Pesan Rahbar

Home » » Imam Muhammad Al-Jawad a.s

Imam Muhammad Al-Jawad a.s

Written By Unknown on Sunday 27 July 2014 | 05:19:00




a. Biografi Singkat Imam Muhammad Al-Jawad a.s.

Berkenaan dengan tanggal kelahiran Imam Jawad a.s. terdapat perbedaan pendapat yang tajam di antara para ahli sejarah. Menurut pendapat yang masyhur, ia dilahirkan di Madinah pada tanggal 10 Rajab 195 H. Julukannya adalah Abu Ja'far, ayahnya adalah Imam Ali Ridha a.s. dan ibunya adalah Subaikah yang dikenal dengan julukan Khizran.

Imam Jawad a.s. hidup sezaman dengan Ma`mun dan Mu`tashim Al-Abasi. Mu'tashim berhasil meracun Imam Jawad melalui perantara istrinya sendiri, Ummul Fadhl yang juga putri Ma`mun. Peristiwa itu terjadi ketika Imam a.s. berusia 25 tahun.

Ma`mun yang ketika itu berusaha untuk memadamkan pemberontakan-pemberontakan yang muncul atas nama Syi'ah, ia bersikeras untuk mendekatkan Imam Jawad a.s. ke keluarga istana. Tujuan utamanya adalah ia ingin mengasingkan Imam a.s. dari kekuatan masyarakat pendukungnya. Akan tetapi, ia harus menjalankan niatnya tersebut dengan cara supaya para pendukung Imam a.s. tidak murka. Dengan demikian, Ma`mun ingin mengawinkan putrinya, Ummul Fadhl dengannya sebagai taktik lama politiknya yang selama ini sudah beberapa kali diuji keampuhannya. Dengan taktik ini, Ma`mun --secara lahiriah-- di samping mendapat rekomendasi dari Imam Jawad a.s. atas segala perilaku yang pernah dilakukannya, ia juga dapat menyeret Imam a.s. untuk hidup di dalam istana yang penuh dengan segala kemewahan.

Akan tetapi, Imam Jawad a.s. bersikeras untuk pulang ke Madinah supaya segala rencana yang telah diatur oleh Ma`mun tersebut berantakan dan keabsahan pemerintahannya dipertanyakan.

Imam Jawad a.s. meneruskan program ayahnya dalam berdakwah dengan menyadarkan masyarakat secara ideologi. Ia mengundang fuqaha` dari berbagai penjuru negeri Islam untuk berdiskusi dengan tujuan supaya mereka dapat mengambil pelajaran dari petunjuk-petunjuknya.

Syeikh Mufid berkata: "Ma`mun sangat menyukai Imam Jawad a.s. Karena ia --dengan usia yang begitu muda-- sudah berhasil menjadi orang, baik dalam bidang keilmuan maupun dalam etika. Dalam bidang hikmah dan kesempurnaan akal, ia telah berhasil sampai kepada suatu tingkat yang para ulama kaliber pada masanya tidak mampu menyamainya".

Belianya usia Imam Jawad a.s. adalah sebuah mukjizat yang (dengan keluasan pengetahuan yang dimilikinya) sangat mempengaruhi para penguasa saat itu. Ketika ayahnya syahid, ia hanya berusia kurang dari 8 tahun. Pada usia itu juga, ia harus memegang tampuk keimamahan.

Imam Jawad a.s. selalu mengadakan hubungan erat dengan kekuatan masyarakat yang siap mendukungnya. Mu'tashim merasa khawatir dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Imam a.s. Oleh karena itu, ia memerintahkannya untuk kembali ke Baghdad. Begitu Imam Jawad a.s. memasuki kota Baghdad, Mu'tashim dan Ja'far, putra Ma`mun selalu membuat rencana untuk membunuhnya. Akhirnya pada akhir bulan Dzul Qa'dah 220 H. mereka berhasil melaksanakan niatnya tersebut.

Imam Jawad a.s. menjalani mayoritas kehidupannya pada masa Ma`mun. Oleh karena itu, ia tidak begitu banyak mendapat tekanan pada masa ini. Melihat kesempatan yang ada, ia menggunakannya dengan sebaik-baiknya untuk menyebarkan missi Islam.

Pada kesempatan ini kami haturkan kepada para pembaca budiman hadis-hadis pilihan yang pernah diucapkan oleh Imam Jawad a.s. selama ia hidup.

1. Mukmin perlu kepada tiga hal
"Seorang mukmin perlu kepada taufik dari Allah, penasihat dari dalam dirinya dan menerima nasihat orang yang menasihatinya".

2. Kokohkan terlebih dahulu kemudian tampakkan!
"Mengeksposkan sesuatu sebelum diperkokoh tidak lain adalah kerusakan belaka".

3. Terputusnya nikmat akibat tidak bersyukur
"Tambahan nikmat dari Allah tidak terputus selama rasa bersyukur seorang hamba tidak terhenti".

4. Mengakhirkan taubat
"Mengakhirkan taubat adalah semacam menipu diri sendiri, selalu berjanji yang tidak pernah ditepati adalah semacam kebingungan (batin), mencari-cari alasan di hadapan Allah adalah kehancuran dan melakukan maksiat secara kontinyu adalah merasa aman dari makar-Nya. "Maka tidak akan merasa aman dari makar Allah kecuali kaum yang fasik".

5. Surat Imam Jawad a.s. kepada salah seorang sahabatnya
"Kami semua di dunia ini berada di bawah pimpinan orang lain. Akan tetapi, barang siapa yang sesuai dengan kehendak imamnya dan mengikuti agamanya, maka ia akan selalu bersamanya di mana pun ia berada. Dan akhirat adalah dunia keabadian".

6. Tanggung jawab mendengarkan
"Barang siapa yang mendengarkan kepada seorang pembicara (dan seraya mengikuti semua ucapannya) sesungguhnya ia telah menyembahnya. Jika pembicara tersebut berasal dari Allah, maka ia telah menyembah Allah, dan jika pembicara tersebut berbicara atas nama Iblis, maka ia telah menyembah Iblis tersebut".

7. Merelai sama dengan menerima
"Barang siapa yang menyaksikan sebuah perkara kemudian ia mengingkarinya, maka ia seperti orang yang tidak pernah melihatnya. Dan barang siapa tidak menyaksikan sebuah peristiwa lalu merelainya, maka ia seperti orang yang menyaksikannya".

8. Wasiat Imam Jawad a.s.
"Jiwa dan seluruh harta kita adalah anugerah Allah yang sangat berharga dan pinjaman dari-Nya yang telah dititipkan (kepada kita). Segala yang dianugerahkan kepada kita adalah pembawa kebahagiaan dan kesenangan, dan segala yang diambilnya (dari kita), pahalanya akan tersimpan. Barang siapa yang kemarahannya mengalahkan kesabarannya, maka pahalanya telah sirna. Dan kami berlindung kepada Allah dari hal itu".

9. Bersahabat dengan sahabat Allah
"Allah pernah mewahyukan kepada sebagian para nabi a.s.bahwa sikap zuhudmu terhadap dunia akan membahagiakanmu dan penghambaanmu terhadap diri-Ku karena Aku akan memuliakanmu. Akan tetapi, apakah engkau telah memusuhi musuh-Ku dan bersahabat dengan sahabat-Ku?'".

10. Sebuah nasihat
"Bertemanlah dengan kesabaran, peluklah kefakiran, tolaklah nafsu dan tentanglah segala keinginanmu. Dan ketahuilah bahwa engkau tidak akan lepas dari pandangan Allah. Oleh karena itu, periksalah keadaan dirimu".

11. Ulama yang terasingkan
"Ulama akan terasingkan karena banyaknya orang-orang bodoh (yang tidak mau memahami nilai mereka)".

12. Sumber ilmu Imam Ali a.s.
"Rasulullah SAWW mengajarkan seribu kalimat kepada Ali a.s. Dari setiap kalimat bercabang seribu kalimat (yang lain)".

13. Pesan Rasulullah SAWW kepada Fathimah a.s.
"Sesungguhnya Rasulullah SAWW pernah berpesan kepada Fathimah a.s. seraya bersabda: "Jika aku meninggal dunia, janganlah engkau mencakar-cakar wajahmu, janganlah engkau uraikan rambutmu, janganlah berkata 'celakalah aku' dan janganlah mengumpulkan para wanita untuk menjerit-jerit menangisiku. Ini adalah kebajikan (ma'ruf) yang Allah firmankan dalam ayat-Nya: "Dan mereka tidak menentangmu dalam kebajikan". (Al-Mumtahanah : 12)

14. Imam Mahdi a.s.
"Al-qa`im dari keluarga kami adalah Mahdi yang wajib untuk ditunggu ketika ia menjalani ghaibah dan ditaati ketika ia muncul. Ia adalah anakku yang ketiga (Imam Mahdi bin Imam Hasan Al-Askari bin Imam Ali Al-Hadi dan a.s.--pen.)".

15. Bertemu sahabat
"Bertemu dengan para sahabat dapat memperluas dan mematangkan akal meskipun hal itu berlangsung sebentar".

16. Hawa Nafsu
"Barang siapa yang menaati hawa nafsunya, maka ia telah memberikan harapan kepada musuhnya".

17. Penyembah hawa nafsu
"Penyembah hawa nafsu tidak akan aman dari ketergelinciran".

18. Orang-orang yang berpegang teguh kepada Allah
"Bagaimana mungkin binasa orang yang Allah adalah penanggungnya, dan bagaimana mungkin dapat menyelamatkan diri (baca : lari dari keadilan Ilahi) orang yang Allah adalah pencarinya. Barang siapa yang bertawakal kepada selain Allah, maka Ia akan menyerahkannya kepada orang tersebut".

19. Mengenal awal dan akhir kehidupan
"Barang siapa yang tidak mengetahui jalan masuk, maka ia tidak akan dapat menemukan tempat keluar".

20. Hasil usaha
"Berusahalah sekuat tenaga hingga kau mencapai tujuan. Jika tidak, engkau akan hidup dalam kesusahan".

21. Mensyukuri nikmat
"Nikmat yang tidak disyukuri bagaikan dosa yang tidak akan diampuni".

22. Toleransi terhadap masyarakat
"Orang yang enggan bertoleransi dengan masyarakat, kesedihan akan selalu menghantuinya".

23. Akibat tidak memiliki pengetahuan
"Orang yang mengerjakan sesuatu tanpa didasari oleh pengetahuan, kerusakan yang ditimbulkannya lebih banyak dari pada perbaikan yang diinginkannya".

24. Qadha` yang pasti
"Jika qadha` yang pasti tiba, maka kehidupan menjadi sempit".

25. Masa akan bercerita segalanya
"Masa akan menyingkap rahasia-rahasia yang (selama ini) tersembunyi darimu".

26. Mawas diri
"Mawas diri bergantung kepada kadar rasa takut (yang dimiliki oleh seseorang)".

27. Janganlah menjadi demikian!
"Jangan engkau (berpura-pura) menjadi wali Allah di hadapan khalayak dan menjadi musuhnya di belakang mereka".

28. Empat faktor penggerak
"Empat hal dapat membantu seseorang untuk beraktivitas: kesehatan, kekayaan, ilmu dan taufik".

29. Sama seperti orang zalim
"Orang yang melihat kezaliman (sedang berlangsung), orang yang menolongnya dan orang yang merestuinya adalah sama (dengan orang yang melaksanakan kezaliman tersebut".

30. Dosa-dosa penyebab kematian
"Kematian manusia yang disebabkan oleh dosa lebih banyak dibandingkan dengan kematiannya karena ajal, dan ia hidup karena kebajikan yang dilakukannya lebih banyak dibandingkan dengan hidupnya karena umur panjang".

31. Faktor-faktor penarik kasih sayang
"Tiga hal dapat menimbulkan kasih sayang: memahami orang lain, saling menolong ketika masa kesulitan dan menjalani kehidupan dengan hati yang bersih".

32. Percaya kepada Allah adalah tangga kesempurnaan
"Percaya kepada Allah adalah harga untuk harta yang mahal dan tangga menuju kesempurnaan".

33. Cepat menuju Allah
"Menuju Allah dengan hati lebih jitu dan tepat dari pada menuju kepada-Nya dengan perantara amalan".

34. Menghindari orang jahat
"Janganlah bersahabat dengan orang jahat, karena ia bagaikan pedang yang telah dikeluarkan dari sarungnya; enak dipandang, buruk akibatnya".

35. Faktor-faktor ridha Allah dan manusia
"Tiga hal dapat mengantarkan manusia kepada ridha Allah: banyaknya istighfar, keramah-tamahan dan banyak bersedekah. Tiga hal jika dimiliki oleh seseorang, ia tidak akan menyesal: tidak terburu-buru, bermusyawarah dan bertawakal kepada Allah ketika ia sudah mengambil keputusan".


Imam Jawad, Teladan Kedermawanan Sejati

Hari-hari bulan Rajab, satu per satu terlewati. Bulan Rajab yang penuh berkah merupakan bulan mulia yang dianugrahkan Allah kepada hambanya. Bulan ini merupakan salah satu moment terbaik untuk mendekatkan diri kepada Sang Maha Kuasa. Bulan Rajab juga dihiasi dengan pelbagai peristiwa bersejarah penting yang erat kaitannya dengan Ahlul Bait Nabi as.

Dengan mempelajari kembali sejarah Islam, peran konstruktif Ahlul Bait as dalam memperkaya pemikiran Islam tampak begitu jelas. Ahlul Bait merupakan khazanah ilmu dan makrifat ilahi. Mereka adalah pasangan tak terpisahkan Al-Quran. Merekalah penafsir hakiki Al-Quran yang menjaga Al-Quran dan sunnah nabi dari berbagai penyimpangan dan bid'ah. Tiap kali kesucian agama terancam, Ahlul Bait as merupakan pihak pertama yang senantiasa bangkit mematahkan ancaman yang ada.

Tanggal 10 Rajab, merupakan hari kelahiran salah seorang tokoh utama Ahlul Bait as. Pada tanggal ini 195 H, Imam Muhammad Taqi Al-Jawad lahir di kota Madinah.

Setelah bertahun-tahun menanti, Imam Ridho as akhirnya dianugrahi seorang putra saat beliau berusia 47 tahun. Beliau memberi nama putranya itu "Al-Jawad", yang berarti seorang yang sangat dermawan.

Perjalanan hidup Imam Jawad as penuh dengan pasang-surut. Belum genap 5 tahun, ayah Imam Jawad as, Imam Ridho as dipaksa oleh Khalifah Abbasiyah, Ma'mun meninggalkan Madinah dan hijrah ke Khurasan.
Setelah Imam Ridho gugur syahid, tampuk keimamahan berada di pundak Imam Jawad yang saat itu masih anak-anak. Peristiwa itu mengingatkan kita pada pengangkatan Isa as sebagai nabi saat usianya masih anak-anak atau pun nabi Yahya as yang diangkat sebagai nabi saat ia masih remaja.

Peristiwa itu merupakan juga bukti kebesaran Allah swt. Dengan izin-Nya, Allah swt bisa mengaruniakan kesempurnaan dan kematangan akal pada sebagian hambanya meskipun dalam usia yang masih kecil. Ali bin Asbath menuturkan, "Suatu hari aku melihat Imam Jawad as. Dengan cermat, aku menatap sekujur tubuhnya, sehingga aku nanti bisa menceritakan sifat-sifat beliau kepada para pecintanya di Mesir. Dalam hatiku aku berpikir, bagaimana mungkin seorang yang masih berusia sangat muda, mampu menjawab soalan ilmiah dan agama yang paling sulit dan pelik serta menjadi jalan keluar pemikiran.

Pada saat semacam itulah, Imam datang menghampiriku dan ia memahami apa yang terbersit di benakku saat itu. Beliau berkata: Wahai Ali bin Asbath, Tuhan membawa bukti atas keimamahan para aimmah. Sebagaimana ia membawa bukti atas kenabian para anbiya. Kemudian beliau membacakan ayat 12 surat Mariam yang mengungkapkan keberadaan hikmat dan nubuwah Nabi Yahya di masa anak-anaknya. Ia pun berkata, Mungkin saja Tuhan memberikan hikmah kepada seoarang anak. Sebagaimana tidak mustahil juga ia memberikannya pada seseorang yang berusia 40 tahun."

Keistimewaan ilmu yang dimiliki Imam Jawad juga membuat takjub para tokoh agama non-muslim. Ketika mereka menyaksikan secara langsung kehebatan ilmu dan hikmah Imam Jawad as, mereka pun mengakui bahwa keistimewaan yang dimiliki Imam Jawad as itu merupakan anugrah ilahi.

