Pesan Rahbar

Home » » INILAH FAKTA BUKTI HADIS AHLUS SUNNAH TERHADAP ABU BAKAR (1)

INILAH FAKTA BUKTI HADIS AHLUS SUNNAH TERHADAP ABU BAKAR (1)

Written By Unknown on Thursday 17 July 2014 | 15:17:00

1. Hadis ‘Amru bin Al Haarits Tidak Menguatkan Hadis Abu Bakar Bahwa Nabi Tidak Mewariskan.

Tulisan ini cuma daur ulang tulisan lama, sekedar iseng baca artikel disana sini dan melihat ternyata masih banyak sekumpulan “orang awam” sok bergaya ulama dengan dalil khas pecundang. Intinya mereka berhujjah dengan hadis ‘Amru bin Al Haarits sebagai syahiid [pendukung] bagi hadis Abu Bakar bahwa para Nabi tidak mewariskan dan apa yang ditinggalkan adalah sedekah. Berikut hadis ‘Amru bin Al Haarits yang dimaksud:

حدثني مُحَمد بن فضيل قَال : حَدَّثَنَا إسحاق الأزرق قَال : حَدَّثَنَا سُفيان عن أبي إسحاق عن عَمْرو بن الحارث بن المصطلق قَال : لم يترك رسول الله صلى الله عليه وسلم إلاَّ سلاحًا ، وأرضًا جعلها صدقة ، وبغلة بيضاء

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail yang berkata telah menceritakan kepada kami Ishaq Al Azraq yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Abu Ishaq dari ‘Amru bin Al Haarits bin Musthaliq yang berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak meninggalkan sesuatu kecuali senjata, tanah yang telah Beliau jadikan sedekah dan bighal putih [Ma’rifat Wal Tarikh Al Fasawiy 2/620 dengan sanad shahih].

Seperti yang pernah kami tulis, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya no 2739, 2873, 2912, 3098, 4461. Lafaz yang dijadikan hujjah adalah “Ja’alaha shadaqah” dalam hadis ‘Amru bin Al Haarits ini menguatkan apa yang dikatakan Abu Bakar bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mewariskan dan semua peninggalan Nabi adalah sedekah.

Telah kami tunjukkan bahwa hujjah ini keliru dan sangat sangat tidak nyambung. Hadis ‘Amru bin Al Haarits di atas menyebutkan bahwa peninggalan Nabi [sebatas pengetahuan ‘Amru bin Al Haarits] adalah senjata, tanah dan bighal putih. Seandainya ‘Amru bin Al Haarits ingin menguatkan hadis Abu Bakar atau sedang menyatakan hal yang sama dengan hadis Abu Bakar yang berkata:

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ

Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “kami tidak mewariskan, apa yang kami tinggalkan adalah sedekah”.

Maka seharusnya ‘Amru bin Al Haarits mensifatkan sedekah pada ketiga hal dimana ia bersaksi bahwa ketiganya adalah peninggalan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Tetapi zhahir hadis ‘Amru bin Al Haarits justru mensifatkan sedekah itu hanya kepada tanah, bukan kepada bighal dan senjata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Sekali lagi kami ulangi, seandainya ‘Amru bin Al Haarits bermaksud menguatkan hadis Abu Bakar maka ia akan mengatakan bahwa semua itu [senjata, tanah dan bighal] adalah sedekah. Zhahir hadis tidak menyatakan demikian, ‘Amru bin Al Haarits mensifatkan sedekah itu hanya pada tanah bukan pada senjata dan bighal. Lantas apa maknanya sedekah dalam hadis ‘Amru bin Al Haarits tersebut?. Maknanya adalah tanah tersebut ketika masa hidupnya Beliau jadikan hasilnya sebagai sedekah [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Salah seorang salafy nashibi yang memang agak kurang waras [kalau berdialog dengan orang yang ia tuduh syiah] mengatakan sejak kapan barang yang disedekahkan pada saat hidup masih dikatakan peninggalan Beliau ketika wafat. Seandainya komentar ini muncul dari orang awam atau pengikut salafy yang awam [yang kebanyakan memang agak jahil] kami masih bisa maklum tetapi komentar ini muncul dari orang yang melihat tulisannya sudah biasa membaca berbagai kitab hadis dan fiqih para ulama. Kami bingung apakah yang bersangkutan pura-pura bodoh dan ikut-ikutan menjadi orang awam. Mari anggap saja bahwa salafy nashibi ini memang tidak tahu maka kita sarankan agar ia membaca apa itu yang namanya Wakaf.

Secara ringkas, wakaf adalah menahan sesuatu dan mengambil hasil atau manfaatnya. Salah satu dalil untuk wakaf ini adalah hadis Ibnu Umar berikut [kami kutip secara ringkas]

عن ابن عمر قال أصاب عمر أرضا بخيبر فأتى النبي صلى الله عليه و سلم يستأمره فيها فقال يا رسول الله إني أصبيت أرضا بخيبر لم أصب مالا قط هو أنفس عندي منه فما تأمرني به ؟ قال إن شئت حبست أصلها وتصدقت بها

Dari Ibnu Umar yang berkata “Umar mendapatkan bagian tanah di Khaibar maka ia datang kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] meminta saran tentangnya. Ia berkata “wahai Rasulullah, aku mendapatkan tanah di khaibar, yang aku tidak pernah mendapatkan harta yang paling berharga selainnya, maka apa yang Engkau perintahkan dengannya?. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjawab “Jika engkau menghendaki, maka tahanlah tanahnya dan bersedekah dengannya” [Shahih Muslim 3/1255 no 1632].

Lafaz sedekah yang dimaksud dalam hadis Ibnu Umar di atas adalah wakaf, tanah tersebut diwakafkan dan disedekahkan hasil tanahnya. Kembali ke hadis ‘Amru bin Al Haarits di atas maka maksud sedekah disana adalah tanah tersebut telah diwakafkan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] selagi Beliau masih hidup. Hal ini selaras dengan pemahaman para ulama terhadap hadis ‘Amru bin Al Haarits tersebut. Al Baihaqiy telah meriwayatkan hadis Amru bin Al Haarits tersebut dan memasukkannya dalam Kitab Wakaf [Sunan Baihaqiy 6/265 no 11894 & 11895]. Ibnu Hajar berkata tentang hadis ‘Amru bin Al Haarits

لأنه تصدق بمنفعة الأرض فصار حكمها حكم الوقف

Beliau [Rasulullah] menyedekahkan hasil atau manfaat dari tanahnya, maka itu hukumnya menjadi hukum wakaf [Fath Al Bariy Ibnu Hajar 5/360].

Apa yang dikatakan Ibnu Hajar juga dinukil oleh Mulla Aliy Qaariy dan ia menjelaskan bahwa maknanya tanah itu dijadikan sedekah jariyah oleh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pada saat Beliau masih hidup.

قال العسقلاني أي تصدق بمنفعة الأرض فصار حكمها حكم الوقف والمعنى أنه جعلها في حياته صدقة جارية

Al Asqallaniy berkata Beliau menyedekahkan manfaat tanahnya maka itu hukumnya menjadi hukum wakaf dan maknanya adalah bahwa Beliau telah menjadikan tanah itu pada masa hidupnya sebagai shadaqah jariyah [Mirqat Al Mafaatih Syarh Al Misykaat Mulla Aliy Qaariy 17/269].

Singkat cerita keliru sekali menjadikan hadis ‘Amru bin Al Haarits sebagai penguat hadis Abu Bakar Nabi tidak mewariskan karena sebenarnya hadis ‘Amru tersebut menceritakan tanah yang diwakafkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] semasa hidupnya. Tidaklah hadis tersebut bermakna setelah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat maka tanah itu baru menjadi sedekah sebagai konsekuensi dari hadis Abu Bakar bahwa semua peninggalan Nabi adalah sedekah. Intinya hadis ‘Amru bin Al Haarits tidak nyambung dengan hadis Abu Bakar.


2. Hadis Hasan bin Zaid bin Hasan : Abu Bakar dan Umar Sayyid Kuhul Ahli Surga

Hasan bin Zaid bin Hasan putra Zaid bin Hasan bin Aliy disebutkan dalam kitab hadis bahwa ia termasuk perawi yang meriwayatkan hadis Abu Bakar dan Umar Sayyid Kuhul ahli surga. Hadis riwayatnya disebutkan oleh Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al Ajurriy dan Ibnu Asakir. Pembahasan ini adalah tambahan bagi pembahasan kami sebelumnya dalam tulisan Takhrij Abu Bakar dan Umar Sayyid Kuhul Ahli Surga.

Riwayat Abdullah bin Ahmad bin Hanbal.

حدثنا عبد الله حدثني وهب بن بقية الواسطي ثنا عمرو بن يونس يعنى اليمامي عن عبد الله بن عمر اليمامي عن الحسن بن زيد بن حسن حدثني أبي عن أبيه عن على رضي الله عنه قال كنت عند النبي صلى الله عليه و سلم فأقبل أبو بكر وعمر رضي الله عنهما فقال يا على هذان سيدا كهول أهل الجنة وشبابها بعد النبيين والمرسلين

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Wahb bin Baqiyah Al Wasithi telah menceritakan kepada kami Umar bin Yunus yakni Al Yamami dari Abdullah bin Umar Al Yamami dari Hasan bin Zaid bin Hasan yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayahku dari Ayahnya dari Ali RA yang berkata “aku berada di sisi Nabi SAW kemudian datanglah Abu Bakar RA dan Umar RA maka Nabi SAW bersabda “wahai Ali mereka berdua adalah Sayyid Kuhul dan para pemuda ahli surga setelah para Nabi dan Rasul [Musnad Ahmad 1/80 no 602].

Wahb bin Baqiyah Al Wasithiy dalam sanad di atas adalah seorang yang tsiqat [At Taqrib Ibnu Hajar no 7519]. Riwayat Abdullah bin Ahmad bin Hanbal ini juga disebutkan dalam Fadhail Ash Shahabah no 141 dan Tarikh Ibnu Asakir 30/165-166. Hanya saja dalam Fadhail Ash Shahabah tidak disebutkan nama ‘Abdullah bin Umar Al Yamamiy, tetapi langsung menyebutkan Umar bin Yunus meriwayatkan dari Hasan bin Zaid bin Hasan.


Riwayat Abu Bakar Al Ajurry.

أَنْبَأَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ نَاجِيَةَ قَالَ حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ الْوَاسِطِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ يُونُسَ الْيَمَامِيُّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ الْحَسَنِ قَالَ جَاءَهُ نَفَرٌ مِنَ الْعِرَاقِ فَقَالُوا يَا أَبَا مُحَمَّدٍ حَدِيثٌ بَلَغَنَا أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَقَالَ نَعَمْ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَقْبَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ فَقَالَ يَا عَلِيُّ هَذَانِ سَيِّدَا كُهُولِ أَهْلِ الْجَنَّةِ بَعْدَ النَّبِيِّينَ وَالْمُرْسَلِينَ

Telah memberitakan kepada kami Abu Muhammad ‘Abdullah bin Muhammad bin Naajiyah yang berkata telah menceritakan kepada kami Wahb bin Baqiyah Al Waasithiy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Yuunus Al Yamaamiy dari ‘Abdullah bin ‘Umar dari Hasan bin Zaid bin Hasan yang berkata telah datang kepadanya sekelompok orang dari Iraq, mereka berkata “wahai Abu Muhammad, ada hadis yang sampai kepada kami bahwasanya engkau menceritakan hadis dari Aliy bin Abi Thalib [radiallahu ‘anhu] tentang Abu Bakar dan Umar [radiallahu ‘anhuma]. Ia berkata “benar, telah menceritakan kepadaku Ayahku dari Ayahnya dari ‘Aliy bin Abi Thalib [radiallahu ‘anhu] yang berkata aku pernah berada di sisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kemudian datanglah Abu Bakar dan Umar. Maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “wahai Ali, keduanya adalah Sayyid kuhul ahli surga setelah para Nabi dan Rasul” [Asy Syari’ah Abu Bakar Ajurriy no 1315].

Dalam riwayat Abu Bakar Al Ajurry juga disebutkan bahwa Umar bin Yunus Al Yamamiy meriwayatkan dari Hasan bin Zaid bin Hasan melalui perantara Abdullah bin Umar. Dalam riwayat Al Ajurry hanya disebutkan lafaz Abdullah bin Umar tanpa nisbat Al Yamamiy.


Riwayat Ibnu Asakir.

أَخْبَرَنَا أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ مُسْلِمٍ الْفَرَضِيُّ أنا أَبُو الْحَسَنِ بْنُ أَبِي الْحَدِيدِ وَأَبُو نَصْرِ بْنُ طَلابٍ قَالا أنا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي الْحَدِيدِ ثنا أَبُو الْحُسَيْنِ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ أَبِي الْحَدِيدِ نا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مَرْزُوقٍ نا عُمَرُ بْنُ يُونُسَ نا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ الْمَدِينِيُّ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ الْحَسَنِ أَنَّهُ كَانَ جَالِسًا فِي الْمَسْجِدِ فَجَاءَهُ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ الْعِرَاقِ فَسَلَّمُوا ثُمَّ قَالُوا يَا أَبَا مُحَمَّدٍ حَدِيثٌ بَلَغَنَا أَنَّكَ تَذْكُرُهُ عَنْ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ قَال حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيٍّ أَنَّهُ كَانَ جَالِسًا عِنْدَ رَسُولِ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَقْبَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ فَقَالَ هَذَانِ سَيِّدَا كُهُولِ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَشَبَابِهَا بَعْدَ النَّبِيِّينَ وَالْمُرْسَلِينَ لا تُخْبِرْهُمَا يَا عَلِي

Telah mengabarkan kepada kami Abu Hasan ‘Aliy bin Muslim Al Faradhiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Hasan bin Abil Hadiid dan Abu Nashr bin Thalaab, keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abil Hadiid yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Husain Muhammad bin ‘Aliy bin Abil Hadiid yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibrahiim bin Marzuuq yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Yuunus yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Umar Al Madiiniy dari Hasan bin Zaid bin Hasan bahwasanya ia sedang duduk di Masjid, kemudian datanglah orang-orang dari penduduk Iraq, mereka mengucapkan salam kemudian berkata “wahai Abu Muhammad, telah sampai kepada kami hadis bahwasanya engkau menyebutkannya tentang Abu Bakar dan Umar?. Ia berkata “telah menceritakan kepadaku ayahku dari Ayahnya dari Aliy bahwa ia sedang duduk di sisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kemudian datanglah Abu Bakar dan Umar, maka Beliau bersabda “kedua orang ini adalah Sayyid kuhul dan para pemuda ahli surga setelah para Nabi dan Rasul, jangan kabarkan pada mereka berdua wahai Aliy” [Tarikh Ibnu Asakir 30/166].

Abu Hasan ‘Aliy bin Muslim Al Faradhiy, Adz Dzahabiy menyebutnya Syaikh Imam Allamah, Ibnu Asakir berkata “tsiqat tsabit” [As Siyaar 20/31]. Abul Hasan bin Abil Hadiid, disebutkan Adz Dzahabiy bahwa ia tsiqat ma’mun [As Siyaar 18/418]. Abu Nashr bin Thallaab, Adz Dzahabiy menyebutkan bahwa ia Syaikh Imam Tsiqat [As Siyaar 18/375]. Abu Bakar bin Abil Hadiid, ia dinyatakan tsiqat ma’mun oleh Abdul ‘Aziz Al Kattaniy [As Siyaar 17/185]. Abu Hushain Muhammad bin ‘Aliy bin Abi Hadiid dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Yunus [Tarikh Al Mishriyyun no 1247]. Ibrahiim bin Marzuuq, Nasa’i berkata shalih, Ibnu Yunus berkata “tsiqat tsabit” [As Siyaar 12/355].

Ibnu Asakir menyebutkan bahwa perawi yang meriwayatkan dari Hasan bin Zaid bin Hasan adalah ‘Abdullah bin Umar Al Madiiniy. Ibnu Asakir juga menyebutkan riwayat Wahb bin Baqiyah seperti yang disebutkan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dengan jalan sanad dari Abul Qasim Al Baghawiy dari Wahb bin Baqiyah dengan menyebutkan lafaz ‘Abdullah bin Umar Al Madiiniy.

Dengan mengumpulkan sanad-sanad riwayat Hasan bin Zaid bin Hasan maka diketahui bahwa perawi yang meriwayatkan hadis tersebut darinya adalah Abdullah bin Umar, yang terkadang dinisbatkan dengan Al Yamamiy dan terkadang dinisbatkan dengan Al Madiiniy. Al Husainiy berkata bahwa ia seorang yang majhul:

عبد الله بن عمر اليمامي عن الحسن وعنه عمر بن يونس اليمامي مجهولُّ

Abdullah bin Umar Al Yamaamiy meriwayatkan dari Al Hasan dan telah meriwayatkan darinya Umar bin Yunus Al Yamaamiy, ia majhul [Al Ikmal Al Husainiy no 467]

Pentahqiq kitab Musnad Ahmad menyatakan bahwa Abdullah bin ‘Umar yang dimaksud adalah Ibnu Ruumiy yaitu Abdullah bin Muhammad, Abu Muhammad Al Yamaamiy yang juga dikatakan ‘Abdullah bin Umar Al Yamaamiy. Pernyataan ini perlu diteliti kembali, karena Ibnu Ruumiy masyhur di kalangan mutaqaddimin sebagai Abdullah bin Ar Ruumiy, walaupun sebagian mutaakhirin seperti Al Mizziy, Adz Dzahabiy, Ibnu Hajar menukil bahwa ia juga disebut ‘Abdullah bin Umar.

عبد الله بن الرومي أبو محمد اليمامى نزيل بغداد روى عن النضر ابن محمد الجرشى وابي معاويه الضرير وابي اسامة وعمر بن يونس اليمامى ويعقوب بن ابراهيم بن سعد وعبد الرزاق روى عنه ابي وموسى ابن اسحاق الانصاري الخطمى

Abdullah bin Ar Ruumiy Abu Muhammad Al Yamaamiy tinggal di Baghdad meriwayatkan dari Nadhr bin Muhammad Al Harasy, Abu Mu’awiyah Adh Dhariir, Abu Usamah, Umar bin Yunus Al Yamaamiy, Yaqub bin Ibrahim bin Sa’ad dan ‘Abdurrazaaq. Telah meriwayatkan darinya Ayahku, Musa bin Ishaaq Al Anshaariy Al Khaththamiy [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 5/208 no 982].

عبد الله بن الرُّومِي أَبُو مُحَمَّد من أهل بَغْدَاد يروي عَن وَكِيع وَأبي عَاصِم حَدَّثنا عَنهُ أَحْمد بن الْحسن بن عبد الْجَبَّار وَغَيره من شُيُوخنَا مَاتَ سنة أَرْبَعِينَ وَمِائَتَيْنِ أَو قبلهَا أَو بعْدهَا بِقَلِيل

‘Abdullah bin Ar Ruumiy Abu Muhammad termasuk penduduk Baghdad, meriwayatkan dari Waki’ dan Abu Ashim. Telah menceritakan kepada kami darinya Ahmad bin Hasan bin ‘Abdul Jabbaar dan selainnya dari guru-guru kami. Wafat pada tahun 240 atau tidak lama sebelum atau sesudahnya [Ats Tsiqat Ibnu Hibban 8/354 no 13841].

Al Bukhari juga menyebutnya dengan nama ‘Abdullah bin Ar Ruumiy dalam Tarikh Ash Shaghiir [Tarikh Ash Shaghiir juz 2 no 1625]. Al Khatib dalam Tarikh Baghdad menyebutkan “Abdullah bin Muhammad, Abu Muhammad Al Yamamiy yang dikenal Ibnu Ruumiy”[Tarikh Baghdad 11/267 no 5139]. Tidak ada diantara mereka yang menyebutkan bahwa ia adalah ‘Abdullah bin Umar.

عبد الله بن محمد ويقال عبد الله بن عمر اليمامي أبو محمد المعروف بابن الرومي نزيل بغداد
‘Abdullah bin Muhammad, dikatakan ‘Abdullah bin ‘Umar Al Yamaamiy Abu Muhammad dikenal dengan Ibnu Ruumiy tinggal di Baghdad [Tahdzib Al Kamal Al Mizziy 16/105 no 3554].

Penyebutan Al Mizziy ini diikuti oleh muridnya Adz Dzahabiy dan kemudian juga diikuti oleh Ibnu Hajar. Tidak ada di kalangan mutaqaddimin yang menyebut Ibnu Ruumiy dengan ‘Abdullah bin ‘Umar.
1. Abdullah bin Ar Ruumiy adalah Syaikh [guru] Imam Muslim, Abu Ya’la, Ibnu Abi Khaitsamah dan Muhammad bin Ishaaq Ash Shaghaaniy. Tidak ada satupun diantara murid-muridnya yang menyebutnya dengan nama ‘Abdullah bin Umar.
2. Muslim telah meriwayatkan darinya dalam kitab Shahih dan terkadang disebutkan dengan jelas bahwa ia adalah ‘Abdullah bin Muhammad Ar Ruumiy. Muslim menyebutnya ‘Abdullah bin Ar Ruumiy [Shahih Muslim no 135], Abdullah bin Ar Ruumiy Al Yamaamiy [Shahih Muslim no 2362 & 2423], Abdullah bin Muhammad Ar Ruumiy [Shahih Muslim no 1159].
3. Abdullah bin Ar Ruumiy juga adalah syaikh [guru] Abu Ya’la dan ia menyebutkan dalam Musnad-nya nama gurunya dengan ‘Abdullah bin Ar Ruumiy [Musnad Abu Ya’la no 4894 s/d no 4897].
3. Begitu pula Ahmad bin Abi Khaitsamah yang merupakan murid Ibnu Ruumiy, ia menyebutkan gurunya dalam kitab Tarikh-nya dengan nama ‘Abdullah bin Ar Ruumiy [Tarikh Ibnu Abi Khaitsamah no 1167 s/d 1169].
4. Selain Muslim, murid Ibnu Ruumiy yang lain yaitu Muhammad bin Ishaq Ash Shaghaaniy juga menyebutkan nama gurunya dengan lafaz ‘Abdullah bin Muhammad Al Yamaamiy [Syu’aib Al Iman Baihaqiy no 10601].

Pendapat yang rajih disini nama Ibnu Ruumiy adalah ‘Abdullah bin Muhammad Al Yamaamiy seperti yang dinyatakan oleh Al Khatib dan dinyatakan dalam sebagian riwayat oleh murid Ibnu Ruumiy yaitu Muslim dan Ash Shaghaaniy. Sedangkan penyebutan Abdullah bin ‘Umar kepada Ibnu Ruumiy tidak memiliki bukti yang shahih, tidak ditemukan ulama mutaqaddimin dan murid Ibnu Ruumiy yang menyatakan demikian.

Dalam kitab biografi perawi hadis, Ibnu Ruumiy dikenal sebagai murid dari Umar bin Yunus Al Yamaamiy bukan sebagai gurunya. Dan tidak dikenal pula diantara guru Ibnu Ruumiy adalah Hasan bin Zaid bin Hasan. Hasan bin Zaid bin Hasan wafat pada tahun 168 H [Al Kasyf Adz Dzahabiy no 1030]. Sedangkan Abdullah bin Muhammad, Ibnu Ruumiy wafat pada tahun 236 H [Al Kasyf Adz Dzahabiy no 2971]. Jadi diantara wafat keduanya terdapat waktu yang lama yaitu 68 tahun.

Abdullah bin Umar yang meriwayatkan dari Hasan bin Zaid bin Hasan selain dinisbatkan dengan Al Yamaamiy, ia juga dinisbatkan dengan Al Madiiniy. Sedangkan Ibnu Ruumiy walaupun ia dinisbatkan pada Al Yamaamiy ia tidak dinisbatkan dengan Al Madiiniy. Jelas sekali berdasarkan pembahasan di atas maka ‘Abdullah bin ‘Umar Al Yamaamiy yang dimaksud bukan Ibnu Ruumiy melainkan ‘Abdullah bin Umar Al Yamaamiy Al Madiiniy, seorang yang majhul sebagaimana dikatakan Al Husainiy.

‘Amru bin ‘Abdul Mun’im pentahqiq kitab Fadha’il Abu Bakar [Abu Thalib Al Harbiy] dalam takhrij hadis no 34, ia menyebutkan riwayat Hasan bin Zaid bin Hasan yang diriwayatkan Abdullah bin Ahmad dan menyatakan bahwa sanadnya dhaif karena ‘Abdullah bin ‘Umar Al Yamaamiy majhul ‘ain. Pendapat inilah yang benar sesuai dengan pembahasan di atas. Kesimpulan : hadis tersebut dhaif karena majhulnya ‘Abdullah bin Umar Al Yamaamiy Al Madiiniy.


Hadis Anas bin Malik : Abu Bakar dan Umar Sayyid Kuhul Ahli Surga.

Tulisan kali ini adalah sedikit tambahan terhadap tulisan kami yang lalu mengenai Takhrij hadis Abu Bakar dan Umar Sayyid Kuhul Ahli Surga. Dalam tulisan tersebut kami menyatakan bahwa hadis tersebut dhaif dengan keseluruhan jalan-jalannya. Pembahasan ini merupakan tambahan yang hanya memfokuskan pada riwayat Anas bin Malik

حدثنا الحسن بن الصباح البزار حدثنا محمد بن كثير العبدي عن الأوزاعي عن قتادة عن أنس قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لأبي بكر و عمر هذان سيدان كهول أهل الجنة ومن الأولين والآخرين إلا النبيين والمرسلين

Telah menceritakan kepada kami Hasan bin Shabbaah Al Bazzaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsiir Al ‘Abdiy dari Al ‘Awza’iy dari Qatadah dari Anas yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda kepada Abu Bakar dan Umar “Kedua orang ini adalah Sayyid kuhul ahli surga dari kalangan terdahulu dan kemudian kecuali Para Nabi dan para Rasul” [Sunan Tirmidzi 5/610 no 3664].

Penyebutan Muhammad bin Katsiir Al Abdiy dalam riwayat Tirmidzi di atas keliru karena yang benar adalah Muhammad bin Katsiir Al Mashishiy Ash Shan’aniy sebagaimana yang nampak dalam jumhur riwayat. Al Hasan bin Ash Shabbaah dalam periwayatan dari Muhammad bin Katsiir Ash Shan’aniy memiliki mutaba’ah sebagai berikut:
1. Hadiyah bin ‘Abdul Wahab sebagaimana yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal [Fadha’il Ash Shahabah no 1429].
2. Salamah bin Syabiib sebagaimana yang disebutkan Ibnu Abi Ashim [As Sunnah no 1420]
3. Aliy bin Za’id Al Faraidhiy sebagaimana yang diriwayatkan Ath Thahawiy [Syarh Musykil Al Atsar 5/217 no 1963], Al Ajurry [Asy Syari’ah no 1316].
4. Hasan bin ‘Abdullah bin Manshuur Al Balisiy sebagaimana yang diriwayatkan Ath Thahawiy [Syarh Musykil Al Atsar 5/217 no 1963].
5. ‘Abbas bin ‘Abdullah At Tarqufiy sebagaimana disebutkan Al Ajurry [Asy Syari’ah no 1317], Ibnu Asakir [Tarikh Ibnu Asakir 30/180] [Tarikh Ibnu Asakir 44/173], Abu Bakar Al Kharaithiy [Makaarim Akhlaaq no 590].
6. Muhammad bin Ahmad bin ‘Anbasah Al Bazzaar sebagaimana disebutkan Ath Thabraniy [Mu’jam Al Awsath 7/68 no 6873] [Mu’jam Ash Shaghiir 2/173 no 976].
7. Yusuf bin Sa’id bin Muslim sebagaimana yang diriwayatkan Adh Dhiyaa’ Al Maqdisiy [Al Mukhtarah no 2508], Ibnu Asakir [Tarikh Ibnu Asakir 30/180].
8. Fahd bin Sulaiman Ad Daaliniy sebagaimana yang diriwayatkan Adh Dhiyaa’ Al Maqdisiy [Al Mukhtarah no 2509], Ibnu Asakir [Tarikh Ibnu Asakir 30/179], Adz Dzahabiy [Mu’jam Asy Syuyukh hal 140].
9. Muhammad bin Waliid Al Qurasyiy sebagaimana yang diriwayatkan Adh Dhiyaa’ Al Maqdisiy [Al Mukhtarah no 2510], Ibnu Asakir [Tarikh Ibnu Asakir 30/179], l Baghawiy [Syarh As Sunnah 14/102 no 3897].
10. Ibrahim bin Al Haitsam Al Baladiy sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Asakir [Tarikh Ibnu Asakir 7/11] [Tarikh Ibnu Asakir 30/180], Ibnu Najjaar [Dzail Tarikh Baghdad 1/246], Abu Bakar Al Kharaithiy [Makaarim Akhlaaq no 590], Abu Ja’far bin Bakhtariy [Juz Fiihi Sittah Majalisa Min Amaliy Abu Ja’far bin Bakhtariy no 23], Abdul Ghaniy Al Maqdisiy [Ats Tsaniy Min Fadha’il Umar bin Khaththab no 19].
11. Abu Ishaaq Ibrahiim bin Umayyah sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Asakir [Tarikh Ibnu Asakir 7/11].
12. Ahmad bin Yusuf An Naisabury sebagaimana diriwayatkan Ibnu Asakir [Tarikh Ibnu Asakir 30/180]
Ahmad bin ‘Abdul Wahid Al Asqallaniy sebagaimana diriwayatkan Ibnu Asakir [Tarikh Ibnu Asakir 30/180].
13. Muhammad bin ‘Auf Ath Tha’iy sebagaimana diriwayatkan Ibnu Asakir [Tarikh Ibnu Asakir 30/180]
Ahmad bin Mas’ud Al Maqdisiy sebagaimana diriwayatkan Ibnu Asakir [Tarikh Ibnu Asakir 30/180]
Muhammad bin Al Haitsam Ats Tsaqafiy sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Busyraan [Amaliy Ibnu Busyraan no 379].

Semuanya meriwayatkan dengan jalan dari Muhammad bin Katsir Ash Shan’aniy dari Qatadah dari Anas secara marfu’. Kedudukan hadis ini dhaif dengan illat [cacat] sebagai berikut:
1. Muhammad bin Katsir Ash Shan’aniy, dikatakan oleh Ahmad bin Hanbal bahwa ia dhaif jiddan [sangat lemah], tidak tsiqat, dan munkar al hadits [Aqwal Ahmad no 3009]. Bukhari berkata “meriwayatkan hadis-hadis mungkar” [Tartib Ilal Tirmidzi 1/323]. Dan diantara riwayat mungkarnya adalah riwayatnya dari Ma’mar dan Al Auza’iy. Ibnu Adiy mengatakan bahwa Muhammad bin Katsiir meriwayatkan dari Ma’mar dan Al Auza’iy hadis-hadis yang tidak memiliki mutaba’ah atasnya [Al Kamil Ibnu Adiy 6/255]. Ibnu Ma’in berkata “shaduq” [Su’alat Ibnu Junaid no 372]. Ibnu Sa’ad berkata ia tsiqat dan disebutkan bahwa ia mengalami ikhtilath di akhir umurnya [Ath Thabaqat Ibnu Sa’ad 7/489]. Abu Dawud berkata “tidak memiliki kefahaman dalam hadis” [Su’alat Al Ajurry no 1774]. Al Uqailiy memasukkannya dalam Adh Dhu’afa dan berkata “meriwayatkan dari Ma’mar hadis-hadis mungkar yang tidak ada mutaba’ah atasnya” [Adh Dhu’afa Al Uqailiy no 1691]. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan berkata “sering keliru dan meriwayatkan hadis gharib” [Ats Tsiqat 9/70 no 15236]. Ibnu Hajar berkata “shaduq banyak melakukan kesalahan” kemudian dikoreksi dalam At Tahrir bahwa Muhammad bin Katsir seorang yang dhaif tetapi bisa dijadikan mutaba’ah dan syawahid [Tahrir At Taqrib no 6251].
2. Qatadah bin Di’aamah As Saduusiy, ia seorang yang tsiqat tetapi telah disifatkan dengan tadlis. Ibnu Hajar memasukkannya dalam mudallis Thabaqat ketiga [Thabaqat Al Mudallisin Ibnu Hajar no 92]. Thabaqat ketiga di sisi Ibnu Hajar berarti hadisnya dengan ‘an anah tidak diterima kecuali ia menyatakan dengan jelas sima’ hadisnya. Dalam hadis di atas Qatadah meriwayatkan dari Anas bin Malik dengan lafaz ‘an anah maka hadisnya tidak bisa diterima.

Hadis Muhammad bin Katsir di atas adalah hadis mungkar sebagaimana yang dinyatakan oleh Bukhari dan Ahmad bin Hanbal, dan diisyaratkan pula oleh Ali bin Madiniy dan Abu Hatim. Adh Dhiyaa’ Al Maqdisiy dalam Al Mukhtarah setelah menyebutkan hadis Anas tersebut, ia berkata:

أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ الصَّبَّاحِ الْبَزَّارِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَثِيرٍ عَنِ الأَوْزَاعِيِّ بِإِسْنَادِهِ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَقَالَ الْبُخَارِيُّ هَذَا حَدِيثٌ مُنْكَرٌ قَالَ التِّرْمِذِيُّ إِنَّمَا أَنْكَرَ مُحَمَّدٌ هَذَا مِنْ حَدِيثِ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم

Dikeluarkan oleh Tirmidzi dari Hasan bin Ash Shabbaah Al Bazzaar dari Muhammad bin Katsiir dari Al Awza’iy dengan sanadnya dan berkata “hadis hasan gharib dengan sanad ini” dan Bukhari berkata “ini hadis mungkar”. At Tirmidzi berkata “sesungguhnya Muhammad [Bukhari] mengingkari hadis ini dari Qatadah dari Anas dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] [Al Mukhtarah Adh Dhiyaa’ no 2510].

Sebagian orang berusaha menolak kutipan Adh Dhiyaa’ dengan alasan nukilan Bukhari dan Tirmidzi tersebut tidak ditemukan dalam kitab Al Ilal Tirmidzi. Dan sebenarnya yang diingkari oleh Bukhari adalah hadis lain bukan hadis Anas tentang Sayyid Kuhul. Seolah-olah disini Adh Dhiyaa’ telah keliru dalam menukil kutipan yang sebenarnya ditujukan pada hadis Anas yang lain.

Dalam kitab Al Ilal Tirmidzi memang ada hadis lain yang diingkari Bukhari yaitu hadis Muhammad bin Katsir dari Al Auza’iy dari Qatadah dari Anas secara marfu’ tentang akan ada sekelompok orang yang berperang di atas kebenaran sampai hari kiamat.

حَدَّثَنا الحسن بن الصباح حَدَّثَنا محمد بن كثير عن الأَوزاعِيّ عَن قتادة عن أنس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تزال طائفة من أمتي يقاتلون على الحق ظاهرين إلى يوم القيامة وأومأ بيده إلى الشام.سَألْتُ مُحَمدًا عن هذا الحديث ، فقال هذا حديث منكر خطأ.إنما هو قتادة عن مطرف عن عمران بن حصين عَن النَّبيِّ صلى الله عليه

Telah menceritakan kepada kami Hasan bin Ash Shabbaah yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsiir dari Al Auza’iy dari Qatadah dari Anas yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang bersabda “senantiasa sekelompok orang dari umatku berperang di atas kebenaran, mereka akan tetap ada sampai hari kiamat, dan Beliau mengarahkan tangannya ke arah Syam”. Aku bertanya kepada Muhammad [Bukhari] tentang hadis ini, dan Beliau berkata “ini hadis mungkar khata’, sesungguhnya ini adalah hadis Qatadah dari Mutharrif dari ‘Imraan bin Hushain dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] [Tartib Ilal Tirmidzi 1/323 no 598-599].

Hadis ini adalah contoh hadis mungkar yang diriwayatkan Muhammad bin Katsir Ash Shan’aniy dan kemungkaran ini berasal darinya. Maka jarh terhadapnya bahwa ia meriwayatkan hadis mungkar dari Al Auza’iy termasuk jarh mufassar yang mesti didahulukan dari ta’dil. Jadi tidak berlebihan dikatakan bahwa riwayat Muhammad bin Katsir dari Al Auza’iy adalah dhaif mungkar.

Dikatakan Adh Dhiyaa’ salah menukil pernyataan mungkar Bukhari pada hadis Anas Sayyid kuhul yaitu sebenarnya ditujukan pada hadis ini, justru sebenarnya orang yang mengatakan demikianlah yang keliru. Karena Adh Dhiyaa’ juga mengutip hadis Anas riwayat At Tirmidzi di atas kemudian menuliskan “Bukhari berkata hadis mungkar khata’ sesungguhnya ini adalah hadis Qatadah dari Mutharrif dari ‘Imran” [Al Mukhtarah Adh Dhiyaa’ no 2511]. Artinya Adh Dhiyaa’ tidak salah menukil bahkan kutipannya sama persis dengan apa yang tertera dalam Al Ilal Tirmidzi. Walaupun begitu memang pernyataan Bukhari terhadap hadis Sayyid Kuhul riwayat Anas sebagai hadis mungkar tidak ditemukan asal penukilannya selain apa yang dikutip Adh Dhiyaa’.

Abdul Ghaniy Al Maqdisiy juga menukil pernyataan Ahmad bin Hanbal mengenai hadis Sayyid Kuhul riwayat Anas bin Malik, dimana Ahmad bin Hanbal menyatakan hadis tersebut mungkar. Abdul Ghaniy berkata setelah menyebutkan hadis Anas tersebut:

قَالَ عَلِيُّ بْنُ نَصْرٍ عَنِ الإِمَامِ أَحْمَدَ حَدِيثَ الأَوْزَاعِيِّ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ فِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ هُوَ وَهْمٌ مِنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَثِيرٍ وَقَالَ أَبُو طَالِبٍ عَنْ أَحْمَدَ هَذَا مُنْكَرُ مَا رَوَى أَحَدٌ عَنْ قَتَادَة عَنْ أَنَسٍ

Aliy bin Nashr berkata dari Imam Ahmad hadis Al ‘Awza’iy dari Qatadah dari Anas tentang Abu Bakar dan Umar, itu adalah kesalahan dari Muhammad bin Katsiir, dan Abu Thalib berkata dari Ahmad “hadis ini mungkar, tidak ada seorangpun yang meriwayatkan dari Qatadah dari Anas [Ats Tsaniy Fadha’il Umar bin Khaththaab no 19].

Kutipan Ahmad bin Hanbal yang dibawakan Abdul Ghaniy Al Maqdisiy juga tidak ditemukan asal penukilannya. Tetapi pernyataan ini bersesuaian dengan kutipan Bukhariy yang dibawakan Adh Dhiyaa’ sebelumnya. Pernyataan Ahmad bin Hanbal bahwa tidak ada seorangpun yang meriwayatkan dari Anas juga dikuatkan oleh pernyataan Ath Thabraniy dimana setelah menyebutkan hadis Anas, Ath Thabraniy berkata:

لم يرو هذا الحديث عن الأوزاعي إلا محمد بن كثير ولم يروه عن قتادة إلا الأوزاعي

Tidak meriwayatkan hadis ini dari Al awza’iy kecuali Muhammad bin Katsiir dan tidak meriwayatkannya dari Qatadah kecuali Al Awza’iy [Mu’jam Al Awsath 7/68 no 6873].

Berbeda halnya dengan kutipan Ahmad dan Bukhari, pengingkaran Abu Hatim dan Ali bin Madiniy terhadap hadis sayyid Kuhul riwayat Anas tsabit sanadnya sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Al Ilal Ibnu Abi Hatim.

وقال أَبُو مُحَمَّد ذكرت لأبي فقلت سمعت يونس بْن حبيب قَالَ ذكرت لعلي بْن المديني حديثًا حَدَّثَنَا بِهِ مُحَمَّد بْن كثير المصيصي عَن الأوزاعي عَن قتادة عَن أَنَس قَالَ نظر النَّبِيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أَبِي بكر وعمر ، فقال ” هذان سيدا كهول أهل الجنة ” قَالَ علي كنت أشتهي أن أرى هذا الشيخ فالآن لا أحب أن أراه فقال أَبِي صدق فإن قتادة عَن أَنَس لا يجيء هذا المتن

Abu Muhammad berkata aku menyebutkan kepada ayahku, aku berkata aku mendengar Yunus bin Habiib berkata aku menyebutkan kepada Aliy bin Madiini hadis yang telah menceritakan kepada kami dengannya Muhammad bin Katsiir Al Mashiishiiy dari Al Awza’iy dari Qatadah dari Anas yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melihat kepada Abu Bakar danUmar, kemudian berkata “kedua orang ini adalah Sayyid kuhul ahli surga”. Aliy bin Madiiniy berkata “dahulu aku menginginkan untuk melihat Syaikh ini tetapi sekarang aku tidak menyukai untuk melihatnya”. Ayahku berkata “benar, sesungguhnya hadis Qatadah dari Anas tidak datang dengan matan ini” [Al Ilal Ibnu Abi Hatim no 2681].

Abu Hatim membenarkan pengingkaran Ali bin Madiniy seraya menegaskan bahwa riwayat dengan matan tersebut bukanlah riwayat Qatadah dari Anas. Maka pernyataan Abu Hatim ini sesuai dengan kutipan Ahmad bin Hanbal dan Bukhari bahwa hadis ini mungkar dan merupakan bagian dari kesalahan Muhammad bin Katsiir.

Dalam pandangan Abu Hatim, Muhammad bin Katsiir adalah seorang yang shalih tetapi dalam sebagian hadisnya terdapat hal-hal yang mungkar [Tahdzib Al Kamal 26/332]. Maka pernyataan Abu Hatim dalam Al Ilal mengisyaratkan bahwa sebagian hal mungkar yang dilihatnya dalam hadis Muhammad bin Katsiir adalah hadis Sayyid kuhul riwayat Anas bin Malik.

Terdapat dua hadis Anas bin Malik dengan jalan sanad yang tidak melalui Muhammad bin Katsiir tetapi hadis tersebut keduanya maudhu’ karena dalam sanadnya terdapat perawi yang pendusta dan pemalsu hadis:

أَخْبَرَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَلِيِّ بْنِ عِيَاضِ بْنِ أَبِي عُقَيْلٍ الْقَاضِي بِصُورَ قَالَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ جُمَيْعٍ قَالَ أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ مَخْلَدٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْخَزَّازُ السُّوسِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ عَنْبَسَةَ الْمِصِّيصِيُّ أَصْلُهُ بَصْرِيٌّ قَالَ حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ الطَّوِيلُ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” سَيِّدَا كُهُولِ أَهْلِ الْجَنَّةِ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَإِنَّ أَبَا بَكْرٍ فِي الْجَنَّةِ مِثْلُ الثُّرَيَّا فِي السَّمَاء

Telah mengabarkan kepada kami Abu Muhammad ‘Abdullah bin Aliy bin ‘Iyaadh bin Abi Uqail Al Qaadhiy di Shuur yang berkata telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ahmad bin Jumai’ yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu ‘Abdullah Muhammad bin Makhlad yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sa’iid bin ‘Abdullah Abu ‘Abdullah Al Khazzaar As Suusiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin ‘Anbasah Al Mashishiy Al Bashriy yang berkata telah menceritakan kepada kami Humaid Ath Thawiil dari Anas bin Maliik yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “Sayyid kuhul ahli surga adalah Abu Bakar dan Umar, Abu Bakar di dalam surga seperti bintang Tsurayya di langit” [Tarikh Baghdad Al Khatib 3/243].

Hadis ini maudhu’ karena di dalam sanadnya ada Yahya bin ‘Anbasah Al Mashishiy. Daruquthniy mengatakan ia pendusta, dajjal pemalsu hadis [Mausu’ah Aqwal Daruquthniy Fii Rijal no 3862]. Ibnu Hibban mengatakan ia syaikh dajjal pemalsu hadis [Al Majruhin Ibnu Hibban no 1216]. Ibnu Adiy berkata “mungkar al hadits” [Al Kamil Ibnu Adiy 7/254]. Abu Nu’aim mengatakan “ia meriwayatkan dari Malik, Abu Haniifah, Ibnu Uyainah, Daud bin Abi Hind hadis-hadis mungkar yang tidak ada apa-apanya” [Adh Dhu’afa Abu Nu’aim no 276].

أَخْبَرَنَا زَاهِرُ بْنُ أَحْمَدَ الثَّقَفِيُّ بِأَصْبَهَانَ أَنَّ الْحُسَيْنَ بْنَ عَبْدِ الْمَلِكِ الْخَلالَ أَخْبَرَهُمْ أبنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مَنْصُورٍ أبنا مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أبنا أَبُو يَعْلَى الْمَوْصِلِيُّ ثنا سَهْلُ بْنُ زَنْجَلَةَ الرَّازِيُّ ثنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عُمَرَ ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ الْعَبْدِيُّ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ سَيِّدَا كُهُولِ أَهْلِ الْجَنَّةِ مِنَ الأَوَّلِينَ وَالآخِرِينَ

Telah mengabarkan kepada kami Zaahir bin Ahmad Ats Tsaqafiy di Ashbahan bahwa Al Husain bin ‘Abdul Malik Al Khalaal mengabarkan kepada mereka, yang mengatakan telah memberitakan kepada kami Ibrahiim bin Manshuur yang berkata telah memberitakan kepada kami Muhammad bin Ibrahiim yang berkata telah memberitakan kepada kami Abu Ya’la Al Maushulliy yang berkata telah menceritakan kepada kami Sahl bin Zanjalah Ar Raaziy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin ‘Umar yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yaziid Al ‘Abdiy yang berkata aku mendengar Anas bin Malik mengatakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “Abu Bakar dan Umar Sayyid Kuhul ahli surga dari kalangan terdahulu dan kemudian” [Ahadist Al Mukhtarah Adh Dhiyaa’ Al Maqdisiy no 2260].

Pentahqiq kitab Adh Dhiyaa’ mengatakan bahwa Abdurrahman bin Umar dan ‘Abdullah bin Yaziid Al ‘Abdiy keduanya tidak dikenal tidak ditemukan biografinya. Menurut kami, Abdurrahman bin Umar yang dimaksud kemungkinan adalah ‘Abdurrahman bin ‘Amru bin Jabalah Al Bahiliy. Kemungkinan disini terjadi tashif dimana lafaz yang seharusnya ‘Amru menjadi Umar karena hilangnya huruf waw. Dan diantara syaikh [guru] Sahl bin Zanjalah tidak ada yang bernama ‘Abdurrahman bin Umar tetapi yang ada adalah
‘Abdurrahman bin ‘Amru yaitu bin Jabalah Al Bahiliy. Al Uqailiy menyebutkan dalam biografi Yazid bin Adiiy bin Haatim, riwayat Sahl bin Zanjalah dari ‘Abdurrahman bin ‘Amru bin Jabalah [Adh Dhu’afa Al Uqailiy no 2004]. Riwayat ini menegaskan bahwa salah satu guru Sahl bin Zanjalah adalah ‘Abdurrahman bin ‘Amru bin Jabalah Al Bahiliy.

Abdurrahman bin ‘Amru bin Jabalah Al Bahiliy, Abu Hatim mengatakan ia berdusta dan harus ditinggalkan hadisnya. Daruquthniy berkata “matruk pemalsu hadis”. Al Baghawiy berkata “dhaif hadis jiddan” [Lisan Al Mizan juz 3 no 1665]. Abdullah bin Yaziid Al Abdiy yang dimaksud kemungkinan adalah Abdullah bin Yazid bin Adam As Sulamiy Al Awdiy. Disebutkan oleh Ibnu Asakir bahwa ia juga meriwayatkan dari Anas bin Malik [Tarikh Ibnu Asakir 33/367]. Ahmad bin Hanbal berkata tentangnya bahwa hadis-hadisnya maudhu’ [Tarikh Baghdad 11/449 no 5291].

Kesimpulan : Hadis Anas bin Malik tentang Abu Bakar dan Umar sayyid kuhul ahli surga kedudukannya dhaif mungkar dan hadis mungkar tidak bisa dijadikan syawahid atau mutaba’ah.


3. Benarkah Riwayat Sayyidah Fathimah Marah Kepada Abu Bakar Adalah Idraaj Az Zuhriy?

Tulisan ini kami buat sebagai bantahan bagi para nashibi yang tidak henti-hentinya menyelewengkan sejarah demi menjaga kesalahan sebagian sahabat. Sangat masyhur dalam kitab shahih dan sirah bahwa Sayyidah Fathimah marah kepada Abu Bakar ketika Abu Bakar menolak tuntutannya atas warisan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Disebutkan bahwa Sayyidah Fathimah tidak mau berbicara kepada Abu Bakar sampai Beliau wafat bahkan disebutkan pula Beliau berwasiat agar dimakamkan pada malam hari sehingga Abu Bakar tidak menshalatkannya.

Nashibi yang risih dengan kabar seperti itu [terutama sangat risih jika kabar itu dijadikan hujjah oleh Syiah] membuat syubhat wat talbiis yang intinya menunjukkan bahwa riwayat marahnya Fathimah pada Abu Bakar adalah idraaj [sisipan] dari Az Zuhriy maka kedudukannya dhaif. Pernyataan nashibi itu sangat tidak benar dan inilah pembahasannya.


Riwayat Shaalih bin Kaisaan Dari Az Zuhriy.

أَخْبَرَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ الزُّهْرِيُّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ، أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ سَأَلَتْ أَبَا بَكْرٍ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ أَنْ يَقْسِمَ لَهَا مِيرَاثَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ، مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَقَالَ لَهَا أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” لا نُوَّرَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ “، فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ، وَعَاشَتْ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ

Telah mengabarkan kepada kami Ya’qub bin Ibrahiim bin Sa’d Az Zuhriy dari ayahnya dari Shaalih bin Kaisaan dari Ibnu Syihaab yang berkata telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair bahwa Aisyah istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengabarkan kepadanya bahwa Fathimah binti Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bertanya kepada Abu Bakar setelah wafatnya Rasulullah tentang bagian warisannya yang ditinggalkan Rasulullah dari harta fa’i yang dikaruniakan Allah kepada Beliau. Abu Bakar berkata kepadanya “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “kami tidak mewariskan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah” maka Fathimah menjadi marah dan ia hidup setelah wafatnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] selama enam bulan [Thabaqat Ibnu Sa’ad 8/256-257].

Terlihat jelas dalam riwayat di atas bahwa lafaz marahnya Fathimah adalah bagian dari perkataan Aisyah [radiallahu ‘anha]. Hal ini juga disebutkan dalam Shahih Bukhari no 3092-3093 dan Sunan Baihaqiy 6/300-301 no 12734.

حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ ، قَالَ : حَدَّثَنَا أَبِي ، عَنْ صَالِحٍ ، قَالَ ابْنُ شِهَابٍ : أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ ، أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، أَخْبَرَتْهُ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلَتْ أَبَا بَكْرٍ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَقْسِمَ لَهَا مِيرَاثَهَا ، مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ ، فَقَالَ لَهَا أَبُو بَكْرٍ : إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ” لَا نُورَثُ ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ ” ، فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ ، عَلَيْهَا السَّلَام ، فَهَجَرَتْ أَبَا بَكْرٍ ، فَلَمْ تَزَلْ مُهَاجِرَتَهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ ، قَالَ : وَعَاشَتْ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ ، قَالَ : وَكَانَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَسْأَلُ أَبَا بَكْرٍ نَصِيبَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خَيْبَرَ ، وَفَدَكَ ، وَصَدَقَتِهِ بِالْمَدِينَةِ ، فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ عَلَيْهَا ذَلِكَ ، وَقَالَ : لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ ، إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ ، وَإِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيغَ ، فَأَمَّا صَدَقَتُهُ بِالْمَدِينَةِ فَدَفَعَهَا عُمَرُ إِلَى عَلِيٍّ وَعَبَّاسٍ ، فَغَلَبَهُ عَلَيْهَا عَلِيٌّ ، وَأَمَّا خَيْبَرُ ، وَفَدَكُ ، فَأَمْسَكَهُمَا عُمَرُ ، وَقَالَ : هُمَا صَدَقَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، كَانَتَا لِحُقُوقِهِ الَّتِي تَعْرُوهُ ، وَنَوَائِبِهِ ، وَأَمْرُهُمَا إِلَى مَنْ وَلِيَ الْأَمْرَ ، قَالَ : فَهُمَا عَلَى ذَلِكَ الْيَوْمَ

Faathimah binti Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah meminta kepada Abu Bakr setelah wafatnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] agar membagi untuk-nya bagian harta warisan yang ditinggalkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dari harta fa’i yang Allah karuniakan kepada beliau. Abu Bakr berkata kepadanya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah bersabda “Kami tidak mewariskan dan apa yang kami tinggalkan semuanya shadaqah”. Faathimah binti Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pun marah dan kemudian meng-hajr Abu Bakr. Ia terus dalam keadaan seperti itu hingga wafat. [qaala] dan ia hidup selama enam bulan sepeninggal Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. [qaala] “Fathimah pernah meminta Abu Bakr bagian dari harta yang ditinggalkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berupa tanah di Khaibar dan di Fadak dan shadaqah beliau di Madinah namun Abu Bakr mengabaikannya dan berkata Aku tidak akan meninggalkan sedikitpun sesuatu yang pernah dikerjakan Rasulullah melainkan akan aku kerjakan. Sungguh aku takut menjadi sesat jika meninggalkan apa yang diperintahkan beliau. Adapun shadaqah beliau di Madinah telah diberikan oleh ‘Umar kepada ‘Ali dan ‘Abbas, sementara tanah di Khaibar dan Fadak telah dipertahankan oleh ‘Umar dan mengatakannya bahwa keduanya adalah shadaqah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang hak-haknya akan diberikan kepada yang mengurus dan mendiaminya sedangkan urusannya berada di bawah keputusan pemimpin”. [qaala] “dan keadaannya tetap seperti itu hingga hari ini” [Musnad Ahmad 1/6 no 25].

Menurut nashibi lafaz “dan ia hidup selama enam bulan sepeninggal Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]” bukan lafaz dari Aisyah mereka berhujjah dengan riwayat Ahmad di atas yang menunjukkan bahwa lafaz tersebut diucapkan setelah lafaz [qaala]. Lafaz qaala berarti perawi laki-laki berkata karena kalau perempuan [Aisyah] lafaznya adalah qaalat. Lafaz [qaala] ini juga diriwayatkan dalam Shahih Muslim no 1758 dan Mustakhraj Abu Awanah 4/250 no 6677.

Jika kita menuruti hujjah nashibi bahwa lafaz setelah lafaz [qaala] berarti itu idraaj [sisipan] dari perawi laki-laki bukan dari Aisyah maka itu berarti lafaz sebelum lafaz [qaala] adalah perkataan Aisyah. Maka lafaz

فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ ، عَلَيْهَا السَّلَام ، فَهَجَرَتْ أَبَا بَكْرٍ ، فَلَمْ تَزَلْ مُهَاجِرَتَهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ

Faathimah binti Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pun marah dan kemudian meng-hajr Abu Bakr. Ia terus dalam keadaan seperti itu hingga wafat.

Adalah lafaz perkataan Aisyah [radiallahu ‘anha]. Maka dengan hujjah nashibi itu sendiri dibuktikan bahwa riwayat Shalih bin Kaisaan dari Az Zuhriy menetapkan lafaz marahnya Fathimah kepada Abu Bakar adalah tsabit dari Aisyah [radiallahu ‘anha].

Tetapi benarkah apa yang dikatakan oleh nashibi bahwa lafaz [qaala] itu bermakna perawi laki-laki yang berkata bukan Aisyah [radiallahu ‘anha]. Untuk melihat lebih jelas maka kita harus memperhatikan satu-persatu riwayat tersebut. Kami mengutip riwayat tersebut hanya dari lafaz hadis Abu Bakar bahwa Nabi tidak mewariskan karena bagian itu termasuk lafaz Aisyah.


Riwayat Ibnu Sa’ad

لا نُوَّرَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ “، فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ، وَعَاشَتْ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُر


Riwayat Ahmad

” لَا نُورَثُ ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ ” ، فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ ، عَلَيْهَا السَّلَام ، فَهَجَرَتْ أَبَا بَكْرٍ ، فَلَمْ تَزَلْ مُهَاجِرَتَهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ ، قَالَ : وَعَاشَتْ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ ، قَالَ : وَكَانَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَسْأَلُ أَبَا بَكْرٍ نَصِيبَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خَيْبَرَ ، وَفَدَكَ ، وَصَدَقَتِهِ بِالْمَدِينَةِ


Riwayat Muslim

لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ ” ، قَالَ : وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ ، وَكَانَتْ فَاطِمَةُ تَسْأَلُ أَبَا بَكْرٍ نَصِيبَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خَيْبَرَ ، وَفَدَكٍ وَصَدَقَتِهِ بِالْمَدِينَةِ


Riwayat Abu Awanah

لا نُوَرَّثُ ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ ” ، قَالَ : وَعَاشَتْ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ ، قَالَ : وَكَانَتْ فَاطِمَةُ تَسْأَلُ أَبَا بَكْرٍ نَصِيبَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خَيْبَرَ ، وَفَدَكَ ، وَصَدَقَتُهُ بِالْمَدِينَةِ


Riwayat Baihaqiy

لا نُورَثُ ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ ” فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، فَهَجَرَتْ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، فَلَمْ تَزَلْ مُهَاجِرَةً لَهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ ، وَعَاشَتْ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ ، قَالَ : فَكَانَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَسْأَلُ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ نَصِيبَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خَيْبَرَ وَفَدَكٍ وَصَدَقَتِهِ بِالْمَدِينَةِ


Riwayat Bukhariy

لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَجَرَتْ أَبَا بَكْرٍ ، فَلَمْ تَزَلْ مُهَاجِرَتَهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ ، قَالَتْ : وَكَانَتْ فَاطِمَةُ تَسْأَلُ أَبَا بَكْرٍ نَصِيبَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خَيْبَرَ وَفَدَكٍ وَصَدَقَتَهُ بِالْمَدِينَةِ

Jika kita perhatikan lafaz riwayat-riwayat di atas terutama pada lafaz yang diawali dengan kata [qaala] maka didapat keterangan:
1. Riwayat marahnya Fathimah kepada Abu Bakar disebutkan oleh Ibnu Sa’ad, Ahmad bin Hanbal, Baihaqiy dan Bukhariy dimana mereka semua menyebutkan lafaz itu sebagai bagian dari lafaz Aisyah karena terikat dengan lafaz hadis Abu Bakar dan diucapkan sebelum lafaz [qaala] [kecuali riwayat Ibnu Sa’ad yang tidak ada lafaz qaala].
2. Riwayat dengan lafaz “Fathimah hidup enam bulan setelah Rasulullah wafat” disebutkan oleh Muslim dan Abu Awanah setelah lafaz [qaala] tetapi dalam riwayat Baihaqiy lafaz tersebut masuk dalam lafaz Aisyah yaitu sebelum lafaz [qaala].
3. Riwayat dengan lafaz dimana Fathimah meminta kepada Abu Bakar peninggalan khaibar, fadak dan shadaqah di madinah disebutkan Ahmad, Muslim, Abu Awanah dan Baihaqiy setelah lafaz [qaala] tetapi dalam riwayat Bukhariy lafaz tersebut adalah lafaz Aisyah karena dimulai dengan lafaz [qaalat].

Jika kita menuruti anggapan nashibi bahwa lafaz qaala bermakna perawi laki-laki berkata bukan perkataan Aisyah maka nampak terjadi kekacauan padahal hadis itu berujung pada perawi yang sama. Maka disini terdapat faedah bahwa lafaz qaala itu bermakna perawi hadis melanjutkan hadis perkataan Aisyah, sehingga pada dasarnya lafaz qaala bermakna sama dengan lafaz qaalat. Bukti shahihnya adalah riwayat Bukhari yaitu lafaz “Fathimah meminta kepada Abu Bakar peninggalan khaibar, fadak dan shadaqah di madinah” adalah perkataan Aisyah dengan lafaz qaalat dimana pada riwayat Ahmad, Muslim, Baihaqiy dan Abu Awanah itu disebutkan dengan lafaz qaala.


Riwayat Syu’aib bin Abi Hamzah Dari Az Zuhriy.

Riwayat Syu’aib bin Abi Hamzah disebutkan dalam Shahih Ibnu Hibban 11/152 no 4823 [riwayat Utsman bin Sa’id Ad Daarimiy] dan Sunan Baihaqi 6/300 no 1273 dan Ad Dalaail Baihaqiy 7/279, Musnad Asy Syamiyyin Thabraniy 4/198-199 no 3097 semuanya [riwayat Abul Yamaan] dengan lafaz yang menyebutkan kemarahan Fathimah terhadap Abu Bakar dan mensibatkannya pada perkataan Aisyah.

قَالَتْ عَائِشَةُ: فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” لا نُورَثُ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ “، إِنَّمَا كَانَ يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ مِنْ هَذَا الْمَالِ يَعْنِي مَالَ اللَّهِ لَيْسَ لَهُمْ أَنْ يَزِيدُوا عَلَى الْمَأْكَلِ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لا أُغَيِّرُ صَدَقَاتِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهَا، فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ مِنْهَا شَيْئًا، فَوَجَدَتْ فَاطِمَةَ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ، فَهَجَرَتْهُ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى مَاتَتْ، وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ

‘Aaisyah berkata Lalu Abu Bakr berkata : “Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Kami tidak diwarisi dan semua yang kami tinggalkan adalah shadaqah’. Dan hanyalah keluarga Muhammad makan dari harta ini – yaitu harta Allah yang tidak ada tambahan bagi mereka selain dari yang dimakan. Dan sesungguhnya aku, demi Allah, tidak akan mengubah shadaqah-shadaqah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari keadaan semua yang ada di jaman Nabi shallallaahu ‘alahi wa sallam. Dan sungguh aku memperlakukan shadaqah tersebut seperti yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam padanya”. Maka Abu Bakr enggan memberikan harta peninggalan tersebut sedikitpun pada Faathimah. Maka dalam hal itu Faathimah pun marah kepada Abu Bakr, lalu ia pun meng-hajr-nya dan tidak mengajaknya bicara hingga wafat. Dan Faathimah hidup setelah wafatnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam selama enam bulan [Musnad Asy Syamiyyin Thabraniy 4/198-199 no 3097].

Kemudian disebutkan riwayat Bukhari dalam Tarikh Ash Shaghiir bahwa lafaz “Fathimah hidup setelah wafat Nabi selama enam bulan” diucapkan setelah lafaz [qaala].

حدثنا أبو اليمان انا شعيب عن الزهري أخبرني عروة بن الزبير عن عائشة فذكر الحديث قال وعاشت فاطمة بعد النبي صلى الله عليه وسلم ستة أشهر ودفنها علي

Telah menceritakan kepada kami Abul Yamaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhriy yang berkata telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair dari Aisyah lalu menyebutkan hadis, [qaala] “Fathimah hidup setelah wafat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] selama enam bulan kemudian wafat dikuburkan oleh Aliy [Tarikh Ash Shaghiir juz 1 no 116].

Nashibi berhujjah dengan riwayat Bukhari bahwa perkataan “Fathimah hidup enam bulan” adalah idraaj [sisipan] dari perawi sebelum Aisyah. Hal ini disebabkan lafaz itu diucapkan setelah lafaz [qaala] yang berarti perawi laki-laki berkata.

Sebenarnya dengan hujjah nashibi ini maka lafaz yang diucapkan sebelum lafaz qaala adalah lafaz Aisyah. Jadi dengan hujjah nashibi tersebut lafaz kemarahan Fathimah kepada Abu Bakar adalah perkataan Aisyah.

Tetapi benarkah demikian seperti yang dikatakan Nashibi bahwa lafaz “Fathimah hidup selama enam bulan” adalah bukan milik Aisyah tetapi idraaj [sisipan] perawi laki-laki sebelum Aisyah. Ada baiknya diperhatikan riwayat berikut:

حدثنا محمد بن عوف حدثنا عثمان بن سعيد حدثنا شعيب بن أبي حمزة عن الزهري عن عروة عن عائشة قالت عاشت فاطمة بنت رسول الله ص بعد رسول الله ص ستة اشهر

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Auf yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Utsman bin Sa’iid yang berkata telah menceritakan Syu’aib bin Abi Hamzah dari Az Zuhriy dari Urwah dari Aisyah yang berkata “Fathimah binti Rasulullah hidup setelah wafat Rasulullah selama enam bulan” [Adz Dzuriyat Ath Thaahirah Ad Duulabiy hal 110].

Muhammad bin ‘Auf bin Sufyaan Ath Thaa’iy seorang yang tsiqat. Abu Hatim berkata “shaduq”. Nasa’i berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Khallal berkata “imam hafizh pada zamannya” [At Tahdzib juz 9 no 634]. Ibnu hajar berkata “tsiqat hafizh” [At Taqrib 2/121].

أخبرناه أبو الحسين بن الفضل القطان أخبرنا عبد الله بن جعفر حدثنا يعقوب بن سفيان حدثنا أبو اليمان قال أخبرناشعيب قال وأخبرنا الحجاج بن أبي منيع حدثنا جدي جميعا عن الزهري قال حدثنا عروة أن عائشة أخبرته قالت عاشت فاطمة بنت رسول الله بعد وفاة رسول الله ستة أشهر

Telah mengabarkan kepada kami Abu Husain bin Fadhl Al Qaththaan yang berkata telah mengabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Ya’quub bin Sufyaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Abul Yamaan yang berkata telah mengabarkan kepada kami Syu’aib, [Yaqub berkata] dan mengabarkan kepada kami Hajjaaj bin Abi Manii’ yang berkata telah menceritakan kakekku, semuanya dari Az Zuhriy yang berkata telah menceritakan kepada kami Urwah bahwa Aisyah mengabarkan kepadanya berkata “Fathimah binti Rasulullah hidup setelah wafatnya Rasulullah selama enam bulan” [Ad Dalaa’il Baihaqiy 6/366].

Abu Husain bin Fadhl Al Qaththaan adalah syaikh alim tsiqat musnad [As Siyaar Adz Dzahabiy 17/331]. Abdullah bin Ja’far adalah imam ‘allamah tsiqat [As Siyaar Adz Dzahabiy 15/532]. Yaqub bin Sufyaan Al Fasawiy seorang tsiqat hafizh [At Taqrib 2/337].

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ ، ثنا أَبُو زُرْعَةَ الدِّمَشْقِيُّ ، ثنا أَبُو الْيَمَانِ ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبُ بْنُ أَبِي حَمْزَةَ ، عَنِ الزُّهْرِيِّ ، عَنْ عُرْوَةَ ، عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : ” تُوُفِّيَتْ فَاطِمَةُ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِسِتَّةِ أَشْهُرٍ ، وَدَفَنَهَا عَلِيٌّ لَيْلا

Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Ahmad yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Zur’ah Ad Dimasyiq yang berkata telah menceritakan kepada kami Abul Yamaan yang berkata telah mengabarkan kepada kami Syu’aib bin Abi Hamzah dari Az Zuhriy dari Urwah dari Aisyah yang berkata “Fathimah wafat enam bulan setelah wafat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Ali menguburkannya pada waktu malam” [Hilyatul Auliya 2/42].

Sulaiman bin Ahmad adalah Ath Thabraniy imam hafizh tsiqat [As Siyaar Adz Dzahabiy 16/120]. Abu Zur’ah Ad Dimasyiq adalah seorang yang tsiqat hafizh [At Taqrib 1/584].

Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa hadis Utsman bin Sa’id dan Abul Yamaan dari Az Zuhriy menyatakan bahwa lafaz “Fathimah hidup enam bulan” adalah bagian dari lafaz Aisyaah. Maka disini terdapat faedah bahwa lafaz [qaala] yang dibawakan Bukhari itu bermakna perawi melanjutkan perkataan Aisyah bukan idraaj [sisipan] perawi tersebut.


Riwayat Uqail bin Khaalid Dari Az Zuhriy.

Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya 1/9-10 no 55 dengan matan yang mengandung lafaz Fathimah marah kepada Abu Bakar kemudian diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya no 4240-4241, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya 14/573-574 no 6607 dan Ath Thahawiy dalam Syarh Musykil Al Atsaar no 143 dengan lafaz Fathimah marah kepada Abu bakar tidak berbicara pada Abu Bakar sampai wafat dan ia hidup enam bulan setelah wafat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Berikut lafaz Bukhari:

عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَام بِنْتَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَتْ إِلَى أَبِي بَكْرٍ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ بِالْمَدِينَةِ، وَفَدَكٍ وَمَا بَقِيَ مِنْ خُمُسِ خَيْبَرَ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْمَالِ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَلَأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ مِنْهَا شَيْئًا، فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ فَهَجَرَتْهُ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ، وَعَاشَتْ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ

Dari ‘Aisyah Bahwa Faathimah [‘alaihassalaam] binti Rasulillah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] mengutus utusan kepada Abu Bakr untuk meminta kepadanya bagian harta warisan dari Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] dari harta fai’ di Madinah, Fadak, dan sisa harta khumus Khaibar. Maka Abu Bakar berkata “Sesungguhnya Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] pernah bersabda ‘Kami tidak diwarisi dan semua yang kami tinggalkan adalah shadaqah’. Hanyalah keluarga Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam makan dari harta ini. sesungguhnya aku demi Allah tidak akan mengubah sedikitpun shadaqah Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] dari keadaan yang ada di zaman Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam]. Dan sungguh aku akan memperlakukan shadaqah tersebut sesuai dengan apa yang dilakukan Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] padanya”. Abu Bakar pun menolak memberikan harta peninggalan tersebut sedikitpun kepada Faathimah. Maka dalam hal itu Faathimah pun marah kepada Abu Bakr dan meng-hajr-nya. Ia tidak berbicara kepada Abu Bakr hingga wafat. Dan ia hidup selama enam bulan setelah wafatnya Nabi [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] [Shahih Bukhari no 4240].

Kemudian disebutkan dalam Shahih Muslim dengan sanad dari La’its bin Sa’d dari Uqail bahwa lafaz dimana Fathimah tidak berbicara kepada Abu Bakar sampai wafat terletak setelah lafaz [qaala].

فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ : إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ ” ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْمَالِ ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا ، الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَلَأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ شَيْئًا ، فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ ، قَالَ : فَهَجَرَتْهُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ ، فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ دَفَنَهَا زَوْجُهَا عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ لَيْلًا ، وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ ، وَصَلَّى عَلَيْهَا عَلِي

Maka Abu Bakar berkata “Sesungguhnya Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] pernah bersabda‘Kami tidak diwarisi dan semua yang kami tinggalkan adalah shadaqah’. Keluarga Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanya makan dari harta ini. Dan sesungguhnya aku demi Allah tidak akan mengubah sedikitpun shadaqah Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] dari keadaan yang ada di zaman Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam]. Dan sungguh aku akan memperlakukan shadaqah tersebut sesuai dengan apa yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam padanya”. Abu Bakar pun menolak memberikan harta peninggalan tersebut sedikitpun kepada Faathimah. Maka dalam hal itu Faathimah pun marah kepada Abu Bakar. [qaala]“Ia meng-hajr Abu Bakr dan tidak berbicara kepadanya hingga wafat. Dan ia hidup selama enam bulan setelah wafatnya Nabi [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] ketika ia wafat suaminya Ali menguburkannya di waktu malam dan tidak memberitahu Abu Bakar dan Ali yang menshalatkannya. [Shahih Muslim no 1759].

Nashibi berhujjah dengan riwayat Muslim bahwa lafaz Fathimah tidak berbicara pada Abu Bakar, hidup selama enam bulan setelah Nabi wafat dan ketika wafat Ali menguburkannya di waktu malam adalah idraaj [sisipan] dari perawi laki-laki bukan perkataan Aisyah.

Jika kita menuruti hujjah nashibi di atas itu berarti lafaz sebelum [qaala] adalah perkataan Aisyah maka lafaz “Fathimahpun marah kepada Abu Bakar karenanya” adalah lafaz Aisyah. Tetapi benarkah demikian seperti yang dikatakan nashibi bahwa lafaz [qaala] adalah idraaj perawi laki-laki.

أخبرنا أبو إسحاق إبراهيم بن محمد بن يحيى ، وأبو الحسين بن يعقوب الحافظ قالا : ثنا أبو العباس محمد بن إسحاق ، ثنا قتيبة بن سعيد ، ثنا الليث ، عن عقيل ، عن الزهري ، عن عروة ، عن عائشة قالت : دفنت فاطمة بنت رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم ليلا ، دفنها علي ، ولم يشعر بها أبو بكر رضي الله عنه حتى دفنت وصلى عليها علي بن أبي طالب رضي الله عنه

Telah mengabarkan kepada kami Abu Ishaaq Ibrahiim bin Muhammad bin Yahya dan Abu Husain bin Ya’quub Al Haafizh keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abbas Muhammad bin Ishaaq yang berkata telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id yang berkata telah menceritakan kepada kami Laits dari Uqail dari Az Zuhriy dari Urwah dari Aisyah yang berkata “Fathimah dikuburkan di waktu malam, dikuburkan oleh Aliy dan tidak memberitahu Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] sampai ia dikuburkan, dan Ali [radiallahu ‘anhu] yang menshalatkannya [Mustadrak Al Hakim no 4764].

Abu Ishaaq Ibrahim bin Muhammad bin Yahya Al Muzakkiy seorang yang dikatakan Al Khatib tsiqat tsabit [Tarikh Baghdad 6/168]. Abul Husain bin Ya’qub Al Hafizh adalah imam hafizh, Al Hakim berkata “ahli ibadah shalih shaduq tsabit” [As Siyaar Adz Dzahabiy 16/242]. Abu ‘Abbas Muhammad bin Ishaaq Ats Tsaqafiy adalah imam hafizh tsiqat syaikh islam [As Siyaar Adz Dzahabiy 14/389]. Qutaibah bin Sa’id adalah perawi Bukhari Muslim yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/27]. Perhatikan riwayat Muslim dengan lafaz:

قَالَ : فَهَجَرَتْهُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ ، فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ دَفَنَهَا زَوْجُهَا عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ لَيْلًا ، وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ ، وَصَلَّى عَلَيْهَا عَلِي

Telah dibuktikan di atas bahwa bagian terakhir lafaz Muslim yaitu “ketika ia [Sayyidah Fathimah] wafat suaminya Ali menguburkannya di waktu malam dan tidak memberitahu Abu Bakar dan Ali yang menshalatkannya” adalah perkataan Aisyah padahal lafaz itu disebutkan Muslim setelah lafaz qaala. Disini terdapat faedah bahwa lafaz qaala dalam riwayat Muslim bukan bermakna idraaj [sisipan] perawi melainkan bermakna perawi berkata melanjutkan perkataan Aisyah. Inilah yang dipahami dengan menyatukan riwayat Al Hakim dan riwayat Muslim dan hal ini bersesuaian dengan riwayat Bukhari, Ibnu Hibban dan Thahawiy yang menjadikan keseluruhan lafaz tersebut sebagai perkataan Aisyah.


Riwayat Ma’mar bin Raasyid Dari Az Zuhriy.

Diriwayatkan dalam Mushannaf Abdurrazaaq 5/472-472 no 9774, Tarikh Ath Thabariy no 935, Mustakhraj Abu Awanah no 6679, Sunan Baihaqiy 6/300 no 12732 dengan jalan sanad dari ‘Abdurrazaq dari Ma’mar dari Az Zuhriy dimana lafaz kemarahan Sayyidah Fathimah kepada Abu Bakar disebutkan setelah lafaz [qaala].

فَقَالَ لَهُمَا أَبُو بَكْرٍ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : لا نُورَثُ ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَذَا الْمَالِ ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لا أَدَعُ أَمْرًا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُهُ ، إِلا صَنَعْتُهُ ، قَالَ : فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى مَاتَتْ ، فَدَفَنَهَا عَلِيٌّ لَيْلا ، وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ

Maka Abu Bakar berkata kepada keduanya “Aku mendengar Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] bersabda ‘Kami tidak diwarisi dan semua yang kami tinggalkan adalah shadaqah’. Dan hanyalah keluarga Muhammad [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] makan dari harta ini. Dan sesungguhnya demi Allah aku tidak akan meninggalkan perkara yang aku lihat melakukannya, kecuali aku akan melakukannya juga”. [qaala] “Maka dalam hal itu Faathimah meng-­hajr Abu Bakr dan tidak berbicara dengannya hingga wafat, maka Ali menguburkannya di waktu malam dan tidak memberitahukan kepada Abu bakar [Mushannaf 'Abdurrazaq no 9774].

Nashibi berhujjah dengan riwayat ini bahwa lafaz kemarahan Fathimah kepada Abu Bakar adalah idraaj [sisipan] dari perawi laki-laki bukan dari Aisyah. Untuk menilai validitas hujjah nashibi ini mari kita perhatikan satu-persatu riwayat tersebut yang mengandung lafaz [qaala].


Riwayat Ath Thabariy [jalan sanad dari Abu Shaalih Ad Dhiraariy dari Abdurrazaaq].

قَالَ : فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى مَاتَتْ فَدَفَنَهَا عَلِيٌّ لَيْلا ، وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ . وَكَانَ لِعَلِيٍّ وَجْهٌ مِنَ النَّاسِ حَيَاةَ فَاطِمَةَ ، فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ فَاطِمَةُ انْصَرَفَتْ وُجُوهُ النَّاسِ عَنْ عَلِيٍّ ، فَمَكَثَتْ فَاطِمَةُ سِتَّةَ أَشْهُرٍ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ تُوُفِّيَتْ

Riwayat Abu Awanah [dengan jalan sanad dari Adz Dzuhliy, Muhammad bin Aliy Ash Shan’aniy dan Ishaaq Ad Dabariy dari ‘Abdurrazaaq].

قَالَ : فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ فَلَمْ تُكَلِّمُهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى مَاتَتْ ، فَدَفَنَهَا عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلا وَلَمْ يؤَذِّنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ ، قَالَتْ عَائِشَةُ : وَكَانَ لِعَلِيٍّ مِنَ النَّاسِ وَجْهُ حَيَاةِ فَاطِمَةَ ، فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ فَاطِمَةُ انْصَرَفَتْ وجُوهُ النَّاسِ عَنْ عَلِيٍّ ، فَمَكَثَتْ فَاطِمَةُ سِتَّةَ أَشْهُرٍ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ تُوُفِّيَتْ


Riwayat Baihaqiy [dengan jalan sanad dari Ahmad bin Manshuur dari ‘Abdurrazaaq]

قَالَ : فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَهَجَرَتْهُ ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى مَاتَتْ ، فَدَفَنَهَا عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلا ، وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قالتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا : فَكَانَ لِعَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مِنَ النَّاسِ وَجْهٌ حَيَاةَ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا انْصَرَفَ وُجُوهُ النَّاسِ عَنْهُ عِنْدَ ذَلِكَ


Riwayat ‘Abdurrazaaq dalam Al Mushannaf

قَالَ : فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى مَاتَتْ ، فَدَفَنَهَا عَلِيٌّ لَيْلا ، وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ ، قَالَتْ عَائِشَةُ : وَكَانَ لِعَلِيٍّ مِنَ النَّاسِ حَيَاةَ فَاطِمَةَ حَظْوَةٌ ، فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ فَاطِمَةُ انْصَرَفَتْ وُجُوهُ النَّاسِ عَنْهُ ، فَمَكَثَتْ فَاطِمَةُ سِتَّةَ أَشْهُرٍ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ تُوُفِّيَتْ

Perhatikan dalam riwayat Ath Thabariy lafaz Fathimah hidup enam bulan sepeninggal Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah bagian dari lafaz [qaala] sedangkan pada riwayat Abu Awanah dan Abdurrazaaq [dalam Al Mushannaf] lafaz tersebut adalah perkataan Aisyah. Maka disini terdapat faedah bahwa lafaz [qaala] itu bermakna perawi melanjutkan perkataan Aisyah artinya sama dengan lafaz [qaalat] bukan idraaj [sisipan] dari perawi laki-laki.

Lantas bagaimana dengan lafaz kemarahan Fathimah kepada Abu Bakar dan dikuburkannya oleh Ali di waktu malam tanpa memberitahu Abu Bakar. Untuk lebih jelasnya silakan perhatikan riwayat berikut

قَالَتْ : فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ , فَلَمْ تُكَلِّمْهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى مَاتَتْ , فَدَفَنَهَا عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلا , وَلَمْ يُؤْذَنَ بِهَا أَبُو بَكْرٍ , قَالَتْ : فَكَانَ لِعَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَجْهٌ مِنَ النَّاسِ حَيَاةَ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا , فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ فَاطِمَةُ انْصَرَفَتْ وُجُوهُ النَّاسِ عَنْ عَلِيٍّ , فَمَكَثَتْ فَاطِمَةُ سِتَّةَ أَشْهُرٍ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , ثُمَّ تُوُفِّيَتْ

Riwayat dengan lafaz [qaalat] ini disebutkan oleh Abu Bakar Al Marwaziy dalam Musnad Abu Bakar no 38 dan Ath Thabraniy dalam Mu’jam Al Kabiir 1/90 dengan jalan sanad Abu Bakar bin Zanjawaih dari ‘Abdurrazaaq. Abu Bakar bin Zanjawaih seorang yang tsiqat [At Taqrib 2/107].

Maka riwayat ini menguatkan apa yang kami katakan sebelumnya bahwa lafaz [qaala] bermakna perawi melanjutkan perkataan Aisyah sehingga lafaz [qaala] dan [qaalat] adalah sama, tidak ada penyelisihan seperti yang dikatakan oleh nashibi.

Nashibi mengatakan bahwa Abu Bakar bin Zanjawaih menyelisihi jamaah tsiqat dari ‘Abdurrazaq yaitu Ishaq bin Rahawaih, Muhammad bin Rafi’, Abd bin Humaid, Abu Shalih Adh Dhiraariy, Ahmad bin Manshuur Ar Ramaadiy, Muhammad bin Yahya Adz Dzuhliy dan Ishaq bin Ibrahim Ad Dabariy.

Pernyataan nashibi itu patut diberikan catatan, riwayat Ishaq bin Rahawaih, Muhammad bin Rafi’ dan Abd bin Humaid disebutkan oleh Muslim dalam Shahih-nya secara ringkas tanpa ada penegasan apakah lafaz yang digunakan adalah [qaala] atau [qaalat]. Jika dikatakan ia mengikut riwayat Uqail maka telah berlalu pembahasannya di atas bahwa riwayat Uqail menetapkan kemarahan Fathimah kepada Abu Bakar sebagai lafaz Aisyah.

Maka tersisalah empat perawi tsiqat yang dikatakan nashibi itu menyelisihi Abu Bakar bin Zanjawaih. Ternyata Abu Bakar bin Zanjawaih tidaklah menyendiri. Perhatikan riwayat berikut:

عبد الرزاق، عن معمر، عن عروة، عن عائشة: أن عليا دفن فاطمة ليلا، ولم يؤذن بها أبا بكر

‘Abdurrazaaq dari Ma’mar dari Urwah dari Aisyah bahwa Aliy menguburkan Fathimah di waktu malam dan tidak memberitahu Abu Bakar [Mushannaf ‘Abdurrazaaq 3/521 no 6556].

حدثنا إسحاق عن عبد الرزاق عن معمر عن الزهري عن عروة عن عائشة أن علياً دفن فاطمة ليلاً ولم يؤذن بها أبابكر

Telah menceritakan kepada kami Ishaaq dari ‘Abdurrazaaq dari Ma’mar dari Az Zuhriy dari Urwah dari Aisyah bahwa Aliy menguburkan Fathimah di waktu malam dan tidak memberitahu Abu Bakar [Al Awsath Ibnu Mundzir no 3144].

حدثنا إسحاق بن إبراهيم الدبري عن عبد الرزاق عن معمر عن الزهري عن عروة عن عائشة رضي الله عنها أن عليا دفن فاطمة ليلا

Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibrahim Ad Dabariy dari ‘Abdurrazaaq dari Ma’mar dari Zuhriy dari Urwah dari Aisyah [radiallahu ‘anha] bahwa Ali menguburkan Fathimah di waktu malam [Mu’jam Al Kabir Thabraniy 22/398].

Ishaaq bin Ibraahim Ad Dabariy termasuk perawi yang meriwayatkan hadis tersebut dengan lafaz [qaala] tetapi ia sendiri menjadikan lafaz tersebut sebagai perkataan Aisyah. Dan ‘Abdurrazaaq sendiri dalam kitabnya Al Mushannaf menjadikan lafaz tersebut sebagai perkataan Aisyah padahal ia menuliskan dalam kitabnya lafaz [qaala]. Maka benarlah seperti yang kami katakan bahwa riwayat ‘Abdurrazaaq baik dengan lafaz [qaala] maupun [qaalat] bermakna sama yaitu menetapkan lafaz tersebut adalah perkataan Aisyah [radiallahu ‘anha].

Sekarang mari kita sederhanakan pembahasan panjang di atas mengenai jalan periwayatan Az Zuhriy dari Urwah dari Aisyah tentang kisah marahnya Fathimah.
1. Riwayat Shalih bin Kaisaan dari Az Zuhriy menetapkan bahwa lafaz marahnya Fathimah kepada Abu Bakar dan meng-hajr-nya hingga wafat sebagai perkataan Aisyah dan lafaz [qaala] pada sebagian hadis terbukti bermakna sama dengan [qaalat]
2. Riwayat Syu’aib bin Abi Hamzah dari Az Zuhriy menetapkan bahwa lafaz marahnya Fathimah kepada Abu Bakar dan meng-hajr-nya hingga wafat sebagai perkataan Aisyah dan lafaz [qaala] pada sebagian hadis terbukti bermakna sama dengan [qaalat]
3. Riwayat Uqail bin Khaalid dari Az Zuhriy menetapkan bahwa lafaz marahnya Fathimah kepada Abu Bakar sebagai perkataan Aisyah dan lafaz [qaala] pada sebagian hadis terbukti bermakna sama dengan [qaalat]
4. Riwayat Ma’mar bin Raasyid dari Az Zuhriy menetapkan bahwa lafaz marahnya Fathimah kepada Abu Bakar sebagai perkataan Aisyah dan lafaz [qaala] pada sebagian hadis terbukti bermakna sama dengan [qaalat]

Kesimpulan dengan mengumpulkan semua riwayat di atas bahwa lafaz marahnya Fathimah kepada Abu Bakar dan meng-hajr-nya hingga wafat adalah perkataan Aisyah bukan idraaj dari Az Zuhriy.

Nashibi berkata bahwa yang menguatkan lafaz tersebut sebagai idraaj Az Zuhriy adalah riwayat Baihaqiy yang memuat lafaz berikut:

قَالَ مَعْمَرٌ: قُلْتُ لِلزُّهْرِيِّ: كَمْ مَكَثَتْ فَاطِمَةُ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: سِتَّةَ أَشْهُرٍ، فقَالَ رَجُلٌ لِلزُّهْرِيِّ: فَلَمْ يُبَايِعْهُ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَتَّى مَاتَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا؟، قَالَ: وَلا أَحَدٌ مِنْ بَنِي هَاشِمٍ

Ma’mar berkata Aku bertanya kepada Az-Zuhriy “Berapa lama Faathimah hidup sepeninggal Nabi [shallallaahu ‘alaihi wa sallam]?”. Az-Zuhriy berkata “Enam bulan”. Seorang laki-laki berkata kepada Az-Zuhriy“ Apakah ‘Aliy [radliyallaahu ‘anhu] tidak berbaiat kepadanya [Abu Bakr] hingga Faathimah [radliyallaahu ‘anhaa] wafat?”. Az-Zuhriy berkata “Tidak seorang pun dari Baani Haasyim yang berbaiat” [Sunan Baihaqiy 6/300 no 12732].

Dan Al Baihaqi berkomentar bahwa lafaz penundaan baiat Ali terhadap Abu Bakar adalah munqathi’ [terputus] karena berasal dari perkataan Az Zuhriy. Maka Nashibi berkata begitu pula dengan lafaz semisal marahnya Fathimah dan pemboikotannya kepada Abu Bakar juga munqathi’ karena berasal dari perkataan Az Zuhriy.

Tentu saja pernyataan ini keliru. Jawaban Az Zuhriy atas pertanyaan Ma’mar ia ucapkan karena ia sendiri telah mendengar dari Urwah hadis Aisyah perihal Fathimah hidup enam bulan sepeninggal Nabi serta tidak berbaiatnya Ali kepada Abu Bakar sebagaimana yang diriwayatkan Aisyah dalam kitab Shahih. Jadi statusnya disini adalah perkataan sang perawi [Az Zuhriy] berdasarkan hadis Aisyah yang ia riwayatkan.

Perkataan Ma’mar di atas adalah kutipan Baihaqiy dalam riwayat ‘Abdurrazaaq dan ‘Abdurrazaaq sendiri dalam Al Mushannaf menuliskan bahwa Fathimah hidup enam bulan sepeninggal Nabi sebagai lafaz Aisyah

قَالَتْ عَائِشَةُ : وَكَانَ لِعَلِيٍّ مِنَ النَّاسِ حَيَاةَ فَاطِمَةَ حَظْوَةٌ ، فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ فَاطِمَةُ انْصَرَفَتْ وُجُوهُ النَّاسِ عَنْهُ ، فَمَكَثَتْ فَاطِمَةُ سِتَّةَ أَشْهُرٍ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ تُوُفِّيَتْ

Pernyataan Fathimah hidup sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] selama enam bulan adalah berdasarkan perkataan Aisyah dan Az Zuhriy mengatakannya enam bulan bukan dari pendapatnya sendiri tetapi dari hadis yang ia dengar dan ia riwayatkan. Begitu pula halnya dengan penundaan baiat Ali kepada Abu Bakar berasal dari hadis yang ia dengar. Jadi tidak ada hujjah untuk menjadikan perkataan Az Zuhriy itu sebagai bukti idraaj.


Penggunaan Lafaz [qaala] Dalam Hadis ‘Aisyah.

Syubhat model seperti ini yaitu [idraaj Az Zuhriy] dengan mengandalkan lafaz [qaala] adalah syubhat khas ala nashibi yang menunjukkan kelemahan dalam ilmu atau gelap mata karena kebencian dan hawa nafsu. Perkara hadis atau atsar dari Aisyah dengan terselip lafaz [qaala] pada hadisnya adalah perkara ma’ruf dalam hadis-hadis Aisyah. Berikut akan kami berikan contohnya.


Hadis Pertama:

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا أبو المنذر ثنا مالك عن الفضيل بن أبي عبد الله عن عبد الله بن نيار الأسلمي عن عروة عن عائشة ان رجلا اتبع رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال اتبعك لأصيب معك فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم تؤمن بالله ورسوله قال لا قال فإنا لا نستعين بمشرك قال فقال له في المرة الثانية تؤمن بالله ورسوله قال نعم فانطلق فتبعه

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata tel;ah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Abul Mundzir yang berkata telah menceritakan kepada kami Malik dari Fudhail bin Abi ‘Abdullah dari ‘Abdullah bin Niyaar Al Aslamiy dari Urwah dari Aisyah bahwa seorang laki-laki mengikuti Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] ia berkata “aku ingin mengikutimu dan memenangkan perang bersamamu”. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “apakah engkau beriman pada Allah dan Rasul-Nya?”. Ia menjawab “tidak”. Beliau berkata “kami tidak meminta bantuan orang musyrik”. [qaala] maka Rasulullah berkata kepadanya pada kedua kalinya “apakah engkau beriman pada Allah dan Rasul-Nya?”. Ia menjawab “Ya”. Rasulullah berkata “pergilah turut berperang” maka ia mengikutinya [Musnad Ahmad 6/67 no 24431 shahih dengan syarat Muslim].

Perhatikan lafaz “qaala faqaala lahuu” yang artinya perawi berkata [qaala] : maka Beliau [Rasulullah] berkata kepadanya”. Bukankah ini adalah hadis dari Aisyah lantas siapakah yang sedang berkata “maka Beliau [Rasulullah] berkata kepadanya”, tidak lain itu adalah Aisyah. Tetapi mengapa dipakai lafaz [qaala], apakah itu berarti idraaj dari perawi sebelum Aisyah?. Jelas tidak, lafaz [qaala] menunjukkan bahwa perawi melanjutkan perkataan atau cerita Aisyah. Kisah lebih panjang hadis Aisyah di atas dapat dilihat dalam riwayat berikut:

عن عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم أنها قالت خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم قبل بدر فلما كان بحرة الوبرة أدركه رجل قد كان يذكر منه جرأة ونجدة ففرح أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم حين رأوه فلما أدركه قال لرسول الله صلى الله عليه وسلم جئت لأتبعك وأصيب معك قال له رسول الله صلى الله عليه وسلم تؤمن بالله ورسوله قال لا قال فارجع فلن أستعين بمشرك قالت ثم مضى حتى إذا كنا بالشجرة أدركه الرجل فقال له كما قال أول مرة فقال له النبي صلى الله عليه وسلم كما قال أول مرة قال فارجع فلن أستعين بمشرك قال ثم رجع فأدركه بالبيداء فقال له كما قال أول مرة تؤمن بالله ورسوله قال نعم فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم فانطلق

Dari ‘Aisyah istri Nabi [shallallaahu ‘alaihi wasallam] bahwa ia berkata Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wasallam] keluar menuju Perang Badar. Setelah sampai di Harratul Wabarah Beliau ditemui oleh seorang laki-laki yang terkenal pemberani. Maka para shahabat Rasulullah merasa senang ketika melihat laki-laki itu. Setelah dia menemui Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wasallam] dia berkata kepada beliau “Saya datang untuk mengikutimu dan memenangkan perang bersamamu”. Rasulullah bertanya “Apakah kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya?”. Dia menjawab “Tidak”. Beliau berkata “Kembalilah, karena aku tidak akan meminta bantuan kepada orang musyrik”. Aisyah berkata kemudian laki-laki itu pergi. Setelah sampai di sebuah pohon, Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wasallam] ditemui lagi oleh laki-laki itu. Lalu, dia mengatakan seperti apa yang dikatakan sebelumnya. Maka Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wasallam] bertanya seperti apa yang beliau tanyakan sebelumnya. Beliau berkata “Kembalilah, karena aku tidak akan meminta bantuan kepada orang musyrik”. [qaala] kemudian laki-laki itu pergi. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ditemui lagi oleh laki-laki itu di Baidaa’, lalu Beliau bertanya sebagaimana pertanyaan sebelumnya “Apakah kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya ?”. Laki-laki itu menjawab “Ya”. Maka Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wasallam] berkata kepada laki-laki itu “Pergilah turut berperang” [Shahih Muslim no 1817].

Perhatikan lafaz yang kami cetak biru, hadis di atas bersumber dari satu orang yaitu Aisyah tetapi dalam riwayat Muslim lafaz [qaalat] dan [qaala] digunakan dalam penceritaan Aisyah. Hal ini menunjukkan bahwa kedua lafaz tersebut bermakna sama. Dan perhatikan apa yang ditulis Baihaqiy tentang kisah yang sama dalam Sunan Al Kubra 9/63 no 17877.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، قَالَتْ : لَمَّا خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِبَلَ بَدْرٍ ، فَلَمَّا كَانَ بِحَرَّةِ الْوَبَرَةِ أَدْرَكَهُ رَجُلٌ قَدْ كَانَ يَذْكُرُ مِنْهُ جُرْأَةً وَنَجْدَةً ، فَفَرِحَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ رَأَوْهُ ، فَلَمَّا أَدْرَكَهُ ، قَالَ : ” يَا رَسُولَ اللَّهِ ، جِئْتُ لأَتِّبِعَكَ وَأُصِيبَ مَعَكَ ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ؟ قَالَ : لا ، قَالَ : فَارْجِعْ , فَلَنْ أَسْتَعِينَ بِمُشْرِكٍ ، قَالَ : ثُمَّ مَضَى ، حَتَّى إِذَا كَانَتِ الشَّجَرَةُ أَدْرَكَهُ الرَّجُلُ ، فَقَالَ لَهُ كَمَا قَالَ أَوَّلَ مَرَّةٍ ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا قَالَ أَوَّلَ مَرَّةٍ ، قَالَ : فَارْجِعْ , فَلَنْ أَسْتَعِينَ بِمُشْرِكٍ ، قَالَ : ثُمَّ رَجَعَ فَأَدْرَكَهُ بِالْبَيْدَاءِ ، فَقَالَ لَهُ كَمَا قَالَ أَوَّلَ مَرَّةٍ : تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : فَانْطَلِقْ “

Baihaqiy menggunakan lafaz [qaala] dalam riwayat di atas padahal dari awal digunakan lafaz [qaalat] atau Aisyah berkata. Kemudian perhatikan lafaz “kemudian laki-laki itu pergi, setelah sampai di sebuah pohon” dalam riwayat Muslim digunakan lafaz [qaalat] tetapi dalam riwayat Baihaqiy digunakan lafaz [qaala]. Disini terdapat faedah bahwa lafaz [qaala] dan [qaalat] bermakna sama. Apakah ini dikatakan idraaj [sisipan] dari perawi?. Tentu mereka yang punya pemahaman akan menjawab tidak, tetapi para nashibi telah dikenal sebagi kaum yang hampir-hampir tidak mengerti pembicaraan.


Hadis Kedua:

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْبَرَتْه أَنَّ بَرِيرَةَ جَاءَتْ تَسْتَعِينُهَا فِي كِتَابَتِهَا وَلَمْ تَكُنْ قَضَتْ مِنْ كِتَابَتِهَا شَيْئًا قَالَتْ لَهَا عَائِشَةُ ارْجِعِي إِلَى أَهْلِكِ فَإِنْ أَحَبُّوا أَنْ أَقْضِيَ عَنْكِ كِتَابَتَكِ وَيَكُونَ وَلَاؤُكِ لِي فَعَلْتُ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ بَرِيرَةُ لِأَهْلِهَا فَأَبَوْا وَقَالُوا إِنْ شَاءَتْ أَنْ تَحْتَسِبَ عَلَيْكِ فَلْتَفْعَلْ وَيَكُونَ وَلَاؤُكِ لَنَا فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ابْتَاعِي فَأَعْتِقِي فَإِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ قَالَ ثُمَّ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا بَالُ أُنَاسٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللَّهِ مَنْ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَلَيْسَ لَهُ وَإِنْ شَرَطَ مِائَةَ مَرَّةٍ شَرْطُ اللَّهِ أَحَقُّ وَأَوْثَق.

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Laits dari Ibnu Syihaab dari Urwah bahwa Aisyah mengabarkan kepadanya bahwa Barirah datang meminta tolong kepadaku tentang ketetapan dirinya sedang dia belum menerima ketetapan tersebut. Maka ‘Aisyah [radliallahu 'anha] berkata, kepadanya: “Kembalilah kamu kepada tuanmu. Jika mereka suka aku akan penuhi ketetapanmu dan perwalian kamu ada padaku, maka aku penuhi. Kemudian Barirah menceritakan hal itu kepada tuannya namun mereka menolak dan berkata “Jika dia mau silahkan dia berharap untuk memperolehmu, namun perwalian kamu tetap ada pada kami”. Maka aku menceritakan hal itu kepada Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam]. Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] bersabda “Belilah dan bebaskanlah karena perwalian menjadi milik orang yang membebaskannya”. [qaala] Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri dan bersabda “Mengapa ada diantara kalian membuat persyaratan dengan syarat-syarat yang tidak ada pada Kitabullah. Barangsiapa yang membuat persyaratan yang tidak ada pada Kitab Allah maka tidakberlaku baginya sekalipun dia membuat seratus kali persyaratan. Syarat dari Allah lebih berhak dan lebih kuat [Shahih Bukhari no 2561].

Apakah lafaz [qaala] berarti idraaj [sisipan] dari perawi sebelum Aisyah?. Tentu saja tidak, zahir riwayat menunjukkan bahwa kisah tersebut bersumber dari Aisyah maka lafaz [qaala] bermakna perawi melanjutkan perkataan Aisyah. Buktinya dapat dilihat pada riwayat Shahih Bukhari berikut:

فَقَالَ خُذِيهَا فَأَعْتِقِيهَا وَاشْتَرِطِي لَهُمْ الْوَلَاءَ فَإِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي النَّاسِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَمَا بَالُ رِجَالٍ مِنْكُمْ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَأَيُّمَا شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ فَقَضَاءُ اللَّهِ أَحَقُّ وَشَرْطُ اللَّهِ أَوْثَقُ مَا بَالُ رِجَالٍ مِنْكُمْ يَقُولُ أَحَدُهُمْ أَعْتِقْ يَا فُلَانُ وَلِيَ الْوَلَاءُ إِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ

Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam bersabda] “Ambillah dia lalu bebaskanlah dan ajukanlah persyaratan wala’ kepada mereka karena wala’ menjadi milik orang yang membebaskannya”. ‘Aisyah berkata “Maka kemudian Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] berdiri di hadapan manusia lalu memuji Allah dan mengangungkan-Nya kemudian bersabda ‘amma ba’du mengapakah ada orang diantara kalian membuat persyaratan dengan syarat-syarat yang tidak ada pada Kitabulloh. Syarat apa saja yang tidak ada pada Kitab Allah maka dia bathil sekalipun dengan seratus persyaratan. Ketetapan Allah dan syarat dari Allah lebih kuat. Dan apa alasannya orang-orang diantara kalian berkata “Bebaskanlah dia wahai fulan namun perwaliannya tetap milikku”. Sesungguhnya perwalian menjadi milik orang yang membebaskannya.[Shahih Bukhari no 2563].


Hadis Ketiga:

حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ إِسْحَاقَ ، ثنا عَبْدَةُ ، عَنْ هِشَامٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : ” تَحَجَّرَ كَلْمُ سَعْدٍ بِالنَّزْفِ ، فَدَعَا سَعْدٌ ، فَقَالَ : اللَّهُمَّ تَعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أُجَاهِدَ مِنْ قَوْمٍ كَذَبُوا رَسُولَكَ وَآذَوْهُ وَأَخْرَجُوهُ ، اللَّهُمَّ فَإِنِّي أَظُنُّ إِنْ قَدْ وَضَعْتَ الْحَرْبَ فِيمَا بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ ، فَإِنْ كُنْتَ أَبْقَيْتَ مِنْ حَرْبِ قُرَيْشٍ شَيْئًا فَابْقِنِي لَهُمْ أُجَاهِدْهُمْ فِيكَ ، وَإِنْ كُنْتَ قَدْ وَضَعْتَ الْحَرْبَ فِيمَا بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ فَافْجُرْ بِهَا وَاجْعَلْ مَنِيَّتِي فِيهَا ، قَالَ : فَانْفَجَرَ مِنْ لَيْلَتِهِ فَمَا زَالَ يَسِيلُ حَتَّى مَاتَ

Telah menceritakan kepada kami Harun bin Ishaaq yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdah dari Hisyaam dari ayahnya dari ‘Aisyah yang berkata “Sa’ad sakit dengan perdarahan, maka Sa’d berdoa “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa tidak ada yang lebih aku sukai untuk berjihad di jalan-Mu daripada memerangi kaum yang mendustakan Rasul-Mu dan mengusirnya. Ya Allah, aku mengira bahwa Engkau telah menghentikan perang antara kami dan mereka. Seandainya masih ada perang melawan Quraisy, panjangkanlah umurku supaya aku dapat berjihad melawan mereka di jalan-Mu. Sekiranya memang benar Engkau telah menghentikan perang, pancarkanlah lukaku ini dan matikanlah aku karenanya. [qaala] maka lukanya terus mengalirkan darah sampai ia meninggal. [Musnad ‘Aisyah Ibnu Abi Daud no 66].

Apakah lafaz [qaala] dalam riwayat di atas bermakna idraaj [sisipan] dari perawi sebelum Aisyah?. Jawabannya tidak, riwayat tersebut juga disebutkan Bukhari dalam Shahih-nya yaitu:

قَالَ هِشَامٌ فَأَخْبَرَنِي أَبِي عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ سَعْدًا قَالَ اللَّهُمَّ إِنَّكَ تَعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ أَحَبَّ إِلَيَّ أَنْ أُجَاهِدَهُمْ فِيكَ مِنْ قَوْمٍ كَذَّبُوا رَسُولَكَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَخْرَجُوهُ اللَّهُمَّ فَإِنِّي أَظُنُّ أَنَّكَ قَدْ وَضَعْتَ الْحَرْبَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ فَإِنْ كَانَ بَقِيَ مِنْ حَرْبِ قُرَيْشٍ شَيْءٌ فَأَبْقِنِي لَهُ حَتَّى أُجَاهِدَهُمْ فِيكَ وَإِنْ كُنْتَ وَضَعْتَ الْحَرْبَ فَافْجُرْهَا وَاجْعَلْ مَوْتَتِي فِيهَا فَانْفَجَرَتْ مِنْ لَبَّتِهِ فَلَمْ يَرُعْهُمْ وَفِي الْمَسْجِدِ خَيْمَةٌ مِنْ بَنِي غِفَارٍ إِلَّا الدَّمُ يَسِيلُ إِلَيْهِمْ فَقَالُوا يَا أَهْلَ الْخَيْمَةِ مَا هَذَا الَّذِي يَأْتِينَا مِنْ قِبَلِكُمْ فَإِذَا سَعْدٌ يَغْذُو جُرْحُهُ دَمًا فَمَاتَ مِنْهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

Hisyam berkata Ayahku telah mengabarkan kepadaku dari ‘Aisyah bahwa Sa’ad berkata; Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa tidak ada yang lebih aku sukai untuk berjihad di jalan-Mu daripada memerangi kaum yang mendustakan Rasul-Mu shallallahu ‘alaihi wasallam dan telah mengusir beliau. Ya Allah, aku mengira bahwa Engkau telah menghentikan perang antara kami dan mereka. Seandainya masih ada perang melawan Quraisy, panjangkanlah umurku supaya aku dapat berjihad melawan mereka di jalan-Mu. Sekiranya memang benar Engkau telah menghentikan perang, pancarkanlah lukaku ini dan matikanlah aku karenanya. Maka memancarlah darah dari dadanya. Dan tidak ada yang mencengangkan mereka saat dimasjid di dalam tenda bani Ghifar, kecuali darah yang mengalir. Mereka berkata “wahai penghuni tenda, apakah yang datang kepada kami ini dari arah kalian?”. Ternyata luka Sa’ad menyemburkan darah lalu dia meninggal karena lukanya itu. Semoga Allah meridlainya. [Shahih Bukhari no 4122].

Riwayat Bukhari di atas menunjukkan dengan jelas bahwa lafaz [qaala] pada riwayat Ibnu Abi Daud sebenarnya masih termasuk bagian dari cerita Aisyah [radiallahu ‘anha]. [qaala] tersebut bermakna perawi melanjutkan cerita atau perkataan Aisyah [radiallahu ‘anha].


Hadis Keempat:

عَنْ ابْنِ شِهَابٍ حَدَّثَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رِفَاعَةَ الْقُرَظِيَّ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ فَبَتَّ طَلَاقَهَا فَتَزَوَّجَتْ بَعْدَهُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزَّبِيرِ فَجَاءَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ رِفَاعَةَ فَطَلَّقَهَا آخِرَ ثَلَاثِ تَطْلِيقَاتٍ فَتَزَوَّجْتُ بَعْدَهُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزَّبِيرِ وَإِنَّهُ وَاللَّهِ مَا مَعَهُ إِلَّا مِثْلُ الْهُدْبَةِ وَأَخَذَتْ بِهُدْبَةٍ مِنْ جِلْبَابِهَا قَالَ فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَاحِكًا فَقَالَ لَعَلَّكِ تُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ لَا حَتَّى يَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ وَتَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَأَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ جَالِسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخَالِدُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ جَالِسٌ بِبَابِ الْحُجْرَةِ لَمْ يُؤْذَنْ لَهُ قَالَ فَطَفِقَ خَالِدٌ يُنَادِي أَبَا بَكْرٍ أَلَا تَزْجُرُ هَذِهِ عَمَّا تَجْهَرُ بِهِ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dari Ibnu Syihab yang berkata telah menceritakan kepadaku Urwah bin Zubair bahwa ‘Aisyah istri Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] telah mengabarkan kepadanya bahwa Rifa’ah Al Qurazhiy telah menceraikan istrinya, setelah itu istrinya menikah dengan Abdurrahman bin Az Zabiir, kemudian ia datang kepada Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam]. Aku [Aisyah] berkata wahai Rasulullah, sesungguhnya ia pernah menjadi istri Rifa’ah, kemudian ia menceraikannya dengan talak tiga. Setelah itu, ia menikah dengan Abdurrahman bin Az Zabir, dan dia, demi Allah sesuatu yang ada padanya seperti ujung kain yang ini, sambil mengambil ujung jilbabnya. [qaala] maka Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] tersenyum sambil bersabda “sepertinya kamu ingin kembali kepada Rifa’ah, itu tidak mungkin, sampai Abdurrahman merasakan madumu dan kamu merasakan madunya”. Waktu itu, Abu Bakar sedang duduk di samping Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] dan Khalid bin Sa’id bin Al ‘Ash duduk di samping pintu, dia tidak di izinkan masuk. [qaala] Maka Khalid menyeru Abu Bakar, kenapa kamu tidak menghardik wanita itu yang berkata dengan keras di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? [Shahih Muslim no 1433].

Perhatikan lafaz [qaala] sebelum lafaz “maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersenyum dan bersabda”. Apakah lafaz itu berarti idraaj [sisipan] perawi padahal hadis itu adalah kisah yang diceritakan Aisyah. Begitu pula lafaz [qaala] sebelum lafaz “maka Khalid menyeru Abu Bakar”, apakah itu idraaj dari perawi bukan lafaz Aisyah?. Tentu saja tidak, lafaz [qaala] dan [qaalat] bermakna sama, perhatikan lafaz Bukhari dalam kisah istri Rifa’ah ini yaitu riwayat Aisyah yang sama hanya saja dengan lafaz:

قَالَ وَأَبُو بَكْرٍ جَالِسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَابْنُ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ جَالِسٌ بِبَابِ الْحُجْرَةِ لِيُؤْذَنَ لَهُ فَطَفِقَ خَالِدٌ يُنَادِي أَبَا بَكْرٍ يَا أَبَا بَكْرٍ أَلَا تَزْجُرُ هَذِهِ عَمَّا تَجْهَرُ بِهِ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

[qaala] dan Abu Bakar duduk di samping Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Ibnu Sa’iid bin ‘Aash duduk di depan pintu kamar supaya diizinkan masuk maka Khalid menyeru Abu Bakar “wahai Abu Bakar mengapa kamu tidak menghardik wanita ini yang berkata keras di sisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] [Shahih Bukhari no 6084].

Bukhari meriwayatkan perkataan Aisyah ini dengan lafaz [qaala] sedangkan Muslim meriwayatkan perkataan Aisyah dengan lafaz [qaalat] silakan perhatikan riwayat berikut:

عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ جَاءَتْ امْرَأَةُ رِفَاعَةَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كُنْتُ عِنْدَ رِفَاعَةَ فَطَلَّقَنِي فَبَتَّ طَلَاقِي فَتَزَوَّجْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزَّبِيرِ وَإِنَّ مَا مَعَهُ مِثْلُ هُدْبَةِ الثَّوْبِ فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَتُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ لَا حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ قَالَتْ وَأَبُو بَكْرٍ عِنْدَهُ وَخَالِدٌ بِالْبَابِ يَنْتَظِرُ أَنْ يُؤْذَنَ لَهُ فَنَادَى يَا أَبَا بَكْرٍ أَلَا تَسْمَعُ هَذِهِ مَا تَجْهَرُ بِهِ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dari Az Zuhri dari ‘Urwah dari ‘Aisyah yang berkata suatu ketika istri Rifa’ah menemui Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] dia berkata “aku adalah istri Rifa’ah, kemudian dia menceraikanku dengan talak tiga, kemudian aku menikah dengan Abdurrahman bin Az Zabiir, tapi sesuatu yang ada padanya seperti ujung kain”. Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] tersenyum mendengarnya, dan berkata “Apakah kamu ingin kembali kepada Rifa’ah? itu tidak mungkin, sebelum kamu merasakan madunya dan dia merasakan madumu”. ‘Aisyah berkata dan Abu Bakar berada di samping Rasulullah, sedangkan Khalid berada di pintu sedang menunggu untuk diizinkan, maka dia berseru “Wahai Abu Bakar, apakah kamu tidak mendengar perempuan ini berkata dengan keras di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?” [Shahih Muslim no 1433].

Contoh-contoh di atas sudah lebih dari cukup sebagai bukti bahwa lafaz [qaala] dan [qaalat] bermakna sama yaitu bagian dari riwayat Aisyah bukan idraaj [sisipan] dari perawi sebelum Aisyah.


Pembahasan Syubhat Nashibi Atas Kemarahan Sayyidah Fathimah.

Selain menyebarkan syubhat pada kedudukan hadis “kemarahan Fathimah”, nashibi juga membuat syubhat untuk mendistorsi makna hadis tersebut. Ia mengatakan kalau kemarahan Fathimah itu bersifat sementara dan manusiawi lantaran kecewa karena penolakan Abu Bakar namun setelah itu Sayyidah Fathimah menerima penjelasan Abu Bakar sebagai bentuk taslim-nya terhadap sabda Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Ada satu hal yang perlu para pembaca perhatikan nashibi itu mengatakan bahwa kemarahan Sayyidah Fathimah itu terjadi lantaran Abu Bakar menolak permintaan Sayyidah Fathimah. Bukankah nampak jelas dalam hadis shahih bahwa alasan penolakan Abu Bakar karena berdasarkan hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] “Kami tidak mewariskan”. Apakah masuk akal Sayyidah Fathimah marah kepada Abu Bakar jika Beliau memang mengakui kebenaran hadis tersebut?. Bukankah Ahlul Bait [Sayyidah Fathimah] adalah orang yang selalu bersama Al Qur’an dan bukankah Al Qur’an mengatakan:

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيماً

Maka demi Tuhanmu, mereka [pada hakikatnya] tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya [QS An Nisa : 65].

Jika merasa berat hati kepada keputusan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] saja tidak diperbolehkan maka apalagi menyikapinya dengan marah. Penjelasan yang paling mungkin adalah Sayyidah Fathimah tidak mengakui kebenaran hadis yang disampaikan Abu Bakar. Nashibi itu berhujjah dengan riwayat berikut

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ، وَسَمِعْتُهُ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ، عَنِ الْوَلِيدِ بْنِ جُمَيْعٍ، عَنْ أَبِي الطُّفَيْلِ، قَالَ: لَمَّا قُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَتْ فَاطِمَةُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ: أَنْتَ وَرِثْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمْ أَهْلُهُ؟ قَالَ: فَقَالَ: لَا، بَلْ أَهْلُهُ، قَالَتْ: فَأَيْنَ سَهْمُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَطْعَمَ نَبِيًّا طُعْمَةً، ثُمَّ قَبَضَهُ جَعَلَهُ لِلَّذِي يَقُومُ مِنْ بَعْدِهِ “، فَرَأَيْتُ أَنْ أَرُدَّهُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ، قَالَتْ: فَأَنْتَ، وَمَا سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْلَمُ

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah. Abdullah berkata dan aku mendengarnya [juga] dari ‘Abdullah bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail dari Walid bin Jumai’ dari Abu Thufail yang berkata “ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat, Fathimah mengirim utusan kepada Abu Bakar yang pesannya “engkau yang mewarisi Rasulullah atau keluarganya?”. Abu Bakar menjawab “bukan aku tapi keluarganya”. Sayyidah Fathimah berkata “dimana bagian Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]?”. Abu Bakar berkata “aku mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla jika memberi makan seorang Nabi kemudian ia wafat maka dijadikan itu untuk orang yang bertugas setelahnya, maka aku berpendapat untuk menyerahkannya kepada kaum muslimin”. Sayyidah Fathimah berkata “engkau dan apa yang engkau dengar dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah lebih tahu” [Musnad Ahmad 1/4 no 14, Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya hasan perawinya perawi tsiqat perawi Bukhari dan Muslim kecuali Walid bin Jumai’ ia termasuk perawi Muslim].

Nashibi berhujjah dengan riwayat ini tetapi anehnya ia tidak bisa memahami karena memang akalnya tidak punya kemampuan dalam memahami riwayat atau dalam kasus ini adalah tidak paham bahasa manusia. Kalau teman anda mengatakan kepada anda “siapakah yang berhak mewarisi ayahku, engkau atau keluarga ayahku?”. Anda menjawab “tentu saja keluarga ayahmu”. Orang dari sudut bumi manapun jika berpikiran waras akan paham bahwa anda mengakui kalau keluarga teman andalah yang mewarisi ayahnya.

Namun karena pengaruh kebencian dan hawa nafsu ada sekelompok manusia bermental nashibi yang mengalami kekacauan pemahaman terutama dalam hal bahasa yang sederhana. Nashibi itu berkata:

Jawaban pertama yang dikatakan Abu Bakr itu terkait hukum umum bahwa jika ada seorang meninggal, maka hartanya diwarisi oleh anak dan keluarganya. Itulah yang nampak pada dialog dalam riwayat Abu Hurairah.

Kelucuan pertama, nashibi ini suka meloncat-loncat dalam memahami suatu riwayat. Bukankah yang sedang ia bahas adalah riwayat Abu Thufail di atas lantas kenapa buru-buru ia meloncat ke riwayat Abu Hurairah. Kita katakan padanya perhatikan terlebih dahulu hadis Abu Thufail yang anda kutip. Sayyidah Fathimah bertanya pada Abu Bakar:

: أَنْتَ وَرِثْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمْ أَهْلُهُ؟

“Engkau yang mewarisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] ataukah keluarganya?”.

Mari perhatikan para pembaca, Apakah Sayyidah Fathimah sedang membicarakan hukum warisan secara umum?. Ooh tidak, Sayyidah Fathimah langsung ke pokok masalahnya yaitu siapa yang mewarisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Lantas apa jawaban Abu Bakar.

لَا، بَلْ أَهْلُهُ

“tidak, bahkan yang mewarisinya adalah keluarganya”.

Apakah jawaban Abu Bakar ini tentang hukum waris secara umum?. Ooh tidak, Abu Bakar dengan sharih [tegas] menyatakan bahwa yang mewarisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah keluarganya.

Sekarang kalau kita bicara masalah hukum waris secara umum bahwa yang mewarisi seseorang adalah keluarganya maka kita tanya pada para pembaca berdasarkan dialog Abu Bakar dan Sayyidah Fathimah di atas, apakah hukum waris secara umum dimana seseorang diwarisi keluarganya berlaku pada diri Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]?. Kita sederhanakan lagi bahasanya, jika hukum waris umum berlaku pada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka keluarga Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang akan mewarisi Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Tentu saja berdasarkan jawaban Abu Bakar “bahkan yang mewarisinya adalah keluarganya” maka itu berarti hukum waris secara umum juga berlaku atas diri Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Adapun jawaban kedua diberikan setelah Abu Bakr benar-benar paham akan maksud Faathimah radliyallaahu ‘anhaa yang akan meminta bagian harta warisan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari harta fai’ di Fadak dan Khaibar

Sebenarnya secara tidak langsung nashibi itu sedang merendahkan IQ Abu Bakar yang tidak bisa menangkap maksud pertanyaan Sayyidah Fathimah. Apakah sebelumnya Abu Bakar tidak paham maksud pertanyaan “engkaukah yang mewarisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] atau keluarganya?”.

Kira-kira lafaz mana sih yang tidak dipahami Abu Bakar. Apakah kata “engkaukah”. Ya sebodoh-bodohnya orang akan paham maksud kata “engkau”. Apakah pada kata “Rasulullah”?. Kalau Abu Bakar tidak paham dengan kata ini mungkin lebih baik ia tidak perlu menyandang gelar sahabat Nabi. Apakah pada kata “keluarganya”?. Kita yakin Abu Bakar itu punya keluarga maka sudah pasti ia paham apa makna keluarga.

Mungkin yang belum dipahami Abu Bakar itu adalah lafaz “mewarisi”, lha kalau memang belum paham ya mbok ditanya lebih jelas bukannya langsung menjawab. Lagipula serumit apakah kata “mewarisi”. Mungkin akan ada yang bersilat lidah bahwa mewarisi itu tidak selalu dinisbatkan pada harta tetapi juga pada ilmu dan hikmah. Tetap saja jawaban Abu Bakar “tidak, bahkan keluarganya yang mewarisinya” merujuk pada mewarisi harta dimana orang yang meninggal hartanya akan diwarisi keluarganya dalam hal ini jika Rasulullah meninggal yang mewarisinya adalah keluarganya. Jadi dari awal Abu Bakar sudah paham makna pertanyaan Sayyidah Fathimah sehingga ia bisa langsung menjawabnya. Sekarang perhatikan pertanyaan Sayyidah Fathimah selanjutnya:

: فَأَيْنَ سَهْمُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Dimanakah bagian harta Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”

Pertanyaan Sayyidah Fathimah ini menunjukkan bahwa dalam dialog tersebut Sayyidah Fathimah memahami jawaban Abu Bakar sebelumnya sebagai pengakuan Abu Bakar kalau keluarga Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang mewarisi harta Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Sehingga Beliau langsung bertanya perihal harta Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam]. Apa jawaban Abu Bakar? Inilah dia.

: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَطْعَمَ نَبِيًّا طُعْمَةً، ثُمَّ قَبَضَهُ جَعَلَهُ لِلَّذِي يَقُومُ مِنْ بَعْدِهِ

Aku mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla jika memberi makan seorang Nabi suatu makanan kemudian ia wafat maka dijadikan itu untuk orang yang bertugas setelahnya.

Kita tanya pada para pembaca, apakah ada bagian dari hadis ini yang menyatakan bahwa Nabi tidak mewariskan atau apa yang Beliau tinggalkan adalah sedekah?. Tidak ada, jadi hadis di atas tidaklah menafikan hak ahli waris Nabi. Intinya jika Allah memberikan bagian makanan kepada Nabi maka jika Nabi wafat yang berhak atas makanan itu adalah orang yang bertugas setelahnya tetapi hal ini tidak lantas menelantarkan ahli waris Beliau sehingga ahli waris-Nya tidak akan mendapat apa-apa. Hukum Allah sangat jelas dalam Al Qur’an dan itulah yang dipahami oleh Sayyidah Fathimah bahwa ahli waris juga berhak atas harta Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Abu Bakar sendiri yang membawakan hadis di atas mengakui hak ahli waris Nabi.

Sayyidah Fathimah tidaklah menolak hadis Abu Bakar yang ini bahwa “ada hak atau bagian orang yang bertugas setelah Nabi dalam harta milik Nabi”. Dalam pandangan Sayyidah Fathimah ahli waris berhak atas harta Nabi dan berdasarkan hadis Abu Bakar ternyata orang yang bertugas setelah Nabi juga punya hak atas harta milik Nabi. Inilah yang dipahami dalam hadis Abu Thufail.

Hadis Abu Thufail ini berbeda dengan hadis Aisyah dan Abu Hurairah dimana Sayyidah Fathimah meminta warisan Nabi dan Abu Bakar berkata bahwa para Nabi tidak mewariskan, semua yang ditinggalkan adalah sedekah. Kedua hadis yang disampaikan Abu Bakar adalah dua hadis yang berbeda maknanya.

Hadis “Nabi tidak mewariskan” menafikan hak ahli waris Nabi maka itu berarti keluarga Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mewarisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Hal ini bertentangan dengan pengakuan Abu Bakar sebelumnya dalam hadis Abu Thufail.

Hadis “Nabi tidak mewariskan dan semua yang ditinggalkan adalah sedekah” menunjukkan bahwa harta Nabi adalah untuk kaum muslimin dan ini marfu’ dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Tetapi pada hadis Abu Bakar riwayat Abu Thufail, yang berhak atas bagian Nabi itu adalah orang yang bertugas setelahnya. Dan Abu Bakar berkata:

“، فَرَأَيْتُ أَنْ أَرُدَّهُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ،

Maka aku berpendapat atau berpandangan untuk mengembalikannya kepada kaum muslimin

Nampak bahwa “harta tersebut untuk kaum Muslimin” adalah pendapat atau pandangan Abu Bakar padahal dalam hadis riwayat Aisyah Abu Bakar dengan jelas memarfu’kan itu kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Kedua hadis yang berbeda menunjukkan bahwa peristiwa yang diriwayatkan Abu Thufail berbeda dengan peristiwa yang diriwayatkan Aisyah. Kisah Abu Thufail terjadi sebelum Kisah Aisyah dengan alasan:
1. Pada riwayat Abu Thufail, Abu Bakar mengakui bahwa keluarga Rasulullah yang mewarisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sangat tidak mungkin kalau hal ini diucapkan setelah Abu Bakar menyatakan Nabi tidak mewariskan.
2. Jika Sayyidah Fathimah telah mendengar hadis Abu Bakar [dalam riwayat Aisyah] maka sangat tidak mungkin Sayyidah Fathimah bertanya kembali pada Abu Bakar “engkau yang mewarisi Rasulullah atau keluarganya?”.
3. Dalam kisah Aisyah dinyatakan bahwa Sayyidah Fathimah marah dan tidak berbicara kepada Abu Bakar sampai Beliau wafat maka tidak mungkin kisah Aisyah terjadi sebelum kisah Abu Thufail.

Ketiga poin di atas menunjukkan bahwa Kisah Abu Thufail dimana Abu Bakar mengakui bahwa keluarga Rasulullah yang mewarisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] terjadi sebelum kisah Aisyah dimana Abu Bakar menyatakan hadis Nabi tidak mewariskan.

Kisah Abu Thufail dan Kisah Aisyah diriwayatkan dengan sanad yang shahih maka yang diperlukan adalah menggabungkan keduanya. Tentu saja penggabungan keduanya tidak dengan seenak perut seperti yang dinyatakan oleh nashibi. Penggabungan tersebut harus dengan dasar yang jelas dan sesuai dengan kedua hadis tersebut.

Penggabungan kedua kisah tersebut menunjukkan bahwa pada awalnya Sayyidah Fathimah datang kepada Abu Bakar atau mengirim utusan [sebagaimana yang nampak dalam riwayat] dan pada saat itu Abu Bakar mengakui bahwa yang mewarisi Nabi adalah keluarganya hanya saja Abu Bakar menyampaikan hadis bahwa orang yang bertugas setelah Nabi berhak atas bagian [makanan] yang diberikan Allah untuk Nabi. Dan Abu Bakar sendiri berpendapat untuk mengembalikannya kepada kaum muslimin. Sayyidah Fathimah menerima hal ini tetapi bukan berarti ahli waris Nabi tidak memiliki hak sedikitpun atas harta Nabi maka kali kedua ia meminta kembali warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yaitu riwayat Aisyah.

Pada kali kedua, Abu Bakar menolak permintaan Sayyidah Fathimah dengan membawakan hadis “Nabi tidak mewariskan”. Berbeda dengan sebelumnya dimana Sayyidah Fathimah membenarkan hadis Abu Bakar kali ini Sayyidah Fathimah marah dan tidak mau berbicara dengan Abu Bakar sampai Beliau wafat. Hal ini disebabkan Sayyidah Fathimah tidak mengakui hadis Nabi tidak mewariskan. Alasannya memang tidak nampak jelas tetapi bisa diperkirakan:
1. Mungkin karena sebelumnya Abu Bakar telah mengakui bahwa keluarga Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang mewarisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] lantas sekarang Abu Bakar malah menentang perkataannya sendiri.
2. Mungkin karena Sayyidah Fathimah beranggapan hadis tersebut bertentangan dengan hukum waris yang jelas dalam Al Qur’anul Karim dan Beliau sebagai ahlul bait adalah orang yang selalu bersama Al Qur’an dan orang yang seharusnya paling mengetahui jika memang ada hadis seperti itu.

Apapun alasannya yang jelas Sayyidah Fathimah menampakkan kemarahan setelah mendengar penjelasan Abu Bakar soal hadis Nabi tidak mewariskan. Mungkin nashibi itu akan berkata kami mendustakan hadis shahih.

Kami jawab : dalam hal ini kami berpegang pada Al Qur’anul Karim dan hadis shahih bahwa ahlul bait adalah pedoman bagi umat termasuk pedoman bagi Abu Bakar. Ditambah lagi dengan hadis kemarahan Fathimah yang adalah kemarahan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Intinya kemarahan Fathimah juga termasuk hujjah seperti halnya kemarahan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Penafsiran kami dalam hal ini adalah Abu Bakar keliru dalam pendengarannya atau pemahamannya terhadap hadis tersebut tentu kami tidak akan menyatakan bahwa Abu Bakar berdusta atas Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Kami menghormati Abu Bakar dan kejujurannya tetapi walaupun begitu Beliau tetap manusia yang bisa salah. Nashibi itu berkata:
Mengapa ketika ia mengkritik Abu Bakr ia tidak mengkritik Faathimah ? (o iya lupa, haram hukumnya mengkritik Faathimah, karena ia harus benar apapun keadaannya, dan lawannya harus salah apapun keadaannya). Kritikannya terhadap Abu Bakr secara tidak langsung merendahkan IQ Faathimah yang tidak bisa menangkap unsur manipulasi hadits yang dilakukan Abu Bakr, yang kemudian baru ditangkap oleh orang Raafidlah itu ratusan tahun setelah wafatnya. Sungguh menjijikkan ! Bodoh sekali Faathimah itu menurut logika orang Raafidlah itu.

Bagian mana dari kritikan kepada Abu Bakar yang ia maksud merendahkan IQ Sayyidah Fathimah?. Inilah akibatnya jika kebodohan bercampur dengan kebencian plus hawa nafsu. Jika diri sendiri yang bodoh tolong jangan menisbatkan pada orang lain apa lagi mengandaikannya pada semulia-mulia wanita Sayyidah Fathimah.

Silakan pembaca perhatikan pembahasan kami terhadap riwayat Abu Thufail dan riwayat Aisyah adakah kami menunjukkan atau mengisyaratkan kebodohan Abu Bakar atau Sayyidah Fathimah?. Tidak ada, justru perkataan nashibi itu yang menunjukkan kejahilannya.

Bagaimana mungkin lafaz khusus keluarga Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mewarisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] ditafsirkan Abu Bakar sedang membicarakan kaidah umum waris bukan untuk Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Nashibi itu sedang menunjukkan bahwa Abu Bakar jahil atau bodoh dalam bahasa manusia pada umumnya. Jika memang yang dibicarakan kaidah umum maka Abu Bakar akan berkata “seseorang memang diwarisi oleh keluarganya tetapi tidak untuk Rasulullah karena Beliau tidaklah diwarisi apa yang ia tinggalkan adalah sedekah”. Tetapi faktanya dengan jelas Abu Bakar menjawab “tidak bahkan keluarganya yang mewarisinya”.

Nashibi itu membawakan distorsi makna yang lain yaitu dengan mengatakan bahwa sikap meng-hajr atau berhenti berbicara kepada Abu Bakar bukan berarti berhenti total tetapi tidak berbicara dalam masalah itu hingga wafat. Nashibi itu membawakan sebagian lafaz yang ia pikir dapat mendukung hujjahnya

فَقَالَ لَهُمَا أَبُو بَكْرٍ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : لا نُورَثُ ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَذَا الْمَالِ ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لا أَدَعُ أَمْرًا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُهُ ، إِلا صَنَعْتُهُ ، قَالَ : فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى مَاتَتْ ، فَدَفَنَهَا عَلِيٌّ لَيْلا ، وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ

Maka Abu Bakar berkata kepada keduanya “Aku mendengar Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] bersabda ‘Kami tidak diwarisi dan semua yang kami tinggalkan adalah shadaqah’. Dan hanyalah keluarga Muhammad [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] makan dari harta ini. Dan sesungguhnya demi Allah aku tidak akan meninggalkan perkara yang aku lihat melakukannya, kecuali aku akan melakukannya juga”. [qaala] “maka dalam hal itu Faathimah meng-­hajr Abu Bakr dan tidak berbicara dengannya hingga wafat, Ali menguburkannya di waktu malam dan tidak memberitahukan kepada Abu bakar [Mushannaf 'Abdurrazaq no 9774].

Lafaz yang dijadikan hujjah nashibi itu adalah “Falam tukallimhu fii dzalika hatta maatat”. Nashibi mengartikannya sebagai tidak berbicara tentang masalah warisan sampai wafat. “Fii dzalika” diartikan nashibi sebagai “masalah warisan”. Ini termasuk distorsi dalam mengartikan lafaz riwayat.

Lafaz “fii dzalika” dalam kalimat bukan lafaz yang berdiri sendiri melainkan kata ganti yang menerangkan sesuatu hal yang telah disebutkan atau dijelaskan pada kalimat sebelumnya. Terkait dengan hadis riwayat ‘Abdurrazaaq di atas, lafaz “fii dzalik” menerangkan tentang reaksi Abu Bakar atas permintaan Sayyidah Fathimah, reaksi itu berupa penolakan Abu Bakar atas permintaan Fathimah dengan membawakan hadis Nabi tidak mewariskan. Jadi makna yang benar lafaz tersebut adalah “maka dalam hal itu [yaitu penolakan Abu Bakar] Fathimah meng-hajr-nya dan tidak berbicara dengannya sampai wafat”. Makna ini serupa dengan lafaz “fii dzalika” pada riwayat Uqail dari Az Zuhriy.

فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْمَالِ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَلَأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ مِنْهَا شَيْئًا، فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ فَهَجَرَتْهُ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ، وَعَاشَتْ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُر

Maka Abu Bakar berkata “Sesungguhnya Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] pernah bersabda ‘Kami tidak diwarisi dan semua yang kami tinggalkan adalah shadaqah’. Hanyalah keluarga Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam makan dari harta ini. sesungguhnya aku demi Allah tidak akan mengubah sedikitpun shadaqah Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] dari keadaan yang ada di zaman Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam]. Dan sungguh aku akan memperlakukan shadaqah tersebut sesuai dengan apa yang dilakukan Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] padanya”. Abu Bakar pun menolak memberikan harta peninggalan tersebut sedikitpun kepada Faathimah. Maka dalam hal itu Faathimah pun marah kepada Abu Bakr dan meng-hajr-nya. Ia tidak berbicara kepada Abu Bakr hingga wafat. Dan ia hidup selama enam bulan setelah wafatnya Nabi [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] [Shahih Bukhari no 4240].

Hal ini menjelaskan mengapa dalam semua riwayat lain dari Az Zuhriy selain sebagian riwayat ‘Abdurrazaq dari Ma’mar dari Aliy tidak menyebutkan lafaz “fii dzalika” karena pada dasarnya lafaz tersebut hanya sebagai kata ganti yang menegaskan penolakan Abu Bakar atas permintaan Sayyidah Fathimah.


Riwayat Shalih bin Kaisaan dari Az Zuhriy

، فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ ، عَلَيْهَا السَّلَام ، فَهَجَرَتْ أَبَا بَكْرٍ ، فَلَمْ تَزَلْ مُهَاجِرَتَهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ

Maka Fathimah [alaihis salaam] menjadi marah dan meng-hajr Abu Bakar dan ia terus meng-hajr Abu Bakar sampai ia wafat


Riwayat Syu’aib bin Abi Hamzah dari Az Zuhriy

فَوَجَدَتْ فَاطِمَةَ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ، فَهَجَرَتْهُ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى مَاتَتْ

Maka dalam hal itu Fathimah marah terhadap Abu Bakar meng-hajr-nya serta tidak berbicara dengannya sampai wafat


Riwayat Uqail bin Khaalid dari Az Zuhriy

فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ فَهَجَرَتْهُ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ

Maka dalam hal itu Sayyidah Fathimah marah kepada Abu Bakar meng-hajr-nya serta tidak berbicara dengannya sampai wafat


Riwayat Hisyam dari Ma’mar dari Az Zuhriy

فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى مَاتَتْ

Maka Fathimah meng-hajrnya dan tidak berbicara dengannya sampai wafat


Riwayat Abdurrazaaq dari Ma’mar dari Az Zuhriy

فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ فَلَمْ تُكَلِّمُهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى مَاتَت

Maka dalam hal itu Fathimah meng-hajr Abu Bakar tidak berbicara dengannya hingga wafat

فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَهَجَرَتْهُ ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى مَاتَتْ

Maka Fathimah [radiallahu ‘anha] marah dan meng-hajrnya serta tidak berbicara dengannya sampai wafat.

Qarinah [petunjuk] lain yang menguatkan lafaz “tidak berbicara dengannya sampai wafat” adalah Sayyidah Fathimah dikuburkan Ali di waktu malam dan tidak memberitahu Abu Bakar hingga ia dikuburkan. Kalau seandainya hubungan Abu Bakar dengan Fathimah baik-baik saja bahkan dikatakan oleh nashibi terjalin persaudaraan erat maka apa yang mencegah Ali memberitahu Abu Bakar tentang wafatnya Sayyidah Fathimah. Qarinah ini menguatkan lafaz “terus meng-hajr-nya hingga wafat”. Secara umum dalam hidup bermasyarakat saja kalau ada anggota keluarga yang wafat, kita pasti menghubungi keluarga, tetangga, sahabat, saudara dan teman-teman kecuali kalau misalnya ada orang yang menzhalimi keluarga kita maka mungkin kita tidak perlu repot-repot memberitahunya.

Sayyidah Fathimah tidak menyendiri dalam penolakannya, diriwayatkan dalam kitab Shahih [riwayat Aisyah] bahwa Imam Ali ketika ia berbaiat kepada Abu Bakar setelah Fathimah wafat [enam bulan], Beliau mengakui bahwa ahlul bait berhak akan harta tersebut karena kekerabatan mereka dengan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].

فَدَخَلَ عَلَيْهِمْ أَبُو بَكْرٍ فَتَشَهَّدَ عَلِيٌّ فَقَالَ إِنَّا قَدْ عَرَفْنَا فَضْلَكَ وَمَا أَعْطَاكَ اللَّهُ وَلَمْ نَنْفَسْ عَلَيْكَ خَيْرًا سَاقَهُ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَكِنَّكَ اسْتَبْدَدْتَ عَلَيْنَا بِالْأَمْرِ وَكُنَّا نَرَى لِقَرَابَتِنَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَصِيبًا

Maka Abu Bakar masuk, Ali mengucapkan syahadat dan berkata “kami mengetahui keutamaanmu dan apa yang telah Allah karuniakan kepadamu, kami tidak dengki terhadap kebaikan yang diberikan Allah kepadamu tetapi kamu telah bertindak sewenang-wenang terhadap kami, kami berpandangan bahwa kami berhak memperoleh bagian karena kekerabatan kami dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] [Shahih Bukhari no 4240 & 4241].

Artinya selepas enam bulan dan setelah mendengar hadis Abu Bakar, Imam Ali masih berpendapat kalau ahlul bait lebih berhak. Kemudian dalam riwayat Malik bin Aus, Imam Ali juga datang kembali ketika Umar menjabat khalifah dan kembali meminta warisan Nabi kepada Umar. Umar berkata

ثم جئتماني جاءني هذا يعني – العباس – يسألني ميراثه من بن أخيه وجاءني هذا – يعني عليا – يسألني ميراث امرأته من أبيها فقلت لكما أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال لانورث ما تركنا صدقة

Kemudian kalian berdua mendatangiku, datang kepadaku dia yakni Abbas meminta kepadaku warisannya dari putra saudaranya dan dia ini datang kepadaku yakni Ali meminta warisan istrinya dari ayahnya. Maka aku berkata kepada kalian berdua bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “kami tidak mewariskan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah” [Mushannaf Abdurrazaq 5/469-470 no 9772 dengan sanad yang shahih]

Hal ini membuktikan bahwa Imam Ali dan Abbas setelah mendengar hadis Abu Bakar mereka tetap meminta warisan Nabi kepada Umar ketika Umar menjabat khalifah, tidak lain ini menunjukkan bahwa Imam Ali dan Abbas tidak mengakui kebenaran hadis Abu Bakar.

Ada petunjuk lain bahwa hadis Abu Bakar keliru yaitu pada lafaz “apa yang kami tinggalkan adalah sedekah”. Diriwayatkan dalam kabar shahih bahwa pakaian-pakaian milik Nabi masih disimpan oleh istri Beliau dan tidak disedekahkan kepada kaum muslimin.

حدثنا شيبان بن فروخ حدثنا سليمان بن المغيرة حدثنا حميد عن أبي بردة قال دخلت على عائشة فأخرجت إلينا إزارا غليظا مما يصنع باليمن وكساء من التي يسمونها الملبدة قال فأقسمت بالله إن رسول الله صلى الله عليه و سلم قبض في هذين الثوبين

Telah menceritakan kepada kami Syaiban bin Farrukh yang berkata telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Mughiirah yang berkata telah menceritakan kepada kami Humaid dari Abi Burdah yang berkata “aku masuk menemui Aisyah dan ia mengeluarkan kepada kami kain kasar buatan Yaman dan baju yang terbuat dari bahan kasar [Abu Burdah] berkata kemudian ia [Aisyah] bersumpah dengan nama Allah bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat dengan memakai kedua pakaian ini [Shahih Muslim 3/1649 no 2080].

Nashibi berpanjang-panjang berhujjah membuat pembelaan atau bantahan tetapi pembelaannya gak nyambung. Intinya ia mau mengatakan kalau pakaian adalah nafkah bagi istri maka itu dikecualikan. Tentu saja ini konyol bin naif, jika anda ingin menafkahi istri anda maka anda akan memberikan kepadanya pakaian khusus buat istri anda bukan pakaian yang sering anda pakai. Intinya bagaimana mungkin pakaian Nabi menjadi nafkah buat istri Nabi. Apa anda memberikan nafkah pakaian istri anda dengan memberikan pakaian yang anda pakai kepada istri anda?. Tolong kalau mau membantah yang cerdas sedikit lah, jangan berpanjang-panjang supaya kelihatan keren padahal gak nyambung.

Dalam masalah Fadak ini kami tidak mempermasalahkan bagaimana Abu Bakar dan Umar memperlakukan harta tersebut. Nampak dalam riwayat shahih bahwa mereka memperlakukan harta tersebut sebagaimana Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] memperlakukannya. Tetapi yang jadi permasalahan disini adalah bagaimana pandangan Ahlul Bait yaitu Sayyidah Fathimah terhadap harta tersebut?.

Sekelompok nashibi yang binasa mengatakan bahwa dengan riwayat kemarahan Fathimah kepada Abu Bakar menunjukkan bahwa Sayyidah Fathimah tamak akan harta warisan. Ini ucapan batil dari orang yang berhati busuk, kami sedikitpun tidak ragu jika harta itu ada di tangan Sayyidah Fathimah atau Imam Aliy maka mereka akan memperlakukannya seperti yang Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] lakukan. Apa nashibi pikir cuma Abu Bakar dan Umar yang mampu mengurus harta itu seperti halnya Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam]?.

Inti permasalahan antara Sayyidah Fathimah dan Abu Bakar tidak terletak pada besar kecilnya harta peninggalan Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] tetapi pada pandangan masing-masing mereka terhadap status harta tersebut. Bagi yang ingin membela Abu Bakar, kami persilakan dan bagi yang ingin membela Sayyidah Fathimah juga kami persilakan. Hal yang menjijikkan adalah ulah nashibi yang berusaha menafikan adanya perselisihan ini dengan berbagai syubhat murahan.

Bagi kami pribadi kebenaran ada pada Sayyidah Fathimah dan pandangan kami ini tegak atas dasar hujjah Al Qur’an dan Al Hadis tidak seperti tuduhan nashibi bahwa kami mendustakan hadis shahih. Jika kami dikatakan mendustakan hadis shahih maka sungguh mereka lebih layak untuk dikatakan mendustakan Al Qur’an dan Hadis. Jika mereka bisa membuat pembelaan maka mengapa kami tidak bisa membuat pembelaan. Dan tidak ada urusannya pandangan kami ini dengan apa yang diyakini Syiah. Kami menegakkan pandangan kami bukan dengan kitab-kitab Syiah dan tidak pernah pula kami menyatakan bahwa kami ini penganut Syiah yang mewakili mazhab Syiah.

Tentu saja sebagai suatu pandangan maka ia bisa benar ataupun salah. kami tidak keberatan jika ada yang bersedia menunjukkan kesalahan pandangan kami, akan kami pelajari setiap masukan yang tertuju kepada kami dan jika memang salah maka kami akan mengakuinya. Begitu pula jika kami terbukti benar maka kami akan mempertahankan kebenaran tersebut meskipun para nashibi penuduh dan pencela itu tidak suka.

Bagi nashibi mungkin masalah ini terkait dengan khayalan mereka yang jika khayalan tersebut diungkapkan dalam bahasa nashibi akan menjadi kalimat “cuma agama nashibi yang mereka anut yang benar sedangkan agama syiah yang mereka cela adalah sesat dan menyesatkan”. Begitu terikatnya mereka dengan waham ini sampai-sampai setiap ada pandangan yang menyelisihi mereka dan sependapat dengan Syiah akan mereka tuduh Syiah yang menyesatkan walaupun pandangan tersebut sebenarnya diungkapkan bukan oleh penganut Syiah. Yah di mata para nashibi, perkara ini bukan lagi soal mencari kebenaran tetapi sudah menjadi bagian dari pembenaran atas tuduhan mereka terhadap mazhab Syiah yang selalu mereka cela.

Kami tutup pembahasan kali ini dengan membawakan riwayat dimana keturunan Aliy bin Abi Thalib yaitu Hasan bin Muhammad bin Aliy bin Abi Thalib mengakui perselisihan yang terjadi antara Sayyidah Fathimah sampai beliau wafat dengan Abu Bakar.

عبد الرزاق عن بن جريج وعمرو بن دينار أن حسن بن محمد أخبره أن فاطمة بنت النبي صلى الله عليه و سلم دفنت بالليل قال فر بها علي من ابي بكر أن يصلي عليها كان بينهما شيء عبد الرزاق عن بن عيينة عن عمرو بن دينار عن حسن بن محمد مثله الا أنه قال اوصته بذلك

‘Abdurrazaaq dari Ibnu Juraij dan ‘Amru bin Diinar bahwa Hasan bin Muhammad mengabarkan kepadanya bahwa Fathimah binti Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dikuburkan Aliy pada malam hari untuk menghindari Abu Bakar menshalatkannya karena diantara mereka berdua ada sesuatu. ‘Abdurrazaaq dari Ibnu Uyainah dari ‘Amru bin Diinar dari Hasan bin Muhammad meriwayatkan seperti itu kecuali bahwa ia berkata “[Fathimah] telah mewasiatkan kepadanya tentang hal itu” [Al Mushannaf ‘Abdurrazaaq 3/521 no 6554-6555].

Riwayat di atas sanadnya shahih hingga Hasan bin Muhammad. Diriwayatkan ‘Abdurrazaaq dengan sanad yaitu dari Ibnu Juraij dan Ibnu Uyainah dari ‘Amru bin Diinar dari Hasan bin Muhammad. Dalam kitab Al Mushannaf tertulis “Ibnu Juraij dan ‘Amru Diinar” ini kemungkinan besar tashif [salah tulis] yang benar adalah “Ibnu Juraij dari ‘Amru bin Diinar” hal ini dikuatkan pada lafaz “bahwa Hasan bin Muhammad mengabarkan kepadanya”. Frase “nya” disana merujuk pada satu orang maka dia adalah ‘Amru bin Diinar apalagi dikenal bahwa Ibnu Juraij termasuk salah satu murid ‘Amru bin Diinar.

Ibnu Juraij adalah ‘Abdul Malik bin ‘Abdul Aziz bin Juraij Al Makkiy seorang tsiqat faqih memiliki keutamaan tetapi melakukan tadlis dan irsal [At Taqrib 1/617]. Sufyan bin Uyainah adalah tsiqat hafizh faqih imam hujjah kecuali mengalami perubahan hafalan di akhir umurnya, dituduh melakukan tadlis tetapi dari perawi tsiqat, termasuk pemimpin thabaqat kedelapan dan ia orang yang paling tsabit dalam riwayat ‘Amru bin Diinar [At Taqrib 1/371]. ‘Amru bin Diinar Al Makkiy adalah seorang yang tsiqat tsabit [At Taqrib 1/734]. Hasan bin Muhammad bin Aliy bin Abi Thalib adalah seorang yang tsiqat faqih [At Taqrib 1/210]. Adz Dzahabiy berkata “ia termasuk ulama ahlul bait” [As Siyaar Adz Dzahabiy 4/131].

Menurut Hasan bin Muhammad, Sayyidah Fathimah telah berwasiat kepada Imam Ali agar menguburkannya di waktu malam sehingga Abu Bakar tidak bisa menshalatkannya. Hasan bin Muhammad mengatakan bahwa hal ini terjadi karena antara Sayyidah Fathimah dan Abu Bakar terjadi sesuatu, dan itu tidak lain perselisihan masalah warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] seperti yang dijelaskan dalam hadis Aisyah.

Bersambung ...

(Scondprince/Syiah-Ali/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: