Pesan Rahbar

Home » , , , , , » Bantahan dan Kedudukan Serta Kekacauan Salafy Dalam Membela Hadis “Nabi SAW Melihat Allah SWT Dalam Sebaik-baik Bentuk”

Bantahan dan Kedudukan Serta Kekacauan Salafy Dalam Membela Hadis “Nabi SAW Melihat Allah SWT Dalam Sebaik-baik Bentuk”

Written By Unknown on Thursday, 17 July 2014 | 09:57:00

Kedudukan Hadis “Nabi SAW Melihat Allah SWT Dalam Sebaik-baik Bentuk”

Sebagian orang mempercayai bahwa Allah SWT bisa dilihat di dalam mimpi, mereka berdalil dengan hadis bahwa Nabi SAW pernah melihat Allah SWT dalam sebaik-baik bentuk di dalam mimpi. Sayang sekali keyakinan mereka itu tidak berlandaskan hadis-hadis yang shahih. Hadis-hadis seputar masalah ini ternyata bersanad dhaif mudhtharib dan tidak dapat dijadikan hujjah apalagi jika hal itu berkaitan dengan aqidah atau keyakinan. Dalam tulisan ini kami akan membawakan hadis-hadis tersebut [yang dapat kami temukan] dan memaparkan illat atau penyakit dalam setiap hadisnya.

Hadis tersebut diriwayatkan oleh berbagai sahabat dengan lafaz yang bermacam-macam dan semuanya dhaif
  • Riwayat Ibnu Abbas
  • Riwayat Abdurrahman bin Aaisy Al Hadhrami
  • Riwayat Muadz bin Jabal
  • Riwayat Abu Umamah
  • Riwayat Jabir bin Samurah
  • Riwayat Tsauban
  • Riwayat Abu Rafi’
Dengan mengumpulkan hadis-hadis tersebut maka lafaz-lafaz hadis tersebut dapat dibagi menjadi dua
  • Lafaz hadis yang menunjukkan bahwa Melihat Allah SWT terjadi di dalam mimpi
  • Lafaz hadis yang tidak memuat keterangan tentang mimpi
Membedakan kedua lafaz ini jelas sangat penting untuk melihat sejauh mana klaim sebagian orang bahwa fenomena ini terjadi di dalam mimpi bukan dalam keadaan sadar. Berikut akan dibahas terlebih dahulu riwayat Ibnu Abbas.

Hadis Ibnu Abbas.
Hadis Ibnu Abbas ini memiliki matan yang bermacam-macam diantaranya ada yang menyebutkan lafal pemuda amrad, ada yang menyebutkan Nabi melihat Allah SWT saja tanpa lafal “sebaik-baik bentuk” dan ada yang menyebutkan lafal “sebaik-baik bentuk”. Yang akan dibahas disini adalah hadis dengan lafal “sebaik-baik bentuk”

ثنا عبد الرزاق أنا معمر عن أيوب عن أبي قلابة عن بن عباس ان النبي صلى الله عليه و سلم قال أتاني ربي عز و جل الليلة في أحسن صورة أحسبه يعني في النوم فقال يا محمد هل تدري فيم يختصم الملأ الأعلى قال قلت لا قال النبي صلى الله عليه و سلم فوضع يده بين كتفي حتى وجدت بردها بين ثديي أو قال نحري فعلمت ما في السماوات وما في الأرض ثم قال يا محمد هل تدري فيم يختصم الملأ الأعلى قال قلت نعم يختصمون في الكفارات والدرجات قال وما الكفارات والدرجات قال المكث في المساجد والمشي على الاقدام إلى الجمعات وإبلاغ الوضوء في المكاره ومن فعل ذلك عاش بخير ومات بخير وكان من خطيئته كيوم ولدته أمه وقل يا محمد إذا صليت اللهم اني أسألك الخيرات وترك المنكرات وحب المساكين وإذا أردت بعبادك فتنة ان تقبضني إليك غير مفتون قال والدرجات بذل الطعام وإفشاء السلام والصلاة بالليل والناس نيام

Telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq yang berkata telah menceritakan kepada kami Ma’mar  dari Ayub dari Abi Qilabah dari Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW bersabda “RabbKu Azza wa Jalla datang kepadaku malam tadi dalam sebaik-baik bentuk” –Aku mengira maksudnya adalah dalam tidur- Lalu Dia berfirman “Wahai Muhammad, apakah kamu tahu mengenai apa Al Mala’ul A’la (para malaikat) bertengkar?. Beliau berkata “tidak”. Nabi SAW bersabda “Lalu Dia meletakkan tangan-Nya diantara dua pundakku hingga aku dapati dinginnya antara dua dadaku. Atau Beliau bersabda “antara tenggorokanku”. Maka tahulah aku apa yang ada di langit dan di bumi. Kemudian Dia berfirman “Wahai Muhammad, apakah kamu tahu mengenai apa Al Mala’ul A’la (para malaikat) bertengkar?”. Beliau bersabda ‘Aku berkata “ya , mereka bertengkar mengenai Al Kafarat dan Ad Darajat?”. Apa itu Al Kafarat dan Ad Darajat?. Diam di masjid, berjalan kaki untuk berjama’ah, menyempurnakan wudhu dalam kondisi tidak menyenangkan, barangsiapa melakukan hal itu maka ia hidup dengan baik dan mati dengan baik. Dia bersih dari dosa seperti baru dilahirkan Ibunya. Dan katakanlah wahai Muhammad bila kamu selesai shalat “Ya Allah sesungguhnya aku memohon KepadaMu kebaikan-kebaikan, meninggalkan hal yang mungkar dan cinta kepada orang-orang miskin. Dan bila Engkau menginginkan fitnah bagi para hambamu maka cabutlah nyawaku kepadaMu dengan tanpa fitnah”. Dan Ad Darajah adalah dengan memberikan makanan, meyebarkan salam dan shalat malam saat manusia tidur”. [Hadis riwayat Ahmad dalam Musnad Ahmad 1/368 no 3484 dan Sunan Tirmidzi 5/366 no 3233] .

Syaikh Ahmad Syakir menyatakan bahwa hadis ini shahih sedangkan Syaikh Syu’aib Al Arnauth mendhaifkannya. Hadis ini tidaklah shahih karena sanadnya munqathi’ (terputus). Abu Qilabah tidak mendengar dari Ibnu Abbas. Hal ini sebagaimana yang disebutkan Ibnu Hajar dalam Tahdzib At Tahdzib juz 5 no 388 dan disebutkan pula oleh Al Hafiz Abu Sa’id Al ‘Alaiy dalam Jami’ Al Tahsil Fi Ahkam Al Marasiil no 362.

حدثنا محمد بن بشار حدثنا معاذ بن هشام حدثني أبي عن قتادة عن أبي قلابة عن خالد بن اللجلاج عن ابن عباس عن النبي صلى الله عليه و سلم قال أتاني ربي في أحسن صورة فقال يا محمد قلت لبيك ربي وسعديك قال فيم يختصم الملأ الأعلى ؟ قلت ربي لا أدري فوضع يده بين كتفي فوجدت بردها بين ثديي فعلمت ما بين المشرق والمغرب قال يا محمد فقلت لبيك رب وسعديك قال فيم يختصم الملأ الأعلى ؟ قلت في الدرجات والكفارات وفي نقل الأقدام إلى الجماعات وإسباغ الوضوء في المكروهات وانتظار الصلاة بعد الصلاة ومن يحافظ عليهن عاش بخير ومات بخير وكان من ذنوبه كيوم ولدته امه

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar yang berkata telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Hisyam yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku dari Qatadah dari Abi Qilabah dari Khalid bin Al Lajlaaj dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW yang bersabda “RabbKu mendatangiku dalam sebaik-baik bentuk”. Kemudian Dia berfirman “Wahai Muhammad”. Aku menjawab “Aku penuhi panggilanMu Ya Rabb”. Dia berfirman “tentang apakah Al Mala’ul A’la (para malaikat) bertengkar?. Aku menjawab “Wahai RabbKu aku tidak tahu”. Maka Dia meletakkan tangan-Nya diantara kedua pundakku, ketika itu aku merasakan dingin diantara kedua dadaku dan aku mengetahui apa yang ada antara timur dan barat. Kemudian Dia berfirman “Wahai Muhammad”. Aku menjawab “Aku penuhi panggilanMu Ya Rabb”. Dia berfirman “tentang apakah Al Mala’ul A’la (para malaikat) bertengkar?. Aku menjawab “Tentang Ad Darajat dan Al Kafarat, melangkahkan kaki menuju shalat berjama’ah, menyempurnakan wudhu dalam keadaan yang tidak disukai, duduk menunggu setelah shalat. Maka barangsiapa yang melakukan itu maka ia hidup dengan baik dan mati dengan baik serta bersih dari dosa seperti baru dilahirkan oleh ibunya. [Sunan Tirmidzi 5/367 no 3234].

Hadis di atas diriwayatkan juga oleh Abu Ya’la dalam Musnad Abu Ya’la 4/475 no 2608 dan Al Ajuri dalam Asy Syari’ah no 1025 dan 1026. Al Ajuri membawakan dua sanad yaitu dari Qatadah dari Abu Qilabah dari Khalid bin Al Lajlaaj dari Ibnu Abbas kemudian sanad Abbad bin Manshur dari Ayub Dari Abu Qilabah dari Khalid bin Al Lajlaaj dari Ibnu Abbas. 

Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi no 3234 telah menshahihkan hadis Ibnu Abbas di atas. Hal ini tentu saja keliru, hadis tersebut tidaklah shahih karena sanadnya terputus atau munqathi’. Dalam At Tahdzib juz 8 no 637 Ibnu Hajar mengutip Amru bin Ali yang berkata “Qatadah tidak mendengar dari Abu Qilabah”. Dalam Al Marasil Ibnu Abi Hatim 1/171-172 Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Ma’in juga menyatakan kalau Qatadah tidak mendengar dari Abu Qilabah. Hal yang sama juga disebutkan Al Hafiz Abu Sa’id Al ‘Alaiy dalam Jami’ Al Tahsil Fi Ahkam Al Marasiil no 633.

Sedangkan riwayat Abbad bin Manshur dalam kitab Asy Syari’ah juga dhaif karena Abbad. Dalam At Tahdzib juz 5 no 172 disebutkan kalau ia dilemahkan oleh Ibnu Ma’in, Abu Zar’ah, Abu Hatim, Ibnu Sa’ad, Ibnu Abi Syaibah, Abu Dawud, Nasa’I, Daruquthni dan yang lainnya. Selain itu disebutkan pula bahwa ia melakukan tadlis dan mengalami kekacauan pada hafalannya. Dalam At Taqrib 1/468 ia dinyatakan shaduq melakukan tadlis dan mengalami kekacauan hafalan di akhir umurnya, tetapi dinyatakan dalam Tahrir At Taqrib no 3142 kalau ia seorang yang dhaif bukan shaduq. Adz Dzahabi dalam Al Kasyf no 2575 menyatakan ia dhaif. Ibnu Hajar menyebutkannya dalam Thabaqat Al Mudallisin no 121 yaitu pada martabat keempat yang berarti ia melakukan tadlis dari para perawi dhaif. Jadi hadis Abbad di atas dhaif karena kelemahan Abbad dan ‘an ‘anah Abbad dimana ia seorang mudallis.

Ibnu Abi Ashim dalam kitabnya As Sunnah juga meriwayatkan hadis Ibnu Abbas tetapi dengan lafaz yang betul-betul ringkas, dimana tidak ada keterangan atau petunjuk bahwa penglihatan itu terjadi di dalam mimpi

ثنا أبو موسى ثنا معاذ بن هشام ثنا أبي عن قتادة عن أبي كلابة عن خالد بن اللجلاج عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم رأيت ربي عز وجل في أحسن صورة

Telah menceritakan kepada kami Abu Musa yang berkata telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Hisyam yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayahku dari Qatadah dari Abi Qilabah dari Khalid bin Al Lajlaaj dari Ibnu Abbas yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Aku melihat RabbKu Azza wa Jalla dalam sebaik-baik bentuk”. [As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 469].

Syaikh Al Albani dalam Zhilal Al Jannah no 469 menyatakan hadis ini shahih.  Syaikh dalam hal ini hanya melihat kedudukan perawinya saja tetapi tidak melihat ketersambungan sanad tersebut. Seperti yang kami katakan sebelumnya hadis ini munqathi’ karena Qatadah tidak mendengar dari Abu Qilabah. Jadi hadis tersebut juga dhaif.

Selain itu kami ingin mengajak pembaca untuk memperhatikan salah seorang perawi yang bernama Khalid bin Al Lajlaaj. Biografinya disebutkan dalam At Tahdzib juz 3 no 215 bahwa dia seorang perawi Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa’i. Tidak ada satupun ulama yang menyatakan ia tsiqat kecuali Ibnu Hibban yang memasukkannya ke dalam kitab Ats Tsiqat. Salafy (termasuk  Syaikh Al Albani) biasanya tidak menghiraukan tautsiq Ibnu Hibban karena menurut mereka Ibnu Hibban sering mentsiqahkan perawi majhul tetapi aneh sepertinya Syaikh Al Albani tidak mempermasalahkan Khalid bin Al Lajlaaj, beliau malah menyatakan ia tsiqat dan menegaskan kalau hadisnya shahih. Apakah ini suatu kontradiksi? Silakan dinilai.

Kesimpulan:
Jika kita mengumpulkan semua sanad hadis Ibnu Abbas di atas maka akan kita lihat bahwa sanad tersebut mudhtharib:
  • Dari Ma’mar dari Ayub dari Abu Qilabah dari Ibnu Abbas [riwayat Ahmad dan Tirmidzi].
  • Dari Muadz bin Hisyam dari ayahnya dari Qatadah dari Abu Qilabah dari Khalid bin Al Lajlaaj dari Ibnu Abbas [riwayat Tirmidzi, Abu Ya’la, Ibnu Abi Ashim dan Ajuri].
  • Dari Abbad bin Manshur dari Ayub dari Abu Qilabah dari Khalid bin Al Lajlaaj dari Ibnu Abbas [riwayat Al Ajuri].
Secara sendiri-sendiri, riwayat tersebut dhaif karena inqitha’ dan perawi yang dhaif sedangkan jika dikumpulkan bersama-sama maka sanadnya mudhtharib. Oleh karena itu pendapat yang benar tentang hadis Ibnu Abbas ini adalah seperti yang dikatakan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth yaitu hadis tersebut dhaif .

Hadis Abdurrahman bin ‘Aaisy Al Hadhramy.
Hadis berikutnya adalah riwayat Abdurrahman bin ‘Aaisy Al Hadhramy, riwayatnya dhaif karena sanadnya mudhtharib. Riwayat Ibnu Aaisy adalah riwayat yang masyhur dalam persoalan ini, dan keberadaan Abdurrahman bin Aaisy dikenal melalui hadis ini saja. Berikut riwayat Ibnu ‘Aaisy dalam kitab As Sunnah Ibnu Abi Ashim

حدثنا هشام بن عمار ثنا الوليد بن مسلم وصدقة قالا ثنا ابن جابر قال مر بنا خالد بن اللجلاج فدعاه مكحول فقال له يا أبا ابراهيم حدثنا حديث عبد الرحمن بن عائش قال سمعت عبد الرحمن بن عائش يقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم رأيت ربي في أحسن الصورة

Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Ammar yang berkata telah menceritakan kepada kami Walid bin Muslim dan Shadaqah yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Jabir yang berkata Khalid bin Al Lajlaaj pernah bersama kami kemudian Makhul memanggilnya dan berkata “Wahai Abu Ibrahim ceritakanlah kepada kami hadis Abdurrahman bin Aaisy. Ia [Khalid] berkata “Aku mendengar Abdurrahman bin Aaisy berkata Rasulullah SAW bersabda “Aku melihat RabbKu dalam sebaik-baik bentuk”. [As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 467].

ثنا يحيى بن عثمان بن كثير ثنا زيد بن يحيى ثنا ابن ثوبان ثنا أبي عن مكحول وابن أبي زكريا عن ابن عائش الحضرمي قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أتاني ربي الليلة في أحسن صورة

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Utsman bin Katsir yang berkata telah menceritakan kepada kami Zaid bin Yahya yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Tsauban yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayahku dari Makhul dan Ibnu Abi Zakaria dari Ibnu Aaisy Al Hadhramy yang berkata Rasulullah SAW bersabda “RabbKu mendatangiku pada suatu malam dalam sebaik-baik bentuk” [As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 468].

Jika diperhatikan kedua sanad Ibnu Abi Ashim di atas, kita sudah dapat melihat adanya idhthirab. Sanad pertama menyebutkan bahwa Makhul mendengarkan hadis tersebut dari Khalid bin Al Lajlaaj dari Ibnu Aaisy tetapi sanad kedua menyebutkan kalau Makhul meriwayatkan hadis tersebut dari Ibnu Aaisy tanpa menyebutkan Khalid bin Al Lajlaaj. Kekacauan tersebut tidak berhenti sampai disini, dengan mengumpulkan semua hadis Ibnu Aaisy dalam perkara ini maka idhthirab tersebut akan tampak semakin jelas.

Hadis Abdurrahman bin Aaisy ini memiliki sanad yang bermacam-macam dan dapat dikelompokkan menjadi
  • Hadis dimana Abdurrahman bin Aasiy meriwayatkan dari Rasulullah SAW. Diriwayatkan dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 467 dan 468, Al Ajuri dalam Asy Syari’ah no 1027, Sunan Ad Darimi 2/170 no 2149, Al Ilal Tirmidzi no 434, Mu’jam As Sahabah Ibnu Qani’ 4/195 no 1022, Mukhtasar Qiyamul Lail Muhammad bin Nashr Al Marwadzi 1/33 no 26.
  • Hadis dimana Abdurrahman bin Aaisy meriwayatkan dari beberapa sahabat Nabi dari Rasulullah SAW. Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad 4/66 no 16672 dan Musnad Ahmad 5/378 no 23258.
  • Hadis dimana Abdurrahman bin Aaisy meriwayatkan dari seorang sahabat Nabi SAW dari Rasulullah SAW. Diriwayat oleh Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 34/464 no 7069 dan Tarikh Dimasyq 34/465 no 7070.
  • Hadis dimana Abdurrahman bin Aaisy meriwayatkan dari Malik bin Yakhamir dari Muadz bin Jabal dari Rasulullah SAW. Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi 5/368 no 3235, Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 34/465-468 no 7071-7075, Al Ilal Tirmidzi no 435 dan Musnad Ahmad 5/243 no 22162.
Semua sanad yang berbeda ini menunjukkan bahwa hadis tersebut memang mudhtharib dan semuanya diriwayatkan oleh Abdurrahman bin  Aaisy seorang yang tidak diketahui kredibilitasnya. Dalam biografi perawi hadis disebutkan kalau ia diperselisihkan, apakah ia sahabat Nabi SAW atau bukan.

Dalam Al Ilal Tirmidzi no 435 Bukhari menyatakan kalau Abdurrahman bin Aaisy tidak bertemu dengan Nabi SAW. Ibnu Hajar menyebutkan keterangan tentang Abdurrahman bin Aaisy dalam At Tahdzib juz 6 no 417. Ia mengutip Bukhari yang menyatakan kalau Ibnu Aaisy hanya memiliki satu hadis dan hadis tersebut mudhtharib.

وقال أبو حاتم هو تابعي وأخطأ من قال له صحبة وقال أبو زرعة الرازي ليس بمعروف وقال الترمذي لم يسمع من النبي صلى الله عليه وسلم

Abu Hatim berkata “Ia tabiin dan keliru yang mengatakan ia sahabat”. Abu Zur’ah Ar Razi berkata “ia tidak dikenal” dan Tirmidzi berkata “ia tidak mendengar dari Nabi SAW.

Perkataan Tirmidzi juga disepakati oleh Ibnu Khuzaimah yaitu Ibnu Aaisy tidak mendengar dari Nabi SAW. Kemudian Ibnu Khuzaimah menyatakan bahwa hadis dimana Ibnu Aaisy menyatakan sima’ langsung dari Nabi SAW itu adalah dari kesalahan Walid bin Muslim [ salah satu perawinya]. Pernyataan ini patut diberikan catatan, Abdurrahman bin Aaisy memang tidak mendengar dari Nabi SAW tetapi kesalahan tersebut bukan kesalahan Walid karena Walid juga diikuti oleh yang lain seperti Al Auza’i, Hamad bin Malik dan Umarah bin Bisyr. Oleh karena itu lebih mungkin kesalahan tersebut berasal dari perawi lain yaitu Khalid bin Al Lajlaaj atau Abdurrahman bin Aaisy sendiri.

Memang diantara hadis-hadis dimana Ibnu Aaisy meriwayatkan dari Rasulullah SAW terdapat hadis dengan lafaz bahwa Ibnu Aisy mendengar langsung hadis tersebut dari Rasulullah SAW. Hadis tersebut diriwayatkan Al Ajuri dalam Asy Syari’ah no 1027, Sunan Ad Darimi 2/170 no 2149, Al Ilal Tirmidzi no 434, Mukhtasar Qiyamul Lail Muhammad bin Nashr Al Marwadzi 1/33 no 26, dan Mu’jam As Shahabah Al Baghawi hadis no 1924. Berikut contoh hadis tersebut dalam Al Ilal Tirmidzi no 434

حدثنا يحيى بن موسى حدثنا الوليد بن مسلم حدثني عبد الرحمن بن يزيد بن جابرحدثنا خالد بن اللجلاج قال حدثني عبد الرحمن بن عائش الحضرمي قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول  رأيت ربي أو قال أتاني ربي في أحسن صورة

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Musa yang berkata telah menceritakan kepada kami Walid bin Muslim yang berkata telah menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Yazid bin Jabir yang berkata telah menceritakan kepada kami Khalid bin Al Lajlaaj yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Aaisy Al Hadhramy yang berkata aku mendengar Rasulullah SAW bersabda “aku melihat RabbKu” atau Beliau SAW berkata “RabbKu mendatangiku dalam sebaik-baik bentuk”.

