Pesan Rahbar

Home » » Syiah Mencela Sahabat Nabi, “Bisa Karena Terbiasa”??? Syiah Mewajibkan Mencela Para Sahabat ??? Aqidah Syi’ah Mencela Sahabat ??

Syiah Mencela Sahabat Nabi, “Bisa Karena Terbiasa”??? Syiah Mewajibkan Mencela Para Sahabat ??? Aqidah Syi’ah Mencela Sahabat ??

Written By Unknown on Thursday 17 July 2014 | 09:28:00

Rasulullah SAW bersabda : “Seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti saya potong tangannnya (HR.Muslim)”.

Apakah SAHABAT NABi SAW kebal hukum ???


Penolakan terhadap Tiga  khalifah sebelum Amirul Mukminin Ali bin Abi Talib as oleh Syiah bukan berarti syi’ah menafikan jasa  ketiganya , namun, syi’ah  berpegang pada perintah Nabi saw bahawa hak Khilafah adalah hak Ahlul Bayt as… Bahkan  Nabi  SAW   Tidak  Menjamin  Surga  Untuk  Abubakar… Bahkan  Nabi    SAW  menyatakan  “Sesungguhnya kalian akan menyaksikan sifat tamak yang dahsyat selepasku”.

Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda kepada orang-orang Anshar, “Sesungguhnya kalian akan menyaksikan sifat tamak yang dahsyat selepasku. Oleh karena itu, bersabarlah sehingga kalian bertemu Allah dan Rasul-Nya di Haudh.” (Al-Bukhari, Jami Ash-Shahih, jilid III, hal.135).

Rasulullah SAW Tidak Mau Bersaksi Untuk Abu Bakar RA.
Yahya menyampaikan kepadaku (hadis) dari Malik dari Abu’n Nadr mawla Umar bin Ubaidillah bahwa Rasulullah SAW berkata mengenai para Syuhada Uhud “Aku bersaksi untuk mereka”. Abu Bakar As Shiddiq berkata “Wahai Rasulullah, Apakah kami bukan saudara-saudara mereka? Kami masuk Islam sebagaimana mereka masuk islam dan kami berjihad sebagaimana mereka berjihad”. Rasulullah SAW berkata “Ya, tapi Aku tidak tahu Apa yang akan kamu lakukan sepeninggalKu”. Abu Bakar menangis sejadi-jadinya dan berkata ”Apakah kami akan benar-benar hidup lebih lama daripada Engkau!”. (Hadis Dalam Al Muwatta Imam Malik Kitab Jihad Bab Para Syuhada di Jalan Allah hadis no 987).

Hadis di atas diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Kitabnya Al Muwatta.
Malik bin Anas dalam Al-Muwatta, bab jihad syuhada fi sabilillah telah meriwayatkan dari Umar bin Ubaidillah bahwa Rasulullah saw berkata kepada para syahid di Uhud, “Aku menjadi saksi kepada mereka semua.”.

Abu Bakar yang berada ditempat itu berkomentar, “Tidakkah kami wahai Rasulullah saw saudara-saudara mereka. Kami telah masuk Islam sebagaimana mereka masuk Islam dan kami telah berjihad di jalan Allah sebagaimana mereka berjihad?” Rasulullah saw menjawab, “Ya! Tetapi aku tidak mengetahui bid`ah mana yang kalian akan lakukan selepasku.”.

Kehidupan terpencil Amirul Mukminin as di sudut kota hanya ditemani oleh para sahabat setianya dan menyibukkan diri dengan ibadah, shalat dan membaca Al-Qur’an.. Hubungan Amirul Mukminin as dengan Abu Bakar betul-betul dingin dan tidak ada kenangan apapun yang tercatat dalam sejarah.

Bahkan, di hari-hari pertama, beliau menggandeng tangan istri dan anak-anaknya dibawa ke depan rumah-rumah Anshar untuk berusaha mengembalikan haknya yang terampas. Kegetolan beliau sampai batas beliau dituduh sebagai orang yang rakus terhadap khilafah. Beliau berkata, “Ada seorang yang mengatakan kepadaku, ‘Wahai putera Abu Thalib! Betapa rakusnya dirimu terhadap Khilafah!’ Kukatakan kepadanya, ‘Tidak, Demi Allah! Kalianlah yang rakus terhadap khilafah. Kalian lebih jauh dari Rasulullah saw sementara aku sangat spesial di sisi beliau. Aku hanya menghendaki hakku, tapi kalian tidak mengizinkan, bahkan kalian halangi aku untuk sampai pada hak yang sebenarnya.’” (Nahjul Balaghah, pidato ke-172, al-Ghârât, jilid 1, hal. 308).

Abu Bakar menangis keras ketika Fathimah berseru, “Aku akan mengutukmu di setiap shalatku!”…. Fathimah hidup 6 bulan setelah Nabi Muhammad wafat… Ketika wafat, suaminya Ali memakamkannya di malam hari tanpa memberitahu Abu Bakar. la melakukan shalat jenazah sendiri.

Bagi Syi’ah, tidak masuk akal “semua” sahabat nabi itu benar. Sekarang begini, apa definisi sahabat? Definisi yang sering kita dengar dari kalangan Ahlu Sunnah bermacam-macam. Ada yang bilang sahabat adalah orang yang pernah bertemu dengan nabi meski sekali saja. Ada pula yang bilang sahabat adalah orang yang hidup di zaman nabi meskipun ia tidak melihatnya secara langsung… Bermacam-macam definisi sahabat. Lalu mana yang benar? Taruhlah sahabat adalah orang-orang dekat nabi. Tapi, masuk akal-kah kalau semua (100 persen) orang-orang dekat nabi itu benar?

Adalah hukum alam, hukum sejarah, bahwa seorang tokoh besar orang-orang yang di sekelilingnya  tidak mungkin semuanya benar. pasti ada orang munafik, musuh dalam selimut, musuh yang berpura-pura menjadi sahabat… Mereka itu lah yang dicela Syi’ah.

Hadis Keadaan Imam Ali Sepeninggal Nabi SAW.
Rasulullah SAW melalui lisan sucinya telah mengabarkan kepada Imam Ali, bagaimana kondisi Imam Ali sepeninggal Beliau SAW. Beliau SAW mengatakan bahwa Imam Ali akan mengalami kesukaran atau kesulitan sepeninggal Beliau SAW. Hal ini diriwayatkan dalam kabar shahih yang tercatat dalam kitab Al Mustadrak Al Hakim 3/151 no 4677:
Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin Sahl seorang faqih dari Bukhara yang berkata telah menceritakan kepada kami Sahl bin Mutawwakil yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail dari Abi Hayyan At Taimi dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas RA yang berkata Nabi SAW berkata kepada Ali “Sesungguhnya kamu akan mengalami kesukaran (bersusah payah) sepeninggal Ku”. Ali bertanya “apakah dalam keselamatan agamaku?”. Nabi SAW menjawab “dalam keselamatan agamamu”.

Kedudukan Hadis; Hadis Shahih. Hadis ini telah diriwayatkan oleh para perawi tsiqat dan perawi Bukhari dan Muslim sehingga bisa dikatakan sanadnya shahih sesuai persyaratan Bukhari dan Muslim. Al Hakim setelah meriwayatkan hadis ini berkata;Hadis ini shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim tetapi mereka tidak meriwayatkannya.

Adz Dzahabi dalam Talkhis Al Mustadrak 4/238 hadis no 4677 juga mengakui kalau hadis ini shahih sesuai dengan persyaratan Bukhari Muslim.


Ini buat mereka yang merasa bahwa sahabat adalah generasi terbaik.
Diriwayatkan dari Abu Jum’ah RA yang berkata “Suatu saat kami pernah makan siang bersama Rasulullah SAW dan ketika itu ada Abu Ubaidah bin Jarrah RA yang berkata “Wahai Rasulullah SAW adakah orang yang lebih baik dari kami? Kami memeluk Islam dan berjihad bersama Engkau. Beliau SAW menjawab “Ya, ada yaitu kaum yang akan datang setelah kalian, yang beriman kepadaKu padahal mereka tidak melihat Aku”.  Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad juz 4 hal 106 hadis.

