Masalah
pernikahan dalam Islam merupakan masalah yang sangat penting.
(12/12/1362) Meskipun secara syariat tidak termasuk dalam kewajiban,
namun benar-benar dianjurkan sehingga manusia memahami bahwa Allah Swt
sangat menekankan masalah ini. Mengapa pernikahan termasuk masalah yang
sangat penting? Karena ia merupakan sebuah kebutuhan alami. Karena Islam
menilai penting akan kebutuhan alami manusia, Islam harus menetapkan
jalan yang sehat untuk memenuhi kebutuhan ini dan telah menetapkannya
yaitu pernikahan. (19/12/1362) Baik wanita maupun pria memiliki
kebutuhan seksual. Kebutuhan seksual ini tidak bisa tanpa aturan. Tidak
bisa dibiarkan liar. Tidak bisa dibiarkan tanpa batasan. Ia memerlukan
batasan dan itu adalah pernikahan. Itulah mengapa Rasulullah Saw
bersabda, "Man Tazawwaja Ahraza Nishfa Dinihi", "Barangsiapa yang
menikah maka ia telah menjaga setengah dari agamanya." Pada bagian yang
mana setengah agama telah dijaganya? Pada bagian yang akan terancam oleh
kecenderungan seksual. Kecenderungan seksual bisa menghancurkan agama
banyak orang, bisa memunculkan masalah pada banyak orang dan dapat
menyesatkan banyak orang. Cara mencegahnya adalah kebutuhan seksual ini
harus dipenuhi dan juga jangan sampai ditumpas. Lantas bagaimana
caranya? Dengan kaidah dan undang-undang yakni pernikahan. Lihatlah
bagaimana pentingnya pernikahan! (12/12/1362).
Yang demikian ini juga bukan khusus
manusia saja, karena ikatan dua makhluk merupakan perantara kelanjutan
hidup. Makna ini ada pada tumbuhan dan juga hewan, sebagaimana ada juga
pada manusia. Hanya saja karena manusia mendapatkan kelebihan akal dan
kehendak dari Allah, untuk ikatan pernikahannya telah ditetapkan aturan
dan acara. Aturan dan acara ini untuk menunjukkan betapa pentingnya
peristiwa ikatan dua makhluk dan ikatan antara dua hati dan menciptakan
sebuah lembaga baru dalam lingkungan sosial manusia. Aturan dan acara
tersebut juga bukan khusus Islam saja. Tetapi semua bangsa dan agama
memiliki aturan dan acara untuk ikatan pernikahan. Tentu saja Islam
berusaha untuk lebih menyederhanakan dan mempermudah acara ini. Islam
benar-benar menganggap penting masalah pernikahan. Dalam agama Islam,
anak gadis dan perjaka pada prinsipnya dianjurkan untuk menikah. Selain
dianjurkan untuk membentuk rumah tangga melalui pernikahan juga
ditekankan untuk melanjutkan dan mengabadikan ikatan suami dan istri.
Ketiga topik ini ditekankan dalam Islam.
Terkait pernikahan, diriwayatkan bahwa
Rasulullah Saw melihat seorang pemuda. Karena Rasulullah Saw senang
melihat penampilan pemuda tersebut, maka beliau memanggilnya seraya
bertanya, "Apakah kamu memiliki pekerjaan? Dia menjawab, "Tidak. Saya
seorang pengangguran." Rasulullah Saw bertanya, "Apakah kamu sudah
menikah?" Dia menjawab, "Saya juga tidak menikah." Rasulullah Saw
berpaling dan berkata, "Saqata Min ‘Aini", pemuda ini telah jatuh dari
mataku karena selain dia tidak punya pekerjaan dia juga tidak menikah."
Lihatlah bagaimana pentingnya pernikahan. Sehingga tidak melakukannya
sama seperti seorang pengangguran yang tercela. Itulah mengapa masalah
pernikahan sangat penting dalam pandangan Islam. (13/12/1381).
Untuk itu, sangat penting bila kita mau
memperhatikan pandangan Islam terkait masalah pernikahan. Terkait
masalah pernikahan, yang pertama dalam Islam adalah menganjurkan para
pemuda untuk menikah. Betapa bagusnya bila para pemuda menikah dalam
usia yang sangat muda, yakni pada saat mereka membutuhkan. Bukan berarti
kita tegaskan bahwa semakin cepat semakin baik. Tidak. Ketika merasa
membutuhkan, maka hendaknya menikah. Baik anak gadis maupun perjaka.
Jangan biarkan mereka melajang sampai lama. (19/12/1362).
Rasulullah Saw menegaskan agar para
pemuda, baik laki-laki maupun perempuan untuk segera menikah. Tentunya
atas dasar kemauan dan pilihan mereka sendiri, bukan pilihan orang lain.
Kita sendiri juga harus mensosialisasikan masalah ini di tengah-tengah
masyarakat. Para pemuda hendaknya menikah saat mereka belum keluar dari
masa mudanya dan dengan semangat yang masih menggebu-gebu. Ini berbeda
dengan pemahaman banyak orang yang menganggap bahwa pernikahan di usia
muda adalah pernikahan prematur dan tidak akan bisa langgeng. Justru
sebaliknya, tidak seperti anggapan orang lain. Bila pernikahan ini
dilakukan dengan baik, maka yang ada adalah pernikahan yang sangat
langgeng dan baik serta suami-istri benar-benar akan akrab dalam rumah
tangga yang demikian ini. (23/12/1379).
Perbedaan Pandangan Islam dan Barat Soal Keluarga dan Pernikahan.
Ketika sebagian orang mengulur usia
pernikahannya sampai usia agak tua dan hal ini di Barat dan peradaban
Barat dianggap sebagai hal yang wajar dan biasa, maka sebenarnya itu
adalah salah dan bertentangan dengan fitrah dan maslahat umat manusia.
Hal ini terjadi karena mereka lebih cenderung menjalani kehidupan penuh
syahwat dan kebebasan tanpa batas. (26/1/1377) Tradisi sebagian
peradaban dan budaya impor yang dimasukkan oleh orang-orang Eropa adalah
para pemuda harus menunggu sampai pendidikannya tamat, sampai memiliki
pekerjaan, itupun pekerjaannya harus pekerjaan kantor, baru kemudian
menikah. Anak-anak gadis juga demikian jangan menikah di permulaan usia
baligh, mereka harus menjadi seorang perempuan yang hebat dulu, memiliki
pengalaman yang cukup tentang dunia kemudian baru menikah. Ini adalah
adat istiadat orang-orang Eropa dan merupakan sesuatu yang sangat buruk.
Karena mereka yang mengulur usia pernikahan bukan karena meyakini bahwa
para pemuda dalam masa usia muda tidak memiliki kebutuhan seksual.
Bukan. Mereka benar-benar tahu dan menerima kalau para pemuda juga
memiliki kebutuhan seksual. Hanya saja mereka meyakini bahwa kebutuhan
seksual di masa-masa muda harus dipenuhi secara bebas. Yakni sesuatu
yang menurut kita adalah kefasadan, kefasikan dan dosa yang merusak
kondisi sosial.
Itulah mengapa ikatan suami istri Eropa
dan orang-orang yang bergaya seperti orang Eropa, tidak memiliki sebuah
ikatan pernikahan yang kokoh. Lihatlah rumah tangga orang dahulu; mereka
hidup bersama selama enam puluh tahun, lima puluh tahun, tujuh puluh
tahun, kemudian bila salah satu dari pasangan tua ini meninggal dunia,
maka yang satunya mengalami kesedihan yang berkepanjangan. Fondasi
pernikahan keduanya dibangun atas dasar kasih sayang. Keduanya sangat
akrab. Sesuatu di luar lingkungan rumah tangga terkait masalah seksual
tidak membuat mereka bisa tergoda. Namun suami istri Eropa tidak punya
sebuah rumah tangga yang kokoh, cepat hancur dan banyak perceraian.
Kalaupun tidak cerai, secara praktis cerai. Suami istri telah
menghabiskan masa mudanya. Saya tidak mengatakan semuanya, tapi
kebanyakan mereka demikian. Keduanya tidak saling membutuhkan. Kemudian
keduanya menikah, lagi pula keduanya tidak terbatas pada lingkungan
rumah tangga. Tidak ini dan tidak itu. Yang menyambungkan keduanya
adalah sebuah kamar, sebuah apartemen, sebuah kondisi fisik, bukan
sebuah perkara spiritual dan sebuah ikatan jiwa. Inilah rumah tangga di
Eropa. Pada dasarnya bukan sebuah rumah tangga.
Lelaki tua dan perempuan tua yang sudah
semakin tua, itupun ketuaan mereka karena cepat tua. Seseorang berusia
enam puluh tahun, ia sudah kelihatan sangat tua. Orang ini sudah tidak
lagi bisa menikmati hidup. Sementara orang-orang kita yang berusia enam
puluh tahun di sini sedang menghitung satu persatu cucu dan cicitnya,
sekarang sudah tiga puluh orang, sekarang cucu dan cicitnya sudah
menjadi tiga puluh dua orang. Di sana tidak. Di sana berbeda. Karena
sejak awal rumah tangga mereka bukan rumah tangga yang berfondasikan
kasih sayang, bukan rumah tangga yang berlandaskan keakraban. Sejak awal
dengan suasana dingin dan ketidakpedulian dan memang demikian fondasi
rumah tangga mereka. Beginilah. Tentu saja saya tidak mengatakan seratus
persen mereka demikian atau rumah tangga kita seratus persen akrab dan
baik. Tidak. Saya mengatakan bentuk mayoritasnya. Di sini kebanyakan
begini. Di sana kebanyakan begitu. Yang begitu itu juga telah diimpor ke
Iran dan dimasukkan ke dalam lingkungan Islam. Padahal Islam tidak
menerima yang semacam ini. Islam mengatakan tidak. Seorang perempuan dan
pria harus memulai pernikahan ketika mereka membutuhkan. Mereka harus
membentuk rumah tangga. Mau menunggu apa lagi? Oleh karena itulah
dikatakan, "Inna as-Syarra an-Nasi al-Uzzab", Seburuk-buruk manusia
adalah mereka yang lajang, baik perempuan maupun pria. Yakni mereka yang
membutuhkan istri, mereka yang membutuhkan suami tapi tidak mau
menikah, mereka inilah yang disebut lajang, mereka inilah yang paling
buruk. (19/12/1362).
Sumber: Khanevadeh; Be Sabke Sakht Yek Jalaseh Motavval Motavva Dar Mahzar-e Magham Moazzam Rahbari.
Sumber: IRIB Indonesia / Emi Nur Hayati.
Post a Comment
mohon gunakan email