Imam Jawad as hidup dalam suasana politik yang sangat sulit. Ia hidup sejaman dengan dua khalifah Abbasiyah, Ma'mun dan Mu'tasim. Para pemimpin dinasti Abbasiyah begitu ketakutan dengan hubungan dekat umat yang begitu dekat dengan Imam Jawad as. Sebagaimana para tokoh Ahlul Bait lainnya, Imam Jawad as juga senantiasa menentang kezaliman dan tipu daya khalifah Abbasiyah. Ia bahkan berani mengungkapkan hakikat kebenaran dalam kondisi sesulit apapun. Terkait masalah para pemimpin yang zalim, Imam Jawad as berkata, "Para penzalim, penolong orang yang zalim, dan mereka yang rela menerima kezaliman, mereka semua sama-sama bersekutu dalam dosa yang sama".

Sambutan luas masyarakat terhadap Imam Jawad dan hubungan dekat beliau dengan para ilmuan dan ulama di masa itu, membuat Ma'mun menarapkan kebijakan politik yang sangat licik dan penuh tipu muslihat. Karena itu, Imam Jawad pun akhirnya diasingkan ke kota Baghdad, pusat pemerintahan dinasti Abbasiyah di masa itu. Namun hal itu tak juga membuat kecintaan umat pada beliau makin surut. Tapi sebaliknya, pengaruh spiritual Imam Jawad makin tersebar luas ke pelbagai penjuru negeri-negeri muslim.

Imam Jawad as dikenal sebagai seorang yang sangat dermawan. Bahkan sebelum seseorang mengungkapkan kesulitan yang dihadapinya, beliau telah terlebih dahulu mengabulkan permintaan orang tersebut. Tak ada seorang pun yang merasa putus asa dan pulang dengan tangan kosong, jika mereka mendatangi Imam Jawad untuk meminta bantuan. Sebegitu dekatnya hubungan Imam Jawad as dengan masyarakat, sampai-sampai siapapun yang memiliki persoalan pribadi ataupun keluarga, mereka pun datang langsung kepada beliau menyampaikan persoalannya dan meminta arahan. Dalam kesaksiannya, Bakar bin Saleh menuturkan, "Aku menulis sebuah surat kepada Imam Jawad as. Aku menceritakan padanya bahwa ayahku bukanlah seorang muslim. Ia juga seorang yang sangat keras dan otoriter. Sikapnya pada ku sebagai pengikut Ahlul Bait as juga sangat keras. Berdoalah untukku Imam dan apa yang mesti aku lakukan? Apakah aku harus bersikap lunak dengan ayahku ataukah aku harus meninggalkannya?"

Dalam jawaban suratnya, Imam menulis, "Aku mengerti maksud suratmu tentang ayahmu. Aku juga selalu berdoa untukmu. Ketahuilah bahwa bersikap lunak itu lebih baik. Dalam kesulitan juga ada kemudahan. Bersabarlah, karena akhir yang baik adalah milik orang-orang yang bertakwa. Insyaallah, Tuhan akan selalu meneguhkan langkahmu". Bakar bin Saleh menambahkan, "Setelah itu, berkat doa Imam Jawad as, Allah swt mengubah hati ayahku menjadi sangat penyayang. Sampai-sampai ia tak pernah menentang apa yang kulakukan".

Menjauh dari orang-orang yang tidak beriman dan menghindari kawan yang tidak baik selalu ditekankan berulang-ulang oleh Imam Jawad as, hingga beliau mengibaratkan hal itu seperti menghindar dari ketajaman pedang. Beliau berkata, "Jauhilah berteman dengan orang-orang yang buruk. Sungguh mereka itu laksana pedang yang tajam. Lahirnya tampak baik namun tindakannya bisa berakibat buruk". Dalam ucapannya yang lain, Imam Jawad melarang pengikutnya untuk duduk bersama dengan orang-orang yang jahat. Sebab hal itu bisa memunculkan prasangka buruk terhadap orang-orang yang baik. Beliau menuturkan, "Berkumpul bersama orang-orang yang jahat dan berprilaku buruk, bisa menimbulkan prasangka negatif terhadap orang-orang yang baik".

Dalam masa hayatnya sepanjang 25 tahun, Imam Jawad as selalu membaktikan umurnya untuk mengembangkan budaya dan pemikiran Islam sesuai dengan tuntutan zaman di masa itu. Karena itu, hingga kini karya-karya beliau masih bertahan hingga sekarang. Sekitar 100 ilmuwan dan perawi besar telah menulis beragam buku dan risalah yang bersumber dari hadis-hadis dan ucapan yang mereka nukil dari Imam Jawad.

Sebelum kami akhir perjumpaan kita dalam acara perspektif kali ini, ada baiknya bila kita simak salah satu pesan Imam Jawad as. Beliau berkata, "Merencanakan dengan bijak dan berpikir sebelum bertindak akan membuat kalian terhindar dari penyesalan".


Imam Jawad; Samudera Ilmu dan Takwa. Oleh: Sayid Mahdi Ayatullahi 

Saudari Imam Ridha As, Hakimah mengisahkan, "Pada malam kelahiran Imam al-Jawad, saudaraku (Imam Ridha) memintaku untuk berada di sisi istrinya. Ia melahirkan seorang bayi dengan selamat. Ketika lahir, bayi itu menatap ke langit dan bersaksi atas keesaan Allah dan kerasulan Muhammad. Aku yang menyaksikan peristiwa agung ini bergetar dan segera pergi menjumpai saudaraku dan menceritakan semua ini. Saudaraku berkata, "Wahai ukhti, Jangan engkau terganggu dengan peristiwa ini, engkau akan saksikan peristiwa yang lebih menakjubkan lagi".

Kelahiran ini merupakan karunia Ilahi dan berita gembira bagi pengikut Ahlul Bait As. Kelahiran ini menjawab segala rasa penasaran, keraguan, kebimbangan, dan kecemasan mereka.Nauf Ali menceritakan, "Ketika Imam Ali Ar-Ridha As melakukan perjalanan ke Khurasan, aku berkata kepadanya, 'Apakah Anda tidak memiliki perintah untuk aku kerjakan?'. Beliau berkata, 'Ikutilah anakku setelahku dan tanyakan padanya segala kesulitan-kesulitan yang engkau hadapi".Imam Ridha As berulang kali mengatakan kepada sahabatnya, "Tidak perlu kalian mengajukan pertanyaan kepadak u, ajukan pertanyaanmu kepada anak kecil ini yang kelak akan menjadi Imam setelahku". Tatkala beberapa orang sahabat Imam Ar-Ridha menunjukkan keheranan dan keterkejutan mereka, bagaimana mungkin seorang anak diangkat menjadi Imam umat, beliau mengatakan, "Allah telah mengangkat Isa sebagai nabi ketika beliau bahkan lebih muda dari Abu Ja'far (Imam Jawad). Usia seseorang tidak terlibat dalam urusan Nubuwwah dan Imamah". Hari Lahir.

Pada hari kesepuluh bulan Rajab tahun 195 H, Imam Muhammad Al-Jawad As dilahirkan. Ayah beliau adalah Imam Ali ar-Ridha As. Dan ibu beliau bernama Khaizran, berasal dari bangsa Maria Qibtiah, istri Rasulullah Saw.

Imam Muhammad As memiliki banyak gelar. Gelar yang paling masyhur adalah at-Taqi dan al-Jawad.
Saudari Imam Ridha As, Hakimah mengisahkan, "Pada malam kelahiran Imam al-Jawad, saudaraku (Imam Ridha) memintaku untuk berada di sisi istrinya. Ia melahirkan seorang bayi dengan selamat. Ketika lahir, bayi itu menatap ke langit dan bersaksi atas keesaan Allah dan kerasulan Muhammad. Aku yang menyaksikan peristiwa agung ini bergetar dan segera pergi menjumpai saudaraku dan menceritakan semua ini. Saudaraku berkata, "Wahai ukhti, Jangan engkau terganggu dengan peristiwa ini, engkau akan saksikan peristiwa yang lebih menakjubkan lagi".

Kelahiran ini merupakan karunia Ilahi dan berita gembira bagi pengikut Ahlul Bait As. Kelahiran ini menjawab segala rasa penasaran, keraguan, kebimbangan, dan kecemasan mereka.

Nauf Ali menceritakan, "Ketika Imam Ali Ar-Ridha As melakukan perjalanan ke Khurasan, aku berkata kepadanya, 'Apakah Anda tidak memiliki perintah untuk aku kerjakan?'. Beliau berkata, 'Ikutilah anakku setelahku dan tanyakan padanya segala kesulitan-kesulitan yang engkau hadapi".

Imam Ridha As berulang kali mengatakan kepada sahabatnya, "Tidak perlu kalian mengajukan pertanyaan kepadaku, ajukan pertanyaanmu kepada anak kecil ini yang kelak akan menjadi Imam setelahku".

Tatkala beberapa orang sahabat Imam Ar-Ridha menunjukkan keheranan dan keterkejutan mereka, bagaimana mungkin seorang anak diangkat menjadi Imam umat, beliau mengatakan, "Allah telah mengangkat Isa sebagai nabi ketika beliau bahkan lebih muda dari Abu Ja'far (Imam Jawad). Usia seseorang tidak terlibat dalam urusan Nubuwwah dan Imamah".

Imam kesembilan umat ini, Muhammad Al-Jawad as. menerima tanggung jawab Imamah pada usia sembilan tahun. Salah seorang sahabat beliau berkata, "Ali bin Ja'far, paman Imam Jawad di Madinah, adalah seorang yang memiliki pengaruh yang besar. Warga kota di sana menaruh rasa hormat yang tinggi kepadanya. Setiap kali ia berangkat menuju masjid, orang-orang pun segera datang mengerumuninya dan bertanya tentang masalah-masalah yang mereka hadapi.

Suatu hari, Imam Muhammad Al-Jawad as. memasuki masjid tersebut. Ali bin Ja'far yang sudah tua dan sesepuh kota itu, berdiri dari tempatnya dan mencium tangan Imam as. lalu berdiri di sisi beliau. Imam berkata, "Paman, duduklah!" Sang paman berkata padanya, "Bagaimana mungkin aku dapat duduk selagi kau masih berdiri?"

Ketika Ali bin Ja'far kembali ke kerumunan sahabat-sahabatnya, mereka menegurnya dan berkata, "Anda adalah orang tua dan paman anak ini. Mengapa Anda begitu rupa menghormatinya?"

Ali Ja'far menjawab, "Diamlah, kedudukan Imamah (kepemimpinan Ilahi) merupakan sebuah kedudukan yang telah digariskan oleh Allah. Allah tidak memandang orang tua ini (Abu Ja'far, AK) akan mampu mengemban pos Imamah atas umat. Namun, Dia Mahatahu bahwa anak ini layak dengan kedudukan itu. Maka itu, kalian harus mentaati perintahnya".


Akhlak Imam al-Jawad As

Ketika ayahandanya wafat, Imam Muhammad Al-Jawad As masih belia. Namun begitu, beliau sungguh memiliki kepribadian yang matang dan sempurna, yang mendesak setiap orang untuk menumpahkan rasa hormat di hadapannya.

Selang beberapa hari setelah wafatnya Imam Ali ar-Ridha, Khalifah Ma'mun pergi berburu bersama pasukan pengawal pribadinya. Tatkala ia memasuki sebuah jalan, beberapa orang anak sedang bermain di jalan itu. Melihat Ma'mun datang, mereka segera bubar dan lari menjauh, hanya seorang anak yang tidak beranjak dari tempat mainnya.

Ma’mun dan pasukannya berhenti lalu memandangi anak tersebut. Ia bertanya terheran-heran, "Hai bocah, mengapa kau tidak lari seperti anak-anak itu?"

Anak itu menjawab, "Jalan ini tidak begitu sempit. Aku tidak menjadi penghalang bagimu untuk lewat. Aku tidak melakukan kesalahan apa pun sehingga aku harus takut padamu. Aku pikir Anda tidak akan mengganggu seseorang. Dan Anda tidak akan mengejar orang yang tak bersalah. Maka itu, aku tidak lari darimu".

Ma’mun terkejut dan heran atas keberanian, kegagahan dan kecerdasan anak itu. Ia bertanya, "Siapakah namamu?"

"Muhammad bin Ali ar-Ridha", jawab anak itu.

Ma’mun segera mengungkapkan duka citanya atas wafatnya ayah anak itu. Setelah itu, ia melanjutkan pemburuan bersama para pengawalnya.


Surat Sang Ayah

Imam Ali Ar-Ridha As senantiasa memperlakukan putranya dengan penuh hormat dan selalu memperhatikan pendidikannya. Bizanti berkata, "Suatu hari, Imam Ridha As menulis surat kepada putranya, Muhammad al-Jawad, di Madinah. Isi surat tersebut sebagai berikut:
"Wahai putraku! Aku mendengar bahwa para pelayan khalifah tidak memperkenankan orang orang untuk datang mengunjungimu atau sekedar menghubungimu dan mengemukakan kesulitan-kesulitan mereka padamu.

"Ketahuilah, mereka (para pelayan khalifah) itu tidak ingin kebaikan darimu dan tidak ingin melihat engkau bahagia. Kini, aku perintahkan padamu untuk membuka pintu kepada semua orang sehingga mereka dengan bebas dapat berkunjung dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mereka. Bilamana engkau pergi, bawalah uang bersamamu sehingga engkau dengan segera dapat membantu orang-orang yang tertimpa kesulitan dan dan membutuhkan pertolonganmu.

"Pikirkanlah orang orang yang mendapat kesulitan hidup, bantulah mereka dengan baik. Janganlah lupa untuk senantiasa bersikap murah dan merawat orang-orang yang tertimpa kemalangan".


Keluasan Ilmu Imam Al-Jawad As

Setelah berhasil meracun Imam Ali ar-Ridha As, Ma’mun berusaha keras untuk menunjukkan bahwa kematian beliau adalah sebuah kejadian yang wajar dan alami. Namun, berangsur-angsur keculasan dan kebusukannya tercium oleh orang-orang 'Alawiyun (keturunan Imam Ali As.) dan kaum Syi’ah.

Mereka mengetahui bahwa Ma’mun telah melakukan sebuah tindak kejahatan berupa pembunuhan terhadap Imam Ridha. Oleh karena itu, beragam protes, kecaman, kerusuhan dan pemberontakan terjadi di berbagai sudut kota. Ma’mun berupaya memadamkan api pemberontakan itu. Ia membawa putra Imam ar-Ridha itu, Imam Muhammad al-Jawad As. dari Khurasan ke Madinah untuk menikahkannya dengan putrinya sendiri, Ummul Fadhl.

Orang-orang Abbasiyah berusaha untuk menghentikan keinginan Ma’mun itu, namun Ma’mun tetap bersikeras pada keputusannya. Mereka mendebatnya, "Dia (Imam Al-Jawad As) itu masih kecil, belum mengerti agama, bersabarlah supaya belajar agama terlebih dahulu".

Ma'mun tangkas menjawab, "Kalian tidak mengenalnya. Bagaimana kalian menentangku untuk tidak memilih sebaik-baik ciptaan Tuhan dan sealim-alim manusia untuk aku jadikan menantuku. Kalian dapat mengujinya jika kalian mau".

Orang-orang Abbasiyah mendekati Yahya bin Aktsam, sang hakim agung, dan memintanya agar menyiapkan beberapa pertanyaan untuk menguji Imam Muhammad Al-Jawad As di hadapan majelis resmi Ma’mun. Yahya mengabulkan permintaan mereka. Mereka mendatangi Ma’mun dan menyampaikan kesediaan Yahya. Ma’mun menentukan hari untuk tanya-jawab tersebut.

Pada hari yang telah ditentukan, orang-orang Abbasiyah bersama Yahya bin Aktsam memasuki majelis akbar itu. Majelis itu dihadiri oleh orang-orang terhormat, bangsawan dan para pejabat pemerintahan.
Kemudian, datanglah Imam Muhammad Al-Jawad As ke majelis itu. Orang-orang yang hadir di dalam majelis itu berdiri menyambut kedatangan beliau. Imam melangkah ke depan dan mengambil tempat duduk dekat Ma’mun yang tidak berhasrat pada acara tanya-jawab ini, karena ia berpikir Imam tidak akan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.

Ma'mun berkata kepada Imam As, "Yahya bin Aktsam ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu. "
"Ia boleh bertanya apa pun yang ia ingin tanyakan", jawab Imam As.

Yahya mulai melontarkan pertanyaannya kepada Imam, "Apa pendapatmu tentang orang yang mengenakan pakaian Ihram dan berziarah ke Ka'bah, pada saat yang sama ia juga pergi berburu dan membunuh seekor binatang di sana?"

Imam Al-Jawad As bersabda, "Wahai Yahya, kau telah menanyakan sebuah masalah yang masih begitu global. Mana yang sebenarnya ingin kau tanyakan; apakah orang itu berada di dalam Tanah Haram atau di luar? Apakah ia tahu dan mengerti tentang larangan perbuatan itu atau tidak? Apakah dia membunuh binatang itu dengan sengaja atau tidak? Apakah dia itu seorang budak atau seorang merdeka? Apakah pelaku perbuatan itu menyesali perbuatannya atau tidak? Apakah kejadian ini terjadi pada malam atau siang hari? Apakah perbuatannya itu untuk yang pertama kali atau kedua kalinya atau ketiga kalinya? Apakah binatang buruan itu sejenis burung atau bukan? Apakah binatang buruan itu besar atau kecil?


Pernikahan

Yahya kebingungan sekaligus kagum tatkala Imam As mengurai masalah itu dengan sempurna. Dari raut wajahnya terbesit tanda kekalahan dan kegagalan. Mulutnya terkatup. Seluruh hadirin menghaturkan penghargaan dan kekaguman kepada Imam al-Jawad As setelah menyaksikan keluasan dan kedalaman ilmu beliau.

Akhirnya, Ma’mun mengumumkan acara akad pernikahan putrinya dengan Imam Al-Jawad di majelis itu juga. Imam As bangkit lalu menyampaikan khutbah nikah. Mas kawin yang beliau berikan senilai mas kawin Siti Fatimah az-Zahra As. dan pesta pernikahan pun berlangsung sebegitu meriahnya.


Maksud di Balik Pernikahan

Sesungguhnya Ma'mun menyimpan maksud-maksud tertentu di balik keputusannya menikahkan putrinya dengan Imam Al-Jawad as. Di antaranya:
1. Menepis kecaman dan tuduhan orang-orang sekaitan pembunuhannya terhadap Imam Ali ar-Ridha As. dan merebut kembali hati masyarakat.
2. Agar putrinya dapat mengawasi dan memantau Imam al-Jawad As sedekat mungkin.
3. Membujuk Imam As agar menetap di kota Baghdad yang kehidupannya dipenuhi oleh kemewahan dan kesenangan duniawi.


Kembali ke Madinah

Imam Muhammad al-Jawad As telah mengambil keputusan bulat untuk segera kembali ke Madinah. Maksud tersebut beliau lakukan dengan cara berangkat ke Makkah dan menunaikan Haji di sana.

Masyarakat pun ramai mengantarkan Imam sampai di jalan yang mengarah ke kota Kufah. Di sana, Imam As singgah di sebuah masjid. ketika waktu shalat telah tiba, Imam As berwudhu di halaman masjid di bawah pohon Nabk. Sungguh Allah Swt telah memberkahi pohon itu sehingga berbuah dengan buah-buah yang manis. Warga Baghdad senantiasa mengenang keberkahan Imam As. pada pohon itu.


Beberapa Surat dan Masalah

· Ada seorang lelaki dari Bani Hanifah yang menyertai Imam Al-Jawad As dalam perjalanan hajinya. Saat duduk bersama di depan hidangan, ia berkata kepada Imam As., "Jiwaku adalah tebusanmu, sesungguhnya wali kotaku adalah pecintamu Ahlul Bait, ia amat percaya padamu. Dan sekarang ini aku harus membayar pajak kepadanya. Bisakah kau menuliskan surat untuknya agar ia berbelas kasih kepadaku?"
Imam berkata, "Tapi, aku tak mengenalnya".
Lelaki itu membalas, "Dia sungguh pecintamu, dan suratmu akan dapat berguna bagiku".
Lalu Imam as. mengambil secarik kertas dan menulis, "Bismillahirrahmaninrrahim, pembawa suratku ini adalah seorang lelaki yang telah mengenalkanmu sebagai manusia mulia. Dan tidak ada perbuatan yang berguna bagimu kecuali kebaikan yang terdapat di dalamnya, maka berbuatbaiklah kepada saudara-saudaramu!".
Lelaki itu menyerahkan surat tersebut kepada wali kota Naisyabur. Ia menyambutnya, bahkan menciumnya dan melekatkannya di kedua matanya. Lalu berkata kepada lelaki, "Apa keperluanmu?"
"Ada pajakmu yang aku tanggung", begitu keluhnya. Mendengar itu, wali kota memerintahkan agar kewajiban pajaknya dihapuskan, dan mengatakan, "Kau tidak usah membayar pajak selagi kau hidup".

· Datang sepucuk surat kepada Imam Al-Jawad As. dari seorang lelaki yang hendak bermusyawarah dengan beliau berkenaan dengan pernikahan anak-anak perempuannya. 

Imam As. menulis balasan untuknya, "Aku telah mengerti apa-apa yang kau paparkan mengenai anak-anak perempuanmu, dan bahwasanya kau tidak menemukan lelaki yang mirip denganmu, namun janganlah terlalu menantikan demikian itu, semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya, karena Rasulullah Saw telah bersabda, 'Jika datang kepadamu seseorang yang kamu sukai akhlak dan agamanya, maka nikahkanlah dia (dengan putrimu), bila kamu tidak melakukannya maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan besar".


Nasib Ma’mun

Warga Mesir bangkit melakukan pemberontakan. Segera Khalifah Ma’mun mempimpin pasukan besar dan memadamkan api pemberontakan itu. Dari sana, ia bertolak ke kawasan Romawi. Maka, terjadilah peperangan yang dahsyat yang akhirnya dimenangkan oleh kaum muslimin.

Dalam perjalanannya kembali dari peperangan, Ma'mun melewati "Riqqoh". Tempat itu terasa sejuk dan tenang dengan mata air yang mengalir. Maka, ia memutuskan untuk berkemah beberapa hari di sana.
Di Riqqoh, Ma’mun jatuh sakit. Tak lama kemudian, ia mati dan dikuburkan di tempat itu juga.


Kesyahidan Imam Al-Jawad As.

Setelah kematian Ma'mun, saudaranya yang bernama Mu'tasim menduduki kekhalifahan. Dia di kenal sebagai orang yang kejam, jahat dan berperangai buruk.

Pertama yang dilakukan Mu'tasim ialah memanggil Imam Al-Jawad As dari Madinah untuk kembali ke Baghdad. Setelah itu, mulailah dia merencanakan persengkongkolan dengan Ja'far, anak Ma'mun. Dia mendesak Ja'far agar membujuk saudara perempuannya Ummu Fadhl supaya meracun suaminya sendiri, Imam Al-Jawad As.

Ummu Fadhl pun menyanggupi. Maka, ia bubuhkan racun ganas di dalam anggur, seakan-akan ia telah belajar dari ayahnya sendiri yang telah membunuh Imam Ali Ar-Ridha As dengan cara yang sama.

Demikian kesyahidan Imam Muhammad Al-Jawad as, pada usianya yang masih muda, 25 tahun. Jasad beliau yang suci nan kudus dimakamkan di pemakaman Quraisy (kota Kadzimain sekarang) di samping makam datuknya Imam Musa Al-Kadzim as. Pusara kedua Imam merupakan salah satu tempat ziarah kaum muslimin yang datang dari penjuru dunia.


Mutiara Hadis Imam Al-Jawad as

· "Kehormatan seorang mukmin ialah ketakbergantungannya pada orang lain".

· "Seorang mukmin senantiasa membutuhkan tiga perkara: taufiq dari Allah, penasehat dari dalam dirinya, dan menyambut setiap orang yang menasehatinya".

· "Hari Keadilan itu lebih mengerikan bagi orang zalim daripada hari perlakuan zalim terhadap orang teraniaya".

· "Neraca kesempurnaan harga diri seseorang ialah meninggalkan apa saja yang tidak membuat dirinya indah".

· "Kematian manusia karena dosa-dosanya itu lebih banyak ketimbang kematiannya karena ajalnya, dan hidupnya seseorang karena kebajikannya itu lebih banyak daripada hidupnya dengan (takdir) umurnya".
Imam Jawad Cahaya Kedermawanan.

Di akhir bulan Dzul Qa'dah kita memperingati hari syahadah Imam Muhammad Jawad, anak Imam Ridha as. Di hari ini tahun 220 Hijrah Imam Jawad as berpulang ke haribaan Allah swt dan dunia Islam meratapi dalam-dalam kepergian pemimpin besarnya. Ahlul Bait Nabi Muhammad saw bertindak sebagai pengasas perubahan pemikiran, budaya dan sosial umat Islam dalam menyukseskan risalah besar dan ilahi. Bila kita membahas sejarah kehidupan Ahlul Bait, dengan mudah peran besar dan bernilai mereka dalam melindungi prinsip-prinsip agama dapat kita pahami.

Ahlul Bait Nabi Muhammad saw dalam kehidupan mereka terkenal tegar menghadapi kezaliman. Dengan usaha keras dan jihad yang dilakukan mereka mampu melindungi substansi Islam agar agama besar ini tetap hidup untuk selamanya. Imam Jawad as termasuk Ahlul Bait Nabi Muhammad saw yang selama 17 tahun mengemban tanggung jawab sebagai imam dan penuntun umat Islam. Selama itu pula beliau senantiasa berusaha menyebarkan Islam dan memperkaya khazanah pemikiran Islam. Kini kita tepat berada di hari syahadah beliau dan sudah tepat bila kita mengkaji sekilas kehidupan Imam Jawad as.

Imam Jawad as dalam salah satu ucapannya mengatakan, "Bila manusia memiliki tiga ciri khas ini, ia bakal mencapai makam kerelaan Allah; pertama banyak meminta ampunan kepada Allah, kedua bersikap lemah lembut dengan masyarakat dan ketiga banyak memberikan sedekah." Imam Jawad as menilai melayani dan membantu masyarakat akan menurunkan rahmat ilahi. Bila seseorang menyepelekan masalah ini, kemungkinan ia akan kehilangan nikmat ilahi. Sekaitan dengan hal ini beliau berkata, "Saat nikmat ilahi banyak diturunkan kepada seseorang, itu berarti semakin banyak masyarakat yang membutuhkannya. Bila orang tersebut tidak berusaha memenuhi kebutuhan orang lain, niscaya nikmat ilahi berada dalam kondisi bahaya dan bakal musnah."

Imam Jawad as adalah anak Imam Ridha sa. Beliau lahir di kota Madinah tahun 195 Hijrah. Umur Imam Jawad as terhitung pendek dan syahid pada usia 25 tahun. Namun dalam masa yang singkat ini beliau sangat berperan dalam meningkatkan pemikiran masyarakat waktu itu. Imam Jawad as pada usia 8 tahun diangkat sebagai imam umat. Dengan alasan usianya yang masih muda ini membuat sebagian orang meragukannya, sementara sebagian lainnya malah semakin takjub.

Alasan keraguan sebagian orang ini kembali pada cara berpikir materialis dalam mengamati fenomena alam. Padahal Allah Yang Maha Bijaksana punya kemampuan untuk mengembangkan akal seseorang sekalipun masih dalam usia yang muda. Hal ini sesuai dengan apa yang dinukilkan Al-Quran mengenai umat-umat terdahulu. Kenabian Nabi Yahya as terjadi saat beliau masih kecil dan Nabi Isa as yang berbicara saat masih bayi merupakan contoh dari mukjizat ilahi.

Imam Jawad as sejak kecil hingga menginjak usia remaja telah dikenal akan keilmuan, kefasihan, kesabaran dan ketakwaan. Beliau memiliki kecerdasan dan cara penyampaian yang lugas. Meskipun usianya masih muda belia, tapi dari sisi keilmuan dan keutamaan beliau telah disejajarkan dengan tokoh-tokoh masa itu. Dalam sejarah disebutkan, saat musim haji sekitar 80 orang ahli fikih dari Baghdad dan kota-kota lain menuju Madinah untuk bertemu dengan Imam Jawad as. Mereka mencecar Imam dengan pelbagai pertanyaan ilmiah, namun Imam Jawad as dengan tenang dan mantap menjawab semua yang ditanyakan. Kejadian ini memupuskan segala keraguan yang selama ini menggelayut benak mereka.

Imam Jawad as juga terkadang hadir dalam dialog dengan para ilmuan yang terkadang sangat menantang. Dialog-dialog itu semakin membuktikan kemampuan ilmu dan keutamaannya. Argumentasi kokoh Imam Jawad as dalam pembahasan-pembahasan itu mampu menyingkap pelbagai rahasia masalah-masalah yang rumit. Oleh karenanya para ilmuan, bahkan mereka yang menentang beliau tidak mampu mengingkari derajat keilmuan dan ketakwaannya.

Suatu hari Makmun, Khalifah Bani Abbasiah mengadakan satu pertemuan dengan tujuan menguji keilmuan Imam Jawad as dalam satu dialog ilmiah yang dihadiri para ilmuan. Dalam pertemuan itu hadir Yahya bin Aktsam, ilmuan terkenal masa itu. Saat diberi kesempatan ia bertanya, "Ada seorang yang berihram untuk melakukan manasik haji. Apa hukumnya bila ia berburu seekor hewan?" Imam Jawad as tidak langsung menjawab tapi berbalik menanyainya guna memperjelas pertanyaannya dan ternyata dari satu pertanyaan asli itu beliau berhasil membaginya menjadi 22 pertanyaan cabang yang punya hubungan dengan pertanyaan asli. Jawaban untuk setiap pertanyaan ini pun berbeda-beda. Cara menjawab atas pertanyaan ini membuktikan penguasaan yang luar biasa Imam Jawad as atas ilmu agama. Akhirnya para ilmuan-ilmuan yang hadir dalam pertemuan tersebut mengakui kehebatan ilmu Imam Jawad as.

Selama 17 tahun menjadi Imam, dari tahun 203 hingga 220 Hijrah Imam Jawad as menyaksikan kekuasaan dua khalifah Abbasiah; Makmun dan Muktasim. Kedua penguasa Bani Abbasiah ini tidak konsekwen mengamalkan perintah-perintah ilahi dan hanya menunjukkan tampak lahiriah yang islami. Terkadang kedua khalifah ini malah menafsirkan hukum-hukum Islam demi kepentingan mereka. Menyaksikan perilaku mereka ini Imam Jawad as tidak berdiam diri. Aksi penentangan Imam Jawad as direaksi luas oleh masyarakat. Menyaksikan sikap Imam Jawad as, kedua khalifah ini mulai memperluas gangguannya kepada beliau dan menerapkan batasan lebih ketat.

Imam Jawad as dipaksa Makmun meninggalkan kota Madinah dan dipaksa tinggal di pusat kekusaan kekhalifahan Abbasiah di Baghdad. Sekalipun dalam kondisi sulit yang dihadapinya, beliau tetap mampu mempertahankan hubungannya dengan masyarakat. Beliau memilih untuk tetap melanjutkan perlawanan dengan cara yang berbeda dari sebelumnya. Imam Jawad as mengutus para pejabat ke seluruh daerah yang dikuasai pemerintahan Islam.

Para pejabat Imam Jawab as tersebar di banyak tempat seperti Basrah, Sistan, Ahvaz, Hamedan, Kufah, Qom dan Rey. Sementara sebagian lain dari para pembantu dan sahabat Imam Jawad as bekerja di lembaga-lembaga pemerintahan Bani Abbasiah, bahkan ada yang memiliki jabatan tinggi. Ali Bin Mahziyar Ahwazi termasuk sahabat setia Imam Jawad as yang bekerja di pemerintahan Bani Abbasiah. Ia banyak memberikan bantuan dan pelayanan demi membantu para pengikut Ahlul Bait yang disiksa dan ditekan oleh pemerintah.

Imam Jawad as tidak kenal lelah dalam menuntun pemikiran masyarakat. Beliau begitu merasa bertanggung jawab atas masa depan masyarakat dan apa yang bakal terjadi pada mereka. Ayah beliau Imam Ridha as menjelaskan kepadanya bagaimana berhubungan dengan masyarakat. Dijelaskan, "Laluilah jalan yang banyak dilalui orang agar dapat bertemu dengan mereka. Usahakan ada sejumlah uang di saku agar dapat segera membantu orang yang membutuhkan." Perilaku Imam Jawad as dengan masyarakat selalu disertai dengan sikap rendah hati dan lemah lembut. Beliau dikenal dengan sebutan Al-Jawad berkat kedermawanannya.

Dalam sejarah disebutkan, ada beberapa orang dari daerah lain yang ingin mendatangi Imam Jawad as, sembari membawa bermacam hadiah yang mahal. Namun di pertengahan jalan mereka dicegat oleh gerombolan perampok yang menjarah semua barang bawaan mereka. Orang yang bertanggung jawab membawa hadiah-hadiah tersebut kepada Imam Jawad as menuliskan surat kepada beliau dan menceritakan apa yang terjadi.

Setelah membaca surat itu dan mengetahui apa yang terjadi, Imam membalas suratnya. Dalam suratnya Imam menulis, "Sesungguhnya jiwa dan harta kita adalah pemberian dan amanat Allah. Bila kita dapat memanfaatkannya bakal menjadi modal kegembiraan. Apa yang mereka ambil itu harus membuat kita bersabar. Karena sikap ini bakal mendatangkan pahala. Setiap orang yang gelisah menghadapi masalahnya dan tidak sabar, pahalanya bakal hilang."

Dua tahun menjelang akhir kehidupan Imam Jawad as boleh dikata tahun-tahun paling berat bagi beliau. Ketika Muktasim, Khalifah Abbasiah berkuasa, ia begitu khawatir akan pengaruh spiritual dan kekuatan pemikiran Imam Jawad as. Oleh karena itu, ia berusaha keras menghalang-halangi aktivitas Imam Jawad as, sekaligus menugaskan bawahannya untuk selalu mengawasi beliau. Meskipun Khalifah Makmun dan Muktasim begitu ketat mengawasi Imam Jawad as, namun mereka tetap tidak mampu mengurangi cinta masyarakat kepada beliau. Saat Imam Jawad as berjalan di kota, walau hanya dalam waktu singkat, masyarakat begitu menampakkan cintanya dan langsung mengerumuni beliau. Lebih dari itu, mereka bahkan rela memanjat atap rumah hanya untuk melihat cucu Rasulullah saw ini.

Secara umum, gerakan pencerahan Imam Jawad as dan pengaruh ucapan beliau membuat rakyat tersadar dan kenyataan ini membuat kedengkian Muktasim semakin bertambah. Tidak ada jalan lain bagi Muktasim untuk menghalangi pengaruh Imam, kecuali dengan jalan menghabisinya. Imam Jawad as dalam usia muda, 25 tahun dibunuh oleh Muktasim. Di akhir acara ini patut kiranya merenungkan ucapan Imam Jawad as, "Mengenal agama adalah tangga menuju kemajuan demi meraih derajat yang tinggi."


Imam dan Penerapan Syariah

Dalam silsilah 12 Imam, Mazhab Syiah Itsna 'Asy'ariyah, Imam Muhammad bin 'Ali Taqi al-Jawad telah memangku jabatan agung sebagai imam umat pada usia yang masih belia, kira-kira delapan atau sembilan tahun. Syaikh Mufid dalam Al-Irsyad menukil dari Ma'la bin Muhammad berkata: "Pasca syahadah Imam Ridha As, aku melihat Imam Jawad As dengan segala kesiapannya hingga aku dapat bercerita kepada umat Syiah, pada saat itu Imam Jawad As sedang duduk dan berkata: "Wahai Ma'la! Allah Swt dalam urusan imamah sebagaimana dalam urusan nubuwwah berekspostulasi (ihtijâj) dan berfirman: "Wa 'Atahinahu al-Hukma Shabiyya, "Kami anugerahkan kenabian kepada Yahya selagi ia berusia belia."

Di masa hidupnya yang kendati tidak terlalu lama, Imam Jawad mampu memberikan penyuluhan dan bimbingan kepada umat, secara keseluruhan. Sebagaimana imam-imam sebelumnya, keberadaan Imam Jawad di masanya penuh dengan berkah dan cahaya. Dan tidak jarang, merupakan keselamatan bagi orang lain tatkala didera sebuah permasalahan syar'i. Contoh kasus berikut ini secara tegas peran seorang imam sebagai sosok yang sangat memahami agama dan syariat.

Dinukil dari Razqan yang merupakan salah seorang karib Ibnu Abi Daud, salah seorang hakim pada masa Mu'tashim Abbasiyah, ia berkata: "Suatu hari Ibnu Abi Daud kembali dari pertemuan dengan Mu'tashim sementara kondisinya murung. Aku bertanya kepadanya, katanya: "Hari ini aku berharap sekiranya aku meninggal dua puluh tahun sebelumnya!"

"Kok bisa begitu." Tanyaku penasaran

"Lantaran apa yang telah disampaikan Abu Ja'far (Imam Jawad) kepadaku di majelis Mu'tashim." Katanya bersedih.

Aku berkata: "Bagaimana bisa terjadi?"

Katanya: "Seseorang datang kepada khalifah mengaku telah mencuri, ia meminta pidana Ilahi (had) dikenakan padanya untuk menebus dan mensucikan dosanya. Khalifah mengundang seluruh juris demikan juga Muhammad bin 'Ali (Imam Jawad), dan bertanya kepada kami: "Tangan pencuri ini yang mana harus dipotong?"

Aku berkata: "Dari pergelangan tangan (carpus)!"

Ia bertanya: "Apa dalilnya?"

Aku berkata: "Lantaran yang dimaksud dengan tangan pada ayat tayammum adalah, "Famsahuh biwujuhikum wa aidayakum, "..Usaplah muka dan tanganmu.." (Qs. Al-Maidah [5]:6) yang dimaksud dengan yad di sini adalah hingga pergelangan tangan.

Sebagian kelompok juris setuju dengan pendapatku dan berkata bahwa tangannya harus dipotong hingga pergelangan tangan. Namun kelompok juris lainnya berkata bahwa tangan yang dimaksud di sini adalah hingga siku. Mendengar ikhtilaf ini, Mu'tashim menanyakan dalil kelompok juris ini.

Mereka menjawab: "Maksud tangan di sini adalah tangan pada ayat wudhu, "Faghsilu wujuhakum wa aidiyakum ilal marafiq" (maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku., (Qs. Al-Maidah [5]:6) yaitu hingga sikunya.

Kemudian Mu'tashim berpaling ke arah Muhammad bin 'Ali (Imam Jawad) dan bertanya: "Bagaimana pandangan Anda terhadap masalah ini?"

"Mereka telah mengeluarkan pendapatnya, maafkan Aku!" Sahut Imam Jawad As.

Mu'tashim bersikeras dan bersumpah bahwa Imam Jawad harus menyampaikan pandangannya.

Muhammad bin 'Ali berkata: "Lantaran engkau telah bersumpah bahwa saya harus menyampaikan pendapatku, sesungguhnya pendapat mereka ini keliru. Lantaran anak-anak jarilah yang harus dipotong (yaitu keempat anak jari dan ibu jari tidak boleh dipotong).

Mu'tashim berkata: "Atas alasan apa Anda berkata demikian?"

Imam Jawad As berkata: "Lantaran Rasulullah Saw bersabda: "Sujud hanya dapat ditunaikan dengan tujuh anggota sujud, kening, dua telapak tangan, dua lutut, dua ujung kaki (dua ibu jari kaki). Oleh karena itu apabila tangan pencuri dipotong hingga pergelangan tangan atau hingga sikunya maka tidak ada lagi tangan yang tersisa baginya untuk ia gunakan sujud dan juga Allah Swt berfirman: "Wa anna al-Masajida liLLah falaa tad'u ma'alLah ahadan." Dan bahwa masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah." Tujuh anggota badan yang digunakan untuk bersujud itu adalah kepunyaan Allah "Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah." Dan apa yang dilakukan untuk Allah Swt tidak boleh dipotong."

Ibnu Abi Daud berkata: "Mut'ashim menerima jawaban Muhammad bin 'Ali dan menitahkan bahwa keempat jari pencuri itu harus dipotong dan kami di tengah-tengah hadirin merasa sangat malu dan karena merasa malu dan bersedih sehingga saya berharap sekiranya saya mati saja." (Tafsir Ayyâsyi, jil 5, hal. 319)

Dengan menukil kisah ini segera terlintas dalam benak saya kisah Khalifah Kedua yang juga nyaris menghukum bukan atas apa yang diturunkan oleh Allah dan dititahkan oleh Rasul-Nya. Persis seperti apa yang nyaris dilakukan oleh para hakim kerajaan Abbasiyah. Meski tulisan ini diturunkan untuk berziarah ke hadirat suci Imam Jawad As, bertepatan dengan hari wiladah (kelahiran) beliau, namun menurut penulis ada baiknya penggalan kisah di atas kita urai lebih luas untuk menandaskan perlunya seorang imam yang menjelaskan seluruh permasalahan agama, baik dari sisi akidah atau pun sisi hukum praktisnya.

Acapkali kita mendengar dalam sejarah hidupnya Umar bin Khattab, baik dalam bidang akidah ataupun bidang ahkam, berkata, "Sekiranya tiada Ali maka celakalah Umar." (lihat misalnya Faraidh as-Simthain, jil. 1, hal. 349 dan 350, atau Syarah Nahjul Balagah Ibnu Abil Hadid, jil 1 hal. 18 dan dari kedua belah pihak, Syiah dan Sunni banyak menukil hadis ini)

Sebagai contoh kasus dalam masalah ahkam yang harus diterapkan. Ahmad bin Hanbal berkata: Seorang wanita melakukan zina dibawa ke hadapan Umar; Umar menitahkan supaya wanita pezina itu dirajam. Tatkala wanita pezina itu mereka bawa untuk dirajam, 'Ali bin Abi Thalib berpapasan dengan mereka dan bersabda: "Apa kesalahan wanita ini?"

Mereka memberitahu masalah yang dihadapi wanita tersebut kepada Baginda Ali dan kemudian menghalangi mereka untuk merajam wanita itu. Wanita itu di bawah ke hadapan Khalifah Umar.

'Umar bertanya: "Mengapa Anda menghalangi diterapkannya hukum syariah?"

Imam 'Ali berkata: "Wanita ini adalah wanita yang kurang akalnya. Ia berasal dari suku fulan; Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: "Rufi'al-Qalam an Tsalatsin: 'An Naim hatta Yastaiqizh, was Shabi hatta yahtalim, wa anil Majnun hatta Yufiqa; Qalam (taklif) tidak berlaku bagi tiga kelompok orang: 1. Orang yang tidur hingga ia bangun; 2. Bocah hingga ia mimpi basah (muhtalim, baca: dewasa); 3. Orang gila hingga ia sembuh dari penyakit gilanya."

Mendengar penjelasan ahkam ini, Umar berkata: "Laula 'Aliyyun Lahalak 'Umar (sekiranya tiada 'Ali maka binasalah Umar). (Al-Imam 'Ali bin Abi Thalib, jil. 3, hal. 43, Sunan Abi Daud hadits 3823).

Saya lalu terusik untuk membandingkan dengan apa yang coba diusung oleh sebagian kelompok Muslim di tanah air terkait penerapan syariah Islam yang kini menjadi euphoria umat. Kalau ditinjau dari sisi semangat, masya Allah, semangat ini boleh jadi memancing kita untuk berkata Islam is reviving. Tapi semangat saja tidak memadai untuk dapat menggelontorkan program syariah dalam pentas kehidupan sehari-hari. Tidak dapat dibayangkan sekiranya model hakim atau khalifah yang berkuasa dan menerapkan syariah mirip-mirip masalah ahkam di atas. Hanya dengan bersandar pada lahir ayat Ilahi tanpa menyertakan hadis nabawi untuk menafsirkan ayat yang bersangkutan, menurut saya bukan hanya hakim atau 'Umar yang akan celaka, namun umat yang akan menanggung kecelakaan ini secara kolektif.

Khalifah 'Umar sepertinya tahu akan celaka namun ia tetap tidak menggubris peran sunnah Rasulullah Saw dalam masalah agama. Misalnya ucapan terkenal Khalifah Kedua tatkala detik-detik terakhir wafatnya Rasulullah Saw dimana beliau meminta diambilkan tinta dan dawat untuk wasiat terakhir untuk umat, namun Khalifah Kedua mencegah hal itu dan berkata: "Inna Nabi ghalaba 'alaihi al-waj'e!! Wa Indakum al-Qur'an..Hasbuna Kitaballah.." (Sesungguhnya Nabi telah dikuasai sakit!! Dan pada kalian ada al-Qur'an…Cukup bagi kami al-Qur'an.) (Shahih Bukhari, Kitab al-Mardha, bab 17 (bab qaul al-Maridh qumu anni).

Kalau kita melihat contoh kasus di atas betapa orang yang belum terlalu jauh dari masa kenabian dapat salah dalam mengambil sebuah inferensi hukum dari ayat-ayat Qur'an, dalam penerapan hudud (hukum pidana) atas sebuah pelanggaran seperti mencuri, berzina, minum khamar dan lain sebagainya hanya bersandar pada lahir ayat bahwa mencuri itu harus dipotong tangannya, berzina itu harus dirajam atau dicemeti tanpa memperhatikan sisi-sisi lain ghalibya digunakan dalam proses istinbath hukum seperti, yang bersifat mujmal, mutlaq, muqayyad, am, khas, naskh, mansukh sebagaimana dalam kasus Yahya bin Aktsam. Dan di atas semua itu perlunya bersandar kepada seorang Qur'an Natiq (the walking qur'an) di samping Qur'an Shamit (the silence Qur'an) yang dapat menjelaskan kesemua hal ini.

Kalau di masa kenabian, Rasulullah Saw sendiri yang menjadi penjelas dan penerang segala syariat, pasca Nabi Saw, adalah para imam suci yang hadir dan bahkan harus ada di setiap zaman dan masa. Demikianlah Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka yang berharga; Kitab Allah dan Itrah; Ahlul Baitku. Selama berpegang pada keduanya, kalian tak akan tersesat selama-lamanya. Dan keduanya tidak akan terpisah hingga menjumpaiku di telaga Kautsar, di Hari Kiamat kelak". (H.R. Sahih Muslim : jilid 7, hal 122. Sunan Ad-Darimi, jilid 2, hal 432. Musnad Ahmad, jilid 3, hal 14, 17, 26 dan jilid 4, hal 371 serta jilid 5, hal 182 dan 189. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, hal 109, 147 dan 533).

Kaum Muslimin tidak dapat melepaskan keduanya atau berpegang kepada salah satu di antara keduanya saja. Hanya berpegang kepada al-Qur'an akan tersesat selama-lamanya, demikian juga semata-mata bersandar kepada Ahlulbait. Dalam redaksi hadis di atas ditegaskan sebagai tsaqalain. Dua pusaka berat yang harus kita pegang keduanya untuk tidak tersesat apatah lagi binasa selama-lamanya. Tentu pada penerapan syariah dalam kehidupan sehari-hari tidak terkecuali dari sabda Rasulullah Saw ini. Berikut ini saya mengajak Anda untuk berziarah, melintasi ruang dan lorong waktu untuk menyampaikan salam kepada Imam Jawad As dengan membaca:

السَّلامُ عَلَيْكَ يَا أَبَا جَعْفَرٍ مُحَمَّدَ بْنَ عَلِيٍّ الْبَرَّ التَّقِيَّ الْإِمَامَ الْوَفِيَّ

السَّلامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا الرَّضِيُّ الزَّكِيُّ

السَّلامُ عَلَيْكَ يَا وَلِيَّ

اللَّهِ السَّلامُ عَلَيْكَ يَا نَجِيَّ

اللَّهِ السَّلامُ عَلَيْكَ يَا سَفِيْرَ اللَّهِ

السَّلامُ عَلَيْكَ يَا سِرَّ اللَّهِ [سِتْرَ اللَّهِ‏]

السَّلامُ عَلَيْكَ يَا ضِيَاءَ اللَّهِ

Salam kepadamu wahai Abu Ja`far Muhammad bin Ali, Imam yang baik, takwa dan menepati janji

Salam kepadamu wahai yang diridhai (oleh Allah) dan suci

Salam kepadamu wahai wali Allah

Salam kepadamu wahai yang ditolong Allah

Salam kepadamu wahai duta Allah

Salam kepadamu wahai rahasia Allah (tirai Allah)

Salam kepadamu wahai cahaya Allah

(Penggalan doa ziarah Imam Muhammad Taqi al-Jawad As). 
(Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: