Pesan Rahbar

Home » » Kekuatan Pribadi Muslimah serta Kesadarannya akan Hak dan Kewajiban

Kekuatan Pribadi Muslimah serta Kesadarannya akan Hak dan Kewajiban

Written By Unknown on Monday, 7 July 2014 | 10:27:00


Ummu Salamah pernah bercerita bahwa dia mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Wahai sekalian manusia!” Ummu Salamah berkata kepada tukang sisirnya: “Coba tinggalkan aku dahulu!” Tukang sisir itu berkata: “Beliau hanya memanggil kaum laki-laki, bukan kaum wanita.” Ummu Salamah berkata: “Aku juga termasuk manusia.” (HR Muslim)[1]

Kaum Wanita Menuntut Kesempatan Belajar.
Abu Sa’id berkata: “Seorang wanita datang menemui Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, kaum lelaki bisa berangkat mendengarkan ucapanmu –menurut satu riwayat[2]: ‘Kaum wanita berkata kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Kaum lelaki mengalahkan kami untuk dapat bersamamu” –Karena itu sediakanlah olehmu satu hari untuk kami yang pada hari itu kami datang menemuimu sehingga engkau bisa mengajarkan kepada kami apa yang telah diajarkan Allah kepadamu.’ Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: ‘Berkumpullah kalian pada hari ini dan ini.’ Mereka pun berkumpul. Maka datanglah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ke tempat mereka, lalu mengajarkan kepada mereka apa yang telah diajarkan Allah kepada beliau. Selanjutnya beliau bersabda: ‘Tidak seorang pun dari kalian yang didahului meninggal dunia oleh tiga orang anaknya kecuali mereka itu akan menjadi dinding pencegah baginya dari api neraka.’ Lalu salah seorang dari kaum wanita itu bertanya: ‘Kalau hanya dua orang?’ Abu Sa’id berkata: ‘Pertanyaan ini diulangnya dua kali.’ Lalu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: ‘Ya, dan dua, dan dua, dan dua.’” (HR Bukhari dan Muslim)[3]

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Hadits tersebut menunjukkan betapa antusiasnya istri-istri para sahabat untuk mempelajari masalah-masalah agama.”[4] Benar, mereka betul-betul antusias, tidak merasa cukup dengan hanya mendengarkan hadits-hadits bersama kaum laki-laki di masjid. Bahkan mereka menuntut disediakannya waktu belajar khusus. Kemudian sikap antusias mereka ini mendapat restu serta sambutan baik dan segera dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Asma Binti Syakl Mengesampingkan Rasa Malu.
Aisyah Radhiyallahu ‘Anh berkata bahwa Asma binti Syakl bertanya kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengenai mandi sehabis haid. Beliau bersabda: “Salah seorang di antara kamu hendaklah mengambil air dan kapas atau secarik kain, lalu bersuci dan membaguskan penyuciannya Kemudian tuangkanlah air ke kepala dan gosoklah dengan keras sampai ke pangkal rambut. Selanjutnya siramkanlah air ke badanmu dan ambillah kapas yang sudah diberi misk/minyak wangi, lalu pergunakanlah untuk bersuci dengannya!” Asma bertanya: “Bagaimana cara bersuci dengan kapas itu?” Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Subhanallah, kamu pakai kapas itu untuk bersuci.” Kemudian Aisyah berkata dengan suara yang agak dipelankan: “Kamu pergunakan kapas itu untuk menyeka bekas darah.” Asma bertanya lagi tentang mandi jinabah/junub. Beliau menjawab: “Ambillah air, lalu bersucilah dengan baik atau sebaik mungkin. Kemudian tuangkanlah air ke kepala dan gosoklah sampai ke pangkal rambut. Kemudian siramkan air ke badan.” Aisyah berkata: “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Mereka tidak terhalang oleh rasa malu dalam mendalami masalah agama.” (HR Muslim)[5]

Subai’ah Binti Al Harits Berusaha Menemukan Keyakinan.
Subai’ah binti Al Harits Al Aslamiyyah mengatakan bahwa dia ketika itu masih di bawah tanggungan (istri) Sa’ad bin Khaulah yang berasal dari Bani Amir bil Lu’ay. Dia termasuk salah seorang yang ikut pada Perang Badar. Kemudian dia wafat pada waktu haji Wada’, sementara Subai’ah ketika itu sedang hamil. Tidak lama kemudian dia melahirkan. Tatkala masa nifasnya sudah berhenti, dia mulai berdandan untuk orang-orang yang berminat meminangnya. Lalu datang menemuinya Abul Basnabil bin Ba’kak –seorang laki-laki dari Bani Abdid Daar– yang berkata kepada Subai’ah: “Mengapa aku melihatmu sudah mulai berdandan untuk para peminang? Apakah kamu sudah ingin kawin? Demi Allah, kamu sebenarnya belum boleh kawin sampai kamu melewati empat bulan sepuluh hari.” Subai’ah berkata: “Setelah berkata demikian kepadaku, maka aku segera mengumpulkan pakaianku pada sore harinya, lalu aku pergi menemui Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menanyakan masalah tersebut kepada beliau. Lalu beliau memberiku fatwa bahwa aku sudah boleh kawin karena aku sudah melahirkan kandunganku, dan beliau menyuruhku kawin jika aku telah menemukan jodoh yang cocok bagiku.” (HR Bukhari dan Muslim)[6]

A Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Dari kisah Subai’ah ini dapat ditarik beberapa kesimpulan. Diantaranya tentang kecerdasan dan kepintaran Subai’ah. Dia terus memikirkan fatwa yang disampaikan kepadanya hingga akhirnya dia membawa masalah tersebut kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mendapatkan penjelasan yang benar mengenai hukumnya. Begitulah seharusnya yang dilakukan oleh orang yang merasa ragu mengenai fatwa yang disampaikan seseorang kepadanya, selama masalah itu masih bisa diijtihadkan. Dia harus mencari nash yang jelas mengenai masalah itu. Kesimpulan lain, bahwa seorang wanita boleh menanyakan langsung masalah yang dihadapinya, walaupun menyangkut masalah yang dia mungkin merasa malu bila diketahui oleh orang lain.”[7]

Seorang Wanita Khats’am Memikirkan Hukum Menghajikan Bapaknya.
Abdullah bin Abbas berkata: “Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memboncengkan Fadhal bin Abbas di bagian belakang untanya pada hari-hari kurban. Lalu datang seorang wanita dari keluarga Khats’am yang cantik sekali dan meminta fatwa kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Wanita itu berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban Allah atas hambanya untuk melakukan haji datang pada saat bapakku sudah tua dan tidak mampu lagi duduk tegak di atas kendaraan. Apakah aku boleh melaksanakan haji untuk menggantikannya?’ Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: ‘Ya, boleh.’” (HR Bukhari dan Muslim)[8]

Seorang Wanita Mempertahankan Hak Pemilihan Suami.
1. Khansa binti Khidam Mengadu karena Dikawinkan Padahal Dia Tidak Suka.
Qasim mengatakan bahwa seorang perempuan dari putra Ja’far merasa khawatir akan dikawinkan oleh walinya, padahal dia tidak suka. Lalu dia mengirim utusan kepada dua orang tua dari kalangan Anshar untuk menanyakan masalah itu. Kedua orang tua itu adalah Abdurrahman dan Mujamma’ putra-putra Jariyah. Mereka menjawab: “Kamu tidak usah khawatir, sesungguhnya Khansa’ binti Khidam pernah dikawinkan oleh bapaknya, padahal dia tidak senang, lalu hal itu ditolak oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam’” (HR Bukhari)[9]

2. Barirah Mempertahankan Haknya Meskipun Ada Syafaat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Aisyah, istri Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, berkata: “Mengenai Barirah terdapat tiga sunnah (hukum). Pertama, setelah dia dimerdekakan, lalu dia bebas memilih suaminya …” (HR Bukhari dan Muslim)[10]
Ibnu Abbas mengatakan bahwa suami Barirah adalah seorang hamba/budak yang bernama Mughits. Aku seolah-olah melihat Mughits bertawaf di belakang Barirah sambil menangis dan air matanya mengalir sampai ke jenggotnya. Lalu Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada Abbas: “Wahai Abbas, tidakkah kamu heran melihat kecintaan Mughits kepada Barirah dan kebencian Barirah kepada Mughits?” Selanjutnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada Barirah: “Bagaimana kalau kamu ruju’ padanya?” Barirah menjawab: “Wahai Rasulullah, apakah ini perintah buatku?” Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Aku sekadar memberi syafaat (untuk suamimu).” Barirah berkata: “Aku sudah tidak butuh lagi padanya.” (HR Bukhari)[11]

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Dari kata-kata Barirah: ‘Apakah ini perintah untukku,’ dapat disimpulkan bahwa Barirah tahu bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam itu wajib dituruti. Karena itulah ketika Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menyampaikan tawaran tadi kepada Barirah, Barirah minta kejelasan apakah tawaran Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam itu perintah sehingga harus ditururi, atau cuma masukan pendapat yang bisa dia pilih.” Al Hafizh Ibnu Hajar menambahkan: “Dari hadits itu dapat pula disimpulkan mengenai bolehnya tidak menerima masukan pendapat seseorang selama hal itu tidak menyangkut sesuatu yang wajib. Juga terdapat anjuran kepada hakim untuk memberikan syafaat (pertolongan) kepada lawan perkara. Tetapi pertolongan itu jangan sampai menimbulkan mudarat atau berbentuk paksaan. Juga tidak boleh mengata-ngatai atau memarahi orang yang tidak menerima masukan pendapat seseorang, betapapun tingginya kedudukan orang yang memberi masukan pendapat tersebut. Hadits itu juga menunjukkan sopannya sikap Barirah. Dia tidak terang-terangan menolak syafaat yang diajukan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Dia cuma berkata: “Aku sudah tidak butuh lagi padanya.” (maksudnya Mughits)[12]

3. Seorang Wanita Memilih Laki-laki yang Paling Mulia dan Menawarkan Diri kepadanya
Sahal bin Sa’ad mengatakan bahwa seorang wanita datang menemui Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menyerahkan diriku kepadamu.” Tatkala wanita itu melihat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak memutuskan sesuatu terhadap tawarannya itu, lantas dia duduk. (HR Bukhari dan Muslim)[13]

Tsabit Al Bannani berkata: “Pada suatu hari aku duduk di dekat Anas. Di sampingnya ada putrinya. Lalu Anas berkata: ‘Seorang wanita datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menawarkan dirinya kepada beliau. Wanita itu berkata “Wahai Rasulullah, apakah engkau berminat padaku?” Lalu putri Anas menimpali: “Alangkah sedikitnya rasa malu perempuan itu. Betul-betul buruk, betul-betul buruk.” Anas berkata: “Dia lebih baik daripadamu. Dia senang kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu dia menawarkan dirinya kepada beliau.”” (HR Bukhari)[14]

Al-Bukhari mengemukakan hadits ini dalam bab seorang wanita menawarkan dirinya kepada seorang laki-laki yang saleh. Sementara dalam Kitab Fathul Bari disebutkan: “Ibnul Munir berkata dalam kitab Al Hasyiah: “Di antara kehebatan Bukhari bahwa ketika dia tahu ada khushushiah/kekhususan dalam kisah seorang wanita yang menyerahkan dirinya ini, dia mencoba meng-istinbath hadits tersebut untuk perkara yang bukan khushushiah. Artinya, bahwa seorang wanita diperbolehkan menawarkan dirinya kepada seorang laki-laki yang saleh karena tertarik oleh kesalehannya. Maka hal itu diperbolehkan.”[15]

Sementara Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Dari hadits mengenai seorang wanita yang menyerahkan dirinya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam itu dapat diambil kesimpulan bahwa seorang wanita yang ingin kawin dengan laki-laki yang lebih tinggi kedudukannya daripadanya tidaklah aib sama sekali. Apalagi kalau tujuannya baik dan maksudnya benar. Boleh jadi karena kelebihan agama laki-laki yang mau dilamar atau karena keinginan dan hawa nafsu yang apabila didiamkan saja dikhawatirkan dia bisa terjebak ke dalam sesuatu yang dilarang agama.”[16]

Kemudian Ibnu Daqiq Al ‘Id berkata pula: “Hadits tersebut bisa dijadikan dalil mengenai bolehnya seorang wanita menawarkan dirinya kepada seseorang yang diharapkan keberkahannya.”[17]

Seorang Wanita Mempertahankan Hak Berpisah Dengan Suaminya.
Hadits yang membicarakan kedudukan wanita dalam keluarga telah disebutkan sebelumnya. Namun, hal itu saya ulang kembali guna lebih menegaskan masalah hak wanita yang banyak ditentang orang, yaitu hak untuk memilih calon suaminya. Adapun penjelasan rinci mengenai kedua hak tersebut akan saya ketengahkan dalam pembahasan masalah keluarga. Insya Allah.

1. Istri Tsabit bin Qais Mempertahankan Hak Perceraian.
Ibnu Abbas berkata: “Istri Tsabit bin Qais datang menemui Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit menyangkut akhlak atau agamanya. Cuma saja aku khawatir akan berbuat kufur (mengkufuri kenikmatan pergaulan dengan suami).’ Lalu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: ‘Apakah kamu bersedia mengembalikan kebunnya?’ Dia menjawab: ‘Ya.’ Lalu istri Tsabit mengembalikan kebun milik Tsabit, dan setelah itu Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh Tsabit menceraikan istrinya.” (HR Bukhari)[18]

2. Atikah binti Zaid Mempertahankan Hak Menghadiri Shalat Jamaah.
Ibnu Umar berkata: “Adalah istri Umar ibnul Khattab senantiasa mengikuti shalat subuh dan isya secara berjamaah di masjid. Salah seorang sahabat bertanya kepadanya: ‘Mengapa kamu keluar juga padahal kamu tahu bahwa Umar tidak suka hal itu dan dia akan merasa cemburu?’ Istri Umar menjawab: ‘Lalu apa yang menghalangi Umar sehingga dia tidak mau melarangku?’ Sahabat itu menjawab: ‘Yang menghalangi Umar sehingga dia tidak berani melarangmu adalah sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang berbunyi: ‘Janganlah kalian mencegah hamba-hamba perempuan Allah untuk mendatangi masjid-masjid Allah.’” (HR Bukhari)[19]

Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Abdurrazzaq bin Mu’ammar meriwayatkan dari az-Zuhri, dia berkata: ‘… ketika peristiwa Umar ditusuk, Atikah sedang berada di masjid.’”[20]

Seorang Wanita Berkarya Untuk Mendapatkan Uang.
1. Zainab binti Jahsy Berkarya dengan Keterampilan Tangannya Sendiri dan Bersedekah
Aisyah Radhiyallahu ‘Anh berkata: “… ternyata yang terpanjang tangannya di antara kami adalah Zainab sebab dia sudah biasa berusaha dengan tangannya sendiri dan bersedekah.” (HR Muslim)[21]

Jabir mengatakan bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam datang menemui istri beliau, Zainab, yang kebetulan waktu itu sedang menyamak kulit … (HR Muslim)189 Al Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan dalam kitab Al Fath bahwa Al Hakim meriwayatkan dalam kitab Al Mustadrak –dia berkata menurut syarath Muslim– bahwa Zainab binti Jahsy adalah seorang wanita perajin. Dia ahli menyamak dan menjahit kulit dan dengan hasil usahanya itu dia bersedekah pada jalan Allah.”[22]

2. Zainab Istri Ibnu Mas’ud Berusaha Sendiri serta Menafkahi Suami dan Anak Yatim.
Zainab, istri Abdullah bin Mas’ud, berkata: “Pada suatu waktu aku berada di masjid, lalu aku melihat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Beliau bersabda: ‘Bersedekahlah kalian (hai kaum wanita) meskipun dengan perhiasan kalian!’ Sedangkan Zainab sendirilah yang memberi nafkah (suaminya) Abdullah dan anak-anak yatim yang dia pelihara. Zainab berkata: ‘Lalu aku pergi menemui Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Aku temukan seorang wanita Anshar berada di dekat pintu masuk rumah Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan keperluarmya sama dengan keperluanku. Lalu lewat Bilal dekat kami, dan kami berkata kepadanya: “(Hai Bilal), tanyakanlah pada Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, apakah sah bila aku memberikan nafkah kepada suami dan anak-anak yatim yang aku pelihara?” Bilal pun masuk dan menyampaikan pertanyaan aku itu kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Beliau menjawab: ‘Ya, sah, dan baginya dua pahala: pahala kerabat dan pahala bersedekah.’” (HR Bukhari dan Musliml)[23]


[1] Muslim, Kitab: Keutamaan-keutamaan, Bab: Penetapan tentang adanya telaga Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sifat-sifatnya, jilid 7, hlm. 67.
[2] Bukhari, Kitab: Ilmu, Bab: Apakah disediakan untuk wanita hari tersendiri, jilid 1, hlm. 206.
[3] Bukhari, Kitab: Berpegang teguh kepada Kitab dan Sunnah, Bab: Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajarkan kepada umatnya, baik laki-laki maupun wanita, apa yang diajarkan Allah kepadanya tanpa penggunaan pendapat penyerupaan, jilid 17, hlm. 55. Muslim. Kitab: Kebajikan, hubungan kekeluargaan, dan etika, Bab: Berbuat baik kepada anak-anak perempuan, jilid 8, hlm. 39.
[4] Fathul Bari, jilid 1, hlm. 207.
[5] Muslim, Kitab: Haid, Bab: Anjuran menggunakan kapas yang diberi minyak wangi pada tempat yang terkena darah bagi wanita haid ketika mandi, jilid 1, hlm. 179.
[6] Bukhari, Kitab: Peperangan, Bab: Abdullah bin Muhammad Al  Ja’fi menceritakan kepadaku, jilid 8, hlm. 313. Muslim. Kitab: Thalak’ Bab: Berakhirnya masa ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya atau lainnya dengan melahirkan, jilid 4, hlm. 201.
[7] Fathul Bari, jilid 11, hlm. 400-401.
[8] Bukhari, Kitab: Haji, Bab: Seorang perempuan menghajikan seorang laki-laki jilid 4, hlm. 440. Bukhari, Kitab: Minta izin, Bab: Firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu …”, jilid 13, hlm. 245. Muslim, Kitab: Haji Bab: Menghajikan orang yang lemah karena sakit-sakitan atau tua renta, jilid 4, hlm. 101.
[9] Bukhari, Kitab: Siasat, Bab: Mengenai nikah, jilid 15, hlm. 373.
[10] Bukhari, Kitab: Thalak, Bab: Tidak boleh penjualan budak perempuan sebagai talak, jilid 11, hlm. 323. Muslim. Kitab: Memerdekakan budak, Bab: Menyandarkan hak wala’ kepada orang yang memerdekakan, jilid 4, hlm. 215.
[11] Bukhari, Kitab: Thalak, Bab: Syafaat (bantuan) Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk suami Barirah, jilid 11, hlm. 328.
[12] Fathul Bari, jilid 11, hlm. 334-335.
[13] Bukhari, Kitab: Nikah, Bab: Melihat wanita sebelum dikawini, jilid 11, hlm. 86. Muslim, Kitab: Nikah, Bab: Masalah maskawin yang boleh dalam bentuk mengajarkan Al Qu’ran, jilid 4, hlm. 143.
[14] Bukhari, Kitab: Nikah, Bab: Seorang wanita menawarkan dirinya kepada seorang pria yang saleh, jilid 11, hlm. 79.
[15] Fathul Bari, jilid 11, hlm. 79.
[16] Fathul Bari, jilid 11, him 122.
[17] Syarah ‘Umdat Al Ahkam, jilid 2, hlm. 201.
[18] Bukhari, Kitab: Thalak, Bab: Khulu’, jilid 11, hlm. 319.
[19] Bukhari, Kitab: Jum’at, Bab: Apakah orang yang ingin menghadiri shalat Jum’at dari kalangan wanita, anak-anak dan lainnya harus mandi? jilid 3, hlm. 34.
[20] Fathul Bari, jilid 3, hlm. 34.
[21] Muslim, Kitab: Keutamaan-keutamaan para sahabat, Bab: Di antara keutamaan Zainab Ummul Mukminin, jilid 7, hlm. 144.
[22] Muslim, Kitab: Nikah, Bab: Barangsiapa yang melihat seorang wanita, lalu dia tergiur dengannya, maka dianjurkan supaya segera menemui istri atau budak perempuannya, lalu menggaulinya, jilid 4, hlm. 129.
[23] Fathul Bari, jilid 4, hlm. 29-30.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: