Salah satu pertanyaan yang kerap muncul seputar Imam Ali Ridha as adalah mengapa beliau menerima jabatan putra mahkota yang ditawarkan oleh seorang penguasa tiran seperti Makmun, Khalifah Dinasti Abbasiyah? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya juga kita tanyakan mengapa Makmun mengusulkan jabatan strategis tersebut kepada Imam Ridha as? Apakah usulan itu atas dasar keseriusan dan ketulusan atau sebuah permainan politik untuk memperkuat pilar-pilar pemerintahan Makmun?
Makmun membunuh saudaranya, Muhammad Amin al-Rashid Abbasi dan ribuan orang lain demi mencapai kekuasaan, lalu bagaimana ia bersedia menerima kehadiran Imam Ridha as yang masih terhitung sebagai rivalnya? Untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi, kita harus menyimak ucapan-ucapan Makmun sendiri mengenai tujuannya menawarkan jabatan putra mahkota.
Ketika Makmun secara resmi menawarkan jabatan putra mahkota kepada Imam Ridha as, mayoritas pembesar Abbasi mencela langkah itu dan mereka berkata, “Mengapa engkau ingin mengakhiri sebuah kehormatan besar kekhalifahan dari Bani Abbas dan mengembalikannya kepada keluarga Ali? Dengan langkah itu, engkau telah mengangkat kedudukan Ali bin Musa dan merendahkan kedudukanmu sendiri.”
Makmun – sebagai seorang politisi licik – menjawab, “Aku punya banyak alasan untuk itu. Dengan masuknya ia (Imam Ridha as) ke poros pemerintahan, ia terpaksa harus mengakui pemerintahan dan kekhalifahan kita. Dengan begitu, orang-orang yang mencintainya akan berpaling dan mereka percaya bahwa Ali bin Musa adalah sosok yang berbeda dengan klaim-klaimnya. Aku takut jika membiarkan Ali bin Musa begitu saja, ia akan mengganggu pekerjaan kita dan kita tidak akan mampu mencegahnya. Oleh karena itu, kita tidak boleh lagi meremehkan dia dan kita secara perlahan harus merendahkan kepribadian dan keagungannya. Kita harus mengesankannya sebagai sosok yang tidak layak untuk menjadi pemimpin di mata masyarakat… Dan ketahuilah bahwa setelah ia menjadi putra mahkotaku, aku tidak lagi berpikir ada orang yang harus ditakuti di keluarga Abu Thalib.”
Imam Ridha as memahami dengan baik trik politik Makmun dan mengetahui bahwa usulan jabatan putra mahkota semata-mata untuk memperkuat pondasi pemerintahannya. Makmun membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mensukseskan skenarionya, sampai akhirnya ia mengancam Imam Ridha as dan beliau menerima usulan tersebut atas dasar keterpaksaan. Imam Ridha as juga memiliki misi untuk menggagalkan skenario Makmun dan dalam perjalanannya dari Madinah menuju pusat pemerintahan Makmun di Marv, timur laut Iran, beliau menyadarkan masyarakat melalui nada bicara dan gerak-geriknya. Imam Ridha as ingin menyampaikan pesan bahwa Makmun mengundangnya ke Marv dengan niat jahat dan memaksanya meninggalkan Madinah.
Imam Ridha menunjukkan ekspresi kesedihan dan duka ketika beliau berziarah ke makam Nabi Muhammad Saw dan berpamitan dengan keluarganya dan masyarakat. Beliau ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa perjalanan ini sebenarnya adalah sebuah hijrah menuju kematian yang dihiasi dengan baju kebesaran “putra mahkota.” Dalam setiap kesempatan, Imam Ridha as selalu menyampaikan kepada masyarakat bahwa penerimaan jabatan putra mahkota adalah sebuah keterpaksaan. Beliau selalu berkata bahwa “Aku diancam untuk dibunuh sehingga aku bersedia menjadi putra mahkota.”
Meski demikian, Imam Ridha as berusaha untuk tidak terlibat dalam setiap pekerjaan kotor yang dilakukan oleh para pejabat pemerintahan Makmun. Beliau menetapkan beberapa syarat untuk menerima jabatan putra mahkota antara lain, beliau tidak menerima wewenang yang bisa mengeluarkan perintah dan larangan, beliau juga menolak posisi yang bisa mengangkat atau mencopot seseorang, beliau bahkan menolak jabatan sebagai hakim istana. Pada dasarnya, syarat-syarat tersebut adalah sebagai bentuk protes Imam Ridha as atas jabatan putra mahkota. Jelas bahwa orang yang menolak semua jabatan strategis di pemerintahan, tentu ia tidak bisa menjadi loyalis penguasa.
Makmun juga mencium ketidaksenangan Imam Ridha as dengan jabatan barunya itu dan ia berkali-kali ingin melibatkan beliau dalam urusan pemerintahan. Ini tentu saja bertentangan dengan kesepakatan sebelumnya. Makmun pernah meminta Imam Ridha as untuk menulis sebuah surat kepada pasukan yang sedang menghadapi kesulitan di medan perang untuk meminta mereka tenang. Beliau berkata, “Aku telah berjanji untuk tidak terlibat dalam urusan pemerintahan dan sejak hari pertama aku menerima jabatan putra mahkota, tidak ada sesuatu yang bertambah bagiku.”
Ada contoh lain yang lebih menarik yaitu ketika pelaksanaan shalat Idul Fitri. Makmun meminta Imam Ridha as untuk menjadi imam shalat dengan alasan agar masyarakat mengetahui kedudukan beliau. Imam Ridha as pada awalnya menolak tawaran itu, tapi karena Makmun memaksa dan akhirnya beliau siap menjadi imam shalat dengan satu syarat yaitu, beliau akan menunaikan shalat sebagaimana Rasul Saw dan Imam Ali as shalat. Mendengar ucapan itu, Makmun berkata, “Engkau bebas melakukan shalat sebagaimana keinginanmu.”
Imam Ridha as sebagaimana Rasulullah Saw, keluar dari rumah dengan memegang tongkat dan dengan kaki telanjang. Ketika para pejabat istana dan pasukan Makmun menyaksikan kerendahan hati Imam Ridha as, mereka semua turun dari tunggangannya dan mengikuti langkah beliau dengan kaki telanjang. Imam Ridha as berhenti di setiap sepuluh langkah dan mengucapkan tiga kali takbir. Pada waktu itu, semua hadirin mengikuti setiap amalan yang dikerjakan oleh beliau. Masyarakat juga ikut bertakbir sehingga gema takbir membahana ke seluruh penjuru kota. Mereka keluar dari rumahnya masing-masing dan tumpah-ruah ke jalan-jalan. Menyaksikan pemandangan itu, Makmun ketakutan dan melarang Imam Ridha as untuk memimpin shalat. Kejadian ini membuat citra Makmun tercoreng di mata khalayak.
Imam Ridha as memanfaatkan dengan baik posisi putra mahkota untuk menyadarkan masyarakat. Beliau mengambil langkah-langkah bersejarah demi kemaslahatan umat. Sosok mulia ini memiliki kesempatan untuk berbicara di depan para ilmuwan dan masyarakat dan peluang ini jarang sekali dimiliki oleh Ahlul Bait Nabi as yang hidup di bawah bayangan kekejaman rezim penguasa. Makmun membentuk forum-forum diskusi yang menghadirkan para fukaha, teolog, dan pakar hadis untuk berhadapan dengan Imam Ridha as.
Makmun berharap akan muncul pertanyaan-pertanyaan sulit yang tidak dapat dipecahkan oleh Imam Ridha as. Dengan begitu, beliau akan kehilangan wibawa. Namun, forum-forum itu justru berbanding terbalik dengan keinginan Makmun dan semua hadirin akhirnya mengetahui bahwa Imam Ridha as adalah figur yang lebih layak untuk memimpin umat. Ahlul Bait Nabi as yang dicela di mimbar-mimbar selama 70 tahun dan tidak ada orang yang berani berbicara tentang keutamaan mereka, tapi pada masa Imam Ridha as, kemuliaan dan keagungan Ahlul Bait as kembali didengungkan.
Orang-orang yang tadinya tidak mengenal Ahlul Bait as atau bahkan mencela mereka, kini masyarakat mulai memuji mereka sebagai sosok-sosok mulia dan terpuji. Ada banyak puisi dan syair yang didendangkan untuk memuji ketokohan Imam Ridha as. Ini semua adalah bukti dari kecintaan dan pengetahuan.
Pada akhirnya, tak seorang pun mengingkari kelicikan Makmun dalam berpolitik, sebagaimana yang ia lakukan di balik penetapan jabatan putra mahkota untuk Imam Ridha as. Tentu saja, ada motif tertentu yang disembunyikan Makmun, di antaranya, mengharapkan dukungan orang-orang Alawiyah yang ingin membalas dendam kepada Dinasti Abbasiyah dan bertekad melakukan berbagai pemberontakan dan kerusuhan, merangkul orang-orang Alawiyah dengan cara melibatkan mereka dalam pemerintahan agar masyarakat mengetahui bahwa pemberontakan yang mereka lakukan hanya karena haus kekuasaan dan kesenangan serta taktik Makmun untuk mengumpulkan orang-orang yang dekat dengan Imam Ridha as agar lebih mudah diawasi.
(Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email