Ibnu Hajar memasukkan nama Abdurrahman bin Aaisy sebagai seorang sahabat Nabi SAW dalam Al Ishabah 4/320 no 5152 dimana ia berhujjah dengan hadis-hadis dengan lafal sima’ langsung Ibnu Aaisy dari Rasulullah SAW. Ibnu Hajar mengatakan kalau Walid bin Muslim tidak menyendiri meriwayatkan hadis dengan sima’ langsung Ibnu Aaisy dari Rasul SAW. Selain Walid ada Hamad bin Malik, Umarah bin Bisyr, Walid bin Yazid dan Al Auza’i. Oleh karena itu bisa dimengerti kalau dalam At Taqrib 1/576 Ibnu Hajar menyatakan Abdurrahman bin Aaisy adalah sahabat Nabi SAW.

Ibnu Hajar benar bahwa Walid tidak menyendiri tetapi ia tetap saja keliru jika menjadikan hadis-hadis tersebut sebagai bukti bahwa Ibnu Aaisy adalah sahabat. Hadis-hadis tersebut baik dari Walid bin Muslim, Al Auza’i, Hammad bin Malik dan yang lainnya semuanya meriwayatkan dari Abdurrahman bin Yazid bin Jabir dari Khalid bin Al Lajlaaj dari Abdurrahaman bin Aaisy. Jadi hadis tersebut tetap berujung pada satu jalur yang ternyata mudhtharib.

Bagaimana mungkin dikatakan Ibnu Aaisy mendengar langsung dari Nabi SAW, tetapi di saat lain ia mengaku mendengar hadis tersebut dari seorang atau sebagian sahabat Nabi [yang tidak disebutkan namanya]. Bagaimana mungkin dikatakan ia mendengar langsung dari Rasul SAW tetapi di saat lain ia mengaku mendengar hadis tersebut dari Malik bin Yakhamir yang bahkan Malik sendiri seorang tabiin [Malik seorang tabiin seperti yang disebutkan Al Hafiz Abu Sa’id Al ‘Alaiy dalam Jami Ahkam Al Marasil no 733].

Oleh karena itu hadis dengan sima’ langsung Ibnu Aaisy dari Rasul SAW itu memang keliru dan yang tertuduh melakukan kekeliruan ini kalau bukan Khalid bin Al Lajlaaj ya Abdurrahman bin Aaisy sendiri. Khalid bin Al Lajlaaj disebutkan dalam At Tahdzib juz 3 no 215 bahwa tidak ada yang mentsiqahkannya kecuali Ibnu Hibban memasukkannya ke dalam Ats Tsiqat. Hal ini menunjukkan bahwa Khalid tidak dikenal kredibilitasnya atau walaupun ia adil tetapi bisa saja bermasalah dalam hal kedhabitannya (hafalannya). Kalau bukan kesalahan Khalid maka yang melakukan kesalahan adalah Ibnu Aaisy sendiri, ia sendiri tidak dikenal keberadaannya kecuali dari hadis ini yang terbukti mudhtharib maka tidak menutup kemungkinan kalau ia tertuduh dalam hal ini. Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Bashar Awad Ma’ruf mengoreksi Ibnu Hajar dalam Tahrir At Taqrib no 3911 dimana mereka menyatakan bahwa Ibnu Aaisy tidaklah shahih kalau ia sahabat dan dia sebenarnya mastur (tidak dikenal).

Kesimpulan:
Hadis Abdurrahman bin Aaisy adalah hadis yang dhaif karena mudhtharib dan oleh karena ia hanya dikenal melalui hadis yang mudhtharib ini maka sungguh tidak tsabit sima’nya (pendengarannya) dari Rasulullah SAW. Pendapat yang benar mengenainya adalah dia bukanlah sahabat Nabi dan ia sendiri tidak dikenal. Hadis tersebut sangat jelas kedhaifannya. Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiqnya terhadap Musnad Ahmad hadis no 16672, 22162, 23258 telah menyatakan bahwa hadis Ibnu ‘Aaisy dhaif karena mudhtharib dan pendapat inilah yang benar.

Hadis Muadz bin Jabal.
Hadis Muadz bin Jabal ini sebenarnya hadis yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin ‘Aaisy Al Hadhramy dimana pada tulisan sebelumnya telah dibahas tentang kedudukannya. Kami membuat pembahasan khusus hadis ini karena hadis Muadz adalah hadis yang dijadikan hujjah oleh salafiyun bahwa Nabi SAW melihat Allah SWT dalam sebaik-baik bentuk di dalam mimpi. Hadis Muadz bisa dikatakan hadis paling jelas yang menunjukkan bahwa Ru’yah tersebut terjadi di dalam mimpi.

حدثنا محمد بن بشار حدثنا معاذ بن هائئ أبو هانئ اليشكري حدثنا جهضم بن عبد الله عن يحيى بن أبي كثير عن زيد بن سلام عن أبي سلام عن عبد الرحمن بن عائش الحضرمي أنه حدثه عن مالك بن يخامر السكسكي عن معاذ بن جبل رضي الله عنه قال احتبس عنا رسول الله صلى الله عليه و سلم ذات غداة عن صلاة الصبح حتى كدنا نتراءى عين الشمس فخرج سريعا فثوب بالصلاة فصلى رسول الله صلى الله عليه و سلم وتجوز في صلاته فلما سلم دعا بصوته قال لنا على مصافكم كما أنتم ثم انفتل إلينا ثم قال أما إني سأحدثكم ما حبسني عنكم الغداة إني قمت من الليل فتوضأت وصليت ما قدر لي فنعست في صلاتي حتى استثقلت فإذا أنا بربي تبارك وتعالى في أحسن صورة فقال يا محمد قلت لبيك رب قال فيم يختصم الملأ الأعلى ؟ قلت لا أدري قالها ثلاثا قال فرأيته وضع كفه بين كتفي حتى وجدت برد أنامله بين ثديي فتجلى لي كل شيء وعرفت فقال يا محمد قلت لبيك رب قال فيم يختصم الملأ الأعلى ؟ قلت في الكفارات قال ما هن ؟ قالت مشي الأقدام إلى الحسنات والجلوس في المساجد بعد الصلوات وإسباغ الوضوء حين الكريهات قال فيم قلت إطعام الطعام ولين الكلام والصلاة بالليل والناس نيام قال سل قلت اللهم إني أسألك فعل الخيرات وترك المنكرات وحب المساكين وأنت تغفر لي وترحمني وإذا أردت فتنة قوم فتوفني غير مفتون أسألك حبك وحب من يحبك وحب عمل يقرب إلى حبك قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إنها حق فادرسوها ثم تعلموها

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar yang berkata telah menceritakan kepada kami Muadz bin Hani’ Abu Hani’ Al Yasykuri yang berkata telah menceritakan kepada kami Jahdham bin Abdullah dari Yahya bin Abi Katsir dari Zaid bin Salam dari Abi Salam dari Abdurrahman bin ‘Aaisy Al Hadhramy [ia menceritakan kepadanya] dari Malik bin Yakhamir As Saksaki dari Muadz bin Jabal RA yang berkata suatu hari Rasulullah SAW terlambat melakukan shalat Shubuh bersama kami, hingga kami hampir melihat munculnya matahari. Kemudian beliau SAW datang dengan tergesa-gesa lalu mengerjakan shalat sunnah, kemudian melakukan shalat shubuh, dan beliau meringankan shalatnya. Selesai salam, Beliau SAW berkata “tetaplah di shaf kalian seperti keadaan kalian” kemudian Beliau menghadap kami dan bersabda ”Ketahuilah, aku akan menyampaikan kepada kalian sesuatu yang membuatku terlambat shalat shubuh berjama’ah bersama kalian. Semalam aku bangun dan melakukan shalat sesuai kemampuanku, lalu aku mengantuk dalam shalat, hingga akhirnya aku tertidur . Tiba-tiba aku berjumpa Rabbku-tabaaraka wa ta’aala- dalam sebaik-baik bentuk. Dia berfirman “Wahai Muhammad”. Aku menjawab “aku penuhi panggilanMu wahai Rabbku”. Dia berfirman “apakah engkau tahu tentang apa Al Malaul A’laa (para malaikat) bertengkar?’. Aku menjawab ‘Aku tidak tahu, wahai Rabbku’. Beliau mengucapkan sebanyak tiga kali. Lalu aku melihat Dia meletakkan telapak tangan-Nya di antara kedua bahuku, sehingga aku merasakan dinginnya jari-jemari-Nya di antara kedua dadaku. kemudian tampaklah bagiku segala sesuatu dan akupun menjadi tahu. Dia berfirman ‘Wahai Muhammad’ Aku menjawab “aku penuhi panggilanMu wahai Rabbku”. Dia berfirman “apakah engkau tahu tentang apa Al Malaul A’laa (para malaikat) bertengkar?’Aku menjawab ‘Tentang Al Kafarat’. Dia berfirman ‘Apakah Al Kafarat itu ?’. Aku menjawab ‘Berjalan kaki untuk shalat berjama’ah, duduk di masjid setelah shalat, dan menyempurnakan wudhu pada waktu yang tidak disukai’. Dia berfirman‘ kemudian apa lagi’. Aku menjawab ‘Memberi makanan, berkata yang santun, dan shalat malam di saat manusia tidur’. Dia berfirman ‘Mintalah’. Aku berkata  ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu untuk dapat melakukan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran, mencintai orang-orang miskin, dan agar Engkau mengampuni serta menyayangiku. Dan jika Engkau menghendaki fitnah bagi suatu kaum, maka wafatkanlah aku tanpa terkena fitnah. Aku memohon kepadaMu kecintaan kepadaMu, kecintaan kepada orang yang mencintaiMu, dan kecintaan kepada amal yang mendekatkanku kepada kecintaanMu’. Rasulullah SAW bersabda ‘Sesungguhnya hal ini adalah kebenaran, maka pelajari dan kuasailah’. [Sunan Tirmidzi 5/368 no 3235].

Hadis Muadz bin Jabal di atas diriwayatkan pula oleh Ahmad dalam Musnad Ahmad 5/243 no 22162, Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 34/465-468 no 7071-7075, Al Ilal Tirmidzi no 435 dan Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir 20/109 no 216.

At Tirmidzi setelah membawakan hadis ini, ia berkata:

هذا حديث حسن صحيح سألت محمد بن إسماعيل عن هذا الحديث فقال هذا حديث حسن صحيح وقال هذا أصح من حديث الوليد بن مسلم عن عبد الرحمن بن يزيد بن جابر قال حدثنا خالد بن اللجلاج حدثني عبد الرحمن بن عائش الخضرمي قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم فذكر الحديث وهذا غير محفوظ هكذا ذكر الوليد في حديثه عن عبد الرحمن بن عائش قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم وروى بشر بن بكر عن عبد الرحمن بن يزيد بن جابر هذا الحديث بهذا الإسناد عن عبد الرحمن بن عائش عن النبي صلى الله عليه و سلم وهذا أصح و عبد الرحمن بن عائش لم يسمع من النبي صلى الله عليه و سلم

Hadis ini hasan shahih, aku bertanya kepada Muhammad bin Isma’il tentang hadis ini. Ia berkata ‘hadis hasan shahih’ dan ia juga berkata ‘hadis ini lebih shahih dari hadis Walid bin Muslim dari Abdurrahman bin Yazid bin Jabir yang berkata telah menceritakan kepada kami Khalid bin Al Lajlaaj yang berkata telah menceritakan kepadaku Abdurrahman bin ‘Aaisy Al Hadhramy  yang berkata aku mendengar Rasulullah SAW –menyebutkan hadis ini-. Riwayat ini tidak terjaga dan begitulah Walid menyebutkan hadisnya dari Abdurrahman bin ‘Aaisy yang berkata mendengar langsung dari Rasulullah SAW. Dan diriwayatkan dari Bisyr bin Bakr dari Abdurrahman bin Yazid bin Jabir hadis ini dengan sanad dari Abdurrahman bin ‘Aaisy dari Nabi SAW [tanpa lafaz mendengar langsung] dan inilah yang lebih shahih karena Abdurrahman bin ‘Aaisy tidak mendengar dari Nabi SAW.

Pernyataan shahih terhadap hadis ini sungguh jauh dari kebenaran karena pada dasarnya hadis ini mudhtharib dan Abdurrahman bin ‘Aaisy Al Hadhramy tidak diketahui keadaannya. Telah dijelaskan sebelumnya kalau ia bukanlah sahabat Nabi SAW . Perhatikan, Abdurrahman bin ‘Aaisy hanya dikenal keberadaannya melalui hadis ini dan hadis ini sudah terbukti mengandung kekacauan maka lebih tepat untuk dikatakan kalau ia seorang yang majhul dan hadisnya dhaif mudhtharib.

Ad Daruquthni dalam Al Ilal Al Waridah no 973 telah menjelaskan panjang lebar bahwa hadis ini mudhtharib dan ia pada akhirnya menyatakan tidak shahih. Pendapat yang benar mengenai kedudukan hadis Muadz bin Jabal adalah seperti yang dikatakan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Musnad Ahmad 5/243 no 22162 bahwa hadis ini dhaif karena mudhtharib.

Hadis Tsauban.
Hadis Ru’yatullah juga diriwayatkan oleh Tsauban maula Rasulullah SAW

ثنا عبيد الله بن فضالة ثنا عبدالله بن صالح ثنا معاوية بن صالح عن أبي يحيى عن أبي يزيد عن أبي سلام الأسود عن ثوبان قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن ربي أتاني الليلة في أحسن صورة وفي هذه الأخبار ووضع يده بين كتفي

Telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Fudhalah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Shalih yang berkata telah menceritakan kepada kami Muawiyah bin Shalih dari Abi Yahya dari Abi Yazid dari Abi Salam Al Aswad dari Tsauban yang berkata Rasulullah SAW bersabda “bahwa Rabbku mendatangiku suatu malam dalam sebaik-baik bentuk”. Dalam khabar ini disebutkan “Dan Dia meletakkan tanganNya di antara kedua bahuku”. [As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 470].

Hadis ini dhaif karena Abdullah bin Shalih ia diperselisihkan, sebagian ulama melemahkannya karena hafalannya yang buruk. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/501 menyatakan ia jujur tetapi melakukan banyak kesalahan. Dalam Tahrir At Taqrib no 3388 disebutkan bahwa ia jujur tapi hafalannya buruk. Selain itu hadis ini dhaif karena munqathi’ atau terputus sanadnya. Abu Salam Al Aswad tidak mendengar dari Tsauban. Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 10 no 516 dalam biografi Abu Salam Al Aswad berkata

قال بن معين وابن المديني لم يسمع من ثوبان

Ibnu Ma’in dan Ibnu Madini berkata “ia tidak mendengar dari Tsauban”.

Abu Hatim dan Ahmad bin Hanbal juga menyatakan hal yang serupa sebagaimana disebutkan dalam Al Marasil Ibnu Abi Hatim 1/215 no 388 dan Jami’ Ahkam Al Marasil Al Hafiz Abu Sa’id ‘Alaiy no 797. Syaikh Al Albani dalam Zhilal Al Jannah no 470 mengakui kelemahan Abdullah bin Shalih bahkan beliau menambahkan bahwa Abu Yahya tidak dikenal dan Abu Yazid adalah Ghailan bin Anas yang menurut manhaj Syaikh Al Albani maka ia seorang majhul hal karena menurut Syaikh tidak ada yang menyatakan ta’dil padanya. Syaikh memang tidak menyebutkan kalau sanad hadis ini terputus dan tentu kenyataan bahwa sanad tersebut munqathi’ malah memperberat status sanad hadisnya. Oleh karena itu kami cukup heran dengan Syaikh Al Albani yang menyatakan bahwa hadis ini shahih dengan syawahid.

Kesimpulan:
Hadis Muadz bin Jabal dalam masalah ini adalah hadis yang dhaif karena mudhtharib dan Ibnu ‘Aaisy tidak diketahui keadaannya sedangkan hadis Tsauban dhaif karena kelemahan hafalan salah seorang perawinya dan sanadnya terputus.

Hadis Jabir bin Samurah.
Hadis Jabir dalam perkara ru’yah ini kami temukan dalam kitab As Sunnah Ibnu Abi Ashim, hadis ini tidaklah tsabit sanadnya dan tidak bisa dijadikan hujjah. Hadis ini termasuk hadis yang tidak menyebutkan kalau ru’yah itu terjadi di dalam mimpi

ثنا أبو بكر بن أبي شيبة ثنا يحيى بن أبي بكير ثنا إبراهيم ابن طهمان ثنا سماك بن حرب عن جابر بن سمرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله تعالى تجلى لي في أحسن صورة فسألني فيما يختصم الملأ الأعلى قال قلت ربي لا أعلم به قال فوضع يده بين كتفي حتى وجدت بردها بين ثديي أو وضعهما بين ثديي حتى وجدت بردها بين كتفي فما سألني عن شيء إلا علمته

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Abi Bakir yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Thahman yang berkata telah menceritakan kepada kami Simmak bin Harb dari Jabir bin Samurah yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Allah SWT telah menampakkan diri kepadaku dalam sebaik-baik bentuk. Maka Dia bertanya kepadaku “apakah kamu tahu mengenai apa Al Mala’ul A’la (para malaikat) bertengkar?”.  Aku menjawab “wahai Rabbku aku tidak mengetahuinya”. Maka Dia meletakkan tangannya diantara kedua bahuku hingga aku merasakan dingin diantara kedua dadaku. Kemudian tidaklah Dia bertanya kepadaku kecuali Aku mengetahuinya. [As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 465].

Hadis ini adalah hadis yang dhaif karena Simmak bin Harb. Ia dita’dilkan sebagian orang dan dilemahkan oleh sebagian yang lain. Tetapi pendapat yang melemahkan lebih diunggulkan karena terdapat alasan yang jelas untuk melemahkannya yaitu hadisnya mudhtharib, hafalannya yang buruk alias tidak dhabit dan ia mengalami ikhtilat. Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam At Tahdzib juz 4 no 405 dimana ia mengutip bahwa
  • Syu’bah dan Sufyan Ats Tsawri mendhaifkannya
  • Ahmad bin Hanbal menyatakan hadisnya mudhtharib
  • Ibnu Ma’in menyatakan Simmak tsiqat tetapi ia juga mengatakan kalau Simmak sering memusnadkan hadis-hadis yang tidak dimusnadkan oleh yang lainnya.
  • Ibnu Ammar mengatakan mereka (para ulama) berkata tentangnya “Ia sering salah dan diperselisihkan hadis-hadisnya”
  • Ibnu Mubarak menyatakan “ia dhaif dalam hadis”
  • Shalih bin Muhammad Al Jazarah menyatakan ia didhaifkan
  • Ibnu Kharrasy menyatakan ada kelemahan di dalam hadisnya
  • Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan berkata “ia banyak melakukan kesalahan”
  • An Nasa’i menyatakan kalau Simmak bin Harb tidak bisa dijadikan hujjah jika menyendiri dan ia menerima riwayat dengan talqin
  • Al Bazzar mengatakan kalau Simmak mengalami kekacauan hafalan sebelum wafat
Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/394 menyatakan kalau Simmak bin Harb jujur tetapi riwayatnya dari Ikrimah mudhtharib, ia mengalami kekacauan hafalan dan ia menerima riwayat dengan talqin. Ad Daruquthni dalam Al ‘Ilal 4/120 mengatakan kalau Simmak bin Harb hafalannya buruk. Ibnu Jauzi memasukkan Simmak bin Harb dalam kitab Ad Dhu’afa Wal Matrukin no 1552.

Bagi kami Simmak bin Harb tidak bisa dijadikan hujjah dalam hadis ini dengan beberapa alasan. Simmak bin Harb hadisnya mudhtharib seperti yang dikatakan Ahmad bin Hanbal walaupun sebagian orang mengatakan bahwa riwayatnya yang mudhtharib khusus dari Ikrimah saja. Kami katakan benar riwayatnya dari Ikrimah terbukti mudhtharib dan hadis Ru’yah adalah hadis yang mudhtharib [berdasarkan pembahasan sebelumnya] sehingga bisa jadi Simmak juga mengalami kekacauan pula disini. Selain itu Ibnu Ma’in mengatakan kalau Simmak sering memusnadkan hadis yang tidak dimusnadkan oleh yang lain dan An Nasa’i mengatakan Simmak menerima riwayat dengan talqin, tentu saja semua itu penyakit yang membuat hadisnya sangat meragukan. Ditambah lagi dia adalah seorang yang hafalannya buruk dan mengalami ikhtilat sebelum wafatnya. Jadi hadis Simmak bin Harb dalam hal ini tidak bisa dijadikan hujjah.

Hadis Abu Umamah.
Hadis Abu Umamah juga diriwayatkan dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim. Sama seperti yang lainnya hadis ini tidak lepas dari illat yang menjatuhkannya ke derajat dhaif.

ثنا يوسف بن موسى ثنا جرير عن ليث عن ابن سابط عن أبي أمامة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال تراءى لي ربي في أحسن الصورة ثم ذكر الحديث

Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Musa yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir dari Laits dari Ibnu Sabith dari Abi Umamah dari Nabi SAW yang berkata “Rabbku memperlihatkan diri kepadaku dalam sebaik-baik bentuk” –kemudian Beliau menyebutkan hadis-. [As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 466].

Hadis ini dhaif dan mengandung dua illat yang menjatuhkannya
  • Laits bin Abi Sulaim, dia walaupun dita’dilkan sebagian orang tetapi juga dilemahkan oleh banyak orang lainnya karena hafalannya yang buruk, hadisnya mudhtharib dan mengalami ikhtilath. Dalam At Tahdzib juz 8 no 835 disebutkan kalau ia dilemahkan oleh Ibnu Ma’in, Ibnu Uyainah, Abu Zar’ah, Yahya bin Sa’id, Ibnu Sa’ad dan yang lainnya. Ibnu Hibban dan Al Bazzar menyatakan ia mengalami ikhtilat. Abu Zur’ah dan Al Bazzar menyatakan bahwa hadisnya mudhtharib.
  • Ibnu Saabith tidak mendengar dari Abu Umamah. Hal ini seperti yang dikatakan Ibnu Ma’in yang dikutip dalam Al Marasil Ibnu Abi Hatim 1/127 no 217 dan Jami’ Ahkam Al Marasil Al Hafiz Abu Sa’id ‘Alaiy no 428. Jadi hadis ini dhaif karena sanadnya munqathi’ (terputus).
Hadis Abu Umamah dhaif karena kelemahan hafalan salah seorang perawinya yaitu Laits bin Abi Sulaim dan sanadnya munqathi’.

Hadis Abu Rafi’.
Hadis ru’yah riwayat Abu Rafi’ dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam kitabnya Mu’jam Al Kabir

حدثنا جعفر بن محمد بن مالك الفزاري الكوفي ثنا عباد بن يعقوب الأسدي ثنا عبد الله بن إبراهيم بن الحسين بن علي بن الحسن عن أبيه عن جده عن عبيد الله بن أبي رافع عن أبي رافع قال خرج علينا رسول الله صلى الله عليه و سلم مشرق اللون فعرف السرور في وجهه فقال رأيت ربي في أحسن صورة فقال لي يا محمد أتدري يم يختصم الملأ الأعلى ؟ فقلت  يا رب في الكفارات قال وما الكفارات ؟ قلت إبلاغ الوضوء أماكنه على الكراهيات والمشي على الأقدام إلى الصلوات وانتظار الصلاة بعد الصلاة

Telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Muhammad bin Malik Al Fazari Al Kufi yang berkata telah menceritakan kepada kami Abbad bin Yaqub Al Asdi yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Ibrahim bin Husain bin Ali bin Husain dari ayahnya dari kakeknya dari Ubaidillah bin Abi Rafi’ dari Abi Rafi’ yang berkata “Rasulullah SAW keluar kepada kami dengan wajah yang cerah dan tampak kegembiraan di wajahnya kemudian Beliau SAW berkata “Aku melihat Rabbku dalam sebaik-baik bentuk dan Dia berkata kepadaku “Wahai Muhammad apakah kamu tahu mengenai apa Al Mala’ul A’la (para malaikat) bertengkar?”. Aku menjawab “Wahai Rabbku tentang Al Kafarat?”. Dia berfirman “Apa itu Al Kafarat?” Aku menjawab “Menyempurnakan wudhu’ dalam keadaan yang tidak disukai, berjalan untuk shalat berjama’ah dan menunggu waktu shalat setelah shalat”. [Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 1/317 no 938].

Hadis ini adalah hadis yang dhaif jiddan dikarenakan dua illat (penyakit) dalam sanadnya yaitu:
  • Ja’far bin Muhammad bin Malik Al Fazari Al Kufi, dia adalah Syaikh (guru) Thabrani yang dikatakan dhaif dan pemalsu hadis sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Tarajum Syuyukh Thabrani no 331.
  • Abdullah bin Ibrahim bin Husain dan ayahnya tidak dikenal biografinya dalam kitab hadis sebagaimana yang disebutkan Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid 1/543 no 1222 jadi mereka berdua tidak dikenal.
Oleh karena itu hadis Abu Rafi’ ini kedudukannya sangat dhaif dan tidak layak dijadikan hujjah.

Kesimpulan:
Hadis Jabir bin Samurah dhaif karena kelemahan salah seorang perawinya yang membuat hadisnya meragukan. Hadis Abu Umamah dhaif karena sanadnya terputus dan hadis Abu Rafi’ dhaif jiddan karena perawinya yang sangat dhaif dan sebagian tidak dikenal.

Bantahan Terhadap Salafy : Hadis Dhaif Nabi SAW Melihat Allah SWT Dalam Sebaik-baik Bentuk.

Tulisan ini sebagai bantahan terhadap salafiyun yang bersikeras menshahihkan hadis Nabi SAW melihat Allah SWT dalam sebaik-baik bentuk. Silakan dilihat di tulisan http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/11/kedudukan-hadis-nabi-saw-melihat-allah.html Sebenarnya tulisan tersebut tidak memuat hal-hal baru yang dapat dijadikan hujjah kecuali dalih-dalih sekenanya agar hadis tersebut bisa naik derajatnya menjadi shahih. Tentu saja seperti biasa dalih tersebut mengecoh kaum awam mereka yang memang terbiasa jadi muqallid. Tulisan ini akan meluruskan talbis yang dibuat oleh pemilik tulisan tersebut. Tulisan penulis yang kami tanggapi akan diquote dan dicetak biru.

Hadis Abdurrahman bin ‘Aaisy
Pemilik situs tersebut setelah menyebutkan hadis Abdurrahman bin ‘Aaisy, mengutip penshahihan oleh Tirmidzi dan Bukhari dan menyetujui penshahihan keduanya
At-Tirmidziy (5/286) berkata : “Hadits ini hasan shahih. Aku pernah bertanya kepada Muhammad bin Ismaa’iil (yaitu Al-Bukhariy – Abul-Jauzaa’) tentang hadits ini, maka ia menjawab : ‘Hadits ini hasan shahih”
Pernyataan penulis tersebut merupakan kecerobohan yang sangat dan hanyalah mengikut saja tanpa meneliti dengan cermat. Hal ini menunjukkan bahwa akurasi analisisnya memang hanya sebatas itu saja. Ia hanya sekedar taklid tanpa melihat permasalahannya dengan lebih jelas. Abdurrahman bin ‘Aaisy adalah perawi yang hanya dikenal melalui hadis ini dan hadisnya terbukti mudhtharib. Tidak ada satupun ulama yang memberikan ta’dil ketika menuliskan biografinya. Oleh karena itu pendapat yang benar adalah ia seorang yang majhul hal.

Kemudian penulis tersebut melakukan talbis untuk mengingkari adanya idhtirab pada sanad tersebut. Ia berkata
Sebagian kalangan ada yang men-dla’if-kannya dengan alasan adanya idlthirab, khususnya bahwa riwayat ini center-nya ada pada ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Pen-dla’if-an ini tidak benar.
Justru penshahihan hadis ini yang tidak benar dan idhthirab itu sudah terbukti dengan nyata dan diakui oleh para ulama seperti Bukhari dan Daruquthni. Itu kalau memang ia seorang pentaklid tetapi kami tidak sekedar mengikuti sebuah perkataan. Kami telah menyebutkan bukti-bukti bahwa hadis tersebut mudhtharib. Bukti-bukti yang diakui kebenarannya oleh sang penulis sendiri yaitu
  • Abdurrahman bin ‘Aaisy mengaku mendengar hadis tersebut langsung dari Rasulullah SAW
  • Abdurrahman bin ‘Aaisy mengaku mendengar hadis tersebut dari salah seorang sahabat Rasulullah SAW
  • Abdurrahman bin ‘Aaisy mengaku mendengar hadis tersebut dari sebagian sahabat Rasulullah SAW
  • Abdurrahman bin ‘Aasiy mengaku mendengar hadis tersebut dari seorang tabiin yaitu Malik bin Yakhaamir
Semua poin di atas adalah bukti bahwa sanad tersebut mudhtharib dan penyebabnya adalah Abdurrahman bin ‘Aaisy. Bukankah ia mengaku menerima hadis tersebut dari seorang tabiin?. Lantas mengapa pula ia berkata bahwa ia menerima hadis itu dari seorang sahabat? Dan di saat lain ia mengatakan menerima itu dari sekelompok sahabat. Bahkan ia juga mengaku mendengar hadis tersebut langsung dari Rasulullah SAW. Yang mana yang benar dari pengakuannya?. Pengakuan yang kacau seperti ini kelihatan seperti pengakuan orang yang kacau hafalannya atau mengalami ikhtilat atau mungkin pengakuan orang yang mengada-ada. Dan lihatlah bagaimana penulis itu berdalih
Tiga riwayat dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy di atas dapat kita cermati yang terdiri dari satu riwayat mursal dan dua riwayat muttashil. Riwayat mursal ‘Abdurrahmaan kita palingkan pada dua riwayat yang lain yang menyebutkan perantara antara dia dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari jalan sebagian/salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam; dan dari Maalik bin Yakhaamir, dari Mu’aadz bin Jabal radliyallaahu ‘anhum.
Talbisnya yang pertama untuk menutupi idhthirab hadis ini adalah ia mengatakan bahwa riwayat yang pertama itu mursal. Padahal riwayat pertama tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa Abdurrahman bin ‘Aaisy menegaskan penyimakan langsung dari Rasulullah SAW. Untuk menutupi kekacauan, ia mengatakan bahwa hadis pertama tersebut harus dipalingkan kepada kedua riwayat lain. Jika ia mengira bahwa cara ini benar maka sungguh dangkalnya pemahaman ia terhadap apa yang disebut idhthirab. Apa dasarnya mengatakan riwayat pertama itu mursal?. Jawabannya tidak lain hanya mengikut perkataan para ulama yang menolak status sahabatnya Abdurrahman bin ‘Aaisy.

Sekarang coba perhatikan wahai pembaca yang terhormat, apa dasarnya sebagian ulama menyatakan Ibnu ‘Aaisy bukan sahabat sedangkan sebagian yang lain menetapkannya sebagai sahabat?. Jawabannya hanya ada dua kemungkinan
  • Mereka yang menolak status sahabat Ibnu ‘Aaisy menolak hadis pengakuan Ibnu ‘Aaisy yang mendengar langsung dari Rasulullah SAW.
  • Sedangkan mereka yang menetapkan Ibnu ‘Aaisy sebagai sahabat justru menerima hadis pengakuan Ibnu ‘Aaisy yang mendengar langsung dari Rasulullah SAW.
Mari kita menjadi kritikus kepada kedua pihak ini. Bagi mereka yang menolak hadis pengakuan Ibnu ‘Aaisy yang mendengar langsung dari Rasulullah SAW, maka kita tanyakan apa alasannya menolak hadis tersebut?. Jika mereka mengatakan hadis tersebut dhaif lalu dimana letak kedhaifannya?. Bukankah semua perawinya tsiqah, uups tentu saja selain Ibnu ‘Aaisy sendiri atau jika mereka berkeras menyatakan Ibnu ‘Aaisy juga tsiqah lantas mengapa mereka menolak hadis tersebut?. Memangnya bisa main asal tolak saja. Kemudian jika mereka mengatakan bahwa hadis tersebut ditolak karena terdapat hadis-hadis lain yang menyatakan bahwa Ibnu ‘Aaisy mendengar dari Rasulullah SAW lewat perantara [merujuk pada hadis-hadis lainnya] yaitu bisa tabiin atau sahabat. Maka kita patut bertanya, atas dasar apa mereka menafikan hadis pertama dan menerima hadis yang lain. Bukankah hadis-hadis itu sama-sama memuat kesaksian Ibnu ‘Aaisy?. Bagaimana caranya mereka menetapkan yang rajih dari hadis-hadis tersebut?. Kalau cuma main asal tetapkan, ya gak perlu sok sok-an pakai ilmu hadis. Ujung-ujungnya kok ngasal doang :mrgreen:

Bagi mereka yang menerima hadis pengakuan Ibnu ‘Aaisy yang mendengar langsung dari Rasulullah SAW. Maka kita bisa pertanyakan, apa alasan mereka menerima hadis tersebut?. Hadis-hadis lain membuktikan bahwa Ibnu ‘Aaisy mengaku mendengar hadis tersebut tidak langsung dari Rasulullah SAW tetapi lewat perantara. Ada kalanya ia mengaku mendengar hadis tersebut dari seorang sahabat. Tentu saja pengakuan seperti ini hanya diucapkan oleh orang yang bukan sahabat Nabi [walaupun di saat lain ia mengaku bukan dari seorang sahabat tetapi dari sekelompok sahabat]. Ada kalanya ia mengaku mendengar hadis tersebut dari seorang tabiin, itu artinya ia tidak mendengar langsung dari sahabat tetapi dari tabiin.

Nah bagaimana bisa mereka menafikan pengakuan Ibnu ‘Aaisy yang berbeda-beda itu. Kalau mereka memaksa mengatakan bahwa semuanya mungkin, Ibnu ‘Aaisy  mendengar hadis tersebut dari tabiin, ia mendengar pula dari seorang sahabat, ia mendengar pula dari sekelompok sahabat dan ia mendengar pula langsung dari Rasulullah SAW, maka kita katakan ini sungguh mengada-ada dan apa jaminannya kalau Ibnu ‘Aaisy ini tidak keliru atau ia tidak berdusta?. Semoga mereka tidak beralasan bahwa Ibnu ‘Aaisy seorang sahabat yang adil dan bisa diterima semua kesaksiannya karena alasan seperti ini hanya diungkapkan oleh orang bodoh yang tidak mengerti permasalahan dengan baik. Jelas sekali bukti persahabatan Ibnu ‘Aaisy terletak pada hadis dengan penyimakan langsung yang justru sedang kita pertanyakan kebenarannya. Ini fallacy logika sirkuler atau lingkaran setan yang tak berujung. Lebih mungkin Ibnu ‘Aaisy ini mengada-ada atau ia telah keliru, dengan begitu semua pengakuannya yang kacau itu terjelaskan dengan baik. Atau kalau mereka mau berdalih Ibnu ‘Aaisy itu tsiqah, pertanyaannya cukup sederhana siapa yang menyatakan ia tsiqah?. Apakah orang tsiqah tidak bisa mengalami idhthirab periwayatannya?. Bukankah dalam ilmu hadis fenomena seperti ini yaitu kekacauan yang tidak bisa ditetapkan yang mana lebih rajih disebut sebagai mudhtharib dan dihukumi sebagai dhaif tidak peduli apa perawi itu tsiqah atau tidak.

Begitulah kekacauan yang terjadi jika kita menerima hadis Ibnu ‘Aasiy dan memang bagi seorang yang taklid hal-hal seperti itu sah-sah saja dan tidak melemahkan hadisnya. Padahal kekacauan itu tampak sekali dengan jelas jika ditelaah secara kritis. Semua kekacauan ini timbul karena mereka bersikeras menerima riwayat Ibnu ‘Aaisy.
Mari kita teruskan dalih-dalih sang penulis, ia berkata
Dua riwayat ini tidak mudltharib – walau berporos pada ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy – karena perawi sebelum dan setelah ‘Abdurrahman berbeda.
Sungguh betapa lucunya kalimat ini. Jika syarat mudhtharib adalah perawi sebelum dan sesudah Abdurrahman harus sama maka sudah jelas ia bukan mudhtharib tetapi satu sanad yang utuh dan tsabit. Idhthirab hadis ini bisa dipastikan berasal dari Abdurrahman bin ‘Aaisy maka dari itu tentu sanad perawi setelahnya akan berbeda karena disitulah letak mudhtharibnya. Ia mengaku mendengar langsung dari Rasul SAW, ia mengaku mendengar dari sahabat dari Rasul SAW, ia mengaku mendengar dari tabiin dari sahabat dari Rasul SAW. Itulah yang dinamakan mudhtharib sedangkan perawi sebelum Abdurrahman yang berbeda tidaklah menafikan adanya idhthirab dan justru merupakan petunjuk yang memastikan bahwa sumber idhthirab itu berasal dari kekacauan Abdurrahman bin ‘Aaisy, dan mereka para perawi yang mendengar dari Ibnu ‘Aaisy hanya menyampaikan apa yang mereka dengar dari Ibnu ‘Aaisy.
Ini menunjukkan ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy menerima hadits dari dua pihak, yaitu dari Maalik bin Yakhaamir (dari Mu’adz bin Jabal) dan dari salah seorang/sebagian shahabat Nabi shallalaahu ‘alahi wa sallam, dan kemudian menyampaikannya pada pihak yang berbeda pula. Semua shahih, no problemo. Ini sangat memungkinkan.
Kita pertanyaakan kepada pemilik kalimat ini, apa buktinya semua shahih?. Bukankah semua hadis ini bersumber dari perawi yang sama yaitu Ibnu ‘Aaisy, jika anda menganggap Ibnu ‘Aaisy tsiqah maka siapa yang menyatakan ia tsiqah?. Jika anda berpegang pada penshahihan Bukhari dan Tirmidzi untuk pentsiqahan Ibnu ‘Aaisy lantas mengapa pula anda mengatakan hadis pertama itu mursal?. Hadis itu justru memuat kesaksian perawi tsiqah dimana dirinya mengaku mendengar langsung hadis tersebut dari Rasulullah SAW?. Bukankah sang perawi lebih mengetahui riwayat tersebut dibanding ulama yang baru lahir jauh setelahnya. Mengapa anda menolak pernyataan Ibnu ‘Aaisy yang anda anggap tsiqah?. Mengapa anda tidak menolak pernyataan Bukhari, Tirmidzi dan yang lainnya yang menyatakan bahwa Ibnu ‘Aaisy bukan sahabat. Justru kalau Ibnu ‘Aaisy tsiqah maka hadis penyimakan langsung dari Rasulullah SAW menjadi bukti kalau ia adalah sahabat Nabi. Konsekuensinya anda harus menentang dong pernyataan Bukhari, Tirmidzi dan yang lainnya. Lha kesaksian sahabat itu lebih mumpuni dibanding mereka semua. Tetapi tunggu dulu, anda juga gak bisa asal menentang Bukhari dan Tirmidzi begitu saja karena sebelumnya anda berhujjah dengan mereka kalau Ibnu ‘Aaisy itu tsiqah. Kembali kepada lingkaran setan yang tidak berujung, dan maafkan anda ternyata tidak bisa melihatnya.

Kemudian kita pertanyakan padanya, apa dasarnya anda mengatakan Ini sangat memungkinkan?. Adakah anda mengetahui bahwa Ibnu ‘Aaisy ini bertemu dengan Malik bin Yakhaamir [tabiin] sekaligus ia bertemu dengan sahabat atau sekelompok sahabat yang dimaksud. Kalau ia meriwayatkan hadis tersebut dari sahabat maka untuk apa pula ia meriwayatkan hadis tersebut dari tabiin. Dan tunggu bagaimana anda bisa yakin kalau sahabat yang dimaksud Ibnu ‘Aaisy itu memang benar-benar sahabat Nabi?. Kalau anda mengatakan bahwa Ibnu ‘Aaisy itu seorang yang tsiqah maka kesaksian perawi tsiqah bisa diterima, itu malah kembali lagi ke lingkaran setan yang disebutkan sebelumnya. Tidakkah anda menyadari bahwa pernyataan anda kalau semua shahih dan sangat memungkinkan tidak memiliki dasar kebenaran yaitu hanya berakhir pada lingkaran setan.

Tidak ada gunanya anda menganalogikan dengan hadis Shahih Muslim yang anda kutip kemudian mengatakan
Perhatikan !! Az-Zuhriy dan/atau Abu Salamah dalam hadits yang sama membawakan dua riwayat : pertama, dari Abu Hurairah; dan kedua, dari Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhuma. Dua-duanya shahih. Tidak ada idlthirab.
Sekarang mari lihat baik-baik sanad-sanad yang anda tampilkan
  • Az Zuhri dari tabiin [Abu Salamah] dari sahabat [Abu Hurairah]
  • Az Zuhri dari tabiin [Sa’id Al Musayyab] dari sahabat [Abu Hurairah]
  • Az Zuhri dari tabiin [Abu Salamah] dari sahabat [Jabir RA]
Jikapun kita menerima semua sanad-sanad ini maka tidak ada tanda-tanda idhthirab dan memang kedudukannya sangat berbeda dengan hadis Abdurrahman bin ‘Aaisy berikut
  • Abdurrahman bin ‘Aaisy  mendengar dari Rasulullah SAW
  • Abdurrahman bin ‘Aaisy dari seorang sahabat dari Rasulullah SAW
  • Abdurrahman bin ‘Aaisy dari sekelompok sahabat dari Rasulullah SAW
  • Abdurrahman bin ‘Aaisy dari tabiin [Malik bin Yakhamir] dari sahabat [Muadz RA] dari Rasulullah SAW.
Hadis Az Zuhri menunjukkan bahwa ia menerima hadis dari dua orang tabiin dan salah satu tabiin menerima hadis itu dari dua orang sahabat. Sedangkan hadis Ibnu ‘Aaisy terdapat kekacauan mengenai dari siapa sebenarnya ia mengambil hadis tersebut. Apakah mendengar sendiri dari Rasulullah SAW? Ataukah dari sahabat yang kemudian dari Rasulullah SAW ataukah dari tabiin dari sahabat dari Rasulullah SAW. Hadis Ibnu ‘Aaisy sudah jelas idhthirab. Perbedaan lain yang mendasar dari kedua contoh itu adalah Az Zuhri seorang perawi yang telah ditetapkan tsiqahnya oleh para ulama begitu pula Abu Salamah sedangkan Ibnu ‘Aaisy ia orang yang tidak dikenal kredibilitasnya dan terbukti hadisnya mudhtharib.
Kembali ke hadits ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy. Tidak menjadi masalah jika ia meriwayatkan dari salah seorang shahabat atau sebagian shahabat, dan di bagian lain ia meriwayatkan dari Maalik bin Yakhaamir (tabi’iy senior tsiqah – muhdlaram) dari Mu’aadz bin Jabal
Pernyataan ini hanya penyelamatan asal-asalan. Fakta yang sebenarnya adalah Ibnu ‘Aaisy mengaku mendengar langsung hadis tersebut dari Rasulullah SAW, tetapi ternyata ia malah mendengar hadis tersebut dari seorang sahabat atau sekelompok sahabat yang tidak disebutkan namanya. Dan ternyata juga ia mendengar hadis tersebut dari seorang tabiin dari sahabat dari Rasulullah SAW. Ini sudah jelas kacau, mana yang benar. Jadi mengatakan sanad ini tidak bermasalah hanyalah klaim asal-asalan.
Memang benar ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy bukan berstatus shahabat, sehingga hadits yang ia riwayatkan langsung dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dihukumi mursal alias dla’if.
Apa dasar pernyataan saudara bahwa Ibnu ‘Aaisy bukan sahabat dan hadisnya dihukumi mursal. Bukankah dalam riwayat yang pertama Ibnu ‘Aaisy menyatakan dengan jelas kalau ia mendengar langsung dari sahabat. Bukankah Ibnu ‘Aaisy ini tidak diketahui tahun lahir dan tahun wafatnya lantas mengapa bisa sebagian ulama memursalkan hadisnya. Kalau dikatakan dari hadis-hadis lain ternyata ia terbukti mendengar lewat perantara maka hal ini menjadi musykil kesaksian yang manakah yang patut diambil.
Adapun klaim bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy seorang perawi yang tidak dikenal lagi mastur (majhul haal), maka ini tidak benar. Ibnu Hibbaan telah memberikan tautsiq kepadanya.
Lucu sekali kalau pernyataan seperti ini dikeluarkan oleh salafiyun. Apakah saudara penulis itu lupa bahwa ia sendiri menyatakan kalau Ibnu Hibban sering memberikan tautsiq pada perawi majhul. Lalu mengapa sekarang ia berhujjah dengannya. Ditambah lagi sepertinya saudara penulis tidak membaca apa yang dikatakan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat. Dalam Ats Tsiqat juz 3 no 838 Ibnu Hibban berkata

عبد الرحمن بن عائش الحضرمي له صحبة

Abdurrahman bin ‘Aaisy Al Hadhrami seorang sahabat Nabi.

Jelas sekali kalau Ibnu Hibban tergolong mereka yang berpendapat bahwa Ibnu ‘Aaisy seorang sahabat. Pernyataan ini tidak lain hanya berdasarkan hadis penyimakan langsung Ibnu ‘Aaisy dari Rasulullah SAW. Pernyataan Ibnu Hibban tidaklah benar, karena hadis tersebut mudhtharib dan Ibnu ‘Aaisy tidak dikenal kredibilitasnya apalagi sumber idhthirab ini adalah Ibnu ‘Aaisy sendiri. Alangkah anehnya jika saudara penulis itu berhujjah dengan tautsiq Ibnu Hibban, padahal ia sendiri menolak bahwa Ibnu ‘Aaisy sebagai sahabat Nabi dan hadis Ibnu ‘Aaisy dari Nabi SAW dikatakannya mursal. Begitulah akhirnya jika suatu perkataan tidak ditelaah dengan benar maka ia akan berbalik menentang dirinya sendiri. Ibnu ‘Aaisy terbukti hadisnya mudhtharib dan ia tidak dikenal. Perlu diingatkan pernyataan Abdurrahman bin ‘Aaisy seorang yang tidak dikenal juga dinyatakan oleh Abu Zur’ah Ar Razi [sebagaimana yang dikutip dari At Tahdzib].
Juga Ahmad bin Hanbal dan Al-Bukhariy rahimahumallah yang telah menshahihkan riwayatnya dimana ini juga merupakan isyarat tashhih terhadap sanad sekaligus perawinya (ta’dil). Apakah Al-Bukhariy dan Ahmad akan menshahihkan hadits jika di dalamnya terdapat perawi majhul ?
Sungguh jika melihat pengalaman kami berdiskusi dengan anda maka pernyataan ini cukup membuat kami miris. Pernyataan ini hanyalah taklid tanpa memperhatikan dalil-dalil dengan benar. Kita dapat memberikan contoh yang cukup banyak dimana ada ulama-ulama yang menshahihkan hadis-hadis padahal di dalamnya terdapat perawi majhul atau dhaif. Dalam posisi ini seharusnya penshahihan ulama itu diteliti kembali kebenarannya bukannya dijadikan hujjah. Silakan perhatikan dimana Bukhari memasukkan hadis dengan perawi majhul dalam kitab Shahih-nya

حدثنا مسلم حدثنا هشام حدثنا قتادة عن أنس (ح) وحدثني محمد بن عبد الله بن حوشب حدثنا أسباط أبو اليسع البصري حدثنا هشام الدستوائي عن قتادة عن أنس رضي الله عنه

Telah menceritakan kepada kami Muslim yang berkata telah menceritakan kepada kami Hisyaam yang berkata telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Anas dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Abdullah bin Hawsyab yang berkata telah menceritakan kepada kami Asbath Abul Yasa’ Al Bashri yang berkata telah menceritakan kepada kami Hisyaam Ad Dustuwa’i dari Qatadah dari Anas RA…[Shahih Bukhari no 1963].

Walaupun Bukhari mengakui bahwa semua hadis yang ada dalam kitabnya shahih maka bukan berarti semua perawi yang ada dalam hadis tersebut tsiqah atau mendapat predikat ta’dil. Asbath Abul Yasa’ Al Bashri adalah perawi yang dhaif. Dalam At Tahdzib juz 1 no 397 Abu Hatim menyatakan ia majhul. Dan sikap Bukhari memasukkan dia ke dalam kitab Shahihnya tidaklah mengangkat keadaannya oleh karena itu Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/76 tetap menyatakan ia dhaif. Contoh lain bahkan Bukhari pernah menguatkan hadis yang di dalam sanadnya terdapat perawi yang sangat dhaif. Dikutip dari At Tahdzib juz 8 no 753 biografi Katsir bin Abdullah bin Amru bin Auf

وقال الترمذي قلت لمحمد في حديث كثير بن عبد الله عن أبيه عن جده في الساعة التي ترجى في يوم الجمعة كيف هو قال هو حديث حسن إلا أن أحمد كان يحمل على كثير يضعفه وقد روى يحيى بن سعيد الأنصاري عنه

At Tirmidzi berkata “Aku berkata kepada Muhammad [Al Bukhari] hadis Katsir bin Abdullah dari Ayahnya dari Kakeknya tentang saat yang diharapkan pada hari Jum’at, bagaimana hadis itu?”. Ia menjawab “Itu hadis hasan hanya saja Ahmad telah mengatakan dhaif pada Katsir dan Yahya bin Sa’id Al Anshari telah meriwayatkan darinya”.

Penghasanan Bukhari tidak ada artinya dan itu tidak menguatkan atau menta’dilkan Katsir bin Abdullah karena ia adalah seorang perawi yang sangat dhaif. Disebutkan dalam At Tahdzib juz 8 no 753 kalau ia didhaifkan oleh Ahmad, Ibnu Ma’in, Asy Syafii, Abu Dawud, Daruquthni dan Nasa’i. Ia dinyatakan dhaif, matruk, pendusta dan rukun kedustaan (jarh yang sangat keras).

Kembali ke hadis Abdurraman bin ‘Aaisy, tentu saja pengutipan pernyataan shahih terhadap hadis itu tidaklah memiliki nilai hujjah untuk menyatakan tsiqah atau menta’dilkan Ibnu ‘Aaisy. Apalagi sebagaimana yang kami kutip dari At Tahdzib juz 6 no 417 kalau Bukhari menyatakan Ibnu ‘Aaisy hanya memiliki satu hadis yang mudhtharib [yaitu hadis ini]. Dan kami telah membuat pembahasan yang cukup untuk membuktikan bahwa memang benar terjadi idhthirab pada Ibnu ‘Aaisy.

Begitu pula pengutipannya kalau Ahmad menguatkan hadis ini, bukan berarti Ahmad menta’dilkan Ibnu ‘Aaisy . Dalam Tahdzib Al Kamal 17/203

قال أبو زرعة الدمشقى أيضا قلت لأحمد بن حنبل إن ابن جابر يحدث عن خالدابن اللجلاج  عن عبدالرحمن بن عائش عن النبى صلى الله عليه وسلم ” رأيت ربى فى أحسن صورة ” و يحدث به قتادة عن أبى قلابة عن خالد بن اللجلاج عن عبد الله بن عباس فأيهما أحب إليك ؟ قال حديث قتادة هذا ليس بشىء و القول ما قال ابن جابر

Abu Zur’ah Ad Dimasyqiy juga berkata ‘Aku berkata kepada Ahmad bin Hanbal  ‘Sesungguhnya Ibnu Jaabir telah menceritakan sebuah hadits dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ‘Aku telah melihat Rabb-ku dalam sebaik-baik bentuk’. Qatadah juga menceritakan hadits tersebut dari Abu Qilaabah, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas; mana di antara keduanya yang lebih engkau sukai ?’. Ahmad menjawab ‘Hadits Qatadah itu tidak ada apa-apanya. Dan perkataan di sini adalah yang dikatakan Ibnu Jaabir”.

Perkataan inilah yang dianggap oleh saudara itu sebagai bentuk penshahihan padahal pernyataan itu berkaitan dengan hadis mana yang lebih disukai oleh Ahmad bin Hanbal. Anehnya ada hal musykil yang tidak diperhatikan oleh si penulis.
  • Bukhari menurut Tirmidzi menshahihkan hadis Ibnu ‘Aaisy dari Malik bin Yakhamir dari Muadz dari Nabi SAW
  • Ahmad bin Hanbal menshahihkan [menurut penulis salafy itu] hadis Ibnu ‘Aaisy dari Nabi SAW.
Kedua pernyataan ini bertentangan satu sama lain dan anehnya penulis itu malah berhujjah dengan keduanya. Kedua pernyataan ini justru memperkuat bahwa hadis tersebut idhthirab. Ibnu ‘Aaisy benar-benar kacau periwayatannya terkadang ia berkata dari Nabi SAW, terkadang dari sahabat dan terkadang dari tabiin. Tidak ada alasan untuk menetapkan yang mana yang lebih rajih sehingga tetaplah ia sebagai hadis yang mudhtharib.
Anggapan adanya idlthiraab juga tidak benar. Setelah diteliti tiga riwayat yang dibawakan oleh ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy dapat ditarjih dan dijamak sehingga hilang sifat idlthirab-nya
Yang mana hadis yang ia tarjih, bukankah dengan seenaknya ia mengatakan hadis Ibnu ‘Aaisy dari Nabi SAW sebagai hadis mursal [padahal penyimakannya jelas] tetapi anehnya ia malah berhujjah dengan pernyataan Ahmad bin Hanbal yang menshahihkan hadis Ibnu ‘Aaisy dari Nabi SAW. Jika penetapan asal-asalan begitu disebut tarjih maka tentu tidak bernilai sebagai hujjah. Begitu pula pernyataannya soal jamak, apa yang ia jamak. Jika ketiga hadis itu dijamakkan maka akan tampak jelas sekali kacaunya. Ibnu ‘Aaisy mengaku ia mendengar langsung hadis tersebut dari Rasulullah SAW , tapi ia juga bilang mengaku mendengar dari sahabat yang mendengar dari Rasulullah SAW, tetapi ia juga bilang mendengar dari tabiin dari sahabat dari Rasulullah SAW.
[Selain Ahmad bin Hanbal, Al-Bukhariy, dan At-Tirmidziy, hadits ini juga dishahihkan oleh Ibnu Katsiir dalam Tafsir-nya 7/80-81, Ahmad Syaakir dalam Tafsir Ath-Thabariy 11/476, Al-Albaniy dalam beberapa tempat pada kitabnya, dan yang lainnya].
Kita juga dapat menunjukkan ulama-ulama yang mendhaifkan hadis Ibnu ‘Aaisy tersebut diantaranya Daruquthni [dalam Al Ilal], Ibnu Jauzi [dalam Daf’u Syubaah] dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth [tahqiq Musnad Ahmad]. Tetapi tentu saja pendapat-pendapat ulama bukanlah sesuatu yang mutlak bagi para penuntut ilmu. Yang harus dilakukan adalah menilai sejauh mana kekuatan dalil-dalil yang menyokong pendapat mereka. Pendapat yang mendhaifkan adalah pendapat yang benar dan memiliki dasar yang kuat sedangkan pendapat yang menshahihkan tidak lain hanya mengandung klaim-klaim yang tidak kuat.

Hadis Tsauban RA.
Kami telah menyampaikan alasan untuk menyatakan dhaif hadis Tsauban tersebut, hanya saja kami ingin menelaah kembali pernyataan saudara penulis
telah terjawab pada uraian di atas. Jika yang bersangkutan merasa heran, maka saya pribadi juga cukup heran atas ‘keheranan’-nya itu. Kelemahan dalam hadits Tsaubaan karena adanya inqitha’ – pun jika dimasukkan juga kelemahan ‘Abdullah bin Shaalih dan Abu Yahyaa – adalah tidak terlalu berat dan dapat menjadi kuat jika adanya ada penguatnya (dari hadits lainnya yang sama atau semakna)
Kami katakan kepada penulis yang terhormat, kami tidak merasa heran dengan pembelaan anda terhadap Syaikh anda yang juga terhormat yaitu Syaikh Al Albani [sudah terbiasa, itulah tabiat pengikut salafy]. Tetapi alangkah baiknya jika anda lebih banyak membaca kitab-kitab Syaikh Al Albani supaya anda mengetahui mengapa kami dibuat terheran-heran dengan pernyataannya. Dengan menggabungkan pernyataan kami soal inqitha’ dan pernyataan Syaikh maka hadis Tsauban berstatus dhaif dan kelemahannya berat yaitu
  • Inqitha’ Abu Sallam dari Tsauban
  • Kelemahan pada Abdullah bin Shalih
  • Kelemahan pada Ghailan bin Anas karena ia majhul hal dalam anggapan Syaikh Al Albani
  • Kelemahan Abu Yahya yang tidak dikenal oleh Syaikh Al Albani
Perkataan anda soal Abu Shalih
Perkataan Ibnu ‘Adiy di atas menunjukkan bahwa riwayat Mu’awiyyah bin Shaalih dari Abu Shaalih diambil dari kitab. Bukan dari hapalan. Oleh karena itu, sangat besar kemungkinan riwayatnya dari Mu’awiyyah ini berderajat shahih, atau minimal hasan.
Adalah kesimpulan yang terburu-buru, silakan lihat bagaimana Syaikh Al Albani telah mendhaifkan hadis-hadis Abdullah bin Shalih dari Muawiyah bin Shalih
  • Silsilah Ahadits Ad Dhaaifah 1/659 hadis no 483
  • Silsilah Ahadits Ad Dhaaifah 3/428 no 1267 [disini bahkan Syaikh mendhaifkan hadis tersebut hanya karena kelemahan Abdullah bin Shalih]
  • Silsilah Ahadits Ad Dhaaifah 4/299 no 1821 [disini bahkan Syaikh juga mengutip pernyataan Ibnu Ady tentang Abdullah bin Shalih tetapi Syaikh tetap melemakan Abdullah bin Shalih]
  • Silsilah Ahadits Ad Dhaaifah 4/425 no 1957
  • Silsilah Ahadits Ad Dhaaifah 6/372 no 2850
  • Silsilah Ahadits Ad Dhaaifah 11/5 no 5001
Abu Yazid atau Ghailan bin Anas Al Kalby adalah perawi yang tidak mendapatkan ta’dil dari satu ulamapun. Tentu dengan manhaj Syaikh Al Albani maka perawi ini berstatus majhul hal. Percuma saja saudara penulis itu mengutip berpanjang-panjang karena pada kenyataannya Syaikh Al Albani sendiri mengatakan dengan jelas kalau Ghailan bin Anas Al Kalbi adalah seorang yang majhul hal [lihat Silsilah Ahadits As Shahihah 1/39 hadis no 32]. Disana syaikh juga mengatakan kalau banyak yang telah meriwayatkan dari Ghailan bin Anas  [kenyataannya ada 3] tetapi tetap saja Syaikh menyatakan Ghailan bin Anas Al Kalby majhul hal. Ini membuktikan kontradiksi Syaikh Al Albani dalam metodenya dan menunjukkan juga bahwa anda saudara penulis belum banyak membaca kitab-kitab Syaikh Al Albani untuk melihat berbagai keanehan seperti itu.

Kami bisa menyebutkan banyak perawi lain yang walaupun telah meriwayatkan darinya sejumlah perawi tsiqah tetapi tetap saja Syaikh Al Albani menyatakan ia seorang yang majhul haal. Jadi pernyataan seseorang
Dikarenakan yang bersangkutan tidak banyak membaca kitab Asy-Syaikh Al-Albaniy, maka ia pun merasa keanehan. Padahal, dalam Tamaamul-Minnah telah dijelaskan metodologi kritik beliau terutama bagi beberapa perawi yang tidak mendapat ta’dil/tautsiq kecuali dari Ibnu Hibbaan. Jikalau beberapa orang perawi tsiqah (tiga atau lebih) meriwayatkan darinya, maka terangkatlah status majhul haal-nya dan riwayatnya menjadi hasan, atau bahkan bisa menjadi shahih
Sungguh suatu perkataan lucu bin aneh yang muncul karena yang bersangkutan tidak banyak membaca kitab Syaikh Al Albani. Perkataannya cuma tertuju kepada kitab Tamaamul Minah padahal dalam implementasinya Syaikh Al Albani telah menyatakan seorang perawi sebagai majhul hal walaupun sejumlah perawi tsiqat meriwayatkan darinya [hal ini bisa dilihat dalam kitab Silsilah Ahaadits Ad Dhaaifah]. Berikut sebagian contohnya
  • Dalam Silsilah Ahadits Adh Dhaifah 3/440 no 1280 Syaikh Al Albani mendhaifkan  hadis karena seorang perawi yang menurutnya majhul hal yaitu Thalq bin As Samhi walaupun beliau mengakui kalau jama’ah telah meriwayatkan darinya. Disebutkan dalam Tahdzib Al Kamal 13/454 no 2989 telah meriwayatkan darinya sekelompok  perawi tsiqah seperti Fadhl bin Ya’qub bin Ibrahim, Sa’id bin Katsir, Muhammad bin Abdul Malik Al Baghdadi, Rabi’ bin Sulaiman bin Daud, Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Hakim.
  • Dalam Silsilah Ahadits Adh Dhaifah 3/679 no 1489 Syaikh Al Albani menyatakan seorang perawi yang bernama Abdullah bin Hasan Al ‘Anbari majhul hal padahal telah meriwayatkan darinya sekelompok perawi tsiqat seperti Afan bin Muslim, Abu Daud At Thayalisi, Abu Salamah Musa bin Ismail, Abdullah bin Raja’ Al Ghudani, Abdullah bin Sawwar Al ‘Anbari [At Tahdzib juz 5 no 320]
  • Dalam Silsilah Ahadits Adh Dhaifah 6/282 no 2762 Syaikh Al Albani menyatakan Ahmad bin Musa Al Khuza’i majhul hal dan beliau mengakui kalau jama’ah telah meriwayatkan darinya. Padahal dalam Al Jarh Wat Ta’dil 2/75 no 154 disebutkan Ibnu Abi Hatim bahwa telah meriwayatkan dari Ahmad bin Musa sekelompok perawi tsiqah yaitu Mu’alla bin Asad, Muhammad bin Sa’id bin Walid Al Khuza’I, Nashr bin Ali dan Muhammad bin Mutsanna.
Kesimpulannya : hadis Tsauban dengan metode Syaikh Al Albani memiliki kelemahan yang berat yaitu satu orang perawinya dihukumi sebagai dhaif, satu orang lainnya majhul hal, satu orang lainnya tidak dikenal dan yang terakhir adanya inqitha’ (sanadnya terputus). Lucu sekali kalau hadis ini bisa menjadi shahih dengan syawahid sama lucunya dengan orang  yang mengatakan kalau kelemahan hadis ini tidak terlalu berat.

Hadis Jabir bin Samurah.
Kami sebelumnya telah membawakan hadis Jabir ini dan menyatakan bahwa hadis ini dhaif dengan berbagai alasan kelemahan pada Simaak bin Harb. Kami menolak pernyataan Syaikh Al Albani yang menyatakan hadis ini hasan. Berkenaan dengan ini sang penulis mengikuti Syaikh Al Albani dan berkomentar
Sebagian kalangan men-dla’if-kan hadits ini dengan sebab Simaak bin Harb. Ia dianggap hadisnya mudltharib, hafalannya yang buruk alias tidak dlabith, dan ia mengalami ikhtilath. Memang benar beberapa ulama mengkritiknya seperti Syu’bah, Sufyan Ats-Tsauriy, Ahmad bin Hanbal, An-Nasa’iy, dan yang lainnya. Namun pendla’ifan itu tidak pada semua riwayat Simaak. Contoh : Walaupun Syu’bah mendla’ifkannya (dan Syu’bah ini termasuk ulama yang mutasyaddid dalam men-jarh), namun ia sendiri meriwayatkan hadis darinya dan direkam dalam kitab Shahih.
Pernyataannya ini masih harus dirincikan lagi. Diantara ulama yang mengkritik Simaak, ada yang memang menolak hadisnya dan tidak mengkhususkan itu pada riwayat ikrimah saja seperti Shalih bin Muhammad, Ibnu Mubarak dan An Nasa’i.
Kembali pada hadits ru’yah,… pen-dla’if-an hadits ini berbagai alasan di atas adalah sangat lemah. Jalur periwayatan dalam hadits ini, yaitu : mulai Abu Bakr bin Abi Syaibah, dari Yahyaa bin Abi Bakiir, dari Ibraahiim bin Thahmaan, dari Simaak bin Harb, dari Jaabir bin Samurah merupakan jalur periwayatan yang dipakai Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya
Jutru pernyataan ini yang sangat lemah. Satu-satunya alasan yang ia bahas hanyalah mudhtharib Simaak yang khusus riwayatnya dari Ikrimah saja. Padahal diantara mereka yang mencacatkan Simaak bin Harb terdapat alasan-alasan lain yaitu
  • Simaak sering melakukan kesalahan seperti yang dikatakan Ibnu Ammar dan Ibnu Hibban [Ibnu Hibban mengatakan ia banyak melakukan kesalahan].
  • Simaak hafalannya buruk seperti yang dikatakan Daruquthni
  • Simmak menerima talqin seperti yang dikatakan Nasa’i. An Nasa’i menyatakan kalau riwayatnya tidak bisa dijadikan hujjah jika menyendiri.
  • Simaak mengalami ikhtilath seperti yang dikatakan Al Bazzar dan Ibnu Hajar.
Dalam Ulumul hadis jika seorang perawi mendapatkan ta’dil dan jarh maka jarhnya harus didahulukan dengan syarat dijelaskan alasannya [jarh mufassar]. Dengan melihat jarh terhadap Simaak maka terdapat alasan yang cukup untuk mendahulukan pencacatannya dibanding penta’dilannya. Ditambah lagi hadis Ru’yah ini [sanad yang lain] merupakan hadis yang lemah karena mudhtharib dan sanadnya terputus, sedangkan Simaak dikatakan hadisnya mudhtharib dan sering memusnadkan hadis yang tidak dimusnadkan oleh yang lain.

Ketika membela Simaak penulis mengakui bahwa hadis Simaak yang mudhtharib hanya berasal dari Ikrimah saja. Kami hormati pernyataannya itu tetapi yang tidak habis pikir adalah pengutipannya soal mudhtharib  justru malah menguatkan bahwa hadis Ibnu ‘Aaisy sebelumnya adalah mudhtharib [hal yang bersikeras ditolaknya]. Ia menulis tetapi tidak memahaminya, ia mengikuti tetapi tidak menelaahnya.
Ahmad bin ‘Abdillah Al-‘Ijliy berkata tentangnya : “…..Jaaizul-hadiits, kecuali dalam periwayatan hadits ‘Ikrimah. Terkadang ia menyambungkan sesuatu dari Ibnu ‘Abbas, dan terkadang ia berkata : ‘Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam’. Padahal (hadits/riwayat) itu hanyalah ‘Ikrimah yang menceritakan dari Ibnu ‘Abbas…”.
Ya’quub pernah bertanya kepada ‘Aliy bin Al-Madiiniy : “Apa pendapatmu tentang riwayat Simaak dari ‘Ikrimah ?”. Ia menjawab : “Mudltharib”.
Lihat baik-baik, dari kutipannya hadis Simaak dari Ikrimah dihukum mudhtharib karena Simaak terkadang meriwayatkan dari Ibnu Abbas, terkadang meriwayatkan dari Rasulullah SAW dan terkadang meriwayatkan dari Ikrimah dari Ibnu Abbas. Kalau penulis mengakui bahwa hal ini mudhtharib maka begitu pula seharusnya hadis Ibnu ‘Aaisy, ia terkadang meriwayatkan dari Rasulullah SAW, terkadang meriwayatkan dari sahabat dan terkadang meriwayatkan dari tabiin dari sahabat dari Rasulullah SAW. Jadi pernyataan mudhtharib Ibnu ‘Aaisy itu adalah hal yang benar dan justru pembelaan membabibuta yang terkesan asal taklid membuat sang penulis tampak kacau dalam tulisannya.

Penukilan penulis mengenai Imam Muslim tidak masalah sedikitpun, hal itu cuma menunjukkan bahwa Imam Muslim menta’dilkan Simaak dan sudah diketahui kalau Simaak termasuk perawi yang mendapatkan ta’dil dari sebagian orang dan dicacatkan oleh sebagian yang lain. Sehingga penilaian yang tepat adalah memperhatikan alasan pencacatannya. Bagi para peneliti tidak setiap perawi yang dijadikan hujjah oleh Bukhari ataupun Muslim adalah perawi yang tsiqah salah satu contohnya adalah Ismail bin Abi Uwais, dia adalah perawi yang dikenal dhaif tetapi Bukhari dan Muslim berhujjah dengannya. Oleh karena itu sebagai usaha penyelamatan akan kredibilitas kitab Shahih [Bukhari dan Muslim] maka Ibnu Hajar dalam Muqaddimah Fath Al Bari hal 391 mengatakan “Hadis Ismail bin Uwais selain dalam kitab shahih tidak bisa dijadikan hujjah”. Oleh karena itu jika memang yang bersangkutan merasa risih kalau-kalau pencacatan Simaak mengganggu kredibilitas Imam Muslim dan Shahihnya maka bisa saja dikatakan “hadis Simaak tidak dapat dijadikan hujjah kecuali dalam kitab shahih”.

Perlu diingatkan kembali bahwa hadis Simaak ini tidak memuat keterangan mengenai peristiwa Ru’yah tersebut apakah terjadi dalam mimpi atau tidak?. Hadis yang menyebutkan tentang mimpi adalah hadis Ibnu ‘Aaisy dan Ibnu Abbas yang sudah dijelaskan kedhaifannya. Jadi lucu sekali kalau salafiyun yang meyakini bahwa Allah SWT bisa dilihat di dalam mimpi berhujjah dengan hadis Simaak bin Harb di atas.
Hadits melihat Allah dalam sebaik-baik bentuk (di waktu tidur/mimpi oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam) secara keseluruhan adalah shahih tanpa keraguan. Beberapa hadits saling menguatkan. Sebagian di antaranya shahih, hasan, dan juga dla’iif. Kalau pun toh masing-masing jalan dianggap dla’if, maka itu tidak menutup kemungkinan bahwa hadits itu dapat naik status menjadi hasan li-ghairihi.
Silakan dilihat kembali hadis-hadis yang dikatakan saling menguatkan, berikut hadis ru’yah dari yang dhaif sampai yang paling dhaif
  • Hadis Simaak bin Harb dhaif karena berbagai kelemahan pada Simaak
  • Hadis Abu Umamah dhaif karena inqitha’ [terputus] dan kelemahan hafalan salah seorang perawinya
  • Hadis Ibnu ‘Aaisy dan Muadz dhaif karena mudhtharib dan Ibnu ‘Aaisy tidak dikenal kredibilitasnya
  • Hadis Ibnu Abbas dhaif karena munqathi’ dan mudhtharib.
  • Hadis Tsauban dhaif karena munqathi’, satu perawi yang tidak dikenal, satu perawi yang majhul hal [menurut Syaikh Al Albani] dan satu perawi yang dhaif karena hafalannya.
  • Hadis Abu Rafi’ dhaif karena satu perawinya yang pendusta dan dua perawi yang tidak dikenal.
Hadis Simaak tidak akan terangkat kedudukannya oleh hadis-hadis yang lain, dan juga tidak akan saling menguatkan karena sanad-sanad hadis lain selain Simmaak itu terputus dan mudhtharib sehingga ia tidak tsabit sebagai penguat. Kesimpulannya hadis “Melihat Allah SWT Dalam Sebaik-baik Bentuk” berstatus dhaif. Wallahu’alam.

Kekacauan Salafy Dalam Membela Hadis “Nabi SAW Melihat Allah SWT Dalam Sebaik-baik Bentuk”.

Tulisan kali ini dibuat untuk membantah pembelaan saudara salafi yang nashibi yang dapat dilihat  dalam komentarnya di tulisan saudara Abul Jauzaa itu. Seperti biasa pembelaan yang ngawur bin ajaib itu cukup sebagai bukti sikap keras kepala yang tidak mengherankan muncul dari orang-orang yang ngakunya salafy. Komentar asal-asalan penulis itu dikutip dan dicetak biru.
Pada asalnya, tashhih seorang muhaddits maknanya tashhiih li-dzaatihi. Maknanya, hadits tersebut telah memenuhi persyaratan shahih. Termasuk dalam hal ini persyaratan perawi yang include di dalamnya persyaratan ‘adaalah. Konsekuensinya, para perawi yang menyusun sanad hadits adalah ‘adil menurut penilaian muhaddits tersebut. Kecuali jika disebutkan dari muhaddits tersebut (baik secara langsung atau tidak langsung) bahwa hadits yang ia tashhiih terdapat cacat (baik dari faktor perawi, kebersambungan sanad, atau yang lainnya), maka tashhiih yang ia berikan adalah tashhiih li-ghairihi. Ini kaedah umumnya……
Lucu saudara kita yang nasibi ini, ia terlalu banyak berbicara metode yang tidak ia pahami dengan benar atau sebenarnya ia paham tetapi memang tidak mau mengakui kesalahannya. Kita tidak sedang berbicara kaidah yang umum. Kita membicarakan kredibilitas seorang perawi yang bernama Abdurrahman bin ‘Aaisy. Kalau saudara itu menukil pernyataan Bukhari yang menghasankan hadisnya lalu akan ia kemanakan bukti nyata kalau hadis tersebut mudhtharib yang bahkan diakui oleh Bukhari sendiri. Bisa saja dikatakan penghasanan Bukhari itu bukan penta’dilan kepada Ibnu ‘Aaisy tetapi penguatan Bukhari terhadap hadis tersebut dengan bantuan hadis-hadis lain sama halnya yang Bukhari lakukan terhadap hadis Asbath Al Bashri. Siapa yang menolak kaidah yang saudara sampaikan, pembahasan saya justru menunjukkan kalau kaidah tersebut tidak relevan dijadikan hujjah untuk menta’dil Ibnu ‘Aaisy. Kalau ia bersikeras berpegang pada penshahihan Bukhari, orang lain juga dapat berpegang pada pernyataan Bukhari bahwa hadis Ibnu ‘Aaisy mudhtharib. Anehnya sejak kapan hadis mudhtharib itu menjadi hadis shahih. Atau yang bersangkutan merasa bisa menjungkirbalikkan seenaknya ilmu hadis hanya karena pembelaan yang membabibuta, silakan saja kita tidak peduli dengan itu :)
Dan yang saya sebutkan dalam tulisan saya di atas adalah kaedah umum ini dimana teman Rafidlah kita itu tidak perlu miris terhadapnya. Sama halnya ketika disebutkan tingkatan hadits shahih yang keempat sampai keenam : Hadits yang sesuai persyaratan Al-Bukhari dan Muslim – sesuai persyaratan Al-Bukhari saja – sesuai persyaratan Muslim. Apa makna sesuai persyaratan Al-Bukhari dan/atau Muslim ? Maknanya hadits tersebut diriwayatkan dari jalur para perawi yang terdapat di dua kitab (Shahih l-Bukhari dan Shahih Muslim) atau salah satunya. Ini juga kaedah umum. Apakah kaedah umum ini berlaku secara mutlak ? Tentu saja tidak…. Sebagaimana beberapa kaedah yang ma’ruf dalam ilmu hadits, ushul fiqh, dan fiqh, ada exception2-nya……
Anda tidak perlu berbicara banyak hal seolah menunjukkan kelimuan anda yang seolah pula tahu banyak hal. Hal yang seperti itu cukup dikenal dikalangan mereka para penuntut ilmu. Justru yang jadi masalah adalah orang-orang yang sok berpegang pada kaidah umum untuk membela kekeliruannya padahal tidak ada celah baginya untuk menjadikan kaidah umum tersebut sebagai hujjah.
Ada beberapa hadits – walau ia memakai jalur perawi yang dipakai oleh Al-Bukhari dan/atau Muslim – berkualitas dla’if. Kenapa ? Telah ma’ruf di kalangan ahli hadits bahwa tidak semua perawi dalam Shahihain selamat dari kritik. Diantara mereka dinyatakan jumhur sebagai perawi dla’if. Contohnya,…. Ismaa’iil bin ‘Abdillah bin ‘Abdillah bin Uwais, Qathn bin Nusair, Asbaath bin Nashr, dan lain-lain. Ini mah tidak usah dibahas………. Karena dah ma’ruf.
Aduhai saudara, kalau memang merasa sudah ma’ruf maka tidak ada gunanya saudara memaksakan untuk menta’dil seseorang dari mereka atau yang seperti mereka hanya karena hadis mereka dimasukkan dalam kitab shahih atau dishahihkan oleh ulama tertentu. Yang jadi pokok permasalahan itu adalah kedudukan hadis Ibnu ‘Aaisy. Hadis Ibnu ‘Aaisy ini jelas mudtharib dan tidak ada gunanya penshahihan yang tidak memiliki dasar. Aneh bin ajaib justru penshahihan tidak berdasar itu dijadikan hujjah akan penta’dilan Ibnu ‘Aaisy yang ujungnya nanti dijadikan hujjah untuk menshahikan hadis tersebut. Ini lingkaran setan yang tidak pernah bisa dipahami oleh salafy yang memang tidak mempelajari logika berpikir dengan baik. Ia hanya sibuk dengan kitab-kitab rijal dan perkataan ulama ini itu tanpa menelaahnya dengan kritis.
Oleh karena itu, orang Rafidlah tersebut tidak perlu menolak kaedah umum yang saya sampaikan. Kalau mau menanggapi, seharusnya komentarnya adalah : “itu tidak berlaku mutlak…..” atau : “itu ada perinciannya….”. Ini baru benar…………
Silakan saja membual sesuka hati anda, kapan saya menyatakan menolak kaidah tersebut. Saya pribadi tidak mempermasalahkan kaidah itu, justru andalah yang tidak tahu juntrungannya berhujjah dengan kaidah yang sangat tidak relevan digunakan disini. Apakah anda membaca pembahasan saya panjang lebar soal kekacauan mereka para ulama mengenai hadis Ibnu ‘Aaisy?. Mungkin anda membaca tetapi maaf anda tidak mampu untuk memahaminya.
Orang Rafidlah tersebut menolak ta’dil ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy (yang sebelumnya ia ingin menyanggap kaedah umum yang saya sampaikan), bahwa tashhih Al-Bukhari tidak menunjukkan ta’dil beliau terhadapnya. Ia lalu menyampaikan contoh Asbaath bin Abil-Yasa’ Al-Bashri dan Katsiir bin ‘Abdillah bin ‘Amr. Lah,… yang aneh…. contoh ini justru menjadi hujjah saya atas dirinya, bukan hujjah dirinya terhadap saya. Tentu saja jika dihubungkan dengan apa yang saya tulis di awal. Asbaath dikatakan majhul oleh Abu Haatim dan Ibnu Hajar. Penilaian mereka berdua sebenarnya dilandaskan oleh penilaian Al-Bukhari terhadap Asbaath dalam At-Taariikh Al-Kabiir. Perlu diketahui, kitab At-Taariikh Al-Kabiir merupakan ushul dari kitab Al-Jarh wat-Ta’dil dengan beberapa penambahan.
Saudara yang nasibhi itu ternyata pandai bersilat lidah. Apanya yang  menjadi hujjah dirinya, jika dia memahami maksud saya maka tidak mungkin dia akan berbicara seperti itu. Jelas contoh yang saya sampaikan menunjukkan hujjah bahwa pentashihan Bukhari tidak selalu berarti pernyataan tsiqah Bukhari terhadap perawi tersebut. Perhatikan saja Asbath itu apa Bukhari menyatakan ia tsiqah?.
Dalam kitab taariikh-nya, Al-Bukhariy berdiam diri (tidak memberikan penilaian, baik jarh maupun ta’dil) terhadap Asbaath. Sebagian ahli hadits menilai bahwa diamnya Al-Bukhariy menandakan perawi tersebut adalah majhul (menurut beliau). Sedangkan yang lain (seperti Adz-Dzahabi dalam Al-Muuqidhah) menyatakan sedikit memberikan penekanan dan penajaman, bahwa perawi yang tidak mendapat jarh maupun ta’dil namun dipakai hujjah oleh Al-Bukhariy dan Muslim atau salah satu di antara keduanya dalam Shahih-nya, maka statusnya adalah tsiqah, dan haditsnya qawiy (kuat).
Lihatlah akhirnya saudara nasibhi itu berbicara melebar kemana-mana. Ia berkata sebagian ulama berkata seperti ini, sebagian ulama berkata seperti itu. Entah mau kemana arah pembicaraannya. Saudara ini terlalu sibuk dengan pembelaan tanpa memahami esensi pembicaraan. Anehnya ia malah menuduh kami yang tidak mengerti pembicaraan. Begitulah tabiat orang yang terbiasa menuduh orang lain sehingga lupa memperhatikan keadaan dirinya.
Jadi hadits Asbaath itu qawiy (kuat) lidzaatihi berdasarkan kaedah yang diterangkan Adz-Dzahabiy karena Al-Asbaath ini tsiqah.
Maaf saya sarankan anda tidak perlu banyak berbicara ini itu, anda sok berhujjah dengan kaidah umum dari Adz Dzahabi padahal Adz Dzahabi sendiri baik dalam Al Mizan maupun Al Kasyf tidak pernah menyatakan Asbath tsiqah, sebaliknya Adz Dzahabi mengikuti pernyataan Abu Hatim kalau ia majhul. Kalau memang Adz Dzahabi konsisiten mengikuti metode yang anda sampaikan itu maka tidak ada halangan baginya untuk menyatakan Asbath itu tsiqah. Faktanya itu tidak terjadi, hal ini justru menjadi petunjuk bahwa metode-metode umum itu tidak bisa dijadikan hujjah semaunya.
Atau……ia shahih dengan mutaba’ah dari Muslim bin Ibraahiim jika kita tetap menganggap status Asbaath ini majhul jika kita ingin menetapkan berdasarkan perkataan Ibnu Hajar.
Tidak ada kata “jika” dalam masalah ini, hadis Asbath itu memang shahih dengan mutaba’ah. Nah sebenarnya yang lebih dekat ke pembahasan kita ini adalah apakah dengan penshahihan hadis Asbath itu maka berarti penta’dilan terhadap Asbath atau menghapus status majhulnya. Memang inilah masalah besar bagi para pentaklid dari kalangan salafy, mereka dengan mudah meloncat-loncat dari ulama yang satu ke ulama yang lain asalkan bisa membela kepentingan mahzabnya. Padahal tidak setiap perkataan ulama itu menjadi hujjah.
Contoh kedua yang dibawakan adalah Katsiir bin ‘Abdillah bin ‘Amr. Di situ justru memperjelas permasalahan yang saya sampaikan. Al-Bukhariy mentashhih hadits Katsiir dari ayahnya dari kakeknya. Ia menghasankan riwayat Katsir karena Yahya bin Sa’iid Al-Anshariy – dengan keimaman beliau – telah meriwayatkan hadits darinya. Al-Bukhariy memberikan tashhih hadits Katsiir mengenai waktu yang diharapkan di hari Jum’at karena ia menganggap hadits Katsiir ini hasan dengan alasan yang telah dituliskan.
Alasan apa yang anda maksud, dimana letak alasan Bukhari menghasankan hadis tersebut. Bukankah dari penukilan Tirmidzi itu Bukhari justru mengutip pernyataan dhaif dari Ahmad bin Hanbal dan periwayatan Yahya bin Sa’id. Mana alasan penghasanan Bukhari. Apakah Bukhari menghasankan hadis tersebut karena penta’dilan terhadap Katsir atau karena memang ada hadis lain yang menguatkannya?. Lagipula hal yang lebih utama adalah penghasanan Bukhari ini jelas tidak ada artinya atau tidak bernilai hujjah karena perawi yang dimaksud memang sangat tercela kedudukannya. Kalau memang penghasanan Bukhari tidak bernilai hujjah maka tidak ada gunanya menjadikan penghasanan ini sebagai ta’dil terhadap Katsir bin Abdullah. Apakah harus dijelaskan dengan panjang lebar seperti ini baru anda mengerti. Silakan dibuka sedikit pikirannya biar kebenaran itu bisa masuk pelan-pelan.
Maka tidak ada hubungannya dengan perkataan Ahmad, Ibnu Ma’in, dan jama’ah ahli hadits yang mendla’ifkannya, karena yang saya tekankan di sini adalah tashhih hadits include terhadap tashhih sanadnya . Jelasnya, ketika Al-Bukhari men-tashhih hadits Katsir tentang hari Jum’at itu, maka ia men-ta’dil Katsir.
Lalu apa hubungannya pula sebelumnya anda membawa-bawa keimaman Yahya bin Sa’id. Kalau anda hendak mengatakan Bukhari sekedar taklid kepada Yahya bin Sa’id maka penghasanan tersebut jauh lebih tidak berarti. Jika Yahya menta’dilkan Katsir maka ada banyak Imam lain yang menjarhnya dengan keras. Kalau Bukhari hanya sekedar taklid kepada Yahya maka apalah artinya penghasanan tersebut. Heh bangun dong sampai kapan anda mau membutakan diri dengan pembelaan yang tidak tahu kemana arahnya. Kalau untuk seorang Katsir Bukhari hanya sekedar taklid kepada Yahya padahal banyak Imam yang mencacatnya dengan keras maka baik Bukhari maupun Yahya itu tidak benar penilaiannya. Kalau memang terbukti terdapat alasan yang cukup dalam mencacatkan seorang perawi maka tidak ada artinya penta’dilan dengan dalih penshahihan seorang ulama yang tidak ada dasarnya. Justru penshahihan ulama tersebut mesti ditolak. Nah inilah yang terjadi dengan kasus Ibnu ‘Aaisy, terdapat alasan yang cukup untuk mencacatkan dirinya dimana ia memiliki satu hadis yang mudhtharib sehingga tidak berlebihan untuk dikatakan ia mudhtharib al hadis. Jika memang hadis tersebut terbukti mudhtharib maka tidak ada alasan menerima penshahihan yang tidak berdasar.
Kembali pada ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Ketika Al-Bukhariy men-tashhih haditsnya dari jalur Maalik bin Yakhaamir, dari Mu’aadz bin Jabal secara marfu’; maka ia juga men-tashhih sanadnya dan juga memberikan ta’dil kepada perawinya. Kita ingin tanya kepada teman Rafidlah kita itu : “Ada gak perkataan Al-Bukhariy yang men-jarh ‘ secara jelas pada Abdurrahman bin ‘Aaisy ?”.
Begitulah saudara kita yang nashibi itu tidak dapat mengambil faedah dari pembahasan orang lain. Ia hanya sibuk melakukan pembelaan. Justru yang kita tanyakan pada Bukhari dan dirinya, apa dasarnya menyatakan hadis tersebut shahih?. Nama besar Bukhari tidak membuahkan apa-apa jika memang hujjahnya tidak berdasar. Bukhari adalah manusia yang tidak lepas dari salah, tidak lepas dari taklid dan sebagainya yang membuat penilaian shahihnya ini patut dipertanyakan apalagi hadis tersebut terbukti mudhtharib.
Al-Bukhariy hanya mengatakan bahwa ‘Abdurrahman ini hanya mempunyai satu hadits dimana para ulama menganggap haditsnya tersebut mudltharib. Tentu saja lain jika Al-Bukhari mengatakan : “mudltharibul-hadiits”. Tapi di sini tidak… Ini bukan jarh.
Ternyata semakin lama saudara kita yang nasibhi ini semakin ngawur saja. Jadi jika Ibnu ‘Aaisy hanya punya satu hadis dan hadis tersebut mudhtharib maka itu bukan jarh. Kalau anda mengakui pernyataan Bukhari itu maka saya kembalikan kepada anda, bukankah hadis Ibnu ‘Aaisy itu mudhtharib, nah sejak kapan hadis mudhtharib itu bisa dikatakan shahih. Pernyataan anda bahwa itu bukan jarh adalah hal paling menggelikan dari sekian banyak keanehan anda. Kita ganti sedikit bahasanya. Kalau seorang perawi dikatakan hanya punya satu hadis dan hadis tersebut munkar, maka apakah itu bukan jarh?. Apakah “lahu manakiir” itu bukan pernyataan jarh?. Cukup cukup, semakin terlihat kualitas anda :(
Sebab, seorang yang tsiqah juga bisa mempunyai hadits mudltharib. Contohnya banyak…. Lantas, apa itu sangat musykil bagi teman Rafidliy kita ini jika tashhih beliau dibawa kepada tashhih sanad – sesuai keumuman kaedah – ?
Halah tidak hanya orang tsiqah kalee, orang dhaif, majhul bahkan pendustapun bisa mengalami mudhtharib. Tidak ada korelasi linier bahwa mudhtharib harus bersesuaian dengan pentsiqahan. Terus saja bicara yang umum, hal yang membuat anda semakin jauh dari kebenaran
Lantas bagaimana dengan perkataan Abu Zur’ah bahwa ia tidak dikenal (laisa bi-ma’ruuf). Ini memang kalimat jarh, namun sifatnya muqayyad. Jika ada seorang ulama/muhaddits yang diakui memberikan ta’dil kepadanya atau menegaskan bahwa ia seorang yang ma’ruf, maka sifat tidak dikenal (majhul) ini hilang, karena orang yang mengetahui menjadi hujjah bagi orang yang tidak mengetahui. Dan ini telah diisyaratkan terhadap tashhih Al-Bukhariy.
Tidakkah saudara itu memahami bahwa justru perkataan Abu Zur’ah disini lebih mendekati kebenaran. Ibnu ‘Aaisy itu keberadaannya hanya dikenal melalui satu hadis ini saja. Padahal satu hadis ini terbukti mudhtharib, ini sudah menjadi hujjah yang cukup untuk menguatkan pernyataan Abu Zur’ah dan menyatakan kalau penshahihan terhadap hadis ini keliru. Bahkan kita dapat bertanya kepada mereka yang menshahihkan hadis ini, apa dasarnya menyatakan hadis ini shahih?.
Juga dengan tashhih Ahmad bin Hanbal. Tidak ternukil sama sekali ia men-jarh ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Bahkan ada dua riwayat darinya yang men-tashhih riwayat ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Pertama, dalam Tahdziibul-Kamaal (17/203) : “Abu Zur’ah Ad-Dimasyqiy juga berkata : ‘Aku berkata kepada Ahmad bin Hanbal : ‘Sesungguhnya Ibnu Jaabir telah menceritakan sebuah hadits dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Aku telah melihat Rabb-ku dalam sebaik-baik bentuk’. Qatadah juga menceritakan hadits tersebut dari Abu Qilaabah, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas; mana di antara keduanya yang lebih engkau cintai ?’. Ahmad menjawab : ‘Hadits Qatadah itu tidak ada apa-apanya. Dan perkataan (yang dianggap/shahih) di sini adalah yang dikatakan Ibnu Jaabir” [selesai]. Kedua, dalam Tahdziibul-Kamaal (17/206) : “Diriwayatkan oleh Abu Ahmad bin ‘Adiy, dari Al-Fadhl bin Hubaab, dari Al-Khuzaa’iy, kemudian ia berkata : Hadits ini mempunyai beberapa jalan. Dan aku melihat bahwa Ahmad bin Hanbal menshahihkan riwayat yang dibawakan oleh Musaa bin Khalaf, dari Yahyaa bin Abi Katsiir. Ia (Ahmad) berkata : ‘Hadits ini adalah yang paling shahih”[selesai].
Walaupun telah ditunjukkan kekeliruannya, saudara nashibi itu tetap tidak mau memperhatikan. Ahmad bin Hanbal tidak memberi tautsiq kepada Ibnu ‘Aaisy. Jika memang Ahmad menshahihkan hadis tersebut maka yang ia lakukan pada dasarnya sama seperti Ibnu Hibban yaitu merasa-rasa bahwa Ibnu ‘Aaisy itu sahabat. Dan sahabat memang sesuai kaidah kontroversial ilmu hadis[yang saya yakin diyakini oleh Ahmad bin Hanbal] selalu tsiqah. Nah kalau memang penulis itu mengakui Ibnu ‘Aaisy bukan sahabat maka tidak ada gunanya ia mengambil hujjah dengan ta’dil Ahmad. Lihat saja hadis yang katanya dishahihkan oleh Ahmad itu adalah hadis Ibnu ‘Aaisy dari Rasulullah SAW. Betapa lucunya cara ia berhujjah
Teman kita ini merasa aneh dengan perbedaan hadits yang di-tashhih antara Al-Bukhariy dan Ahmad (ia hanya memandang satu perkataan Ahmad saja). Saya juga bingung, apa yang dianehkan ? aneh-aneh saja……….. Tidak ada masalah jika ada perbedaan tashhih antara Al-Bukhariy dengan Ahmad, karena yang sedang kita perbincangkan adalah sisi ta’dil atas ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy.
Maaf saja, sudah berulang kali anda menunjukkan sikap selalu menganggap normal hal-hal aneh yang ada pada diri anda. Yah mana ada maling ngaku maling. Cukuplah anda lihat dengan baik apa yang sudah saya sebutkan. Penshahihan Bukhari tidak ada artinya apalagi anda gabungkan dengan penshahihan Ahmad yang justru menentang Bukhari. Penshahihan Ahmad berdasar pada anggapannya kalau Ibnu ‘Aaisy itu sahabat[kalau Ahmad tidak menganggap Ibnu ‘Aaisy sahabat pasti ia mengatakan hadis itu mursal], hal yang bahkan ditolak oleh Bukhari. Kalau anda merasa tidak aneh maka itu adalah hal yang biasa muncul dari diri anda.
Kelihatannya, teman Rafidlah kita tidak memahami esensi yang dibicarakan.
Ta’dil terhadap ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy ini dikuatkan lagi oleh beberapa faktor (sebagian telah saya sebutkan) :
Keadaan yang sebenarnya adala saudara nashibi itu tidak memahami esensi yang dibicarakan, ia berbicara panjang lebar tak tentu arah, berhujjah dengan hujjah yang justru untuk membahasnya maka pembahasan kita pun jadi meluas kemana-mana. Lihatlah bahkan sekarang ia menambahkan faktor yang mengada-ada hanya untuk melakukan pembelaan membabi buta.
1. Ibnu Hibban telah mencantumkannya dalam Ats-Tsiqaat —- ingat, saya tidak sedang bergantung semata-mata dari tautsiq Ibnu Hibban, namun ini merupakan penguat dari qarinah2 yang ada.
Kira-kira orang seperti apa yang jika telah ditunjukkan kalau ia terbukti keliru ia tetap keras kepala dengan pendiriannya. Kita telah tunjukkan bahwa Ibnu Hibban menganggap Ibnu ‘Aaisy seorang sahabat maka dari itu Ibnu Hibban pasti memasukkannya kedalam Ats Tsiqat. Ibnu Hibban jelas beranggapan semua sahabat itu tsiqah makanya ia memasukkan Ibnu ‘Aaisy dalam kitabnya Ats Tsiqat. Sedangkan saudara nashibi kita ini telah mengakui kalau Ibnu Aaisy bukan sahabat so tidak ada celah baginya berhujjah dengan Ats Tsiqat-nya Ibnu Hibban.
2. Walaupun pendapat yang kuat adalah pendapat yang mengatakan ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy bukan termasuk shahabat, namun dengan dimasukkannya ia oleh sebagian muhaddits dalam thabaqah shahabat, maka ini petunjuk akan ke-‘adalah-annya.
Kuat berdasarkan apa?. Kalau berdasarkan hadisnya mudhtharib maka benar ia bukan sahabat dan hadis penyimakan itu tergolong mudhtharib. Tetapi kalau berdasarkan perkataan ulama semisal Bukhari dan sebagainya maka jawaban Ibnu Hajar dalam Al Ishabah jauh bernilai dan lebih kuat dibanding mereka. Lha jelas sekali bagi mereka yang beranggapan Ibnu ‘Aaisy sahabat maka ia adalah tsiqah karena sahabat itu kan katanya semuanya adil dan tsiqah. Terus kalau saudara kita ini, bukankah dia mengatakan Ibnu ‘Aaisy bukan sahabat lantas dari mana dasarnya mau mengatakan tsiqah. Pahami dulu bantahan orang lain sebelum balas membantah :mrgreen:
[adapun pertanyaan teman Rafidlah kita : “Mengapa saya berpegang pada tautsiq Ibnu Hibban, namun tidak berpegang pada perkataannya bahwa Ibnu ‘Aaisy bukan seorang shahabat; maka saya jawab : Jelas beda antara tautsiq dengan thabaqah perawi, tidak ada korelasi linear antara keduanya. Ia menyangka jika kita melemahkan pendapat seorang muhaddits tentang peletakan thabaqah perawi (apakah ia shahabat, tabi’iin, atau tabi’ut-taabi’iin), juga harus berkonsekuensi melemahkan jarh dan ta’dil yang diberikan muhaddits tersebut kepadanya. Pemahaman macam apa ini ya ?....].
Ho ho ini bukti nyata kalau saudara nashibi itu terbiasa berhujjah dengan hal umum tak tentu arah. Perhatikan wahai pembaca memang beda antara tautsiq dan thabaqah perawi tetapi ini berlaku untuk selain sahabat karena sahabat itu dalam kaidah ilmu hadis adalah adil dan tsiqah. Tidak ada itu yang namanya sahabat dhaif bagi salafy. Kita bisa tanyakan pada penulis itu jika memang ada sahabat dhaif menurutnya. Jadi jika seorang ulama menetapkan atau meyakini seseorang sebagai sahabat maka orang itu pasti akan dikelompokkan atau dimasukkan dalam kitab yang memuat perawi tsiqah. Inilah yang dilakukan Ibnu Hibban, ketika ia memasukkan Ibnu ‘Aaisy dalam kitabnya Ats Tsiqat itu dengan alasan menurutnya Ibnu ‘Aaisy adalah sahabat Nabi. Saudara itu sok berkata keheranan “pemahaman macam apa ini” padahal betapa menyedihkan orang yang tidak mampu memahami hal mudah seperti ini. Sahabat sekali lagi tidak melewati mekanisme jarh wat ta’dil mereka berdasarkan kesepakatan ulama adalah tsiqah dan adil. Jadi thabaqah sahabat adalah thabaqah yang tsiqah menurut ilmu hadis.
3. Tiga perawi tsiqah meriwayatkan darinya.
Pernyataan ini pun tidak ada gunanya. Kita dapat mengatakan bahwa tiga perawi tsiqah telah meriwayatkan hadis darinya dimana jika kita melihat hadis yang dimaksud itu maka diketahui bahwa hadis Ibnu ‘Aaisy itu mudhtharib maka tidak ada gunanya pernyataan tiga perawi tsiqah meriwayatkan darinya.
4. Satu lagi saya tambah : Umumnya, penghukuman idlthirab pada satu hadits oleh muhadditsiin dimaksudkan terjadi pada perawi tsiqah (atau minimal shaduuq). Bahkan sebagian ulama yang mengkhususkan pembicaraan mudltharib ini hanya pada perawi-perawi tsiqaat (lihat Al-Jawaahirus-Sulaimaniyyah Syarh Al-Mandhumah Al-Baiquniyyah hal. 337). Karena jika idlthiraab ini terjadi atau berporos pada perawi dla’iif, maka ia sudah gugur dari segi asalnya dan ta’arudl atau perselisihan sanad setelah rawi tersebut tidak dianggap.
Hujjah macam apa ini, kita tak perlu memperhatikan pernyataannya dengan kaidah umum yang justru memperluas pembahasan ini kemana-mana. Jika ia mengatakan “sebagian ulama” maka “sebagian lain” juga berkata lain. Bahkan Syaikh Al Albani sendiri mengakui kalau idhthirab bisa terjadi pada perawi dhaif [lihat Shahih Shifat Shalat An Naby] dan memang begitulah faktanya. Idhthirab bisa terjadi baik pada perawi tsiqah, dhaif, atau majhul.
Beberapa qarinah ini semua menunjukkan akan ke-‘adalah-an ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Dan ‘adalah itu tidak hanya diketahui dari tashrih ta’dil atau pujian yang diberikan oleh muhadditsiin pada seorang perawi. Ada banyak jalan/cara untuk mengetahui sifat ‘adl (ta’dil muhadditsiin) pada seorang perawi [bisa lihat selengkapnya dalam Al-Hadiitsush-Shahih wa Manhajul-‘Ulamaa’il-Muslimiin fit-Tashhih hal. 95-98 dan Al-Jawaahirus-Sulaimaniyyah Syarh Al-Mandhumah Al-Baiquniyyah hal. 55-60 – padanya ada beberapa jalan/cara, adayang maqbul, ada pula yang mardud].
Silakan dilihat, qarinah-qarinah tersebut hanya akan dipercaya oleh mereka yang memang awam dan tidak tahu menahu soal ini tetapi bagi mereka yang mempelajarinya dengan kritis akan terlihat betapa rapuhnya qarinah-qarinah yang ia pakai.
Ada yang lucu dari komentar teman Rafidlah kita ini. Ia mengatakan bahwa saya dengan seenaknya mengatakan bahwa hadits ‘Ibnu ‘Aaisy dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ini mursal. He….he… sungguh lucu bin aneh pernyataan ini. Ia sendiri dalam tulisannya terdahulu mengatakan bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy ini bukan seorang shahabat. Kali saja ia lupa dengan perkataannya :
“oleh karena itu hadits dengan sima’ langsung Ibnu Aaisy dari Rasul SAW itu memang keliru”.
“Pendapat yang benar mengenainya adalah dia bukanlah sahabat Nabi……”.
Lah, …. kalau saya tanya padanya : “Dari mana Anda menyimpulkannya ?”. Jawaban Anda sekaligus jawaban bagi saya (sebenarnya ia melakukan tarjih dari pendapat para imam, namun sayangnya gak nyadar). Makanya sangat aneh statementnya pada saya ini… Jika ia sendiri mengatakan bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy bukan shahabat, tentu saja konsekuensi dari hadits yang ia bawakan dihukumi mursal. ‘Abdurrahman telah menggugurkan perawi antara dia dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.…………
Saudara nashibi ini sok mau memakai logika atau sok mau menyalahkan orang padahal ia tidak memahami posisi orang lain. Jika ia mau dengan benar memahami posisi saya maka penolakan saya akan status sahabat Ibnu ‘Aaisy tidak hanya bersandar pada keterangan ulama tetapi statusnya yang majhul dan hadisnya mudhtharib [disinilah hujjah utama saya]. Sedangkan ia sendiri adalah orang yang justru mengatakan Ibnu ‘Aaisy tsiqah dan menolak kalau hadisnya mudhtharib. Maka tidak ada dasar baginya untuk menilai hadis Ibnu ‘Aaisy itu mursal. Halo tolong dibuka sedikit dong pikirannya agar bisa memahami hujjah orang lain. Begitulah ia, memahami hujjah orang lain dengan benar saja ia tidak mampu apalagi mau membahas dengan kritis. Silakan pembaca lihat tulisan saya yang membahas kedudukan Abdurrahman bin ‘Aaisy Al Hadhrami, disitu dengan jelas saya menunjukkan bahwa Ibnu ‘Aaisy hadisnya mudhtarib dan ia sendiri tidak dikenal kredibilitasnya maka dari itu saya menolak kalau ia dikatakan sahabat. Sungguh menyedihkan saudara nashibi itu, apakah ia begitu bodoh sehingga sulit memahami tulisan orang lain? atau ia sengaja membodoh-bodohi orang awam agar terpengaruh dengan perkataannya?. Ataukah ia sengaja berdusta untuk melemahkan lawan bicaranya?. Kalau anda penulis tidak mampu menjawab maka cukuplah diam saja dan jangan menjadi orang yang menyedihkan.
Jika telah diketahui bahwa hadits ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy itu mursal – jika ada riwayat yang menyambungnya (maushul) – maka ia dibawa kepada yang maushul. Riwayat mursal ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy tersebut adalah : Dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aayisy secara marfu’. Adapun riwayat maushul itu yang menyambung sanad Ibnu ‘Aaisy adalah : Dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari sebagian/seorang laki-laki dari shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’.
Gak ada alasannya ia mau menyatakan hadis itu mursal kalau ia mengakui Ibnu ‘Aaisy itu tsiqah. Hadis penyimakan Ibnu ‘Aaisy dari Rasulullah SAW adalah kesaksian Ibnu ‘Aaisy dan jika saudara itu mengakui ia tsiqah maka tidak ada alasan untuk menolak kesaksiannya. Seperti yang saya katakan jika Ibnu ‘Aaisy itu tsiqah maka pernyataannya bahwa ia mendengar dari Rasulullah SAW adalah bukti kalau ia sahabat. Nah kalau ia sahabat maka kesaksiannya jauh lebih berarti dari para ulama yang anda jadikan hujjah. Aneh ya kekacauan seperti ini tidak dimengerti oleh anda. Lucunya ulama panutan anda Bukhari itu meragukan hadis penyimakan Ibnu ‘Aaisy dengan mengisyaratkan kalau itu kesalahan Walid padahal Walid telah dikuatkan dengan yang lain dan ini sebagai bukti kalau riwayat Walid itu memang terjaga. Bukankah ini adalah petunjuk kalau pernyataan Bukhari itu bisa salah dan begitu pula dengan penshahihannya, ya bisa salah juga.
Terakhir, apakah perawi tsiqah bisa meriwayatkan hadits mursal ? Maka jawabnya adalah bisa, banyak contohnya. Pun, jika perawi tersebut menggunakan lafadh tahdits, walaupun kasus ini bisa dibilang sangat sedikit. Ini diakibatkan oleh kekeliruan sebagian perawinya. Contohnya :
Telah menceritakan kepada kami Nashr bin ‘Aliy : Telah menceritakan kepadaku ayahku : telah menceritakan kepadaku Syu’bah, dari Abu Bisyr (ia berkata) : Aku mendengar Mujaahid menceritakan hadits dari Ibnu ‘Umar, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengenai tasyahud (dalam shalat) : …..(al-hadits)….
Hadits ini ada dalam Sunan Abi Dawud no. 971. Hadits ini rijalnya adalah rijal Ash-Shahiih, Ad-Daaruquthniy (1/351) mengatakan : “Sanad hadits ini shahih”. Namun dalam Tahdziibut-Tahdziib, Imam Ahmad berkata : “Syu’bah mendla’ifkan hadits Abu Bisyr dari Mujaahid, ia berkata : “Ia tidak mendengar apapun darinya”. Asy-Syaikh Muqbil berkata : “Adapun tashrih dengan sima’ dari Mujaahid, maka hal itu kemungkinan berasal dari kekeliruan Abu Bisyr atau selainnya. Wallaahu a’lam” [lihat Al-Ahaaditsul-Mu’allah Dhaahiruhash-Shihah hal. 240].
Silakan saja anda menampilkan hadis-hadis seperti itu. Satu hal yang harus anda ingat dalam berhujjah dengan perkataan ulama adalah apa dasarnya ulama tersebut mengatakan seperti itu. Mari kita anggap Syu’bah dalam hal ini benar, saya katakan pernyataannya memang patut diperhatikan karena Syu’bah sendiri mengenal bertemu dan berguru kepada Abu Bisyr. Dalam hal ini Syu’bah punya kapabilitas untuk mengetahui keadaan sebenarnya Abu Bisyr. Lain ceritanya dengan hadis Ibnu ‘Aaisy di atas. Mereka yang menolak status sahabat Ibnu ‘Aaisy atau menolak penyimakan Ibnu ‘Aaisy dari Rasulullah SAW adalah para ulama yang terpisah jauh darinya dalam arti mereka tidak bertemu atau mengenal Ibnu ‘Aaisy. Alasan penolakan mereka hanya berdasarkan penolakan mereka terhadap hadis penyimakan langsung Ibnu ‘Aaisy dari Rasulullah SAW dan adanya hadis dimana Ibnu ‘Aaisy meriwayatkan dengan perantara. Oleh karena itu terdapat ulama yang mengingkari mereka ini seperti Ibnu Hajar yang dengan jelas menyatakan Ibnu ‘Aaisy sahabat setelah mengumpulkan berbagai riwayat penyimakan Ibnu ‘Aaisy dari Rasulullah SAW dan riwayat tersebut pada kenyataannya bukanlah kesalahan Walid seperti yang dikatakan Ibnu Khuzaimah dan Al Bukhari.

Kemudian mari kita anggap Syu’bah dalam hal ini keliru maka memang terdapat alasan untuk menyatakan ia keliru. Satu-satunya kesaksian bahwa Abu Bisyr tidak mendengar dari Mujahid berasal dari Syu’bah sendiri sedangkan kesaksian Abu Bisyr mendengar dari Mujahid berasal dari kesaksian Abu Bisyr sendiri. Mereka berdua sama-sama tsiqat tetapi Abu Bisyr jelas lebih mengetahui keadaan dirinya dibanding orang lain. Oleh karena itu pernyataan syu’bah tidaklah mutlak.
  • Secara tarikh, Abu Bisyr memang sezaman dan memungkinkan bertemu dengan mujahid
  • Berdasarkan kesaksian Abu Bisyr sendiri dan dia tsiqah maka ia mengatakan dengan jelas telah mendengar dari Mujahid.
Jika pernyataan Abu Bisyr mendengar langsung dari Mujahid dikatakan salah maka ada dua kemungkinan
  • Kesalahan tersebut berasal dari Abu Bisyr, hal ini musykil karena Abu Bisyr dengan jelas menyatakan ia mendengar langsung. Menyatakan kesalahan padanya sama halnya dengan menuduh ia berdusta.
  • Kesalahan tersebut berasal dari yang meriwayatkan dari Abu Bisyr yaitu Syu’bah. Kalau memang ia salah maka pernyataan Syu’bah disini jelas-jelas kontradiksi, di saat lain ia mengatakan Abu Bisyr mendengar dari Mujahid di saat lain ia mengatakan Abu Bisyr tidak mendengar dari Mujahid. Kalau memang Syu’bah yang salah, lantas kesaksian mana yang salah.
Hadis Abu Bisyr dari Mujahid tidak hanya dishahihkan oleh Daruquthni tetapi Bukhari juga telah memasukkan hadis Abu Bisyr dari Mujahid dalam kitab Shahih-nya [hadis no 2095, no 4056 dan no 4656]. Mungkin saja Abu Bisyr mendengar dari Mujahid dan pernyataan Syu’bah itu bisa dijamak dalam arti Syu’bah awalnya tidak mengetahui kalau Abu Bisyr mendengar hadis dari Mujahid tetapi setelah ia mengetahui Abu Bisyr mendengar dari Mujahid maka ia mengakuinya dan meriwayatkan hadis tersebut. Tentu saja ini sebuah kemungkinan tetapi kami tidak akan memusingkan hal itu.

Kembali kepada hadis Ibnu ‘Aaisy jika saudara nashibi itu mau menolak hadis penyimakan langsung Ibnu ‘Aaisy dari Rasulullah SAW maka apa dasarnya?. Kalau main asal comot perkataan ulama tanpa menelaahnya maka kita pun dapat main comot ulama yang menyalahkannya. Bahkan pernyataan Ibnu Hajar mengenai status sahabat Ibnu ‘Aaisy jauh lebih bernilai dibanding pernyataan ulama yang menyelisihinya seperti Bukhari dan Ibnu Khuzaimah. Walaupun menurut kami Ibnu Hajar tetap keliru karena tidak memperhatikan bahwa hadis tersebut mudhtharib.
Teman Rafidliy kita tetap berpendapat bahwa hadits ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy itu idlthirab. Telah saya sebutkan ada dua riwayat yang tersisa yang berputar/berporos pada ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy :
(1) Dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari sebagian/seorang laki-laki dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’.
(2) Dari Abu Salaam (Zaid bin Salaam bin Abi Salaam), dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy Al-Hadlramiy, dari Maalik bin Yakhaamir, dari Mu’adz bin Jabal secara marfuu’.
Memang saudara nashibi itu tidak bisa memahami hujjah orang lain dengan benar. Ia masih saja keras kepala dengan pernyataannya. Hadis tersebut tidak hanya seperti yang ia katakan, masih ada satu lagi hadis Ibnu ‘Aaisy yaitu dimana ia menyatakan mendengar langsung dari Rasulullah SAW. Kedudukan hadis tersebut tidak berbeda dengan kedua hadis ini. Mereka yang menolak hadis ini seperti Al Bukhari dan Ibnu Khuzaimah tidak memiliki hujjah apapun bahkan mereka terbukti keliru sebagaimana yang dikatakan Ibnu Hajar bahwa riwayat penyimakan Ibnu ‘Aaisy langsung dari Rasulullah SAW tidak hanya diriwayatkan Walid tetapi juga oleh yang lainnya sehingga riwayat tersebut memang terjaga dan tidak bisa ditolak begitu saja. Jadi riwayat tersebut harus dimasukkan dalam pembahasan idhtirab hadis tersebut bukan seperti yang dikatakan saudara nashibi itu.
Untuk nomor 1, teman Rafidlah kita tetap memecahnya menjadi dua untuk lebih mengesankan ke-idlthirab-annya sesuai dengan yang ia inginkan, yaitu :
a. Dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari sebagian (ba’dlu) shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’.
b. Dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari seorang laki-laki dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’.
Jangan melucu bung, hadis tersebut pada kenyataannya memang diriwayatkan dengan dua bentuk seperti itu. Anda mau menggabungkan ya silakan, tapi saya tetap menjadikannya seperti yang tertera dan diriwayatkan di dalam kitab hadis. Kami tidak perlu mengesankan apapun. Bagi mereka yang tahu apa itu idhthirab akan tahu dengan jelas bahwa hadis tersebut memang idhthirab dan kami tidak perlu meminta penerimaan anda akan hal ini. Kebenaran itu cukup jelas
Dua riwayat di atas masing-masing berasal dari Khaalid bin Al-Lajlaaj. Dalam setiap bahasan hadits mudltharib disebutkan bahwa satu hadits tidak dikatakan mudltharib jika ia bisa ditarjih atau dijamak. Di sini jamak bisa dilakukan. Di atas saya telah menuliskan bahwa tidak ada pertentangan antara sebagian shahabat dengan seorang laki-laki dari kalangan shahabat. Lafadh seorang laki-laki dari kalangan shahabat termasuk bagian dari sebagian shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dalam ilmu ushul, itu termasuk bagian lafadh ‘aam dan lafadh khaash. Antara yang khaash dan ‘aam bukan merupakan bagian kontradiksi, sehingga tidak mengharuskan adanya idlthirab satu dengan lainnya.
Tidak masalah, idhthirabnya itu tidak hanya bersandar pada kedua riwayat ini saja. Kedua riwayat lain yaitu periwayatan langsung dari Rasulullah SAW dan periwayatannya dari tabiin adalah bukti nyata bahwa hadis tersebut idhthirab.
Saya ulangi : Sanad ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy hanya ada dua, yaitu :
(1) Dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari sebagian/seorang laki-laki dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’.
(2) Dari Abu Salaam (Zaid bin Salaam bin Abi Salaam), dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy Al-Hadlramiy, dari Maalik bin Yakhaamir, dari Mu’adz bin Jabal secara marfuu’.
Ho ho ho pengulangannya hanya menunjukkan segitu putus asanya saudara kita ini dalam berhujjah. Ia benar-benar tidak mau memasukkan hadis penyimakan langsung Ibnu ‘Aaisy dari Rasulullah karena hal itu sangat memberatkannya maka dari itu yang bisa ia lakukan hanyalah pengulangan dengan penuh putus asa.
Hadits di atas tampak oleh kita bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy menerima riwayat dari orang yang berbeda dan menyampaikannya kepada orang yang berbeda pula. Setelah menukil kalimat saya ini, teman Rafidlah kita itu berkata :
“Sungguh lucu kalimat ini. Jika syarat mudltharib adalah perawi sebelum dan sesudah Abdurrahman harus sama, maka sudah jelas ia bukan mudltharib, tetapi satu sanad yang utuh dan tsabit”.
Halo….halo….. dalam kalimat mana saya mengatakan syarat mudltharib adalah perawi sebelum dan sesudah Abdurrahman harus sama ya ? Saya baca ulang tulisan saya di atas gak ada tuh kalimat yang dimaksud…. baik secara lafadh ataupun makna. Itu hanya karangan teman Rafidlah kita saja untuk membuat opini menguatkan pendapatnya yang salah.
Aneh sekali saudara nashibi itu, ia lebih sibuk dengan persepsinya sendiri soal penggunaan bahasa yang menurutnya tidak tepat. Kapan pula saya menuduhnya?. Lihat saya sudah cukup berhati-hati dengan menggunakan kata “jika” jadi jangan sok sensi amat. Pada esensinya anda itu sudah jelas ngawur sok mengatakan pendapat orang lain salah padahal pendapatnya sendiri sebenarnya yang salah. Main salah-salahan semua orang bisa, mempengaruhi orang dengan kata-kata sok ilmiah atau mentertawakan juga semua orang bisa. Bagi pembaca silakan cukup memperhatikan hujjah dan dasar baik saya ataupun dia dan silakan nilai dengan adil.
Saya mengatakan hal di atas sebagai qarinah saja (bukan syarat). Tidak lain karena hal itu sangat memungkinkan. Apalagi hadits itu sendiri sangat memungkinkan diriwayatkan dari banyak jalan sanad (bukan dengan sanad tunggal). Bukankah hadits tersebut diucapkan oleh kesaksian para shahabat saat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di masjid ? Maka, bukan hal yang aneh jika ada beberapa shahabat meriwayatkan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan kemudian beberapa diantaranya diriwayatkan melalui jalur ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy ini, ia sampaikan kepada Khaalid bin Al-Lajlaaj dan Abu Salaam pada waktu yang berbeda.
Jelas-jelas dia sebelumnya berkata Dua riwayat ini tidak mudltharib – walau berporos pada ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy – karena perawi sebelum dan setelah ‘Abdurrahman berbeda”. Dia justru menjadikan hal itu sebagai sebab bahwa riwayat tersebut tidak mudhtharib. Kita tanyakan pada pemilik kalimat ini, apa buktinya hadis tersebut diriwayatkan oleh para sahabat. Kita telah membuktikan bahwa tidak ada satu sanadpun yang tsabit bahkan dari satu orang sahabatpun. Kalau Cuma mau berdasarkan kesaksian Ibnu ‘Aaisy ya balik lagi ke awal hadisnya itu dhaif karena mudhtharib dan dia sendiri tidak dikenal.
Sebenarnya contoh yang saya berikan dari riwayat Az-Zuhri dalam Shahih Muslim cukup untuk membuat perbandingan dalam hal ini. Namun sayangnya – sebagaimana kebiasaannya – teman Rafidlah kita ini membuat ta’wil2 yang cukup mengherankan….. (bisa banyak komentar diberikan, tapi gak usahlah…hemat kata).
Silakan para pembaca perhatikan, tidak ada ta’wil apapun yang saya buat. Saya mengomentari hadis Zuhri yang ia bawa itu dengan seobjektif mungkin. Saya katakan bahwa hadis Zuhri tidak ada nilai idhthirabnya dan kedudukannya jauh berbeda dengan hadis Ibnu ‘Aaisy. Bahkan saya menyindir saudara nashibi itu ketika membahas idhthirab Simmak dari Ikrimah. Cara ulama menetapkan hadis Simmak dari Ikrimah idhthirab benar-benar sama persis dengan hadis Ibnu ‘Aaisy dan itu adalah bukti nyata kalau hadis Ibnu ‘Aaisy tersebut idhthirab. Hal ini yang tidak digubris oleh saudara itu yah mungkin karena ia malu mengakui kalau dirinya keliru.
Saya pikir cukup pembicaraan tentang idlthirab ini, karena sudah jelas. Intinya mah, saya sangat tidak sependapat dengan perkataan teman Raafidliy kita ini. Saya tidak mengingkari keberadaan sebagian ulama yang mendla’ifkan hadits Ru’yah yang dibawakan oleh Ibnu ‘Aaisy ini dengan alasan adanya idlthiraab, sama seperti alasan yang disampaikan teman Rafidlah kita.
Hujjah yang saya sampaikan juga sudah cukup. Pendhaifan tersebut memang berdasar justru penshahihan hadis tersebut yang terkesan asal-asalan. Saya pribadi jelas sangat tidak sependapat dengan saudara nashibi itu. Saya tidak mengingkari keberadaan ulama yang menshahihkan hadis Ibnu ‘Aaisy, yang saya ingkari justru penshahihan mereka karena penshahihan mereka itu tidak berdasar.
Kalaupun misal sanad hadits ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy ini dihukumi idlthiraab, maka ia tetap bisa dijadikan i’tibar, karena hal itu hanya menunjukkan kurangnya sifat dlabth dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Dua jalur sanad yang ia bawakan tetap bersanad dla’if. Tidak dapat dipastikan mana di antara dua sanad tersebut yang mahfudh (shahih). Bersamaan dengan itu, matan haditsnya hanya satu. Jika ada hadits lain yang menguatkan, maka hadits ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy secara keseluruhan bisa terangkat dari ke-dla’if-an (akibat idlthirab sanad) menjadi hasan atau shahih.
Ini adalah hujjah terakhirnya yang bisa ia lakukan. Kami katakan hadis tersebut tidak dapat dijadikan I’tibar bahkan dengan mengumpulkan hadis-hadis tersebut kita dapati bahwa hadis tersebut mudhtharib dan munqathi’ kecuali hadis Simmak yang dhaif. Sekali lagi saya meminta perhatian pembaca untuk melihat hadis-hadis tersebut. Yang menjadi keyakinan salafy itu adalah Allah SWT bisa dilihat di dalam mimpi dan Nabi SAW telah melihat Allah SWT didalam mimpi dalam sebaik-baik bentuk. Sedangkan hadis yang menyebutkan soal mimpi hanya bersandar pada hadis Ibnu ‘Aaisy dan Ibnu Abbas yang mudhtharib dan munqathi’. Jadi tidak bisa dijadikan hujjah.
Terus terang saya senyum2 geli melihat defense berlebihan yang dilakukan oleh teman Rafidlah kita ini dalam menutupi kekurangpengetahuannya. Dalam ucapannya terdahulu ia mengkritik Syaikh Al-Albani yang dianggapnya tidak konsisten ketika menjadikan riwayat Khaalid bin Al-Lajlaaj sebagai hujjah. Katanya, Syaikh Al-Albani biasanya tidak menghiraukan tautsiq yang hanya diberikan oleh Ibnu Hibban.
Anda mau senyum loncat-loncat juga nggak penting. Saya saja geli melihat pembelaan saudara yang naïf. Kenyataannya Syaikh Al Albani memang tidak menghiraukan tautsiq Ibnu Hibban terhadap seorang perawi. Dalam Silsilah Adh Dhaaifah banyak sekali contoh-contoh tentang itu.
Telah saya sanggah perkataan orang ini bahwa sikap beliau menggunakan riwayat Khaalid bin Al-Lajlaaj adalah sesuai dengan metode/manhaj yang telah ia terangkan sendiri. Makanya, sangat keliru jika teman Rafidlah kita ini ‘menyalahkan’ Syaikh Al-Albani, karena justru di sini beliau menunjukkan kesesuaiannya dengan manhaj beliau yang telah diterangkan dalam Tamaamul-Minnah. Ya,… berhubung ia tidak tahu metode yang diterangkan Syaikh Al-Albani, yang sesuai pun dianggap gak konsisten. He…he…he…
Telah saya sanggah pula apa yang ia katakan sebagai metode Syaikh Al Albani karena pada dasarnya konsisten atau tidak seorang ulama itu dilihat dari implementasinya ketika ia menilai suatu hadis. Bukannya seperti dirinya yang dengan sok membawakan hujjah Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minah. Seorang ulama boleh saja berkata metode saya begini, metode saya begitu, tetapi pada kenyataannya yang kita lihat adalah implementasinya ketika ia menilai hadis-hadis. Dalam Silsilah Ahadits Ad Dhaaifah banyak keterangan kalau Syaikh memang menyatakan majhul hal kepada para perawi yang hanya mendapatkan tautsiq dari Ibnu Hibban walaupun telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqat.
Dan anehnya, kok tiba-tiba karena ingin membela diri – malu ngaku keliru – dengan menampilkan beberapa statement dari Syaikh Al-Albani yang ia anggap gak konsisten dengan manhaj beliau terhadap tashhih Ibnu Hibban. Lucu dan gak ada relevansinya jika dikaitkan dengan kritikannya pertama dan sanggahan saya terhadapnya.
Saya katakan tidak ada yang lucu dengan itu. Syaikh Al Albani terbukti tidak konsisten dan bukti itu telah saya tunjukkan dengan contoh hadis-hadis dalam Silsilah Adh Dhaaifah. Kalau anda bisa menukil dari Tamamul Minah maka mengapa pula saya tidak bisa menukil dari Silsilah Ahadiits Adh Dhaaifah. Kalau anda bilang metode Syaikh Al Albani itu yang ada pada Tamamul Minah maka saya katakan lalu yang ada dalam Silsilah Adh Dhaaifah itu apa bukan pernyataan Syaikh Al Albani. Jadi ngawur sekali anda kalau mengatakan itu tidak ada relevansinya. Kutipan anda dari Tamamul Minah jsutru menguatkan pernyataan saya bahwa Syaikh Al Albani tidak konsisten, ia menyalahi dirinya sendiri di dalam kitabnya yang lain. Sebenarnya  yang sering tidak karuan dan melebarkan pembicaraan kemana-mana ya anda ini. Berhujjah dengan cara-cara yang menyedihkan.
Tentang Ghailaan bin Anas Al-Kalbiy,……….. telah disebutkan bahwa Ibnu Hajar berkomentar dalam At-Taqriib : ‘maqbuul’. Ibnu Abi Haatim tidak menyebut padanya jarh ataupun ta’dil-nya. Beberapa perawi tsiqaat telah meriwayatkan darinya. Al-Mizziy menyebutkan perawi yang meriwayatkan darinya antara lain : Syu’aib bin Abi Hamzah, ‘Abdullah bin Al-‘Allaa’ bin Zabr, ‘Abdurrahmaan bin ‘Amr Al-Auzaa’iy, ‘Isaa bin Musaa Al-Qurasyiy, dan Manshuur Al-Khaulaaniy [Tahdziibul-Kamaal, 23/127].
Nah,…kemudian teman Rafidlah kita ini – dengan segala kepercayan dirinya – mengatakan :
“Percuma saja saudara Penulis itu mengutip berpanjang-panjang karena pada kenyataannya Syaikh Al-Albani sendiri mengatakan kalau Ghailan bin Anas Al-Kalbi adalah seorang yang majhul haal….”.
Saya jadi bertanya apakah yang bersangkutan paham tidak dengan manhaj Syaikh terhadap hadits mastuur (majhul haal) ? Mungkin yang bersangkutan salah paham dengan tulisan saya pada catatan kaki no. 15 : “maka terangkatlah status majhul haal-nya”. Mungkin beliaunya memahami dari perkataan saya ini, majhul haal-nya hilang. Padahal yang saya maksud status majhul haal nya terangkat adalah menjadi kuat dan bisa dijadikan hujjah, sebagaimana nukilan saya dari penjelasan Abu Haatim dalam Al-Jarh wat-Ta’diil (1/1/36) di atas. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini akan sedikit saya perbaiki kalimatnya agar tidak salah paham – dan itu tidak mengubah esensi hujjah saya.
Lho anda sendiri apa tidak ingat mengapa terjadi pembahasan seperti ini. Itu kan karena anda yang gak karuan malah sibuk mengomentari komentar keheranan saya soal syaikh Al Albani yang mengatakan hadis Tsauban shahih dengan syawahid. Anda mau membela syaikh anda tetapi apa sebenarnya yang sedang anda bela. Anda justru menyalahkan syaikh anda sendiri. Saya katakan sebelumnya dengan metode Syaikh Al Albani jelas-jelas mana mungkin hadis Tsauban menjadi shahih dengan syawahid. Mengapa? Karena
  • Menurut Syaikh hadis Abdullah bin Shalih dari Muawiyah bin Shalih itu dhaif
  • Menurut Syaikh Ghailan bin Anas itu majhul hal
  • Menurut Syaikh Abu Yahya tidak dikenal
Kemudian saya katakan apalagi kalau ditambah dengan inqitha’ Abu Sallam dari Tsauban maka tetaplah kedhaifannya berat. Lucunya anda ini gak tau juntrungannya malah membela Syaikh Al Albani membabibuta dengan sok ikut-ikutan heran akan keheranan saya. Lihat baik-baik Syaikh anda yang terhormat itu, sepertinya anda juga ikutan mewarisi inkonsistensi ulama yang anda ikuti.
Mengenai majhul haal ini (dan bagaimana posisi Syaikh Al-Albani terhadapnya), sebenarnya dulu telah saya ketika membahas hadits Maalik Ad-Daar. Tapi mungkin yang bersangkutan lupa. Ada baiknya saya ulang :
Majhul haal, yaitu status perawi dimana yang meriwayatkan sebanyak dua orang atau lebih, namun tidak ada seorang pun yang men-tsiqah-kannya. Disebut juga mastur. Hadits atau riwayat dari perawi yang majhul haal atau mastur ini tidak ditolak dan juga tidak diterima secara mutlak. Jelasnya, apabila yang meriwayatkan darinya beberapa perawi tsiqah – meskipun tidak ada yang men-tsiqah-kannya – maka haditsnya/riwayatnya dapat diterima. Immaa derajatnya hasan atau shahih. Diterima riwayatnya karena yang meriwayatkan darinya sejumlah perawi tsiqah, yang mereka tidak meriwayatkan dari seorang perawi kecuali perawi tsiqah atau yang mereka angap tsiqah. Akan tetapi jika yang meriwayatkan darinya hanya perawi-perawi dla’if, maka riwayatnya tertolak dan haditsnya dla’if.
Dan mohon maaf yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada teman Rafidlah kita jika pada tulisan di atas saya tidak maksimal menuliskan keterangan-keterangan dari Syaikh Al-Albani secara lengkap mengenai majhul haal. Hingga mengakibatkan teman kita yang terhormat ini buru-buru menyimpulkan. Salah lagi….ha…ha…ha….
Silakan saja tertawa, sama seperti dulu saudara nashibi itu tidak bisa menilai tanggapan orang dengan benar. Jika dalam hal inipun ia keliru memahami tulisan saya, maka mohon maaf yang sebesar-besarnya karena saya pikir tulisan itu lebih dari cukup untuk orang yang memang berpikiran dengan baik.
Aku (Al-Albani) katakan : Mungkin kejelasan keadaan perawi diperoleh dari adanya tautsiq dari seorang imam yang diakui tautsiq-nya. Dalam pernyataannya (Al-Haafidh) bahwa majhul hal adalah orang yang teriwayatkan haditsnya oleh dua atau lebih perawi, tetapi tidak ada pengakuan terpercaya. Aku katakan : Imam yang diakui tautsiq-nya, karena di sana ada ahli-ahli hadits yang tidak dapat diandalkan tautsiq-nya seperti berbedanya Ibnu Hibban dari tradisi/kebiasaan para ahli hadits pada umumnya. Ini akan saya jelaskan pada pedoman berikutnya.
Memang benar bahwa riwayat majhul dapat diterima jika ada sejumlah besar perawi-perawi yang terpercaya meriwayatkan darinya hadits yang tidak mengandung unsur pengingkaran. Pendapat ini dianut oleh sejumlah ulama muta’akhkhirin seperti Ibnu Katsir, Al-‘Iraqiy, Al-‘Asqalaniy, dan yang lainnya. Lihat contohnya pada halaman 204-207” [selesai – lihat Tamaamul-Minnah, hal. 19-20].
Setelah membaca ini, dimana letak kontradiksinya ? Sekarang, siapa yang lebih pantas dianjurkan untuk membaca kitab Syaikh Al-Albani dan kitab-kitab hadits lainnya ya ? saya…….
Apa anda tidak membaca apa yang saya kutip. Jangan Cuma sibuk dengan kutipan anda saja. Saya tanya dengan anda ini apa sebenarnya yang kita permasalahkan?. Menurut saya ya sikap inkonsistensi Syaikh Al Albani, dan itu terlihat dari berbagai kitabnya tidak hanya satu kitab Tamamul Minah seperti yang anda kutip. Saya cuma mengutip pernyataan Syaikh Al Albani bahwa ia sendiri dalam Silsilah Ahadiits Ad Dhaifah tetap menyatakan majhul hal walaupun perawi tersebut dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Hibban dan telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqat. Bukti bahwa Syaikh tidak konsisiten adalah sebagaimana yang saya katakan sebelumnya dalam kitab As Sunnah Ibnu Abi Ashim Syaikh menyatakan tsiqat kepada Khalid bin Al Lajlaaj [lihat hadis no 388] padahal Khalid hanya ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban dan telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqat. Kalau begitu maka posisi Khalid itu seharusnya majhul hal. Begitu pula saya katakan maka menurut metode syaikh Ghailan bin Anas itu majhul hal walaupun telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqah, dan memang itulah yang Syaikh tersebut katakan. Baik Khalid bin Al Lajlaaj maupun Ghailan bin Anas ya sami mawon kedudukannya tapi kok penilaiannya beda. Kalau anda masih bertanya dimana letak kontradiksinya?. Apa peduli saya, siapa yang banyak bicara maka telanlah sendiri akibat pembicaraannya.
Akhirnya,… riwayat kedudukan Ghailaan di sini bukan perawi dla’iif. Ia bisa dipakai sebagai hujjah dengan keadaan-keadaan yang telah disebutkan oleh Syaikh Al-Albani.
Saya hanya menyatakan bahwa Ghailan bin Anas itu dikatakan sendiri oleh Syaikh sebagai majhul hal dan itu saya masukkan sebagai isyarat kelemahan dalam hadis Tsauban. Pernyataan majhul hal dalam hal ini termasuk pernyataan yang melemahkan.
Mengenai Abu Shaalih, nampaknya teman Rafidlah kita tidak bisa menjawab hujjah yang saya sampaikan. Malahan, ia menggunakan metode kuno yang ia kira bisa membuat saya terkaget-kaget dengan menampilkan pendapat Syaikh Al-Albani atas Abu Shaalih. Tidak ilmiah…
Saya katakan kepada saudara nasibhi itu, justru ia sendiri yang berhujjah dengan metode kuno yang membuat orang awam terpesona seolah-olah dengan perkataannya ia tampak benar. Kalau ia mengatakan hujjah saya tidak ilmiah maka yang harus ia katakan sebagai tidak ilmiah adalah Syaikhnya sendiri Syaikh Al Albani, syaikh dengan jelas mendhaifkan hadis Abdullah bin Shalih dari Muawiyah bin Shalih.
Ibnu Hajar sendiri telah memberikan kesimpulan perincian jarh atas Abu Shaalih : ““Shaduuq (jujur) namun banyak salahnya. Tsabt dalam kitabnya, dan padanya terdapat kelalaian (ghaflah)”.
Apa makna tsabt dalam kitabnya ? Tentu saja jika ia meriwayatkan melalui perantaraan (bantuan) kitabnya, maka haditsnya maqbul. Ini perincian yang sangat bagus. Dan di sini, ia meriwayatkan hadits Mu’awiyyah bin Shaalih dengan perantaraan kitabnya, karena ia mempunyai catatan-catatan hadits darinya. Oleh karena itu, haditsnya dari Mu’awiyyah tidak turun dari derajat hasan. Wallaahu a’lam.
Saudara itu mengatakan ini perincian yang sangat bagus. Lha iya bagus karena sesuai dengan pembelaannya. Tumben-tumbenan ia taklid buta dengan pernyataan Ibnu Hajar padahal di saat lain ia mengatakan Ibnu Hajar termasuk ulama muta’akhirin dimana pernyataannya harus berdasarkan pernyataan ulama sebelumnya. Silakan para pembaca lihat dalam biografi Abdullah bin Shalih, para ulama yang mencacatnya mengakui kalau ia menulis hadis dari Laits dan itu tidak mencegah mereka untuk mengatakan bahwa hadisnya dari Laits mungkar. Jadi walaupun hadis tersebut berasal dari tulisan Abu Shalih tetap saja tidak seenaknya dikatakan tsabit. Apalagi yang ia tulis dari Muawiyah bin Shalih yang bisa dikatakan tidak lebih mayshur dibanding riwayatnya dari Laits. Maka dari itu cukup wajar syaikh Al Albani tetap mendhaifkan hadis Abdullah bin Shalih dari Muawiyah bin Shalih walaupun syaikh juga menukil pernyataan Ibnu Ady seperti yang dikutip saudara nashibi tersebut.
Adapun Abu Yahyaa yang dikatakan tidak dikenal ini, maka ia sebenarnya adalah : Sulaim bin ‘Aamir Al-Kalaa’iy, Abu Yahyaa Al-Himshiy. Seorang tsiqah. Jadi tidak perlu dipersoalkan.
Silakan buktikan perkataan anda itu?. Kalau memang hujjah anda dalam hal ini kuat maka tidak ada alasan bagi saya tidak menerimanya. Tetapi jika hujjah anda tersebut cuma klaim semata maka tidak ada artinya. Apakah orang yang anda sebut Sulaim bin Aamir itu meriwayatkan hadis dari Ghailan bin Anas Al Kalbi?. Ngomong-ngomong Syaikh Al Albani itu ternyata tidak sepintar anda, kok dia tidak tahu siapa itu Abu Yahya :mrgreen:
Akhirnya, jelas sudah bahwa kelemahan hadits Tsaubaan hanya ada pada inqithaa’-nya saja. Ini kelemahan yang ringan. Sangat wajar jika Syaikh Al-Albani menghukumi shahih lighairihi. Dan sebaliknya, keheranan Anda menjadi tidak wajar karena ketidakvalidan metode penilaian Anda.
Anda ini lucu, mau menilai Syaikh Al Albani atau menilai saya. Kalau mau menilai Syaikh Al Albani maka nilailah dengan jujur. Saya lihat pernyataan anda malah menyalahkan semua pernyataan Syaikh Al Albani dan anda sendiri berhujjah dengan inqitha’ yang tidak disebutkan oleh Syaikh. Kemudian setelah itu dengan enaknya anda berkata “sangat wajar jika Syaikh menghukumi shahih lighairihi”. Tidak ada satupun alasan anda yang tegak dengan hujjah. Ghailan bin Anas terbukti majhul hal [menurut Syaikh Albani], Abdullah bin Shalih dhaif [dan penguatan anda itu hanya subjektif semata], Abu Yahya yang menurut anda Sulaim bin Aamir, maaf anda belum membuktikannya.
Penolakan tahsin hadits Jaabir ini adalah yang paling tidak saya mengerti dari rekan Rafidlah kita ini. Sudah jelas sekali bahwa rukun sanad yang dibawakan oleh Ibnu Abi ‘Aashim di sini adalah rukun sanad yang dibawakan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya (mulai pangkal sampai ujung sanad), yang tentu saja bukan berkualitas dla’if menurut standar penilaian Ahlus-Sunnah. Gak tahu kalau yang bersangkutan memakai standar penilaian Syi’ah.
Begitulah saudara nashibi itu, jika memang ia terbiasa berhujjah dengan tuduhan maka silakan telan sendiri tuduhan itu. Anda itu lucu, yang saya katakan adalah Simmak bin Harb itu dhaif, tidak ada juntrungannya anda menukil rukun sanad. Mengenai Imam Muslim berhujjah dengan hadisnya, maka saya katakan Imam Muslim saja berhujjah dengan hadis Ismail bin Abi Uwais yang dikenal dhaif. Simmak dhaif dengan alasan yang sudah saya sebutkan. Kalau anda berkeras menolak dengan dalih hujjah Imam Muslim, ya silakan. Apa perlu saya ingatkan bahwa jarh yang mufassar lebih didahulukan ketimbang ta’dil?. Mau dikemanakan kaidah itu. Apa itu kaidah dari Syiah, kalau begitu bakar habis saja kaidah ilmu hadis itu. Terus ulama yang mendhaifkan hadis-hadis Simaak seperti Ibnu Mubarak, Shalih bin Muhammad, Nasa’i dan Ibnu Jauzi yang memasukkannya dalam Ad Dhu’afa Wal Matrukin no 1552 apakah mereka semua adalah orang yang mengikuti standar Syiah?. Makin lama diikuti bicara anda makin ngawur saja :P
Memang benar bahwa sebagian ulama hadits telah melemahkannya dari sisi hapalannya. Tapi harus fair juga dong (dan ini harus disebutkan) bahwa para ulama lain memberikan tautsiq kepadanya.
Jelas-jelas saya mengakuinya, kalau anda tidak membacanya maka buka mata anda lebar-lebar.
Pertanyaan sederhananya yang layak diberikan kepada teman Rafidliy kita ini : “Apakah semua riwayat yang dibawakan oleh Simaak bin Harb adalah dla’if ?”. Jika ia mendla’ifkan semua riwayat Simaak, maka berapa banyak hadits dalam Shahih Muslim yang akan berkualitas dla’if ? Jika ia menjawab tidak semua, maka mana saja yang tidak dla’if ? Kriterianya apa ? Kriteria ini generik, atau kriteria sesuai selera ? Saya tebak, yang bersangkutan akan kesulitan karena tidak punya standar yang jelas alias gelap. Apalagi melihat kenyataan Muslim dalam Shahih-nya sering meletakkan hadits Simaak dalam ushul riwayat.
Anda itu membaca tidak sih tulisan saya, kalau memang situ merasa risih yo wes kita terapkan seperti yang dikatakan Ibnu Hajar kepada Ibnu Abi Uwais yaitu hadis Simmak selain di kitab shahih adalah dhaif. Kalau anda katakan kriteria ini sesuai selera lha apa pernyataan Ibnu Hajar terhadap Ibnu Abi Uwais [hadisnya selain dalam kitab shahih tidak bisa dijadikan hujjah] itu gak sesuai selera. Saya tebak andalah yang akan kesulitan melihat kenyataan Muslim dalam Shahih-nya telah berhujjah dengan hadis Ismail bin Abi Uwais.
Sangat aneh, ketika teman kita ini menyangkutkan pada hadits ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy yang ia klaim mudltharib – yang kemudian ingin menunjukkan bahwa Simaak dalam penyampaian hadits ini juga mudltharib. Jaka sembung makan kedondong…. Gak nyambung dong!
saya cuma menunjukkan kemungkinannya, tidak ada saya memastikan hadis Simmak yang ini mudhtharib. Daripada anda sibuk cuap-cuap membela salah satu alasan dhaif yang ada banyak pada Simmak lebih baik anda perhatikan hujjah anda riwayat Simmak dari Ikrimah mudhtharib. Dengan cara yang sama sebagaimana anda mengutip
Ahmad bin ‘Abdillah Al-‘Ijliy berkata tentangnya : “…..Jaaizul-hadiits, kecuali dalam periwayatan hadits ‘Ikrimah. Terkadang ia menyambungkan sesuatu dari Ibnu ‘Abbas, dan terkadang ia berkata : ‘Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam’. Padahal (hadits/riwayat) itu hanyalah ‘Ikrimah yang menceritakan dari Ibnu ‘Abbas…”.
Ya’quub pernah bertanya kepada ‘Aliy bin Al-Madiiniy : “Apa pendapatmu tentang riwayat Simaak dari ‘Ikrimah ?”. Ia menjawab : “Mudltharib”.
Lihat baik-baik, dari kutipannya hadis Simaak dari Ikrimah dihukum mudhtharib karena Simaak terkadang meriwayatkan dari Ibnu Abbas, terkadang meriwayatkan dari Rasulullah SAW dan terkadang meriwayatkan dari Ikrimah dari Ibnu Abbas. Kalau penulis mengakui bahwa hal ini mudhtharib maka begitu pula seharusnya hadis Ibnu ‘Aaisy, ia terkadang meriwayatkan dari Rasulullah SAW, terkadang meriwayatkan dari sahabat dan terkadang meriwayatkan dari tabiin dari sahabat dari Rasulullah SAW. Apa ini gak nyambung juga :roll:
Gampangnya, mari kita lihat kesimpulan dari para ahli hadits dari Simaak bin Harb ini. Ibnu Hajar mengatakan : “Simaak bin Harb bin Aus bin Khaalid Adz-Dzuhliy Al-Bakriy Al-Kuufiy Abu Mughiirah. Shaduuq. Riwayatnya dari ‘Ikrimah secara khusus adalah mudltharib. Di akhir umurnya hapalannya berubah. Kadangkala ia meriwayatkan dengan talqin.
Ibnu Hajar mengatakan bahwa yang mudltharib adalah riwayatnya dari ‘Ikrimah. Sama dengan perkataan para imam sebelumnya. Adapun ikhtilath yang dialami oleh ‘Ikrimah terjadi pada akhir umurnya. Adapun talqin, maka ini tidak selalu.
Tidak perlu main gampang-gampangan, Simmak dhaif karena hal-hal berikut
  • Simaak sering melakukan kesalahan seperti yang dikatakan Ibnu Ammar dan Ibnu Hibban [Ibnu Hibban mengatakan ia banyak melakukan kesalahan].
  • Simaak hafalannya buruk seperti yang dikatakan Daruquthni
  • Simmak menerima talqin seperti yang dikatakan Nasa’i. An Nasa’i menyatakan kalau riwayatnya tidak bisa dijadikan hujjah jika menyendiri. [ia menyendiri meriwayatkan dari Jabir]
  • Simaak mengalami ikhtilath seperti yang dikatakan Al Bazzar dan Ibnu Hajar.
Kalau anda mengatakan ia tidak selalu menerima talqin, lantas kapan anda bisa yakin ia sedang tidak menerima talqin?. Kalau anda katakan ia ikhtilat di akhir umur lalu apakah hadis ini diriwayatkan sebelum ikhtilath atau sesudah ikhtilath?. Lantas bagaimana dengan pernyataan hafalannya yang buruk dan banyaknya kesalahan yang ia buat. Kalau mau menjawab jangan tanggung-tanggung atau memang merasa tidak mampu :roll:
Martabat shaduuq menempati peringkat keempat dalam tingkatan jarh wa ta’dil menurut Ibnu Hajar. Ini maknanya bahwa rawi tersebut baik ‘adalah-nya, namun sedikit kurang dalam ke-dlabith-annya. Karena itu, kadang-kadang ia diisyaratkan dengan lafadh laa ba’sa bihi atau laisa bihi ba’sun, yaitu riwayatnya diterima dan masuk dalam derajat hasan.
Adz-Dzahabi mengatakan : “Shaduuq shaalih”. Dalam terminology Adz-Dzahabi (lihat Al-Muuqidhah hal. 81-82), lafadh mengindikasikan haditsnya jayyid, namun tidak menduduki puncak keshahihan. Ekuivalen dengan hasan.
Ini kesimpulan yang sangat bagus yang disimpulkan oleh Ibnu Hajar dan Adz-Dzahabi setelah melihat berbagai jarh dan ta’dil para imam kepada Simaak.
Selain itu, sependek pengetahuan saya dari beberapa praktek yang dilakukan oleh Syaikh Al-Albani, murid-muridnya, dan juga dengan beberapa pihak yang sering kontra dengan mereka; semuanya tidak ada yang memutlakkan kedla’ifan pada Simaak.
Tidak perlu berhujjah dengan hujjah yang menarik simpati orang awam. Pada esensinya anda tidak membahas dengan baik jarh yang saya tampilkan. Ismail bin Abi Uwais saja tetap dinyatakan shaduq oleh Ibnu Hajar walaupun ia didhaifkan oleh jumhur. Lagipula maaf ya saya tidak pernah memutlakkan pendhaifan Simmak. Pendhaifan itu sangat beralasan karena hadis ru’yah ini selain Simmak tidak ada yang tsabit, semuanya mudhtharib dan munqathi’ sedangkan Simmak diketahui hafalannya buruk, melakukan banyak kesalahan[bisa jadi ini kesalahannya] menerima riwayat dengan talqin [bisa jadi riwayat ini ia dapat dari talqin] ditambah lagi ia terbukti hadisnya mudhtharib yaitu riwayat Ikrimah dimana ia terkadang menyambungkan hadis tersebut langsung ke Rasulullah SAW atau ke sahabat tanpa melalui Ikrimah. [bisa jadi hadis ini ia sambung dari mana] begitu pula ia sering memusnadkan hadis yang tidak dimusnadkan oleh yang lain [bisa jadi hadis ini pula karena terbukti hadis yang lain munqathi’]. Semuanya memang bisa jadi tetapi sangat beralasan.
Intinya,…. pelemahan rekan Rafidlah kita atas hadits Jaabir karena Simaak bin Harb adalah pelemahan yang paling saya ingkari.
Silakan melakukan pengingkaran. Saya tidak pernah terpikir mau memaksa anda menerima hujjah saya. Sudah saya duga anda sama seperti salafy yang lainnya yang tidak bisa menerima hujjah orang lain, seolah-olah ilmu hadis itu hanya milik anda dan ulama-ulama anda saja.
Apalagi – seperti kebiasanya – ia mencari dalih bahwa ada sebagian perawi dalam Shahihain yang mendapat jarh. Itu betul. Tapi menjadikan itu alasan untuk menolak riwayat Simaak, khususnya dalam rantai riwayat yang sama persis seperti yang digunakan Muslim dalam Shahih-nya adalah lemah dan rejected. Mengada-ada dan ujung-ujungnya kok ngasal (?)
Tidak tahu malu, yang pertama kali berhujjah pakai embel-embel perawi Muslim kan anda. Menjadikan itu sebagai alasan menerima hadis seorang perawi [walaupun terbukti jarh terhadapnya beralasan] adalah lemah, mengada-ada dan ujung-ujungnya ngasal. Bukhari dan Muslim itu bukan harga mati, siapapun yang tahu pasti tahu dan yang tidak tahu ya tidak tahu.
1. Hadits ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy adalah dla’if karena idlthiraab dalam sanad, tidak dalam matan. Maka di sini ia bisa dijadikan i’tibaar.
2. Hadits Ibnu ‘Abbas dla’if. Satu jalur karena inqitha’ dan jalur lain ghairu mahfudh (sebagaimana ditegaskan Ibnu-Jauziy). Sanad yang ghairu mahfudh (yaitu dari jalan Mu’aadz bin Hisyaam, dari ayahnya, dari Qataadah, dari Abu Qilaabah, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas secara marfu’) tidak bisa dijadikan i’tibar, sedangkan yang lain dapat dijadikan I’tibar.
Kedua hadis ini baik hadis Ibnu ‘Aaisy dan hadis Ibnu Abbas terbukti mudhtharib, walaupun dikumpulkan bersama malah mempertegas idhthirabnya seperti yang dilakukan Daruquthni dalam Al ‘Ilal.
3. Hadits Tsauban adalah dla’if karena inqitha’ dan kedla’ifan Abu Shaalih.
5. Hadits Abu Umaamah dla’if karena adanya inqitha’ dan kedla’ifan Laits.
Kedua hadis ini dhaif karena kedhaifan salah seorang perawinya dan sanadnya terputus. Walaupun dikumpulkan bersama tidak mengangkat sifatnya yang terputus dan sama-sama ada kedhaifan pada perawinya.
4. Hadits Jaabir adalah dla’iif karena Simaak bin Harb.
Hadis ini bisa dibilang sanad paling kuat mengenai masalah ini dan ternyata kedudukannya pun dhaif. Kalau mau menguatkannya maka carilah sanad lain yang tidak terputus dan tidak mudhtharib karena kelemahan Simmak terkait dengan kedua hal itu seperti yang telah kami jelaskan. Ditambah lagi hadis ini tidak menjadi hujjah bagi salafy karena tidak ada sedikitpun dalam kandungan matannya yang menyebutkan kalau peristiwa tersebut terjadi di dalam mimpi. Kalau mau berhujjah jangan dengan gaya seenaknya tolong perhatikan matannya dengan cermat dan teliti.
Coba perhatikan kedla’ifan masing-masing dengan pikiran yang jernih. Nampak bahwa dengan kedla’ifannya ia tetap berstatus shahih lighairihi atau minimal hasan lighirihi. Perkataan bahwa hadits-hadits tersebut tidak bisa saling menguatkan hanyalah merupakan igauan semata, dan penerapan prinsip YPD (Yang Penting Dla’if). He….he….he….
Dimana letak shahih lighairihi atau hasan lighairihi?. Perkataan ngasal seperti itu juga bisa dikatakan orang lain. Hanya karena itu manjadi keyakinan anda dan mahzab anda maka dengan seenaknya anda pakai prinsip pokoknya harus shahih, walaupun sudah terbukti kedhaifannya yang tidak bisa saling menguatkan. Makanya kalau mau menjawab itu jangan tanggung-tanggung dan cobalah lebih ilmiah jangan bisanya menuduh sana sini. Akhir kata, silakan pembaca menilai sendiri tanpa dipengaruhi mahzab apapun, walaupun saya tidak terlalu berharap ada pengikut salafy or nashibi yang mau menerima karena pada dasarnya penyakit mereka itu sama semua. Sok merasa paling ilmiah dan benar sendiri :mrgreen:
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: