutkannya sebagai mudallis martabat kedua yang ‘an anahnya dijadikan hujjah dalam kitab shahih [Thabaqat Al Mudallisin no 55].
4. Minhal bin Amru adalah perawi Bukhari dan Ashabus Sunan yang dikenal tsiqat. Ibnu Ma’in, Nasa’i dan Al Ijli berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Daruquthni berkata “shaduq” [At Tahdzib juz 10 no 556]. Ibnu Hajar menyatakan “shaduq pernah melakukan kesalahan” [At Taqrib 2/216] tetapi pernyataan ini tidaklah benar sehingga dalam Tahrir At Taqrib dikoreksi kalau Minhal bin Amru seorang yang tsiqat [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 2918].
5. Abdullah bin Al Harits Al Anshari adalah tabiin yang tsiqat perawi kutubus sittah. Abu Zur’ah, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Sulaiman bin Harb berkata “tsiqat”. Abu Hatim berkata “ditulis hadisnya” [At Tahdzib juz 5 no 331]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 1/485].
Sebagian pengikut salafy berusaha melemahkan atsar ini dengan menyebarkan syubhat kalau atsar ini dhaif karena tadlis Al A’masy. Syubhat ini terlalu lemah untuk dibantah yang hanya menunjukkan kedangkalan ilmu hadis yang mereka miliki. Jika tadlis Al A’masy merupakan suatu cacat maka alangkah banyaknya hadis dalam kutubus sittah yang menjadi dhaif. Cukuplah disebutkan kalau ahli hadis seperti Al Hakim dan Adz Dzahabi bersepakat menshahihkan hadis ‘an anah Al A’masy dari Minhal [Talkhis Al Mustadrak 1/96 no 110] bahkan para muhaqqiq seperti Syaikh Syu’aib Al Arnauth menshahihkan hadis ‘an anah A’masy dari Minhal seraya berkata “shahih sesuai syarat Bukhari” [Musnad Ahmad 2/13 no 4622] begitu pula Syaikh Salafy Al Albani juga menyatakan shahih hadis ‘an anah A’masy dari Minhal [Shahih Sunan Abu Dawud no 3212 dan Shahih Sunan Ibnu Majah no 339].
Penjelasannya:
Pengganti Nabi SAW kepada 12 orang
Hadith-hadith yang menghadkan pengganti Nabi SAW kepada dua belas orang.
Hadith-hadith yang menghadkan pengganti-pengganti Nabi SAW kepada dua belas orang, telah diriwayatkan oleh jumhur ulama Muslimin Sunnah dan Syi'ah di dalam Sahih-sahih dan Musnad-musnad mereka.
Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadya meriwayatkan hadith ini daripada Sya'bi daripada Masruq berkata:"Kami berada di sisi 'Abdullah bin Mas'ud yang sedang memperdengarkan bacaan al-Qur'an kepada kami. Tiba-tiba seorang lelaki bertanya kepadanya: Wahai Abu 'Abdu r-Rahman! Adakah anda telah bertanya Rasulullah SAW berapakah ummat ini memiliki khalifah?" Abdullah bin Mas'ud menjawab:"Tiada seorangpun bertanya kepadaku mengenainya semenjak aku datang ke Iraq sebelum anda." Kemudian dia berkata:"Ya! Sesungguhnya kami telah bertanya kepada Rasulullah SAW mengenainya. Maka beliau menjawab:"Dua belas (khalifah) seperti bilangan naqib Bani Israil."
Di dalam riwayat yang lain Ahmad bin Hanbal meriwayatkan daripada Jabir bin Samurah, sesungguhnya dia berkata:"Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda semasa Haji Wida':"Urusan agama ini masih pada zahirnya di tangan penentangannya dan tidak akan dihancurkan oleh orang-orang yang menyalahinya sehingga berlalunya dua belas Amir, semuanya daripada Quraisy."
Muslim di dalam Sahihnya meriwayatkan daripada Jabir bin Samurah sesungguhnya dia berkata:"Aku bersama bapaku berjumpa Nabi SAW, Maka aku mendengar Nabi SAW bersabda:"Urusan 'ini' tidak akan selesai sehingga berlaku pada mereka dua belas khalifah." Dia berkata: Kemudian beliau bercakap dengan perlahan kepadaku. Akupun bertanya bapaku apakah yang diucapkan oleh beliau? Dia menjawab:"Semuanya daripada Quraisy.".
Muslim juga meriwayatkan di dalam Sahihnya daripada Nabi SAW beliau bersabda:"Ugama sentiasa teguh sehingga hari kiamat dan dua belas khalifah memimpin mereka, semuanya daripada Quraisy. Di dalam riwayat yang lain "Urusan manusia berlalu dengan perlantikan dua belas lelaki dari Quraisy," "Sentiasa Islam itu kuat sehingga kepada dua belas khalifah daripada Quraisy" dan "Sentiasa ugama ini kuat dan kukuh sehingga dua belas khalifah daripada Quraisy".
Al-Turmudzi di dalam al-Sunannya mencatat hadith tersebut dengan lafaz amir bukan khalifah.
Sementara al-Bukhari di dalam Sahihnya meriwayatkannya daripada Jabir bin Samurah bahawa Nabi SAW bersabda:"Selepasku ialah dua belas amir." Maka beliau berucap dengan perkataan yang aku tidak mendengarnya. Bapaku memberitahuku bahawa beliau bersabda:"Semuanya daripada Quraisy."
Al-Muttaqi al-Hindi di dalam Kanz al-Ummal, meriwayatkan bahawa Nabi SAW bersabda:"Selepasku akan (diikuti) oleh dua belas khalifah.".
Ibn Hajr di dalam al-Sawa'iq al-Muhriqah meriwayatkan daripada Jabir bin Samurah bahawa Nabi SAW bersabda:"Selepasku akan (dikuti) dua belas amair semuanya daripada Quraisy.".
Al-Qunduzi al-Hanafi di dalam Yanabi' al-Mawaddah mencatat riwayat daripada Jabir bin Samurah sesungguhnya dia berkata:"Aku bersama bapaku di sisi Nabi SAW beliau bersabda:"Selepasku dua belas khalifah." Kemudian beliau merendahkan suaranya. Maka akupun bertanya bapaku mengenainya. Dia menjawab: Beliau bersabda:"Semuanya daripada Bani Hasyim.".
Samak bin Harb juga meriwayatkannya dengan lafaz yang sama. Diriwayatkan daripada al-Sya'bi daripada Masruq daripada Ibn Mas'ud bahawa sesungguhnya Nabi SAW telah menjanjikan kita bahawa selepasnya dua belas khalifah sama dengan bilangan naqib Bani Isra'il. Dan dia berkata di dalam bab yang sama bahawa Yahya bin al-Hasan telah menyebutkannya di dalam Kitab al-Umdah dengan dua puluh riwayat bahawa khalifah-khalifah selepas Nabi SAW adalah dua belas orang. Semuanya daripada Quraisy. Al-Bukhari telah menyebutkannya dengan tiga riwayat, Muslim sembilan riwayat. Abu Daud tiga riwayat, al-Turmudhi satu riwayat dan al-Humaidi tiga riwayat.
Pengkaji-pengkaji menegaskan bahawa hadith-hadith tersebut menunjukkan bahawa khalifah-khalifah selepas Nabi SAW ialah dua belas orang. Dan maksud hadith Nabi SAW ialah dua belas orang daripada Ahlu l-Baitnya. Kerana tidak mungkin dikaitkan hadith ini kepada khalifah-khalifah yang terdiri daripada bilangan mereka kurang daripada dua belas orang. Dan tidak mungkin dikaitkan dengan khalifah-khalifah Bani Umaiyyah kerana bilangan mereka melebihi dua belas orang dan kezaliman mereka yang ketara selain daripada 'Umar bin Abdu l-Aziz. Tambahan pula mereka bukan daripada Bani Hasyim. Di dalam riwayat yang lain beliau memilih Bani Hasyim di kalangan Quraisy dan memilih Ahlu l-Baitnya di kalangan Bani Hasyim.
Di dalam riwayat 'Abdu l-Malik daripada Jabir bahawa Nabi SAW telah merendahkan suaranya ketika menyebutkan Bani Hasyim kerana 'mereka' tidak menyukai Bani Hasyim. Hadith ini juga tidak boleh dikaitkan dengan khalifah-khalifah Bani 'Abbas kerana bilangan mereka melebihi bilangan tersebut. Dan mereka tidak mengambil berat tentang firmanNya "Katakan!" Aku tidak meminta upah daripada kamu kecuali mencintai keluargaku," sebagaimana juga mereka tidak menghormati hadith al-Kisa'. Justeru itu, hadith tersebut mestilah dikaitkan dengan dua belas Ahlu l-Baitnya kerana merekalah orang yang paling alim, warak, takwa, paling tinggi keturunan dan ilmu-ilmu mereka adalah daripada datuk-datuk mereka yang berhubungkait dengan datuk mereka Rasulullah SAW dari segi warisan dan hikmah. Mereka pula dikenali oleh para ilmuan. Oleh itu apa yang dimaksudkan oleh hadith tersebut ialah dua belas Ahlu l-Bait Rasulullah SAW. Ianya diperkuatkan oleh hadith thaqalain, hadith al-Safinah, hadith al-Manzilah dan lain-lain.
Al-Qunduzi al-Hanafi juga telah meriwayatkan hadith daripada Jabir dia berkata: Rasulullah SAW bersabda:"Akulah penghulu para Nabi dan 'Ali adalah penghulu para wasi. Dan sesungguhnya para wasi selepasku ialah dua belas orang, pertama 'Ali dan yang akhirnya Qaim al-Mahdi.".
Hadith-hadith yang menerangkan bahawa merekalah para wasi Rasulullah SAW di dalam buku-buku Ahlu l-Sunnah adalah banyak, dan ianya melebihi had mutawatir. Ini tidak termasuk hadith-hadith riwayat Syi'ah. Umpamanya hadith daripada Salman RD berkata: Aku berjumpa Nabi SAW dan Husain berada di atas dua pahanya. Nabi SAW sedang mengucup dahinya sambil berkata:'Anda adalah Sayyid bin Sayyid dan adik Sayyid. Anda adalah imam bin imam dan adik imam. Anda adalah Hujjah bin Hujjah dan adik Hujjah dan bapa hujjah-hujjah yang sembilan. Dan yang kesembilan mereka ialah Mahdi al-Muntazar.".
Al-Hamawaini al-Syafi'i di dalam Fara'id al-Simtin, meriwayatkan daripada 'Ibn Abbas berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:"Aku , Ali, Hasan, Husain dan sembilan daripada anak-anak Husain adalah disuci dan dimaksumkan.".
Ibn 'Abbas juga meriwayatkan bahawa Nabi SAW bersabda:"Wasi-wasiku, hujjah-hujjah Allah ke atas makhlukNya dua belas orang, pertamanya saudaraku dan akhirnya ialah anak lelakiku (waladi)." Lalu ditanya Rasulullah siapakah saudara anda wahai Rasulullah? Beliau menjawab:'Ali. Dan ditanya lagi siapakah anak lelaki anda? Beliau menjawab: al-Mahdi yang akan memenuhi bumi ini dengan kejujuran dan keadilan sebagaimana ianya dipenuhi dengan kerosakan dan kezaliman. Demi Tuhan yang mengutusku dengan kebenaran sebagai kegembiraan dan peringatan, sekiranya dunia ini tinggal hanya satu hari lagi nescaya Allah akan memanjangkannya sehingga keluar anak lelakiku al-Mahdi. Kemudian diikuti oleh 'Isa bin Maryam. Beliau akan mengerjakan solat di belakang anak lelakiku. Dunia pada ketika itu berseri dengan cahaya Tuhannya dan pemerintahannya meliputi Timur dan Barat.
Al-Qunduzi al-Hanafi di dalam Yanabi' al-Mawaddah bab 95 meriwayatkan bahawa Jabir bin 'Abdullah berkata: Rasulullah SAW bersabda: Wahai Jabir! Sesungguhnya para wasiku dan para imam selepasku pertamanya 'Ali kemudian Hasan kemudian Husain kemudian 'Ali bin Husain kemudian Muhammad bin 'Ali al-Baqir. Anda akan menemuinya wahai Jabir sekiranya anda mendapatinya, maka sampailah salamku kepadanya. Kemudian Ja'far bin Muhammad, kemudian Musa bin Ja'far, kemudian 'Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin 'Ali, kemudian 'Ali bin Muhammad, kemudian Hasan bin 'Ali. Kemudian al-Qa'im namanya sama dengan namaku dan kunyahnya sama dengan kunyahku, anak Hasan bin 'Ali. Dengan beliaulah Allah akan 'membuka' seluruh pelusuk bumi di Timur dan di Barat, dialah yang ghaib dari penglihatan. Tidak akan percaya kepada imamahnya melainkan orang yang telah diuji hatinya oleh Allah SWT. Jabir berkata: Wahai Rasulullah! Adakah orang ramai boleh mengambil faedah darinya ketika ghaibnya? Beliau menjawab:"Ya! Demi yang mengutuskan aku dengan kenabian sesungguhnya mereka mengambil cahaya daripada wilayahnya ketika ghaibnya, seperti orang mengambil faedah dari matahari sekalipun ianya ditutupi awan." Ini adalah di antara rahsia-rahsia ilmu Allah yang tersembunyi. Justeru itu rahsiakanlah mengenainya melain kepada orang yang ahli.
Di dalam Yanabi' al-Mawaddah bab 76 daripada Jabir al-Ansari berkata: Junda; bin Janadah berjumpa Rasulullah SAW dan bertanya kepada beliau beberapa masalah. Kemudian dia berkata: Beritahukan kepadaku wahai Rasulullah tentang wasi-wasi anda selepas anda supaya aku berpegang kepada mereka. Beliau menjawab: Wasi-wasiku dua belas orang. Lalu Jundal berkata: Begitulah kami dapati di dalam Taurat. Kemudian dia berkata: Namakan mereka kepadaku wahai Rasulullah. Maka beliau menjawab:"Pertamanya penghulu dan bapa kepada wasi-wasi adalah 'Ali. Kemudian dua anak lelakinya Hasan dan Husain. Justeru itu berpeganglah kepada mereka dan janganlah kejahilan orang-orang yang jahil itu memperdayakan anda. Kemudian 'Ali bin Husain Zaina l-Abidin Allah akan mematikan anda ('Ali bin Husain) dan menjadikan air susu sebagai bekalan terakhir di dunia ini."
Jundal berkata: Kami telah mendapatinya di dalam Taurat dan di dalam buku-buku para Nabi AS seperti Iliya, Syibra dan Syabir. Maka ini adalah nama 'Ali, Hasan dan Husain, maka imam selepasnya dipanggil Zaina l-Abidin selepasnya anak lelakinya Muhammad, dipanggil al-Baqir. Selepasnya anak lelakinya Ja'far dipanggil al-Sadiq. Selepasnya anak lelakinya Musa dipanggil al-Kazim. Selepasnya anak lelakinya 'Ali dipanggil al-Ridha. Selepasnya anak lelakinya 'Ali dipanggil al-Naqiyy al-Hadi. Selepasnya anak lelakinya Hasan dipanggil al-Askari. Selepasnya anak lelakinya Muhammad dipanggil al-Mahdi al-Qa'im dan al-Hujjah. Beliau ghaib dan akan keluar memenuhi bumi dengan kejujuran dan keadilan sebagaimana ianya dipenuhi dengan kefasadan dan kezaliman. Alangkah beruntungnya bagi orang-orang yang bersabar semasa ghaibnya. Dan alangkah beruntungnya bagi orang-orang yang bertaqwa terhadap Hujjah mereka. Dan mereka itulah orang yang disifatkan oleh Allah di dalam firmanNya (Surah al-Baqarah(2): 2-3"Petunjuk bagi mereka yang bertaqwa iaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib." Kemudian beliau membaca (Surah al-Mai'dah(5):56)"Sesungguhnya parti Allahlah yang pasti menang."Beliau bersabda: Mereka itu adalah daripada parti Allah (hizbullah).
Al-Hamawaini di dalam Fara'id al-Simtin telah meriwayatkan hadith ini dan dinukilkan oleh al-Qunduzi al-Hanafi di dalam Yanabi' al-Mawaddah bab 76 dengan sanad daripada Ibn 'Abbas dia berkata: Seorang Yahudi bernama Na'thal datang kepada Rasulullah SAWAW dan berkata: Wahai Muhammad! Aku akan bertanya anda beberapa perkara yang tidak menyenangkan hatiku seketika. Sekiranya anda dapat memberi jawapan kepadaku nescaya aku akan memeluk Islam di tangan anda. Beliau SAWAW bersabda:"Tanyalah wahai Abu 'Ammarah.' Dia bertanya beberapa perkara sehingga dia berkata: Beritahukan kepadaku tentang wasi anda siapa dia? Tidak ada seorang Nabi melainkan ada baginya seorang wasi. Dan sesungguhnya Nabi kami Musa bin 'Imran telah berwasiatkan kepada Yusyu' bin Nun. Maka Nabi SAW menjawab"Sesungguhnya wasiku ialah 'Ali bin Abi Talib, selepasnya dua anak lelakinya Hasan dan Husain kemudian diikuti oleh sembilan imam daripada keturunan Husain.' Dia berkata: Namakan mereka kepadaku. Beliau menjawab:'Apabila wafatnya Husain, maka anaknya 'Ali apabila wafatnya 'Ali, anaknya Muhammad, Dan apabila wafatnya Muhammad, anaknya Ja'far. Apabila wafatnya Ja'far anaknya Musa. Apabila wafatnya Musa, anaknya Ali. Apabila wafatnya Ali, anaknya Muhammad. Apabila wafatnya Muhammad, anaknya 'Ali. Apabila wafatnya 'Ali anaknya Hasan. Apabila wafatnya Hasan, anaknya Muhammad al-Mahdi. Mereka semua dua belas orang....."Akhirnya lelaki Yahudi tadi memeluk Islam dan menceritakan bahawa nama-nama para imam dua belas telah tertulis di dalam buku-buku para Nabi yang terdahulu, dan ia termasuk di antara apa yang telah dijanjikan oleh Musa AS.
Al-Hamawaini di dalam Fara'id al-Simtin meriwayatkan sanadnya kepada Abu Sulaiman penjaga unta Rasulullah SAW, dia berkata:"Aku mendengar Rasulullah SAWAW bersabda:"Di malam aku diperjalankan atau dibawa ke langit, Allah SWT berfirman:"Rasul mempercayai apa yang telah diturunkan kepadanya oleh TuhanNya."Aku bersabda: Mukminun. Dia menjawab: Benar. Allah SWT berfirman lagi: Wahai Muhammad! Kali pertama Aku memerhatikan ahli bumi, Aku memilih anda. Aku menamakan anda dengan salah satu daripada nama-namaku. Oleh itu dimana sahaja Aku diingati, anda diingati bersama. Akulah al-Mahmud dan andalah Muhammad. Kemudian Aku memerhatikannya kali kedua, maka Aku memilih 'Ali. Maka Aku menamakannya dengan namaku. Wahai Muhammad! Aku telah menjadikan anda dari Aku dan menjadikan 'Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan imam-imam daripada keturunan Husain daripada cahayaKu. Akupun membentangkan wilayah mereka kepada seluruh ahli langit dan bumi. Sesiapa yang menerimanya akan berada di sisiKu sebagai Mukminin. Dan sesiapa yang mengingkarinya akan berada di sisiKu sebagai kafirin. Wahai Muhammad! Sekiranya seorang daripada hamba-hambaKu beribadat kepadaKu tanpa terhenti-henti kemudian mendatangiKu dalam keadaan mengingkari wilayah kalian, nescaya Aku tidak mengampuninya. Allah SWT berfirman lagi kepada Nabi SAW: Adakah anda ingin melihat mereka? Beliau menjawab: Ya! Wahai Tuhanku. Dia berfirman: Lihatlah di kanan 'Arasy, maka aku dapati 'Ali, Fatimah, Hasan, Husain, 'Ali bin Husain, Muhammad bin 'Ali, Ja'far bin Muhammad, Musa bin Ja'far, 'Ali bin Musa, Muhammad bin 'Ali, 'Ali bin Muhammad, Hasan bin 'Ali dan Muhammad al-Mahdi bin Hasan. Mereka diibaratkan bintang-bintang yang bersinar di kalangan mereka. Kemudian Dia berfirman lagi: Mereka itulah hujjah-hujjah ke atas hamba-hambaKu, mereka itulah wasi-wasi anda. Dan al-Mahdi adalah daripada 'itrah anda. Demi kemuliaanKu dan kebesaranKu, dia akan membalas dendam terhadap musuh-musuhKu."
Muwaffaq bin Ahmad al-Hanafi di dalam Manaqibnya meriwayatkan daripada Salman daripada Nabi SAW, sesungguhnya beliau bersabda kepada Husain:"Andalah imam anak lelaki seorang imam, saudara kepada imam, bapa kepada sembilan imam. Dan yang kesembilan daripada mereka ialah Qaim mereka (al-Mahdi AS).
Begitulah juga Syahabuddin al-Hindi di dalam Manaqibnya telah menerangkan sanadnya daripada Nabi SAW bahawa beliau bersabda:"Sembilan imam adalah daripada anak cucu (keturunan) Husain bin 'Ali dan yang kesembilan mereka adalah Qaim mereka (imam al-Mahdi al-Muntazar AS).
Al-Hamawaini al-Syafi'e meriwayatkan di dalam Fara'id al-Simtin bahawa Nabi SAW bersabda: "Siapa yang suka berpegang kepada ugamaku dan menaiki bahtera kejayaan selepasku, maka hendaklah dia mengikuti 'Ali bin Abi Talib, memusuhi seterunya dan mewalikan walinya kerana beliau adalah wasiku, dan khalifahku ke atas ummatku semasa hidupku dan selepas kewafatanku. Beliau adalah imam setiap muslim dan amir setiap mukmin, perkataannya adalah perkataanku, perintahnya adalah perintahku. Larangannya adalah laranganku. Pengikutnya adalah pengikutku. Penolongnya adalah penolongku. Orang yang menjauhinya adalah menjauhiku."
Kemudian Nabi SAW bersabda lagi: Sesiapa yang menjauhi 'Ali selepasku, dia tidak akan 'melihatku.' Dan aku tidak melihatnya di hari kiamat. Dan siapa yang menentang 'Ali, Allah haramkan ke atasnya syurga dan menjadikan tempat tinggalnya di neraka. Siapa yang menjauhi 'Ali, Allah akan menjauhinya di hari kiamat. Di hari itu akan didedahkan segala-galanya dan sesiapa yang menolong 'Ali, nescaya Allah akan menolongnya.
Kemudian beliau bersabda lagi: Hasan dan Husain kedua-duanya adalah imam ummatku selepas bapa mereka berdua adalah penghulu-penghulu pemuda syurga. Ibu kedua-duanya adalah penghulu para wasi. Dan sembilan imam adalah daripada anak cucu Husain. Dan yang kesembilan mereka adalah Qaim mereka (imam al-Mahdi). Mentaati mereka adalah ketaatan kepadaku. Mendurhakakan mereka adalah mendurhakaiku. Kepada Allah aku mengadu bagi orang yang menentang kelebihan mereka, dan menghilangkan kehormatan mereka selepasku. Cukuplah bagi Allah sebagai wali dan penghulu kepada 'itrahku, para imam ummatku. Pasti Allah akan menyiksa orang yang menentang hak mereka."Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali."(Al-Syuara'(26): 227).
Ayatullah al-'Uzma al-Hulli di dalam bukunya Kasyf al-Haq telah menerangkan sebahagian daripada hadith dua belas khalifah dengan riwayat yang bermacam-macam. Seorang musuh ketatny bernama Fadhl bin Ruzbahan al-Nasibi adalah orang yang paling kuat menentang Ahlu l-Bait AS, di dalam jawapan kepadanya mengakui bahawa apa yang disebutkan oleh Allamah al-Hulli mengenai dua belas khalifah adalah Sahih dan telah dicatat di dalam buku-buku Sahih Ahlu s-Sunnah.
Aku berkata: Riwayat hadith dua belas imam daripada Nabi SAW adalah terlalu banyak. Kami hanya menyebutkan sebahagian kecil daripada buku-buku Ahlu s-Sunnah wa l-Jama'ah yang mencatatkan hadith tersebut. Seperti al-Bayan karangan al-Hafiz al-Khanji, Fasl al-Khittab karangan Khawajah Faris al-Hanafi, Arba'in karangan Syeikh As'ad bin Ibrahim al-Hanbali, Arba'in karangan Ibn Abi l-Fawarith dan lain-lain buku Ahlu s-Sunnah. Adapun riwayat Syi'ah mengenainya adalah tidak terhitung banyaknya.
Sayyid Hasyim al-Bahrani di dalam bukunya Ghayah al-Maram telah menjelaskan hadith dua belas imam sebanyak enam puluh riwayat dengan sanad-sanadnya menurut metod Ahlu s-Sunnah wa l-Jama'ah. Tujuh riwayat daripada buku Manaqib Amiru l-Mukminin AS karangan Maghazali al-Syafi'i, dua puluh tiga riwayat daripada Fara'id al-Simtin karangan al-Hamawaini, satu riwayat daripada Fusul al-Muhimmah karangan Ibn al-Sibagh al-Maliki dan satu riwayat daripada Syarh Nahj al-Balaghah karangan Ibn Abi l-Hadid.
Aku berkata: Sesungguhnya aku telah mengkaji risalah karangan Syaikh Kazim 'Ali Nuh RH berjodol Turuq Hadith al-A'immah min Quraisy, hlm. 14. Dia berkata bahawa 'Allamah Sayyid Hasan Sadr al-Din di dalam bukunya al-Durar al-Musawiyyah Fi Syarh al-'Aqa'id al-Ja'fariyyah telah mengeluarkan hadith dua belas khalifah daripada Ahmad bin Hanbal sebanyak tiga puluh empat riwayat. Hadith ini telah dikeluarkan juga oleh al-Bukhari, Muslim, al-Humaidi, beberapa riwayat Razin di dalam Sahih Sittah, riwayat al-Tha'labi, Abu Sa'id al-Khudri, Abu Bardah, Ibn Umar, Abdu r-Rahman Ibn Samurah, Jabir, Anas, Abu Hurairah, Ibn 'Abbas, 'Umar bin al-Khattab, 'Aisyah, Wa'ilah dan Abi Salma al-Ra'i.
Adapun riwayat Umar bin al-Khattab yang telah dikaitkan kepadanya oleh 'Ali bin al-Musayyab mengenai sabda Nabi SAW ialah: Para imam selepasku di antaranya Mahdi ummat ini. Siapa yang berpegang kepada mereka selepasku, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada tali Allah. Hadith ini juga telah dikaitkan dengan al-Durasti dengan Ibn al-Muthanna yang bertanya kepada 'Aisyah:"Berapakah khalifah Rasulullah SAW. 'Aisyah menjawab:'Beliau (Rasulullah SAW) memberitahuku bahawa selepasnya dua belas khalifah.' Aku bertanya: Siapakah mereka? Maka 'Aisyah menjawab:'Nama-nama mereka tertulis di sisiku dengan imla Rasulullah SAW.' Maka aku bertanya kepadanya: Apakah nama-nama mereka? Maka dia enggan memperkenalkannya kepadaku.'
Sayyid al-Bahrani juga mencatat sebahagian daripada buku-buku Ahlu s-Sunnah yang menyebutkan dua belas khalifah. Di antaranya Manaqib Ahmad bin Hanbal, Tanzil al-Qur'an fi Manaqib Ahlu l-Bait karangan Ibn Nu'aim al-Isfahani, Faraid al-Simtin karangan al-Hamawaini, Matalib al-Su'ul karangan Muhammad bin Talhah al-Syafi'i, Kitab al-Bayan karangan al-Kanji al-Syafi'i, Musnad al-Fatimah karangan al-Dar al-Qutni, Fadhail Ahlu l-Bait karangan al-Khawarizmi al-Hanafi, al-Manaqib karangan Ibn al-Maghazali al-Syafi'i, al-Fusul al-Muhimmah karangan Ibn al-Sibagh al-Maliki, Jawahir al-'Aqdain karangan al-Samhudi, Dhakha'ir al-'Uqba karangan Muhibbuddin al-Tabari, Mawaddah al-Qurba karangan Syihab al-Hamdani al-Syafi'i, al-Sawa'iq al-Muhriqah karangan Ibn Hajr al-Haithami, al-Isabah karangan Ibn Hajr al-'Asqalani, Musnad Ahmad bin Hanbal, Musnad Abi Ya'la al-Mausuli, Musnad Abi Bakr al-Bazzar, Mu'jam al-Tabrani, Jam' al-Saghir karangan al-Suyuti, Kunuz al-Daqa'iq karangan al-Munawi dan lain-lain.
Aku berkata: Sesungguhnya riwayat-riwayat yang berbilang-bilang yang datang kepada kita menurut metod Ahlu s-Sunnah adalah sekuat dalil, dan hujjah yang paling terang bahawa sesungguhnya khalifah selepas Rasulullah SAW secara langsung ialah Imam Amiru l-Mukminin 'Ali bin Abi Talib AS. Dan selepasnya ialah anak-anaknya sebelas imam yang maksum, pengganti Rasul dan para imam Muslimin satu selepas satu sehingga manusia 'berhadapan' dengan Tuhan mereka. Tiada seorangpun yang dapat mengingkari hadith-hadith yang sabit yang diriwayatkan menurut riwayat para ulama besar Ahlu s-Sunnah dan pakar-pakar hadith mereka, lebih-lebih lagi menurut riwayat Syi'ah. Kecuali cahaya pemikirannya telah dipadamkan dan dijadikan di hatinya penutup. Justeru itu ia adalah termasuk di dalam firmanNya di dalam (Surah al-Baqarah (2): 171)"Mereka itu bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti."Dan firmanNya (Surah al-Zukhruf(43):36)"Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah, Kami akan adakan baginya syaitan (yang menyesatkan), maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya."Dan firmanNya (Surah al-Kahf(18):57)"Kami jadikan di hati mereka tutupan (sehingga mereka tidak) memahaminya dan (Kami letakkan) sumbatan di telinga mereka, sekalipun kamu menyeru mereka kepada petunjuk, nescaya tidak akan mendapat petunjuk selama-lamanya.".
Ini adalah disebabkan penentangan mereka kepada dalil yang terang dan nas yang zahir kerana fanatik, kufur, dan kedegilan mereka.
Muhammad bin Idris al-Syafi'i memperakui kesahihan apa yang kami telah menyebutkannya dengan syairnya yang masyhur:
Manakala aku melihat manusia telah berpegang
kepada mazhab yang bermacam-macam
di lautan kebodohan dan kejahilan
Aku menaiki dengan nama Allah bahtera kejayaan
mereka itulah Ahlu l-Bait al-Mustaffa
penamat segala Rasul.
Pengiktirafan Syafi'i bahawa 'Ali adalah imam dan selepasnya sebelas imam merupakan pengiktirafan yang besar daripada seorang imam mazhab empat. Dan ianya menjadi hujjah keimamahan dua belas imam maksum daripada keluarga Rasulullah SAW.
Ahlul Bait Jaminan Keselamatan Dunia Akhirat : Membantah Syubhat Salafy Nashibi
Hadis Tsaqalain adalah hadis shahih yang sangat memberatkan kaum Nashibi. Di dalam hadis tersebut terdapat keutamaan besar dan agung yang dimiliki Ahlul Bait. Hadis Tsaqalain menyebutkan kalau “Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait Rasul SAW” adalah pedoman bagi umat islam dan keduanya selalu bersama tidak akan berpisah sampai kembali kepada Rasul SAW di Al Haudh. Pengikut Nashibi dan sebagian orang yang terjangkiti virus nashibi merasa berat untuk menerima hadis ini. Di antara mereka bermunculan “ulama aneh” yang berusaha mendhaifkan hadis Tsaqalain dan Alhamdulillah usaha mereka gagal dan hanya menunjukkan minimnya ilmu atau niatnya yang buruk. Ketika mereka tidak sanggup membantah keshahihan hadis Tsaqalain maka mereka membuat makar baru dengan menyebarkan syubhat-syubhat yang bertujuan menolak status Ahlul Bait sebagai pedoman umat. Menurut mereka hadis Tsaqalain hanya menunjukkan perintah berpegang teguh kepada Kitab Allah SWT saja.
Sebelumnya kami telah membahas dengan panjang lebar hadis-hadis Tsaqalain yang dapat dijadikan hujjah. Seperti biasa ada pengikut salafy nashibi menanggapi tulisan kami dengan berbagai syubhat yang maaf, tidak ada nilainya sama sekali. Insya Allah kami akan meluruskan syubhat-syubhat tersebut.
Perlu diketahui bahwa hadis Tsaqalain masyhur diucapkan oleh Al Imam yang mulia Rasulullah SAW di ghadir-khum yaitu ketika Rasulullah SAW berkhutbah kepada para sahabatnya. Dimana khutbah tersebut Rasulullah SAW memegang tangan Imam Ali dan menyatakan Imam Ali sebagai Mawla bagi kaum mukminin serta menetapkan Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait Rasul SAW sebagai pedoman umat.
Oleh karena itu sangat masuk akal untuk dikatakan kalau hadis ini diriwayatkan oleh banyak sahabat termasuk Imam Ali sendiri. Dan tentu saja Imam Ali sebagai pihak yang memiliki kisah tersebut [shahibul qishshah] adalah orang yang paling paham dan orang yang riwayatnya paling tsabit dalam perkara ini.
حَدَّثَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ مَرْزُوقٍ قَالَ ثنا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ قَالَ ثنا كَثِيرُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُمَرَ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيٍّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَضَرَ الشَّجَرَةَ بِخُمٍّ فَخَرَجَ آخِذًا بِيَدِ عَلِيٍّ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَسْتُمْ تَشْهَدُونَ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ رَبُّكُمْ ؟ قَالُوا بَلَى قَالَ أَلَسْتُمْ تَشْهَدُونَ أَنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أَوْلَى بِكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ وَأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَرَسُولَهُ مَوْلَيَاكُمْ ؟ قَالُوا بَلَى قَالَ فَمَنْ كُنْت مَوْلَاهُ فَإِنَّ هَذَا مَوْلَاهُ أَوْ قَالَ فَإِنَّ عَلِيًّا مَوْلَاهُ شَكَّ ابْنُ مَرْزُوقٍ إنِّي قَدْ تَرَكْت فِيكُمْ مَا إنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا كِتَابَ اللَّهِ بِأَيْدِيكُمْ وَأَهْلَ بَيْتِي
Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Marzuq yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Amir Al Aqadiy yang berkata telah menceritakan kepadaku Katsir bin Zaid dari Muhammad bin Umar bin Ali dari Ayahnya dari Ali bahwa Nabi SAW berteduh di Khum kemudian Beliau keluar sambil memegang tangan Ali. Beliau berkata “wahai manusia bukankah kalian bersaksi bahwa Allah azza wajalla adalah Rabb kalian?. Orang-orang berkata “benar”. Bukankah kalian bersaksi bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih berhak atas kalian lebih dari diri kalian sendiri dan Allah azza wajalla dan Rasul-Nya adalah mawla bagi kalian?. Orang-orang berkata “benar”. Beliau SAW berkata “maka barangsiapa yang menjadikan Aku sebagai mawlanya maka dia ini juga sebagai mawlanya” atau [Rasul SAW berkata] “maka Ali sebagai mawlanya” [keraguan ini dari Ibnu Marzuq]. Sungguh telah Aku tinggalkan bagi kalian apa yang jika kalian berpegang teguh kepadanya maka kalian tidak akan tersesat yaitu Kitab Allah yang berada di tangan kalian dan Ahlul Bait-Ku” [Musykil Al Atsar Ath Thahawi 3/56].
Selain Imam Ali hadis ini juga diriwayatkan dengan sanad yang tsabit dari Zaid bin Arqam RA. Dimana Zaid bin Arqam RA meriwayatkan hadis tersebut kepada Abu Thufail, Yazid bin Hayyan dan Muslim bin Shubaih. Berikut riwayat Muslim bin Shubaih yang kami nilai sebagai sanad yang paling shahih dari Zaid bin Arqam RA.
حَدَّثَنَا يحيى قَال حَدَّثَنَا جرير عن الحسن بن عبيد الله عن أبي الضحى عن زيد بن أرقم قَال النبي صلى الله عليه وسلم إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا كتاب الله عز وجل وعترتي أهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض
Telah menceritakan kepada kami Yahya yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir dari Hasan bin Ubaidillah dari Abi Dhuha dari Zaid bin Arqam yang berkata Nabi SAW bersabda “Aku tinggalkan untuk kalian yang apabila kalian berpegang-teguh kepadanya maka kalian tidak akan sesat yaitu Kitab Allah azza wa jalla dan ItrahKu Ahlul Baitku dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaKu di Al Haudh [Ma’rifat Wal Tarikh Al Fasawi 1/536].
Syubhat pertama salafy untuk menolak Ahlul Bait sebagai pedoman umat islam adalah berhujjah dengan hadis Zaid bin Arqam riwayat Yazid bin Hayyan yang hanya menyebutkan lafaz berpegang teguh pada kitab Allah SWT saja dan tidak untuk Ahlul Bait.
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَشُجَاعُ بْنُ مَخْلَدٍ جَمِيعًا عَنْ ابْنِ عُلَيَّةَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنِي أَبُو حَيَّانَ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ حَيَّانَ قَالَ انْطَلَقْتُ أَنَا وَحُصَيْنُ بْنُ سَبْرَةَ وَعُمَرُ بْنُ مُسْلِمٍ إِلَى زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ فَلَمَّا جَلَسْنَا إِلَيْهِ قَالَ لَهُ حُصَيْنٌ لَقَدْ لَقِيتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا رَأَيْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَمِعْتَ حَدِيثَهُ وَغَزَوْتَ مَعَهُ وَصَلَّيْتَ خَلْفَهُ لَقَدْ لَقِيتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا حَدِّثْنَا يَا زَيْدُ مَا سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا ابْنَ أَخِي وَاللَّهِ لَقَدْ كَبِرَتْ سِنِّي وَقَدُمَ عَهْدِي وَنَسِيتُ بَعْضَ الَّذِي كُنْتُ أَعِي مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَا حَدَّثْتُكُمْ فَاقْبَلُوا وَمَا لَا فَلَا تُكَلِّفُونِيهِ ثُمَّ قَالَ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فِينَا خَطِيبًا بِمَاءٍ يُدْعَى خُمًّا بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَوَعَظَ وَذَكَّرَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ أَلَا أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِيَ رَسُولُ رَبِّي فَأُجِيبَ وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيهِ ثُمَّ قَالَ وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي فَقَالَ لَهُ حُصَيْنٌ وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ يَا زَيْدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ قَالَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ قَالَ وَمَنْ هُمْ قَالَ هُمْ آلُ عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيلٍ وَآلُ جَعْفَرٍ وَآلُ عَبَّاسٍ قَالَ كُلُّ هَؤُلَاءِ حُرِمَ الصَّدَقَةَ قَالَ نَعَمْ
Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb dan Syuja’ bin Makhlad, keduanya dari Ibnu ‘Ulayyah : Telah berkata Zuhair : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim : Telah menceritakan kepadaku Abu Hayyaan : Telah menceritakan kepadaku Yaziid bin Hayyaan, ia berkata : “Aku pergi ke Zaid bin Arqam bersama Hushain bin Sabrah dan ‘Umar bin Muslim. Setelah kami duduk. Hushain berkata kepada Zaid bin Arqam : ‘Wahai Zaid, engkau telah memperoleh kebaikan yang banyak. Engkau telah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, engkau mendengar sabda beliau, engkau bertempur menyertai beliau, dan engkau telah shalat di belakang beliau. Sungguh, engkau telah memperoleh kebaikan yang banyak wahai Zaid. Oleh karena itu, sampaikanlah kepada kami – wahai Zaid – apa yang engkau dengan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam’. Zaid bin Arqam berkata : ‘Wahai keponakanku, demi Allah, aku ini sudah tua dan ajalku sudah semakin dekat. Aku sudah lupa sebagian dari apa yang aku dengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang bisa aku sampaikan kepadamu, maka terimalah dan apa yang tidak bisa aku sampaikan kepadamu janganlah engkau memaksaku untuk menyampaikannya’. Kemudian Zaid bin Arqam mengatakan : ‘Pada suatu hari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri berkhutbah di suatu tempat perairan yang bernama Khumm yang terletak antara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah, kemudian menyampaikan nasihat dan peringatan, lalu beliau bersabda : ‘Amma ba’d. Ketahuilah wahai saudara-saudara sekalian bahwa aku adalah manusia seperti kalian. Sebentar lagi utusan Rabb-ku [yaitu malaikat pencabut nyawa] akan datang lalu dia diperkenankan. Aku akan meninggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain [dua hal yang berat], yaitu Kitabullah yang padanya berisi petunjuk dan cahaya, karena itu ambillah ia (yaitu melaksanakan kandungannya) dan berpegang teguhlah kalian kepadanya’. Beliau menghimbau/mendorong pengamalan Kitabullah. Kemudian beliau berkata “dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku’ [beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali]. Hushain bertanya kepada Zaid bin Arqam : ‘Wahai Zaid, siapakah ahlul-bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ? Bukankah istri-istri beliau adalah ahlul-baitnya ?’. Zaid bin Arqam menjawab : ‘Istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang ahlul-baitnya. Namun ahlul-bait beliau adalah orang-orang yang diharamkan menerima zakat sepeninggal beliau’. Hushain berkata : ‘Siapakah mereka itu ?’. Zaid menjawab : ‘Mereka adalah keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas’. Hushain berkata : ‘Apakah mereka semua itu diharamkan menerima zakat ?’. Zaid menjawab : ‘Ya’. [Shahih Muslin no 2408].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكَّارِ بْنِ الرَّيَّانِ حَدَّثَنَا حَسَّانُ يَعْنِي ابْنَ إِبْرَاهِيمَ عَنْ سَعِيدٍ وَهُوَ ابْنُ مَسْرُوقٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ حَيَّانَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ دَخَلْنَا عَلَيْهِ فَقُلْنَا لَهُ لَقَدْ رَأَيْتَ خَيْرًا لَقَدْ صَاحَبْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَلَّيْتَ خَلْفَهُ وَسَاقَ الْحَدِيثَ بِنَحْوِ حَدِيثِ أَبِي حَيَّانَ غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ أَلَا وَإِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَحَدُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ حَبْلُ اللَّهِ مَنْ اتَّبَعَهُ كَانَ عَلَى الْهُدَى وَمَنْ تَرَكَهُ كَانَ عَلَى ضَلَالَةٍ وَفِيهِ فَقُلْنَا مَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ نِسَاؤُهُ قَالَ لَا وَايْمُ اللَّهِ إِنَّ الْمَرْأَةَ تَكُونُ مَعَ الرَّجُلِ الْعَصْرَ مِنْ الدَّهْرِ ثُمَّ يُطَلِّقُهَا فَتَرْجِعُ إِلَى أَبِيهَا وَقَوْمِهَا أَهْلُ بَيْتِهِ أَصْلُهُ وَعَصَبَتُهُ الَّذِينَ حُرِمُوا الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakkaar bin Ar-Rayyaan : Telah menceritakan kepada kami Hassaan [yaitu Ibnu Ibraahiim], dari Sa’iid [yaitu Ibnu Masruuq], dari Yaziid bin Hayyaan dari Zaid bin Arqam. Dia [Yaziid] berkata “Kami menemui Zaid bin Arqam, lalu kami katakan kepadanya ‘Sungguh kamu telah memiliki banyak kebaikan. Kamu telah bertemu dengan Rasulullah, shalat di belakang beliau dan seterusnya sebagaimana hadits Abu Hayyaan. Hanya saja dia berkata: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda ‘Ketahuilah sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian dua perkara yang sangat besar. Salah satunya adalah Al Qur’an, barang siapa yang mengikuti petunjuknya maka dia akan mendapat petunjuk. Dan barang siapa yang meninggalkannya maka dia akan tersesat.’ Juga di dalamnya disebutkan perkataan : Lalu kami bertanya “Siapakah ahlu baitnya, bukankah istri-istri beliau?”. Dia menjawab “Bukan, demi Allah. Sesungguhnya seorang istri bisa saja dia setiap saat bersama suaminya. Tapi kemudian bisa saja ditalaknya hingga akhirnya dia kembali kepada bapaknya dan kaumnya. Yang dimaksud dengan ahlul-bait beliau adalah, keturunan dan keluarga beliau yang diharamkan bagi mereka untuk menerima zakat” [Shahih Muslim no. 2408].
Kami pribadi tidak menolak hadis Shahih Muslim di atas, yang kami tolak adalah hujjah salafy dengan hadis ini yang menolak status Ahlul Bait sebagai pedoman umat islam. Perlu diperhatikan telah tsabit baik dari Imam Ali AS maupun dari Zaid bin Arqam RA lafaz “berpegang teguh kepada Kitab Allah dan Ahlul Bait”. Oleh karena itu riwayat Shahih Muslim tersebut tidak bisa dipandang bersendiri dan dijadikan hujjah untuk menyimpangkan makna hadis Tsaqalain yang lain. Janganlah diantara pembaca tertipu dengan perkataan “hadits yang mempunyai latar belakang kisah itu lebih kuat penunjukkan hukumnya daripada yang tidak” karena kisah yang dimaksud dalam hadis Zaid bin Arqam [yang dicetak biru] tidaklah jauh berbeda dengan kisah yang terdapat dalam hadis Ali bin Abi Thalib bahkan riwayat Imam Ali lebih kuat dikarenakan hadis Ghadir-khum tersebut ditujukan kepadanya dan diucapkan Nabi SAW saat Beliau SAW memegang tangannya.
Siapapun yang jeli pasti akan melihat bahwa hadis Zaid bin Arqam di atas masih memerlukan penjelasan dari hadis Tsaqalain yang lain. Perhatikanlah baik-baik dalam matan hadis Shahih Muslim di atas disebutkan Rasulullah SAW meninggalkan Ats Tsaqalain yaitu:
1. Kitab Allah dimana pesan Rasulullah SAW adalah agar umat islam berpegang teguh kepadanya agar tidak tersesat [hal yang tidak pernah kami tolak bahkan kami benarkan dan sangat sesuai dengan hadis Tsaqalain yang lain].
2. Ahlul Bait dimana Rasulullah SAW berkata “Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku”. Disini Rasulullah SAW mengingatkan para sahabat tentang Ahlul Bait.
Tentu saja pesan Rasulullah SAW soal Kitab Allah dalam hadis Shahih Muslim di atas sangat jelas hanya saja pesan peringatan Rasulullah SAW tentang Ahlul Bait masih memerlukan penjelasan yaitu Apa tepatnya peringatan tersebut. Disini kita bisa melihat bahwa hadis Shahih Muslim di atas masih memerlukan penjelasan dari hadis Tsaqalain yang lain dan ternyata di hadis Imam Ali dan hadis Zaid bin Arqam [riwayat Abu Dhuha] Rasulullah SAW menegaskan agar para sahabat berpegang teguh pada Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait Rasul SAW. Jadi peringatan yang dimaksud tidak lain agar para sahabat juga berpegang teguh kepada Ahlul Bait. Sehingga dapat dimengerti dalam hal ini mengapa peringatan tentang Ahlul Bait tidak dirincikan dengan jelas [dalam hadis Shahih muslim di atas] karena ia terikat dengan penjelasan sebelumnya terhadap Kitab Allah yaitu berpegang teguh. Apalagi di dalam hadis Tsaqalain yang lain disebutkan kalau Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait Rasul SAW tidak akan pernah terpisah [selalu bersama] sampai kembali ke Al Haudh. Hal yang menunjukkan bahwa berpegang teguh kepada Kitab Allah SWT juga diiringi berpegang teguh kepada Itrah Ahlul Bait Rasul SAW. Perlu diketahui bahwa lafaz:
وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي
“dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku”.
Hanya diriwayatkan oleh Yazid bin Hayyan dan kredibilitasnya tidak diketahui dari ulama-ulama terdahulu sebelum Muslim. Tautsiq yang diberikan ulama terhadapnya hanya berasal dari Nasa’i dan Ibnu Hibban. Abu Hatim dan Bukhari menulis keterangan tentangnya tetapi tidak menetapkan adanya jarh maupun ta’dil. Kami tidak bermaksud untuk mendhaifkan atau mencacatkan Yazid bin Hayyan tetapi hanya sekedar menunjukkan bahwa hadis ini tidaklah seperti yang dikatakan oleh sebagian orang merupakan “hadis tershahih” dan jika para pembaca jeli, riwayat Yazid bin Hayyan mengundang pertanyaan. Lafal kedua hadis di atas menyebutkan kalau Yazid bin Hayyan bersama Husain bin Sabrah dan Umar bin Muslim datang kepada Zaid bin Arqam kemudian Beliau meriwayatkan hadis Tsaqalain, setelah itu Yazid dan sahabatnya bertanya “Wahai Zaid, siapakah ahlul-bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam? Bukankah istri-istri beliau adalah ahlul-baitnya?” Nah disini Zaid bin Arqam memberikan dua jawaban [dari kedua riwayat Shahih Muslim].
1. Riwayat Yazid bin Hayyan yang pertama menyebutkan jawaban Zaid bin Arqam “Istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang ahlul-baitnya”.
2. Riwayat Yazid bin Hayyan yang kedua menyebutkan jawaban Zaid bin Arqam “Bukan, demi Allah. Sesungguhnya seorang istri bisa saja dia setiap saat bersama suaminya. Tapi kemudian bisa saja ditalaknya hingga akhirnya dia kembali kepada bapaknya dan kaumnya.”.
Terdapat sedikit perbedaan lafaz tetapi memiliki arti penting. Riwayat pertama Zaid menyebutkan kalau Istri Nabi adalah ahlul bait tetapi riwayat kedua Zaid bersumpah istri Nabi bukan ahlul bait. Bukankah hadis ini berasal dari orang yang satu yaitu Zaid bin Arqam, waktu yang satu dan tempat yang satu dan diriwayatkan kepada perawi yang sama [Yazid bin Hayyan dan sahabatnya], kalau begitu mengapa terdapat perbedaan lafaz yang cukup signifikan. Seandainya tidak ada riwayat pertama dan orang-orang hanya tahu riwayat kedua maka sudah jelas menurut Zaid bin Arqam istri Nabi bukan termasuk ahlul bait. Apakah mungkin kedua lafaz yang bertolak belakang itu adalah berasal dari Zaid bin Arqam RA, sehingga lafaz lengkapnya berbunyi:
Istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang ahlul-baitnya. Bukan, demi Allah. Sesungguhnya seorang istri bisa saja dia setiap saat bersama suaminya. Tapi kemudian bisa saja ditalaknya hingga akhirnya dia kembali kepada bapaknya dan kaumnya.
Tentu saja jawaban dengan kalimat seperti ini terkesan aneh sekali. Atau perbedaan lafaz itu berasal dari kesalahan perawinya dengan kata lain hafalan perawi yang bermasalah. Kalau begitu siapa yang bermasalah? Dan lafal hadis mana yang bermasalah?. Yang tampak bagi kami adalah jika perbedaan lafaz tersebut bukan berasal dari Zaid bin Arqam maka kemungkinan besar berasal dari Yazid bin Hayyan, dia bisa saja seorang yang tsiqat menurut Nasa’i [yang dugaan kami hanya bertaklid bahwa Muslim meriwayatkan di dalam Shahih-nya] tetapi tidak menutup kemungkinan ada sedikit cacat pada dhabit-nya [hafalannya].
Penjelasan kami di bagian ini hanya ingin menunjukkan bahwa hadis Tsaqalain dalam Shahih Muslim ini tidak bisa berdiri sendiri, ia tetap memerlukan penjelasan dari hadis Tsaqalain lain terutama pada lafaz “dan ahlul baitku, aku ingatkan kalian akan Allah terhadap Ahlul Baitku”. Yang aneh bin ajaib ada orang yang sok berasa paling mengerti lafaz hadis, dengan asalnya ia berkata menafsirkan lafaz ini:
Dari riwayat ini sangat jelas diketahui bahwa perintah untuk berpegang teguh ditujukan kepada Kitabullah. Adapun kepada Ahlul-Bait, beliau mengingatkan umatnya untuk memenuhi hak-haknya (sebagaimana diatur dalam syari’at).
Adakah dalam lafaz hadis “dan ahlul baitku, aku ingatkan kalian akan Allah terhadap Ahlul Baitku” penunjukkan perintah “untuk memenuhi hak-hak ahlul bait”?. Dari mana datangnya kesimpulan ini?.
Kenapa tidak bisa dikatakan peringatan itu adalah “Beliau mengingatkan umatnya untuk berpegang teguh kepada Ahlul Bait”. Kalau salafy nashibi itu bisa berkata “tidak ada perintah berpegang teguh kepada Ahlul Bait dalam hadis Tsaqalain Shahih Muslim” maka kami-pun dapat berkata “tidak ada perintah untuk memenuhi hak-hak ahlul bait di dalam lafaz hadis Shahih Muslim di atas”. Di lain tempat orang tersebut berkata:
Hadits ats-tsaqalain memberikan penjelasan tentang kewajiban untuk mencintai, menghormati, memuliakan, dan menunaikan hak-hak Ahlul-Bait sepeninggal beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
Silakan pembaca perhatikan kembali lafaz dalam Shahih Muslim [yang diulang sampai tiga kali] “dan ahlul baitku, aku ingatkan kalian akan Allah terhadap Ahlul Baitku”. Apakah dari lafaz ini terdapat penunjukkan perintah “untuk mencintai, menghormati, memuliakan, dan menunaikan hak-hak Ahlul-Bait”. Kalau salafy nashibi itu bisa berkata “tidak ada perintah berpegang teguh kepada Ahlul Bait dalam hadis Tsaqalain” maka kamipun bisa berkata “tidak ada perintah untuk mencintai, menghormati, memuliakan, dan menunaikan hak-hak Ahlul-Bait dalam lafaz hadis Shahih Muslim di atas”. Sungguh aneh sekali jika ada yang mengatakan kalau hadis Yazid bin Hayyan memiliki dilalah hukum yang jelas. Terkait dengan ahlul bait maka lafaz yang ada adalah “dan ahlul baitku, aku ingatkan kalian akan Allah terhadap Ahlul Baitku”. Memangnya dari lafaz ini dilalah hukum apa yang bisa ditarik?.
Sekali lagi kami tekankan makna yang jelas tentang Ahlul Bait [dilalah hukumnya jelas] dalam hadis Tsaqalain terdapat pada hadis Tsaqalain yang lain diantaranya hadis Imam Ali dan Hadis Zaid bin Arqam [riwayat Abu Dhuha]. Sehingga lafaz “dan ahlul baitku, aku ingatkan kalian akan Allah terhadap Ahlul Baitku” dapat diartikan peringatan agar umat berpegang teguh kepada Ahlul Bait, inilah peringatan yang dimaksud dalam Shahih Muslim.
Kami tidak menafikan bahwa terdapat hadis shahih yang hanya menyebutkan “Berpegang teguh kepada Kitab Allah” tanpa tambahan Ahlul Bait. Tetapi juga tidak dapat dinafikan bahwa terdapat hadis shahih yang menyebutkan “berpegang teguh kepada Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait Rasul SAW”. Hadis ini shahih dan meragukan sanadnya hanyalah usaha ngawur yang sia-sia. Sehingga yang diambil adalah hadis kedua karena makna dalam hadis pertama sudah tercakup di dalamnya. Yah salafy nashibi tahu persis akan hal ini sehingga ia menyebarkan syubhat baru [setidaknya itu tidak baru bagi kami] yang lebih dikenal di kalangan kami sebagai “syubhat anak kecil yang baru belajar bicara”. Syubhat yang kami maksud adalah pembahasannya seputar lafaz “bihii” dan “bihiima”.
Perhatikan kata yang di-bold merah. Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam memakai kata : bihi (به – “dengannya”), dimana ini merujuk pada satu hal saja, yaitu Kitabullah. Keterangan ini sesuai dengan hadits sebelumnya. Seandainya perintah tersebut mencakup dua hal (Kitabullah dan Ahlul-Bait) tentu ia memakai kata bihimaa (بهما – “dengan keduanya”), sebagaimana lafadh riwayat:
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما : كتاب الله وسنة نبيه
“Telah aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang jika kalian berpegang dengan keduanya, tidak akan tersesat : Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya”.
Hadits ‘Kitabullah wa sunnatii’ ini adalah dla’iif dengan seluruh jalannya. Di sini saya hanya ingin menunjukkan contoh penerapan dalam kalimat saja. Perintah berpegang teguh dan jaminan tidak akan tersesat dalam riwayat di atas dipahami merujuk pada Kitabullah dan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena menggunakan bihimaa (بهما – “dengan keduanya”). Ini adalah konsekeunsi logis dari kalimat itu sendiri.
Syubhat ini mungkin akan diaminkan oleh orang yang tidak bisa berbahasa arab tetapi bagi mereka yang mengerti maka nyata sekali kalau yang melontarkan syubhat ini benar-benar seperti anak kecil yang baru belajar bicara. Perlu diketahui bahwa baik hadis Tsaqalain maupun hadis Kitabullah wa sunnatii memuat kedua lafaz bihi dan bihima. Bihi yang berarti “dengannya” dan bihimaa yang berarti “dengan keduanya”.
تَرَكْت فِيكُمْ مَا إنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا كِتَابَ اللَّهِ بِأَيْدِيكُمْ وَأَهْلَ بَيْتِي
Sungguh telah Aku tinggalkan bagi kalian apa yang jika kalian berpegang teguh kepadanya maka kalian tidak akan tersesat yaitu Kitab Allah yang berada di tangan kalian dan Ahlul Bait-Ku
إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا كتاب الله عز وجل وعترتي أهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض
Aku tinggalkan untuk kalian apa yang jika kalian berpegang-teguh dengannya maka kalian tidak akan sesat yaitu Kitab Allah azza wa jalla dan ItrahKu Ahlul Baitku dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaKu di Al Haudh.
تارك فيكم أمرين لن تضلوا إن اتبعتموهما وهما كتاب الله وأهل بيتي عترتي
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما : كتاب الله وسنة نبيه
“Telah aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang jika kalian berpegang dengan keduanya, tidak akan tersesat : Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya”.
Pada hadis dengan lafaz “bihi [dengannya]” sifat peninggalan Rasulullah SAW dijelaskan terlebih dahulu yaitu yang jika berpegang dengannya tidak akan sesat baru kemudian Beliau menyebutkan kalau jumlahnya ada dua yaitu Kitab Allah dan Ahlul Bait. Jadi disini sifat berpegang teguh itu berlaku pada masing-masing yang disebutkan Nabi SAW yaitu Kitab Allah dan Ahlul Bait. Sedangkan pada lafaz “bihiima [dengan keduanya]” disebutkan terlebih dahulu kalau jumlah peninggalan tersebut ada dua [perhatikan kata dua perkara] baru kemudian disebutkan sifatnya yaitu harus dipegang teguh keduanya. Tentu karena dari awal telah disebutkan ada dua hal maka penjelasan sifat yang dimaksud juga menggunakan kata ganti “dengan keduanya”. Jadi baik hadis dengan lafaz bihi dan lafaz bihima memiliki konsekuensi yang sama. Bukti penggunaan lafaz yang seperti ini juga ditemukan dalam hadis Kitabullah wa sunnati [hadis kitabullah wa sunnati adalah hadis yang dhaif jiddan dengan keseluruhan jalannya bukannya dhaif saja seperti yang dikatakan oleh salafy tersebut].
يا أيها الناس إني قد تركت فيكم ما إن اعتصمتم به فلن تضلوا أبدا كتاب الله وسنة نبيه
Wahai manusia, sungguh telah kutinggalkan bagi kalian apa yang jika kalian berpegang teguh dengannya maka tidak kalian tidak akan tersesat setelahnya yaitu Kitab Allah dan Sunnah Nabinya [Mustadrak Al Hakim no 318].
عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لقد تركت فيكم ما إن أخذتم به لن تضلوا كتاب الله وسنة نبيه
Dari Anas bin Malik yang berkata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda “sungguh Aku tinggalkan untuk kalian apa yang jika kalian berpegang teguh dengannya maka kalian tidak akan sesat yaitu Kitab Allah dan Sunnah Nabinya [Thabaqat Al Muhaddisin no 549].
Jadi pada hadis dengan lafaz “bihi” sifat berpegang teguh dengannya berlaku untuk masing-masing peninggalan tersebut karena dari awal Rasul SAW menjelaskan bahwa Beliau akan meninggalkan sesuatu yang jika berpegang kepada sesuatu tersebut maka tidak akan sesat. Nah sesuatu itu yang disebutkan Rasul SAW adalah Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait Rasul SAW. Ditambah lagi Rasulullah SAW menyebutkan kalau keduanya selalu bersama tidak akan berpisah sampai kembali ke Al Haudh.
Kami yakin tidak ada satupun ulama yang fasih berbahasa arab mempermasalahkan lafaz “bihi” dan “bihima” karena maaf saja terkesan konyol sekali kalau hujjah seperti ini dilontarkan oleh orang yang bertaraf ulama. Bahkan banyak ulama yang menjadikan hadis dengan lafaz “bihi” sebagai dalil untuk berpegang teguh kepada Sunnah Nabi diantaranya:
1. Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib atau Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib Wat Tarhib memuat bab “anjuran berpegang teguh kepada Kitab Allah dan Sunnah Nabi”. Di dalam bab itu terdapat hadis “kitabullah wa sunnati” dengan lafaz “bihi” yaitu hadis Ibnu Abbas riwayat Al Hakim [Shahih At Targhib Wat Tarhib no 40].
2. As Suyuthi dalam Miftah Al Jannah menjadikan hadis “kitabullah wa sunnati” dengan lafaz “bihi” sebagai dalil untuk berpegang teguh kepada Sunnah Nabi SAW [Miftah Al Jannah fi Ihtijaj bil Sunnah hal 7].
Tetapi dengan cara-cara berdalil yang seperti ini kita dapat melihat kualitas mereka yang mengidap “sesuatu di hatinya” yang selalu mencari-cari dalih penolakan walaupun dalih tersebut terkesan konyol bin naïf.
Syubhat salafy nashibi yang lain adalah menunjukkan kekeliruan-kekeliruan Imam Ali [dalam persepsinya tentu] sehingga dengan ini ia menginginkan bahwa Ahlul Bait tidak dijadikan pedoman umat islam agar tidak sesat karena terbukti juga melakukan kekeliruan. Tanggapan kami cukup sederhana, kekeliruan-kekeliruan yang ia nisbatkan kepada Imam Ali sebelum diucapkan hadis Tsaqalain jelas tidak menjadi hujjah baginya karena jelas pada masa Nabi SAW, Nabi SAW memberikan pengajaran dan ilmu kepada Ahlul Bait sehingga pada akhirnya Rasul SAW menetapkan Ahlul Bait sebagai pedoman umat. Mengenai kekeliruan yang ia nisbatkan kepada Imam Ali sepeninggal Nabi SAW yaitu Imam Ali pernah membakar kaum murtad maka kami katakan hal itu tidaklah tsabit.
عن عكرمة : أن عليا رضي الله عنه حرق قوما، فبلغ ابن عباس فقال: لو كنت أنا لم أحرقهم، لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (لا تعذبوا بعذاب الله). ولقتلتهم، كما قال النبي صلى الله عليه وسلم: (من بدل دينة فاقتلوه).
Kemudian ia membawakan riwayat dalam Sunan Tirmidzi dengan tambahan lafaz “Ibnu Abbas benar”.
فبلغ ذلك عليا فقال صدق بن عباس
Saudara itu melakukan hal yang aneh dalam Takhrijnya terhadap lafaz “benarlah Ibnu Abbas”. Yang saya temukan lafaz itu ada di riwayat Tirmidzi sedangkan di riwayat lain seperti Musnad Ahmad 1/217 no 1871, Musnad Ahmad 1/282 no 2552, Mushannaf Abdurrazaq 5/213 no 9413, Sunan Abu Dawud 2/530 no 4351 dan Sunan Daruquthni 3/108 no 90 semuanya dengan tambahan lafaz perkataan imam Ali “kasihan Ibnu Abbas”.
عن عكرمة أن عليا عليه السلام أحرق ناسا ارتدوا عن الإسلام فبلغ ذلك ابن عباس فقال لم أكن لأحرقهم بالنار إن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال ” لاتعذبوا بعذاب الله ” وكنت قاتلهم بقول رسول الله صلى الله عليه و سلم فإن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال ” من بدل دينه فاقتلوه ” فبلغ ذلك عليا عليه السلام فقال ويح ابن عباس
Dari ‘Ikrimah Bahwasanya ‘Aliy alaihis salam pernah membakar satu kaum yang murtad dari islam. Sampailah berita itu kepada Ibnu ‘Abbas, lalu ia berkata “tidak boleh membakar mereka, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda ‘Janganlah menyiksa dengan siksaan Allah’. Dan seandainya itu aku maka aku akan membunuh mereka sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam “Barangsiapa yang menukar agamanya, maka bunuhlah ia”. Kemudian sampailah kepada Ali alaihis salam [perkataan Ibnu Abbas] maka ia berkata “kasihan Ibnu Abbas” [Sunan Abu Dawud 2/530 no 4351, perhatian : kata “alaihis salam” memang berasal dari kitab hadis Sunan Abu Dawud bukan tambahan dari kami].
Jika para pembaca jeli membaca hadis Ikrimah di atas maka pernyataan imam Ali membakar suatu kaum berasal dari Ikrimah. Ikrimah tidaklah menyaksikan peristiwa ini karena riwayatnya dari Ali adalah mursal seperti yang dikatakan Abu Zur’ah [Al Marasil Ibnu Abi Hatim 1/158 no 585]. Jadi Ikrimah hanya menerima kabar yang sampai kepadanya. Kemudian disampaikan kepada Ibnu Abbas dan Ibnu Abbas mengatakan bahwa apa yang dilakukan imam Ali itu tidak benar karena tidak boleh menyiksa dengan siksaan Allah SWT dan cukup dibunuh saja berdasarkan hadis Rasulullah SAW. Lantas perkataan Ibnu Abbas ini pun sampai pula kepada Imam Ali dan disebutkan kalau Imam Ali berkata “benarlah Ibnu Abbas” dan “kasihan Ibnu Abbas”.
Jika kita menerima kedua perkataan ini maka yang dimaksud oleh Imam Ali dengan “benarlah Ibnu Abbas” adalah membenarkan hadis yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dari Rasulullah SAW bahwa tidak boleh menyiksa dengan siksaan Allah SWT dan orang murtad cukup dibunuh saja karena Beliau Imam Ali juga mengetahui hadis tersebut. Dan yang dimaksud dengan perkataan “kasihan Ibnu Abbas” adalah Imam Ali mengasihani Ibnu Abbas yang terlalu mudah mempercayai apa saja yang disampaikan kepadanya. Jika Imam Ali mengetahui kebenaran hadis tersebut jelas mana mungkin Beliau melakukan perbuatan yang melanggar hadis Rasulullah SAW yang ia ketahui artinya Imam Ali tidaklah membakar kaum tersebut. Berbeda halnya dengan nashibi yang menurut anggapan mereka tidak ada masalah kalau Imam Ali mengetahui hadis Rasulullah SAW yang shahih tetapi melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hadis shahih tersebut.
Dan diriwayatkan bahwa Ammar Ad Duhni berkata kalau Imam Ali tidak membakar mereka hanya membuat lubang lalu memasukkan mereka ke dalamnya dan mengalirkan asap ke lubang tersebut kemudian membunuh mereka [Musnad Al Humaidi 1/244 no 533]. Ammar Ad Duhni adalah tabiin kufah yang otomatis menyaksikan persitiwa tersebut sehingga kesaksiannya patut diambil dan melalui penjelasannya Imam Ali tidak membakar kaum murtad yang dimaksud. Wallahu’alam
Lafaz lain yang penting dan luput dari pandangan para pengingkar adalah lafaz hadis Tsaqalain “keduanya tidak akan berpisah sampai kembali kepadaku di Al Haudh”.
وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض
Dan keduanya tidak akan berpisah sampai kembali kepadaku di Al Haudh.
Lafaz ini mengandung pengertian bahwa keduanya yaitu Kitab Allah dan Ithrah Ahlul Bait Rasul SAW akan selalu bersama dan tidak akan berpisah. Itrah Ahlul Bait Rasul SAW akan selalu bersama Al Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa mereka akan selalu bersama kebenaran dan menjadi pedoman bagi umat islam karena mereka selalu bersama Al Qur’an sampai keduanya kembali kepada Rasulullah SAW di Al Haudh.
Janganlah seseorang terperdaya dengan perkataan bahwa hadis Abu Dhuha adalah ringkasan dari hadis Yazid bin Hayyan. Tidak diragukan kalau para perawi bisa saja menyampaikan hadis lebih ringkas dari apa yang mereka dengar tetapi seorang perawi yang tsiqat dan dhabit tidaklah merubah hadis tersebut atau apapun yang ia ringkas. Dengan kata lain ringkasan yang mereka lakukan tidaklah merubah makna hadis tersebut. Kami katakan bahwa hadis Zaid bin Arqam disampaikan kepada kedua orang yang berbeda yaitu Yazid bin Hayyan dan Abu Dhuha di waktu yang berbeda pula . Abu Dhuha adalah orang yang lebih tsiqat dan tsabit dibanding Yazid bin Hayyan sehingga apa yang disampaikan oleh Abu Dhuha adalah apa yang ia dengar dari Zaid bin Arqam, kami tidak mengetahui adanya riwayat Abu Dhuha dalam versi yang lebih panjang oleh karena itu justru lebih tepat dikatakan lafaz hadis Abu Dhuha adalah lafaz ringkas yang disampaikan oleh Zaid bin Arqam.
Jadi Perbedaannya adalah riwayat Yazid bin Hayyan, disampaikan oleh Zaid bin Arqam dengan lebih panjang dan memuat kisah di Khum sedangkan riwayat Abu Dhuha disampaikan Zaid bin Arqam dengan lebih singkat dan hanya menyebutkan inti atau hukumnya saja yaitu “berpegang teguh kepada Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait dan keduanya tidak akan berpisah”. Riwayat Yazid bin Hayyan tidak memiliki qarinah yang menafikan “berpegang teguh kepada Ahlul Bait” apalagi dalam riwayat Imam Ali yang juga memuat soal kisah bahkan Beliau sebagai shahibul qishshah memuat lafaz yang persis dengan lafaz hadis Abu Dhuha yaitu “berpegang teguh pada kitab Allah dan Ahlul Bait”. Jika mau dipaksakan untuk menggabungkan riwayat-riwayat yang ada [ketiga riwayat di atas] maka secara keseluruhan lafaz hadis Tsaqalain adalah sebagai berikut:
‘Pada suatu hari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri berkhutbah di suatu tempat perairan yang bernama Khumm yang terletak antara Makkah dan Madinah. [Beliau keluar sambil memegang tangan Ali] Beliau memuji Allah, kemudian menyampaikan nasihat dan peringatan, lalu beliau bersabda ‘Amma ba’d. Ketahuilah wahai saudara-saudara sekalian bahwa aku adalah manusia seperti kalian. Sebentar lagi utusan Rabb-ku [yaitu malaikat pencabut nyawa] akan datang lalu dia diperkenankan. Beliau berkata “wahai manusia bukankah kalian bersaksi bahwa Allah azza wajalla adalah Rabb kalian?. Orang-orang berkata “benar”. Bukankah kalian bersaksi bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih berhak atas kalian lebih dari diri kalian sendiri dan Allah azza wajalla dan Rasul-Nya adalah mawla bagi kalian?. Orang-orang berkata “benar”. Beliau SAW berkata “maka barangsiapa yang menjadikan Aku sebagai mawlanya maka dia ini juga sebagai mawlanya”. Sungguh telah Aku tinggalkan bagi kalian yang jika kalian berpegang teguh kepadanya maka kalian tidak akan tersesat yaitu Kitab Allah yang berada di tangan kalian dan Ahlul Bait-Ku” Aku meninggalkan kepada kalian Ats-Tsaqalain [dua hal yang berat], yaitu Kitabullah yang padanya berisi petunjuk dan cahaya, karena itu ambillah ia (yaitu melaksanakan kandungannya) dan berpegang teguhlah kalian kepadanya’. Kemudian beliau berkata “dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku’. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku’. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku’. Keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaKu di Al Haudh. Maka perhatikanlah oleh kalian, apa yang kalian perbuat terhadap keduanya sepeninggalku.
Dengan lafaz di atas dapat dimengerti bahwa pada perkataan “dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku” tidak dijelaskan peringatan tersebut dengan lebih rinci karena sudah jelas pada perkataan sebelumnya “Aku tinggalkan bagi kalian yang jika kalian berpegang teguh kepadanya maka kalian tidak akan tersesat yaitu Kitab Allah yang berada di tangan kalian dan Ahlul Bait-Ku”. Berbeda halnya dengan saudara pengingkar tersebut, ia tidak memiliki petunjuk sedikitpun untuk menyokong penafsirannya kalau pesan dalam hadis Tsaqalain adalah menghormati, mencintai, memuliakan serta memenuhi hak-hak Ahlul Bait.
Sebagai umat islam kita memiliki kewajiban untuk berpegang teguh kepada Al Qur’an dan Itrah Ahlul Bait Rasul SAW, mencintai mereka, menghormati dan memuliakan serta memenuhi hak-haknya. Janganlah ada diantara kita yang terpengaruh syubhat nashibi yang menolak untuk berpegang teguh kepada Itrah Ahlul Bait Rasul SAW. Rasulullah SAW menyatakan dengan jelas bahwa Beliau meninggalkan bagi umat Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait yang mana yang satu lebih besar dari yang lain [yaitu kitab Allah] dimana umat islam hendaknya berpegang teguh kepada Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait agar tidak tersesat dan keduanya akan selalu bersama atau tidak akan berpisah sampai kembali kepada Rasul SAW di Al Haudh.
Syubhat lain para pengingkar adalah perkataan bahwa Ahlul Bait dan Al Qur’an tidaklah setara karena Rasulullah SAW mengatakan telah membedakan keduanya dimana yang satu lebih besar dari yang lain. Kami katakan perkataannya benar tetapi pengingkar itu menginginkan kebathilan dari perkataan tersebut. Al Qur’an adalah Tsaqal Al Akbar karena ia adalah rujukan dan pedoman pertama bagi umat islam bahkan Itrah Ahlul Bait Rasul SAW juga berpedoman kepada Al Qur’an. Itrah Ahlul Bait Rasul adalah pribadi-pribadi yang paling mengerti dan memahami Al Qur’an, mereka tidak akan pernah meninggalkan Al Quran sepeninggal Rasul SAW oleh karena itu Rasulullah SAW menjelaskan bahwa Al Qur’an dan Itrah Ahlul Bait akan selalu bersama atau tidak pernah berpisah hingga kembali kepada Rasul SAW di Al Haudh. Itrah Ahlul Bait Rasul SAW sebagai Tsaqal Al Asghar adalah rujukan kedua bagi umat karena mereka seperti yang sudah kami sebutkan adalah yang paling mengerti dan memahami Al Qur’an dan mereka adalah yang paling mengerti dengan sunah Rasul SAW, oleh karena itulah Rasulullah SAW berwasiat dengan menyandingkan keduanya. Perkara ini termasuk sangat berat khususnya perihal Ahlul Bait sehingga Rasulullah SAW berkata “maka perhatikanlah oleh kalian, apa yang kalian perbuat terhadap keduanya sepeninggalku”.
Terakhir kami akan mengajak pembaca untuk memperhatikan atsar yang dibawakan oleh saudara pengingkar tersebut di akhir tulisannya:
حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ وَصَدَقَةُ قَالَا أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ وَاقِدِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ ارْقُبُوا مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَهْلِ بَيْتِهِ
Telah menceritakan kepadaku Yahyaa bin Ma’iin dan Shadaqah, mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ja’far, dari Syu’bah, dari Waaqid bin Muhammad, dari ayahnya, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : Telah berkata Abu Bakr : “Peliharalah hubungan dengan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan cara menjaga hubungan baik dengan ahlul-bait beliau” [Shahih Bukhaariy no. 3751].
Mengenai matan atsar di atas, tidak ada satupun yang meragukan kalau umat islam diharuskan menjaga hubungan baik dengan Ahlul Bait karena kedudukan mereka yang tinggi dalam islam [sebagai pedoman bagi umat islam]. Tetapi aneh bin ajaib Abu Bakar sendiri dan sahabatnya Umar adalah orang yang pertama kali melakukan sesuatu yang tidak baik dengan Ahlul Bait. Telah diriwayatkan dengan kabar yang shahih bahwa Abu Bakar menolak permintaan Sayyidah Fathimah AS [penghulu wanita surga] sehingga membuat sayyidah Fathimah marah dan tidak berbicara dengan Abu Bakar selama 6 bulan. Dan telah diriwayatkan dengan kabar yang shahih bahwa Umar mengancam akan membakar rumah Ahlul Bait terkait dengan masalah kekhalifahan. Apakah perbuatan tersebut bisa dikatakan “menjaga hubungan baik dengan ahlul bait”?.
Walaupun begitu kami tidak punya kepentingan untuk mencela atau mencaci Abu Bakar RA dan Umar RA. Bagi kami cukuplah tauladan yang diberikan Ahlul Bait jika salah katakan salah jika benar katakan benar dan jika tidak senang maka diam dan bersabar itu lebih baik. Semoga jawaban kami ini bermanfaat bagi umat islam khususnya para pecinta Ahlul Bait dan insya Allah kami akan terus berusaha menjadi hamba Allah yang membela keutamaan Ahlul Bait semampu kami. Tidak ada yang kami harapkan dari ini kecuali Allah SWT mengampuni kami dan memberikan petunjuk kepada kami agar kami berada di atas jalan yang lurus.
Perhatikan disini:
Hadis Tsaqalain; Peninggalan Rasulullah SAW adalah Al Quran dan Ahlul Bait as.
Sebelum Junjungan kita yang mulia Al Imam Rasulullah SAW (Shalawat dan salam kepada Beliau SAW dan Keluarga suciNya as) berpulang ke rahmatullah, Beliau SAW telah berpesan kepada umatnya agar tidak sesat dengan berpegang teguh kepada dua peninggalannya atau Ats Tsaqalain yaitu Kitabullah Al Quranul Karim dan Itraty Ahlul Bait Rasul as. Seraya Beliau SAW juga mengingatkan kepada umatnya bahwa Al Quranul Karim dan Itraty Ahlul Bait Rasul as akan selalu bersama dan tidak akan berpisah sampai hari kiamat dan bertemu Rasulullah SAW di Telaga Kautsar Al Haudh.
Peninggalan Rasulullah SAW itu telah diriwayatkan dalam banyak hadis dengan sanad yang berbeda dan shahih dalam kitab-kitab hadis. Diantara kitab-kitab hadis itu adalah Shahih Muslim, Sunan Ad Darimi, Sunan Tirmidzi, Musnad Abu Ya’la, Musnad Al Bazzar, Mu’jam At Thabrani, Musnad Ahmad bin Hanbal, Shahih Ibnu Khuzaimah, Mustadrak Ash Shahihain, Majma Az Zawaid Al Haitsami, Jami’As Saghir As Suyuthi dan Al Kanz al Ummal. Dalam Tulisan ini akan dituliskan beberapa hadis Tsaqalain yang shahih dalam Shahih Muslim, Mustadrak Ash Shahihain, Sunan Tirmidzi dan Musnad Ahmad bin Hanbal.
1.Hadis riwayat Imam Muslim dalam Shahih Muslim juz II hal 279 bab Fadhail Ali.
Muslim meriwayatkan telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb dan Shuja’ bin Makhlad dari Ulayyah yang berkata Zuhair berkata telah menceritakan kepada kami Ismail bin Ibrahim dari Abu Hayyan dari Yazid bin Hayyan yang berkata ”Aku, Husain bin Sabrah dan Umar bin Muslim pergi menemui Zaid bin Arqam. Setelah kami duduk bersamanya berkata Husain kepada Zaid ”Wahai Zaid sungguh engkau telah mendapat banyak kebaikan. Engkau telah melihat Rasulullah SAW, mendengarkan hadisnya, berperang bersamanya dan shalat di belakangnya. Sungguh engkau mendapat banyak kebaikan wahai Zaid. Coba ceritakan kepadaku apa yang kamu dengar dari Rasulullah SAW. Berkata Zaid “Hai anak saudaraku, aku sudah tua, ajalku hampir tiba, dan aku sudah lupa akan sebagian yang aku dapat dari Rasulullah SAW. Apa yang kuceritakan kepadamu terimalah,dan apa yang tidak kusampaikan janganlah kamu memaksaku untuk memberikannya.
Lalu Zaid berkata ”pada suatu hari Rasulullah SAW berdiri di hadapan kami di sebuah tempat yang bernama Ghadir Khum seraya berpidato, maka Beliau SAW memanjatkan puja dan puji atas Allah SWT, menyampaikan nasehat dan peringatan. Kemudian Beliau SAW bersabda “Ketahuilah wahai manusia sesungguhnya aku hanya seorang manusia. Aku merasa bahwa utusan Tuhanku (malaikat maut) akan segera datang dan Aku akan memenuhi panggilan itu. Dan Aku tinggalkan padamu dua pusaka (Ats-Tsaqalain). Yang pertama Kitabullah (Al-Quran) di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya,maka berpegang teguhlah dengan Kitabullah”. Kemudian Beliau melanjutkan, “dan Ahlul Bait-Ku, kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku, kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku, kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku”.
Lalu Husain bertanya kepada Zaid ”Hai Zaid siapa gerangan Ahlul Bait itu? Tidakkah istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait? Jawabnya “Istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait. Tetapi yang dimaksud Ahlul Bait disini adalah orang yang tidak diperkenankan menerima sedekah setelah wafat Nabi SAW”, Husain bertanya “Siapa mereka?”.Jawab Zaid ”Mereka adalah Keluarga Ali, Keluarga Aqil, Keluarga Ja’far dan Keluarga Ibnu Abbes”. Apakah mereka semua diharamkan menerima sedekah (zakat)?” tanya Husain; “Ya”, jawabnya.
Hadis di atas terdapat dalam Shahih Muslim, perlu dinyatakan bahwa yang menjadi pesan Rasulullah SAW itu adalah sampai perkataan “kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku” sedangkan yang selanjutnya adalah percakapan Husain dan Zaid perihal Siapa Ahlul Bait. Yang menarik bahwa dalam Shahih Muslim di bab yang sama Fadhail Ali, Muslim juga meriwayatkan hadis Tsaqalain yang lain dari Zaid bin Arqam dengan tambahan percakapan yang menyatakan bahwa Istri-istri Nabi tidak termasuk Ahlul Bait, berikut kutipannya.
“Kami berkata “Siapa Ahlul Bait? Apakah istri-istri Nabi? Kemudian Zaid menjawab ”Tidak, Demi Allah, seorang wanita (istri) hidup dengan suaminya dalam masa tertentu jika suaminya menceraikannya dia akan kembali ke orang tua dan kaumnya. Ahlul Bait Nabi adalah keturunannya yang diharamkan untuk menerima sedekah”.
2. Hadis shahih dalam Mustadrak As Shahihain Al Hakim juz III hal 148.
Al Hakim meriwayatkan telah menceritakan kepada kami seorang faqih dari Ray Abu Bakar Muhammad bin Husain bin Muslim, yang mendengar dari Muhammad bin Ayub yang mendengar dari Yahya bin Mughirah al Sa’di yang mendengar dari Jarir bin Abdul Hamid dari Hasan bin Abdullah An Nakha’i dari Muslim bin Shubayh dari Zaid bin Arqam yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda. “Kutinggalkan kepadamu dua peninggalan (Ats Tsaqalain), kitab Allah dan Ahlul BaitKu. Sesungguhnya keduanya tak akan berpisah, sampai keduanya kembali kepadaKu di Al Haudh“.
Al Hakim menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa sanad hadis ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim.
3. Hadis shahih dalam kitab Mustadrak As Shahihain Al Hakim, Juz III hal 109.
Al Hakim meriwayatkan telah menceritakan kepada kami Abu Husain Muhammad bin Ahmad bin Tamim Al Hanzali di Baghdad yang mendengar dari Abu Qallabah Abdul Malik bin Muhammad Ar Raqqasyi yang mendengar dari Yahya bin Hammad; juga telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Muhammad bin Balawaih dan Abu Bakar Ahmad bin Ja’far Al Bazzaz, yang keduanya mendengar dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal yang mendengar dari ayahnya yang mendengar dari Yahya bin Hammad; dan juga telah menceritakan kepada kami Faqih dari Bukhara Abu Nasr Ahmad bin Suhayl yang mendengar dari Hafiz Baghdad Shalih bin Muhammad yang mendengar dari Khallaf bin Salim Al Makhrami yang mendengar dari Yahya bin Hammad yang mendengar dari Abu Awanah dari Sulaiman Al A’masy yang berkata telah mendengar dari Habib bin Abi Tsabit dari Abu Tufail dari Zaid bin Arqam ra yang berkata
“Rasulullah SAW ketika dalam perjalanan kembali dari haji wada berhenti di Ghadir Khum dan memerintahkan untuk membersihkan tanah di bawah pohon-pohon. Kemudian Beliau SAW bersabda” Kurasa seakan-akan aku segera akan dipanggil (Allah), dan segera pula memenuhi panggilan itu, Maka sesungguhnya aku meninggalkan kepadamu Ats Tsaqalain(dua peninggalan yang berat). Yang satu lebih besar (lebih agung) dari yang kedua : Yaitu kitab Allah dan Ittrahku. Jagalah Baik-baik dan berhati-hatilah dalam perlakuanmu tehadap kedua peninggalanKu itu, sebab Keduanya takkan berpisah sehingga berkumpul kembali denganKu di Al Haudh. Kemudian Beliau SAW berkata lagi: “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla adalah maulaku, dan aku adalah maula setiap Mu’min. Lalu Beliau SAW mengangkat tangan Ali Bin Abi Thalib sambil bersabda : Barangsiapa yang menganggap aku sebagai maulanya, maka dia ini (Ali bin Abni Thalib) adalah juga maula baginya. Ya Allah, cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya“
Al Hakim telah menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa hadis ini shahih sesuai dengan persyaratan Bukhari dan Muslim.
4. Hadis shahih dalam kitab Mustadrak As Shahihain Al Hakim, Juz III hal 110.
Al Hakim meriwayatkan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Ishaq dan Da’laj bin Ahmad Al Sijzi yang keduanya mendengar dari Muhammad bin Ayub yang mendengar dari Azraq bin Ali yang mendengar dari Hasan bin Ibrahim Al Kirmani yang mendengar dari Muhammad bin Salamah bin Kuhail dari Ayahnya dari Abu Tufail dari Ibnu Wathilah yang mendengar dari Zaid bin Arqam ra yang berkata “Rasulullah SAW berhenti di suatu tempat di antara Mekkah dan Madinah di dekat pohon-pohon yang teduh dan orang-orang membersihkan tanah di bawah pohon-pohon tersebut. Kemudian Rasulullah SAW mendirikan shalat, setelah itu Beliau SAW berbicara kepada orang-orang. Beliau memuji dan mengagungkan Allah SWT, memberikan nasehat dan mengingatkan kami. Kemudian Beliau SAW berkata” Wahai manusia, Aku tinggalkan kepadamu dua hal atau perkara, yang apabila kamu mengikuti dan berpegang teguh pada keduanya maka kamu tidak akan tersesat yaitu Kitab Allah (Al Quranul Karim) dan Ahlul BaitKu, ItrahKu. Kemudian Beliau SAW berkata tiga kali “Bukankah Aku ini lebih berhak terhadap kaum muslimin dibanding diri mereka sendiri.. Orang-orang menjawab “Ya”. Kemudian Rasulullah SAW berkata” Barangsiapa yang menganggap aku sebagai maulanya, maka Ali adalah juga maulanya.
Al Hakim telah menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa hadis ini shahih sesuai dengan persyaratan Bukhari dan Muslim.
5. Hadis dalam Musnad Ahmad jilid V hal 189.
Abdullah meriwayatkan dari Ayahnya,dari Ahmad Zubairi dari Syarik dari Rukayn dari Qasim bin Hishan dari Zaid bin Tsabit ra, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Aku meninggalkan dua khalifah bagimu, Kitabullah dan Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya datang ke telaga Al Haudh bersama-sama”.
Hadis di atas diriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari ayahnya Ahmad bin Hanbal, keduanya sudah dikenal tsiqat di kalangan ulama, Ahmad Zubairi. Beliau adalah Muhammad bin Abdullah Abu Ahmad Al Zubairi Al Habbal telah dinyatakan tsiqat oleh Yahya bin Muin dan Al Ajili.
Syarik bin Abdullah bin Sinan adalah salah satu Rijal Muslim, Yahya bin Main berkata “Syuraik itu jujur dan tsiqat”. Ahmad bin Hanbal dan Ajili menyatakan Syuraik tsiqat. Ibnu Ya’qub bin Syaiban berkata” Syuraik jujur dan tsiqat tapi jelek hafalannya”. Ibnu Abi Hatim berkata” hadis Syuraik dapat dijadikan hujjah”. Ibnu Saad berkata” Syuraik tsiqat, terpercaya tapi sering salah”.An Nasai berkata ”tak ada yang perlu dirisaukan dengannya”. Ahmad bin Adiy berkata “kebanyakan hadis Syuraik adalah shahih”.(Mizan Al Itidal adz Dzahabi jilid 2 hal 270 dan Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar jilid 4 hal 333).
Rukayn (Raqin) bin Rabi’Abul Rabi’ Al Fazari adalah perawi yang tsiqat .Beliau dinyatakan tsiqat oleh Ahmad bin Hanbal, An Nasai, Yahya bin Main, Ibnu Hajar dan juga dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Hibban dalam kitab Ats Tsiqat Ibnu Hibban.
Qasim bin Hishan adalah perawi yang tsiqah. Ahmad bin Saleh menyatakan Qasim tsiqah. Ibnu Hibban menyatakan bahwa Qasim termasuk dalam kelompok tabiin yang tsiqah. Dalam Majma Az Zawaid ,Al Haitsami menyatakan tsiqah kepada Qasim bin Hishan. Adz Dzahabi dan Al Munziri menukil dari Bukhari bahwa hadis Qasim itu mungkar dan tidak shahih. Tetapi Hal ini telah dibantah oleh Ahmad Syakir dalam Musnad Ahmad jilid V,beliau berkata”Saya tidak mengerti apa sumber penukilan Al Munziri dari Bukhari tentang Qasim bin Hishan itu. Sebab dalam Tarikh Al Kabir Bukhari tidak menjelaskan biografi Qasim demikian juga dalam kitab Adh Dhu’afa. Saya khawatir bahwa Al Munziri berkhayal dengan menisbatkan hal itu kepada Al Bukhari”. Oleh karena itu Syaikh Ahmad Syakir menguatkannya sebagai seorang yang tsiqah dalam Syarh Musnad Ahmad.
Jadi hadis dalam Musnad Ahmad diatas adalah hadis yang shahih karena telah diriwayatkan oleh perawi-perawi yang dikenal tsiqah.
6. Hadis dalam Musnad Ahmad jilid V hal 181-182.
Riwayat dari Abdullah dari Ayahnya dari Aswad bin ‘Amir, dari Syarik dari Rukayn dari Qasim bin Hishan, dari Zaid bin Tsabit, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda”Sesungguhnya Aku meninggalkan dua khalifah bagimu Kitabullah, tali panjang yang terentang antara langit dan bumi atau diantara langit dan bumi dan Itrati Ahlul BaitKu. Dan Keduanya tidak akan terpisah sampai datang ke telaga Al Haudh”
Hadis di atas diriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari ayahnya Ahmad bin Hanbal, Semua perawi hadis Musnad Ahmad di atas telah dijelaskan sebelumnya kecuali Aswad bin Amir Shadhan Al Wasithi. Beliau adalah salah satu Rijal atau perawi Bukhari Muslim. Al Qaisarani telah menyebutkannya di antara perawi-perawi Bukhari Muslim dalam kitabnya Al Jam’u Baina Rijalisy Syaikhain. Selain itu Aswad bin Amir dinyatakan tsiqat oleh Ali bin Al Madini, Ibnu Hajar, As Suyuthi dan juga disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam Kitabnya Ats Tsiqat Ibnu Hibban. Oleh karena itu hadis Musnad Ahmad di atas sanadnya shahih.
7. Hadis dalam Sunan Tirmidzi jilid 5 halaman 662 – 663.
At Tirmidzi meriwayatkan telah bercerita kepada kami Ali bin Mundzir al-Kufi, telah bercerita kepada kami Muhammad bin Fudhail, telah bercerita kepada kami Al-A’masy, dari ‘Athiyyah, dari Abi Sa’id dan Al-A’masy, dari Habib bin Abi Tsabit, dari Zaid bin Arqam yang berkata, ‘Rasulullah saw telah bersabda, ‘Sesungguhnya aku tinggalkan padamu sesuatu yang jika kamu berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan tersesat sepeninggalku, yang mana yang satunya lebih besar dari yang lainnya, yaitu Kitab Allah, yang merupakan tali penghubung antara langit dan bumi, dan ‘itrah Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga datang menemuiku di telaga. Maka perhatikanlah aku dengan apa yang kamu laksanakan kepadaku dalam keduanya”.
Dalam Tahdzib at Tahdzib jilid 7 hal 386 dan Mizan Al I’tidal jilid 3 hal 157, Ali bin Mundzir telah dinyatakan tsiqat oleh banyak ulama seperti Ibnu Abi Hatim,Ibnu Namir,Imam Sha’sha’i dan lain-lain,walaupun Ali bin Mundzir dikenal sebagai seorang syiah. Mengenai hal ini Mahmud Az Za’by dalam bukunya Sunni yang Sunni hal 71 menyatakan tentang Ali bin Mundzir ini “para ulama telah menyatakan ketsiqatan Ali bin Mundzir. Padahal mereka tahu bahwa Ali adalah syiah. Ini harus dipahami bahwa syiah yang dimaksud disini adalah syiah yang tidak merusak sifat keadilan perawi dengan catatan tidak berlebih-lebihan. Artinya ia hanya berpihak kepada Ali bin Abu Thalib dalam pertikaiannya melawan Muawiyah. Tidak lebih dari itu. Inilah pengertian tasyayyu menurut ulama sunni. Karena itu Ashabus Sunan meriwayatkan dan berhujjah dengan hadis Ali bin Mundzir”.
Muhammad bin Fudhail,dalam Hadi As Sari jilid 2 hal 210,Tahdzib at Tahdzib jilid 9 hal 405 dan Mizan al Itidal jilid 4 hal 9 didapat keterangan tentang beliau. Ahmad berkata”Ia berpihak kepada Ali, tasyayyu. Hadisnya baik” Yahya bin Muin menyatakan Muhammad bin Fudhail adalah tsiqat. Abu Zara’ah berkata”ia jujur dan ahli Ilmu”.Menurut Abu Hatim,Muhammad bin Fudhail adalah seorang guru.Nasai tidak melihat sesuatu yang membahayakan dalam hadis Muhammad bin Fudhail. Menurut Abu Dawud ia seorang syiah yang militan. Ibnu Hibban menyebutkan dia didalam Ats Tsiqat seraya berkata”Ibnu Fudhail pendukung Ali yang berlebih-lebihan”Ibnu Saad berkata”Ia tsiqat,jujur dan banyak memiliki hadis.Ia pendukung Ali”. Menurut Ajli,Ibnu Fudhail orang kufah yang tsiqat tetapi syiah. Ali bin al Madini memandang Muhammad bin Fudhail sangat tsiqat dalam hadis. Daruquthni juga menyatakan Muhammad bin Fudhail sangat tsiqat dalam hadis.
Al A’masy atau Sulaiman bin Muhran Al Kahili Al Kufi Al A’masy adalah perawi Kutub As Sittah yang terkenal tsiqat dan ulama hadis sepakat tentang keadilan dan ketsiqatan Beliau..(Mizan Al Itidal adz Dzahabi jilid 2 hal 224 dan Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar jilid 4 hal 222).Dalam hadis Sunan Tirmidzi di atas A’masy telah meriwayatkan melalui dua jalur yaitu dari Athiyyah dari Abu Said dan dari Habib bin Abi Tsabit dari Zaid bin Arqam.
Athiyyah bin Sa’ad al Junadah Al Awfi adalah tabiin yang dikenal dhaif. Menurut Adz Dzahabi Athiyyah adalah seorang tabiin yang dikenal dhaif ,Abu Hatim berkata hadisnya dhaif tapi bisa didaftar atau ditulis, An Nasai juga menyatakan Athiyyah termasuk kelompok orang yang dhaif, Abu Zara’ah juga memandangnya lemah. Menurut Abu Dawud Athiyyah tidak bisa dijadikan sandaran atau pegangan.Menurut Al Saji hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah,Ia mengutamakan Ali ra dari semua sahabat Nabi yang lain. Salim Al Muradi menyatakan bahwa Athiyyah adalah seorang syiah. Abu Ahmad bin Adi berkata walaupun ia dhaif tetapi hadisnya dapat ditulis. Kebanyakan ulama memang memandang Athiyyah dhaif tetapi Ibnu Saad memandang Athiyyah tsiqat,dan berkata insya Allah ia mempunyai banyak hadis yang baik,sebagian orang tidak memandang hadisnya sebagai hujjah. Yahya bin Main ditanya tentang hadis Athiyyah ,ia menjawab “Bagus”.(Mizan Al ‘Itidal jilid 3 hal 79).
Habib bin Abi Tsabit Al Asadi Al Kahlili adalah Rijal Bukhari dan Muslim dan para ulama hadis telah sepakat akan keadilan dan ketsiqatan beliau, walaupun beliau juga dikenal sebagai mudallis (Tahdzib At Tahdzib jilid 2 hal 178). Jadi dari dua jalan dalam hadis Sunan Tirmidzi di atas, sanad Athiyyah semua perawinya tsiqat selain Athiyyah yang dikenal dhaif walaupun Beliau di ta’dilkan oleh Ibnu Saad dan Ibnu Main. Sedangkan sanad Habib semua perawinya tsiqat tetapi dalam hadis di atas A’masy dan Habib meriwayatkan dengan lafal ‘an (mu’an ‘an) padahal keduanya dikenal mudallis. Walaupun begitu banyak hal yang menguatkan sanad Habib ini sehingga hadisnya dinyatakan shahih yaitu:
* Dalam kitab Mustadrak As Shahihain Al Hakim, Juz III hal 109 terdapat hadis tsaqalain yang menyatakan bahwa A’masy mendengar langsung dari Habib.(lihat hadis no 3 di atas). Sulaiman Al A’masy yang berkata telah mendengar dari Habib bin Abi Tsabit dari Abu Tufail dari Zaid bin Arqam ra. Dan hadis ini telah dinyatakan shahih oleh Al Hakim.
* Syaikh Ahmad Syakir telah menshahihkan cukup banyak hadis dengan lafal’an dalam Musnad Ahmad salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan dengan lafal ‘an oleh A’masyi dan Habib(A’masy dari Habib dari…salah seorang sahabat).
* Hadis Sunan Tirmidzi ini telah dinyatakan hasan gharib oleh At Tirmidzi dan telah dinyatakan shahih oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Turmudzi dan juga telah dinyatakan shahih oleh Hasan As Saqqaf dalam Shahih Sifat Shalat An Nabiy.
Semua hadis di atas menyatakan dengan jelas bahwa apa yang merupakan peninggalan Rasulullah SAW yang disebut Ats Tsaqalain (dua peninggalan) itu adalah Al Quran dan Ahlul Bait as. Sebagian orang ada yang menyatakan bahwa hadis itu tidak mengharuskan untuk berpegang teguh kepada Al Quran dan Ahlul Bait melainkan hanya berpegang teguh kepada Al Quran sedangkan tentang Ahlul Bait hadis itu mengingatkan bahwa kita harus menjaga hak-hak Ahlul Bait, mencintai dan menghormati Mereka. Sebagian orang tersebut telah berdalil dengan hadis Tsaqalain Shahih Muslim, Sunan Ad Darimi dan Musnad Ahmad yang memiliki redaksi kuperingatkan kalian akan Ahlul BaitKu, dan menyatakan bahwa dalam hadis tersebut tidak terdapat indikasi untuk berpegang teguh pada Ahlul Bait.
Terhadap pernyataan ini kami tidak sependapat dan dengan jelas kami menyatakan bahwa pendapat itu adalah tidak benar. Tentu saja sebagai seorang Muslim kita harus mencintai dan menghormati serta menjaga hak-hak Ahlul Bait tetapi hadis Tsaqalain jelas menyatakan keharusan berpegang teguh kepada Ahlul Bait dan hal ini telah ditetapkan dengan hadis-hadis yang shahih. Dalam hadis Tsaqalain Shahih Muslim, Sunan Ad Darimi dan Musnad Ahmad yang memiliki redaksi kuperingatkan kalian akan Ahlul BaitKu, juga tidak terdapat kata-kata yang menyatakan bahwa yang dimaksud itu adalah menjaga hak-hak Ahlul Bait, mencintai dan menghormati Mereka. Justru semua hadis ini harus dikumpulkan dengan hadis Tsaqalain yang lain yang memiliki redaksi berpegang teguh kepada Ahlul Bait atau redaksi Al Quran dan Ahlul Bait selalu bersama dan tidak akan berpisah. Dengan mengumpulkan semua hadis itu dapat diketahui bahwa peringatan Rasulullah SAW dalam kata-kata kuperingatkan kalian akan Ahlul BaitKu, tersebut adalah keharusan berpegang teguh kepada Ahlul Bait as.
Sebagian orang yang kami maksud (Ibnu Taimiyah dalam Minhaj As Sunnah dan Ali As Salus dalam Imamah Wal Khilafah). telah menyatakan bahwa hadis–hadis yang memiliki redaksi berpegang teguh kepada Ahlul Bait atau redaksi Al Quran dan Ahlul Bait selalu bersama dan tidak akan berpisah adalah tidak shahih. Kami dengan jelas menyatakan bahwa hal ini tidaklah benar karena hadis tersebut adalah hadis yang shahih seperti yang telah kami nyatakan di atas dan cukup banyak ulama yang telah menguatkan kebenarannya. Cukuplah disini dinyatakan pendapat Syaikh Nashirudin Al Albani yang telah menyatakan shahihnya hadis Tsaqalain tersebut dalam kitab Shahih Sunan Tirmidzi, Shahih Jami’ As Saghir dan Silsilah Al Hadits Al Shahihah .
Bahwa Rasulullah SAW bersabda “Wahai manusia sesungguhnya Aku meninggalkan untuk kalian apa yang jika kalian berpegang kepadanya niscaya kalian tidak akan sesat ,Kitab Allah dan Itrati Ahlul BaitKu”.(Hadis riwayat Tirmidzi,Ahmad,Thabrani,Thahawi dan dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albany dalam kitabnya Silsilah Al Hadits Al Shahihah no 1761).
(Syiah-Ali/Ahlul-bayt/Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email