Kilas balik 8 tahun lalu, Menteri
Pertahanan Juwono Sudarsono kala itumemberi peringatan akan
adanya, adanya penyusupan gerakan radikal ke dalam partai-partai Islam.
Infiltrasi itu bertujuan untuk mendirikan Negara Islamdan menerapkan
syar’iah. Menurut Juwono, gerakan radikal itu bernaung di parpol islam
sambil menunggu momentum radikalisasi. Menhan kemudian meminta parpol
Islam untuk waspada terhadap penyusupan itu.
Atas pernyataannya itu, Menhan menerima
badai protes dari kalangan partai, salah satunya Ketua Umum Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), Tifatul Sembiring. Dia menyebut pernyataan
Menhan itu hanya memberi stigma negatif partai-partai Islam. Dia
menyebut Menhan telah menggunakan cara-cara Orde Baru. “Kalau memang
punya bukti, langsung tunjuk hidung partai mana yang dimaksud,” tantang
Tifatul Sembiring menanggapi pernyataan Menhan Juwono Sudarsono.
Tak heran jika mantan presiden PKS, yang sekarang ini menjabat
sebagai Menkominfo di pemerintahan SBY, bersikap sangat keras terhadap
peringatan Menhan Juwuno tahun 2006. Bersama Hidayat Nur Wahid,
Tifatul adalahpeletak dasar ideologi PKS. Keduanya berasal dari gerakan
Tarbiyah, yang ingin mentransplantasi ideologi politik Ikhwanul Muslimin
dari Mesir dan ideologi keagamaan Wahabi dari Arab Saudi.
Berdirinya PKS berawal
dari kelompok keagamaan yang berbasis di kampus-kampus negeri pada awal
1980-an. Kelompok ini kerap disebut gerakanTarbiyah (pendidikan) atau
Usroh (keluarga). Gerakan ini disebut tarbiyah karena dibangun dengan
kegiatan mentoring atau pendidikan keagamaan oleh kelompok-kelompok yang
dibentuk di sekitar kampus. Setiap kelompok terdiri dari 5-7 orang yang
dibimbing seorang murabbi (mentor) dengan kewajiban saling
menjaga satu sama lain, tak hanya dalam aktifitas belajar tapi juga
dalam aspek kehidupan sehingga seperti keluarga (usroh).
Bahkan, seorang murabbi juga bertugas mencarikan jodoh bagi anggotanya, tentu saja itu dilakukan dengan motif semakin mempersolid usroh tersebut.Karena
mereka berpendapat, jika menikah dengan orang penganut Islam selain
Islam cara mereka, maka dapat dikatakan sesat. Tak mengherankan, jika
dalam banyak kasus, seorang anggota usroh lebih mendengarkan seorangmurabbi dari pada orang tuanya sendiri.
Perkembangan gerakan Tarbiyah di
Indonesia cukup pesat, sehingga dalam tempo sepuluh tahun sejak 1980,
telah menyebar ke seluruh kampus-kampus ternama di Indonesia seperti UI,
IPB, ITB, UGM, Unair, Brawijaya, Unhas dan lain-lain. Kelahiran dua
majalah Tarbiyah, yang terbit akhir tahun 1986, yakni Ummi dan Sabili,
yang menyebarkan pemikiran-pemikiran Ikhwanul Muslimin, menjadi wahana
pembinaan juga sebagai media informasi dan komunikasi pemikiran Tarbiyah
di Indonesia.
Gerakan tarbiyah itu berjalan secara
samar-samar selama rezim Orde Baru yang terkenal totaliter. Pola gerak
itu mencapai titik balik pada momentum politik 1998, di mana semua
kekuatan membuka diri menyambut perubahan iklim politik Indonesia, tak
terkecuali kelompok tarbiyah. Dalam iklim keterbukaan politik yang
permisif terhadap semua bentuk ekspresi ideologi, para aktivis tarbiyah
memutuskan untuk mendirikan Partai Keadilan (PK). Partai berlambang
bulan sabit dan pedang ini dideklarasikan 9 Agustus 1998 di Masjid Al
Azhar Kebayoran baru dengan diikuti puluhan ribu pendukungnya.
Tapi, jangan salah sangka bahwa
keterlibatan dalam pemilu ini adalah bentuk penerimaan terhadap
demokrasi, sama sekali bukan. Bagi mereka, sistem kepartaian,
nasionalisme, atau pun demokrasi, hanyalah alat, cara yang bisa
ditunggangi untuk mencapai tujuan membentuk negara Islam. Mereka
menunggangi demokrasi untuk merebut kekuasaan, hingga nanti berhasil
membuat misi mereka terwujud; Negara Islam. Bagaimana tidak? Azas
Pancasila saja mereka tolak, dianggap sebagai azas sekuler kafir, dan
jika ada anggotanya yang tetap menerima Pancasila, dicap futur (demoralisasi ideologi) hingga murtad bagi yang benar-benar menentang keras.
Niat PKS dengan ideologi politik Ikhwanul
Muslimin ini memainkan peranan ‘playing as friend’, awalnya terlihat
ramah terhadap Pancasila dan Indonesia, namun tujuan mereka sejalan
dengan Hizbut Tahrir. Toh, memang penggagas Hizbut Tahrir adalah
sempalan Ikhwanul Muslimin yang merasa gemas dengan pola ‘berpura-pura’
yang dianggap lambat mencapai tujuan negara Islam.
Kedekatan PKS dan ideologi Ikhwanul
Muslimin memang tak bisa dipungkiri, walaupun mereka menapik adanya
hubungan organisasi mau pun ideologisantara keduanya. Tapi lihat saja
reaksi mereka ketika pimpinan Ikhwanul Muslimin, Moersi digulingkan dari
kursi kepresidenan di Mesir, respon solidaritas PKS sangat massif
melebihi solidaritas mereka terhadap berbagaikekerasan atas umat Islam
di tanah air. Anis Matta, presiden PKS juga terang-terangan menyatakan
bahwa inspirasi-inspirasi Ikhwanul Muslimin memberi kekuatan pada PKS.
Hasan Al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin, berhasil mengubah pembaharuan
dari wacana menjadi gerakan. Dan tak berlebihan, bila inspirasi gerak
itu juga yang terasa dalam denyut Partai Keadilan Sejahtera. Demikian
Anis Matta berkata.
Bahkan Dr. Yusuf Qardhawi, Partai
Keadilan (yang sekarang berganti nama menjadi PKS) adalah perpanjangan
tangan ikhwanul muslimin dari Mesir.
Namun, ikwanul muslimin yang mereka
akomodir sebagai ideologi bukanlah yang ramah terhadap perbedaan, dan
berupaya menjembatani berbagai aliran agama seperti tujuan Hassan Al
Banna. Tokoh yang dipuja PKS adalah Sayyid Quthb, yang pada 1964,
menulis manifesto Ma’alim fi al-Tariq (Petunjuk Jalan). Dalam
pemikirannya, negara wajib menjalankan hukum Islam demi keadilan sosial.
Sehingga jika ada pemerintah Muslim abai terhadap kewajiban
ini, makadianggap berada di luar akidah Islam dan layak diperangi.
Lalu di mana letak Wahabi? Ikhwanul
Muslimin dengan jalan pemikiran Sayyid Quthb dan Wahabi memiliki
keterkaitan dan kepentingan yang sama. Raja Faishal dari Arab Saudi
pernah mengirim surat kepada Presiden Gamal Abdul Nasser agar eksekusi
Sayyid Quthb dibatalkan, walau akhirnya tetap digantung pada 1966.
Bahkan negara Arab Saudi dengan penerapan ajaran Wahabi menjadi
negara pelindung para pelarian Ikhwanul Muslimin dari Mesir pasca
penangkapan tokoh-tokohnya pada masa Presiden Nasser. Memang tak
mengherankan, mengingat Ikhwanul Muslimin dan Wahabi memiliki kesamaan
gagasan, yaitu formalisasi syariah Islam.
Wahabi mengasosiasikan diri sebagai kaum
salaf yang mengharamkan semua bid’ah dan memahami ajaran Islam secara
harfiah (peringatan Maulid, tahlilan, atau ziarah kubur diharamkan) dan
menganggap yang bertentangan dengan mereka adalah kafir. Sedangkan
ikhwanul muslimin bergerak di bidang politik. Karena tujuan untuk
mendirikan negara Islam tak lagi dapat dilakukan seperti cara NII
melalui pemberontakan, tapi dengan merebut kekuasan politik. Jadi jangan
heran jika dalam tubuh PKS ada Hilmi Aminuddin, putera Danu Muhammad
Hasan, salah satu pemimpin gerakan Negara Islam Indonesia, Panglima NII
Jawa dan Madura.
Belajar dari kegagalan cara-cara
pemberontakan itu, kalangan Wahabi ini memanfaatkan alam demokrasi untuk
mendirikan parpol dan merangsek masuk ke dalam birokrasi dan
pemerintahan. Mereka memaksakan aturan agama Islam secara ketat hingga
melanggar hak azasi warga negara yang berbeda keyakinan. Yang lebih
mendekatkan Wahabi dengan Ikhwanul Muslimin adalah ketidaktundukan
mereka terhadap pemerintahan negara, atas nama nasional. Mereka hanya
akan tunduk pada negara dengan syariat Islam, dan setiap upaya mereka
adalah untuk mewujudkan tujuan tersebut.
Dalam mengembangkan sayap dan
pengaruhnya, PKS melakukan infiltrasi ke berbagai ormas, lembaga
pendidikan, instansi pemerintahan dan swasta. Bahkan di kampus-kampus,
mereka memaksakan mentoring dan liqa’ untuk
menyebarkan paham, membuat kesepakatan dengan pihak kampus, agar
mahasiswa tingkat awal yang mendapatkan mata kuliah Agama Islam,
diwajibkan untuk liqa’. Jika tidak mengikuti, maka ancaman
nilai Agama Islam akan buruk dan mempengaruhi masa depan kelulusan
karena mata kuliah wajib.
Jika ini saja bisa dilakukan oleh PKS dan
kroni-kroninya di dalam kampus, maka tudingan Hashim tentang pemecatan
pegawai Kristen di Kementan yang dipimpin oleh kader PKS, juga bukan hal
sulit. Hal itu hanya bagian kecil dari potret bahaya yang menghadang
Indonesia di masa depan, jika PKS telah menancapkan kuku kekuasaannya di
setiap tubuh biroktasi.
Bagi Muhammadiyah, PKS menuggangi amal
usaha, masjid, lembaga pendidikan, dan fasilitas lainnya demi tujuan
politiknya. Penolakan Muhammadiyah terhadap PKS diwujudkan dalam Surat
Keputusan Pimpinan Pusat (SKPP) Muhammadiyah Nomor : 149/Kep/I.0/B/2006.
SKPP menyebut Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai partai politik
yang memanfaatkan Muhammadiyah demi kekuasaan politik. Karena itu SKPP
menyerukan para anggota dan pimpinan Muhammadiyah agar membebaskan diri
dari misi dan tujuan PKS.
Pada 2006, sebuah TK milik Aisyiyah
Muhammadiyah di Prambanan yang telah berdiri 20 tahun hendak diubah
menjadi TK Islam Terpadu. Di belakang rencana itu, ada Hidayat Nur Wahid
yang saat itu menjabat Ketua MPR dan Dewan Pembina dan Pengurus Yayasan
Islamic Centre yang berafiliasi dengan PKS. Tentu saja Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah Jateng keberatan dengan rencana itu. Kasus lain
menunjukkan di mana PKS mengambil alih tanah masjid wakaf Muhammadiyah
ketika HNW membantu membangun fisik masjid di atasnya.
Keberadaam Kelompok Tarbiyah Ikhwanul
Muslimin (PKS) di lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah mulai terkuak
tatkala Farid Setiawan, pengurus Muhammadiyah wilayah Yogyakarta,
menulis sebuah artikel opini di Majalah Suara Muhammadiyah. Dalam
artikel berjudul “Tiga Upaya Mu’alimin dan Mu’alimat” itu Farid
mensinyalir penyusupan agen-agen garis keras di Madrasah Mualimin dan
Muallimat Muhammadiyah Yogyakarta. Kedua lembaga pendidikan menengah ini
dikenal sebagai tempat pengkaderan ulama Muhammadiyah yang langsung
dikelola oleh Pimpinan Pusat.
Di kampus Universitas Muhammadiyah
Surakarta (UMS), gerakan penyusupan paham Wahabi-Ikhwanul Muslimin
demikian kuatnya, terutama lewat Fakultas Teknik, Agama Islam, dan
Program Magister Agama Islam, di mana ketuanya adalah Dewan Syuro PKS,
Dr. Muinudinillah, Lc., lulusan King Abdul Aziz University Arab Saudi.
Yang menarik adalah, kira-kira tiga perempat mahasiswa S2 Studi Islam
itu merupakan kader PKS yang dibawa oleh direkturnya dan mendapatkan
beasiswa dari Kerajaan Arab Saudi.
Penyusupan ideologi PKS di forum-forum pengajian kantor pemerintah
pernah menggegerkan Pemerintah Kota (Pemkot) Depok, Bogor pada tahun
2006, yang saat itu dipimpin Walikota Nur Mahmudi Ismail, mantan
Presiden PKS. Hasbullah rachmad, ketua Fraksi Partai Amanat Nasional
(PAN) Depok, mengungkapkan hal tersebut pada Desember 2006. Hasbullah
memberi contoh bahwa pengajian rutin yang dibawakan guru ngaji dari
Fraksi PKS di kalangan birokrasi Pemkot Depok merupakan bentuk
pemaksaan. “Mereka yang ingin karirnya naik diwajibkan ikut pengajian
PKS. Itu benar-benar terjadi,” kata Hasbullah.
Banyaknya kasus pemaksaan atas cara beragama dan ibadah orang lain,
sesuai dengan prinsip Wahabi, yaitu mengislamkan orang Islam, karena
mereka berkeyakinan hanya Islam cara mereka yang benar, dan lain adalah
kafir. Dalam berbagai pengajian tarbiyah, PKS juga sering
mengingatkanbahwa ada 73 aliran Islam setelah Rasulullah tiada, dan
hanya ada satu yang benar dan masuk surga, yaitu kalangan mereka. Itulah
doktrin dan keyakinan yang disampaikan setiap mentor kepada kadernya.
Alangkah mengherankan dan sangat patut
dipertanyakan, mengapa PKS dengan Ikhwanul Muslimin ala Mesir mereka ini
dapat lestari di Indonesia. Terlebih lagi di panggung politik. PKS
tidak tunduk kepada arahan presiden Indonesia sebagai pimpinan
tertinggi, karena kiblat dari semua perintah yang harus ditaati adalah
induk organisasi mereka di Mesir. Pola ini hampir sama dengan PKI ketika
era 60-an, yang tidak mengakui Pancasila dan tak mengakui kewenangan
presiden terhadap negara, karena mereka hanya tunduk pada aturan
Komintern (Komunis Internasional) di Uni Soviet. Bahkan Presiden
Soekarno pernah menunda penetapan parpol PKI sebagai organisasi politik
legal karena tidak mengakui Pancasila sebagai azas dan memiliki garis
koordinasi dengan Komintern.
Seharusnya, kita belajar dari kesalahan
masa lalu, dengan memeriksa betul apakah organisasi politik di Indonesia
ini memang memiliki agenda nasional untuk mewujudkan keadilan sosial
bagi rakyat Indonesia, ataukah tunduk pada instruksi induk mereka,
sebagai bagian kecil dari jaringan internasional. Tapi Saudara, itulah
PKS, yang senyata-nyatanya mengagumi Osama bin Laden, karena memang
teroris satu itu juga mengagumi pemikiran Sayyid Quthb dan terdidik
sebagai orang Wahabi. Bahkan, Anis Matta sendiri memiliki puisi yang
mengagumi Osama bin Laden sebagai pahlawan yang patut
diangung-agungkan! Begitu pula Aa Gym pernah membacakan balasan surat
dari Osama bin Laden yang berisi sapaan bagi kalangan radikal Islam di
Indonesia, dan apresiasi terhadap kekuatan besar yang sudah digalang di
Indonesia untuk mendukung cara-cara garis keras Osama. Surat itu
dibacakan pada acara Konser Amal Milad Daarut Tauhid di Gedung Sasana
Budaya Ganesha ITB, 15 Oktober 2001.
Lalu mengapa PKS tertarik ikut serta
dengan kubu Prabowo? Karena memang PKS memandanng Prabowo-Hatta sebagai
orang yang potensial untuk ditunggangi. Prabowo mau mengeluarkan
miliaran rupiah sebagai mahar agarPKS menjadi mesin kampanyenya (mulai
dari kampanye putih hingga kampanye hitam). Yang dijual PKS adalah
jaringan kader yang solid dan taklid terhadap pemimpin, sehingga bisa
diandalkan sebagai mesin kampanye. Selain itu, PKS juga melihat Prabowo
sangat mirip Soeharto, dan hanya dalam gaya kepemimpinan model otoriter,
kuasa Ikhwanul Muslimin dan Wahabi akan dapat bertahan tanpa dianggap
terlarang. Toh, PKS memang telah menjadi salah satu partai penguasa,
namun dibutuhkan kuku otoriter agar wahabi dan ikhwanul muslimin tidak
bernasib seperti negara asal gerakan ini; terlarang dan dimusuhi.
Tak salah rupanya, PKS memang sejalan
pikiran dengan Prabowo, mengidolakan Soeharto. Bahkan pada tahun 2008
menjelang pemilu 2009, iklan PKS yang memuja Soeharto dan rasa ‘terima
kasih’ kepada Soeharto menjadi kecaman. Namun sekarang, bak bertemu
pasangan sejoli, Prabowo pun ingin mengangkat Soeharto sebagai pahlawan.
Karena pun, ayah Hilmi Aminuddin merupakan pemberontak NII yang
‘membelot’ dan diampuni oleh pemerintahan Soeharto, kemudian bekerja
sama dengan Ali Moertopo. Bahkan Hilmi pun bisa bersekolah ke Saudi atas
bantuan Ali Moertopo.
Walau bagaimana pun, jika harus menjilat
ludah sendiri, koar-koar menyatakan diri akan keluar jika Prabowo-Hatta
membuka rekening kampanye, toh PKS sudah PASTI tidak akan keluar. Jika
ada yang menjuluki PKS sebagai partai paling oportunis, ya memang,
karena mereka akan demikian adanya, tetap memanfaatkan posisi,
mendompleng kekuasaan, demi terwujudkan impian Negara Islam ala Wahabi
dan Sayyid Quthb.
Kesamaan lain antara PKS dan Prabowo,
yaitu sikap mereka yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
PKS menganggap kelompoknya yang paling benar, yang paling layak meretas
jalan menuju syurga. Karena itu, semua cara halal dilakukan demi tujuan
politik mereka. Meski pun, mereka harus mendzolimi sesama umat islam
sendiri. Berbagai contoh di atas sangat gamblang menunjukkan bagaimana
PKS mendzolimi Muhammadiyah demi tujuan politik mereka. Motif mereka
jelas, melakukan semua cara untuk merebut kepemimpinan umat Islam di
Indonesia.
Lagipula, PKS sama sekali tak takut
dengan Hashim, adiknya Prabowo. Mereka bahkan mengetahui betul bahwa
Hashim memiliki agenda tandingan dengan menguasai komunitas Kristen di
Indonesia. Walaupun telah dipermalukan habis-habisan di forum
internasional oleh Hashim, namun PKS percaya diri tetap bertahan di kubu
Prabowo. Karena yang memegang kartu mati Prabowo Subianto adalah
mereka, elit PKS dengan jaringan internasional itu. Prabowo berkuasa,
maka elit PKS akan mengancam Prabowo dengan aduan pelanggaran HAM ke
mahkamah internasional hingga melibatkan PBB dan AS, melalui akses
Wahabi di Arab Saudi. Yang akan mereka bawa adalah surat keputusan DKP,
yang menyorot Prabowo telah melenceng dari instruksi dengan melibatan
satgas untuk membunuh dan memperkosa masyarakat muslim di Kampung Cot
Keeng, Aceh pada akhir dekade 80-an. Hingga pun sekarang kampung
tersebut dikenal sebagai Kampung Janda.
Hashim dan PKS telah berkonflik, dan
terus akan berkonflik hingga salah satu dari mereka mencapai tujuan. Dan
Prabowo akan memilih menyelamatkan muka dengan mengikuti kemauan PKS
daripada diadukan ke dunia Internasional. Karena memang, jaringan
internasional paling solid, hanya dimiliki oleh PKS dengan ikhwanul
muslimin dan wahabi, bukan Gerindra. Apalagi di internal kubu Prahara,
Prabowo telah ‘diikat’ mereka dengan julukan;Panglima Perang Umat Islam.
Bayangkan, mereka telah mempersiapkan sebuah perang! Perang yang akan
membuat Hashim dikhianati Prabowo. Maka, ketika umat Islam Indonesia
berhasil ditundukkan di bawah kendali PKS, saat itulah mereka akan
menegakkan model daulah islamiyah. Mereka akan terang-terangan
mendeklarasikan dukungan dan menfasilitasi perekrutan pemuda Indonesia
untuk dikirim dan dibai’at sebagai pejuang ISIS, karena perjuangan
inilah yang mereka perjuangkan, membentuk Daulah Islamiyah (negara
Islam), tujuan dari gerakan Wahabi dan Ikhwanul Muslimin – Sayyid Quthb.
Bersiaplah Indonesia! PKS akan menjalankan indoktrinasi secara massal
terhadap semua kepala yang ada di Indonesia. Dan kemudian, konflik
antara PKS dan Hashim akan menjalar ke masyarakat luas. Tragedi Ambon
jilid II sudah mereka persiapkan! Dan kubu yang menyimpan bara konflik
ini adalah kubu Prahara. Inilah ancaman rusuh yang telah santer
terdengar di telinga masyarakat saat ini.
Sumber: http://indonesia.faithfreedom.org/phpbb/viewtopic.php?f=57&t=6021&p=78317
Republika 7 Oktober 2006, diakses pada situs http://www.infoanda.com/followlink.php?lh=WQ4CUlVQVVIE
Indonesia Monitor 2008a, 2008b
Haedar Nashir, Manifestasi Gerakan Tarbiyah : Bagaimana Sikap Muhammadiyah ? Agustus 2006, hlm 15.
Republika 7 Oktober 2006, diakses pada situs http://www.infoanda.com/followlink.php?lh=WQ4CUlVQVVIE
Indonesia Monitor 2008a, 2008b
Haedar Nashir, Manifestasi Gerakan Tarbiyah : Bagaimana Sikap Muhammadiyah ? Agustus 2006, hlm 15.
Arkal Salim dan Azyumardi Azra, “The State and Shari’a in the Perspective of Indonesian Legal Politics,” Introduction dalam buku Shari’a and Politics in Modern Indonesia (Singapore : ISEAS, 2003)
Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009.
Haedar Nashir, Manifestasi Gerakan Tarbiyah : Bagaimana Sikap Muhammadiyah ? Agustus 2006
Abdurahman Wahid (editor) Ilusi Negara Islam , hlm 179.
Abdurahman Wahid (editor) Ilusi Negara Islam , hlm 206-207.
Farid Setiawan, “Tiga Upaya Mu’allimin dan Mu’allimat,” Suara Muhammadiyah, 3 April 2006.
Abdurahman Wahid (editor) Ilusi Negara Islam , hlm 210-211.
Abdurahman Wahid (editor) Ilusi Negara Islam , hlm 217.
Rosihan Anwar, Sebelum Prahara; Pergolakan Politik Indonesia.
Abdurahman Wahid (editor) Ilusi Negara Islam , hlm 206-207.
Farid Setiawan, “Tiga Upaya Mu’allimin dan Mu’allimat,” Suara Muhammadiyah, 3 April 2006.
Abdurahman Wahid (editor) Ilusi Negara Islam , hlm 210-211.
Abdurahman Wahid (editor) Ilusi Negara Islam , hlm 217.
Rosihan Anwar, Sebelum Prahara; Pergolakan Politik Indonesia.
http://www.youtube.com/watch?v=JrH-3sziHAQPKS Ancam Keluar dari Koalisi Jika Prabowo Minta-Minta, Kamis 5 Juni 2014.
SUMBER:
2. http://ahmadsamantho.wordpress.com/2014/07/17/kejamnya-skenario-wahabi-di-belakang-prabowo/
(ahmadsamantho/ABNS)
(ahmadsamantho/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email