Ummu Salamah pernah bercerita bahwa dia
mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Wahai
sekalian manusia!” Ummu Salamah berkata kepada tukang sisirnya: “Coba
tinggalkan aku dahulu!” Tukang sisir itu berkata: “Beliau hanya
memanggil kaum laki-laki, bukan kaum wanita.” Ummu Salamah berkata: “Aku
juga termasuk manusia.” (HR Muslim)[1]
Kaum Wanita Menuntut Kesempatan Belajar.
Abu Sa’id berkata: “Seorang wanita
datang menemui Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu berkata:
‘Wahai Rasulullah, kaum lelaki bisa berangkat mendengarkan ucapanmu
–menurut satu riwayat[2]:
‘Kaum wanita berkata kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Kaum
lelaki mengalahkan kami untuk dapat bersamamu” –Karena itu sediakanlah
olehmu satu hari untuk kami yang pada hari itu kami datang menemuimu
sehingga engkau bisa mengajarkan kepada kami apa yang telah diajarkan
Allah kepadamu.’ Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab:
‘Berkumpullah kalian pada hari ini dan ini.’ Mereka pun berkumpul. Maka
datanglah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ke tempat mereka, lalu
mengajarkan kepada mereka apa yang telah diajarkan Allah kepada beliau.
Selanjutnya beliau bersabda: ‘Tidak seorang pun dari kalian yang
didahului meninggal dunia oleh tiga orang anaknya kecuali mereka itu
akan menjadi dinding pencegah baginya dari api neraka.’ Lalu salah
seorang dari kaum wanita itu bertanya: ‘Kalau hanya dua orang?’ Abu
Sa’id berkata: ‘Pertanyaan ini diulangnya dua kali.’ Lalu Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: ‘Ya, dan dua, dan dua, dan dua.’”
(HR Bukhari dan Muslim)[3]
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Hadits
tersebut menunjukkan betapa antusiasnya istri-istri para sahabat untuk
mempelajari masalah-masalah agama.”[4] Benar,
mereka betul-betul antusias, tidak merasa cukup dengan hanya
mendengarkan hadits-hadits bersama kaum laki-laki di masjid. Bahkan
mereka menuntut disediakannya waktu belajar khusus. Kemudian sikap
antusias mereka ini mendapat restu serta sambutan baik dan segera dari
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Asma Binti Syakl Mengesampingkan Rasa Malu.
Aisyah Radhiyallahu ‘Anh berkata bahwa
Asma binti Syakl bertanya kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
mengenai mandi sehabis haid. Beliau bersabda: “Salah seorang di antara
kamu hendaklah mengambil air dan kapas atau secarik kain, lalu bersuci
dan membaguskan penyuciannya Kemudian tuangkanlah air ke kepala dan
gosoklah dengan keras sampai ke pangkal rambut. Selanjutnya siramkanlah
air ke badanmu dan ambillah kapas yang sudah diberi misk/minyak wangi,
lalu pergunakanlah untuk bersuci dengannya!” Asma bertanya: “Bagaimana
cara bersuci dengan kapas itu?” Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
menjawab: “Subhanallah, kamu pakai kapas itu untuk bersuci.” Kemudian
Aisyah berkata dengan suara yang agak dipelankan: “Kamu pergunakan kapas
itu untuk menyeka bekas darah.” Asma bertanya lagi tentang mandi
jinabah/junub. Beliau menjawab: “Ambillah air, lalu bersucilah dengan
baik atau sebaik mungkin. Kemudian tuangkanlah air ke kepala dan
gosoklah sampai ke pangkal rambut. Kemudian siramkan air ke badan.”
Aisyah berkata: “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Mereka tidak
terhalang oleh rasa malu dalam mendalami masalah agama.” (HR Muslim)[5]
Subai’ah Binti Al Harits Berusaha Menemukan Keyakinan.
Subai’ah binti Al Harits Al Aslamiyyah
mengatakan bahwa dia ketika itu masih di bawah tanggungan (istri) Sa’ad
bin Khaulah yang berasal dari Bani Amir bil Lu’ay. Dia termasuk salah
seorang yang ikut pada Perang Badar. Kemudian dia wafat pada waktu haji
Wada’, sementara Subai’ah ketika itu sedang hamil. Tidak lama kemudian
dia melahirkan. Tatkala masa nifasnya sudah berhenti, dia mulai
berdandan untuk orang-orang yang berminat meminangnya. Lalu datang
menemuinya Abul Basnabil bin Ba’kak –seorang laki-laki dari Bani Abdid
Daar– yang berkata kepada Subai’ah: “Mengapa aku melihatmu sudah mulai
berdandan untuk para peminang? Apakah kamu sudah ingin kawin? Demi
Allah, kamu sebenarnya belum boleh kawin sampai kamu melewati empat
bulan sepuluh hari.” Subai’ah berkata: “Setelah berkata demikian
kepadaku, maka aku segera mengumpulkan pakaianku pada sore harinya, lalu
aku pergi menemui Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk
menanyakan masalah tersebut kepada beliau. Lalu beliau memberiku fatwa
bahwa aku sudah boleh kawin karena aku sudah melahirkan kandunganku, dan
beliau menyuruhku kawin jika aku telah menemukan jodoh yang cocok
bagiku.” (HR Bukhari dan Muslim)[6]
A Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Dari kisah
Subai’ah ini dapat ditarik beberapa kesimpulan. Diantaranya tentang
kecerdasan dan kepintaran Subai’ah. Dia terus memikirkan fatwa yang
disampaikan kepadanya hingga akhirnya dia membawa masalah tersebut
kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mendapatkan
penjelasan yang benar mengenai hukumnya. Begitulah seharusnya yang
dilakukan oleh orang yang merasa ragu mengenai fatwa yang disampaikan
seseorang kepadanya, selama masalah itu masih bisa diijtihadkan. Dia
harus mencari nash yang jelas mengenai masalah itu. Kesimpulan lain,
bahwa seorang wanita boleh menanyakan langsung masalah yang dihadapinya,
walaupun menyangkut masalah yang dia mungkin merasa malu bila diketahui
oleh orang lain.”[7]
Abdullah bin Abbas berkata: “Nabi
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memboncengkan Fadhal bin Abbas di bagian
belakang untanya pada hari-hari kurban. Lalu datang seorang wanita dari
keluarga Khats’am yang cantik sekali dan meminta fatwa kepada Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Wanita itu berkata: ‘Wahai Rasulullah,
sesungguhnya kewajiban Allah atas hambanya untuk melakukan haji datang
pada saat bapakku sudah tua dan tidak mampu lagi duduk tegak di atas
kendaraan. Apakah aku boleh melaksanakan haji untuk menggantikannya?’
Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: ‘Ya, boleh.’” (HR Bukhari
dan Muslim)[8]
Seorang Wanita Mempertahankan Hak Pemilihan Suami.
1. Khansa binti Khidam Mengadu karena Dikawinkan Padahal Dia Tidak Suka.
Qasim mengatakan bahwa seorang perempuan
dari putra Ja’far merasa khawatir akan dikawinkan oleh walinya, padahal
dia tidak suka. Lalu dia mengirim utusan kepada dua orang tua dari
kalangan Anshar untuk menanyakan masalah itu. Kedua orang tua itu adalah
Abdurrahman dan Mujamma’ putra-putra Jariyah. Mereka menjawab: “Kamu
tidak usah khawatir, sesungguhnya Khansa’ binti Khidam pernah dikawinkan
oleh bapaknya, padahal dia tidak senang, lalu hal itu ditolak oleh Nabi
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam’” (HR Bukhari)[9]
2. Barirah Mempertahankan Haknya Meskipun Ada Syafaat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Aisyah, istri Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam, berkata: “Mengenai Barirah terdapat tiga sunnah (hukum).
Pertama, setelah dia dimerdekakan, lalu dia bebas memilih suaminya …”
(HR Bukhari dan Muslim)[10]
Ibnu Abbas mengatakan bahwa suami
Barirah adalah seorang hamba/budak yang bernama Mughits. Aku seolah-olah
melihat Mughits bertawaf di belakang Barirah sambil menangis dan air
matanya mengalir sampai ke jenggotnya. Lalu Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam berkata kepada Abbas: “Wahai Abbas, tidakkah kamu heran melihat
kecintaan Mughits kepada Barirah dan kebencian Barirah kepada Mughits?”
Selanjutnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada Barirah:
“Bagaimana kalau kamu ruju’ padanya?” Barirah menjawab: “Wahai
Rasulullah, apakah ini perintah buatku?” Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam menjawab: “Aku sekadar memberi syafaat (untuk suamimu).” Barirah
berkata: “Aku sudah tidak butuh lagi padanya.” (HR Bukhari)[11]
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Dari
kata-kata Barirah: ‘Apakah ini perintah untukku,’ dapat disimpulkan
bahwa Barirah tahu bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam itu wajib
dituruti. Karena itulah ketika Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
menyampaikan tawaran tadi kepada Barirah, Barirah minta kejelasan apakah
tawaran Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam itu perintah sehingga harus
ditururi, atau cuma masukan pendapat yang bisa dia pilih.” Al Hafizh
Ibnu Hajar menambahkan: “Dari hadits itu dapat pula disimpulkan mengenai
bolehnya tidak menerima masukan pendapat seseorang selama hal itu tidak
menyangkut sesuatu yang wajib. Juga terdapat anjuran kepada hakim untuk
memberikan syafaat (pertolongan) kepada lawan perkara. Tetapi
pertolongan itu jangan sampai menimbulkan mudarat atau berbentuk
paksaan. Juga tidak boleh mengata-ngatai atau memarahi orang yang tidak
menerima masukan pendapat seseorang, betapapun tingginya kedudukan orang
yang memberi masukan pendapat tersebut. Hadits itu juga menunjukkan
sopannya sikap Barirah. Dia tidak terang-terangan menolak syafaat yang
diajukan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Dia cuma berkata: “Aku sudah
tidak butuh lagi padanya.” (maksudnya Mughits)[12]
3. Seorang Wanita Memilih Laki-laki yang Paling Mulia dan Menawarkan Diri kepadanya
Sahal bin Sa’ad mengatakan bahwa seorang
wanita datang menemui Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu
berkata: “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menyerahkan diriku
kepadamu.” Tatkala wanita itu melihat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam tidak memutuskan sesuatu terhadap tawarannya itu, lantas dia
duduk. (HR Bukhari dan Muslim)[13]
Tsabit Al Bannani berkata: “Pada suatu
hari aku duduk di dekat Anas. Di sampingnya ada putrinya. Lalu Anas
berkata: ‘Seorang wanita datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam untuk menawarkan dirinya kepada beliau. Wanita itu berkata “Wahai
Rasulullah, apakah engkau berminat padaku?” Lalu putri Anas menimpali:
“Alangkah sedikitnya rasa malu perempuan itu. Betul-betul buruk,
betul-betul buruk.” Anas berkata: “Dia lebih baik daripadamu. Dia senang
kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu dia menawarkan dirinya
kepada beliau.”” (HR Bukhari)[14]
Al-Bukhari mengemukakan hadits ini dalam
bab seorang wanita menawarkan dirinya kepada seorang laki-laki yang
saleh. Sementara dalam Kitab Fathul Bari disebutkan: “Ibnul Munir
berkata dalam kitab Al Hasyiah: “Di antara kehebatan Bukhari bahwa
ketika dia tahu ada khushushiah/kekhususan dalam kisah seorang wanita
yang menyerahkan dirinya ini, dia mencoba meng-istinbath hadits tersebut
untuk perkara yang bukan khushushiah. Artinya, bahwa seorang wanita
diperbolehkan menawarkan dirinya kepada seorang laki-laki yang saleh
karena tertarik oleh kesalehannya. Maka hal itu diperbolehkan.”[15]
Sementara Al Hafizh Ibnu Hajar berkata:
“Dari hadits mengenai seorang wanita yang menyerahkan dirinya kepada
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam itu dapat diambil kesimpulan
bahwa seorang wanita yang ingin kawin dengan laki-laki yang lebih tinggi
kedudukannya daripadanya tidaklah aib sama sekali. Apalagi kalau
tujuannya baik dan maksudnya benar. Boleh jadi karena kelebihan agama
laki-laki yang mau dilamar atau karena keinginan dan hawa nafsu yang
apabila didiamkan saja dikhawatirkan dia bisa terjebak ke dalam sesuatu
yang dilarang agama.”[16]
Kemudian Ibnu Daqiq Al ‘Id berkata pula:
“Hadits tersebut bisa dijadikan dalil mengenai bolehnya seorang wanita
menawarkan dirinya kepada seseorang yang diharapkan keberkahannya.”[17]
Seorang Wanita Mempertahankan Hak Berpisah Dengan Suaminya.
Hadits yang membicarakan kedudukan
wanita dalam keluarga telah disebutkan sebelumnya. Namun, hal itu saya
ulang kembali guna lebih menegaskan masalah hak wanita yang banyak
ditentang orang, yaitu hak untuk memilih calon suaminya. Adapun
penjelasan rinci mengenai kedua hak tersebut akan saya ketengahkan dalam
pembahasan masalah keluarga. Insya Allah.
1. Istri Tsabit bin Qais Mempertahankan Hak Perceraian.
Ibnu Abbas berkata: “Istri Tsabit bin
Qais datang menemui Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu berkata:
‘Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit menyangkut akhlak atau
agamanya. Cuma saja aku khawatir akan berbuat kufur (mengkufuri
kenikmatan pergaulan dengan suami).’ Lalu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
wa Sallam berkata: ‘Apakah kamu bersedia mengembalikan kebunnya?’ Dia
menjawab: ‘Ya.’ Lalu istri Tsabit mengembalikan kebun milik Tsabit, dan
setelah itu Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh Tsabit
menceraikan istrinya.” (HR Bukhari)[18]
2. Atikah binti Zaid Mempertahankan Hak Menghadiri Shalat Jamaah.
Ibnu Umar berkata: “Adalah istri Umar
ibnul Khattab senantiasa mengikuti shalat subuh dan isya secara
berjamaah di masjid. Salah seorang sahabat bertanya kepadanya: ‘Mengapa
kamu keluar juga padahal kamu tahu bahwa Umar tidak suka hal itu dan dia
akan merasa cemburu?’ Istri Umar menjawab: ‘Lalu apa yang menghalangi
Umar sehingga dia tidak mau melarangku?’ Sahabat itu menjawab: ‘Yang
menghalangi Umar sehingga dia tidak berani melarangmu adalah sabda Nabi
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang berbunyi: ‘Janganlah kalian mencegah
hamba-hamba perempuan Allah untuk mendatangi masjid-masjid Allah.’” (HR
Bukhari)[19]
Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Abdurrazzaq
bin Mu’ammar meriwayatkan dari az-Zuhri, dia berkata: ‘… ketika
peristiwa Umar ditusuk, Atikah sedang berada di masjid.’”[20]
Seorang Wanita Berkarya Untuk Mendapatkan Uang.
1. Zainab binti Jahsy Berkarya dengan Keterampilan Tangannya Sendiri dan Bersedekah
Aisyah Radhiyallahu ‘Anh berkata: “…
ternyata yang terpanjang tangannya di antara kami adalah Zainab sebab
dia sudah biasa berusaha dengan tangannya sendiri dan bersedekah.” (HR
Muslim)[21]
Jabir mengatakan bahwa Nabi Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam datang menemui istri beliau, Zainab, yang kebetulan
waktu itu sedang menyamak kulit … (HR Muslim)189 Al Hafizh Ibnu Hajar
menyebutkan dalam kitab Al Fath bahwa Al Hakim meriwayatkan dalam kitab
Al Mustadrak –dia berkata menurut syarath Muslim– bahwa Zainab binti
Jahsy adalah seorang wanita perajin. Dia ahli menyamak dan menjahit
kulit dan dengan hasil usahanya itu dia bersedekah pada jalan Allah.”[22]
2. Zainab Istri Ibnu Mas’ud Berusaha Sendiri serta Menafkahi Suami dan Anak Yatim.
Zainab, istri Abdullah bin Mas’ud,
berkata: “Pada suatu waktu aku berada di masjid, lalu aku melihat Nabi
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Beliau bersabda: ‘Bersedekahlah kalian (hai
kaum wanita) meskipun dengan perhiasan kalian!’ Sedangkan Zainab
sendirilah yang memberi nafkah (suaminya) Abdullah dan anak-anak yatim
yang dia pelihara. Zainab berkata: ‘Lalu aku pergi menemui Nabi
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Aku temukan seorang wanita Anshar berada di
dekat pintu masuk rumah Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan
keperluarmya sama dengan keperluanku. Lalu lewat Bilal dekat kami, dan
kami berkata kepadanya: “(Hai Bilal), tanyakanlah pada Nabi Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam, apakah sah bila aku memberikan nafkah kepada suami
dan anak-anak yatim yang aku pelihara?” Bilal pun masuk dan menyampaikan
pertanyaan aku itu kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Beliau
menjawab: ‘Ya, sah, dan baginya dua pahala: pahala kerabat dan pahala
bersedekah.’” (HR Bukhari dan Musliml)[23]
[1]
Muslim, Kitab: Keutamaan-keutamaan, Bab: Penetapan tentang adanya
telaga Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sifat-sifatnya, jilid 7,
hlm. 67.
[2] Bukhari, Kitab: Ilmu, Bab: Apakah disediakan untuk wanita hari tersendiri, jilid 1, hlm. 206.
[3]
Bukhari, Kitab: Berpegang teguh kepada Kitab dan Sunnah, Bab: Nabi
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajarkan kepada umatnya, baik laki-laki
maupun wanita, apa yang diajarkan Allah kepadanya tanpa penggunaan
pendapat penyerupaan, jilid 17, hlm. 55. Muslim. Kitab: Kebajikan,
hubungan kekeluargaan, dan etika, Bab: Berbuat baik kepada anak-anak
perempuan, jilid 8, hlm. 39.
[4] Fathul Bari, jilid 1, hlm. 207.
[5]
Muslim, Kitab: Haid, Bab: Anjuran menggunakan kapas yang diberi minyak
wangi pada tempat yang terkena darah bagi wanita haid ketika mandi,
jilid 1, hlm. 179.
[6]
Bukhari, Kitab: Peperangan, Bab: Abdullah bin Muhammad Al Ja’fi
menceritakan kepadaku, jilid 8, hlm. 313. Muslim. Kitab: Thalak’ Bab:
Berakhirnya masa ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya atau lainnya
dengan melahirkan, jilid 4, hlm. 201.
[7] Fathul Bari, jilid 11, hlm. 400-401.
[8]
Bukhari, Kitab: Haji, Bab: Seorang perempuan menghajikan seorang
laki-laki jilid 4, hlm. 440. Bukhari, Kitab: Minta izin, Bab: Firman
Allah: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah
yang bukan rumahmu …”, jilid 13, hlm. 245. Muslim, Kitab: Haji Bab:
Menghajikan orang yang lemah karena sakit-sakitan atau tua renta, jilid
4, hlm. 101.
[9] Bukhari, Kitab: Siasat, Bab: Mengenai nikah, jilid 15, hlm. 373.
[10]
Bukhari, Kitab: Thalak, Bab: Tidak boleh penjualan budak perempuan
sebagai talak, jilid 11, hlm. 323. Muslim. Kitab: Memerdekakan budak,
Bab: Menyandarkan hak wala’ kepada orang yang memerdekakan, jilid 4,
hlm. 215.
[11] Bukhari, Kitab: Thalak, Bab: Syafaat (bantuan) Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk suami Barirah, jilid 11, hlm. 328.
[12] Fathul Bari, jilid 11, hlm. 334-335.
[13]
Bukhari, Kitab: Nikah, Bab: Melihat wanita sebelum dikawini, jilid 11,
hlm. 86. Muslim, Kitab: Nikah, Bab: Masalah maskawin yang boleh dalam
bentuk mengajarkan Al Qu’ran, jilid 4, hlm. 143.
[14] Bukhari, Kitab: Nikah, Bab: Seorang wanita menawarkan dirinya kepada seorang pria yang saleh, jilid 11, hlm. 79.
[15] Fathul Bari, jilid 11, hlm. 79.
[16] Fathul Bari, jilid 11, him 122.
[17] Syarah ‘Umdat Al Ahkam, jilid 2, hlm. 201.
[18] Bukhari, Kitab: Thalak, Bab: Khulu’, jilid 11, hlm. 319.
[19]
Bukhari, Kitab: Jum’at, Bab: Apakah orang yang ingin menghadiri shalat
Jum’at dari kalangan wanita, anak-anak dan lainnya harus mandi? jilid 3,
hlm. 34.
[20] Fathul Bari, jilid 3, hlm. 34.
[21] Muslim, Kitab: Keutamaan-keutamaan para sahabat, Bab: Di antara keutamaan Zainab Ummul Mukminin, jilid 7, hlm. 144.
[22]
Muslim, Kitab: Nikah, Bab: Barangsiapa yang melihat seorang wanita,
lalu dia tergiur dengannya, maka dianjurkan supaya segera menemui istri
atau budak perempuannya, lalu menggaulinya, jilid 4, hlm. 129.
[23] Fathul Bari, jilid 4, hlm. 29-30.
Post a Comment
mohon gunakan email