Sahabat termulia? Masak nendang Fatimah Az-Zahra’ (as) dikatakan mulia. Bagaimana kalau sahabat anda nendang puteri anda yg paling anda cintai? Bagaimana kalau sahabat anda merampas hak waris puteri anda? Masihkah anda menganggap org tersebut sebagai sahabat?

mayoritas sahabat Nabi Muhammad yang utama tidak mengetahui pemilihan ini. Ali, Ibnu Abbas, Utsman, Thalhah, Zubair, Sa’d bin Abi Waqqash, Salman Farisi, Abu Dzar, Ammar bin Yasir, Miqdad, Abdurrahman bin Auf adalah di antara sahabat-sahabat yang tidak diajak berunding bahkan diberitahu. Bahkan Umar sendiri mengakui, pemilihan Abu Bakar dilakukan tanpa perundingan dengan kaum Muslimin.

1. Lihat Shahih Bukhari, versi Arab-Inggris, jilid 8, hadis 8.17.
Berdasarkan hadis Shahih Bukhari, Umar mengakui bahwa Ali dan pengikutnya menentang Abu Bakar. Bukhari meriwayatkan bahwa Umar berkata, “Tidak diragukan lagi setelah Rasul wafat, kami diberi tahu bahwa kaum Anshar tidak sepakat dengan kami dan berkumpul di balairung Bani Saidah. Ali dan Zubair dan orang – orang yang bersama mereka menentang kami.”.

2. Referensi hadis Sunni: Bukhari, Arab-Inggris, vol. 8, hadis 8.17.
Hadis lain meriwayatkan bahwa Umar berkata pada hari Saqifah,“Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam dan orang-orang yang bersama mereka berpisah dari kami dan berkumpul di rumah Fathimah, putri Nabi Muhammad.”.

3. Referensi hadis Sunni: Musnad Ahmad ibn Hanbal, jilid 1, hal. 55; Sirah aai-Nabawiyyah oleh Ibnu Hisyam, jilid 4, ha1.309; Tarikh ath-Thabari, jilid 1, hal. 1822; Tarikh ath-Thabari, versi bahasa Inggris, jilid 9, hal. 192.

Selain itu, mereka meminta persetujuan baiat tersebut, tetapi Ali dan Zubair meninggalkannya. Zubair menghunuskan pedang dan berkata, “Aku tidak akan menyarungkan pedang ini sebelum sumpah setia diberikan kepada Ali.” Ketika kabar ini sampai kepada Abu Bakar dan Umar, Umar berkata, “Lempar ia dengan batu dan rampas pedangnya!” Diriwayatkan bahwa Umar bergegas (menuju ke depan pintu Fathimah) dan menggiring mereka dengan paksa sambil mengatakan bahwa mereka harus memberikan sumpah setia secara sukarela ataupun paksa. Referensi hadis Sunni: Tarikh ath-Thabari, versi bahasa Inggris, jilid 9, ha1.188-189.

Ucapan Nabi yang terkenal menyatakan, “Tidak ada sumpah setia yang sah jika diperoleh dengan paksaan.”
Mari kita lihat apa yang dilakukan Umar pada saat itu. Sejarahwan Sunni meriwayatkan bahwa ketika Umar sampai di depan pintu rumah Fathimah, ia berkata,“Demi ,Allah, aku akan membakar (rumah ini) jika kalian tidak keluar dan berbaiat kepada (Abu Bakar)!” (Referensi hadis Sunni: Tarikh ath-Thabari (bahasa Arab), jilid 1, hal. 1118-1120; Tarikh, Ibnu Atsir, jilid 2, hal. 325; al-Isti’ab oleh Ibnu Abdil Barr, jilid 3, hal. 975; Tarikh al-Khulafa oleh Ibnu Qutaibah, jilid 1, hal. 20; al-Imamah wa as-Siyasah oleh Qutaibah, jilid 1, ha1.19-20).

Selain itu, Umar bin Khattab datang ke rumah Ali. Talhah dan Zubair serta beberapa kaum Muhajirin lain juga berada di rumah itu. Umar berteriak, “Demi Allah, keluarlah kalian dan baiat Abu Bakar jika tidak akan kubakar rumah ini.” Zubair keluar dengan pedang terhunus, karena ia terjatuh (kakinya tersandung sesuatu), pedangnya lepas dari tangannya, merekapun menerkamnya dan membekuknya. (Referensi hadis: Tarikh ath-Thabari, versi bahasa Inggris, jilid 9, ha1.186-187).

Pada catatan kaki di halaman yang sama (ha1.187) penerjemahnya memberi komentar, “Meskipun waktunya tidak jelas, nampaknya Ali dan kelompoknya mengetahui tentang peristiwa di Saqifah setelah apa yang terjadi di sana. Para pendukungnya berkumpul di rumah Fathimah. Abu Bakar dan Umar sangat menyadari tuntutan Ali. Karena takut ancaman serius dari pendukung Ali, Umar mengajaknya ke masjid untuk memberi sumpah setia. Ali menolak, sehingga rumah tersebut dikelilingi oleh pasukan pimpinan Abu Bakar-Umar, yang mengancam akan membakar rumah sekiranya Ali dan pengikutnya tidak keluar dan memberi sumpah setia kepaLta Abu Bakar. Keadaan bertambah panas dan Fathimah marah. (Lihat Ansab Asyraf oleh Baladzuri dalam kitabnya jilid 1, ha1.582-586; Tarikh Ya’qubi, jilid 1, ha1.116, al-Imamah wa as-Siyasah oleh Ibnu Qutaibah, jilid 1, hal. 19-20).

Umar, ia pergi ke rumah Fathimah dan berkata, “Wahai putri Rasulullah! Aku tidak mencintai seorang pun sebanyak cintaku pada ayahmu, dan tidak ada seorang pun setelahnya yang lebih aku cintai selain engkau. Tetapi, Demi Allah, sekiranya orang-orang ini berkumpul bersamamu, kecintaan ini tidak akan mencegahku untuk membakar rumahmu.” (Referensi hadis Sunni: Tarikh ath-Thabari, pada peristiwa tahun 11 H; al-Imamah wa as-Siyasah oleh Ibnu Qutaibah, jilid 1, pengantar isi, dan ha1.19-20; Izalat al-Khalifah oleh Syah Wahuilah Muhaddis Dehlavi, jilid 2, hal. 362; Iqd al-Farid oleh Ibnu Abdurrabbah Malik, jilid 2, bab Saqifah).

Diriwayatkan pula bahwa Umar berkata kepada Fathimah (yang berada di belakang pintu),“Aku mengetahui bahwa Rasulullah tidak mencintai siapa pun lebih dari cintanya padamu. Tetapi kehendakku tidak akan menghentikanku melaksanakan keputusanku. Jika orang-orang ini berada di rumahmu, aku akan membakar pintu ini di hadapanmu.” ( Referensi hadis Sunni: Kanz al-Ummal, jilid 3, hal. 140).

Sejarahwan menyebutkan nama-nama berikut adalah orang-orang yang menyerang rumah Fathimah untuk membakar orang-orang yang berlindung di dalamnya; Umar bin Khatab, Khalid bin Walid, Abdurrahman bin Auf, Tsabit bin Shammas, Ziyad bin Labid, Muhammad bin Maslamah, Salamah bin Salim bin Waqqash, Salamah bin Aslam, Usaid bin Huzair, Zaid bin Tsabit.

Ulama Sunni yang ditakzimkan, Abu Muhammad bin Muslim bin Qutaibah Dainuri dalam kitab al-Imamah wa as-Siyasah meriwayatkan bahwa Umar meminta sebatang kayu dan berkata kepada orang orang yang berada di dalam rumah, “Aku bersumpah demi Allah yang menggenggam jiwaku, jika kalian tidak keluar, akan aku bakar rumah ini!” Seseorang memberitahu Umar bahwa Fathimah berada di dalam. Umar berteriak, “Sekalipun! Aku tidak peduli siapa pun yang berada di dalam rumah itu.” (Referensi hadis Sunni: al-Imamah wa as-Siyasah oleh Ibnu Qutaibah, jilid 1, hal. 3, 19-20).

Baladzuri, seorang sejarahwan lain meriwayatkan bahwa Abu Bakar meminta Ali untuk memberi dukungan kepadanya tetapi Ali menolak. Kemudian Umar berjalan ke rumah Ali sambil membawa kayu bakar di tangannya. Ia bertemu Fathimah di muka pintu. Fathimah berkata, “Engkau berniat membakar pintu rumahku?” Umar menjawab, “Ya, karena hal ini akan menguatkan agama yang diberikan kepada kami dari ayahmu.” (Referensi hadis Sunni: al-Ansab Asyraf oleh Baladzuri, jilid 1, ha1.582, 586).

Lebih jauh lagi diriwayatkan bahwa ketika Ali dan Abbas sedang duduk di dalam rumah Fathimah, Abu Bakar berkata kepada Umar, “Pergi dan bawalah mereka, jika mereka menentang, bunuh mereka!” Umar membawa sepotong kayu bakar untuk membakar rumah tersebut. Fathimah keluar dari pintu dan berkata, “Hai putra Khattab, apakah kamu datang untuk membakar rumah yang di dalamnya terdapat aku dan anak-anakku?” Umar menjawab, “Ya, demi Allah, hingga mereka keluar berbaiat kepada khalifah Rasul.”
(Referensi hadis Sunni: Iqd al-Farid oleh Ibnu Abdurrabbah, bagian 3, ha1.63; al-Ghurar oleh Ibnu Khazaben, bersumber dari Zaid Ibnu Aslam).

Ketika Fathimah mendengar suara mereka, ia berteriak keras, “Duhai ayahku, Rasulullah! Lihatlah bagaimana Umar bin Khattab dan Abu Bakar memperlakukan kami setelah engkau tiada! Lihatlah bagaimana cara mereka menemui kami!”

Ulama-ulama Sunni seperti Ahmad bin Abdul Aziz Jauhari dalam bukunya Saqifah, Abu Wahid Muhibuddin Muhammad Syahnah Hanafi dalam bukunya Syarh al-Nahj, dan lainnya telah meriwayatkan peristiwa yang sama.

Lihat juga sejarahwan terkemuka Sunni, Abdul Hasan, Ali bin Husain Mas’udi dalam bukunya Ishabat al-Wasiyyah, menjelaskan peristiwa tersebut secara terperinci dan meriwayatkan, “Mereka mengelilingi Ali dan membakar pintu rumahnya, melemparkannya serta mendorong penghulu seluruh perempuan (Fathimah) ke dinding yang menyebabkan terbunuhnya Muhsin (putra berusia 6 bulan yang tengah dikandungnya).

Shalahuddin Khalil Safadi, ulama Sunni lain, dalam kitabnya Wafi al-Wafiyyat, pada surat ‘A’ ketika mencatat pandangan/pendapat Ibrahim bin Sayar bin Hani Basri, yang terkenal dengan nama Nidzam mengutip bahwa ia berkata,“Pada hari pembaiatan, Umar memukul perut Fathimah sehingga bayi dalam kandungannya meningggal.”.

Menurut anda mengapa perempuan muda berusia 18 tahun harus terpaksa berjalan ditopang tongkat? Kekerasan serta tekanan yang sangat hebat menyebabkan Sayidah Fathimah Zahra senantiasa menangis, “Bencana itu telah menimpaku sehingga sekiranya bencana itu datang di siang hari, hari akan menjadi gelap.” Sejak itu Fathimah jatuh sakit hingga wafatnya akibat bencana dan sakit yang menimpanya, padahal usianya baru 18 tahun.

Seperti yang dikutip oleh Ibnu Qutaibah menjelang hari–hari terakhirnya, Fathimah selalu memalingkan wajahnya ke dinding, ketika Umar dan Abu Bakar datang membesuknya menjawab ucapan mereka yang mendoakan kesembuhannya, Fathimah mengingatkan Umar dan Abu Bakar tentang pernyataan Nabi Muhammad bahwa barang siapa yang membuat Fathimah murka, maka ia telah membuat murka Nabi. Fathimah berkata, “Allah dan malaikat menjadi saksiku bahwa engkau membuatku tidak ridha, dan kalian telah membuatku murka. Apabila aku bertemu ayahku, akan kuadukan semua perbuatan kalian berdua!”  (Al-Imamah wa as-Siyasah oleh Ibnu Qutaibah, jilid 1, hal.4).

Karena alasan yang sama, Fathimah ingin agar kedua orang yang telah menyakitinya jangan sampai hadir di pemakamannya dan oleh karenanya ia dimakamkan malam hari. Bukhari, dalam kitabnya menegaskan bahwa Ali menuruti keinginan istrinya. Bukhari meriwayatkan dari Aisyah bahwa Fathimah sangat marah kepada Abu Bakar sehingga ia menjauhinya, tidak berbicara dengannya sampai wafatnya. Fathimah hidup selama 6 bulan setelah Nabi Muhammad wafat. Ketika Fathimah wafat, suaminya Ali menguburkannya di malam hari tanpa memberitahukan Abu Bakar dan melakukan shalat jenazah sendiri. (Referensi hadis Sunni: Shahih Bukhari, bab Perang Khaibar, Arab Inggris jilid 5; Tarikh Thabari, jilid IX, ha1.196 (peristiwa tahun 11, versi bahasa Inggris); Tabaqat ibn Sa’d, jilid. VIII, ha1.29; Tarikh, Ya’qubi, jilid II, hal.117; Tanbih, Mas’udi, hal. 250 (kalimat ketiga terakhir disebutkan di catatan kaki kitab Thabari); Baihaqi, jilid 4, hal. 29; Musnad, Ibnu Hanbal, jilid 1, hal. 9; Tarikh, Ibnu Katsir, jilid 5, hal. 285-86; Syarh ibn al-Hadid, jilid 6, hal. 46. 546, hal. 381-383 juga pada jilid 4, hadis 325).

Usaha apa pun yang mereka lakukan, mereka tidak dapat menemukan makamnya. Makam Fathimah hanya diketahui oleh keluarga Ali. Hingga saat ini makam putri Nabi Muhammad yang tersembunyi merupakan tanda-tanda ketidaksukaannya kepada beberapa sahabat.


Sumber-sumber ekonomi Ahlulbait telah ditutup untuk menghancurkan penentangan mereka. Dalam Shahih Bukhari berikut ini Aisyah meriwayatkan, Fathimah mengirim utusan kepada Abu Bakar (ketika ia menjadi khalifah), meminta warisan yang Allah karuniakan kepada Nabi dari harta fa’i (harta rampasan perang tanpa ada pertempuran) yang telah ditinggalkan Nabi di Madinah, tanah tadak, serta sisa-sisa khumus dari harta rampasan perang Khaibar. Tetapi Abu Bakar menolak untuk memberi sesuatupun kepada Fathimah. Hal ini membuatnya marah dan menjauhi Abu Bakar dan tidak berbicara kepadanya sampai ia wafat. Ia hidup 6 bulan setelah wafatnya Nabi Muhammad. Ketika wafat, suaminya Ali, menguburkan Fathimah di malam hari tanpa memberitahukan Abu Bakar dan ia sendiri yang menshalatkan Fathimah. (Referensi hadis Sunni: Shahih Bukhari, bab Perang Khaibar, Arab Inggris, jilid 5, hadis #5.46, hal. 381-383, juga pada jilid 4, hadis 3.25 (lihat lampiran untuk mengetahui keseluruhan hadis)).

Alasan yang ia kemukakan tidak logis karena perkataan Nabi tidak pernah bertentangan dengan ayat Quran yang dalam dua ayat membuktikan bahwa para rasul memiliki pewaris dan anakanaknya adalah pewaris dari para rasul.

Allah SWT berfirman, “Dan Nabi Sulaiman mendapat warisan dari Nabi Daud” (QS. an-Naml : 16). Sulaiman dan Daud adalah nabi-nabi yang memiliki banyak harta kekayaan. Mereka adalah raja pada zamannya. Allah Yang Maha Tinggi berfirman, (Zakaria berdoa kepada Allah), “Karuniakanlah aku seorang anak dari hadiratmu yang akan mewariskan dariku dan keluarga Yakub, dan jadikanlah ia seorang yang Engkau ridhai!” (QS Maryam : 5-6).

Ayat-ayat ini merupakan contoh bahwa para nabi memiliki pewaris. Sebenarnya, Fathimah menyebutkan ayat-ayat ini sebagai bukti akan haknya, tetapi Abu Bakar menolaknya karena saran Umar, dan secara sengaja mereka telah menentang ayat Quran yang sangat jelas.

Kenyataan sejarah membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW bahkan telah menyerahkan tanah Fadak yang luas dan subur di Hijaz kepada Fathimah dan tanah tersebut merupakan harta Fathimah sebelum Nabi Muhammad wafat.

Persoalan itu ternyata bukan hanya persoalan warisan, seperti yang diklaim Abu Bakar. Alasan Nabi Muhammad menyerahkan tanah Fadak kepada Fathimah adalah sebagai sumber penghasilan Ahlulbait. Tetapi setelah Nabi Muhammad wafat, Abu Bakar dan Umar menghapus nama pemilik tanah itu dan mengambil alih tanah serta harta Ahlulbait lainnya. Alasannya sangat sederhana. Mereka menyadari bahwa jika harta ini tetap berada di tangan Ali dan Fathimah, semoga kesejahteraan senantiasa atas mereka, mereka akan mengeluarkan penghasilannya bagi pengikut mereka.

Hal ini akan memperkuat kelompok oposisi Abu Bakar dan Umar dan membahayakan posisi mereka. Abu Bakar dan Umar menyadari kenyataan bahwa untuk mengendalikan pihak oposisi, penting bagi mereka untuk menghilangkan semua sumber-sumber ekonomi mereka.

Jadi permasalahanya bukan semata-mata masalah harta, melainkan lebih bersifat politis. Kemarahan Fathimah bukan untuk kesenangan duniawi. Sejarah membuktikan bahwa Ali dan Fathimah hidup sangat sederhana ketika Nabi masih hidupdan setelah Nabi wafat.

Yang sangat terkenal adalah bahwa Surah al-Insan ayat 8-9 turun bagi mereka ketika selama tiga hari berturut-turut mereka memberikan makanan mereka kepada pengemis pada saat akan berbuka puasa (ifthar), dan tidak ada makanan yang tersisa untuk anak – anak mereka selama 3 hari berturut – turut. Oleh karenanya orang – orang beriman ini tidak menuntut atau marah demi hal-hal yang bersifat duniawi. Itulah mengapa kemarahan Fathimah adalah kemarahan Nabi Muhammad. Mereka, sebenarnya, tengah berjuang di jalan Allah dan mengeluarkan harta sah mereka untuk jalan yang benar dan untuk pengikut-pengikutnya.


Shahih Bukhari hadis 5.546 : Fathimah hidup 6 bulan setelah Nabi Muhammad wafat. Ketika wafat, suaminya Ali memakamkannya di malam hari tanpa memberitahu Abu Bakar.
Shahih Bukhari yang Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Fathimah mengutus seseorang kepada Abu Bakar, meminta warisan yang telah ditinggalkan Nabi Muhammad dari Allah atas hasil fa’i di Madinah, tanah Fadak, dan sisa khumus dari rampasan perang Khaibar. Abu Bakar berkata, “Rasulullah berkata, ‘Kami para rasul tidak meninggalkan warisan. Segala sesuatu yang kami tinggalkan adalah sedekah, tetapi keluarga Nabi Muhammad mendapat bagian dari harta ini.’ Demi Allah, aku tidak akan mengubah ketetapan Rasulullah ini, akan tetap seperti itu sebagaimana ketika Rasulullah masih hidup, dan akan keluarkan Rasulullah.” Abu Bakar menolak memberikan sesuatupun dari harta itu kepada Fathimah. Oleh karenanya, Fathimah marah kepada Abu Bakar. la. menjauhinya dan tidak mau berbicara dengannya hingga akhir hayatnya. la hidup hanya 6 bulan setelah ayahnya wafat. Ketika ia wafat, suaminya, Ali, menguburkannya pada tengah malam tanpa memberitahukan Abu Bakar dan menshalatinya sendiri.

Saat Fathimah masih hidup, orang-orang masih menghormati Ali, tetapi setelah ia wafat, Ali melihat perubahan dalam prilaku orang-orang kepadanya. Oleh karenanya Ali berdamai dengan Abu Bakar dan membaiatnya. Ali tidak membaiat Abu Bakar selama 6 bulan (periode antara wafatnya Nabi Muhammad dan wafatnya Fathimah). Ali mengutus seseorang kepada Abu Bakar untuk berkata, “Datanglah kepadaku, tetapi jangan ada orang lain bersamamu.” Karena ia tidak suka kalau Umar turut serta. Umar berkata (kepada Abu Bakar), “Jangan! Demi Allah kamu tidak boleh pergi sendiri.” Abu Bakar berkata, “Memangnya apa yang akan mereka lakukan terhadapku? Demi Allah aku akan pergi!” Lalu Abu Bakar pergi ke tempat Ali. Ali kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat dan berkata, “Kami mengetahui keutamaanmu dan apa yang telah Allah berikan padamu, dan kami tidak cemburu atas kebaikan yang telah Allah berikan padamu. Tetapi engkau tidak berunding denganku mengenai urusan ini. Kami berpikir bahwa kami memiliki hak atasnya karena kedekatan hubungan kekerabatan kami dengan Rasulullah.”.

Mendengar ucapan Ali ini, Abu Bakar menangis. Dan ketika Abu Bakar mengeluarkan suara, ia berkata, “Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya aku akan menjaga hubunganku dengan keluarga Rasulullah lebih baik daripada hubungan dengan keluargaku. Tetapi, mengenai masalah yang terjadi antara aku dan engkau dalam harta ini, aku akan berbuat sebaik mungkin, mengeluarkannya berdasarkan sesuatu yang benar dan aku tidak akan meninggalkan hukum/aturan Allah yang telah dicontohkan Rasulullah dalam mengeluarkannya, dan aku akan mengikutinya.” Mendengar hal itu Ali berkata kepada Abu Bakar, “Aku berjanji akan memberi baiatku, siang ini.”.

Usai menunaikan shalat Dzuhur, Abu Bakar naik mimbar dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Lalu ia bercerita mengenai Ali, mengapa ia tidak membaiatnya dan memaafkan Ali, dan menerima alasan yang diajikan. Kemudian Ali berdiri, berdoa, dan memohon ampunan-Nya. la mengucapkan dua kalimat syahadat, memuji Abu Bakar dan berkata bahwa ia tidak membaiat Abu Bakar bukan karena cemburu kepadanya atau protes atas apa yang Allah berikan padanya. Ali melanjutkan, “Kami menganggap bahwa kami juga memilliki hak atas urusan ini (kepemimpinan) dan ia (Abu Bakar) tidak mengajaknya berunding.” Oleh karenanya, ia menyayangkan hal itu. Semua orang Muslimin di tempat itu merasa lega dan berkata, “Engkau telah melakukan hal yang benar.” Kaum Muslimin menjadi bersahabat dengan Ali karena ia melakukan apa yang dilakukan kaum Muslimim (berbaiat kepada Abu Bakar).


Setelah peristiwa fadak , Abubakar dan Umar berkunjung ke rumah Fatimah as, dikarenakan mereka merasa telah menyakiti beliau as. Kemudian Fatimah as berkata : ”Apakah kalian tidak mendengar Rasul saww bersabda ‘Keridhoan Fatimah adalah keridhoanku, Kemurkaan Fatimah adalah kemurkaanku. Barangsiapa mencintai Fatimah, puteriku, berarti mencintaiku dan barangsiapa membuat Fatimah murka berarti membuat aku murka’  ?”

Mereka berdua menjawab : “Ya, kami telah mendengarnya dari Rasulullah”.
Fatimah as berkata : “Aku bersaksi kepada Allah dan para malaikat-Nya, sesungguhnya kalian berdua telah membuat aku marah dan kalian berdua membuat aku tidak ridho. Seandainya aku bertemu Nabi saww nanti, aku akan mengadu kepada beliau tentang kalian berdua”.

Kemudian Fatimah as berkata kepada Abubakar : “Demi Allah, sungguh aku akan mengadukan engkau kepada Allah di setiap sholatku”.

Ref. Ahlusunnah :
a Ibn Qutaibah, dalam “Al-Imamah Was Siyasah”, hal. 14.
b. Ibn Qutaibah, dalam “Khulafaur Rasyidin”, hal. 13-14.
Dan Fatimah as tidak berbicara dengan Abubakar sampai wafatnya. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Fatimah as bersumpah untuk tidak berbicara selama-lamanya dengan Abubakar dan Umar. Dan Fatimah as dikuburkan secara diam-diam pada malam hari.

Ref. Ahlusunnah :
a. Shahih Bukhari, juz 3, kitab “Al-Maghazi”, bab “Perang Khaibar”.
b. Al-Hakim, dalam Mustadrak, jilid 3, saat menceritakan wafatnya Fatimah.
c. Ibnu Sa’ad, dalam “Thabaqat”, jilid 2, bab 2, hal. 84.
d4. Muttaqi Al-Hindi, dalam “Kanzul Ummal”, jilid 7, hadits no 18769.
e. Thahawi, dalam “Musykil Al-Atsar”, jilid 1, hal. 48.
dll.


Berkaitan dengan hal ini, Ummu Ja’far, putri Muhammad bin Ja’far, meriwayatkan permintaan Fathimah kepada Asma binti Umais menjelang kematiannya, “Bila aku mati, aku ingin engkau dan Ali yang memandikanku. Jangan izinkan seorang pun masuk ke dalam rumahku!”

Ketika ia wafat, Aisyah datang. Asma berkata padanya, “Jangan masuk!” Aisyah mengadukan hal itu kepada Abu Bakar, “Khathamiyyah ini (seorang perempuan dari suku Khatam, Asma) menghalangi aku untuk menengok putri Rasulullah.” Kemudian Abu Bakar datang. Ia berdiri di pintu dan berkata, “Hai Asma, apa yang menyebabkanmu tidak mengizinkan istri Rasulullah melihat putri Rasulullah?” Asma menjawab, “la sendiri memerintahkanku untuk tidak mengijinkan seorang pun masuk ke rumahnya.” Abu Bakar berkata, “Lakukan apa yang telah ia perintahkan!” ( Referensi hadis Sunni: Hilyat al-Awliya, jilid 2, ha1.43; as-Sunan al-Kurba, jilid 3, ha1.396; Ansab al-Asyraf, jilid 1, ha1.405; al-Isti’ab, jilid 4, ha1.1897-98; Usd al-Ghabah, jilid 5, ha1.524; al-Ishabah, jilid 4, ha1. 378-89).

Muhammad bin Umar Waqidi berkata,“Telah terbukti bahwa Ali melakukan shalat jenazah sendiri dan menguburkannya di malam hari, ditemani Abbas dan Fadhl bin Abbas, dan tidak memberitahu siapapun. Itulah alasan mengapa makam Fathimah tersebut tidak diketahui hingga kini.” ( Referensi hadis Sunni: Mustadrak al-Hakim, jilid 3, ha1.162-163; Ansab al-Asyraf jilid 1, hal. 402, 405; al-Isti’ab, jilid 4, ha1.1898; Usd al-Ghabah, jilid 5, hal. 524-25; al-Ishabah, jilid 4, hal. 379-80; Tabaqat ibn Sa’d, jilid 8, ha1.19-20; Syarh ibn al-Hadid, jilid 16, ha1.179-81).

Abu Bakar berkata, “Semoga Allah menyelamatkanku/mengampuniku dari kemurkaan-Nya dan kemurkaan Fathimah!” (kata-kata yang sama juga digunakan oleh Bukhari). Kemudian Abu Bakar menangis keras ketika Fathimah berseru, “Aku akan mengutukmu di setiap shalatku!” Ia mendekati Fathimah dan berkata, “Lepaskan aku dari baiat ini dan kewajiban-kewajibanku!” ( Referensi hadis Sunni: Tarikh Khulafa oleh Ibnu Qutaibah, jilid 1, ha1.120).


Apakah seorang ‘muslim fasik’ yang terlahir pada zaman Rasul akan lebih mulia dari seorang ‘muslim bertakwa’ yang terlahir di akhir zaman seperti sekarang ini, sehingga yang itu (salaf) kebal hukum karena disebut sahabat dan mujtahid, sedang yang ini (khalaf) tidak semacam itu?

Jika ya, lantas harus kita taruh dimana ayat yang mengatakan “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian” (Inna Akramakum Indallahi Atqokum)? Dan dimana letak keadilan Allah yang tentu kita semua yakini bahwa, Ia Maha Adil dan Bijaksana ? Jadi Siapakah Sesungguhnya Sahabat Nabi itu?

Salah satu fitnah yang dilancarkan musuh-musuh Syiah terhadap mazhab Islam ini adalah bahwa Syiah telah mengkafirkan para sahabat.

Apakah benar Syiah mengkafirkan semua sahabat ataukah sebagian saja? Apa arti pengkafiran, apakah sama dengan kekafiran kaum non muslim atau sekedar kritisi karena kesalahan yang dilakukankan sebagian sahabat?

Tentu, dalam menjawab semua itu perlu tulisan tersendiri, namun di sini kita akan membahas definisi sahabat menurut ulama Ahlusunnah sendiri.
Untuk mempersingkat kajian, kita akan lihat sebagai contoh definisi sahabat dari dua ulama Ahlusunnah di bawah ini;
Dalam kitab Bukhari disebutkan, ada satu bab yang menjelaskan tentang; “Keutamaan para sahabat Nabi dan orang yang menemani Nabi atau orang muslim yang pernah melihatnya maka ia disebut sahabat beliau” (Bab Fadhoil Ashaab an-Nabi wa man Sohaba an-Nabi aw Ra’ahu min al-Muslimin fa Huwa min Ashabihi). (Sahih Bukhari 3/1335).

Atau dalam Syarh Muslim oleh Imam an-Nawawi dimana beliau mengatakan; “Yang benar menurut mayoritas adalah bahwa setiap muslim yang pernah melihat Nabi walau sesaat maka ia tergolong sahabat beliau” (As-Sohih al-Ladzi Alaihi al-Jumhuur anna Kulla Muslim Ra’a an-Nabi wa lau Sa’ah fa Huwa min Ashabihi). (Syarh muslim oleh Imam an-Nawawi 16/85).

Dan masih banyak ulama Ahlusunnah lain yang kurang lebih batasan sahabat menurut mereka sangat longgar, bahkan –dengan istilah ilmu mantiq (logika)- definisi mereka kurang jami’ dan tidak mani’ sehingga ‘muslim fasiq’ atau ‘munafiq’ pun akan bisa masuk kategori sahabat Nabi.

Kita lihat bagaimana al-Quran membagi sahabat Nabi menjadi tiga golongan yang berbeda-beda: “Kemudian Kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang amat besar” (al-Fathir: 32).

Tentu, jika kita teliti dari obyek tadi maka orang-orang yang dimaksud pada ayat di atas adalah orang yang hidup sezaman dengan Nabi yang biasa disebut dengan sahabat. Adapun yang dimaksud dengan “ada yang menganiaya (baca: zalim) diri mereka sendiri” adalah orang fasik yang melanggar batasan-batasan yang telah ditentukan Allah.

Dikarenakan penggunaan kata sahabat sangat umum maka dalam al-Quran pun sering dinyatakan bahwa, walau manusia durjana dan pendurhaka (kafir Quraisy) pun dimasukkan katagori sahabat seorang yang mulia (seperti Rasulullah). Sebagai contoh:
“Kawan (Shohib) kalian (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru” (QS an-Najm: 2)
“Apakah (mereka lalai) dan tidak memikirkan bahwa teman (shohib) mereka (Muhammad) tidak berpenyakit gila…” (QS al-A’raf: 184).

Dan atas dasar itulah (ketidakjelasan definisi) maka Nabi pernah bersabda berkaitan denan sebagian kaum muslimin yang sezaman dengannya yang masuk kategori sahabat beliau dengan ungkapan: “Sesungguhnya ada dua belas orang pada sahabatku yang tergolong munafik” (inna fi Ashabi Itsna Asyara Munafiqan). (Sahih Muslim 4/2143 hadis ke-2779).

Sekarang giliran saudara-saudara dari Ahlusunnah yang harus berpikir dan merenung;
Apakah definisi di atas tadi mencakup para manusia muslim yang baik pada zaman Rasul saja, atau juga mencakup yang penzalim yang hidup di zaman Nabi juga?

Apakah dalam ajaran Islam mengkritisi manusia penzalim hanya berlaku pada zaman tertentu saja, atau mencakup setiap zaman, termasuk kaum muslim penzalim zaman Rasul juga? Jika saudara dari Ahlusunnah berpendapat hanya pada zaman dimana kita hidup sekarang saja maka, dari sekarang kita gak usah menjadikan al-Quran sebagai pegangan karena al-Quran telah menyinggung kaum ‘muslim munafik’ zaman Rasul juga yang jika kita kembalikan kepada definisi di atas tadi maka muslim munafik tadi masuk kategori sahabat Nabi. Saya kira, sebagai musim sejati saudara dari Ahlusunnah tidak akan siap untuk tidak menjadikan al-Quran sebagai pedoman?

Bukankah seruan yang mengatakan “Setiap fenomena yang terjadi di antara sahabat hendaknya kita diam” (Kullu Maa Jara Baina as- Sohabah Naskutu) -yang terkenal dalam ajaran Ahlusunnah- akan menyebabkan terjadi kerancuan dalam berpikir dan bertindak, akibat paradoksi dalam tindakan dan prilaku sebagian sahabat berkaitan dengan selainnya. Karena seringnya diantara mereka –sebagaimana yang telah terukir dalam sejarah- terjadi saling dengki, saling caci-maki, saling laknat, saling ghibah, saling menuduh (fitnah), dan bahkan saling bunuh. Bukankah itu semua dilarang dalam Islam?

Mungkin sebagian dari saudara kita dari Ahlusunnah beralasan bahwa para sahabat SEMUA adalah pelaku ijtihad (mujtahid). Lantas biarkan kita (Syiah) akan bertanya kepada saudara kita itu;
Apakah mungkin luang lingkup ijtihad para sahabat tanpa batas sehingga hatta yang bertentangan atau bahkan melanggar batas kejelasan hukum Islam pun diperbolehkan? Dengan kata lain, apakah konsep ijtihad di Ahlusunnah istilah “ijtihad fi muqobil an-Nash” (ijtihad yang bertentangan dengan kejelasan teks agama) diperbolehkan?

Hukum ijtihad mujtahid mana yang membolehkan membunuh seorang mujtahid (sahabat) lain seperti yang dilakukan Muawiyah terhadap Amar bin Yasir, memperkosa istri orang sebagaimana yang dilakukan Khalid bin Walid terhadap istri sahabat Malik bin Nuwairah, meminum minuman keras sebagaimana yang dilakukan Walid bin Utbah, melakukan kebohongan atas nama Rasul sebagaimana yang dilakukan Abu Hurairah sehingga membuat sahabat Umar, sahabat Ali dan Ummulmukminin Aisyah marah, dan perbuatan keji lain yang jelas dilarang oleh ajaran Islam?

Kalaupun kita terpaksa harus menerima bahwa mereka berijtihad, kenapa kita yang hidup sekarang ini tidak boleh melakukan dan mencontoh ijtihad mereka dalam perbuatan ‘bejat’ tadi? Apakah penyebab mereka kebal hukum –atas setiap pelanggaran- dan kebal kritisi –dari umat yang datang setelahnya- hanya karena takdir Allah yang karena mereka telah tercipta (baca: terlahir) di masa hidup Rasul sehingga mendapat gelar Sahabat Rasul, walau hanya karena melihat beliau selintas saja?

Jika saudara dari Ahlusunnah masih tetap bersikeras untuk mengatakan yang mereka yakini itu –bahwa semua sahabat Nabi adalah baik, mujtahid dan layak diikuti- maka saran kami (Syiah), kita juga harus kembali menyinggung ke kajian Teology, terkhusus tentang konsep Keadilan Ilahi yang diawali dengan pertanyaan;
Benarkah Allah Maha Adil? Benarkah Allah akan memuliakan hamba-Nya yang ‘tanpa kehendaknya (ikhtiyar)’ telah terlahir di zaman Rasul sedang ia telah berani menentang sebagian perintah Ilahi, dibanding seorang hamba yang berilmu nan bertakwa namun dia ditakdirkan untuk terlahir di zaman yang jauh dari kehidupan Rasul?

Silahkan saudara-saudaraku dari Ahlusunnah merenungkan hal tersebut di atas. Selamat merenung dengan kepala dingin dan dada yang lapang dengan menjauhkan dari fanatisme golongan agar hakekat yang ada nampak jelas.

Dan jangan sombong , artinya kalian tidak mau merenung karena jika mau merenung kalian takut terungkap kebenaran itu, bukankah merenung sesaat lebih baik dari Ibadah bertahun-tahun (al-Hadits).



Ayatullah al Uzhma Makarim Syirazi:
 Sahabat Nabi Tidak Semuanya Adil.
“Kaum munafikin di zaman Nabi saww sebagaimana penjelasan Al_qur’an sangat keterlaluan dalam kemunafikan mereka. Mereka sangat bersungguh-sungguh menampakkan diri sebagai bagian dari umat Islam. Mereka juga turut shalat di belakang Nabi, mereka juga duduk di setiap majelis-majelis Nabi bahkan mereka juga turut meriwayatkan hadits-hadits Nabi saww. Karenanya sangat memungkinkan bagi orang-orang setelahnya, orang-orang munafik ini juga terkategorikan sebagai sahabat-sahabat Nabi”

Ayatullah Al Uzhma Nashir Makarim Syirazi setelah pelaksanaan shalat Dhuhur secara berjama’ah di hadapan para jama’ah shalat di Haram Hadhrat Fatimah Maksumah di kota suci Qom Iran menyatakan bahwa saudara muslim dari kalangan Ahlus Sunnah berkeyakinan semua sahabat Nabi itu adil tanpa terkecuali dan tidak satupun dari mereka boleh dikecam.

Ulama yang juga merupakan salah satu marja taklid bagi umat Syiah ini mengkritisi keyakinan tersebut dengan mengatakan, “Muawiyah adalah juga diantara sahabat Nabi, tetapi apakah beliau termasuk sahabat Nabi yang adil?”

Beliau kemudian lebih lanjut mengaitkannya dengan penyimpangan putra nabi Nuh as yang membuat hubungan maknawi dengan bapaknya menjadi terputus. Beliau berkata, “Kita bisa mengambil hikmah dari kisah nabi Nuh as, bahwa seberapa akrab dan erat hubungan seseorang dengan Nabi bukanlah menjadi jaminan bahwa hubungan erat itu akan menjadikannya sebagai pengikut setia Nabi sampai akhir hayatnya. Hubungan Nabi Nuh dengan putranya adalah hubungan sedarah, hubungan keluarga yang lebih dekat dan erat dari hubungan persahabatan ataupun kekerabatan secara luas, namun meskipun demikian, sejarah memperlihatkan bahwa sebagai anakpun, putra Nabi Nuh as membangkang dan mendurhakai Nabi Nuh as apalagi kalau hanya sekedar hubungan persahabatan yang baru terjalin dalam beberapa tahun.”

Ayatullah Makarim Syirazi kemudian menjelaskan mengenai keyakinan dan pendapat Syiah yang membagi sahabat menjadi 3 golongan. Beliau berkata, “Syiah membagi sahabat menjadi 3 golongan besar. Kelompok pertama adalah sahabat-sahabat Nabi yang terdiri dari pibadi-pribadi yang baik yang hidup di zaman Nabi saww seperti Salman dan Abu Dzar. Yang kemudian sepeninggal Nabi mereka tetap istiqamah di jalan yang telah digariskan Nabi saww.”

“Sementara kelompok yang kedua, adalah sahabat-sahabat Nabi yang meskipun bersama Nabi namun pada dasarnya merupakan orang-orang munafik. Kelompok inilah yang disinggung oleh Allah pada ayat-ayat awal surah Al-Baqarah. Karenannya saya hendak bertanya kepada ulama-ulama Ahlus Sunnah, apakah kalian tetap menganggap bahwa kaum munafikin itu adalah orang-orang yang adil?” lanjut beliau.

Ayatullah al Uzhma Makarim Syirazi kemudian menegaskan, “Kaum munafikin di zaman Nabi saww sebagaimana penjelasan Al_qur’an sangat keterlaluan dalam kemunafikan mereka. Mereka sangat bersungguh-sungguh menampakkan diri sebagai bagian dari umat Islam. Mereka juga turut shalat di belakang Nabi, mereka juga duduk di setiap majelis-majelis Nabi bahkan mereka juga turut meriwayatkan hadits-hadits Nabi saww. Karenanya sangat memungkinkan orang-orang munafik ini juga terkategorikan sebagai sahabat-sahabat Nabi”

“Kemudian kelompok yang ketiga adalah sahabat-sahabat Nabi yang terdiri dari pribadi-pribadi yang baik semasa nabi masih hidup namun kemudian sepeninggal Nabi menjadi orang-orang yang menyimpang dan mengubah-ubah sunnah-sunnah Nabi saww. Dalam kitab-kitab ahlus sunnah sendiri diriwayatkan sepeninggal Nabi tidak sedikit sabahat nabi yang kembali murtad ataupun kembali kepada tradisi-tradisi jahiliyah seperti meminum minuman keras. Lantas kepada mereka ini, apakah logis jika atas nama mereka sahabat Nabi kitapun tetap menetapkan bahwa mereka adalah orang-orang yang adil?” tegas ulama marja ini.

Ulama yang merupakan guru besar di Hauzah Ilmiyah Qom ini dipenghujung ceramahnya mengatakan, “Kami umat Syiah mengatakan bahwa kami memberikan penghormatan kepada sahabat-sahabat Nabi yang tercatat dalam literatur sejarah sebagai sahabat-sahabat setia Nabi dan bagi sahabat-sahabat yang tercatat melakukan penyimpangan yang penyimpangan itu menodai kesucian dan kemuliaan Islam maka kami tidak mempunyai alasan untuk memberikan penghormatan kepada mereka. Dan keyakinan kami ini bukanlah berarti tidak menghormati keyakinan Ahlus Sunnah. Tidak ada pengecaman yang boleh dilakukan kepada siapapun, kecuali jika ada dalil dan keterangan-keterangan yang jelas.”


Definisi Sahabat Menurut Syi’ah
Pandangan Syi’ah terhadap sahabat cukup dan bahkan sangat positif namun tidak seperti halnya yang dipahami oleh ahlusunnah. Ahmad Amin al Misri, berkata: “terkait dengan masalah sikap terhadap sahabat, ahlusunnah lebih mengandalkan perasaannya sementara syi’ah justru lebih bersikap ilmiah dan logis”.

Sahabat, sesuai dengan tuntunan bahasa dan bukti-bukti yang terdapat dalam Al Qur’an dan hadits, adalah seseorang  yang pernah berinteraksi langsung dengan Nabi saw, baik itu muslim, kafir, orang takwa, mukmin, fasik atau pun munafik.[16]

Kalau seseorang semasa dan pernah bersama Rasulullah saw, kendati ia bisa disebut sebagai sahabat namun tidak bisa dianggap kalau ia itu adalah orang yang beriman, takwa. Kalau sekedar pernah bersama merupakan sebuah keutamaan, lalu kenapa nasib istri Nabi Nuh as dan Nabi Luth as yang tentunya pernah bersama seorang nabi bisa me-neraka? Dimana dinyatakan dalam Al Qur’an: “lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya. Kedua suami mereka itu tidak dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah. (Kepada mereka) dikatakan, “Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka).”[17]  

Bukankah ayat-ayat ini dengan sangat transparan mengatakan: parameter baik dan buruknya seseorang adalah iman dan amal mereka dan bahkan posisi sebagai istri atau anak nabi, ketika memiliki amal perbuatan yang buruk, tidak akan pernah menghalanginya untuk menikmati siksaan api neraka?
Perlu kita analisis bahwa sejauh mana sikap, ketaatan, kesetiaan dan tanggungjawab sahabat dan juga seperti apa ketakwaan dan kesucian mereka itu.

Bagaimana dan dengan logika apa kita dapat menyamakan di antara seluruh sahabat dan menyebut keduanya adalah sahabat? Misalnya antara Malik bin Nuwairah dan orang yang membunuhnya dengan keji dan pada malam itu juga seranjang dengan istrinya! Sekali-kali tidak dapat dibenarkan peminum khamar seperti Walid bin Uqbah hanya karena statusnya sebagai sahabat kemudian kita bela. Atau menyokong dan membela yang menjadikan pemerintahan Islam seperti sebuah kekuasaan diktator dan membunuh orang-orang shaleh dalam umat dan mengangkat senjata berperang melawan imam dan khalifah sah (Ali bin Abi Thalib)? Apakah dapat dibenarkan kita memandang sama antara Ammar Yasir dan kepala kelompok pemberontak hanya karena keduanya sahabat padahal Rasulullah Saw bersabda: “Ammar akan dibunuh oleh kelompok tiran dan pemberontak.”

Syura  dan ijtihad dalam Islam hanya diterapkan dalam masalah-masalah  yang tidak ada nashnya..
Jadi peristiwa Saqifah  Bani Sa’idah dinyatakan BATAL demi hukum…
Pembantaian yang dilakukan Aisyah dan Mu’awiyah terhadap  pasukan Imam adalah BUKAN PERBUATAN ORANG  ADiL

Apakah Seluruh Sahabat Nabi saw itu Adil?
Mayoritas ahlusunnah mengatakan: seluruh sahabat; yakni orang-orang yang hidup di masa Nabi saw dan pernah bersama beliau, tanpa terkecuali memiliki kedudukan adil.

Ada sekelompok yang demikian bersikap keras sehingga orang-orang yang mencoba mengkritisi mereka itu dianggap sebagai seorang yang fasik, atheis, dan zindik dan atau bahkan menghalalkan darah mereka!!.
Diantaranya dapat kita lihat dalam kitab al Ishabah karya Abu Zar’ah Razi:”kapan saja anda menyaksikan seseorang yang menghina salah seorang dari sahabat Nabi saw, maka pastikan saja orang tersebut adalah zindik dan hal ini dikarenakan Rasulullah saw adalah hak dan Al Qur’an itu hak dan apa yang dibawanya itu hak dan ini semua dibawakan atau disampaikan kepada kita melalui para sahabat dan para penentang hendak melenyapkan validitasnya yang nantinya Al Qur’an dan Sunnah hilang untuk selamanya”.[18]

Abdullah Mushili dalam buku Hatta Laa Nankhadi’mengakatakan:”Mereka (sahabat) adalah orang-orang pilihan Allah Swt untuk menemani Rasulullah saw dan menegakkan agama dan syari’at dan mereka itu adalah menteri-menteri Nabi saw dan mencintai mereka sama dengan agama dan iman dan membenci mereka sama halnya dengan kekafiran dan kemunafikan! Dan Ia mewajibkan kepada seluruh umat untuk mencintai mereka semua dan senantiasa menyebutkan kebajikan dan keutamaan-keutamaan mereka serta berdim diri terhadap adanya peperangan dan pertikaian yang pernah terjadi diantara mereka.”[19]

Menurut keyakinan Syi’ah tentang sahabat bahwa kendati diantara mereka itu terdapat pribadi-pribadi saleh, rela berkorban, suci lagi bertakwa namun hal ini tidak menafikan adanya orang-orang munafik dan tidak benar yang mana Al Qur’an sangat jijik terhadap mereka.

Terlalu banyak bukti-bukti , baik itu dari Al Qur’an dan sejarah hidup para sahabat Nabi saw , yang ada kaitannya dengan hal ini dimana hal tersebut tak bisa dipungkiri.

Sahabat Dalam Al Qur’an.
Sahabat dalam Al Qur’an, dibagi kedalam beberapa kelompok:sabiquunal awwalun.[20] Orang-orang yang berbaiat dibawah pohon,[21]muhajirin,[22] ash haab al fath,[23] para munafik yang sudah populer[24] dan tersembunyi[25] dan lain-lain.
  1. 1. Sebagian sahabat Nabi saw itu adalah orang-orang munafik, sebagaimana disinyalir dalam ayat berikut ini: “dan (juga) di antara penduduk Madinah ada sekelompok orang yang keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kami-lah yang mengetahui mereka.”[26] Ayat ini mengabarkan tentang orang-orang munafik yang ada di Madinah.
  2. 2. Ada sekelompok sahabat Nabi saw yang awalnya beriman kepada beliau saw namun kemudian mereka kembali menjadi musyrik dan kafir, sebagaimana dipaparkan Al Qur’an: “Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka”.[27]
  3. 3. Sebagiannya lagi sahabat itu menisbatkan zina kepada istri Nabi saw, Aisyah. Sebagaimana hal ini dapat dipahami dari ayat-ayat dengan alas an bahwa sebagian dari orang-orang yang terlibat dalam peristiwa ini adalah sahabat sendiri, pernah ikut di perang Badar pula. Terkait dengan hal ini, Allah Swt berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang tidak tahu menahu (tentang dosa) lagi beriman (berbuat zina), mereka terlaknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar”.[28]
  4. 4.            Sebagian lagi sahabat Nabi saw itu adalah orang-orang fasik, sebagaimana kita saksikan dalam ayat berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti”.[29] Dimana ayat ini berkenaan dengan Walid bin ‘Uqbah yang ia adalah salah seorang sahabat Nabi saw, yakni termasuk salah seorang yang pernah bertemu dengan Nabi saw dan membantu beliau saw. Disini Al Qur’an menganggap ia adalah seorang fasik, apakah semua sahabat itu seiring dan seirama dengan keadilan?
Wajah-wajah Sahabat Dalam Sejarah.
Perlu dikaji dan dianalisis realitas sahabat dalam sejarah, seperti Walid bin ‘Uqbah yang peminum khamr (minuman keras) dan telah divonis dengan hukuman: bukankah ia itu adalah sahabat Nabi saw?
Demikian pula terkait dengan personal lain seperti Dzul Khashirah yang pernah mengkhianati Nabi saw dalam pembagian harta rampasan (ghanimah), dimana ia berkata kepada Nabi saw: berlaku adillah dalam membagi ghanimah!. Bukankah orang ini termasuk salah satu dari sahabat Nabi saw? Bukankah Abu Sofyan merupakan salah seorang sahabat? Yang mencoba menendang makam penghulu para syahid, Hamzah dan berkata: inilah barang yang menjadi bahan pertentangan kita, sekarang giliran anak-anak kita.

Demikian pula orang-orang yang menyerang khalifah ketiga, Utsman, mayoritas dari mereka merupakan sahabat Nabi saw, pembunuh dan yang dibunuh kedua-duanya adalah sahabat Nabi saw. Bukankah Thalhah dan Zubair sahabat Nabi saw yang berperang dengan Imam Ali as dan di pihak Imam Ali as 800 orang sahabat yang pernah ikut dalam perang Badar?. Bukankah Utsman salah seorang sahabat Nabi saw? Lalu kenapa Aisyah berkata kepadanya: bunuh saja Utsman!.

Demikian pula bahwa bukankah Mughirah bin Syu’bah yang dinisbatkan telah berzina, adalah sahabat Nabi saw? Tentang Qudamah bin Mazh’un yang dengan alasan ia telah meminum khamr, Umar memukuli dan menghukumnya.

Bukankah Muawiyah yang telah mencoba merusak gerakan perbaikan yang dilakukan Rasulullah saw, termasuk salah satu diantara sahabat Nabi saw?[30]

Siapa yang telah membunuh Ammar Yasir? Siapa pula yang telah membunuh Abu Dzar? Basar bin Arthath salah satu panglima pasukan Muawiyah telah membantai dua putra kecil Ubaidullah bin Abbas, siapa mereka ini? Bukankah Amr bin ‘Ash sahabat Nabi saw? Yang mana selalu mengakhiri shalatnya dengan laknat kepada Imam Ali as.

Bukhari dengan menukil dari Nabi saw, berkata: kelak akan datang sekelompok dari kalian dan memohon syafaatku dan sementara mereka dalam keadaan menggigil serta bergetar ketika berhadapan denganku dan saya pun ingin menyafaati mereka dan saya berkata: wahai Tuhan-ku mereka ini adalah para sahabatku, seruan pun datang: kamu tidak mengetahui apa yang terjadi pada mereka; dengan demikian tidak semua sahabat itu suci lagi bersih.

Menariknya bahwa Allah Swt mencoba menguji para utusannya dikarenakan meninggalkan yang lebih utama (tarkul aula); Nabi Adam as diusir dari Surga gara-gara meninggalkan yang lebih utama.
Nabi Nuh as gara-gara syafaat untuk putranya yang pendosa, ia pun diuji; percayakah kalau hokum semacam ini tidak untuk para sahabat Nabi as?

Dalam kitab-kitab Shahih atau buku-buku tenar lain dari saudara-saudara kita Ahlusunnah, terdapat hal bahwa sebagian sahabat yang ada di masa Rasulullah saw atau paska Rasulullah saw telah melakukan perbuatan dosa yang akhirnya dilakukan proses penghukuman kepada mereka.
Keadilan macam apa ini dimana mereka telah melakukan dosa besar dan dihukum pula, namun tetap dianggap adil?

Na’iman seorang sahabat Nabi saw yang meminum khamr dan Rasul saw menyuruh untuk memukulinya.[31]
Seseorang dari kelompok bani aslam telah berzina, lalu Rasul saw memerintahkan untuk merajamnya.[32]
Paska Nabi saw, Abdurrahman bin Umar dan ‘Uqbah bin Harits (pernah ikut peperangan di Badar) meminum khamr dan Amr bin ‘Ash, gubernur Mesir, merajam mereka. Kemudian Umar memanggil putranya dan mengulangi proses rajam tersebut.[33]

Kisah tentang Walid bin ‘Uqbah sangatlah ma’ruf dimana ia meminum khamr dan melakukan shalat subuh sebanyak empat raka’at dalam keadaan mabuk lantas dipanggil ke Madinah dan ia pun dihukum sesuai aturan agama.[34]

Dan masih banyak lagi contoh-contoh lain yang tentunya sangat tidak wajar untuk disebutkan disini. Apakah dengan menyaksikan beberapa perumpamaan yang sangat riil diatas kita masih tetap juga mengatakan semua sahabat itu adil?

Kesimpulannya bahwa diantara para sahabat Nabi saw itu terdapat pribadi-pribadi yang tangguh, takwa, saleh dan lain-lain serta ada pula yang sebaliknya yaitu orang-orang yang pembangkan, munafik, kafir dan lain sebagainya.

[16] . Sultanul wa’izhin syirazi, Syabhay-e pesyavar, (Daarul kutub Islamiyyin), hal. 784.
[17] . Qs. At Tahrim: 10.
[18] . al Ishabah, jilid 1, hal. 17.
[19] . hal. 2.
[20] . Qs. At Taubah: 100.
[21] . Qs. Al Fath: 11.
[22] . Qs. Al Hasyr: 8.
[23] . Qs. Al Fath: 29.
[24] . Qs. Al Munafiqun: 1.
[25] . Qs. At Taubah: 101.
[26] . Qs. Muhammad: 25.
[27] . Qs. An Nur: 23.
[28] . Qs. Al Hujurat: 6..
[29] . terkait dengan masalah ini silahkan anda merujuk ke buku-buku seperti: Sirah ibnu Hisyam, Kamil bin Atsir, Qamus al Rijal, shahih bukhari jilid 5, al Manar jilid 11, milal wa nihal jilid 1 (ayatollah Subhani), ash shahabah wash shahabah jilid 2 (Khalil Abdul Karim).
[30] . Shahih Bukhari, jilid 8, hal. 13, hadits no. 6775, kitabul had.
[31] . Shahih Bukhari, jilid 8, hal. 22, hadits no. 6820.
[32] . al Mu’jam al kabir, jilid 23, hal. 128 dan kitab-kitab lain.
[33] . al Sunanul Kubra, jilid 8, hal. 312 dan masih banyak kitab-kitab lainnya.
[34] . shahih muslim, jilid 5, hal 126, hadits no. 1707.

(Syiah-Ali/Abna/Secondprince/Telaga-Hikmah/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: