Fase
ini dimulai dari ketika anak genap berusia tujuh tahun hingga empat
belas tahun. Di masa ini anak tengah mempersiapkan dirinya untuk menjadi
manusia matang dan satu anggota dari masyarakatnya. Pada fase ini, anak
mulai menghilangkan kebiasaannya meniru apa yang dilakukan oleh orang
dewasa dan mulai memperhatikan alam dan lingkungan sekitarnya. Saat
itulah daya pikir anak mulai terbuka dan mampu untuk berimajinasi dan
menangkap banyak masalah yang tidak kasat mata.
Ia mulai berpikir tentang dirinya sendiri.
Ia memandang dirinya sebagai salah satu mahluk yang hidup, berdiri
sendiri, dan memiliki kehendak yang lain dari kehendak orang lain. Cara
yang dilakukannya untuk menunjukkan keberadaan dirinya itu seringkali
berupa perlawanan dan penentangan terhadap apa yang selama ini biasa ia
lakukan. Ia berusaha untuk menampakkan jati dirinya dengan menentang dan
membuat keluarganya marah demi menunjukkan kepada mereka bahwa ia
adalah dirinya.[1] Anak seperti ini akan memilih jenis dan warna
pakaiannya sendiri, ingin bebas menentukan pelajaran yang ia sukai, dan
berhubungan dengan siapa pun yang ia sukai dan dengan cara semaunya.
Pada masa inilah orang tua harus memberikan
perhatian ekstra terhadap pendidikannya karena kini ia tengah berada di
awal hubungan sosialnya dalam lingkup yang lebih luas dengan masuknya
ia ke sekolah. Sekolah sendiri berpotensi besar dalam membangun
kepribadian anak dengan adanya banyak anak di sana yang masing-masing
mempunyai tingkat kecerdasan dan kegesitan tersendiri.Anak akan tergugah
untuk bersaing dengan mereka dan hal itu sangat berpengaruh pada
karekternya.[2]
Beberapa faktor penting yang berkaitan
dengan pembangunan karakter anak dalam fase ini antara lain adalah pola
interaksinya dengan ayah, ibu, dan seluruh anggota keluarga yang lain,
keadaan fisiknya, seperti tinggi dan berat badannya, serta hal-hal yang
didengar dan dipelajarinya.
Kebutuhan anak di fase remaja ini berbeda
dengan kebutuhannya di fase-fase sebelumnya. Hal ini harus diperhatikan
oleh orang tua dan diusahakan untuk memenuhinya. Kebutuhan anak tersebut
antara lain adalah sebagai berikut.
Kebutuhan primer, seperti makanan, minuman, dan pakaian.
2. Kebutuhan psikis, seperti ketenangan jiwa dan emosi.
3.Kebutuhan terhadap penerimaan dirinya oleh masyarakat.
4.Kebutuhan terhadap perhatian dan penghormatan atas dirinya.
5.Kebutuhan untuk mempelajari banyak hal yang dapat memupuk bakatnya sebagai bekal menempuh perjalanan panjang kehidupannya.
6.Kebutuhan untuk mengenal
pemikiran-pemikiran yang menjadi wacana dalam masyarakat dan mengenal
isi dunia, yang tentu saja, disesuaikan dengan kemampuan dan kematangan
anak seusia ini.
Anak perlu mendapatkan perhatian yang
ekstra ketat dalam melewati fase yang rentan ini, tetapi tentu saja
dengan tetap memberinya kebebasan yang merupakan salah satu kebutuhan
aslinya.
Rasulullah SAWW bersabda,
الولد سيّد سبع سنين وعبد سبع سنين ووزير سبع سنين
Artinya: Anak adalah tuan selama tujuh tahun, budak selama tujuh tahun, dan menteri selama tujuh tahun. [3]
Amirul Mukminin Ali a.s. berkata,
يرخى الصبي سبعا ويؤدب سبعا ويستخدم سبعا
Artinya: Anak dibiarkan melakukan apa saja
selama tujuh tahun, dihukum jika melakukan kesalahan, dan diperbantukan
selama tujuh tahun. [4]
Imam Ja'far Shadiq a.s. berkata,
دع ابنك يلعب سبع سنين ويؤدب سبعا والزمه نفسك سبعا
Artinya: Biarkan anakmu bermain sepuasnya
selama tujuh tahun, didiklah ia selama tujuh tahun, dan jangan pisahkan
dirinya darimu selama tujuh tahun. [5]
Memang, mendidik anak di masa ini sangat
sulit sehingga diperlukan usaha dan keuletan yang lebih besar dari orang
tua dalam mendidik, menjaga dan mengontrol setiap gerak-gerik anak,
termasuk pola berpikir, perasaan, dan pelajaran sekolahnya. Selain itu,
ayah dan ibu harus memenuhi semua keperluannya yang beraneka ragam. Anak
pada masa ini tengah membutuhkan pengarahan intensif dari orang tuanya,
juga bimbingan mereka dalam mengarungi samudera kehidupan yang penuh
tantangan dan liku-liku ini.
Berikut ini kami kemukakan beberapa hal penting yang berhubungan dengan pendidikan anak di fase ini.
1. Pendidikan Ekstra Ketat.
Mendidik anak dengan baik dan benar dan
mengajarinya budi pekerti yang luhur merupakan tugas dan tanggung jawab
yang berada di pundak ayah dan ibu. Di lain pihak, adalah hak anak untuk
mendapatkan pendidikan yang benar tersebut. Pada fase ini, anak sangat
memerlukan perhatian dan pengawasan ketat dari orang tuanya. Karena itu,
orang tua harus meluangkan waktu dan tenaga yang lebih besar.
Imam Ali bin Al-Husain a.s. berkata,
وأمّا حقّ ولدك ... إنك مسؤول عمّا وليته من
حسن الأدب و الدلالة على ربه والمعونة له على طاعته فيك وفي نفسه فمثاب على
ذلك ومعاقبفاعمل في أمره عمل المتزين بحسن أثره عليه
في عاجل الدنيا المعذر إلى ربه فيما بينك وبينه بحسن القيام عليه والأخذ له منه
Artinya: Hak anakmu adalah…engkau
bertanggung jawab untuk mengajarkan kepadanya akhlaq karimah,
mengenalkan kepada Tuhan dan membantunya untuk patuh kepadamu. Tugas
berat ini besar sekali pahalanya dan sebaliknya, siksaan menunggu jika
melalaikannya. Karena itu, lakukanlah apa yang bisa membuatmu berbangga
atasnya di masa depan dan terbebas dari hukuman Tuhan atas tanggung
jawab yang Dia berikan kepadamu, dengan mendidiknya secara baik dan
benar.[6]
Karena fase ini merupakan fase yang sulit
dalam kehidupan, ayah dan ibu harus mengangkat tangannya dan berdoa
kepada Allah SWT agar mendapat taufik dalam mengemban tugas mulia dan
besar ini.
Imam Ali bin Al-Husain a.s. mengatakan,
اللهم ومنّ عليّ ببقاء ولدي ... وربّ لي
صغيرهم .. وأصحّ لي ابدانهم وأديانهم وأخلاقهم ... واجعلهم ابرارا اتقياء
بصراء ... وأعني على تربيتهم وتأديبهم وبرهم ... واعذني
وذريتي من الشيطان الرجيم
Artinya: Ya Allah lindungilah anak-anakku
dan keturunanku....Didiklah mereka yang masih kecil.... Sehatkanlah
badan mereka dan selamatkanlah agama dan akhlak mereka....Jadikanlah
mereka orang-orang yang bertakwa dan berpengetahuan....Bantulah aku
dalam mendidik mereka dengan benar....Lindungilah aku dan keturunanku
dari godaan syetan yang terkutuk. [7]
Banyak riwayat yang menekankan kewajiban mendidik anak dengan baik dan menanamkan akhlak yang mulia kepadanya.
Rasulullah SAWW bersabda,
أكرموا أولادكم واحسنوا آدابهم
Artinya: Hormatilah anak-anak kalian dan perbaikilah perangainya.[8]
Imam Amirul Mukminin Ali a.s. berkata,
إن للولد على الوالد حقا , وإن للوالد على
الولد حقا , فحق الوالد على الولد أن يطيعه في كل شيء , إلا في معصية الله
سبحانه , وحق الولد على الوالد أن يحسن اسمه , ويحسن
أدبه , ويعلمه القرآن
Artinya: Anak memiliki hak atas ayahnya dan
ayah juga memiliki hak atas anaknya. Hak ayah atas anak adalah bahwa
anak wajib untuk patuh dan taat kepadanya dalam setiap hal, kecuali yang
berhubungan dengan maksiat. Hak anak atas ayahnya adalah ayah harus
memberinya nama yang bagus, mendidiknya dengan baik, dan mengajarinya
Al-Qur'an.[9]
Pendidikan di fase ini lebih penting pada
fase-fase lainnya karena anak di usia ini relatif masih bersih dan belum
tercemari sehingga mau mendengar dan menerima semua nasehat dan
bimbingan. Karena itu, orang tua harus pandai-pandai mempergunakan
kesempatan ini untuk mendidiknya dengan benar.
Dalam wasiatnya kepada putranya, Al-Hasan a.s., Imam Ali a.s. berkata,
... وإنما قلب الحدث كالأرض الخالية ما ألقي
فيها من شيء قبلته فبادرتك بالأدب قبل أن يقسو قلبك , ويشتغل لبّك ,
لتستقبل بجد رأيك من الأمر ما قد كفاك أهل التجارب بغيته
وتجربته ...
Artinya: …Sesungguhnya hati anak kecil
bagaikan tanah kosong yang menerima apa saja yang dilemparkan kepadanya.
Karena itu, aku cepat-cepat menyemaikan wasiatku ini kepadamu sebelum
hatimu mengeras dan pikiranmu disibukkan oleh hal-hal lain agar engkau
memanfaatkan pengalaman mereka yang berpengalaman dalam menentukan sikap
dalam hidupmu. [10]
Beliau juga mengatakan,
علموا أنفسكم وأهليكم الخير وادبوهم
Artinya: Ajarilah diri dan keluargamu tentang kebajikan dan didiklah mereka dengan benar. [11]
Perlu dicatat, pendidikan yang ditekankan
tidak lain adalah pendidikan dengan konsep Islami yang menjadikan
masalah penghambaan kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya menjadi poros
segala masalah kehidupan.
Imam Ja'far Shadiq a.s. berkata,
اعملوا الخير وذكّروا به أهليكم وأدّبوهم على طاعة الله
Artinya: Berbuatlah kebajikan dan ajaklah
keluargamu untuk melakukannya pula serta didiklah mereka untuk taat
kepada Allah. [12]
Beliau juga berkata,
تأمرهم بما أمر الله به وتنهاهم عما نهاهم الله عنه ...
Artinya: Perintahkanlah mereka dengan
hal-hal yang Allah perintahkan dan laranglah mereka melakukan hal-hal
yang dilarang oleh Allah.[13]
Hadis ini menjadi pedoman umum dan
menyeluruh; menjadi dasar metode pendidikan yang sehat di setiap segi
kehidupan pribadi dan sosial serta pembentukan watak dan kejiwaan. Jika
kedua orang tua mampu menerapkan metode pendidikan ini dengan tepat,
dapat dipastikan bahwa si anak kelak akan menjadi anggota masyarakat
yang baik.
Sejarah mencatat bahwa Ahlul Bait a.s.
senantiasa menerapkan metode yang tepat dalam mendidik anak-anak mereka.
Anak-anak mereka dipersiapkan dan dididik secara sempurna sehingga
ketika dewasa mereka memiliki akhlak mulia serta menjadi teladan dalam
segala hal.
Ali a.s., contohnya. Beliau melewati masa
kecilnya di rumah Rasulullah SAWW semasa beliau belum dilantik sebagai
nabi. Ketika Rasulullah berdakwah, Ali adalah orang yang pertama kali
menyatakan keimanan. Keimanan beliau itu betul-betul tulus yang
ditunjukkan dengan ketaatan mutlak terhadap Allah dan rasul-Nya.
Ketika dewasa, beliau menjadi teladan tanpa
tanding dalam hal keberanian, pengorbanan, kedermawanan,
kerendahhatian, kejujuran, dan seluruh keutamaan akhlak lainnya. Pada
gilirannya, Imam Ali kemudian mendidik anak-anaknya dengan cara yang
serupa sehingga mengantarkan mereka sampai ke puncak kesempurnaan
akhlak. Demikian juga yang terjadi pada para imam berikutnya.
Beban yang dipikul oleh orang tua dalam
mendidik anak akan makin berat seandainya masyarakat tempat mereka
tinggal makin jauh dari Islam. Atau, bisa jadi secara realitas
masyarakatnya beragama Islam, tetapi bentuk kehidupan yang Islami tidak
termanifestasikan di dalamnya. Penyebabnya bermacam-macam, seperti
pengaruh tradisi dan sikap konservatif, atau pengaruh kerancuan sistem
pendidikan anak-anak, yang terutama, biasa kita dapatkan dari media
massa seperti radio, televisi, film, dan lain-lain.
Perlu dicatat juga bahwa pendidikan jasmani
anak termasuk ke dalam bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan
jiwa, mental, dan kepribadian. Bahkan faktor ini bisa disebut sangat
penting sehingga Rasulullah sendiri bersabda,
علموا أولادكم السباحة والرماية
Artinya: Ajarilah anakmu berenang dan memanah.[14]
Imam Musa Al-Kazhim a.s. memasukkan latihan
anak-anak dalam mengerjakan hal-hal yang sulit sebagai hal yang
dianjurkan. Beliau berkata,
تستحب عرامة الصبي في صغره ليكون حليما في كبره
Artinya : Sebaiknya, latihlah fisik anak semasa kecil supaya dia menjadi orang sabar ketika sudah besar.[15]
Di kalangan ilmuwan psikologi dan
pendidikan sendiri sudah lama diketahui bahwa kesehatan badan sangat
berpengaruh terhadap kesehatan jiwa.[16]
2. Dorongan untuk Belajar.
Pada fase ini, belajar adalah hal yang
penting bagi anak-anak. Inilah saat yang tepat untuk memberikan dorongan
belajar kepada mereka, mematangkan kekuatan akal, serta mewujudkan
kecintaan hakiki mereka terhadap penguasaan ilmu.[17]
Pada masa ini, anak-anak memiliki potensi
yang kuat untuk menghapal apapun yang sampai ke pendengarannya. Karena
itu, proses belajar menjadi sangat penting untuk menanamkan berbagai
pengetahuan dan membuatnya tetap melekat dalam ingatan anak. Berkaitan
dengan hal ini, Rasulullah SAWW bersabda,
مثل الذي يتعلم في صغره كالنقش في الحجر
Artinya: Orang yang belajar di waktu kecil itu ibarat melukis di atas batu.[18]
Dalam kesempatan lain, beliau juga bersabda,
حفظ الغلام كالوسم على الحجر
Artinya: Memori anak-anak itu seperti tanda terpahat di batu.[19]
Demikian pentingnya pendidikan anak-anak sampai-sampai Rasulullah secara khusus berwasiat kepada para orang tua,
مروا أولادكم بطلب العلم
Artinya: Perintahlah anakmu untuk mencari ilmu.[20]
Bahkan, menurut Rasulullah, pengajaran anak-anak adalah salah satu pintu rahmat Allah bagi orang tua mereka. Beliau bersabda,
رحم الله عبدا أعان ولده على بره بالإحسان إليه , والتألف له وتعليمه وتأديبه
Artinya: Rahmat Allah semoga tercurah bagi
seorang hamba yang menunjukkan kepada anaknya bagaimana cara berbuat
baik kepada orang tua; yang mengajarkan kelembutan, pendidikan, dan
sopan santun.[21]
Pendidikan adalah hak asasi seorang anak sebagaimana sabda Imam Ali Zainal Abidin a.s.,
... وأما حق الصغير فرحمته وتثقيفه وتعليمه ...
Artinya: Seorang anak memiliki hak untuk mendapatkan kasih sayang, pengenalan pada etika dan budaya, dan pengajaran.[22]
Berkaitan dengan hal ini juga, Rasulullah bersabda,
من حق الولد على والده ثلاثة : يحسن اسمه ويعلمه الكتابة , ويزوجه إذا بلغ
Artinya: Ada tiga hal yang termasuk ke
dalam hak-hak anak yang harus ditunaikan orang tuanya, yaitu membaguskan
namanya, mengajarinya penulisan, dan menikahkannya jika sudah
dewasa.[23]
Dewasa ini, fungsi pengajaran baca tulis
sudah dipegang oleh lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah. Tetapi, itu
tidaklah berarti bahwa peran orang tua tidak lagi diperlukan. Dalam
kondisi seperti ini, harus ada kerja sama di antara orang tua dan
sekolah.
Harus juga diperhatikan bahwa yang dimaksud
dengan pendidikan di sini tentulah tidak sebatas pendidikan baca tulis.
Segala hal yang memungkinkan untuk diajarkan kepada anak-anak, harus
diajarkan. Jadi, pendidikan di sini meliputi seluruh bidang ilmu seperti
kedokteran, humaniora, sastra, sejarah, filsafat, dan lain-lain. Yang
juga tidak boleh dilupakan adalah pentingnya aspek pendidikan ruhani dan
ibadah. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah SAWW bersabda tentang
pentingnya pengajaran Al-Quran,
... ومن علمه القرآن دعي بالابوين فكسيا حلّتين تضيء من نورهما وجوه أهل الجنة
Artinya: Orang yang mengajarkan Al-Qur'an
itu kelak akan dipanggil dari dua pintu. Dia akan mengenakan dua pakaian
yang memancarkan dua cahaya. Dari kedua cahaya itu tampaklah wajah
penghuni surga.[24]
Maksud dari pengajaran Al-Qur'an di sini
adalah pengajaran yang komprehensif, dimulai dari pengajaran membaca
secara benar sesuai dengan kaidah bahasanya. Berikutnya, si anak harus
didorong untuk menghapal beberapa ayat dengan memperhatikan tingkat
kemampuan akal seorang anak kecil. Setelah itu, mereka juga perlu
diajari tafsir beberapa surat yang relevan dengan kebutuhan anak,
terutama yang berkaitan dengan aqidah dan akhlak, atau juga hal-hal yang
berhubungan dengan hukum-hukum syar'iy (ibadah dan muamalah).
Berikutnya, pada fase inilah si anak harus
mulai diperkenalkan pada tata cara beribadah. Yang pertama kali harus
diajarkan adalah tata cara wudhu dan shalat.
Imam Muhamad Al-Baqir a.s. berkata,
... حتى يتم له سبع سنين فإذا تم له سبع سنين
قيل له اغسل وجهك وكفيك فإذا غسلهما قيل له صلّ ثم يترك , حتى يتم له تسع
سنين , فإذا تمت له تسع سنين علّم الوضوء ...
Artinya: ...Ketika anak sudah berusia tujuh
tahun, katakanlah kepadanya, "Basuhlah wajah dan tanganmu!" Jika sudah
dibasuh, katakanlah, "Shalatlah!" Kemudian biarkan mereka sampai usia
sembilan tahun. Barulah pada saat itu mereka diajari wudhu secara
benar....[25]
Anak-anak juga perlu diajari hadis sebagai
langkah preventif terhadap pengaruh ajaran sesat. Imam Shadiq a.s. dalam
hal ini berkata,
بادروا أولادكم بالحديث قبل أن يسبقكم إليه المرجئة
Artinya: Ajarilah anak-anakmu hadis sebelum mereka terpengaruh faham Murji'ah.[26]
Imam Hasan a.s. menjelaskan tentang hal-hal yang diterimanya sebagai ajaran dari Rasulullah SAWW dengan mengatakan,
علمني جدي رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم
كلمات أقولهن في قنوت الوتر ... اللهم اهدني فيمن هديت وعافني فيم عافيت
وتولني فيمن توليت
Artinya: Kakekku, Rasulullah SAWW
mengajariku kata-kata yang kini biasa aku ucapkan tiap-tiap qunut witir
"Allahummahdini fiman hadayta, wa 'afini fiman 'afayta, watawallani
fiman tawallayta...." [27]
Orang tua juga harus memperhatikan aspek
pengajaran berbagai hal yang berguna bagi kehidupan anak-anak jika sudah
dewasa kelak. Riwayat berikut ini menceritakan bagaimana Imam Ali a.s.
mengajari anaknya, Imam Hasan a.s. berpidato.
يا بنيّ قم فأخطب حتى اسمع كلامك , قال : يا أبتاه كيف أخطب وأنا أنظر إلى وجهك استحيي منك
Artinya: (Imam Ali berkata), "Wahai anakku,
bangunlah untuk berpidato biar aku dengar pidatomu!" Imam Hasan
berkata, "Bagaimana mungkin aku berpidato di hadapanmu, wahai ayahku,
pada saat aku sedang menatap wajahmu? Aku pasti malu" [28]
Kemudian diriwayatkan bahwa Imam Ali mengum-pulkan sanak-saudaranya supaya mereka bersama-sama mendengarkan pidato Imam Hasan.
Rasulullah juga memberikan dorongan kepada
pendidik, orang tua, dan anak dalam kegiatan belajar-mengajar melalui
sabdanya berikut ini.
إن المعلم إذا قال للصبي : بسم الله , كتب الله له وللصبي ولوالديه برائة من النار
Artinya: Jika seorang guru mengajarkan
muridnya lafaz bismillah, Allah akan menetapkan ketentuan terbebas dari
api neraka baginya, bagi si anak itu, serta bagi orang tuanya.[29]
Imam Ali a.s. pernah mendorong orang-orang
agar mereka mengajari anak-anak tentang syair-syair Abu Thalib.
Dirawayatkan bahwa Imam Ja'far Ash-Shadiq a.s. berkata,
كان أمير المؤمنين عليه السلام يعجبه أن يروي
شعر أبي طالب وأن يدوّن , وقال : تعلموه وعلموه أولادكم فانه كان على دين
الله وفيه علم كثير
Artinya: Dulu, Imam Ali a.s. sangat
tertarik dengan puisi Abu Thalib serta susunannya. Beliau berkata,
"Pelajarilah dan ajarkanlah buat anak-anakmu. Sesungguhnya beliau berada
pada agama Allah dan memiliki ilmu yang amat banyak." [30]
3. Melatih Anak untuk Patuh.
Sikap patuh itu sebenarnya mudah dilakukan.
Namun, untuk melaksanakannya sesuai dengan kemampuan, diperlukan
latihan. Anak perlu bantuan khusus dari orang tua dalam hal melatih diri
bersikap patuh sehingga berbagai macam kesulitan yang mungkin ada pada
kepatuhan itu bisa diminimalisasi. Atau, lebih jauh lagi, si anak tidak
merasa asing dengan kepatuhan dan mampu mengadaptasikannya dengan watak
dan budi pekertinya sehingga kepatuhan itu menjadi kebiasaan
sehari-hari. Diharapkan, kelak si anak akan melaksanakan berbagai macam
bentuk kepatuhan dengan gembira, tanpa desakan, keterpaksaan, atau sikap
malas.
Metode yang ditawarkan Islam dalam melatih
kepatuhan anak sangat memperhatikan kemampuan akal dan fisik si anak.
Sebagai contoh, dalam hal latihan melaksanakan shalat, Rasulullah SAWW
bersabda,
مروا صبيانكم بالصلاة إذا بلغوا سبع سنين واضربوهم على تركها إذا بلغوا تسعا
Artinya: Biasakanlah anak-anak untuk shalat
ketika usianya mencapai tujuh tahun. Jika sampai usia sembilan tahun si
anak masih meninggalkan shalat, pukullah.[31]
Pada riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah bersabda,
مروا صبيانكم بالصلاة إذا بلغوا سبع سنين واضربوهم إذا كانوا أبناء تسع سنين
Artinya: Biasakanlah anak-anak untuk shalat kalau usianya mencapai tujuh tahun. Jika sampai usia sembilan tahun, pukullah.[32]
Memukul yang dimaksudkan dalam hadis ini
bisa dalam pengertian yang sebenarnya, yaitu dalam bentuk pukulan fisik
atau bisa juga berarti penunjukan sikap marah. Pukulan memang bisa
berdampak negatif kepada anak. Akan tetapi, dampaknya itu akan segera
hilang; dan itu artinya dampaknya ini sama sekali tidak berarti apa-apa
jika dibandingkan kepentingan yang lebih besar yaitu pelatihan shalat.
Imam Ali a.s. bersabda,
أدّب صغار بيتك بلسانك على الصلاة والطهور , فإذا بلغوا عشر سنين فاضرب ولا تجاوز ثلاثا
Artinya: Perintahkan anak-anak di rumahmu
untuk melakukan shalat dan bersuci. Jika (tidak mau sementara) usianya
mencapai sepuluh, pukullah, tetapi jangan lebih dari tiga kali.[33]
Metode pelatihan shalat yang terbaik adalah
dengan memperhatikan tingkat kemampuan anak-anak. Artinya, mereka
jangan sampai dibebani porsi yang sangat berat karena itu akan
menyebabkan ketidaksenangan terhadap shalat serta akan membangun dinding
jiwa yang memisahkannya dengan shalat.
Diriwayatkan bahwa Imam Ali Zainal Abidin
a.s. menyuruh anak-anak untuk melaksanakan shalat zuhur dan asar di satu
waktu, demikian juga dengan shalat maghrib dan isya. Ketika hal
tersebut ditanyakan kepadanya, beliau menjawab,
هو أخف عليهم وأجدر ان يسارعوا اليها ولا يضيعوها ولا يناموا عنها ولا يشتغلوا
Artinya: Yang demikian itu lebih ringan dan
lebih baik bagi mereka sehingga mau segera melakukannya, tidak
melalaikannya, tidak tidur, serta tidak sibuk mengerjakan yang lain.[34]
Imam kemudian berkata,
إذا أطاقوا فلا تؤخرونها عن المكتوبة
Artinya: Jika mereka mampu, jangan tunda-tunda (menyuruh mereka melakukan) kewajiban.[35]
Dengan demikian, waktu anak-anak itu tidak
terambil kecuali untuk shalat-shalat yang diwajibkan. Pada tahap
pertama, anak-anak hanya boleh dilatih untuk mengerjakan shalat-shalat
wajib. Jika sudah terbiasa dan tumbuh rasa senang, seiring dengan
pertambahan usia, mereka lama-kelamaan akan terbiasa pula mengerjakan
yang shalat-shalat sunnah.
Berkaitan dengan ibadah puasa, anak-anak
harus sudah dilatih mengerjakannya pada usia tujuh tahun. Ketika usia
mereka bertambah, porsi latihan bisa ditambah dengan memperhatikan
kesiapan mental dan batas kemampuan fisik. Imam Shadiq a.s. bersabda,
إنا نأمر صبياننا بالصيام إذا كانوا بني سبع
سنين بما أطاقوا من صيام اليوم , فإن كان إلى نصف النهار أو أكثر من ذلك أو
أقل , فإذا غلبهم العطش والغرث أفطروا حتى يتعودوا
الصوم ويطيقوه فمروا صبيانكم إذا كانوا أبناء تسع سنين بما أطاقوا من صيام فإذا غلبهم العطش أفطروا
Artinya: Kami biasa melatih anak-anak
berpuasa ketika usia mereka mencapai tujuh tahun yang disesuaikan dengan
kemampuan, meskipun mereka hanya berpuasa setengah hari, kurang atau
lebihnya. Jika mereka kehausan atau kelaparan, kami suruh mereka
berbuka. Itu supaya mereka terbiasa dan kuat melakukan puasa. Karena
itu, jika anak-anakmu mencapai usia sembilan tahun, suruhlah berlatih
berpuasa. Jika kehausan, suruhlah berbuka! [36]
Diriwayatkan, seseorang pernah bertanya kepada Imam Shadiq a.s. mengenai kapan seorang anak itu mulai berpuasa. Imam menjawab,
أذا قوى على الصيام
Artinya: Kapan saja ketika dia dianggap kuat berpuasa.[37]
Jika seorang anak sudah melatih diri
melakukan puasa pada usia-usia awal, bisa dipastikan bahwa dia tidak
akan lagi menganggap puasa sebagai beban tugas yang memberatkannya.
Ada riwayat lain dari Muawiyah bin Wahab.
Dia bertanya kepada Imam Shadiq a.s. tentang sejak kapan seorang anak
laki-laki wajib melaksanakan puasa. Beliau menjawab,
ما بينه وبين خمس عشرة سنة وأربع عشرة سنة فإن هو صام قبل ذلك فدعه , ولقد صام ابني فلان قبل ذلك فتركته
Artinya: Jika usianya mencapai sekitar
empat belas atau lima belas tahun. Jika dia sudah berpuasa sebelum
usia-usia itu, biarkanlah! Anakku sendiri telah berpuasa sebelum usia
itu, tapi aku biarkan.[38]
Jenis latihan ketaatan yang lainnya adalah
berkenaan dengan ibadah haji. Di-sunnah-kan untuk melatih anak-anak
melakukan ibadah ini. Diriwayatkan bahwa salah seorang
Imam (mungkin Imam Shadiq atau Imam Baqir) berkata,
إذا حجّ الرجل بابنه وهو صغير فإنه يأمره أن
يلبي ويفرض الحج فإن لم يحسن أن يلبي لبى عنه ويطاف به ويصلي عنه ... يذبح
عن الصغار ويصوم الكبار ويتقى عليهم ما يتقى على
المحرم من الثياب والطيب فإن قتل صيدا فعلى أبيه
Artinya: Jika seseorang melakukan ibadah
haji sambil membawa anaknya, suruhlah juga anaknya itu untuk ber-talbiah
(mengumandangkan lafaz labbbaik allahumma labbaik ...., pen.) dan
mengerjakan rukun haji yang lainnya. Jika ternyata belum bisa,
niatkanlah untuk ber-talbiah, ber-thawaf, dan shalat atas nama anaknya
itu ... menyembelih hewan kurban buat anak-anak; yang dewasa harus
berpuasa. Mereka juga harus menjaga diri dari segala hal yang terlarang
bagi orang yang berihram seperti cara berpakaian dan penggunaan parfum.
Jika anak-anak membunuh binatang buruan, dendanya ditanggung
ayahnya.[39]
Berkaitan dengan latihan haji ini, ada yang
mempertanyakan kesiapan fisik anak dalam berihram jika musim haji jatuh
pada saat udara dingin. Imam Shadiq menjawab,
ائت بهم العرج فيحرموا منها ... فإن خفت عليهم فائت بهم الجحفة
Artinya: Bawalah mereka berihram di 'Arj. Jika masih khawatir juga (dengan udara dingin), bawalah ke Juhfah.[40]
Beliau juga berkata,
انظروا من كان معكم من الصبيان فقدموه إلى
الجحفة أو إلى بطن مرّ ويصنع ما يصنع بالمحرم ويطاف بهم ويرمى عنهم ومن
لايجد منهم هديا فليصم عنه وليه
Artinya: Jika engkau membawa serta anak
kecil ketika berihram, bawalah ke Juhfah atau ke tempat yang lebih
rendah. Suruhlah mereka mengerjakan sebagaimana layaknya orang yang
berihram. Ikutkan mereka dalam thawaf dan melempar jumrah. Jika mereka
tidak punya uang untuk berkurban, walinya yang berpuasa buatnya.[41]
Dalam sebuah riwayat diceritakan kisah berikut ini.
وكان الإمام علي بن الحسين عليه السلام يضع السكين في يد الصبي ثم يقبض على يديه الرجل فيذبح
Artinya: Pernah Imam Ali bin Husein a.s.
meletakkan pisau di tangan seorang anak kemudian tangan itu ditarik oleh
seseorang untuk bersama-sama menyembelih hewan kurban.[42]
Cara melatih kepatuhan anak yang lain yang
juga disunnahkan adalah dengan melatihnya berbuat kebajikan, seperti
bersedekah kepada fakir miskin. Imam Ali Ar-Ridha a.s. bersabda,
مر الصبي فليتصدق بيده بالكسرة والقبضة والشيء وان قلّ , فإن كل شيء يراد به الله وان قلّ بعد أن تصدق النية فيه عظيم ...
Artinya: Latihlah anak-anakmu menyedekahkan
uang logam atau kertas langsung tangannya, walaupun sedikit.
Sesungguhnya segala sesuatu yang dikehendaki Allah, walaupun sedikit,
akan sangat besar nilainya ketika sudah disedekahkan.[43]
Beliau juga berkata,
فمره أن يتصدق ولو بالكسرة من الخبز
Artinya: Latihlah anak-anakmu bersedekah walaupun dengan sepotong roti.[44]
Dampak positif lain dari latihan bersedekah
adalah bahwa latihan ini bisa menjadi metode terbaik dalam mendidik
mereka untuk tidak terikat kepada hal-hal yang duniawi. Rasa cinta
kepada harta juga akan banyak tereduksi dari jiwa anak dan, tentu saja,
hal ini juga akan menumbuhkan rasa empati kepada fakir miskin.
Tidak diragukan lagi bahwa latihan ibadah
sejak kecil yang dilakukan oleh seorang anak akan menumbuhkan kebiasaan
yang kelak akan dilakukan terus menerus olehnya ketika sudah dewasa.
Bukti paling nyata adalah sejarah hidup Ahlul Bait a.s. Imam Hasan dulu
diriwayatkan melakukan ibadah haji dengan berjalan kaki sebanyak dua
puluh kali.
Demikian juga dengan Imam Husein. Karena
kebiasaannya, yang beliau minta dari tentara Yazid di malam terakhir
peristiwa Karbala adalah kesempatan bagi dia dan sahabatnya untuk
menyepi. Maka ketika malam tiba, mereka terjaga sepanjang malam untuk
melakukan shalat, beristighfar, bermunajat, dan berdoa.
Imam Ali bin Husein as. sampai diberi gelar
Zainal Abidin (hiasan orang-orang yang beribadah) karena demikan
banyaknya beliau beribadah. Sebuah riwayat mengatakan bahwa beliau itu
tidak pernah meninggalkan shalat malam, pada waktu berperjalanan atau
ada di rumah.
Demikian juga dengan imam-imam Ahlul Bait
yang lain. Mereka menjadi teladan paling utama dalam hal hubungan dengan
Allah dan keikhlasan beribadah. Itu semua tidak lepas dari proses
pembiasaan yang mereka dapatkan semasa kecil. Dengan pembiasaan itulah
mereka mereka akhirnya mendapatkan rasa senang dan punya dorongan untuk
melakukannya.
Karena itu, orang tua harus selalu
memberikan dorongan kepada anak-anak agar membiasakan diri taat
menjalankan perintah agama dengan cara yang paling efektif, mungkin
dengan pemberian perhatian, pujian, atau bisa juga dengan pemberian
hadiah (bisa berupa materi atau spiritual).
4. Pengawasan Anak.
Pada fase ini, keberhasilan pendidikan anak
juga mensyaratkan adanya pengawasan orang tua terhadap mereka.
Anak-anak perlu diarahkan kepada hal-hal yang benar dan baik. Mereka
juga memerlukan pengawasan dalam hal cara berpikir, serta pengembangan
imajinasi dan humanisme. Tentu saja, semua bentuk pengawasan itu harus
dilakukan dengan dengan cara yang benar jangan sampai membebani si anak.
Dalam waktu-waktu tertentu, sebaiknya orang tua melakukannya dengan
cara seakan-akan dia adalah seorang kawan yang sedang mencoba membantu
si anak dari kesulitan yang ia hadapi.
Pengawasan dalam hal pergaulan anak perlu
lebih ditekankan dibandingkan dengan pengawasan di rumah. Orang tua
harus memilihkan kawan-kawan bermainnya. Usahakan supaya kawan-kawannya
itu hanyalah yang saleh-saleh.
Terkadang, penjelasan dan nasehat tidak
begitu berguna. Untuk itu, pemberian hukuman bisa menjadi cara yang
efektif. Mereka juga harus dilatih untuk introspeksi dan mau menerima
koreksi. Lebih jauh lagi, harus tertanam di benak mereka konsep
pengawasan yang dilakukan Allah. Konsep ini sangat efektif sebagai
tameng yang akan mencegah anak dari penyelewengan walaupun pengawasan
dari orang tua tidak ada.
Pada dasarnya, pengawasan adalah kewajiban
ayah dan ibu. Mereka berdua memiliki porsi tugas yang disesuaikan dengan
kemampuan dan pengalaman hidup. Karenanya, mereka berdua harus saling
membantu. Akan tetapi, karena biasanya ayah lebih sering berada di luar
rumah, porsi tugas pengawasan seorang ibu terhadap anaknya (baik anaknya
itu laki-laki ataupun perempuan) terkadang menjadi lebih besar.
Hal penting lain yang harus diperhatikan
adalah bahwa jangan sampai si anak merasa tidak diacuhkan oleh orang
tuanya. Kondisi pengawasan melekat harus selalu terjaga. Orang tua
terkadang bisa meminta bantuan pihak-pihak lain untuk ikut mengawasi
anaknya terutama dalam situasi yang di sana orang tua tidak bisa
melakukannya. Dalam hal ini, mereka bisa memberikan kepercayaan kepada
famili dan kawan terdekat. Demikian juga, sekolah-sekolah dan institusi
tempat si anak beraktivitas sosial memiliki peran pengawasan yang sangat
besar dalam pendidikan si anak agar ia tidak terjerumus ke dalam
penyimpangan perilaku.
5. Pencegahan atas Perilaku Asusila.
Perilaku asusila termasuk di antara
perilaku yang sangat berbahaya yang mengakibatkan berbagai krisis
sosial. Karena itu, Islam sangat memperhatikan masalah ini secara khusus
dengan mengajarkan cara-cara pencegahan dan terapi seandainya perilaku
itu sudah terbentuk. Di sinilah tanggung jawab dan peran orang tua harus
dijalankan dengan sungguh-sungguh karena pendidikan dalam rangka
menghasilkan kesucian jiwa dan kesalehan anak-anak adalah tugas
terpenting mereka. Rasulullah SAWW bersabda,
من حق الولد على والده أن يحسن اسمه إذا ولد وأن يعلمه الكتابة إذا كبر , وأن يعفّ فرجه إذا أدرك
Artinya: Hal-hal berikut ini adalah
termasuk hak yang dimiliki seorang anak atas ayahnya, yaitu bahwa
ayahnya memberinya nama yang bagus ketika lahir, mengajarkan kepadanya
baca tulis ketika beranjak besar, serta menyucikan kehormatannya dari
perilaku asusila ketika sudah mengenal (masalah seksual--pen.)[45]
Pendidikan yang berkaitan dengan penjagaan
kesucian ini dilakukan dengan melakukan langkah-langkah pencegahan atas
gejala asusila. Langkah-langkah ini harus dimulai sejak si anak belum
mencapai usia baligh.
Langkah pertama adalah menjauhkan anak-anak
dari segala sesuatu yang bisa mengobarkan hasrat seksual. Mereka juga
harus dijauhkan dari pengetahuan yang merangsang imajinasi. Rasulullah
bersabda,
والذي نفسي بيده لو أنّ رجلا غشي أمرأته ,
وفي البيت صبي مستيقظ يراهما ويسمع كلامهما ونفسهما ما أفلح أبدا , ان كان
غلاما كان زانيا , أو جارية كانت زانية
Artinya: Demi Allah yang jiwaku berada di
tangan-Nya, jika seseorang menggauli istrinya sementara di rumahnya ada
seorang anak yang terjaga, kemudian si anak melihat serta mendengar
kata-kata dan tarikan nafas mereka berdua, si anak tidak akan bahagia
seumur hidup! Anak itu, baik laki-laki maupun perempuan, pasti akan
menjadi pezina.[46]
Langkah berikutnya yang harus dilakukan adalah adalah dengan memisahkan tempat tidur anak-anak. Imam Ali a.s. berkata,
... وفرّقوا بينهم في المضاجع إذا كانوا ابناء عشر سنين
Artinya: Kalau anak-anakmu itu sudah mencapai usia sepuluh tahun, pisahkanlah tempat tidur mereka.[47]
Imam Baqir a.s. berkata,
يفرّق بين الغلمان والنساء في المضاجع إذا بلغوا عشر سنين
Artinya: Seandainya anak-anak sudah berusia
sepuluh tahun, tempat tidur anak laki-laki harus dipisahkan dari tempat
tidur anak perempuan.
Rasulullah SAWW juga bersabda,
الصبي والصبي , والصبي والصبية , والصبية والصبية يفرّق بينهم في المضاجع لعشر سنين
Artinya: Ketika sudah mencapai usia sepuluh
tahun, pisahkan tempat tidur anak-anak, baik antara anak laki-laki,
laki-laki dan perempuan, ataupun antara anak-anak perempuan.[48]
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Imam
Ja'far Shadiq a.s. melarang laki-laki untuk mendekati seorang anak
perempuan telah berusia enam tahun, bila ia bukan muhrimnya. Beliau
berkata,
إذا أتى عليها ست سنين فلا تضعها على حجرك
Artinya: Jika anak perempuan sudah mencapai usia enam tahun, jangan biarkan ia di dalam kamarmu.[49]
Beliau juga melarang untuk menciumnya. Beliau berkata,
إذا بلغت الجارية الحرّة ست سنين فلا ينبغي لك أن تقبلها
Artinya: Jika ada seorang anak perempuan yang telah mencapai usia enam tahun, janganlah engkau menciuminya! [50]
Tentu saja, yang dimaksud di sini adalah
larangan ciuman dari orang-orang lain, bukan dari keluarga sendiri
seperti ayah, ibu, paman, dan semua famili yang termasuk ke dalam
muhrim. Karena itu, larangan ini juga berlaku buat anak laki-laki. Dalam
hal ini Rasulullah bersabda,
... والغلام لا يقبّل المرأة إذا جاز سبع سنين
Artinya: Jika seorang anak laki-laki telah berusia tujuh tahun, jangan biarkan ia mencium perempuan.[51]
Jika perilaku tindakan asusila ini telah
terjadi, orang tua bisa saja menjatuhkan hukuman sampai batas yang
kira-kira membuat si anak jera dan tidak mengulanginya. Imam Shadiq
pernah ditanya tentang hukuman apa yang harus diberikan kepada seorang
anak kecil berusia sepuluh tahun yang berzina dengan seorang perempuan,
beliau menjawab,
يجلد الغلام دون الحدّ
Artinya: Anak itu harus dicambuk dibawah had (tidak sampai batas hukuman sebagaimana bagi orang dewasa-- pen.).[52]
Kita juga harus betul-betul mengawasi
anak-anak terhadap segala hal yang memungkinkan terciptanya gejolak
jiwa. Dewasa ini, hal-hal tersebut akan sangat mungkin terjadi karena
mereka dikepung dengan aneka cerita, gambar, film, dan segala hal yang
berpotensi merusak kesucian jiwa. Karena itu, sebagai bentuk pencegahan
atas kemungkinan terjadinya perilaku asusila, kita harus mengawasi
mereka manakala sendirian ataupun ketika mereka bersama orang lain.
6. Menciptakan Hubungan dengan Teladan yang Baik.
Di akhir periode ini, anak-anak akan punya
kecenderungan yang sangat kuat untuk meniru apapun yang ada pada diri
kebanyakan orang terutama mereka yang menjadi lingkungan baginya. Para
psikolog menamai sebuah gejala kejiwaan dari seorang anak pada usia ini
yang selalu ingin meniru orang lain secara fisik dengan istilah
"peniruan". Keinginan ini sangat cepat timbulnya dan akan cepat juga
berhenti ketika sumber peniruan itu tidak ada.
Ada pula jenis peniruan yang bersifat
nonfisik. Prosesnya berlangsung perlahan tetapi pengaruhnya sangat kuat
menempel pada akal dan jiwa.[53] Contoh konkretnya adalah perilaku
taqlid (patuh) dan peneladanan kepada pribadi-pribadi agung. Kepribadian
mereka akan sangat kuat mempengaruhi anak-anak muda. Anak-anak muda
mempunyai kecenderungan untuk merasa tertarik, meneladani dan
menghormati orang-orang yang mulia, yang memiliki sifat-sifat
keteladanan, dan yang memiliki pengaruh kuat pada masyarakat, seperti
para pejabat, tokoh, para juara, orang-orang sukses, serta guru sekolah
dan ustadz madrasah.[54]
Para psikolog berpendapat bahwa pada dalam
diri setiap manusia terdapat kebutuhan untuk memiliki idola.[55]
Kebutuhan ini sangat signifikan. Dalam pandangan para psikolog itu,
kepribadian ideal yang menjadi idola bagi tiap manusia itu akan sangat
bermacam-macam dan bergantung kepada berbagai faktor, seperti fisik,
kejiwaan, dan sosial. Idola itu sangat mungkin kemudian akan
diejawantahkan dalam paradigma dan cita-cita hidupnya.
Dalam pengertian seperti ini, tentulah
idola akan menjadi faktor yang sangat penting bagi manusia, terutama
anak-anak yang berada pada akhir-akhir fase remaja ini. Satu hal yang
perlu ditekankan adalah bahwa idola ini, meskipun tidak beranjak dari
sekedar konsep, tidak menemui realitasnya, atau tidak sampai membentuk
paradigma serta cita-cita hidup, ia akan tetap tinggal dalam benak.
Karena itu, si anak tetap memerlukan contoh dan teladan dalam
kehidupannya. Dalam hal ini, idola terbaik tentulah pribadi-pribadi
agung yang bisa mereka dapatkan dalam diri orang-orang terdahulu.[56]
Mereka adalah para nabi, Ahlul Bait
Rasulullah, sahabat dan tabi'in yang shalih, serta para ulama terdahulu.
Merekalah teladan dalam berbagai keutamaan sifat serta kehormatan jiwa.
Salah satu bukti nilai keteladanan yang mereka miliki adalah bahwa
eksistensi mereka telah banyak mempengaruhi berbagai lapisan masyarakat
sepanjang sejarah, sampai-sampai keberadaan mereka itu sedemikian
diagungkan dan disucikan.
Kehidupan orang-orang saleh itu penuh
dengan nilai-nilai kebajikan yang sangat diperlukan manusia sebagai
pegangan. Peneladanan anak-anak kepada mereka inilah yang akan membentuk
kepribadian mulia, mengikuti apa yang mereka teladani. Jika mereka
sampai kehilangan teladan, elan vital mereka akan membeku, semangat
mengendur, dan mungkin saja keperluan meneladani ini akan mereka alihkan
kepada pribadi-pribadi awam di lingkungan sekitarnya.
Oleh sebab itu, orang tua berkewajiban
untuk mengarahkan pandangan, pikiran, dan kecenderungan anak-anak ke
arah pribadi-pribadi teladan sejak Nabi Adam a.s. hingga orang-orang
mulia zaman sekarang. Pada diri mereka terdapat teladan-teladan yang
secara historis memiliki konteks yang khas, tetapi semuanya mengandung
nilai kemuliaan, kebajikan, dan kepemimpinan dalam hidup.
Keteladanan yang suci tersebut memiliki
pengaruh dan tempat yang mulia di seluruh sudut kehidupan anak-anak.
Dampak dari peneladanan itu akan termanifestasikan dalam kepribadian,
mental, logika, dan paradigma hidup mereka. Pada gilirannya, hal ini
akan mendorong si anak untuk mencapai posisi tinggi sebagaimana yang
telah dicapai oleh orang-orang saleh yang mereka teladani.
Catatan Kaki:
________________________________________
[1] Hadits ila Al-Ummahat:207
[2] 'Ilm Al-Nafs:385
[3] Makarim Al-Akhlaq:222
[4]Ibid:223
[5]Ibid:222
[6]Tuhaf Al-'Uqul:189
[7]Al-Shahifah Al-Sajjadiyyah Al-Jami'ah:128-129
[8]Mustadrak Al-Wasail 2:625
[9]Nahj Al-Balaghah, dengan catatan kaki Dr. Subhi Shaleh:546
[10]Nahj Al-Balaghah:393
[11]Kanz Al-'Ummal 2:539, hadis ke-4675
[12]Mustadrak Al-Wasail 2:362
[13]Bihar Al-Anwar 100:74
[14]Al-Kafi 6: 46
[15]Ibid:51
[16]Jamil Shulaiba, Ilmu Al-Nafs:383
[17]Hadits ila Ummahat: 217
[18]Kanzul 'Umal 10:294, hadis 29336
[19]Ibid:238, hadis 29258
[20]Ibid:854, hadis 45953
[21]Mustadrak Al- Wasail 2:626
[22]Tuhaf Al-Uqul:193
[23]Makarim Al-Akhlaq:220
[24]Al-Kafi 2:49
[25]Man Laa Yahdhuruhu Al -Faqih 1: 182
[26]Al -Kafi 2:47
[27]Mukhtasar Tarikh Dimasyq 7:5
[28]Bihar Al-Anwar 43:351
[29]Mustadrak Al-Wasail 2:625
[30]Ibid
[31]Ibid 2:624
[32]Bihar Al-Anwar 101:98
[33]Tanbih Al-Khawatir:390
[34]Mustadrak Al-Wasail 2:624
[35]Ibid
[36]Al-Kafi 4:124
[37]Ibid 4:125
[38]Ibid
[39]Ibid 4:303
[40]Ibid 4:304
[41]Ibid
[42]Ibid
[43]Al-Wasail 9:376
[44]Ibid
[45]Mustadrak Al-Wasail 2:626
[46]Wasail Al-Syiah 20:133
[47]Mustadrak Al-Wasail 2:558
[48]Wasail Al-Syiah 20:231
[49]Ibid 20:229
[50]Ibid 20: 230
[51]Ibid 20:230
[52]Makarim Al-Akhlaq: 320
[53]'Ilm Al-Ijtima'iy: 86
[54]Ibid: 140
[55]Jamil Shaliba, 'Ilm An-Nafs : 728
[56]Ilm Al-Ijtima': 146Menanamkan Pendidikan Akhlak yang Baik Bagi Anak dengan Belajar pada Ahlinya
Fase ini dimulai dari ketika anak genap
berusia tujuh tahun hingga empat belas tahun. Di masa ini anak tengah
mempersiapkan dirinya untuk menjadi manusia matang dan satu anggota dari
masyarakatnya. Pada fase ini, anak mulai menghilangkan kebiasaannya
meniru apa yang dilakukan oleh orang dewasa dan mulai memperhatikan alam
dan lingkungan sekitarnya. Saat itulah daya pikir anak mulai terbuka
dan mampu untuk berimajinasi dan menangkap banyak masalah yang tidak
kasat mata.
Ia mulai berpikir tentang dirinya sendiri.
Ia memandang dirinya sebagai salah satu mahluk yang hidup, berdiri
sendiri, dan memiliki kehendak yang lain dari kehendak orang lain. Cara
yang dilakukannya untuk menunjukkan keberadaan dirinya itu seringkali
berupa perlawanan dan penentangan terhadap apa yang selama ini biasa ia
lakukan. Ia berusaha untuk menampakkan jati dirinya dengan menentang dan
membuat keluarganya marah demi menunjukkan kepada mereka bahwa ia
adalah dirinya.[1] Anak seperti ini akan memilih jenis dan warna
pakaiannya sendiri, ingin bebas menentukan pelajaran yang ia sukai, dan
berhubungan dengan siapa pun yang ia sukai dan dengan cara semaunya.
Pada masa inilah orang tua harus memberikan
perhatian ekstra terhadap pendidikannya karena kini ia tengah berada di
awal hubungan sosialnya dalam lingkup yang lebih luas dengan masuknya
ia ke sekolah. Sekolah sendiri berpotensi besar dalam membangun
kepribadian anak dengan adanya banyak anak di sana yang masing-masing
mempunyai tingkat kecerdasan dan kegesitan tersendiri.Anak akan tergugah
untuk bersaing dengan mereka dan hal itu sangat berpengaruh pada
karekternya.[2]
Beberapa faktor penting yang berkaitan
dengan pembangunan karakter anak dalam fase ini antara lain adalah pola
interaksinya dengan ayah, ibu, dan seluruh anggota keluarga yang lain,
keadaan fisiknya, seperti tinggi dan berat badannya, serta hal-hal yang
didengar dan dipelajarinya.
Kebutuhan anak di fase remaja ini berbeda
dengan kebutuhannya di fase-fase sebelumnya. Hal ini harus diperhatikan
oleh orang tua dan diusahakan untuk memenuhinya. Kebutuhan anak tersebut
antara lain adalah sebagai berikut.
Kebutuhan primer, seperti makanan, minuman, dan pakaian.
2. Kebutuhan psikis, seperti ketenangan jiwa dan emosi.
3.Kebutuhan terhadap penerimaan dirinya oleh masyarakat.
4.Kebutuhan terhadap perhatian dan penghormatan atas dirinya.
5.Kebutuhan untuk mempelajari banyak hal yang dapat memupuk bakatnya sebagai bekal menempuh perjalanan panjang kehidupannya.
6.Kebutuhan untuk mengenal
pemikiran-pemikiran yang menjadi wacana dalam masyarakat dan mengenal
isi dunia, yang tentu saja, disesuaikan dengan kemampuan dan kematangan
anak seusia ini.
Anak perlu mendapatkan perhatian yang
ekstra ketat dalam melewati fase yang rentan ini, tetapi tentu saja
dengan tetap memberinya kebebasan yang merupakan salah satu kebutuhan
aslinya.
Rasulullah SAWW bersabda,
الولد سيّد سبع سنين وعبد سبع سنين ووزير سبع سنين
Artinya: Anak adalah tuan selama tujuh tahun, budak selama tujuh tahun, dan menteri selama tujuh tahun. [3]
Amirul Mukminin Ali a.s. berkata,
يرخى الصبي سبعا ويؤدب سبعا ويستخدم سبعا
Artinya: Anak dibiarkan melakukan apa saja
selama tujuh tahun, dihukum jika melakukan kesalahan, dan diperbantukan
selama tujuh tahun. [4]
Imam Ja'far Shadiq a.s. berkata,
دع ابنك يلعب سبع سنين ويؤدب سبعا والزمه نفسك سبعا
Artinya: Biarkan anakmu bermain sepuasnya
selama tujuh tahun, didiklah ia selama tujuh tahun, dan jangan pisahkan
dirinya darimu selama tujuh tahun. [5]
Memang, mendidik anak di masa ini sangat
sulit sehingga diperlukan usaha dan keuletan yang lebih besar dari orang
tua dalam mendidik, menjaga dan mengontrol setiap gerak-gerik anak,
termasuk pola berpikir, perasaan, dan pelajaran sekolahnya. Selain itu,
ayah dan ibu harus memenuhi semua keperluannya yang beraneka ragam. Anak
pada masa ini tengah membutuhkan pengarahan intensif dari orang tuanya,
juga bimbingan mereka dalam mengarungi samudera kehidupan yang penuh
tantangan dan liku-liku ini.
Berikut ini kami kemukakan beberapa hal penting yang berhubungan dengan pendidikan anak di fase ini.
1. Pendidikan Ekstra Ketat.
Mendidik anak dengan baik dan benar dan
mengajarinya budi pekerti yang luhur merupakan tugas dan tanggung jawab
yang berada di pundak ayah dan ibu. Di lain pihak, adalah hak anak untuk
mendapatkan pendidikan yang benar tersebut. Pada fase ini, anak sangat
memerlukan perhatian dan pengawasan ketat dari orang tuanya. Karena itu,
orang tua harus meluangkan waktu dan tenaga yang lebih besar.
Imam Ali bin Al-Husain a.s. berkata,
وأمّا حقّ ولدك ... إنك مسؤول عمّا وليته من
حسن الأدب و الدلالة على ربه والمعونة له على طاعته فيك وفي نفسه فمثاب على
ذلك ومعاقبفاعمل في أمره عمل المتزين بحسن أثره عليه
في عاجل الدنيا المعذر إلى ربه فيما بينك وبينه بحسن القيام عليه والأخذ له منه
Artinya: Hak anakmu adalah…engkau
bertanggung jawab untuk mengajarkan kepadanya akhlaq karimah,
mengenalkan kepada Tuhan dan membantunya untuk patuh kepadamu. Tugas
berat ini besar sekali pahalanya dan sebaliknya, siksaan menunggu jika
melalaikannya. Karena itu, lakukanlah apa yang bisa membuatmu berbangga
atasnya di masa depan dan terbebas dari hukuman Tuhan atas tanggung
jawab yang Dia berikan kepadamu, dengan mendidiknya secara baik dan
benar.[6]
Karena fase ini merupakan fase yang sulit
dalam kehidupan, ayah dan ibu harus mengangkat tangannya dan berdoa
kepada Allah SWT agar mendapat taufik dalam mengemban tugas mulia dan
besar ini.
Imam Ali bin Al-Husain a.s. mengatakan,
اللهم ومنّ عليّ ببقاء ولدي ... وربّ لي
صغيرهم .. وأصحّ لي ابدانهم وأديانهم وأخلاقهم ... واجعلهم ابرارا اتقياء
بصراء ... وأعني على تربيتهم وتأديبهم وبرهم ... واعذني
وذريتي من الشيطان الرجيم
Artinya: Ya Allah lindungilah anak-anakku
dan keturunanku....Didiklah mereka yang masih kecil.... Sehatkanlah
badan mereka dan selamatkanlah agama dan akhlak mereka....Jadikanlah
mereka orang-orang yang bertakwa dan berpengetahuan....Bantulah aku
dalam mendidik mereka dengan benar....Lindungilah aku dan keturunanku
dari godaan syetan yang terkutuk. [7]
Banyak riwayat yang menekankan kewajiban mendidik anak dengan baik dan menanamkan akhlak yang mulia kepadanya.
Rasulullah SAWW bersabda,
أكرموا أولادكم واحسنوا آدابهم
Artinya: Hormatilah anak-anak kalian dan perbaikilah perangainya.[8]
Imam Amirul Mukminin Ali a.s. berkata,
إن للولد على الوالد حقا , وإن للوالد على
الولد حقا , فحق الوالد على الولد أن يطيعه في كل شيء , إلا في معصية الله
سبحانه , وحق الولد على الوالد أن يحسن اسمه , ويحسن
أدبه , ويعلمه القرآن
Artinya: Anak memiliki hak atas ayahnya dan
ayah juga memiliki hak atas anaknya. Hak ayah atas anak adalah bahwa
anak wajib untuk patuh dan taat kepadanya dalam setiap hal, kecuali yang
berhubungan dengan maksiat. Hak anak atas ayahnya adalah ayah harus
memberinya nama yang bagus, mendidiknya dengan baik, dan mengajarinya
Al-Qur'an.[9]
Pendidikan di fase ini lebih penting pada
fase-fase lainnya karena anak di usia ini relatif masih bersih dan belum
tercemari sehingga mau mendengar dan menerima semua nasehat dan
bimbingan. Karena itu, orang tua harus pandai-pandai mempergunakan
kesempatan ini untuk mendidiknya dengan benar.
Dalam wasiatnya kepada putranya, Al-Hasan a.s., Imam Ali a.s. berkata,
... وإنما قلب الحدث كالأرض الخالية ما ألقي
فيها من شيء قبلته فبادرتك بالأدب قبل أن يقسو قلبك , ويشتغل لبّك ,
لتستقبل بجد رأيك من الأمر ما قد كفاك أهل التجارب بغيته
وتجربته ...
Artinya: …Sesungguhnya hati anak kecil
bagaikan tanah kosong yang menerima apa saja yang dilemparkan kepadanya.
Karena itu, aku cepat-cepat menyemaikan wasiatku ini kepadamu sebelum
hatimu mengeras dan pikiranmu disibukkan oleh hal-hal lain agar engkau
memanfaatkan pengalaman mereka yang berpengalaman dalam menentukan sikap
dalam hidupmu. [10]
Beliau juga mengatakan,
علموا أنفسكم وأهليكم الخير وادبوهم
Artinya: Ajarilah diri dan keluargamu tentang kebajikan dan didiklah mereka dengan benar. [11]
Perlu dicatat, pendidikan yang ditekankan
tidak lain adalah pendidikan dengan konsep Islami yang menjadikan
masalah penghambaan kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya menjadi poros
segala masalah kehidupan.
Imam Ja'far Shadiq a.s. berkata,
اعملوا الخير وذكّروا به أهليكم وأدّبوهم على طاعة الله
Artinya: Berbuatlah kebajikan dan ajaklah
keluargamu untuk melakukannya pula serta didiklah mereka untuk taat
kepada Allah. [12]
Beliau juga berkata,
تأمرهم بما أمر الله به وتنهاهم عما نهاهم الله عنه ...
Artinya: Perintahkanlah mereka dengan
hal-hal yang Allah perintahkan dan laranglah mereka melakukan hal-hal
yang dilarang oleh Allah.[13]
Hadis ini menjadi pedoman umum dan
menyeluruh; menjadi dasar metode pendidikan yang sehat di setiap segi
kehidupan pribadi dan sosial serta pembentukan watak dan kejiwaan. Jika
kedua orang tua mampu menerapkan metode pendidikan ini dengan tepat,
dapat dipastikan bahwa si anak kelak akan menjadi anggota masyarakat
yang baik.
Sejarah mencatat bahwa Ahlul Bait a.s.
senantiasa menerapkan metode yang tepat dalam mendidik anak-anak mereka.
Anak-anak mereka dipersiapkan dan dididik secara sempurna sehingga
ketika dewasa mereka memiliki akhlak mulia serta menjadi teladan dalam
segala hal.
Ali a.s., contohnya. Beliau melewati masa
kecilnya di rumah Rasulullah SAWW semasa beliau belum dilantik sebagai
nabi. Ketika Rasulullah berdakwah, Ali adalah orang yang pertama kali
menyatakan keimanan. Keimanan beliau itu betul-betul tulus yang
ditunjukkan dengan ketaatan mutlak terhadap Allah dan rasul-Nya.
Ketika dewasa, beliau menjadi teladan tanpa
tanding dalam hal keberanian, pengorbanan, kedermawanan,
kerendahhatian, kejujuran, dan seluruh keutamaan akhlak lainnya. Pada
gilirannya, Imam Ali kemudian mendidik anak-anaknya dengan cara yang
serupa sehingga mengantarkan mereka sampai ke puncak kesempurnaan
akhlak. Demikian juga yang terjadi pada para imam berikutnya.
Beban yang dipikul oleh orang tua dalam
mendidik anak akan makin berat seandainya masyarakat tempat mereka
tinggal makin jauh dari Islam. Atau, bisa jadi secara realitas
masyarakatnya beragama Islam, tetapi bentuk kehidupan yang Islami tidak
termanifestasikan di dalamnya. Penyebabnya bermacam-macam, seperti
pengaruh tradisi dan sikap konservatif, atau pengaruh kerancuan sistem
pendidikan anak-anak, yang terutama, biasa kita dapatkan dari media
massa seperti radio, televisi, film, dan lain-lain.
Perlu dicatat juga bahwa pendidikan jasmani
anak termasuk ke dalam bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan
jiwa, mental, dan kepribadian. Bahkan faktor ini bisa disebut sangat
penting sehingga Rasulullah sendiri bersabda,
علموا أولادكم السباحة والرماية
Artinya: Ajarilah anakmu berenang dan memanah.[14]
Imam Musa Al-Kazhim a.s. memasukkan latihan
anak-anak dalam mengerjakan hal-hal yang sulit sebagai hal yang
dianjurkan. Beliau berkata,
تستحب عرامة الصبي في صغره ليكون حليما في كبره
Artinya : Sebaiknya, latihlah fisik anak semasa kecil supaya dia menjadi orang sabar ketika sudah besar.[15]
Di kalangan ilmuwan psikologi dan
pendidikan sendiri sudah lama diketahui bahwa kesehatan badan sangat
berpengaruh terhadap kesehatan jiwa.[16]
2. Dorongan untuk Belajar.
Pada fase ini, belajar adalah hal yang
penting bagi anak-anak. Inilah saat yang tepat untuk memberikan dorongan
belajar kepada mereka, mematangkan kekuatan akal, serta mewujudkan
kecintaan hakiki mereka terhadap penguasaan ilmu.[17]
Pada masa ini, anak-anak memiliki potensi
yang kuat untuk menghapal apapun yang sampai ke pendengarannya. Karena
itu, proses belajar menjadi sangat penting untuk menanamkan berbagai
pengetahuan dan membuatnya tetap melekat dalam ingatan anak. Berkaitan
dengan hal ini, Rasulullah SAWW bersabda,
مثل الذي يتعلم في صغره كالنقش في الحجر
Artinya: Orang yang belajar di waktu kecil itu ibarat melukis di atas batu.[18]
Dalam kesempatan lain, beliau juga bersabda,
حفظ الغلام كالوسم على الحجر
Artinya: Memori anak-anak itu seperti tanda terpahat di batu.[19]
Demikian pentingnya pendidikan anak-anak sampai-sampai Rasulullah secara khusus berwasiat kepada para orang tua,
مروا أولادكم بطلب العلم
Artinya: Perintahlah anakmu untuk mencari ilmu.[20]
Bahkan, menurut Rasulullah, pengajaran anak-anak adalah salah satu pintu rahmat Allah bagi orang tua mereka. Beliau bersabda,
رحم الله عبدا أعان ولده على بره بالإحسان إليه , والتألف له وتعليمه وتأديبه
Artinya: Rahmat Allah semoga tercurah bagi
seorang hamba yang menunjukkan kepada anaknya bagaimana cara berbuat
baik kepada orang tua; yang mengajarkan kelembutan, pendidikan, dan
sopan santun.[21]
Pendidikan adalah hak asasi seorang anak sebagaimana sabda Imam Ali Zainal Abidin a.s.,
... وأما حق الصغير فرحمته وتثقيفه وتعليمه ...
Artinya: Seorang anak memiliki hak untuk mendapatkan kasih sayang, pengenalan pada etika dan budaya, dan pengajaran.[22]
Berkaitan dengan hal ini juga, Rasulullah bersabda,
من حق الولد على والده ثلاثة : يحسن اسمه ويعلمه الكتابة , ويزوجه إذا بلغ
Artinya: Ada tiga hal yang termasuk ke
dalam hak-hak anak yang harus ditunaikan orang tuanya, yaitu membaguskan
namanya, mengajarinya penulisan, dan menikahkannya jika sudah
dewasa.[23]
Dewasa ini, fungsi pengajaran baca tulis
sudah dipegang oleh lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah. Tetapi, itu
tidaklah berarti bahwa peran orang tua tidak lagi diperlukan. Dalam
kondisi seperti ini, harus ada kerja sama di antara orang tua dan
sekolah.
Harus juga diperhatikan bahwa yang dimaksud
dengan pendidikan di sini tentulah tidak sebatas pendidikan baca tulis.
Segala hal yang memungkinkan untuk diajarkan kepada anak-anak, harus
diajarkan. Jadi, pendidikan di sini meliputi seluruh bidang ilmu seperti
kedokteran, humaniora, sastra, sejarah, filsafat, dan lain-lain. Yang
juga tidak boleh dilupakan adalah pentingnya aspek pendidikan ruhani dan
ibadah. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah SAWW bersabda tentang
pentingnya pengajaran Al-Quran,
... ومن علمه القرآن دعي بالابوين فكسيا حلّتين تضيء من نورهما وجوه أهل الجنة
Artinya: Orang yang mengajarkan Al-Qur'an
itu kelak akan dipanggil dari dua pintu. Dia akan mengenakan dua pakaian
yang memancarkan dua cahaya. Dari kedua cahaya itu tampaklah wajah
penghuni surga.[24]
Maksud dari pengajaran Al-Qur'an di sini
adalah pengajaran yang komprehensif, dimulai dari pengajaran membaca
secara benar sesuai dengan kaidah bahasanya. Berikutnya, si anak harus
didorong untuk menghapal beberapa ayat dengan memperhatikan tingkat
kemampuan akal seorang anak kecil. Setelah itu, mereka juga perlu
diajari tafsir beberapa surat yang relevan dengan kebutuhan anak,
terutama yang berkaitan dengan aqidah dan akhlak, atau juga hal-hal yang
berhubungan dengan hukum-hukum syar'iy (ibadah dan muamalah).
Berikutnya, pada fase inilah si anak harus
mulai diperkenalkan pada tata cara beribadah. Yang pertama kali harus
diajarkan adalah tata cara wudhu dan shalat.
Imam Muhamad Al-Baqir a.s. berkata,
... حتى يتم له سبع سنين فإذا تم له سبع سنين
قيل له اغسل وجهك وكفيك فإذا غسلهما قيل له صلّ ثم يترك , حتى يتم له تسع
سنين , فإذا تمت له تسع سنين علّم الوضوء ...
Artinya: ...Ketika anak sudah berusia tujuh
tahun, katakanlah kepadanya, "Basuhlah wajah dan tanganmu!" Jika sudah
dibasuh, katakanlah, "Shalatlah!" Kemudian biarkan mereka sampai usia
sembilan tahun. Barulah pada saat itu mereka diajari wudhu secara
benar....[25]
Anak-anak juga perlu diajari hadis sebagai
langkah preventif terhadap pengaruh ajaran sesat. Imam Shadiq a.s. dalam
hal ini berkata,
بادروا أولادكم بالحديث قبل أن يسبقكم إليه المرجئة
Artinya: Ajarilah anak-anakmu hadis sebelum mereka terpengaruh faham Murji'ah.[26]
Imam Hasan a.s. menjelaskan tentang hal-hal yang diterimanya sebagai ajaran dari Rasulullah SAWW dengan mengatakan,
علمني جدي رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم
كلمات أقولهن في قنوت الوتر ... اللهم اهدني فيمن هديت وعافني فيم عافيت
وتولني فيمن توليت
Artinya: Kakekku, Rasulullah SAWW
mengajariku kata-kata yang kini biasa aku ucapkan tiap-tiap qunut witir
"Allahummahdini fiman hadayta, wa 'afini fiman 'afayta, watawallani
fiman tawallayta...." [27]
Orang tua juga harus memperhatikan aspek
pengajaran berbagai hal yang berguna bagi kehidupan anak-anak jika sudah
dewasa kelak. Riwayat berikut ini menceritakan bagaimana Imam Ali a.s.
mengajari anaknya, Imam Hasan a.s. berpidato.
يا بنيّ قم فأخطب حتى اسمع كلامك , قال : يا أبتاه كيف أخطب وأنا أنظر إلى وجهك استحيي منك
Artinya: (Imam Ali berkata), "Wahai anakku,
bangunlah untuk berpidato biar aku dengar pidatomu!" Imam Hasan
berkata, "Bagaimana mungkin aku berpidato di hadapanmu, wahai ayahku,
pada saat aku sedang menatap wajahmu? Aku pasti malu" [28]
Kemudian diriwayatkan bahwa Imam Ali mengum-pulkan sanak-saudaranya supaya mereka bersama-sama mendengarkan pidato Imam Hasan.
Rasulullah juga memberikan dorongan kepada
pendidik, orang tua, dan anak dalam kegiatan belajar-mengajar melalui
sabdanya berikut ini.
إن المعلم إذا قال للصبي : بسم الله , كتب الله له وللصبي ولوالديه برائة من النار
Artinya: Jika seorang guru mengajarkan
muridnya lafaz bismillah, Allah akan menetapkan ketentuan terbebas dari
api neraka baginya, bagi si anak itu, serta bagi orang tuanya.[29]
Imam Ali a.s. pernah mendorong orang-orang
agar mereka mengajari anak-anak tentang syair-syair Abu Thalib.
Dirawayatkan bahwa Imam Ja'far Ash-Shadiq a.s. berkata,
كان أمير المؤمنين عليه السلام يعجبه أن يروي
شعر أبي طالب وأن يدوّن , وقال : تعلموه وعلموه أولادكم فانه كان على دين
الله وفيه علم كثير
Artinya: Dulu, Imam Ali a.s. sangat
tertarik dengan puisi Abu Thalib serta susunannya. Beliau berkata,
"Pelajarilah dan ajarkanlah buat anak-anakmu. Sesungguhnya beliau berada
pada agama Allah dan memiliki ilmu yang amat banyak." [30]
3. Melatih Anak untuk Patuh.
Sikap patuh itu sebenarnya mudah dilakukan.
Namun, untuk melaksanakannya sesuai dengan kemampuan, diperlukan
latihan. Anak perlu bantuan khusus dari orang tua dalam hal melatih diri
bersikap patuh sehingga berbagai macam kesulitan yang mungkin ada pada
kepatuhan itu bisa diminimalisasi. Atau, lebih jauh lagi, si anak tidak
merasa asing dengan kepatuhan dan mampu mengadaptasikannya dengan watak
dan budi pekertinya sehingga kepatuhan itu menjadi kebiasaan
sehari-hari. Diharapkan, kelak si anak akan melaksanakan berbagai macam
bentuk kepatuhan dengan gembira, tanpa desakan, keterpaksaan, atau sikap
malas.
Metode yang ditawarkan Islam dalam melatih
kepatuhan anak sangat memperhatikan kemampuan akal dan fisik si anak.
Sebagai contoh, dalam hal latihan melaksanakan shalat, Rasulullah SAWW
bersabda,
مروا صبيانكم بالصلاة إذا بلغوا سبع سنين واضربوهم على تركها إذا بلغوا تسعا
Artinya: Biasakanlah anak-anak untuk shalat
ketika usianya mencapai tujuh tahun. Jika sampai usia sembilan tahun si
anak masih meninggalkan shalat, pukullah.[31]
Pada riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah bersabda,
مروا صبيانكم بالصلاة إذا بلغوا سبع سنين واضربوهم إذا كانوا أبناء تسع سنين
Artinya: Biasakanlah anak-anak untuk shalat kalau usianya mencapai tujuh tahun. Jika sampai usia sembilan tahun, pukullah.[32]
Memukul yang dimaksudkan dalam hadis ini
bisa dalam pengertian yang sebenarnya, yaitu dalam bentuk pukulan fisik
atau bisa juga berarti penunjukan sikap marah. Pukulan memang bisa
berdampak negatif kepada anak. Akan tetapi, dampaknya itu akan segera
hilang; dan itu artinya dampaknya ini sama sekali tidak berarti apa-apa
jika dibandingkan kepentingan yang lebih besar yaitu pelatihan shalat.
Imam Ali a.s. bersabda,
أدّب صغار بيتك بلسانك على الصلاة والطهور , فإذا بلغوا عشر سنين فاضرب ولا تجاوز ثلاثا
Artinya: Perintahkan anak-anak di rumahmu
untuk melakukan shalat dan bersuci. Jika (tidak mau sementara) usianya
mencapai sepuluh, pukullah, tetapi jangan lebih dari tiga kali.[33]
Metode pelatihan shalat yang terbaik adalah
dengan memperhatikan tingkat kemampuan anak-anak. Artinya, mereka
jangan sampai dibebani porsi yang sangat berat karena itu akan
menyebabkan ketidaksenangan terhadap shalat serta akan membangun dinding
jiwa yang memisahkannya dengan shalat.
Diriwayatkan bahwa Imam Ali Zainal Abidin
a.s. menyuruh anak-anak untuk melaksanakan shalat zuhur dan asar di satu
waktu, demikian juga dengan shalat maghrib dan isya. Ketika hal
tersebut ditanyakan kepadanya, beliau menjawab,
هو أخف عليهم وأجدر ان يسارعوا اليها ولا يضيعوها ولا يناموا عنها ولا يشتغلوا
Artinya: Yang demikian itu lebih ringan dan
lebih baik bagi mereka sehingga mau segera melakukannya, tidak
melalaikannya, tidak tidur, serta tidak sibuk mengerjakan yang lain.[34]
Imam kemudian berkata,
إذا أطاقوا فلا تؤخرونها عن المكتوبة
Artinya: Jika mereka mampu, jangan tunda-tunda (menyuruh mereka melakukan) kewajiban.[35]
Dengan demikian, waktu anak-anak itu tidak
terambil kecuali untuk shalat-shalat yang diwajibkan. Pada tahap
pertama, anak-anak hanya boleh dilatih untuk mengerjakan shalat-shalat
wajib. Jika sudah terbiasa dan tumbuh rasa senang, seiring dengan
pertambahan usia, mereka lama-kelamaan akan terbiasa pula mengerjakan
yang shalat-shalat sunnah.
Berkaitan dengan ibadah puasa, anak-anak
harus sudah dilatih mengerjakannya pada usia tujuh tahun. Ketika usia
mereka bertambah, porsi latihan bisa ditambah dengan memperhatikan
kesiapan mental dan batas kemampuan fisik. Imam Shadiq a.s. bersabda,
إنا نأمر صبياننا بالصيام إذا كانوا بني سبع
سنين بما أطاقوا من صيام اليوم , فإن كان إلى نصف النهار أو أكثر من ذلك أو
أقل , فإذا غلبهم العطش والغرث أفطروا حتى يتعودوا
الصوم ويطيقوه فمروا صبيانكم إذا كانوا أبناء تسع سنين بما أطاقوا من صيام فإذا غلبهم العطش أفطروا
Artinya: Kami biasa melatih anak-anak
berpuasa ketika usia mereka mencapai tujuh tahun yang disesuaikan dengan
kemampuan, meskipun mereka hanya berpuasa setengah hari, kurang atau
lebihnya. Jika mereka kehausan atau kelaparan, kami suruh mereka
berbuka. Itu supaya mereka terbiasa dan kuat melakukan puasa. Karena
itu, jika anak-anakmu mencapai usia sembilan tahun, suruhlah berlatih
berpuasa. Jika kehausan, suruhlah berbuka! [36]
Diriwayatkan, seseorang pernah bertanya kepada Imam Shadiq a.s. mengenai kapan seorang anak itu mulai berpuasa. Imam menjawab,
أذا قوى على الصيام
Artinya: Kapan saja ketika dia dianggap kuat berpuasa.[37]
Jika seorang anak sudah melatih diri
melakukan puasa pada usia-usia awal, bisa dipastikan bahwa dia tidak
akan lagi menganggap puasa sebagai beban tugas yang memberatkannya.
Ada riwayat lain dari Muawiyah bin Wahab.
Dia bertanya kepada Imam Shadiq a.s. tentang sejak kapan seorang anak
laki-laki wajib melaksanakan puasa. Beliau menjawab,
ما بينه وبين خمس عشرة سنة وأربع عشرة سنة فإن هو صام قبل ذلك فدعه , ولقد صام ابني فلان قبل ذلك فتركته
Artinya: Jika usianya mencapai sekitar
empat belas atau lima belas tahun. Jika dia sudah berpuasa sebelum
usia-usia itu, biarkanlah! Anakku sendiri telah berpuasa sebelum usia
itu, tapi aku biarkan.[38]
Jenis latihan ketaatan yang lainnya adalah
berkenaan dengan ibadah haji. Di-sunnah-kan untuk melatih anak-anak
melakukan ibadah ini. Diriwayatkan bahwa salah seorang
Imam (mungkin Imam Shadiq atau Imam Baqir) berkata,
إذا حجّ الرجل بابنه وهو صغير فإنه يأمره أن
يلبي ويفرض الحج فإن لم يحسن أن يلبي لبى عنه ويطاف به ويصلي عنه ... يذبح
عن الصغار ويصوم الكبار ويتقى عليهم ما يتقى على
المحرم من الثياب والطيب فإن قتل صيدا فعلى أبيه
Artinya: Jika seseorang melakukan ibadah
haji sambil membawa anaknya, suruhlah juga anaknya itu untuk ber-talbiah
(mengumandangkan lafaz labbbaik allahumma labbaik ...., pen.) dan
mengerjakan rukun haji yang lainnya. Jika ternyata belum bisa,
niatkanlah untuk ber-talbiah, ber-thawaf, dan shalat atas nama anaknya
itu ... menyembelih hewan kurban buat anak-anak; yang dewasa harus
berpuasa. Mereka juga harus menjaga diri dari segala hal yang terlarang
bagi orang yang berihram seperti cara berpakaian dan penggunaan parfum.
Jika anak-anak membunuh binatang buruan, dendanya ditanggung
ayahnya.[39]
Berkaitan dengan latihan haji ini, ada yang
mempertanyakan kesiapan fisik anak dalam berihram jika musim haji jatuh
pada saat udara dingin. Imam Shadiq menjawab,
ائت بهم العرج فيحرموا منها ... فإن خفت عليهم فائت بهم الجحفة
Artinya: Bawalah mereka berihram di 'Arj. Jika masih khawatir juga (dengan udara dingin), bawalah ke Juhfah.[40]
Beliau juga berkata,
انظروا من كان معكم من الصبيان فقدموه إلى
الجحفة أو إلى بطن مرّ ويصنع ما يصنع بالمحرم ويطاف بهم ويرمى عنهم ومن
لايجد منهم هديا فليصم عنه وليه
Artinya: Jika engkau membawa serta anak
kecil ketika berihram, bawalah ke Juhfah atau ke tempat yang lebih
rendah. Suruhlah mereka mengerjakan sebagaimana layaknya orang yang
berihram. Ikutkan mereka dalam thawaf dan melempar jumrah. Jika mereka
tidak punya uang untuk berkurban, walinya yang berpuasa buatnya.[41].
Dalam sebuah riwayat diceritakan kisah berikut ini.
وكان الإمام علي بن الحسين عليه السلام يضع السكين في يد الصبي ثم يقبض على يديه الرجل فيذبح
Artinya: Pernah Imam Ali bin Husein a.s.
meletakkan pisau di tangan seorang anak kemudian tangan itu ditarik oleh
seseorang untuk bersama-sama menyembelih hewan kurban.[42]
Cara melatih kepatuhan anak yang lain yang
juga disunnahkan adalah dengan melatihnya berbuat kebajikan, seperti
bersedekah kepada fakir miskin. Imam Ali Ar-Ridha a.s. bersabda,
مر الصبي فليتصدق بيده بالكسرة والقبضة والشيء وان قلّ , فإن كل شيء يراد به الله وان قلّ بعد أن تصدق النية فيه عظيم ...
Artinya: Latihlah anak-anakmu menyedekahkan
uang logam atau kertas langsung tangannya, walaupun sedikit.
Sesungguhnya segala sesuatu yang dikehendaki Allah, walaupun sedikit,
akan sangat besar nilainya ketika sudah disedekahkan.[43]
Beliau juga berkata,
فمره أن يتصدق ولو بالكسرة من الخبز
Artinya: Latihlah anak-anakmu bersedekah walaupun dengan sepotong roti.[44]
Dampak positif lain dari latihan bersedekah
adalah bahwa latihan ini bisa menjadi metode terbaik dalam mendidik
mereka untuk tidak terikat kepada hal-hal yang duniawi. Rasa cinta
kepada harta juga akan banyak tereduksi dari jiwa anak dan, tentu saja,
hal ini juga akan menumbuhkan rasa empati kepada fakir miskin.
Tidak diragukan lagi bahwa latihan ibadah
sejak kecil yang dilakukan oleh seorang anak akan menumbuhkan kebiasaan
yang kelak akan dilakukan terus menerus olehnya ketika sudah dewasa.
Bukti paling nyata adalah sejarah hidup Ahlul Bait a.s. Imam Hasan dulu
diriwayatkan melakukan ibadah haji dengan berjalan kaki sebanyak dua
puluh kali.
Demikian juga dengan Imam Husein. Karena
kebiasaannya, yang beliau minta dari tentara Yazid di malam terakhir
peristiwa Karbala adalah kesempatan bagi dia dan sahabatnya untuk
menyepi. Maka ketika malam tiba, mereka terjaga sepanjang malam untuk
melakukan shalat, beristighfar, bermunajat, dan berdoa.
Imam Ali bin Husein as. sampai diberi gelar
Zainal Abidin (hiasan orang-orang yang beribadah) karena demikan
banyaknya beliau beribadah. Sebuah riwayat mengatakan bahwa beliau itu
tidak pernah meninggalkan shalat malam, pada waktu berperjalanan atau
ada di rumah.
Demikian juga dengan imam-imam Ahlul Bait
yang lain. Mereka menjadi teladan paling utama dalam hal hubungan dengan
Allah dan keikhlasan beribadah. Itu semua tidak lepas dari proses
pembiasaan yang mereka dapatkan semasa kecil. Dengan pembiasaan itulah
mereka mereka akhirnya mendapatkan rasa senang dan punya dorongan untuk
melakukannya.
Karena itu, orang tua harus selalu
memberikan dorongan kepada anak-anak agar membiasakan diri taat
menjalankan perintah agama dengan cara yang paling efektif, mungkin
dengan pemberian perhatian, pujian, atau bisa juga dengan pemberian
hadiah (bisa berupa materi atau spiritual).
4. Pengawasan Anak.
Pada fase ini, keberhasilan pendidikan anak
juga mensyaratkan adanya pengawasan orang tua terhadap mereka.
Anak-anak perlu diarahkan kepada hal-hal yang benar dan baik. Mereka
juga memerlukan pengawasan dalam hal cara berpikir, serta pengembangan
imajinasi dan humanisme. Tentu saja, semua bentuk pengawasan itu harus
dilakukan dengan dengan cara yang benar jangan sampai membebani si anak.
Dalam waktu-waktu tertentu, sebaiknya orang tua melakukannya dengan
cara seakan-akan dia adalah seorang kawan yang sedang mencoba membantu
si anak dari kesulitan yang ia hadapi.
Pengawasan dalam hal pergaulan anak perlu
lebih ditekankan dibandingkan dengan pengawasan di rumah. Orang tua
harus memilihkan kawan-kawan bermainnya. Usahakan supaya kawan-kawannya
itu hanyalah yang saleh-saleh.
Terkadang, penjelasan dan nasehat tidak
begitu berguna. Untuk itu, pemberian hukuman bisa menjadi cara yang
efektif. Mereka juga harus dilatih untuk introspeksi dan mau menerima
koreksi. Lebih jauh lagi, harus tertanam di benak mereka konsep
pengawasan yang dilakukan Allah. Konsep ini sangat efektif sebagai
tameng yang akan mencegah anak dari penyelewengan walaupun pengawasan
dari orang tua tidak ada.
Pada dasarnya, pengawasan adalah kewajiban
ayah dan ibu. Mereka berdua memiliki porsi tugas yang disesuaikan dengan
kemampuan dan pengalaman hidup. Karenanya, mereka berdua harus saling
membantu. Akan tetapi, karena biasanya ayah lebih sering berada di luar
rumah, porsi tugas pengawasan seorang ibu terhadap anaknya (baik anaknya
itu laki-laki ataupun perempuan) terkadang menjadi lebih besar.
Hal penting lain yang harus diperhatikan
adalah bahwa jangan sampai si anak merasa tidak diacuhkan oleh orang
tuanya. Kondisi pengawasan melekat harus selalu terjaga. Orang tua
terkadang bisa meminta bantuan pihak-pihak lain untuk ikut mengawasi
anaknya terutama dalam situasi yang di sana orang tua tidak bisa
melakukannya. Dalam hal ini, mereka bisa memberikan kepercayaan kepada
famili dan kawan terdekat. Demikian juga, sekolah-sekolah dan institusi
tempat si anak beraktivitas sosial memiliki peran pengawasan yang sangat
besar dalam pendidikan si anak agar ia tidak terjerumus ke dalam
penyimpangan perilaku.
5. Pencegahan atas Perilaku Asusila
Perilaku asusila termasuk di antara
perilaku yang sangat berbahaya yang mengakibatkan berbagai krisis
sosial. Karena itu, Islam sangat memperhatikan masalah ini secara khusus
dengan mengajarkan cara-cara pencegahan dan terapi seandainya perilaku
itu sudah terbentuk. Di sinilah tanggung jawab dan peran orang tua harus
dijalankan dengan sungguh-sungguh karena pendidikan dalam rangka
menghasilkan kesucian jiwa dan kesalehan anak-anak adalah tugas
terpenting mereka. Rasulullah SAWW bersabda,
من حق الولد على والده أن يحسن اسمه إذا ولد وأن يعلمه الكتابة إذا كبر , وأن يعفّ فرجه إذا أدرك
Artinya: Hal-hal berikut ini adalah
termasuk hak yang dimiliki seorang anak atas ayahnya, yaitu bahwa
ayahnya memberinya nama yang bagus ketika lahir, mengajarkan kepadanya
baca tulis ketika beranjak besar, serta menyucikan kehormatannya dari
perilaku asusila ketika sudah mengenal (masalah seksual--pen.)[45]
Pendidikan yang berkaitan dengan penjagaan
kesucian ini dilakukan dengan melakukan langkah-langkah pencegahan atas
gejala asusila. Langkah-langkah ini harus dimulai sejak si anak belum
mencapai usia baligh.
Langkah pertama adalah menjauhkan anak-anak
dari segala sesuatu yang bisa mengobarkan hasrat seksual. Mereka juga
harus dijauhkan dari pengetahuan yang merangsang imajinasi. Rasulullah
bersabda,
والذي نفسي بيده لو أنّ رجلا غشي أمرأته ,
وفي البيت صبي مستيقظ يراهما ويسمع كلامهما ونفسهما ما أفلح أبدا , ان كان
غلاما كان زانيا , أو جارية كانت زانية
Artinya: Demi Allah yang jiwaku berada di
tangan-Nya, jika seseorang menggauli istrinya sementara di rumahnya ada
seorang anak yang terjaga, kemudian si anak melihat serta mendengar
kata-kata dan tarikan nafas mereka berdua, si anak tidak akan bahagia
seumur hidup! Anak itu, baik laki-laki maupun perempuan, pasti akan
menjadi pezina.[46]
Langkah berikutnya yang harus dilakukan adalah adalah dengan memisahkan tempat tidur anak-anak. Imam Ali a.s. berkata,
... وفرّقوا بينهم في المضاجع إذا كانوا ابناء عشر سنين
Artinya: Kalau anak-anakmu itu sudah mencapai usia sepuluh tahun, pisahkanlah tempat tidur mereka.[47]
Imam Baqir a.s. berkata,
يفرّق بين الغلمان والنساء في المضاجع إذا بلغوا عشر سنين
Artinya: Seandainya anak-anak sudah berusia
sepuluh tahun, tempat tidur anak laki-laki harus dipisahkan dari tempat
tidur anak perempuan.
Rasulullah SAWW juga bersabda,
الصبي والصبي , والصبي والصبية , والصبية والصبية يفرّق بينهم في المضاجع لعشر سنين
Artinya: Ketika sudah mencapai usia sepuluh
tahun, pisahkan tempat tidur anak-anak, baik antara anak laki-laki,
laki-laki dan perempuan, ataupun antara anak-anak perempuan.[48]
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Imam
Ja'far Shadiq a.s. melarang laki-laki untuk mendekati seorang anak
perempuan telah berusia enam tahun, bila ia bukan muhrimnya. Beliau
berkata,
إذا أتى عليها ست سنين فلا تضعها على حجرك
Artinya: Jika anak perempuan sudah mencapai usia enam tahun, jangan biarkan ia di dalam kamarmu.[49]
Beliau juga melarang untuk menciumnya. Beliau berkata,
إذا بلغت الجارية الحرّة ست سنين فلا ينبغي لك أن تقبلها
Artinya: Jika ada seorang anak perempuan yang telah mencapai usia enam tahun, janganlah engkau menciuminya! [50]
Tentu saja, yang dimaksud di sini adalah
larangan ciuman dari orang-orang lain, bukan dari keluarga sendiri
seperti ayah, ibu, paman, dan semua famili yang termasuk ke dalam
muhrim. Karena itu, larangan ini juga berlaku buat anak laki-laki. Dalam
hal ini Rasulullah bersabda,
... والغلام لا يقبّل المرأة إذا جاز سبع سنين
Artinya: Jika seorang anak laki-laki telah berusia tujuh tahun, jangan biarkan ia mencium perempuan.[51]
Jika perilaku tindakan asusila ini telah
terjadi, orang tua bisa saja menjatuhkan hukuman sampai batas yang
kira-kira membuat si anak jera dan tidak mengulanginya. Imam Shadiq
pernah ditanya tentang hukuman apa yang harus diberikan kepada seorang
anak kecil berusia sepuluh tahun yang berzina dengan seorang perempuan,
beliau menjawab,
يجلد الغلام دون الحدّ
Artinya: Anak itu harus dicambuk dibawah had (tidak sampai batas hukuman sebagaimana bagi orang dewasa-- pen.).[52]
Kita juga harus betul-betul mengawasi
anak-anak terhadap segala hal yang memungkinkan terciptanya gejolak
jiwa. Dewasa ini, hal-hal tersebut akan sangat mungkin terjadi karena
mereka dikepung dengan aneka cerita, gambar, film, dan segala hal yang
berpotensi merusak kesucian jiwa. Karena itu, sebagai bentuk pencegahan
atas kemungkinan terjadinya perilaku asusila, kita harus mengawasi
mereka manakala sendirian ataupun ketika mereka bersama orang lain.
6. Menciptakan Hubungan dengan Teladan yang Baik
Di akhir periode ini, anak-anak akan punya
kecenderungan yang sangat kuat untuk meniru apapun yang ada pada diri
kebanyakan orang terutama mereka yang menjadi lingkungan baginya. Para
psikolog menamai sebuah gejala kejiwaan dari seorang anak pada usia ini
yang selalu ingin meniru orang lain secara fisik dengan istilah
"peniruan". Keinginan ini sangat cepat timbulnya dan akan cepat juga
berhenti ketika sumber peniruan itu tidak ada.
Ada pula jenis peniruan yang bersifat
nonfisik. Prosesnya berlangsung perlahan tetapi pengaruhnya sangat kuat
menempel pada akal dan jiwa.[53] Contoh konkretnya adalah perilaku
taqlid (patuh) dan peneladanan kepada pribadi-pribadi agung. Kepribadian
mereka akan sangat kuat mempengaruhi anak-anak muda. Anak-anak muda
mempunyai kecenderungan untuk merasa tertarik, meneladani dan
menghormati orang-orang yang mulia, yang memiliki sifat-sifat
keteladanan, dan yang memiliki pengaruh kuat pada masyarakat, seperti
para pejabat, tokoh, para juara, orang-orang sukses, serta guru sekolah
dan ustadz madrasah.[54]
Para psikolog berpendapat bahwa pada dalam
diri setiap manusia terdapat kebutuhan untuk memiliki idola.[55]
Kebutuhan ini sangat signifikan. Dalam pandangan para psikolog itu,
kepribadian ideal yang menjadi idola bagi tiap manusia itu akan sangat
bermacam-macam dan bergantung kepada berbagai faktor, seperti fisik,
kejiwaan, dan sosial. Idola itu sangat mungkin kemudian akan
diejawantahkan dalam paradigma dan cita-cita hidupnya.
Dalam pengertian seperti ini, tentulah
idola akan menjadi faktor yang sangat penting bagi manusia, terutama
anak-anak yang berada pada akhir-akhir fase remaja ini. Satu hal yang
perlu ditekankan adalah bahwa idola ini, meskipun tidak beranjak dari
sekedar konsep, tidak menemui realitasnya, atau tidak sampai membentuk
paradigma serta cita-cita hidup, ia akan tetap tinggal dalam benak.
Karena itu, si anak tetap memerlukan contoh dan teladan dalam
kehidupannya. Dalam hal ini, idola terbaik tentulah pribadi-pribadi
agung yang bisa mereka dapatkan dalam diri orang-orang terdahulu.[56]
Mereka adalah para nabi, Ahlul Bait
Rasulullah, sahabat dan tabi'in yang shalih, serta para ulama terdahulu.
Merekalah teladan dalam berbagai keutamaan sifat serta kehormatan jiwa.
Salah satu bukti nilai keteladanan yang mereka miliki adalah bahwa
eksistensi mereka telah banyak mempengaruhi berbagai lapisan masyarakat
sepanjang sejarah, sampai-sampai keberadaan mereka itu sedemikian
diagungkan dan disucikan.
Kehidupan orang-orang saleh itu penuh
dengan nilai-nilai kebajikan yang sangat diperlukan manusia sebagai
pegangan. Peneladanan anak-anak kepada mereka inilah yang akan membentuk
kepribadian mulia, mengikuti apa yang mereka teladani. Jika mereka
sampai kehilangan teladan, elan vital mereka akan membeku, semangat
mengendur, dan mungkin saja keperluan meneladani ini akan mereka alihkan
kepada pribadi-pribadi awam di lingkungan sekitarnya.
Oleh sebab itu, orang tua berkewajiban
untuk mengarahkan pandangan, pikiran, dan kecenderungan anak-anak ke
arah pribadi-pribadi teladan sejak Nabi Adam a.s. hingga orang-orang
mulia zaman sekarang. Pada diri mereka terdapat teladan-teladan yang
secara historis memiliki konteks yang khas, tetapi semuanya mengandung
nilai kemuliaan, kebajikan, dan kepemimpinan dalam hidup.
Keteladanan yang suci tersebut memiliki
pengaruh dan tempat yang mulia di seluruh sudut kehidupan anak-anak.
Dampak dari peneladanan itu akan termanifestasikan dalam kepribadian,
mental, logika, dan paradigma hidup mereka. Pada gilirannya, hal ini
akan mendorong si anak untuk mencapai posisi tinggi sebagaimana yang
telah dicapai oleh orang-orang saleh yang mereka teladani.
Catatan Kaki:
________________________________________
[1] Hadits ila Al-Ummahat:207
[2] 'Ilm Al-Nafs:385
[3] Makarim Al-Akhlaq:222
[4]Ibid:223
[5]Ibid:222
[6]Tuhaf Al-'Uqul:189
[7]Al-Shahifah Al-Sajjadiyyah Al-Jami'ah:128-129
[8]Mustadrak Al-Wasail 2:625
[9]Nahj Al-Balaghah, dengan catatan kaki Dr. Subhi Shaleh:546
[10]Nahj Al-Balaghah:393
[11]Kanz Al-'Ummal 2:539, hadis ke-4675
[12]Mustadrak Al-Wasail 2:362
[13]Bihar Al-Anwar 100:74
[14]Al-Kafi 6: 46
[15]Ibid:51
[16]Jamil Shulaiba, Ilmu Al-Nafs:383
[17]Hadits ila Ummahat: 217
[18]Kanzul 'Umal 10:294, hadis 29336
[19]Ibid:238, hadis 29258
[20]Ibid:854, hadis 45953
[21]Mustadrak Al- Wasail 2:626
[22]Tuhaf Al-Uqul:193
[23]Makarim Al-Akhlaq:220
[24]Al-Kafi 2:49
[25]Man Laa Yahdhuruhu Al -Faqih 1: 182
[26]Al -Kafi 2:47
[27]Mukhtasar Tarikh Dimasyq 7:5
[28]Bihar Al-Anwar 43:351
[29]Mustadrak Al-Wasail 2:625
[30]Ibid
[31]Ibid 2:624
[32]Bihar Al-Anwar 101:98
[33]Tanbih Al-Khawatir:390
[34]Mustadrak Al-Wasail 2:624
[35]Ibid
[36]Al-Kafi 4:124
[37]Ibid 4:125
[38]Ibid
[39]Ibid 4:303
[40]Ibid 4:304
[41]Ibid
[42]Ibid
[43]Al-Wasail 9:376
[44]Ibid
[45]Mustadrak Al-Wasail 2:626
[46]Wasail Al-Syiah 20:133
[47]Mustadrak Al-Wasail 2:558
[48]Wasail Al-Syiah 20:231
[49]Ibid 20:229
[50]Ibid 20: 230
[51]Ibid 20:230
[52]Makarim Al-Akhlaq: 320
[53]'Ilm Al-Ijtima'iy: 86
[54]Ibid: 140
[55]Jamil Shaliba, 'Ilm An-Nafs : 728
[56]Ilm Al-Ijtima': 146.
Post a Comment
mohon gunakan email