Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label dhaif. Show all posts
Showing posts with label dhaif. Show all posts

Dhaif Atsar Ibnu Mas’ud : Nyanyian Menumbuhkan Kemunafikan Dalam Hati


Sedikit membicarakan mengenai masalah Nyanyian. Sudah dikenal bahwa terdapat sekelompok orang islam [baca : salafiy] yang sangat keras dalam mengharamkan musik dan nyanyian. Diantara mereka ada yang membawakan dan berhujjah dengan atsar Ibnu Mas’ud [radiallahu ‘anhu] bahwa Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati. Tulisan ini berusaha membuktikan bahwa berdasarkan pendapat yang rajih kedudukan sebenarnya atsar tersebut di sisi ilmu hadis adalah dhaif.

Riwayat Pertama:

حَدَّثَنَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ قَالَ حَّدَثَنَا الحُسَيْنُ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو خَيْثَمَةَ وَعُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قَالا حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنِ الْحَكَمِ عَنْ حَمَّادٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Khaitsamah dan Ubaidillah bin ‘Umar keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Ghundar dari Syu’bah dari Al Hakam dari Hammaad dari Ibrahiim yang berkata ‘Abdullah bin Mas’ud berkata “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati” [Dzammul Malaahiy Ibnu Abi Dunyaa hal 42 no 31, tahqiq ‘Amru bin Abdul Mun’im bin Saliim].

Ibnu Abi Dunyaa juga menyebutkan sanad di atas dalam kitabnya Dzammul Malaaahiy hadis no 34, riwayat Ibnu Abi Dunyaa ini juga dikeluarkan oleh Al Baihaqiy dalam kitabnya Sunan Al Kubra 10/223 no 2795 dan Syu’ab Al Iman 4/278 no 5098.

Ghundaar dalam periwayatan atsar di atas dari Syu’bah memiliki mutaba’ah dari:
  1. Sa’iid bin ‘Aamir sebagaimana disebutkan Ibnu Abi Dunyaa dalam Dzammul Malahiy hadis no 36.
  2. Waki’ bin Jarrah sebagaimana disebutkan Al Khallaal dalam kitabnya As Sunnah 5/76 no 1659.
Al Hakam bin Utaibah dalam periwayatan atsar di atas dari Hammaad bin Abi Sulaiman memiliki mutaba’ah sebagai berikut:
  1. Manshuur bin Mu’tamar sebagaimana disebutkan Ibnu Abi Dunyaa dalam Dzammul Malaahiy hadis no 35, Al Khallal dalam As Sunnah 5/73 no 1647, Al Baihaqiy dalam Syu’ab Al Imaan 4/279 no 5099, dan Ibnu Bathah dalam Al Ibanah kitab Iman 2/703 no 945 semuanya dengan jalan sanad Sufyan dari Manshur dari Hammad dari Ibrahim dari Ibnu Mas’ud. Ibnu Abi Dunya dalam Dzammul Malaahiy hadis no 37 juga menyebutkan dengan sanad Syariik dari Manshuur dari Ibrahim yang berkata mereka mengatakan Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati [tanpa menyebutkan Ibnu Mas’ud]. Riwayat Syarik tidak mahfuuzh dibanding riwayat Sufyaan karena Syarik jelek hafalannya.
  2. Abu Awanah Wadhaah bin ‘Abdullah sebagaimana disebutkan Ibnu Abi Dunyaa dalam Dzammul Malahiy hadis no 38 dengan jalan sanad Abu Awanah dari Hammad dari Ibrahim seperti hadis tersebut [mitslahu]. Lafaz mitslahu secara zhahir merujuk pada hadis sebelumnya pada no 37 yaitu riwayat Syarik dengan lafaz Ibrahim berkata “mereka mengatakan Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati” tanpa menyebutkan Ibnu Mas’ud.
  3. ‘Awwaam bin Hausyab sebagaimana disebutkan Ibnu Abi Dunyaa dalam Dzammul Malahiy hadis no 39, Al Khallaal dalam As Sunnah 5/72 no 1646 dan Ibnu Bathah dalam Al Ibanah kitab Iman 2/704 no 947 dengan jalan sanad dari Husyaim dari ‘Awwaam dari Hammad dari Ibnu Mas’ud [tanpa menyebutkan Ibrahim An Nakha’iy]. Sanad ini tidak mahfuuzh karena Husyaim dikenal sebagai mudallis dan riwayatnya disini dengan ‘an anah.
  4. Syu’bah bin Hajjaaj sebagaimana disebutkan Al Khallaal dalam kitabnya As Sunnah 5/76 no 1659. Dalam riwayat Al Khallal ini disebutkan bahwa Syu’bah setelah mendengar atsar itu dari Al Hakam maka ia mendatangi Hammaad dan Hammaad menyebutkan atsar tersebut kepadanya.
Sekilas seolah nampak adanya idhthirab yaitu dari sisi Hammaad bin Abi Sulaiman tetapi jika ditelaah dengan baik nampak bahwa yang rajih dan mahfuuzh adalah riwayat Hammaad dari Ibrahim dari Ibnu Mas’ud sebagaimana yang disebutkan Syu’bah, Al Hakam bin Utaibah dan Manshuur bin Mu’tamar. Adapun riwayat Abu Awanah bisa dijamak dengan riwayat Syu’bah, Al Hakam dan Manshuur yaitu bahwa diantara mereka yang dimaksudkan Ibrahim adalah Ibnu Mas’ud.

Ibrahim bin Yazid An Nakha’iy disebutkan biografinya dalam At Tahdzib dan Ibnu Hajar menukil bahwa Abu Nu’aim mengatakan ia wafat tahun 96 H dan umurnya ada yang mengatakan 49 tahun dan ada yang mengatakan 58 tahun [Tahdzib At Tahdzib juz 1 no 325]. Berdasarkan keterangan ini maka Ibrahim lahir tahun 38 H atau 47 H. Sedangkan Abdullah bin Mas’ud disebutkan dalam At Tahdzib bahwa ia wafat tahun 32 H atau 33 H [Tahdzib At Tahdzib juz 6 no 43]. Maka dapat disimpulkan bahwa Ibrahim tidak menemui masa Ibnu Mas’ud maka riwayatnya terputus [inqitha’] dan kedudukannya dhaif.

Syaikh Al Albani dalam Tahrim Alati Tharb hal 145 mengakui bahwa sanad Ibrahim dari Ibnu Mas’ud inqitha’ [terputus sanadnya] hanya saja dalam pandangan Syaikh Al Albaniy mursal Ibrahim khususnya dari Ibnu Mas’ud kedudukannya shahih. Diantara hujjah Syaikh Al Albani adalah riwayat berikut:

حدثنا أبو عبيدة بن أبي السفر الكوفي حدثنا سعيد بن عامر عن شعبة عن سليمان الأعمش قال قلت لإبراهيم النخعي أسند لي عن عبد الله بن مسعود فقال إبراهيم إذا حدثتك عن رجل عن عبد الله فهو الذي سميت وإذا قلت قال عبد الله فهو عن غير واحد عن عبد الله

Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ubaidah bin Abi As Safri Al Kuufiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin ‘Aaamir dari Syu’bah dari Sulaiman Al A’masyi yang berkata aku berkata kepada Ibrahim An Nakha’iy “berikan sanad kepadaku dari ‘Abdullah bin Mas’ud”. Ibrahim berkata “jika aku menceritakan kepadamu dari seseorang dari ‘Abdullah maka ia adalah orang yang aku sebutkan namanya dan jika aku berkata Abdullah berkata maka itu dari lebih dari seorang dari ‘Abdullah [Sunan Tirmidzi Kitab Al Ilaal hal 249].

Riwayat ini tidak bisa dijadikan hujjah untuk menyatakan bahwa mursal Ibrahim dari Ibnu Mas’ud kedudukannya shahih. Faedah yang didapatkan dari riwayat di atas adalah jika Ibrahim berkata Ibnu Mas’ud berkata maka sanadnya adalah Ibrahim dari lebih dari seorang dari ‘Abdullah bin Mas’ud. Sanad ini tetap saja tidak bisa dijadikan hujjah karena mubham-nya orang-orang yang disebutkan Ibrahim dari Abdullah bin Mas’ud.

Mubham-nya orang-orang yang dimaksud mengandung kemungkinan bahwa bisa saja orang-orang tersebut tergolong dhaif atau majhul sehingga hadisnya tidak bisa dijadikan hujjah. Apalagi Ibrahim bin Yazid tidak dikenal sebagai perawi yang meriwayatkan hanya dari perawi tsiqat saja. Bahkan Aliy bin Madiniy menyatakan kalau Ibrahim bin Yazid juga meriwayatkan dari perawi majhul. Disebutkan dalam Tahdzib Al Kamal biografi Yazid bin Aus Al Kuufiy,

فقال رجل يَا أَبَا الحسن فإبراهيم النخعي عمن روى من المجهولين ؟ فقال روى عن يزيد بْن أوس عَن علقمة فمن يزيد بْن أوس ؟ لا نعلم أحدا روى عنه غير إِبْرَاهِيم

Seorang laki-laki berkata “ wahai Abul Hasan apakah Ibrahim An Nakha’iy termasuk yang meriwayatkan dari orang-orang majhul?. Maka ia [Aliy bin Madiniy] berkata “ia telah meriwayatkan dari Yazid bin Aus dari Alqamah maka siapakah Yazid bin Aus?, tidak seorangpun diketahui meriwayatkan darinya kecuali Ibrahim [Tahdzib Al Kamal 32/91 no 6966].

Syaikh Al Muallimiy telah membahas perkataan Ibrahim kepada A’masyiy tersebut dan menurutnya riwayat tersebut tidaklah mengangkat inqitha’ sanad Ibrahim dari Ibnu Mas’ud karena masih mengandung kemungkinan bahwa lafaz “lebih dari seorang” itu termasuk mereka yang tidak bertemu dengan Ibnu Mas’ud atau bertemu dengannya tetapi tidak tsiqat [At Tankiil Al Mu’allimiy 2/142].

Sebagian orang mengatakan bahwa terdapat lafaz riwayat dimana Ibrahim menyebutkan “lebih dari seorang sahabatnya [Ibnu Mas’ud]” maka hal itu berarti sanad tersebut muttashil [bersambung] dan tidak ada sahabat Ibnu Mas’ud yang tidak tsiqat. Pernyataan ini juga tidak sepenuhnya benar, karena ketersambungan sanad tidak semata-mata berlandaskan pada lafaz “sahabat” karena seorang perawi bisa saja melakukan tadlis terhadap sahabatnya dan tidak ada jaminan bahwa semua sahabat Ibnu Mas’ud adalah tsiqat.

Mungkin orang tersebut bisa membawakan nama murid atau sahabat Ibnu Mas’ud yang menurutnya tsiqat dalam berbagai kitab Rijal tetapi apa yang ada dalam kitab Rijal bukanlah pembatas yang memustahilkan orang-orang majhul atau dhaif meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud. Nampak jelas disini bahwa sebagian orang memaksakan asumsinya sendiri berandai-andai dengan kemungkinan demi menyatakan shahih hadis yang sesuai keyakinannya.

Secara zhahir riwayat A’masyiy masih mengandung berbagai kemungkinan sehingga tidak bisa dijadikan hujjah untuk mengangkat kelemahan inqitha’ sanad Ibrahim dari Ibnu Mas’ud. Bukankah terdapat kemungkinan bahwa bisa saja perkataan Ibrahim tersebut khusus untuk riwayat yang ia ceritakan kepada A’masyiy saja?. Apa jaminannya bahwa itu berlaku untuk semua riwayat dimana Ibrahim berkata “qaala Ibnu Mas’ud”?. Maka bagaimana mungkin bisa dinyatakan shahih jika terdapat berbagai kemungkinan yang melemahkan.

Syaikh Al Albaniy kemudian menukil dari Al Ala’iy yang menyebutkan bahwa jama’ah Imam telah menshahihkan riwayat mursal Ibrahim dan Al Baihaqiy telah mengkhususkan shahih mursalnya dari Ibnu Mas’ud. Pernyataan Al Ala’iy ini dapat dilihat dalam kitabnya Jami’ At Tahshiil Fii Ahkam Al Marasiil no 13 biografi Ibrahim bin Yazid An Nakha’iy.

Apa yang dikatakan oleh Al Ala’iy dan dinukil oleh Syaikh Al Albaniy tersebut tidak sepenuhnya benar. Memang terdapat sebagian ulama yang menyatakan shahih mursal Ibrahim dari Ibnu Mas’ud dan sebagian ulama lain tetap menyatakan dhaif termasuk Al Baihaqiy. Maka penisbatan terhadap Al Baihaqiy tersebut tidak benar. Ulama yang menguatkan riwayat Ibrahim dari Ibnu Mas’ud diantaranya adalah:
  1. Ath Thahawiy termasuk ulama yang menyatakan shahih riwayat mursal Ibrahim dari Ibnu Mas’ud dan hujjahnya adalah berdasarkan riwayat Al A’masyiy di atas [Syarh Ma’aniy Al Atsar 1/226]. Seperti yang telah kami jelaskan di atas bahwa riwayat A’masyiy tersebut jika ditelaah secara kritis tidaklah menjadi bukti untuk menshahihkan mursal Ibrahim dari Ibnu Mas’ud.
  2. Ibnu Rajab Al Hanbaliy dalam Syarh Ilal Tirmidzi menjadikan riwayat Al A’masyiy tersebut sebagai hujjah untuk mentarjihkan riwayat mursal atas musnad dan ini berlaku khusus bagi Ibrahim An Nakha’iy dan terkhusus untuk riwayat irsal-nya dari Ibnu Mas’ud. [Syarh Ilal Tirmdizi 1/542].
Adapun ulama yang tetap menyatakan dhaif inqitha’ Ibrahim dari Ibnu Mas’ud adalah Al Baihaqiy, Al Bukhariy [sebagaimana dinukil Al Baihaqiy], Al Jurqaaniy, Adz Dzahabiy dan An Nawawiy.



Al Baihaqiy dalam kitabnya Al Khilaafiyyaat pernah menukil riwayat Ibrahim dari Ibnu Mas’ud kemudian ia berkata:

وهذا مرسل إبراهيم لم يسمع من عبد الله بن مسعود ومرسلات إبراهيم ليست بشيء

Riwayat ini mursal, Ibrahim tidak mendengar dari Ibnu Mas’ud dan riwayat-riwayat mursal Ibrahim tidak ada apa-apanya [Al Khilaafiyyaat Al Baihaqiy 2/356].




Al Baihaqiy dalam kitabnya Qiraa’ah Khalaf Al Imaam hal 212 menukil dari Al Bukhariy yang membawakan riwayat Salamah bin Kuhail dari Ibrahim dari Abdullah kemudian Bukhariy berkata riwayat ini mursal tidak dapat dijadikan hujjah dengannya.

 

Al Jurqaaniy dalam kitabnya Al Abathiil Wal Manakiir 2/231 membawakan riwayat Hammaad dari Ibrahim dari Abdullah kemudian ia menyatakan riwayat tersebut bathil mudhtharib dan Ibrahim tidak mendengar dari Ibnu Mas’ud sedikitpun.



Adz Dzahabiy dalam kitabnya Mizan Al I’tidal biografi Ibrahim bin Yazid An Nakha’iy menyebutkan:

وأنه إذا أرسل عن ابن مسعود وغيره فليس ذلك بحجة

Bahwasanya ia [Ibrahim] jika mengirsalkan dari Ibnu Mas’ud dan selainnya maka tidaklah menjadi hujjah [Mizan Al I’tidal 1/204 no 252].



An Nawawiy dalam kitabnya Al Majmu’ ketika menyebutkan riwayat dari Hammaad dari Ibrahim dari Ibnu Mas’ud maka ia berkata:

 وهو ان إبراهيم النخعي لم يدرك ابن مسعود بالاتفاق فهو منقطع ضعيف

Dan ia sesungguhnya Ibrahim An Nakha’iy telah disepakati tidak menemui masa Ibnu Mas’ud maka ia munqathi’ [terputus sanadnya] dhaif [Al Majmu’ An Nawawiy 3/311-312].

Apa yang kami sebutkan di atas hanya ingin menunjukkan bahwa sebagian ulama menguatkan mursal Ibrahim dari Ibnu Mas’ud dan sebagian yang lain tetap melemahkan inqitha’ antara Ibrahim dan Ibnu Mas’ud. Pada dasarnya pendapat ulama yang berselisih harus ditimbang dengan kaidah ilmu manakah yang lebih rajih. Berdasarkan pembahasan sebelumnya nampak bahwa yang lebih rajih adalah tetap menyatakan mursal Ibrahim dari Ibnu Mas’ud dhaif dan hal ini sudah sesuai dengan kaidah ilmu hadis.

Riwayat Kedua:

حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ قَالَ ثنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ طَلْحَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ كَعْبٍ الْمُرَادِيِّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ كَمَا يُنْبِتُ الْمَاءُ الزَّرْعَ وَإِنَّ الذِّكْرَ يُنْبِتُ الإِيمَانَ فِي الْقَلْبِ كَمَا يُنْبِتُ الْمَاءُ الزَّرْعَ

Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman dari Muhammad bin Thalhah dari Sa’id bin Ka’b Al Muraadiy dari Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Yaziid dari Ibnu Mas’ud yang berkata “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati sebagaimana air menumbuhkan tanaman dan Dzikir menumbuhkan iman di dalam hati sebagaimana air menumbuhkan tanaman” [As Sunah Al Khalaal 5/73-74 no 1650].

Atsar ini juga diriwayatkan Ibnu Abi Dunya dalam Dzammul Malaaahiy hal 41 no 30 dan Al Baihaqiy dalam kitab Sunan-nya 10/223 no 2796 semuanya dengan jalan sanad Sa’iid bin Ka’b Al Muraadiy dari Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Yaziid dari Ibnu Mas’ud.

Sanad ini dhaif karena Sa’iid bin Ka’b Al Muraadiy tidak dikenal kredibilitasnya. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat 8/262 no 13345 dan menyebutkan Muhammad bin Thalhah meriwayatkan darinya. Ibnu Abi Hatim menyebutkan biografinya dalam kitab Al Jarh Wat Ta’dil 4/57 no 249 tanpa menyebutkan jarh dan ta’dil dan hanya menyebutkan Muhammad bin Thalhah yang meriwayatkan darinya. Berdasarkan hal ini nampak bahwa Sa’iid bin Ka’b Al Muraadiy adalah perawi yang majhul ‘ain karena hanya seorang yang meriwayatkan darinya, adapun penyebutan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat tidak memiliki qarinah yang menguatkan ta’dilnya.

Al Bukhariy menyebutkan tentangnya hanya saja dengan nama Sa’iid bin Kulaib. Ia berkata dalam kitab Tarikh-nya

سعيد بن كليب عن محمد بن عبد الرحمن بن يزيد مرسل روى عنه محمد بن طلحة الكوفي

Sa’iid bin Kulaib meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Yaziid mursal dan telah meriwayatkan darinya Muhammad bin Thalhah Al Kuufiy [Tarikh Al Kabiir juz 3 no 1694].

Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Yaziid An Nakha’iy adalah seorang yang tsiqat termasuk perawi thabaqat keenam [Taqrib At Tahdzib Ibnu Hajar 2/106] dan Ibnu Hajar menyebutkan bahwa perawi thabaqat keenam tidak tsabit bertemu dengan seorangpun dari sahabat Nabi [Taqrib At Tahdzib Ibnu Hajar 1/25]. 

Oleh karena itu sanad di atas juga dhaif karena munqathi’ [terputus sanadnya] yaitu Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Yazid tidak bertemu dengan Ibnu Mas’ud.
Terdapat riwayat yang menunjukkan bahwa perawi diantara Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Yazid dan Ibnu Mas’ud adalah Ayahnya, hanya saja riwayat ini tidak mahfuzh.

وَحَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ قَالَ ثنا جَرِيرٌ عَنْ لَيْثٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ  الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ

Dan telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir dari Laits dari Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Yazid dari Ayahnya yang berkata ‘Abdullah berkata “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati” [As Sunnah Al Khallaal 5/73 no 1649].

Riwayat ini tidak mahfuzh karena Laits bin Abi Sulaim, ia seorang yang shaduq hanya saja mengalami ikhtilath yang berat [bercampur hafalannya] dan hadisnya tidak bisa dibedakan sehingga ditinggalkan [Taqrib At Tahdzib 2/48]. Apalagi terdapat qarinah bahwa Laits mengalami idhthirab dalam periwayatan atsar ini, sebagaimana nampak dalam riwayat berikut:

حَدَّثَنَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ قَالَ حَّدَثَنَا الحُسَيْنُ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُنْذِرِ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ قَالَ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ طَلْحَةَ بْنِ مُصَرِّفٍ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Aliy bin Mundzir yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail yang berkata telah menceritakan kepada kami Laits dari Thalhah bin Musharrif yang berkata ‘Abdullah berkata “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati” [Dzammul Malaahiy Ibnu Abi Dunyaa hal 45 no 40].

Riwayat di atas menjadi bukti bahwa Laits mengalami idhthirab [kekacauan dalam periwayatan], ia terkadang meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Yazid dari ayahnya dari Ibnu Mas’ud dan terkadang meriwayatkan dari Thalhah bin Musharrif dari Ibnu Mas’ud. Kekacauan periwayatan ini memang sudah dikenal terjadi padanya, oleh karena itu riwayatnya tidak bisa dijadikan hujjah.
.
Riwayat Ketiga:

حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ قَالَ ثنا وَكِيعٌ عَنْ سَلامِ بْنِ مِسْكِينٍ عَنْ شَيْخٍ لَهُمْ لَمْ يَكُنْ يُسَمِّيهِ عَنْ أَبِي وَائِلٍ أَنَّهُ دُعِيَ إِلَى وَلِيمَةٍ فَرَأَى لَعَّابِينَ فَخَرَجَ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ كَمَا يُنْبِتُ الْمَاءُ الْبَقْلَ

Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Salaam bin Miskiin dari Syaikh mereka yang tidak disebutkan namanya dari Abi Wail bahwasanya ia diundang ke suatu walimah [pernikahan] maka ia melihat permainan [musik] maka ia keluar dan berkata aku mendengar Ibnu Mas’ud mengatakan Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati seperti air menumbuhkan sayuran [As Sunnah Al Khallaal 5/76 no 1658].

Riwayat ini juga disebutkan oleh Ibnu Bathah dalam Al Ibanah kitab Iiman 2/703 no 946 juga dengan jalan sanad Waki’ dari Salaam bin Miskiin dari Syaikh dari Abu Wail dari Ibnu Mas’ud secara mauquf.

Waki’ dalam periwayatan dari Salaam bin Miskiin tentang atsar Ibnu Mas’ud di atas secara mauquf telah diselisihi oleh:
  1. Muslim bin Ibrahim yang meriwayatkan dari Salaam bin Miskiin secara marfu’ sebagaimana disebutkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya 2/699 no 4927.
  2. Haramiy bin ‘Umarah yang meriwayatkan dari Salaam bin Miskiin secara marfu’ sebagaimana disebutkan Ibnu Abi Dunyaa dalam Dzammul Malaahiy hal 45 no 41 dan Al Baihaqiy dalam kitab Sunan-nya 10/223 no 20797.
Baik atsar tersebut mauquf atau marfu’ maka sanadnya tetap dhaif karena Syaikh yang disebutkan Salaam bin Miskiin tersebut majhul. Apalagi matan riwayat ini sudah jelas mungkar [karena bertentangan dengan hadis shahih], baik ulama yang mengharamkan musik maupun yang membolehkannya telah sepakat bahwa terdapat dalil shahih Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah mendengarkan nyanyian saat acara walimah.

Kesimpulan:
Secara ringkas ada tiga riwayat Ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati, yaitu:
  1. Riwayat Ibrahim An Nakha’iy dari Ibnu Mas’ud, kedudukannya dhaif karena sanadnya terputus.
  2. Riwayat Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Yaziid dari Ibnu Mas’ud, kedudukannya dhaif karena terdapat perawi majhul dan sanadnya terputus.
  3. Riwayat Abu Wail dari Ibnu Mas’ud, kedudukannya dhaif karena terdapat perawi majhul.
Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada satupun atsar dengan sanad shahih dimana ‘Abdullah bin Mas’ud [radiallahu ‘anhu] mengatakan bahwa Nyanyian dapat menumbuhkan kemunafikan di dalam hati.


INILAH FAKTA BUKTI HADIS AHLUS SUNNAH TERHADAP ABU BAKAR (4)

19. Tawadlu’ Imam Ali Dalam Mengutamakan Abu Bakar dan Umar : Bantahan Terhadap Salafy
Keutamaan Abu Bakr dan ‘Umar adalah satu hal yang tidak perlu disangsikan lagi. Banyak riwayat, baik berasal dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam atau para shahabat lain yang memuat pujian bagi mereka berdua. Tetapi keutamaan yang dimiliki mereka berdua tidaklah melebihi keutamaan yang dimiliki Imam Ali bahkan telah shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam berbagai keutamaan Imam Ali di atas mereka berdua. Siapapun yang dengan sabar dan objektif mengumpulkan semua keutamaan Imam Ali dan keutamaan Abu Bakar dan Umar kemudian membandingkannya maka ia akan mendapatkan kebenaran bahwa kedudukan Imam Ali lebih utama dari Abu Bakar dan Umar.

Tawadhu’ Imam Ali AS.
Sebagian orang yang menyebut dirinya salafy berhujjah dengan berbagai riwayat Imam Ali yang mengutamakan Abu Bakar dan Umar dibanding dirinya. Riwayat-riwayat tersebut sebenarnya telah kami bahas dan kami tunjukkan bahwa perkataan Imam Ali adalah bagian dari sikap tawadlu’ beliau. Tetapi salafy tidak bisa menerima alasan tawadlu’ tersebut. Oleh karena itu kami katakan kepada agar mereka juga menerima berbagai konsekuensi yang justru menentang keyakinan mereka sendiri. Dengan kata lain jangan berhujjah dengan cara-cara yang tidak konsisten.

حدثنا أبو علي الحسن بن البزار حدثنا الهيثم بن خارجة ثنا شهاب بن خراش عن حجاج بن دينار عن أبي معشر عن إبراهيم عن علقمة قال سمعت عليا على المنبر فضرب بيده على منبر الكوفة يقول بلغني أن قوما يفضلوني على أبي بكر وعمر ولو كنت تقدمت في ذلك لعاقبت فيه ولكني أكره العقوبة قبل التقدمة من قال شيئا من هذا فهو مفتر عليه ما على المفتري أن خير الناس رسول الله صلى الله عليه وسلم وبعد رسول الله صلى الله عليه وسلم أبو بكر ثم عمر

Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aliy Al-Hasan bin Al-Bazzaar : Telah menceritakan kepada kami Al-Haitsam bin Khaarijah : Telah menceritakan kepada kami Syihaab bin Khiraasy, dari Hajjaaj bin Diinaar, dari Abu Mi’syar, dari Ibraahiim, dari ‘Alqamah, ia berkata : Aku mendengar ‘Aliy di atas mimbar, lalu ia memukul mimbar Kuufah dengan tangannya seraya berkata : Telah sampai kepadaku ada satu kaum yang mengutamakan diriku di atas Abu Bakr dan ‘Umar. Seandainya saja aku dapati hal itu sebelumnya, niscaya aku berikan/tetapkan hukuman padanya. Akan tetapi aku tidak suka ada satu hukuman sebelum permasalahan ada. Barangsiapa yang mengatakan sesuatu dari hal tersebut, maka ia telah dusta. Baginya diberikan hukuman sebagai seorang pendusta. Bahwasannya sebaik-baik manusia adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Bakr, kemudian ‘Umar. [As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 993]

حدثنا عبد الله حدثني أبو صالح الحكم بن موسى ثنا شهاب بن خراش حدثني الحجاج بن دينار عن أبي معشر عن إبراهيم النخعي قال ضرب علقمة بن قيس هذا المنبر وقال خطبنا علي رضي الله عنه على هذا المنبر فحمد الله وأثنى عليه وذكر ما شاء الله أن يذكر وقال إن خير الناس كان بعد رسول الله صلى الله عليه و سلم أبو بكر ثم عمر رضي الله عنهما ثم أحدثنا بعدهما أحداثا يقضى الله فيها

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Shalih Hakam bin Musa telah menceritakan kepada kami Syihab bin Khirasy telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Dinar dari Abi Ma’syar dari Ibrahim An Nakha’i yang berkata Alqamah bin Qais memukul mimbar ini dan berkata “Ali RA pernah berkhutbah kepada kami di atas mimbar ini. Dia memuji Allah dan menyanjung-Nya. Dia menyebutkan apa yang dikehendaki oleh Allah untuk disebutkannya. Lalu dia berkata “Sesungguhnya manusia terbaik setelah Rasulullah SAW adalah Abu Bakar kemudian Umar. Sepeninggal mereka berdua, kitapun membuat hal-hal baru dimana Allah akan memberikan hukuman atas hal-hal baru itu” [Musnad Ahmad 1/127 no 1051 Syaikh Al Arnauth menyatakan sanadnya kuat]

حدثنا عبد الله قال حدثني عبيد الله بن عمر القواريري ومحمد بن سليمان لوين قالا نا حماد بن زيد وهذا لفظ القواريري قثنا عاصم عن زر عن أبي جحيفة قال خطبنا علي يوما فقال ألا أخبركم بخير هذه الأمة بعد نبيها أبو بكر ثم قال ألا أخبركم بخير هذه الأمة بعد نبيها وبعد أبي بكر عمر

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-Qawaariiriy dan Muhammad bin Sulaimaan Luwain, mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Hammaad bin Zaid – dan ini adalah lafadh Al-Qawaariiriy – , ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aashim, dari Zirr, dari Abu Juhaifah, ia berkata : Pada suatu hari ‘Aliy berkhutbah kepada kami, lalu ia berkata : “Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang orang yang paling baik dari umat ini setelah Nabinya shallallaahu ‘alaihi wa sallam? (yaitu) Abu Bakr”. Kemudian ia berkata lagi : “Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang orang yang paling baik dari umat ini setelah Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan setelah Abu Bakr ? (yaitu) ‘Umar”. [Fadhail Ash Shahabah no 399].

حدثنا عبد الله حدثني وهب بن بقية الواسطي أخبرنا خالد بن عبد الله عن حصين عن المسيب بن عبد خير عن أبيه قال قام علي فقال خير هذه الأمة بعد نبيها أبو بكر وعمر وأنا قد أحدثنا بعدهم أحداثا يقضى الله تعالى فيها ما شاء

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata menceritakan kepadaku Wahab bin Baqiyah Al Wasithi yang berkata telah mengabarkan kepada kami Khalid bin Abdullah dari Hushain dari Al Musayyab bin Abdu Khair dari ayahnya yang berkata “Ali berdiri dan berkata “Orang yang terbaik diantara umat ini setelah Nabi mereka adalah Abu Bakar dan Umar. Sesungguhnya kita telah membuat hal-hal baru sepeninggal mereka dimana Allah akan memberikan hukuman atas hal-hal baru itu sesuai dengan kehendak-Nya[Musnad Ahmad 1/15 no 926 dishahihkan oleh Syaikh Al Arnauth]

حدثنا محمد بن كثير ثنا سفيان ثنا جامع بن أبي راشد ثنا أبو يعلى عن محمد بن الحنفية قال : قلت لأبي أي الناس خير بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أبو بكر قال قلت ثم من قال ثم عمر قال ثم خشيت أن أقول ثم من فيقول عثمان فقلت ثم أنت يا أبة قال ما أنا إلا رجل من المسلمين

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsiir : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan : Telah menceritakan kepada kami Jaami’ bin Abi Raasyid : Telah menceritakan kepada kami Abu Ya’laa, dari Muhammad bin Al-Hanafiyyah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada ayahku (‘Aliy bin Abi Thaalib) : “Siapakah manusia yang paling baik setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam?. Ia menjawab : “Abu Bakr”. Aku kembali bertanya : “Kemudian siapa ?”. Ia menjawab : “Umar”. Muhammad bin Al-Hanafiyah berkata : “Lalu aku khawatir jika aku kembali bertanya ‘kemudian siapa ?’, lalu ia menjawab ‘Utsmaan”. Aku lalu bertanya : “Apakah setelah itu engkau wahai ayahku ?”. Ia menjawab : “Aku hanyalah seorang laki-laki dari kaum muslimin”. [Sunan Abu Dawud no 4629].

Semua atsar Imam Ali di atas adalah bagian dari sikap tawadlu’ Beliau. Hal ini nampak jelas dalam perkataan Imam Ali tersebut bagi mereka yang memahaminya dengan baik
  • Mengenai atsar khutbah Imam Ali kepada orang-orang maka di dalamnya terdapat perkataan yang menunjukkan sikap tawadlu’ beliau yaitu perkataan “Sepeninggal mereka berdua, kitapun membuat hal-hal baru dimana Allah akan memberikan hukuman atas hal-hal baru itu”. Perkataan ini jelas tawadlu’ karena Imam Ali tidak pernah membuat hal-hal yang baru dimana Allah SWT akan memberikan hukuman untuk itu. Justru cukup banyak hal-hal baru yang muncul pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Maka tidak bisa tidak perkataan Imam Ali di atas menunjukkan sikap tawadlu’ beliau
  • Mengenai perkataan Imam Ali kepada anaknya Muhammad bin Al Hanafiyah maka di dalamnya terdapat perkataan yang menunjukkan sikap tawadlu’ beliau yaitu “Aku hanyalah seorang laki-laki dari kaum muslimin”. Sangat jelas ini merupakan sikap tawadlu’ Imam Ali karena telah shahih berbagai hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam keutamaan Beliau diantara semua sahabat yang lain. Sehingga sangat tidak mungkin kalau kedudukan Imam Ali hanyalah seorang laki-laki dari kaum muslimin.
Jadi kami memiliki alasan yang cukup untuk menyatakan kalau perkataan Imam Ali dalam atsar-atsar di atas adalah bagian dari sikap tawadlu’ Beliau. Sangat mungkin kalau perkataan Imam Ali ini disampaikan untuk meredakan perselisihan atau pertentangan yang terjadi di antara orang-orang soal kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa Imam Ali pernah berkhutbah dihadapan orang-orang kalau Beliau lebih berhak dalam urusan khilafah daripada Abu Bakar dan Umar dan disebutkan pula bahwa Beliau telah berhujjah dengan hadis Ghadir-khum untuk membuktikan kekhalifahan Beliau.

عن أبي الطفيل قال جمع علي رضي الله تعالى عنه الناس في الرحبة ثم قال لهم أنشد الله كل امرئ مسلم سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول يوم غدير خم ما سمع لما قام فقام ثلاثون من الناس وقال أبو نعيم فقام ناس كثير فشهدوا حين أخذه بيده فقال للناس أتعلمون انى أولى بالمؤمنين من أنفسهم قالوا نعم يا رسول الله قال من كنت مولاه فهذا مولاه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه قال فخرجت وكأن في نفسي شيئا فلقيت زيد بن أرقم فقلت له انى سمعت عليا رضي الله تعالى عنه يقول كذا وكذا قال فما تنكر قد سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ذلك له

Dari Abu Thufail yang berkata “Ali mengumpulkan orang-orang di tanah lapang dan berkata “Aku meminta dengan nama Allah agar setiap muslim yang mendengar Rasulullah SAW bersabda di Ghadir khum terhadap apa yang telah didengarnya. Ketika ia berdiri maka berdirilah tigapuluh orang dari mereka. Abu Nu’aim berkata “kemudian berdirilah banyak orang dan memberi kesaksian yaitu ketika Rasulullah SAW memegang tangannya (Ali) dan bersabda kepada manusia “Bukankah kalian mengetahui bahwa saya lebih berhak atas kaum mu’min lebih dari diri mereka sendiri”. Para sahabat menjawab “benar ya Rasulullah”. Beliau bersabda “barang siapa yang menjadikan Aku sebagai pemimpinnya maka Ali pun adalah pemimpinnya dukunglah orang yang mendukungnya dan musuhilah orang yang memusuhinya. Abu Thufail berkata “ketika itu muncul sesuatu yang mengganjal dalam hatiku maka aku pun menemui Zaid bin Arqam dan berkata kepadanya “sesungguhnya aku mendengar Ali RA berkata begini begitu, Zaid berkata “Apa yang patut diingkari, aku mendengar Rasulullah SAW berkata seperti itu tentangnya” [Musnad Ahmad 4/370 no 19321 dengan sanad yang shahih seperti yang dikatakan Syaikh Syu’aib Al Arnauth].

حدثني روح بن عبد المؤمن عن أبي عوانة عن خالد الحذاء عن عبد الرحمن بن أبي بكرة أن علياً أتاهم عائداً فقال ما لقي أحد من هذه الأمة ما لقيت توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم وأنا أحق الناس بهذا الأمر فبايع الناس أبا بكر فاستخلف عمر فبايعت ورضيت وسلمت ثم بايع الناس عثمان فبايعت وسلمت ورضيت وهم الآن يميلون بيني وبين معاوية

Telah menceritakan kepadaku Rawh bin Abdul Mu’min dari Abi Awanah dari Khalid Al Hadzdza’ dari Abdurrahman bin Abi Bakrah bahwa Ali mendatangi mereka dan berkata “tidak ada satupun dari umat ini yang mengalami seperti yang saya alami. Rasulullah SAW wafat dan sayalah yang paling berhak dalam urusan ini [kekhalifahan]. Kemudian orang-orang membaiat Abu Bakar terus Umar menggantikannya, maka akupun ikut membaiat, pasrah dan menerima. Kemudian orang-orangpun membaiat Utsman maka akupun ikut membaiat, pasrah dan menerima. Dan sekarang mereka bingung antara Saya dan Muawiyah [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 1/294 dengan sanad yang shahih sesuai syarat Bukhari]
Perkataan Imam Ali bahwa ia yang paling berhak dalam masalah khilafah jelas mengundang perselisihan dan pertentangan di kalangan orang-orang. Sebagian diantara mereka mulai meragukan keabsahan kekhalifahan Abu Bakar dan Umar [bahkan mungkin ada yang mulai mencela Abu Bakar dan Umar] dan mereka ini ditentang oleh sebagian orang lain yang justru mengutamakan Abu Bakar dan Umar. Perselisihan seperti ini tentu jika dibiarkan berlarut-larut akan melemahkan kekuatan pemerintahan Imam Ali apalagi saat itu Beliau harus menghadapi penentangan dari Muawiyah dan pengikutnya. Oleh karena itu Imam Ali berkhutbah di hadapan orang-orang untuk meredakan perselisihan dengan memuji Abu Bakar danUmar dan mengatakan “Sepeninggal mereka berdua, kitapun membuat hal-hal baru dimana Allah akan memberikan hukuman atas hal-hal baru itu”. Sikap tawadlu’ beliau ini telah meredakan perselisihan yang terjadi diantara pengikut Beliau. Tentu saja semua ini adalah penafsiran yang kami pilih dan lebih sesuai dengan berbagai riwayat lain tentang keutamaan Beliau.
Jika salafy tidak suka atau menentang penafsiran seperti ini ya silakan saja. Justru jika diartikan secara zhahir maka atsar-atsar Imam Ali di atas menunjukkan kalau Imam Ali hanyalah seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin yang telah melakukan hal-hal baru sehingga mendapat hukuman dari Allah SWT. Konsekuensinya salafy harus meyakini kebenaran pernyataan tersebut. Tetapi anehnya mereka sendiri mengakui bahwa Imam Ali adalah orang yang paling utama diantara para sahabat yang lain setelah Abu Bakar, Umar dan Utsman. Mengapa mereka tidak berpegang pada perkataan Imam Ali kalau Beliau hanyalah seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin?. Beranikah mereka mengatakan Imam Ali membuat hal-hal baru yang mendapat hukuman dari Allah SWT?. Bukankah mereka salafy menolak untuk mengartikan atsar tersebut dengan sikap tawadhu’. Kalau mereka salafy ingin mengatakan bahwa mereka juga berhujjah dengan berbagai hadis keutamaan Imam Ali yang lain maka itu juga yang telah kami lakukan. Keutamaan-keutamaan Imam Ali yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan keutamaan Imam Ali yang tinggi diantara para sahabat yang lain termasuk Abu Bakar, Umar dan Utsman.

Tawadhu’ Rasulullah SAW.
Sikap tawadlu’ yang ditunjukkan Imam Ali ini pernah pula dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Telah diriwayatkan berbagai hadis shahih bahwa Rasulullah SAW mengatakan jangan mengutamakan Beliau dari para Nabi yang lain atau riwayat dimana Beliau mengatakan Jangan mengutamakanku dari Musa alaihis salam dan sebagainya. Padahal umat islam mengakui kalau Beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Nabi yang paling utama Sayyidul anbiya’.

حدثنا يحيى بن بكير، عن الليث، عن عبد العزيز بن أبي سلمة، عن عبد الله بن الفضل، عن الأعرج، عن أبي هريرة رضي الله عنه قال:بينما يهودي يعرض سلعته، أعطي بها شيئا كرهه، فقال: لا، والذي اصطفى موسى على البشر، فسمعه رجل من الأنصار، فقام فلطم وجهه، وقال: تقول: والذي اصطفى موسى على البشر، والنبي صلى الله عليه وسلم بين أظهرنا؟ فذهب إليه فقال: أبا القاسم، إن لي ذمة وعهدا، فما بال فلان لطم وجهي، فقال: (لم لطمت وجهه). فذكره، فغضب النبي صلى الله عليه وسلم حتى رئي في وجهه، ثم قال: (لا تفضلوا بين أنبياء الله، فإنه ينفخ في الصور، فيصعق من في السماوات ومن في الأرض إلا من شاء الله، ثن ينفخ فيه أخرى، فأكون أول من بعث، فإذا موسى آخذ بالعرش، فلا أدري أحوسب بصعقته يوم الطور، أم بعث قبلي، ولا أقول: إن أحدا أفضل من يونس بن متى

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bakiir dari Laits dari ‘Abdul ‘Aziz bin Abi Salamah dari Abdullah bin Al Fadhl dari Al’Araj dari Abu Hurairah radiallahu ‘anhu yang berkata : Suatu ketika seorang Yahudi menawarkan barang dagangannya, seseorang ingin membelinya dengan harga yang tidak disukai [oleh Yahudi tersebut]. Ia berkata “tidak demi Yang memilih Musa untuk sekalian manusia” kemudian seseorang dari kalangan Anshar mendengarnya maka dia bangkit dan menampar wajah yahudi tersebut. Ia berkata “engkau katakan tadi demi Yang memilih Musa untuk sekalian manusia padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ada diantara kami?”. Maka Yahudi tersebut mengahadap Nabi dan berkata “wahai Abul Qasim sesungguhnya aku dalam perlindungan dan perjanjian lantas mengapa fulan menampar wajahku”. Nabi berkata “mengapa engkau menampar wajahnya?”. Maka ia menyebutkannya. Kemudian marahlah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hingga kemarahan terlihat jelas di wajah Beliau. Beliau berkata “janganlah kalian mengutamakan diantara para Nabi Allah sesungguhnya akan ditiup shuur [terompet sangkakala] kemudian yang di langit dan di bumi akan mati kecuali yang dikehendaki Allah SWT. Kemudian ditiup sekali lagi maka aku yang pertama kali bangkit dan aku dapati Musa telah memegang pilar Arsy. Aku tidak tahu apakah ia dibebaskan darinya karena telah merasakannya di bukit Thur atau dibangkitkan sebelumku, dan tidak pula aku mengatakan ada seseorang yang lebih utama dari Yunus bin Matta[Shahih Bukhari no 3414].

Dalam riwayat lain disebutkan kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam setelah mendengar alasan lelaki anshar, Beliau berkata:

لا تخيروني من بين الأنبياء، فإن الناس يصعقون يوم القيامة، فأكون أول من يفيق، فإذا أنا بموسى آخذ بقائمة من قوائم العرش، فلا أدري أفاق قبلي أم جزي بصعقة الطور

Janganlah mengutmakanku dari Nabi-Nabi Allah [yang lain], sesungguhnya orang-orang akan mati di hari kiamat kemudian aku adalah orang yang pertama bangkit ternyata aku dapati Musa memegang salah satu pilar dari pilar-pilar arsy, aku tidak tahu apakah ia dibangkitkan sebelumku atau telah merasakannya di bukit Thur [Shahih Bukhari no 4638].

Dalam riwayat lain disebutkan kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam setelah mendengar alasan lelaki anshar, Beliau berkata:

لا تخيروني على موسى، فإن الناس يصعقون يوم القيامة، فأصعق معهم، فأكون أول من يفيق، فإذا موسى باطش جانب العرش، فلا أدري: أكان فيمن صعق فأفاق قبلي، أو كان ممن استثنى الله

Janganlah kalian mengutamakanku dari Musa, sesungguhnya orang-orang akan mati pada hari kiamat, aku juga mati bersama mereka. Maka aku yang pertama bangkit dan ketika itu Musa berada di bawah Arasy. Aku tidak tahu apakah ia dibangkitkan sebelumku atau ia termasuk yang dikecualikan oleh Allah SWT. [Shahih Bukhari no  2411 dan no 3408].

حدثنا أبو كريب حدثنا عبدة بن سليمان حدثنا محمد بن عمرو حدثنا أبو سلمة عن أبي هريرة قال قال يهودي بسوق المدينة لا والذي اصطفى موسى على البشر قال فرفع رجل من الأنصار يده فصك بها وجهه قال تقول هذا وفينا نبي الله صلى الله عليه و سلم فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم { ونفخ في الصور فصعق من في السموات ومن في الأرض إلا من شاء الله ثم نفخ فيه أخرى فإذا هم قيام ينظرون } فأكون أول من رفع رأسه فإذا موسى آخذ بقائمة من قوائم العرش فلا أدري أرفع رأسه قبلي أو كان ممن استثنى الله ؟ ومن قال أنا خير من يونس بن متى فقد كذب

Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib : telah menceritakan kepada kami : ‘Abdah bin Sulaiman : telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Amru : telah menceritakan kepada kami : Abu Salamah dari Abu Hurairah yang berkata seorang Yahudi di pasar pernah berkata “tidak demi Yang memilih Musa dari sekalian manusia”. Abu Hurairah berkata seorang laki-laki dari kalangan Anshar mengangkat tangan memukul wajahnya sambil berkata “kamu mengatakan seperti itu sementara diantara kami ada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “dan ditiup sangkakala maka matilah yang ada di langit dan di bumi kecuali yang dikehendaki Allah kemudian ditiuplah sekali lagi maka mereka bangkit dan menunggu” [Az Zumar ayat 68], aku adalah orang yang pertama mengangkat kepala, saat itu Musa telah memegang salah satu pilar dari pilar-pilar ‘arasy aku tidak tahu apakah ia mengangkat kepalanya sebelumku atau termasuk yang dikecualikan Allah SWT? Dan barangsiapa mengatakan aku lebih baik dari Yunus bin Matta maka ia seorang pendusta[Sunan Tirmidzi 5/373 no 3245 dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].

Para ulama diantaranya Ibnu Katsir dan Ibnu Qutaibah menafsirkan berbagai riwayat di atas sebagai salah satu sikap tawadhu’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena sudah jelas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Sayyidul Anbiya’ dan yang paling mulia diantara para Nabi. Sekarang mari kita menafsirkan hadis-hadis di atas dengan menuruti cara berdalil versi salafy. Jika kami mengikuti cara pikir salafy maka kami katakan : sangatlah sulit untuk menerima hujjah bahwa ini adalah sikap tawadhu’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena dari riwayat di atas ditunjukkan:
  • Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam marah kepada lelaki anshar tersebut sehingga kemarahan tampak jelas dari raut wajah Beliau. Padahal lelaki anshar tersebut mengutamakan Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam di atas Musa.
  • Lafaz yang diucapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah “Jangan mengutamakanku dari Musa” atau “Jangan mengutamakanku dari para Nabi yang lain” merupakan larangan yang jelas
  • Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan jelas mengatakan siapa yang mengatakan aku [Beliau] lebih baik dari Yunus bin Matta maka ia seorang pendusta.
Mari kita tanyakan kepada salafy, apakah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam lebih utama dari para Nabi yang lain termasuk lebih utama dari Nabi Yunus alaihis salam?. Jika mereka menjawab “ya” maka secara zhahir hadis di atas sangat boleh disebutkan kalau mereka salafy adalah pendusta. Jika mereka menjawab “tidak” maka kalian salafy telah menentang diri kalian sendiri dan umat islam lainnya yang berkeyakinan kalau Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Sayyidul Anbiya’. Bagi kami pribadi, kami lebih memilih menafsirkan hadis-hadis di atas sebagai sikap tawadhu’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di atas adalah analogi yang baik bagi Atsar Imam Ali soal Abu Bakar dan Umar sebelumnya.
  • Imam Ali mengatakan siapa yang mengutamakan Abu Bakar dan Umar atas dirinya adalah pendusta sama halnya dengan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa siapa yang mengatakan aku [Beliau] lebih baik dari Yunus bin Matta maka ia seorang pendusta. Kedua perkataan ini ditafsirkan dengan sikap tawadhu’.
  • Imam Ali dikatakan memukul mimbar ketika mendengar ada yang mengutamakan Abu Bakar dan Umar atas dirinya dan ditafsirkan oleh salafy bahwa ini menunjukkan kemarahan Imam Ali. Maka ini sama halnya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam marah sehingga kemarahan tampak jelas dari wajah Beliau ketika mendengar perkataan lelaki anshar padahal lelaki tersebut mengutamakan dirinya atas Nabi Musa. Keduanya ditafsirkan sebagai sikap tawadhu’.
Bukti Keutamaan Imam Ali di Atas Abu Bakar dan Umar.
Dalam perkara tafdhil kami tidak pernah mencukupkan diri hanya kepada satu riwayat semata seperti yang ditunjukkan oleh para pengikut salafy. Mengapa dalam masalah tafdhil shahabat kami menganggap Imam Ali lebih utama diantara para sahabat lainnya termasuk Abu Bakar dan Umar karena telah diriwayatkan berbagai hadis shahih keutamaan Imam Ali di atas semua sahabat termasuk Abu Bakar dan Umar. Salah satunya adalah sebagai berikut:

حدثنا سفيان بن وكيع حدثنا عبيد الله بن موسى عن عيسى بن عمر عن السدي عن أنس بن مالك قال كان عند النبي صلى الله عليه و سلم وسلم طير فقال اللهم آئتني بأحب خلقك إليك يأكل معي هذا الطير فجاء علي فأكل معه

Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Waki’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Musa dari Isa bin Umar dari As Suddi dari Anas bin Malik yang berkata Rasulullah SAW suatu ketika memiliki daging burung kemudian Beliau SAW bersabda “Ya Allah datangkanlah hambamu yang paling Engkau cintai agar dapat memakan daging burung ini bersamaKu. Maka datanglah Ali dan ia memakannya bersama Nabi SAW” [Sunan Tirmidzi 5/636 no 3721 hadis shahih dengan keseluruhan jalannya].

ثنا أبو نعيم ثنا يونس ثنا العيزار بن حريث قال قال النعمان بن بشير قال استأذن أبو بكر على رسول الله صلى الله عليه و سلم فسمع صوت عائشة عاليا وهى تقول والله لقد عرفت ان عليا أحب إليك من أبي ومنى مرتين أو ثلاثا فاستأذن أبو بكر فدخل فأهوى إليها فقال يا بنت فلانة الا أسمعك ترفعين صوتك على رسول الله صلى الله عليه و سلم

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim yang berkata telah menceritakan kepada kami Yunus yang berkata telah menceritakan kepada kami Al ‘Aizar bin Huraits yang berkata Nu’man bin Basyir berkata “Abu Bakar meminta izin untuk bertemu dengan Rasulullah SAW. Kemudian beliau mendengar suara tinggi Aisyah yang berkata kepada Rasulullah SAW “Demi Allah sungguh aku telah mengetahui bahwa Ali lebih Engkau cintai daripada aku dan ayahku” sebanyak dua atau tiga kali. Abu Bakar meminta izin masuk menemuinya dan berkata “Wahai anak perempuan Fulanah tidak seharusnya kau meninggikan suaramu terhadap Rasulullah SAW” [Musnad Ahmad no 18333 tahqiq Syaikh Ahmad Syakir dan Hamzah Zain dengan sanad yang shahih].

Allah SWT telah mengabulkan doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Imam Ali adalah hamba yang paling dicintai Allah SWT. Keutamaan ini menunjukkan keutamaan yang tinggi Imam Ali di atas semua sahabat lain termasuk Abu Bakar dan Umar. Tidak perlu aneka ragam ta’wil dan sangat jelas ucapan ini berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan dikabulkan oleh Allah SWT. Demikian jelas, dapat dipahami semua strata kaum muslimin yang berakal dan paham bahasa manusia.

Dan dikatakan pula oleh Aisyah radiallahu’ anhu di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan didengar pula oleh Abu Bakar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih mencintai Ali dari Abu Bakar dan Aisyah. Sudah jelas ini adalah bukti nyata keutamaan Imam Ali di atas Abu Bakar radiallahu ‘anhu. Sangat jelas dapat dipahami semua strata kaum muslimin yang berakal dan paham bahasa manusia. Inilah penjelasan dan bukti shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidaklah mengherankan jika Abu Bakar sendiri kendati ia dibaiat sebagai khalifah, ia sendiri mengakui kalau ia bukanlah yang terbaik diantara para sahabat Nabi.

وقال محمد بن اسحاق حدثني الزهري حدثني أنس بن مالك قال لما بويع أبو بكر في السقيفة وكان الغد جلس أبو بكر على المنبر وقام عمر فتكلم قبل أبي بكر فحمد الله وأثنى عليه بما هو أهله ثم قال أيها الناس إني قد كنت قلت لكم بالأمس مقالة ما كانت وما وجدتها في كتاب الله ولا كانت عهدا عهدها الي رسول الله صلى الله عليه وسلم ولكني كنت ارى أن رسول الله سيدبر أمرنا يقول يكون آخرنا وان الله قد أبقى فيكم كتابه الذي هدى به رسول الله فان اعتصمتم به هداكم الله لما كان هداه الله له وأن الله قد جمع أمركم على خيركم صاحب رسول الله صلى الله عليه وسلم وثاني اثنين إذ هما في الغار فقوموا فبايعوه فبايع الناس أبا بكر بيعة العامة بعد بيعة السقيفة ثم تكلم ابو بكر فحمد الله وأثنى عليه بما هو أهله ثم قال أمابعد أيها الناس فاني قد وليت عليكم ولست بخيركم فان أحسنت فأعينوني وان اسأت فقوموني الصدق أمانة والكذب خيانة والضعيف منكم قوي عندي حتى أزيح علته إن شاء الله والقوي فيكم ضعيف حتى آخذ الحق ان شاء الله لا يدع قوم الجهاد في سبيل الله إلا ضربهم الله بالذل ولا يشيع قوم قط الفاحشة إلا عمهم الله بالبلاء أطيعوني ما أطعت الله ورسوله فاذا عصيت الله ورسوله فلا طاعة لي عليكم قوموا الى صلاتكم يرحمكم الله

Dan Muhammad bin Ishaq berkata telah menceritakan kepada kami Az Zuhri yang berkata telah menceritakan kepada kami Anas bin Malik yang berkata ketika Abu Bakar dibaiat di Saqifah, esok harinya ia duduk diatas mimbar dan Umar berdiri di sampingnya memulai pembicaraan sebelum Abu Bakar. Umar mulai memuji Allah sebagai pemilik segala pujian, kemudian berkata “wahai manusia aku telah katakan kepada kalian kemarin perkataan yang tidak terdapat dalam kitabullah dan tidak pula pernah diberikan Rasulullah SAW kepadaku. Aku berpandangan bahwa Rasulullah SAW akan hidup terus dan mengatur urusan kita maksudnya Rasulullah akan wafat setelah kita. Dan sesungguhnya Allah SWT telah meninggalkan kitab-Nya yang membimbing Rasulullah SAW maka jika kalian berpegang tehug dengannya Allah SWT akan membimbing kalian sebagaimana Allah SWT membimbing Nabi-Nya. Sesungguhnya Allah SWT telah mengumpulkan urusan kalian pada orang yang terbaik diantara kalian yaitu Sahabat Rasulullah dan orang yang kedua ketika ia dan Rasulullah SAW bersembunyi di dalam gua. Maka berdirilah kalian dan berilah baiat kalian kepadanya. Maka orang-orang membaiat Abu Bakar secara umum setelah baiat di saqifah. Kemudian Abu Bakar berkata setelah memuji Allah SWT pemilik segala pujian. Ia berkata “Amma ba’du, wahai manusia sekalian sesungguhnya aku telah dipilih sebagai pimpinan atas kalian dan bukanlah aku orang yang terbaik diantara kalian maka jika berbuat kebaikan bantulah aku. Jika aku bertindak keliru maka luruskanlah aku, kejujuran adalah amanah dan kedustaan adalah khianat. Orang yang lemah diantara kalian ia kuanggap kuat hingga aku mengembalikan haknya kepadanya jika Allah menghendaki. Sebaliknya yang kuat diantara kalian aku anggap lemah hingga aku mengambil darinya hak milik orang lain yang diambilnya jika Allah mengehendaki. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah kecuali Allah timpakan kehinaan dan tidaklah kekejian tersebar di suatu kaum kecuali adzab Allah ditimpakan kepada kaum tersebut. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan RasulNya. Tetapi jika aku tidak mentaati Allah dan RasulNya maka tiada kewajiban untuk taat kepadaku. Sekarang berdirilah untuk melaksanakan shalat semoga Allah merahmati kalian. [Al Bidayah Wan Nihayah Ibnu Katsir 5/269 dan ia menshahihkannya].

Begitu pula yang diakui putra Imam Ali sendiri yaitu Imam Hasan Alaihis Salam dimana ia berkhutbah dihadapan manusia dan menyatakan keutamaan Imam Ali yang tidak bisa dicapai oleh orang sebelum maupun sesudah Beliau.

خطبنا الحسن بن على رضي الله عنه فقال لقد فارقكم رجل بالأمس لم يسبقه الأولون بعلم ولا يدركه الآخرون كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يبعثه بالراية جبريل عن يمينه وميكائيل عن شماله لا ينصرف حتى يفتح له

Hasan bin Ali berkhutbah kepada kami, Beliau berkata “Sungguh kemarin, seorang laki-laki telah meninggalkan kalian, dimana orang-orang terdahulu tidak dapat menandinginya dalam hal keilmuan dan orang-orang yang datang kemudian juga tidak dapat menyainginya. Rasulullah SAW telah mengutusnya untuk memegang bendera pasukan. Saat itu, Jibril berada di sebelah kanannya sedangkan Mika’il berada di sebelah kirinya. Dia tidak akan pulang hingga negeri (yang didatanginya) berhasil ditaklukan [Musnad Ahmad no 1719 dan no 1720 dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dan dihasankan oleh Syaikh Al Arnauth].

Dapat kita lihat bahwa Imam Hasan alaihis salam mengakui keutamaan ayahnya Imam Ali yang tidak bisa dicapai oleh orang sebelum beliau dan setelah beliau. Ini merupakan pengakuan yang jelas akan keutamaan Imam Ali diatas semua sahabat lainnya termasuk Abu Bakar dan Umar. Perkataan Imam Hasan alaihis salam ini lebih dapat dijadikan hujjah karena Beliau adalah ahlul bait yang telah disucikan dan menjadi pedoman bagi umat islam.

Kami pribadi walaupun mengutamakan Imam Ali di atas Abu Bakar dan Umar, tidak pernah kami mencela atau mencaci mereka berdua seperti yang dituduhkan oleh pengikut salafy. Kami tetap menghormati mereka dan tidak pernah bersikap ghuluw terhadap mereka. Kami tidak pernah membela kesalahan mereka seperti yang ditunjukkan oleh sebagian pengikut salafy. Sebagian diantara mereka naik pitam jika kami menunjukkan kesalahan Abu Bakar dan Umar, padahal sebagai seorang yang mengaku pengikut sunnah maka sudah sewajarnya kalau yang menjadi pegangan adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seandainya Abu Bakar dan Umar menyalahi ketetapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka tidak ada halangan bagi kami menyalahkan mereka dan sangat tidak perlu kami bersusah-susah membela mereka karena mereka berdua bukanlah orang yang selalu dalam kebenaran, mereka berdua bukanlah orang yang menjadi pedoman bagi umat islam. Maka kita dapat lihat sikap ghuluw salafy terhadap Abu Bakar dan Umar dan bersamaan dengan itu mereka malah meninggalkan Ahlul Bait Rasul. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah meninggalkan Ahlul Bait sebagai pedoman bagi umat islam. Bukannya mengikuti perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam , mereka salafiyun malah mendustakannya, entahlah sebenarnya siapa yang diteladani oleh salafiyun?. Kami pribadi tidak paham dan tidak berniat memahami sikap mereka.

20. Keutamaan Imam Ali Di Atas Abu Bakar dan Umar : Bantahan Terhadap Salafy.
Ternyata salafy  yang suka “nyeleneh” itu membuat tanggapan terhadap bantahan kami walaupun kami cukup kecewa melihat bahwa bantahannya tidak ada sedikitpun hujjah yang kuat selain gaya basa-basi yang diulang-ulang terus. Tetapi kami tidak keberatan untuk membahasnya, sekedar menunjukkan kepada para pembaca bahwa salafy tersebut tidak pernah mengerti apa itu “inkonsistensi”. Maka kami menyarankan padanya sebelum ia belajar hadis disana sini, silakan diperbaiki dulu logika berpikir agar dalam penarikan dalil tidak muncul inkonsistensi disana-sini. Tulisan salafy tersebut adalah yang kami “quote”
Ok lah silahkan Syi’ah berhujjah dengan hadits-hadits sunni dan sok berasa sebagai pemilik hadits-hadits sunni, tetapi yang konsisten dong kalau berhujjah, bukannya mengais-ais riwayat-riwayat yang tidak mu’tabar untuk mendukung keyakinannnya dengan mengabaikan riwayat-riwayat mu’tabar yang begitu jelas melawan keyakinannya, maka gaya seperti itu adalah gaya orientalis yang tidak ada nilainya sama sekali di sisi kami
Jika para pembaca mengetahui ada penyakit yang susah disembuhkan, maka inilah contohnya. Kami tidak pernah sok berasa-rasa pemilik hadis sunni, justru dari tulisan awalnya kan dia sendiri yang sok ngaku-ngaku sembari menuduh orang lain sebagai mencatut riwayat sunni. Lha kami dan dirinya itu ya sama yaitu sebagai orang yang berhujjah dengan dalil sunni. Jadi tidak ada hak baginya untuk menuduh kami syiah dan berkata kami mencatut riwayat sunni. Orang lain kan bisa saja dengan mudahnya berkata kalau dia nashibi dan mencatut riwayat sunni untuk mendukung akidahnya.

Kemudian jangan samakanlah penyakit yang anda derita kepada orang lain, kalau anda punya penyakit sinisme riwayat mu’tabar dan tidak mu’tabar versi anda maka jangan bawa-bawa orang lain. Kami tidak punya masalah dengan riwayat berbagai kitab yang diakui oleh para ulama, termasuk para ulama mu’tabar seperti Ibnu Hajar, bahkan Syaikh salafy sendiri Syaikh Al Albani dan yang lainnya banyak berhujjah dengan riwayat tidak mu’tabar versi anda itu. Jadi sebenarnya yang konsisten disini adalah anda. Mengapa? Karena para ulama dalam menilai suatu riwayat mereka berpegang pada sanad riwayat tesebut shahih atau tidak, para ulama ketika mentakhrij suatu hadis mereka mengumpulkan hadis-hadis tersebut dari berbagai kitab yang menurut versi anda itu tergolong tidak mu’tabar. Jadi sinisme yang anda derita itu gak laku deh di kalangan para ulama dan hanya menunjukkan keawaman yang terasa menyedihkan kalau diiringi dengan keangkuhan.

Dan ngomong-ngomong soal gaya orientalis, kami sarankan agar anda tidak perlu banyak bicara masalah ini karena justru gaya orientalis yang setengah-setengah plus suka mencari dalih kalau kepepet persis banget dengan gaya pengikut aneh salafy yang maaf anda sendiri termasuk didalamnya. Insya Allah dibawah ini kami akan menampilkan bukti nyata dari tulisan anda sendiri. Silakan dibuka mata anda, ah maaf kami tidak mengharapkan anda bisa memahami tetapi kami yakin para pembaca yang bukan salafy akan mudah memahaminya.
Cukuplah kita jawab syubhat orang syi’ah tersebut, bahwa memang ada beberapa sahabat yang mengutamakan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu di atas Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma, tetapi dibandingkan jumlah sahabat yang melebihkan Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma di atas Ali radhiyallahu ‘anhu jumlah mereka adalah sangat kecil, sementara yang mendahulukan syaikhain atas Ali adalah mayoritas.
Silakan pembaca perhatikan perkataan salafy ini bahwa memang ada beberapa sahabat yang mengutamakan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu di atas Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma. Kemudian silakan pembaca bandingkan dengan perkataannya sebelumnya
Diantara penyimpangan ajaran Syi’ah adalah mendahulukan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu melebihi Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma dalam segi keutamaan
Bukankah pernyataan salafy yang terburu-buru menuduh itu malah menunjukkan kalau menurutnya beberapa sahabat seperti Salman, Abu Dzar, Miqdad, Khabbab, Jabir, Abu Said Al Khudri, Zaid bin Al Arqam dan Abu Thufail telah melakukan penyimpangan seperti yang dilakukan syiah. Apakah pembaca melihat siapa sebenarnya sekarang yang sedang merendahkan sahabat? Atau bagi mereka salafy, sah-sah saja menuduh sahabat tetapi kalau mahzab lain mesti disesat-sesatkan. Aduhai kiranya penulis itu memahami artinya inkonsistensi. Jika pembaca masih ingat sebelumnya ia berkata seperti ini
Pendapat ini menyelisihi hadits Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan ijma’ kesepakatan para shahabat dan seluruh kaum muslimin.
Silakan pembaca lihat, tidak ada hadis Rasulullah SAW yang melebihkan Abu Bakar dan Umar di atas Ali, bahkan Alhamdulillah banyak sekali hadis Rasulullah SAW yang melebihkan Imam Ali di atas Abu Bakar dan Umar. Tidak ada ijma’ para sahabat yang dimaksud, kami telah menunjukkan bahwa itu hanya pendapat sebagian sahabat saja bahkan Abu Bakar sendiri mengaku kalau ia bukan orang yang paling baik. Dan yang paling naïf adalah ucapan “seluruh kaum muslimin”, bagi kami perkataan ini hanyalah sebuah keangkuhan yang muncul dari orang awam. Kami telah tunjukkan padanya bahwa sudah dari dahulu kaum muslimin berselisih dalam masalah siapa yang paling utama setelah Nabi SAW [sebagaimana yang dikatakan Ibnu Hazm]. Adakah salafy itu mengerti kalau klaimnya itu nol besar semua, tetapi aneh ia bukannya menyadari malah bersemangat buru-buru membantah. Alangkah baiknya kalau sebelum membantah ya dipikir baik-baik dulu.

Ada pun perkataannya tetapi dibandingkan jumlah sahabat yang melebihkan Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma di atas Ali radhiyallahu ‘anhu jumlah mereka adalah sangat kecil, sementara yang mendahulukan syaikhain atas Ali adalah mayoritas. Maka kami katakan silakan tuh tampilkan buktinya kalau hanya bersandar pada atsar Ibnu Umar lha kami pun bisa saja bersandar pada atsar Jabir RA. Kalau anda dengan mudahnya bilang mayoritas maka apa yang mencegah kami untuk mengatakan mayoritas sahabat mengutamakan Imam Ali di atas Abu Bakar dan Umar sedangkan atsar Ibnu Umar hanya menunjukkan minoritas sahabat saja. Silakan pikirkan baik-baik gaya berhujjah versi anda itu gak akan bisa digunakan kepada orang lain karena orang lain bisa membalasnya dengan gaya anda pula. Cukuplah bagi kami dikatakan bahwa sebagian sahabat mengutamakan Abu Bakar dan Umar di atas Ali dan sebagian sahabat yang lain mengutamakan Ali di atas Abu Bakar dan Umar.
Sehingga pendapat dari beberapa orang yang berbeda tidak merusak keabsahan ijma’ para sahabat dalam mendahulukan Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma di atas Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Maka sungguh kata-kata basa-basi ketika penulis syi’ah tersebut mengatakan bahwa kesepakatan dalam hal tersebut adalah bukan kesepakatan sunni tetapi kesepakatan salafy, padahal salafusshaleh dengan ahlussunnah tidak ada bedanya.
Maaf kalau anda tidak paham apa itu ijma’ maka silakan dipelajari kembali. Bagaimana bisa mengklaim adanya ijma’ sahabat padahal sebagian sahabat menentang ijma’ tersebut?. Bagaimana bisa diklaim adanya ijma’ kalau hadis shahih Rasulullah SAW sendiri mengutamakan Imam Ali di atas Abu Bakar dan Umar. Dan maaf ya tidak ada gunanya tuh salafy mengaku-ngaku ahlussunnah, karena kami pun dengan mudahnya bisa mengaku ahlus sunnah. Pendapat kami yang mengutamakan Imam Ali di atas Abu Bakar dan Umar ternyata didahului oleh para salafus saleh juga, so apakah anda memperhatikan wahai salafy?. Jika tidak maka kami bisa memaklumi ketidakmampuan anda untuk memahaminya.
Kemudian penulis syi’ah itu berusaha dengan jalan berputar-putar (yang kami lihat karena dia sudah kehabisan argumentasi, sehingga mulai mengada-ada) untuk membantah keabsahan atsar dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa para sahabat mengutamakan Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiyallahu ‘anhum di masa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Memang bagi yang tidak pernah menelusuri jalan maka jalan yang sedikit rumit dianggapnya berputar-putar. Kami cukup memaklumi kok para pengikut salafy yang terbiasa instan dengan kenyamanan “langsung tilep” apa saja yang disajikan dari Syaikh-syaikh mereka. Pengikut salafy memang tidak terbiasa mencari jalan sendiri, jadi mohon maaf kalau anda jadi pusing berputar-putar.
Lucunya orang syi’ah ini menambahkan riwayat yang kami tidak memunculkannya di blog kami, dan seolah-olah memaksa kami untuk mengikuti cara pendalilan dia dengan riwayat tambahan tersebut, seperti biasa orang syi’ah kalau sudah tidak ada kata-kata dia akan berusaha melebar kemana-mana.
Aduhai wahai pemilik blog salafy yang terhormat kami tidak pernah menjadikan blog anda sebagai hujjah referensi, alangkah rendahnya kami jika melakukan itu. Kami membahas sesuatu sesuai dengan kaidah keilmuan yaitu dengan mengumpulkan berbagai riwayat dengan pokok bahasan yang sama agar didapatkan pemahaman yang komprehensif. Jadi anggapan kami melebar kemana-mana itu cuma khayalan anda saja, kenyataannya anda lah yang tidak membahas secara objektif hanya menyempitkan diri pada hujjah-hujjah anda saja. Kalau maunya begitu ya wes toh, silakan anda dengan dalil anda dan kami dengan dalil kami.
Nah bagi para pembaca yang tidak mengidap penyakit “sinisme mu’tabar tidak mu’tabar” maka kami tambahkan nih info sebagai penguat apa yang menjadi hujjah kami. Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma berkata:

كنا نفاضل على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم أبو بكر ثم عمر ثم عثمان ثم نسكت

“Kami mengutamakan di jaman Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam Abu Bakr, kemudian ‘Umar, kemudian ‘Utsman, kemudian kami diam” [Diriwayatkan dalam Shahih Ibnu Hibban no. 7251, Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 12/9, Musnad Ahmad 2/14 no 4626, As Sunnah Ibnu Abi ‘Aashim no. 1195, dan Mu’jam Al Kabir Ath-Thabaraniy 12/345 no. 13301: shahih].

Jadi sangat jelas kok yang dimaksud Ibnu Umar adalah kami [sebagian sahabat] mengutamakan Abu Bakar Umar dan Utsman setelah itu kami [sebagian sahabat] diam tidak mengutamakan satupun dari yang lain. So menurut Ibnu Umar ada sebagian sahabat yang tidak mengutamakan Imam Ali di atas sahabat yang lainnya. So menurut Ibnu Umar ada sebagian sahabat yang menganggap Imam Ali sama seperti sahabat lainnya. Inilah penafsiran kami.

Sedangkan penafsiran konyol salafy bahwa kata “kami” dalam atsar Ibnu Umar menunjukkan semua sahabat atau ijma’ sahabat sangat bertentangan dengan hadis-hadis lain dan bertentangan dengan keyakinan salafy sendiri. Kami tanya anda wahai salafy, jika ijma’ sahabat diam tidak mengakui Imam Ali lebih utama dari sahabat lain lantas mengapa anda salafy mengutamakan Imam Ali di atas sahabat yang lain?. Silakan jawab dulu inkonsistensi anda, mengapa anda menentang ijma’ sahabat? Berani sekali mahzab anda. Atau masih gak paham letak inkonsistensinya, sungguh kasihaaan.

Begitu pula penafsiran salafy kalau “di zaman Rasulullah SAW hidup” menunjukkan dalil yang qath’i bahwa Rasulullah SAW tidak membantahnya alias menyetujuinya. Kalau begitu maka menurut salafy Rasulullah SAW berpandangan Imam Ali tidak lebih utama dari sahabat lainnya, buktinya Rasulullah SAW tidak membantah atsar Ibnu Umar. Kami tanya anda wahai salafy jika Rasulullah SAW mengakui Imam Ali tidak lebih utama dari sahabat yang lain, maka mengapa anda salafy mengutamakan Imam Ali di atas sahabat yang lain?. Berani sekali anda menentang pandangan Rasulullah SAW?. Sangat inkonsisten bukan, masihkah anda tidak mengerti betapa naifnya gaya berhujjah versi anda ini.
Lihatlah kami telah memunculkan riwayat-riwayat dari sumber yang mu’tabar, eh tiba-tiba saja nich syi’ah memunculkan riwayat dari sumber yang dinilai dari sisi kemu’tabaran jauh di bawah sumber yang kami sebutkan di atas dan memaksakan kehendak bahwa riwayat yang dia munculkan adalah riwayat yang lebih lengkap. Apakah dengan begitu kami meninggalkan riwayat mu’tabar yang kami munculkan di atas? Jawabnya TIDAK!. Riwayat tersebut memang dapat dijadikan syawahid tetapi tetap kita lebih berpegang pada sumber yang lebih mu’tabar.
Faktanya riwayat dalam As Sunnah itu jelas lebih lengkap. Hujjahnya soal “yang lebih mu’tabar” adalah hujjah yang tidak ada nilainya. Cuma orang awam yang angkuh saja yang menjawab dengan gaya begitu. Silakan tuh lihat baik-baik sanadnya.

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كُنَّا نُخَيِّرُ بَيْنَ النَّاسِ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنُخَيِّرُ أَبَا بَكْرٍ ثُمَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ ثُمَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ

Telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Sulaiman dari Yahya bin Sa’id dari Nafi’ dari Ibnu Umar radiallahu ’anhuma yang berkata “Kami membandingkan diantara manusia di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka kami menganggap yang terbaik adalah Abu Bakar, kemudian Umar bin Khaththab kemudian Utsman bin Affan radiallahu ‘anhum” [Shahih Bukhari no 3655].

أخبرنا عبدالله قال ثنا سلمة بن شبيب قال مروان الطاطري قال ثنا سليمان بن بلال قال ثنا يحيى بن سعيد عن نافع عن ابن عمر قال كنا نفضل على عهد رسول الله  صلى الله عليه وسلم  أبا بكر وعمر وعثمان ولا نفضل أحدا على أحد

Telah mengabarkan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Salamah bin Syabib yang berkata Marwan Ath Thaathari berkata menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilal yang berkata menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id dari Nafi’ dari Ibnu Umar yang berkata “kami mengutamakan di masa hidup Rasulullah SAW Abu Bakar, Umar dan Utsman kemudian kami tidak mengutamakan satupun dari yang lain” [As Sunnah Al Khallal no 580]

Kedua hadis ini adalah hadis yang sama semuanya sama-sama diriwayatkan dari Sulaiman bin Bilal dari Yahya bin Sa’id dari Nafi’ dari Ibnu Umar. Keduanya sama-sama shahih sehingga memang tepat bahwa riwayat Al Khallal adalah riwayat yang lebih lengkap. Tidak ada yang memaksakan kehendak disini. Dan pernyataan yang paling awam yang menunjukkan ketidaktahuan dalam ilmu adalah pernyataan salafy “Riwayat tersebut memang dapat dijadikan syawahid tetapi tetap kita lebih berpegang pada sumber yang lebih mu’tabar”. Pernyataan ini membuat kami benar-benar kasihan dengan salafy ini. Jelas sekali ia tidak tahu apa artinya “syawahid” dalam ilmu hadis. Bagaimana mungkin sanad yang berujung kepada sahabat yang sama disebut syawahid?. Aduhai sebelum banyak membantah tolonglah belajar dulu.

Pada dasarnya kami mengutip riwayat Al Khallal karena riwayat itu memiliki sanad yang sama dengan apa yang dikutip oleh orang salafy itu dari Shahih Bukhari yaitu berujung pada Sulaiman dari Yahya bin Sa’id dari Nafi dari Ibnu Umar. Sebenarnya dalam Shahih Bukhari terdapat hadis Ibnu Umar yang matannya hampir sama dengan matan riwayat Al Khallal

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمِ بْنِ بَزِيعٍ حَدَّثَنَا شَاذَانُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ الْمَاجِشُونُ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كُنَّا فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَعْدِلُ بِأَبِي بَكْرٍ أَحَدًا ثُمَّ عُمَرَ ثُمَّ عُثْمَانَ ثُمَّ نَتْرُكُ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نُفَاضِلُ بَيْنَهُمْ

Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Hatim bin Bazii’ yang menceritakan kepada kami Syadzaan yang menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Abi Salamah Al Majsyuun dari Ubaidillah dari Nafi’ dari Ibnu Umar radiallahu’anhuma yang berkata “kami di zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam tidak membandingkan Abu Bakar dengan seorangpun kemudian Umar kemudian Utsman kemudian kami membiarkan sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam yang lain dan tidak mengutamakan siapapun diantara mereka[Shahih Bukhari no 3697].

Semoga penulis salafy itu masih punya rasa malu dengan penyakit sinismenya soal mu’tabar dan tidak mu’tabar. Kira-kira apa yang akan dikatakan salafy itu jika hadis dalam Shahih Bukhari yang menurut-nya mu’tabar justru menguatkan riwayat Al Khallal yang kami kutip.
Aha ini dia ternyata yang ingin dia sampaikan, saya yakin pembaca sudah mulai melihat jalan argumentasi dia yang berputar-putar untuk membantah atsar Ibnu Umar di atas.
Ternyata selain tidak paham arti “inkonsistensi” penulis salafy itu juga tidak paham arti “berputar-putar”. Apa anda para pembaca melihat sesuatu yang berputar-putar dalam argumen kami?. Perlu diingatkan kami tidak membantah atsar Ibnu Umar, yang kami bantah adalah penafsiran nyeleneh salafy terhadap atsar Ibnu Umar tersebut yang lucunya malah menentang mereka sendiri. Kalau yang dimaksud hujjahnya berputar menyerang dirinya sendiri maka memang begitulah kenyataannya. Tidak tak terduga dan seperti biasa tabiat orang yang hanya suka membantah ia menjawab dengan jawaban yang semakin inkonsisten.
Kami menggunakan atsar yang lebih mu’tabar daripada atsar yang dia munculkan, bagi kami atsar dari kitab As-Sunnah Al-Khalal adalah sebagai penguat saja, dan kami tetap berpegang kepada atsar Ibnu Umar riwayat Bukhari dan yang lainnya.
Sinisme-nya soal mu’tabar tidak mu’tabar adalah penyakitnya sendiri, tidak menjadi hujjah bagi kami dan kenyataannya tidak ada ulama yang berhujjah dengan model salafy itu. Kitab As Sunnah cukup dikenal dikalangan sunni terutama mahzab Hanbali. Kalau memang kurang ilmu ya bersikaplah rendah hati bukannya bersikap angkuh dalam berhujjah. Selain itu telah kami tunjukkan bahwa tidak hanya riwayat Al Khallal tetapi juga ada riwayat Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, Ibnu Abi Ashim dan Thabrani. Salafy mau mengatakan semuanya tidak mu’tabar, ke laut sajalah. Apalagi ternyata riwayat Bukhari sendiri selain yang ia kutip justru menguatkan riwayat Al Khallal yang kami kutip.
Seandainya kita turuti logika syi’ah ini, maka keabsahan atsar Ibnu Umar ini tidak lah berkurang dimana orang syi’ah itu sendiri juga mengakui keshahihan riwayat tersebut.
Ehem tidak ada tuh kami meragukan soal keshahihan riwayat. Sesuai dengan standar keilmuan hadis maka hadis tersebut shahih. Kalau anda ya mungkin karena sekedar hadis itu terdapat dalam Shahih Bukhari maka anda anggap shahih, silakan silakan. Anehnya apa yang sedang anda bantah disini. Dan maaf tuh gak ada yang namanya logika syiah, ini adalah logika yang baik dan benar sesuai dengan ilmu cara berpikir yang lurus. Entahlah kalau anda tidak pernah belajar “ilmu logika”.
Tidak ada inkonsistensi pada Sunni dalam mendahulukan Abu Bakar dan Umar di atas Ali, sedangkan antara Utsman dan Ali memang banyak khilaf diantara ulama mengenai siapa yang lebih utama diantara mereka.
Pernyataan ini sebenarnya inkonsisten. Ucapannya Sunni mendahulukan Abu Bakar dan Umar di atas Ali tidak mutlak karena terdapat Sunni yang lain yang mendahulukan Ali di atas Abu Bakar dan Umar dan ini telah dimulai dari para sahabat sebagai salafus salih. Kemudian pernyataannya soal banyak khilaf siapa yang lebih utama antara Utsman dan Ali jelas menunjukkan inkonsistensi, perhatikan saja atsar Ibnu Umar di atas yang dengan jelas menyebut nama Utsman setelah Abu Bakar dan Umar. Kalau ia berhujjah dengan atsar Ibnu Umar beserta penafsiran nyelenehnya kok bisa-bisanya dia mengakui khilaf diantara Ulama Sunni. Kalau begitu apa yang mencegah kami untuk khilaf juga soal siapa yang lebih utama antara Abu Bakar dan Umar dengan Ali. Jadi kekhilafan yang diakuinya itu berdiri atas dasar apa?.
Yang dipermasalahan syi’ah tersebut adalah bahwa menurut Ibnu Umar di masa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam setelah Abu Bakar, Umar dan Utsman, sahabat tidak mengutamakan satupun sahabat yang lain. Kami memahaminya bahwa di masa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam demikian lah yang terjadi, setelah beliau wafat baru ada beberapa sahabat yang mengutamakan sahabat yang lain selain tiga syaikh di atas. Diantaranya ada beberapa sahabat yang mengutamakan Ali radhiyallahu ‘anhu. Jadi apanya yang inkonsisten?.
Ini namanya asal menjawab karena sudah terdesak. Kalau ia mengakui bahwa ijma’ sahabat mengakui bahwa Imam Ali tidak lebih utama dari sahabat yang lain dan kalau ia mengakui bahwa Rasulullah SAW setuju Imam Ali tidak lebih utama dari sahabat yang lain [berdasarkan atsar Ibnu Umar dan penafsiran nyelenehnya] maka kami tanya atas dasar apa anda salafy meyakini Imam Ali sebagai yang keempat paling utama diantara sahabat yang lainnya?. Bukankah keyakinan anda ini bertentangan dengan ijma’ sahabat dan persetujuan Rasulullah SAW seperti yang anda katakan.?. Sudah jelas inkonsistensi, jawab saja dengan lugas kalau mampu. Gak ada gunanya anda asal menjawab dengan gaya akrobat bahwa mereka yang mengutamakan Imam Ali itu berlangsung setelah wafat [silakan tampilkan buktinya]. Itu tidak menjawab inkonsistensi anda. Kami pun juga bisa mengatakan bahwa dalam atsar Ibnu Umar yang dimaksud itu telah mengecualikan Imam Ali karena toh Imam Ali dikenal sebagai Ahlul Bait yang tidak bisa dibandingkan dengan para sahabat.
Dan pengutamaan tiga syaikh tersebut di masa Nabi menunjukkan bahwa secara taqrir beliau tidak membantahnya alias menyetujuinya.
Tidak hanya itu wahai salafy, kalau mengikuti penafsiran anda maka taqrir Nabi SAW itu juga berlaku untuk perkataan bahwa mereka para sahabat tidak mengutamakan siapapun di atas yang lain. Lantas bagaimana bisa anda meyakini Imam Ali sebagai sahabat yang paling utama diantara para sahabat lain setelah Abu Bakar Umar dan Utsman. Apakah anda mengakui kalau anda menentang taqrir Nabi SAW tersebut?. Kenapa gak sekalian saja anda tentang taqrir Nabi kalau Abu Bakar Umar dan Utsman itu yang paling utama diantara sahabat lain?. Kan kelihatan jelas kalau anda hanya berhujjah dengan gaya sepotong-sepotong. Inkonsistensi dalam hujjah anda menunjukkan ada yang salah dengan cara penafsiran anda. Itulah yang coba kami luruskan dan sayang sekali anda hanya berkutat pada doktrin-doktrin yang selama ini anda yakini bukannya berhujjah dengan dalilnya secara objektif.
Kemudian tiba-tiba saja orang Syi’ah itu lari ke permasalahan Mut’ah yang tidak ada kaitannya dengan artikel kami yang dia bantah,
Ah jangan berpura-puralah, kecuali anda salafy memang tidak punya kemampuan memahami tulisan orang lain. Yang kami bahas jelas bukan mut’ah, tetapi cara penafsiran salafy terhadap kata “kami” dan kata “di zaman Rasulullah SAW”. Kedua kata itu juga terdapat pada hadis Jabir soal mut’ah. Kami tanyakan pada anda wahai salafy bagaimana cara anda menafsirkan hadis Jabir dengan lafaz “kami” atau “di zaman Rasulullah SAW hidup”. Akankah anda menafsirkan kami berarti semua sahabat atau seluruh sahabat  atau ijma’ sahabat. Akankah anda menafsirkan “di zaman Rasulullah SAW hidup” itu berarti Rasulullah SAW menyetujui mut’ah semasa Beliau hidup.
cukuplah bahwa Mut’ah telah diharamkan pada perang khaibar, bahkan salah satu riwayat yang shahih adalah dari Imam Ali sendiri,
Tapi lucu bin ajaib ternyata terdapat hadis shahih yang menunjukkan kalau Rasulullah SAW membolehkan mut’ah saat peristiwa Fathul Makkah. Kalau memang mut’ah diharamkan di Khaibar maka mengapa dibolehkan saat Fathul Makkah yang jelas terjadi setelah peristiwa Khaibar. Jadi Rasulullah SAW membolehkan sesuatu yang haram begitu? Naudzubillah. Btw ada tuh ulama seperti Ibnu Qayyim yang menolak pengharaman mut’ah di Khaibar.
maka benarlah pendapat dari sunni atau salafy bahwa perkataan Jabir bin Abdullah bahwa ada beberapa sahabat yang masih melakukan mut’ah pada masa Abu Bakr dan Umar adalah mereka yang belum mengetahui pengharaman Mut’ah, oleh karena itu Umar kemudian menegaskan lagi akan keharaman Mut’ah saat beliau berkuasa.
Silakan saja, kami juga tidak pernah membahas soal mut’ah tetapi kami akan menjawab perkataan anda ini dengan gaya anda sendiri. Atsar Jabir dengan lafaz “kami” menunjukkan bahwa semua sahabat atau seluruh sahabat telah melakukan mut’ah di zaman Rasulullah SAW, zaman Abu Bakar dan Umar. Atsar Jabir ini sebenarnya diucapkan pada saat terjadi perdebatan antara Ibnu Abbas yang membolehkan mut’ah dan Ibnu Zubair yang mengharamkan mut’ah sehingga sebagian tabiin bertanya kepada Jabir. Jelas sekali bahwa kejadian ini terjadi jauh setelah masa Umar, tetapi Jabir malah menjawab dengan lafaz “kami melakukannya di zaman Rasulullah, Abu Bakar dan Umar” hal yang menunjukkan kalau Jabir tidak mengakui pengharamannya. Kalau memang haram dan telah diingatkan oleh Umar maka mengapa Jabir tidak mengatakannya, malah mengeluarkan jawaban yang menguatkan pendapat Ibnu Abbas. Seandainya pun ada sahabat yang mengharamkannya itu hanya menunjukkan bahwa mayoritas sahabat membolehkan mut’ah dan sedikit sahabat yang mengharamkannya dan hal itu tidak akan menghilangkan keabsahan ijma’ yang membolehkannya. Btw ini kan persis dengan logika anda.
Maka jika mut’ah sudah diharamkan status bagi pelakunya adalah zinah, sedangkan yang belum tahu tidaklah disebut sebagai pelaku zinah sampai mereka tahu. Maka seharusnya tidak usah tersinggung jika orang yang melakukan mut’ah pada masa ini disebut sebagai pelaku zinah. Tetapi kami tidak akan membahasnya lebih lanjut di sini karena kami belum pernah memposting soal Mut’ah, maka pembahasannya pada topic yang tersendiri Insya Allah.
Ah apa iya, mari kami uji apakah anda konsisten atau tidak?. Sangat dikenal ternyata terdapat banyak ulama sunni yang melakukan nikah mut’ah dan tetap dijadikan hujjah dalam kitab Shahih seperti halnya Ibnu Juraij. Sangat mayshur sekali kalau Ibnu Juraij termasuk yang sering melakukan nikah mut’ah tetapi hadisnya dijadikan hujjah oleh Bukhari dan Muslim. Btw kira-kira bisa tidak dikatakan kalau Bukhari Muslim telah mengambil hadis dari seorang pezina?. Nah bagaimana itu bukankah itu kitab yang menurut anda mu’tabar.
Pertama, bahwa penafsiran orang itu keliru, justru atsar Jabir bin Abdullah tidak bisa dibandingkan dengan atsar Ibnu Umar di atas, karena dalam sanadnya terdapat rawi-rawi yang diperbincangkan serta tertuduh syi’ah
Alasan seperti ini hanya dilontarkan oleh orang yang tidak mengerti ilmunya. Perkara perawi diperbincangkan adalah perkara yang ma’ruf dan tentunya tidak setiap yang diperbincangkan lantas ditolak hadisnya. Imam Bukhari saja diperbincangkan oleh sebagian orang seperti Adz Dzahili, bahkan Abu Hatim dan Abu Zur’ah meninggalkan hadisnya [Al Jarh Wat Ta’dil 7/191 no 1086]. Tentu saja kami yakin salafy itu tidak tahu akan hal ini, karena memang apa yang ia tahu cuma fotokopi dari Syaikh-syaikh salafy saja. Bukankah terkadang salafy itu sendiri berhujjah dengan riwayat Ibnu Ishaq, nah sekedar info buat anda salafy, Ibnu Ishaq ini ternyata diperbincangkan juga, Hisyam menyatakan ia pendusta bahkan Imam Malik menyebutnya dajjal. Jadi perkara perbincangan terhadap seorang perawi adalah hal yang ma’ruf bahkan sebagian ulama mu’tabar tidak lepas dari perbincangan ini dan oleh sebab itu dalam Ulumul hadis diperlukan meneliti kedudukan perawi yang diperbincangkan dan ditetapkan mana yang rajih dari perbincangan tersebut. Kami telah membuktikan dalam atsar Jabir di atas bahwa perbincangan terhadap perawinya adalah tidak benar dan kami telah menyertakan bukti untuk itu. Sudah tentu perkataan yang disertai bukti lebih bernilai hujjah dibanding klaim-klaim tidak berguna.

Begitu pula menolak perawi hanya karena syiah adalah senjata makan tuan yang akan menghancurkan banyak hadis di kitab mu’tabar Shahih Bukhari dan Muslim. Jadi memang begitulah kalau sudah kepepet maka tuduhan perawi syiah dijadikan alasan untuk menolak hadis. Memang ada tuh ulama salafy yang punya kebiasaan menolak hadis keutamaan Imam Ali karena perawi tersebut syiah dengan alasan perawi syiah yang meriwayatkan bid’ah nya tidak diterima. Bukankah ini menunjukkan sifat nashibi, bagaimana mungkin keutamaan Imam Ali disebut bid’ah. Bagaimana mungkin mengutamakan Imam Ali dari Abu Bakar dan Umar disebut bid’ah jika sebagian sahabat sendiri telah bersikap demikian?. Bagaimana mungkin mengutamakan Imam Ali di atas Abu Bakar dan Umar disebut bid’ah jika Rasulullah SAW sendiri telah menetapkan keutamaan Imam Ali yang tinggi di atas semua sahabat lainnya.
riwayat Jabir tersebut jika shahih justru adalah mewakili kelompok minoritas dari sahabat yang mendahulukan Ali radhiyallahu ‘anhu dan terindikasi hal tersebut terjadi jauh setelah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam wafat yaitu pada masa fitnah antara Ali dan Mu’awiyah, hal itu diketahui bahwa saat Jabir bin Abdullah ditanya soal Ali, alisnya sudah menutupi matanya (sudah tua), maka benar perkataan Jabir, bahwa Imam Ali adalah manusia yang paling utama  karena setelah wafatnya Utsman radhiyallahu ‘anhu, tidak ada lagi manusia yang sebanding atau melebihi Imam Ali.
Justru yang lebih pantas dikatakan minoritas itu adalah sahabat yang hanya mengutamakan Abu Bakar, Umar dan Utsman kemudian mereka tidak mengutamakan siapapun dari yang lain. Karena jelas sekali sahabat yang bersikap seperti ini adalah sahabat yang tidak mengetahui keutamaan Imam Ali yang begitu banyak dan besar, sehingga sangat wajar mereka tidak mengutamakan Imam Ali dari sahabat yang lainnya. Atsar Jabir soal Imam Ali manusia terbaik tidak tergantung dengan waktu. Jabir RA sedang menjelaskan kedudukan seseorang menurutnya dan kedudukan tersebut adalah orang tersebut manusia terbaik. Bahkan bisa jadi ketika Jabir ditanya oleh Athiyyah itu Imam Ali AS sudah wafat [Mengingat ketika Jabir tua Imam Ali sudah wafat]. Intinya cara berdalih salafy ini tidak memiliki bukti apapun.
Sedangkan sahabat di jaman Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang berjumlah kurang lebih 114 ribu orang mayoritas sebagaimana dikatakan Ibnu Umar mendahulukan Abu Bakar, Umar dan Utsman, itulah ijma’ para sahabat yang  tidak akan hilang keabsahannya dengan pendapat beberapa orang yang berbeda.
Di zaman Nabi SAW tepatnya di Ghadir Khum, Rasulullah SAW telah mengatakan kepada banyak sekali sahabatnya bahwa diri Beliau adalah maula bagi kaum muslimin yaitu orang yang paling berhak atas mereka lebih dari mereka sendiri dan Nabi SAW menetapkan Imam Ali sebagai maula bagi kaum muslimin termasuk didalamnya Abu Bakar dan Umar. Rasulullah SAW mengatakan “siapa yang menjadikan aku maulanya maka Ali adalah maulanya”. Bagi kami ini keutamaan yang tinggi diucapkan oleh lisan suci Rasulullah SAW dihadapan semua sahabat Nabi. Keutamaan apa lagi yang lebih besar dari ini, keutamaan ini menunjukkan bahwa Imam Ali adalah orang yang paling berhak atas diri kaum muslimin dibanding diri mereka sendiri sama seperti Rasulullah SAW adalah orang yang paling berhak atas diri kaum muslimin dibanding diri mereka sendiri. Keutamaan ini tidak akan hilang keabsahannya hanya karena pendapat sebagian sahabat saja.
Kedua, Memang dalam riwayat Jabir terdapat riwayat “kami”, tetapi tidak menunjukkan apakah di masa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam atau setelahnya, sedangkan riwayat Ibnu Umar sangat jelas, pengutamaan Abu Bakar, Umar dan Utsman terjadi pada masa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam riwayat Jabir tidak disebutkan soal masa, karena memang keutamaan itu tidak terkait dengan masa tertentu. Keutamaan itu dimiliki oleh Imam Ali baik di masa Rasulullah SAW hidup maupun setelah wafat bahkan sampai Imam Ali wafat dan seterusnya. Tidak ada gunanya logika basa basi yang menyedihkan, karena orang lainpun bisa saja dengan mudahnya berkata atsar Ibnu Umar itu hanya menyebutkan terjadi di masa Nabi SAW dan tidak disebutkan apakah terjadi juga untuk masa setelahnya. Nah bukankah yang sedang membagi keutamaan tersebut menjadi masa Nabi SAW hidup dan masa setelahnya adalah anda sendiri wahai salafy.
Ketiga, bukti yang menunjukkan bahwa para sahabat telah berijma’ atas lebihnya Abu Bakar di atas sahabat yang lain adalah terpilihnya beliau sebagai khalifah yang di bai’at oleh sebagian besar kaum Muhajirin dan Anshar. Dalam riwayat yang panjang kaum Anshar langsung menyambut ajakan Umar untuk membai’at Abu Bakar karena mengakui bahwa Abu Bakar adalah manusia terbaik setelah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
Jika memang Abu Bakar adalah manusia terbaik setelah Nabi shalallahu ‘alaihi wassallam maka mengapa pada awalnya kaum Anshar malah ribut-ribut sendiri di Saqifah soal kepemimpinan pasca Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Mengapa kaum Anshar tidak mengikuti pemakaman Nabi SAW?. Apa yang perlu dikhawatirkan, bukankah Abu Bakar adalah manusia terbaik setelah Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam?. Mengapa kaum Anshar tidak langsung membaiat Abu Bakar seperti yang telah diserukan oleh Umar saat Nabi SAW wafat. Tepat pada saat Nabi SAW wafat, Abu Bakar dipanggil oleh seseorang dan langsung bergegas ke rumah Nabi SAW kemudian Abu Bakar masuk dan memastikan kalau Nabi SAW telah wafat. Setelah itu Abu Bakar keluar ke masjid dan berbicara dengan orang-orang.

فخرج إلى المسجد وعمر يخطب الناس ويتكلم ويقول إن رسول الله صلى الله عليه و سلم لا يموت حتى يفنى الله عز و جل المنافقين فتكلم أبو بكر فحمد الله وأثنى عليه ثم قال إن الله عز و جل يقول { إنك ميت وإنهم ميتون } حتى فرغ من الآية { وما محمد إلا رسول قد خلت من قبله الرسل أفإن مات أو قتل انقلبتم على أعقابكم } حتى فرغ من الآية فمن كان يعبد الله عز و جل فإن الله حي ومن كان يعبد محمدا فإن محمدا قد مات فقال عمر وإنها لفي كتاب الله ما شعرت إنها في كتاب الله ثم قال عمر يا أيها الناس هذا أبو بكر وهو ذو شيبة المسلمين فبايعوه فبايعوه

Abu Bakar keluar ke masjid dimana Umar sedang berbicara kepada manusia, ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW tidak wafat sampai Allah membinasakan orang-orang munafik. Kemudian Abu Bakar berbicara memuji Allah dan memulai dengan membacakan firman Allah “sesungguhnya kamu akan mati dan mereka akan mati pula’ [Az Zumar ayat 30] sampai selesai dan membacakan ayat “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang” [Ali Imran ayat 144] sampai selesai. Kemudian Abu Bakar berkata “Siapa yang menyembah Allah ‘azza wajalla maka Allah itu hidup dan siapa yang menyembah Muhammad maka Muhammad telah wafat”. Umar berkata “Apakah yang engkau bacakan tadi terdapat dalam kitabullah, aku tidak pernah merasa kalau ayat ini terdapat dalam kitabullah” kemudian Umar berkata “wahai manusia inilah Abu Bakar orang yang paling kita tuakan dari kalangan kaum muslimin maka baiatlah ia maka baiatlah ia” [Musnad Ahmad 6/219 no 25883 hasan menurut Syaikh Syu’aib Al Arnauth].
Walaupun kami tidak mengerti apa maksudnya perkataan Abu Bakar “menyembah Muhammad” tetapi yang akan kami bahas adalah tepat pada saat Nabi SAW wafat Umar telah berteriak kepada para sahabat agar membaiat Abu Bakar. Kami lihat sahabat Umar adalah orang yang paling bersemangat dalam menjadikan Abu Bakar sebagai khalifah bahkan tepat setelah Nabi SAW wafat ia langsung menyeru orang-orang untuk membaiat Abu Bakar. Tetapi anehnya ternyata kaum Anshar tidak merespon positif apa yang diserukan Umar buktinya adalah kaum Anshar kemudian malah berembuk sendiri di Saqifah soal siapa yang menjadi pemimpin pasca Nabi SAW wafat. Jadi bagaimana bisa penulis salafy itu mengatakan kaum Anshar langsung menyambut ajakan Umar?. Begitulah kalau tidak punya modal riwayat yang cukup maka yang bermunculan hanya klaim-klaim tanpa bukti tanpa mengetahui kalau terdapat riwayat yang menolak klaim yang ia sebutkan.

Kalau memang kaum Anshar memandang Abu Bakar sebagai sahabat yang paling utama maka apa yang mencegah mereka untuk langsung membaiat? Dan apa yang membuat mereka setelah itu untuk buru-buru berkumpul di Saqifah tanpa perlu mengundang Abu Bakar dan Umar?. Bukankah mereka kaum Anshar telah shalat beberapa hari di belakang Abu Bakar?. Bukankah Umar telah menyerukan agar mereka membaiat Abu Bakar pada hari Nabi SAW wafat?. Sekali lagi mengapa kaum Anshar malah memutuskan untuk berembuk di saqifah tanpa mengundang Abu Bakar dan Umar?. Btw sepertinya hal ini luput dari pandangan salafy terutama penulis itu yang tidak mengetahui berbagai riwayat yang dengan rinci membahas masalah ini.

Di Saqifah pun setelah Abu Bakar dan Umar datang tetap saja terjadi perselisihan di kalangan kaum Anshar. Kaum Anshar ternyata mengatakan kalau mereka yang berhak soal kepemimpinan tetapi dibantah oleh Abu Bakar bahwa yang berhak memegang kepemimpinan adalah kaum Quraisy dan ternyata kaum Anshar tetap mengatakan “dari kami seorang pemimpin dan dari kalian seorang pemimpin” kemudian terjadi perselisihan dan keributan hingga akhirnya Umar buru-buru mengambil langkah darurat segera membaiat Abu Bakar yang kemudian diikuti oleh kaum Anshar.

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا حسين بن علي عن زائدة عن عاصم عن زر عن عبد الله قال لما قبض رسول الله صلى الله عليه و سلم قالت الأنصار منا أمير ومنكم أمير قال فأتاهم عمر فقال يا معشر الأنصار ألستم تعلمون أن رسول الله صلى الله عليه و سلم أمر أبا بكر أن يؤم بالناس فأيكم تطيب نفسه أن يتقدم أبا بكر فقالوا نعوذ بالله أن نتقدم أبا بكر

Telah menceritakan kepada kami Abdullah telah menceritakan kepada kami ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain bin Ali dari Za’idah dari Ashim dari Zirr dari Abdullah yang berkata “ketika Rasulullah SAW wafat, para sahabat anshar berkata “dari kami seorang pemimpin dan dari kalian seorang pemimpin”. Umar datang dan berkata “wahai golongan Anshar bukankah kalian tahu bahwa Rasulullah SAW memerintahkan Abu Bakar agar mengimami orang-orang. Siapa diantara kalian yang akan mendahului Abu Bakar?. Mereka berkata “kami berlindung kepada Allah dari mendahului Abu Bakar”. [Musnad Ahmad 1/396 no 3765].
Dalam hadis ini diketahui bahwa kaum Anshar menginginkan seorang pemimpin dari kalangan mereka dan kaum Anshar juga mengakui keutamaan Abu Bakar sebagai imam shalat dan tidak mau mendahului Abu Bakar. Tetapi anehnya setelah mendengar perkataan Umar dan setelah mengakui keutamaan Abu Bakar kaum Anshar tetap saja berselisih. Dalam hadis saqifah Musnad Ahmad riwayat Umar, setelah mendengar perkataan “dari kami seorang pemimpin dan dari kalian seorang pemimpin” Umar berkata:

قال وكثر اللغط وارتفعت الأصوات حتى خشيت الاختلاف فقلت ابسط يدك يا أبا بكر فبسط يده فبايعته وبايعه المهاجرون ثم بايعه الأنصار ونزونا على سعد بن عبادة فقال قائل منهم قتلتم سعدا فقلت قتل الله سعدا


Umar berkata “maka terjadi keributan dan orang-orang mulai bersuara tinggi sehingga aku khawatir akan terjadi perselisihan maka aku berkata “bukalah tanganmu wahai Abu Bakar  maka ia memberikan tangannya dan aku membaiatnya, kemudian kaum muhajirin ikut membaiat dan kemudian kaum anshar ikut membaiat dan kami tinggalkan Sa’ad bin Ubadah. Sehingga ada yang berkata tentangnya “kalian telah membunuh Sa’ad” maka aku [Umar berkata] “Allah lah yang membunuh Sa’ad”. [Musnad Ahmad 1/55 no 391 tahqiq Syaikh Al Arnauth shahih dengan syarat Muslim].

Jadi setelah kaum Anshar mengatakan kalau mereka mengakui keutamaan Abu Bakar menjadi imam shalat dan tidak mau mendahului Abu Bakar, mereka kaum Anshar tetap saja berselisih saling mengangkat suara dengan tinggi dan terjadi keributan. Ketika keributan itu membuat khawatir Umar maka Umar mengambil langkah darurat yaitu buru-buru membaiat Abu Bakar. Kemudian barulah orang-orang mengikuti Umar dan tentu sebagaimana telah jelas diketahui bahwa jika seorang pemimpin telah dibaiat oleh sekelompok orang maka tidak ada pilihan bagi orang lain kecuali ikut membaiat atau mereka akan diperangi dan terjadilah perselisihan. Kesimpulan dari peristiwa Saqifah adalah pembaiatan kaum muslimin terhadap Abu Bakar terjadi sekonyong-konyong bukan karena kaum anshar bersepakat mengutamakan Abu Bakar. Dan yang paling naïf adalah menjadikan pembaiatan ini sebagai dalil keutamaan Abu Bakar di atas Ali mengingat Imam Ali sendiri tidak hadir saat itu di Saqifah. Kaum Anshar mengakui keutamaan Abu Bakar atas diri mereka tetapi tidak ada pernyataan dalam hadis Saqifah bahwa kaum Anshar mengakui keutamaan Abu Bakar di atas Ali.

وقال محمد بن اسحاق حدثني الزهري حدثني أنس بن مالك قال لما بويع أبو بكر في السقيفة وكان الغد جلس أبو بكر على المنبر وقام عمر فتكلم قبل أبي بكر فحمد الله وأثنى عليه بما هو أهله ثم قال أيها الناس إني قد كنت قلت لكم بالأمس مقالة ما كانت وما وجدتها في كتاب الله ولا كانت عهدا عهدها الي رسول الله صلى الله عليه وسلم ولكني كنت ارى أن رسول الله سيدبر أمرنا يقول يكون آخرنا وان الله قد أبقى فيكم كتابه الذي هدى به رسول الله فان اعتصمتم به هداكم الله لما كان هداه الله له وأن الله قد جمع أمركم على خيركم صاحب رسول الله صلى الله عليه وسلم وثاني اثنين إذ هما في الغار فقوموا فبايعوه فبايع الناس أبا بكر بيعة العامة بعد بيعة السقيفة ثم تكلم ابو بكر فحمد الله وأثنى عليه بما هو أهله ثم قال أمابعد أيها الناس فاني قد وليت عليكم ولست بخيركم فان أحسنت فأعينوني وان اسأت فقوموني الصدق أمانة والكذب خيانة والضعيف منكم قوي عندي حتى أزيح علته إن شاء الله والقوي فيكم ضعيف حتى آخذ الحق ان شاء الله لا يدع قوم الجهاد في سبيل الله إلا ضربهم الله بالذل ولا يشيع قوم قط الفاحشة إلا عمهم الله بالبلاء أطيعوني ما أطعت الله ورسوله فاذا عصيت الله ورسوله فلا طاعة لي عليكم قوموا الى صلاتكم يرحمكم الله

Dan Muhammad bin Ishaq berkata telah menceritakan kepada kami Az Zuhri yang berkata telah menceritakan kepada kami Anas bin Malik yang berkata ketika Abu Bakar dibaiat di Saqifah, esok harinya ia duduk diatas mimbar dan Umar berdiri di sampingnya memulai pembicaraan sebelum Abu Bakar. Umar mulai memuji Allah sebagai pemilik segala pujian, kemudian berkata “wahai manusia aku telah katakan kepada kalian kemarin perkataan yang tidak terdapat dalam kitabullah dan tidak pula pernah diberikan Rasulullah SAW kepadaku. Aku berpandangan bahwa Rasulullah SAW akan hidup terus dan mengatur urusan kita maksudnya Rasulullah akan wafat setelah kita. Dan sesungguhnya Allah SWT telah meninggalkan kitab-Nya yang membimbing Rasulullah SAW maka jika kalian berpegang tehug dengannya Allah SWT akan membimbing kalian sebagaimana Allah SWT membimbing Nabi-Nya. Sesungguhnya Allah SWT telah mengumpulkan urusan kalian pada orang yang terbaik diantara kalian yaitu Sahabat Rasulullah dan orang yang kedua ketika ia dan Rasulullah SAW bersembunyi di dalam gua. Maka berdirilah kalian dan berilah baiat kalian kepadanya. Maka orang-orang membaiat Abu Bakar secara umum setelah baiat di saqifah. Kemudian Abu Bakar berkata setelah memuji Allah SWT pemilik segala pujian. Ia berkata “Amma ba’du, wahai manusia sekalian sesungguhnya aku telah dipilih sebagai pimpinan atas kalian dan bukanlah aku orang yang terbaik diantara kalian maka jika berbuat kebaikan bantulah aku. Jika aku bertindak keliru maka luruskanlah aku, kejujuran adalah amanah dan kedustaan adalah khianat. Orang yang lemah diantara kalian ia kuanggap kuat hingga aku mengembalikan haknya kepadanya jika Allah menghendaki. Sebaliknya yang kuat diantara kalian aku anggap lemah hingga aku mengambil darinya hak milik orang lain yang diambilnya jika Allah mengehendaki. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah kecuali Allah timpakan kehinaan dan tidaklah kekejian tersebar di suatu kaum kecuali adzab Allah ditimpakan kepada kaum tersebut. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan RasulNya. Tetapi jika aku tidak mentaati Allah dan RasulNya maka tiada kewajiban untuk taat kepadaku. Sekarang berdirilah untuk melaksanakan shalat semoga Allah merahmati kalian. [Al Bidayah Wan Nihayah Ibnu Katsir 5/269 dan ia menshahihkannya].
Salafy berhujjah dengan perkataan Umar “Sesungguhnya Allah SWT telah mengumpulkan urusan kita pada orang yang terbaik diantara kalian yaitu Sahabat Rasulullah dan orang yang kedua ketika ia dan Rasulullah SAW bersembunyi di dalam gua”. Kami katakan hujjah ini gak kena sama sekali atau kami katakan tidak ada alasan menjadikan perkataan ini sebagai bukti keutamaan Abu Bakar di atas Ali dengan alasan Abu Bakar sendiri membantah perkataan Umar tersebut. Dengan jelas Abu Bakar mengatakan “wahai manusia sekalian sesungguhnya aku telah dipilih sebagai pimpinan atas kalian dan bukanlah aku orang yang terbaik diantara kalian”. Tidak lain perkataan ini diucapkan Abu Bakar karena ia mendengar Umar mengatakan kalau Abu Bakar adalah orang yang terbaik diantara para sahabat.
Perlu diketahui para pembaca yang terhormat. Imam Ali dan beberapa orang tidaklah menghadiri persitiwa khutbah Abu Bakar ini. Mereka memisahkan diri di rumah Sayyidah Fathimah AS sampai akhirnya setelah kabar tentang mereka diketahui Umar maka Umar mengancam akan membakar rumah Sayyidah Fathimah AS.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ ، عْن أَبِيهِ أَسْلَمَ ؛ أَنَّهُ حِينَ بُويِعَ لأَبِي بَكْرٍ بَعْدَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، كَانَ عَلِيٌّ وَالزُّبَيْرُ يَدْخُلاَنِ عَلَى فَاطِمَةَ بِنْتِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، فَيُشَاوِرُونَهَا وَيَرْتَجِعُونَ فِي أَمْرِهِمْ ، فَلَمَّا بَلَغَ ذَلِكَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ خَرَجَ حَتَّى دَخَلَ عَلَى فَاطِمَةَ ، فَقَالَ : يَا بِنْتَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، وَاللهِ مَا مِنْ الْخَلْقِ أَحَدٌ أَحَبَّ إِلَيْنَا مِنْ أَبِيك ، وَمَا مِنْ أَحَدٍ أَحَبَّ إِلَيْنَا بَعْدَ أَبِيك مِنْك ، وَأَيْمُ اللهِ ، مَا ذَاكَ بِمَانِعِيَّ إِنَ اجْتَمَعَ هَؤُلاَءِ النَّفَرُ عِنْدَكِ ، أَنْ آمُرَ بِهِمْ أَنْ يُحَرَّقَ عَلَيْهِمَ الْبَيْتُ قَالَ : فَلَمَّا خَرَجَ عُمَرُ جَاؤُوهَا ، فَقَالَتْ : تَعْلَمُونَ أَنَّ عُمَرَ قَدْ جَاءَنِي ، وَقَدْ حَلَفَ بِاللهِ لَئِنْ عُدْتُمْ لَيُحَرِّقَنَّ عَلَيْكُمَ الْبَيْتَ ، وَأَيْمُ اللهِ ، لَيَمْضِيَنَّ لِمَا حَلَفَ عَلَيْهِ ، فَانْصَرِفُوا رَاشِدِينَ ، فَرُوْا رَأْيَكُمْ ، وَلاَ تَرْجِعُوا إِلَيَّ ، فَانْصَرَفُوا عنها ، فَلَمْ يَرْجِعُوا إِلَيْهَا ، حَتَّى بَايَعُوا لأَبِي بَكْرٍ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bisyr telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Umar telah menceritakan kepada kami Zaid bin Aslam dari Aslam Ayahnya yang berkata ”Ketika Bai’at telah diberikan kepada Abu Bakar sepeninggal Rasulullah SAW. Ali dan Zubair masuk menemui Fatimah binti Rasulullah, mereka bermusyawarah dengannya mengenai urusan mereka. Sehingga ketika Umar menerima kabar ini Ia bergegas menemui Fatimah dan berkata ”Wahai Putri Rasulullah SAW demi Allah tidak ada seorangpun yang lebih aku cintai daripada ayahmu dan setelah Ayahmu tidak ada yang lebih aku cintai dibanding dirimu tetapi demi Allah hal itu tidak akan mencegahku jika orang-orang ini berkumpul di sisimu untuk kuperintahkan agar rumah ini dibakar bersama mereka yang ada di dalam rumah”. Ketika Umar pergi, mereka datang dan Fatimah berbicara  kepada mereka “tahukah kalian kalau Umar datang kemari dan bersumpah akan membakar rumah ini jika kalian kemari. Aku bersumpah demi Allah ia akan melakukannya jadi pergilah dan jangan berkumpul disini”. Oleh karena itu mereka pergi dan tidak berkumpul disana sampai mereka membaiat Abu Bakar [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 14/567 no 38200 dengan sanad shahih sesuai syarat Bukhari Muslim].

Kami berpanjang-panjang membahas masalah pembaiatan Abu Bakar ini untuk membuktikan bahwa pembaiatan Abu Bakar bukanlah hal yang terjadi dengan mulus tanpa adanya hambatan dan perselisihan. Jika pembaiatan tersebut memang dilandasi oleh ijma’ pengakuan bahwa Abu Bakar sahabat yang paling utama maka tidak ada alasan pembaiatan itu terjadi dengan hambatan dan perselisihan, seharusnya pembaiatan Abu Bakar itu berlangsung dengan mulus dimana selepas Nabi SAW wafat semua sahabat bersepakat berduyun-duyun membaiat Abu Bakar tanpa perlu memisahkan diri, berselisih, muncul keributan dan adanya ancaman pembakaran. Adanya hal-hal seperti itu justru menunjukkan kalau pembaiatan Abu Bakar terjadi sekonyong-konyong dengan peran utama sahabat Umar. Seandainya Abu Bakar dan Umar tidak datang ke Saqifah maka hampir bisa dipastikan kaum Anshar akan membaiat pemimpin mereka sendiri dan kalau ini terjadi maka mungkin akan muncul perselisihan besar karena sepertinya Abu Bakar dan Umar beserta kaum Muhajirin tidak akan rela dengan hal ini.

Kemudian hujjah salafy dengan perkataan Umar kalau Abu Bakar adalah orang yang paling dicintai Rasulullah SAW bukanlah bukti keutamaan Abu Bakar di atas Ali. Terdapat hadis shahih lain yang menunjukkan kalau orang yang paling dicintai Rasulullah SAW adalah Imam Ali dan telah kami sebutkan sebelumnya bahwa Aisyah RA sendiri mengakui kalau Rasulullah SAW lebih mencintai Ali daripada Abu Bakar dan ini diucapkan di depan Rasulullah SAW serta disetujui oleh Rasulullah SAW. Hujjah shahih dari Rasulullah SAW ini lebih patut diutamakan dibanding perkataan sahabat manapun yang menyelisihinya. Dalil ini adalah dalil yang qath’i shahih dari Rasulullah SAW yang menunjukkan keutamaan Imam Ali di atas Abu Bakar.

ثنا أبو نعيم ثنا يونس ثنا العيزار بن حريث قال قال النعمان بن بشير قال استأذن أبو بكر على رسول الله صلى الله عليه و سلم فسمع صوت عائشة عاليا وهى تقول والله لقد عرفت ان عليا أحب إليك من أبي ومنى مرتين أو ثلاثا فاستأذن أبو بكر فدخل فأهوى إليها فقال يا بنت فلانة الا أسمعك ترفعين صوتك على رسول الله صلى الله عليه و سلم

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim yang berkata telah menceritakan kepada kami Yunus yang berkata telah menceritakan kepada kami Al ‘Aizar bin Huraits yang berkata Nu’man bin Basyir berkata “Abu Bakar meminta izin untuk bertemu dengan Rasulullah SAW. Kemudian beliau mendengar suara tinggi Aisyah yang berkata kepada Rasulullah SAW “Demi Allah sungguh aku telah mengetahui bahwa Ali lebih Engkau cintai daripada aku dan ayahku” sebanyak dua atau tiga kali. Abu Bakar meminta izin masuk menemuinya dan berkata “Wahai anak perempuan Fulanah tidak seharusnya kau meninggikan suaramu terhadap Rasulullah SAW” [Musnad Ahmad no 18333 tahqiq Syaikh Ahmad Syakir dan Hamzah Zain dengan sanad yang shahih].
Kami telah membawakan dalil qath’i keutamaan Imam Ali di atas Abu Bakar dan Umar, tetapi bukannya mengakui, salafy itu malah asal membantah saja.

عن عبد الله رضى الله تعالى عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم الحسن والحسين سيدا شباب أهل الجنة وأبوهما خير منهما

Dari Abdullah RA yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Hasan dan Husain Sayyid [Pemimpin] pemuda surga dan Ayah mereka lebih baik dari mereka” [Al Mustadrak Ash Shahihain no 4779, Al Hakim dan Adz Dzahabi menshahihkannya].

Kami katakan hadis ini menjadi bukti bahwa Imam Ali lebih tinggi kedudukan dan keutamaannya dari Abu Bakar dan Umar. Karena Imam Ali lebih utama dari kedua Sayyid pemuda surga sedangkan kedua Sayyid pemuda surga jelas lebih utama dari para pemuda ahli surga. Salafy itu membantah dengan membawa hadis dhaif

حدثنا هشام بن عمار ثنا سفيان عن الحسن بن عمارة عن فراس عن الشعبي عن الحارث عن علي قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أبو بكر وعمر سيدا كهول أهل الجنة من الأولين والآخرين إلا النبيين والمرسلين لا تخبرهما يا علي ما داما حيين


Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin ‘Ammaar : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan (bin ‘Uyainah), dari Al-Hasan bin Al-‘Umaarah, dari Firaas, dari Asy-Sya’biy, dari Al-Haarits, dari ‘Aliy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Abu Bakr dan ‘Umar adalah dua orang pemimpin bagi orang-orang dewasa penduduk surga, dari kalangan terdahulu maupun yang kemudian selain para Nabi dan Rasul. Jangan engkau khabarkan hal ini kepada mereka wahai ‘Aliy, selama mereka masih hidup” [Sunan Ibni Maajah no. 95].
Hadis Ibnu Majah ini sanadnya dhaif jiddan karena Hasan bin Umarah seorang perawi yang matruk. Abu Hatim, Ahmad, Nasa’i, Muslim, Daruquthni dan As Saji menyatakan ia matruk [At Tahdzib juz 2 no 532] ditambah lagi Al Haarits seorang perawi yang dhaif dan dinyatakan pendusta oleh Asy Sya’bi, Ali bin Madini, Abu Khaitsamah dan yang lainnya.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3666, ‘Abdullah bin Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah  no. 196 & 202 & 290, Al-Qathii’iy dalam tambahannya terhadap kitab Fadlaailush-Shahaabah no. 632 & 633 & 666, Al-Bazzaar dalam Al-Bahruz-Zakhaar no. 828-831, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykilil-Aatsaar no. 1965, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath  no. 1370, Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 4/1489, Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah 3/67 no. 1373-1375,  dan Al-Khathiib dalam Taariikh Baghdaad 6/148-149 & 7/617-618; dari beberapa jalan, dari Asy-Sya’biy, dari Al-Haarits Al-A’war, dari ‘Aliy bin Abi Thaalib, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Hadis riwayat Tirmidzi juga dhaif dan semua hadis lainnya juga telah kami bahas secara khusus. Kami hanya ingin menunjukkan kepada pembaca, silakan lihatlah salafy ini, ketika ia terdesak maka tidak segan-segan ia berhujjah dengan riwayat dari kitab yang tidak mu’tabar menurutnya. Mana sinisme yang sering ia tunjukkan, kenapa sekarang ia malah berhujjah dengan kitab-kitab yang tidak mu’tabar :mrgreen:
Sebagaimana yang dijelaskan Al-Akh Abul-Jauzaa, hadits di atas adalah shahih bi-syawaahidihi, silahkan baca http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/03/keutamaan-abu-bakr-dan-umar-yang.html
Pernyataan Abul Jauzaa itu mengada-ada dan telah kami bantah dalam tulisan kami yang secara khusus kami buat untuk membahas hadis ini. Takhrij Hadis Abu Bakar dan Umar Sayyid Kuhul Ahli Surga dan Pembelaan Salafy Nashibi Terhadap hadis Abu Bakar dan Umar Sayyid Kuhul Ahli Surga. Silakan dilihat dan bandingkan siapa yang berpegang pada kaidah ilmu hadis dan siapa yang sekedar taklid
Sedangkan bantahan orang syi’ah tersebut terhadap kedudukan hadits tersebut kami nilai tidak ada artinya sama sekali dan hanya mengada-ada saja.
Justru perkataan salafy ini yang tidak ada nilainya, dia sendiri saja tidak mengerti arti “syawahid” dalam ilmu hadis lha kok sok bisa mengatakan orang mengada-ada. Silakan tuh pelajari dulu ilmu hadis dimulai dengan mencari apa artinya syawahid dan apa bedanya dengan mutaba’ah?. Bagaimana mungkin kedua hadis sama-sama riwayat Ibnu Umar dinyatakan sebagai syawahid?. Dan maaf saja penilaian orang seperti anda tidak ada artinya sama sekali. Jika memang mampu silakan buktikan bahwa hadis Abu Bakar dan Umar Sayyid kuhul ahli surga itu shahih, gak usah asal menjawab dengan gaya menggerutu.
Kedua, hadits-hadits di atas memang merupakan keutamaan Ali, Hasan dan Husein radhiyallahu ‘anhum, tetapi sekali lagi bukanlah bukti bahwa mereka lebih utama daripada Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma. Perkataan sayyid pada hadits-hadits tersebut bukan berarti mereka menjadi sayyid mutlak bagi seluruh manusia, karena Nabi dan Rasul tidak mungkin di bawah kepemimpinan mereka,
Kalau mau berbicara dan berhujjah itu silakan tampilkan dalil-nya, jangan hanya menjadikan kata-kata anda sendiri sebagai hujjah. Perkataan basa-basi anda itu ternyata bertentangan dengan riwayat shahih berikut:

أخبرنا محمد بن إسحاق بن إبراهيم مولى ثقيف حدثنا زياد ابن أيوب حدثنا الفضل بن دكين حدثنا الحكم بن عبد الرحمن بن أبي نعم حدثني أبي عن أبي سعيد الخدري عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : ( الحسن والحسين سيدا شباب أهل الجنة إلا ابني الخالة : عيسى ابن مريم ويحيى بن زكريا )

Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim mawla Tsaqiif yang menceritakan kepada kami Ziyaad bin Ayub yang menceritakan kepada kami Fadhl bin Dukain yang menceritakan kepada kami Al Hakam bin Abdurrahman bin Abi Na’m yang menceritakan kepadaku ayahku dari Abu Sa’id Al Khudri dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda “Hasan dan Husain adalah Sayyid pemuda ahli surga kecuali dua orang bersaudara yaitu Isa bin Maryam dan Yahya bin Zakariya” [Shahih Ibnu Hibban 15/411 no 6959 dishahihkan oleh Syaikh Al Arnauth]
Ternyata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa Sayyid pemuda ahli surga juga berlaku untuk para Nabi sehingga Beliau mengecualikan dua orang Nabi yaitu Nabi Isa AS dan Nabi Yahya AS.
ini artinya sayyid di dalam syurga itu ada banyak dan ada beberapa tingkatan. Perhatikan Hasan dan Husein adalah sayyid, tetapi ternyata ada level sayyid di atas mereka yaitu Ali, demikian juga di atas Ali ada sayyid lagi yaitu Umar, di atasnya lagi Abu Bakar di atasnya lagi para Nabi dan Rasul dan sayyid tertinggi di dunia dan di akhirat adalah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Mana buktinya Sayyid di dalam syurga ada banyak. Silakan para pembaca perhatikan beginilah sikap salafy terhadap Ahlul Bait, salafy dengan cara dan dalih apapun berusaha mengurangi keutamaan Ahlul Bait. Pernyataan Imam Ali sebagai Sayyid dan lebih utama dari Hasan dan Husain Sayyid pemuda ahli surga ditetapkan melalui dalil shahih dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Apa dasarnya salafy itu mengatakan di atas Ali ada sayyid lagi Umar dan diatasnya lagi Abu Bakar dan diatasnya lagi para Nabi dan Rasul?. Jangan cuma mengkhayal, buktikan tuh kalau ada hadis shahih bahwa Umar adalah Sayyid di atas Ali dan buktikan kalau ada hadis shahih Abu Bakar Sayyid di atas Umar. Salafy ini memang aneh, dia ini terbiasa berhujjah dengan hadis-hadis dhaif seperti hadis Abu Bakar dan Umar Sayyid Kuhul, hadis Ikutilah Abu Bakar dan Umar dan hadis “Jika ada Nabi setelahku maka ia adalah Umar”.

Salafy itu kemudian membantah penafsiran kami terhadap perkataan Imam Ali bahwa Abu Bakar dan Umar adalah orang terbaik setelah Nabi SAW. Tentu saja kami menafsirkan perkataan ini sebagai tawadhu’ Beliau sebagaimana memang terdapat qarinah[petunjuk] yang menguatkan dalam lafaz hadisnya. Salafy membawakan atsar berikut yang menurutnya adalah bantahan telak terhadap penafsiran kami

عن عمرو بن حريث، قال : سمعت عليا وهو يخطب على المنبر وهو يقول : ألا أخبركم بخير هذه الأمة بعد نبيها، أبو بكر، ألا أخبركم بالثاني فإن الثاني عمر.

Dari ‘Amr bin Hariits, ia berkata : Aku pernah mendengar ‘Aliy berkhutbah di atas mimbar. Ia berkata : “Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang sebaik-baik umat ini setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam? yaitu Abu Bakr. Maukah aku beritahukan kepada kalian yang kedua? yaitu ‘Umar” [Fadlaailush-Shahaabah no. 398 dengan sanad hasan.].

Yang mendengar khutbah Imam Ali itu tidak hanya Amru bin Hariits tetapi juga orang lain dan silakan perhatikan khutbah Imam Ali dengan kalimat yang lebih lengkap dari hadis di atas.

حدثنا عبد الله حدثني وهب بن بقية الواسطي أخبرنا خالد بن عبد الله عن حصين عن المسيب بن عبد خير عن أبيه قال قام علي فقال خير هذه الأمة بعد نبيها أبو بكر وعمر وأنا قد أحدثنا بعدهم أحداثا يقضى الله تعالى فيها ما شاء

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata menceritakan kepadaku Wahab bin Baqiyah Al Wasithi yang berkata telah mengabarkan kepada kami Khalid bin Abdullah dari Hushain dari Al Musayyab bin Abdu Khair dari ayahnya yang berkata “Ali berdiri dan berkata “Orang yang terbaik diantara umat ini setelah Nabi mereka adalah Abu Bakar dan Umar. Sesungguhnya kita telah membuat hal-hal baru sepeninggal mereka dimana Allah akan memberikan hukuman atas hal-hal baru itu sesuai dengan kehendak-Nya” [Musnad Ahmad 1/15 no 926 dishahihkan oleh Syaikh Al Arnauth].

حدثنا عبد الله حدثني أبو صالح الحكم بن موسى ثنا شهاب بن خراش حدثني الحجاج بن دينار عن أبي معشر عن إبراهيم النخعي قال ضرب علقمة بن قيس هذا المنبر وقال خطبنا علي رضي الله عنه على هذا المنبر فحمد الله وأثنى عليه وذكر ما شاء الله أن يذكر وقال إن خير الناس كان بعد رسول الله صلى الله عليه و سلم أبو بكر ثم عمر رضي الله عنهما ثم أحدثنا بعدهما أحداثا يقضى الله فيها

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Shalih Hakam bin Musa telah menceritakan kepada kami Syihab bin Khirasy telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Dinar dari Abi Ma’syar dari Ibrahim An Nakha’i yang berkata Alqamah bin Qais memukul mimbar ini dan berkata “Ali RA pernah berkhutbah kepada kami di atas mimbar ini. Dia memuji Allah dan menyanjung-Nya. Dia menyebutkan apa yang dikehendaki oleh Allah untuk disebutkannya. Lalu dia berkata “Sesungguhnya manusia terbaik setelah Rasulullah SAW adalah Abu Bakar kemudian Umar. Sepeninggal mereka berdua, kitapun membuat hal-hal baru dimana Allah akan memberikan hukuman atas hal-hal baru itu” [Musnad Ahmad 1/127 no 1051 Syaikh Al Arnauth menyatakan sanadnya kuat].
Jika diperhatikan dengan baik maka jelas para perawi hadis tersebut telah meringkas khutbah Imam Ali. Lihat baik-baik Alqamah bin Qais tidak menyebutkan dengan jelas apa tepatnya perkataan Imam Ali yang ia maksud “Dia menyebutkan apa yang dikehendaki oleh Allah untuk disebutkannya”. kami pribadi belum menemukan perawi yang menyebutkan khutbah Imam Ali dengan benar-benar lengkap. Silakan perhatikan kedua hadis di atas, bukankah setelah memuji Abu Bakar dan Umar, Imam Ali mengatakan bahwa “kita telah membuat hal-hal baru sepeninggal mereka” dan hal baru itu adalah sesuatu yang menyebabkan Allah akan memberikan hukumannya. Bagi kami perkataan ini sangat jelas menunjukkan sikap tawadhu’ Imam Ali. Kenyataannya justru yang telah membuat hal-hal baru itu adalah Abu Bakar dan Umar, contohnya bukankah mereka berdua telah melarang haji tamattu’ dimana Rasulullah SAW membolehkannya dan telah mayshur diketahui bahwa Imam Ali sangat menentang pelarangan haji tamattu’.

Khutbah Imam Ali di atas disampaikan setelah Beliau menjabat sebagai khalifah, pada saat awal beliau menjabat khalifah Imam Ali telah menyampaikan hujjah kekhalifahannya

عن أبي الطفيل قال جمع علي رضي الله تعالى عنه الناس في الرحبة ثم قال لهم أنشد الله كل امرئ مسلم سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول يوم غدير خم ما سمع لما قام فقام ثلاثون من الناس وقال أبو نعيم فقام ناس كثير فشهدوا حين أخذه بيده فقال للناس أتعلمون انى أولى بالمؤمنين من أنفسهم قالوا نعم يا رسول الله قال من كنت مولاه فهذا مولاه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه قال فخرجت وكأن في نفسي شيئا فلقيت زيد بن أرقم فقلت له انى سمعت عليا رضي الله تعالى عنه يقول كذا وكذا قال فما تنكر قد سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ذلك له

Dari Abu Thufail yang berkata “Ali mengumpulkan orang-orang di tanah lapang dan berkata “Aku meminta dengan nama Allah agar setiap muslim yang mendengar Rasulullah SAW bersabda di Ghadir khum terhadap apa yang telah didengarnya. Ketika ia berdiri maka berdirilah tigapuluh orang dari mereka. Abu Nu’aim berkata “kemudian berdirilah banyak orang dan memberi kesaksian yaitu ketika Rasulullah SAW memegang tangannya (Ali) dan bersabda kepada manusia “Bukankah kalian mengetahui bahwa saya lebih berhak atas kaum mu’min lebih dari diri mereka sendiri”. Para sahabat menjawab “benar ya Rasulullah”. Beliau bersabda “barang siapa yang menjadikan Aku sebagai pemimpinnya maka Ali pun adalah pemimpinnya dukunglah orang yang mendukungnya dan musuhilah orang yang memusuhinya. Abu Thufail berkata “ketika itu muncul sesuatu yang mengganjal dalam hatiku maka aku pun menemui Zaid bin Arqam dan berkata kepadanya “sesungguhnya aku mendengar Ali RA berkata begini begitu, Zaid berkata “Apa yang patut diingkari, aku mendengar Rasulullah SAW berkata seperti itu tentangnya” [Musnad Ahmad 4/370 no 19321 dengan sanad yang shahih seperti yang dikatakan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Tahdzib Khasa’is An Nasa’i no 88 dishahihkan oleh Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini].
Perhatikanlah baik-baik Abu Thufail pada saat itu mendengar Imam Ali berkhutbah meminta pengakuan atas mereka yang telah mendengar hadis Ghadir-kum dimana Rasulullah SAW mengatakan bahwa diri Beliau lebih berhak atas kaum mu’min lebih dari diri mereka sendiri. Tentu saja pernyataan “lebih berhak” ini menunjukkan bahwa kata “maula” yang digunakan oleh Rasulullah SAW menunjukkan kepemimpinan sebagaimana seorang pemimpin lebih berhak atas mereka yang dipimpinnya lebih dari diri mereka sendiri. Siapa yang menjadikan Rasul sebagai pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya. Hujjah Imam Ali inilah yang membuat sahabat Nabi Abu Thufail yang tidak mendengar hadis ghadirkhum menjadi ragu dan muncul sesuatu ganjalan dalam hatinya [kalau cuma sekedar keutamaan persahabatan maka mengapa harus ada keraguan dan ganjalan].

Kalau seorang sahabat Nabi seperti Abu Thufail bisa muncul sesuatu di hati-nya maka apalagi orang-orang lain yang mendengar pernyataan Imam Ali tersebut. Maka bisa diperkirakan bahwa sebagian orang mulai mempertanyakan keabsahan kedudukan khalifah sebelumnya yaitu Abu Bakar dan Umar.

حدثني روح بن عبد المؤمن عن أبي عوانة عن خالد الحذاء عن عبد الرحمن بن أبي بكرة أن علياً أتاهم عائداً فقال ما لقي أحد من هذه الأمة ما لقيت توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم وأنا أحق الناس بهذا الأمر فبايع الناس أبا بكر فاستخلف عمر فبايعت ورضيت وسلمت ثم بايع الناس عثمان فبايعت وسلمت ورضيت وهم الآن يميلون بيني وبين معاوية

Telah menceritakan kepadaku Rawh bin Abdul Mu’min dari Abi Awanah dari Khalid Al Hadzdza’ dari Abdurrahman bin Abi Bakrah bahwa Ali mendatangi mereka dan berkata “tidak ada satupun dari umat ini yang mengalami seperti yang saya alami. Rasulullah SAW wafat dan sayalah yang paling berhak dalam urusan ini [kekhalifahan]. Kemudian orang-orang membaiat Abu Bakar terus Umar menggantikannya, maka akupun ikut membaiat, pasrah dan menerima. Kemudian orang-orangpun membaiat Utsman maka akupun ikut membaiat, pasrah dan menerima. Dan sekarang mereka bingung antara Saya dan Muawiyah [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 1/294 dengan sanad yang shahih sesuai syarat Bukhari].

Jika hal ini dibiarkan maka akan terjadi perselisihan yang akan menyebabkan perpecahan di kelompok pendukung Imam Ali padahal saat itu mereka menghadapi situasi sulit dengan adanya penentangan dari Muawiyah dan pengikutnya. Oleh karena itu untuk mencegah perpecahan maka Imam Ali berkhutbah memuji Abu Bakar dan Umar bahwa mereka adalah orang yang terbaik dan mengatakan bahwa “kita telah membuat hal-hal baru sepeninggal mereka dimana Allah SWT akan memberikan hukuman atas hal baru itu”. Tidak lain ini menunjukkan sikap tawadhu’ Beliau karena pada kenyataannya Beliau adalah orang yang paling berpegang teguh kepada Kitab Allah dan Sunnah Nabi SAW. Abu Thufail sendiri setelah mendengar khutbah Imam Ali ia malah beranggapan Imam Ali lebih utama dari Abu Bakar dan Umar.

Kami yakin salafy tidak akan menerima penafsiran ini, mungkin mereka lebih suka untuk mengatakan kalau Imam Ali telah membuat hal-hal baru yang akan mendapat hukuman Allah SWT. Cukuplah kiranya kami berlepas diri dari mereka. Seorang Ahlul Bait yang selalu dalam kebenaran dan menjadi rujukan bagi umat tidak akan membuat hal-hal baru yang mendatangkan hukuman Allah SWT.
Kami jawab, paling tidak riwayat di atas menunjukkan bahwa : Abu Bakar dan Umar begitu dekat dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, Imam Ali mengakui keutamaan Abu Bakar dan Umar, Hubungan yang harmonis antara Imam Ali dan Syaikhan. Yang semua hal tersebut bertentangan dengan apa yang digambarkan oleh Syi’ah selama ini.
Kami tidak mengerti apa maksud salafy ini?. Kami pribadi tidak pernah menolak keutamaan Abu Bakar dan Umar. Hanya saja kami bersikap objektif dalam menerima sejarah. Fakta adalah fakta, Abu Bakar membuat marah Sayyidah Fathimah AS itu adalah berita shahih. Umar mengancam membakar rumah Imam Ali itu pun juga berita shahih. Kami tidaklah mengada-ada soal itu. Semua manusia yang tidak terjaga kesuciannya bisa saja memiliki keutamaan dan suatu ketika ia juga melakukan kesalahan yang berat. Imam Ali mengerti betul akan hal ini, sehingga Beliau tetap saja mengakui keutamaan Abu Bakar dan Umar.
Kami Jawab, hadits trsebut di dalam sanadnya terdapat perawi syi’ah yaitu Al-Ajlah. Cukuplah bagi kami untuk berhati-hati terhadap riwayat di atas.
Al Ajlah adalah perawi syiah yang tsiqat dan shaduq. Hadis-hadisnya telah dinilai shahih dan hasan oleh para ulama. Jadi tidak ada alasan untuk menolak hadisnya, kalau memang dikatakan perawi syiah yang meriwayatkan bid’ahnya harus ditolak. Kami katakan dimana letak bid’ah dalam hadis tersebut?. Ditambah lagi Al Ajlah tidak menyendiri meriwayatkan hadis ini, ia memiliki mutaba’ah dari Salim bin Abi Hafsah, Al ‘Amasy, Ammar Ad Duhni dan Ibrahim bin Hamad.
Justru terlihat penulis syi’ah ini yang terburu-buru dalam menarik kesimpulan dan mengabaikan hal yang begitu telak meruntuhkan syubhat orang syi’ah tersebut, mari kita perhatikan baik-baik perkataan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam : Seandainya aku [boleh] mengambil khalil selain Rabbku niscaya aku mengambil Abu Bakar tetapi cukuplah [kedudukan] persaudaraan dalam islam dan kasih sayang”.
Justru salafy ini yang terburu-buru, dalam berhujjah ia sendiri tidak bisa membedakan antara penetapan dan perandaian. Salafy itu malah melanjytkan dengan kata-kata yang maaf kalau dianalisis dengan baik malah muncul hal yang aneh.
Artinya jika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam boleh mengambil khalil (khalil Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah Allah) selain dari pada Allah, maka Nabi akan mengambil Abu Bakar. Tentunya hal ini tidak boleh karena Allah tidak akan ridha jika dipersekutukan dengan yang lain sehingga nabi mengatakan cukuplah persaudaraan dan kasih sayang.
Menurut Salafy Allah tidak akan ridha dan perkataan Khalil itu berarti mempersekutukan Allah dengan yang lain. Sekarang makna khalil disitu apa?. Apakah maksudnya karena Nabi SAW memiliki cinta yang begitu besar kepada Abu Bakar sehingga jika dibolehkan Nabi akan mengambilnya sebagai khalil?. Apakah kecintaan yang besar itu mau dikatakan mempersekutukan Allah SWT dengan yang lain?. Silakan perhatikan dua hal:
  • Kecintaan Nabi yang besar kepada Abu Bakar yang menurut salafy itu lebih tinggi dari mahabbah
  • Jika dibolehkan Nabi mengangkat Abu Bakar sebagai Khalil
Kami sebelumnya mengatakan bahwa perandaian Khalil itu menunjukkan kecintaan Nabi kepada Abu Bakar. Apakah kecintaan itu mau dikatakan salafy mempersekutukan Allah dengan yang lain?. Naudzubillah.
Maka ini adalah perumpamaan paling tinggi yang tidak pernah beliau ucapkan untuk sahabat lain kecuali untuk Abu Bakar, yang menunjukkan ketinggian kedudukan Abu Bakar di hati Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,
Sekarang salafy itu mengatakan bahwa ketinggian kedudukan Abu Bakar di hati Nabi, maka kami tanya padanya ketinggian kedudukan Abu Bakar di hati Nabi SAW itu sebagai apa, sebagai orang yang sangat dicintai? Ataukah sebagai khalil?. Apakah sesuatu yang ada di dalam hati itu mau dikatakan mempersekutukan Allah SWT dengan yang lain?. naudzubillah. Jika sebagai orang yang sangat dicintai maka kami tidak menolaknya tetapi itu bukan kekhususan bagi Abu Bakar mengingat Rasulullah SAW sendiri sangat mencintai Imam Ali, Sayyidah Fathimah AS dan Usamah bin Zaid RA. Bahkan telah diriwayatkan kalau Rasulullah SAW lebih mencintai Ali daripada Abu Bakar.
karena yang disebut khalil Allah hanya ada dua yaitu Nabi Ibrahim ‘alaihi sallam dan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan bagi kedua Nabi tersebut, khalil mereka adalah Allah saja dan tidak boleh yang lain, maka jika Nabi membuat perandaian seperti itu, tidak ada lagi perandaian atau pujian yang lebih tinggi daripada pujian atau perandaian khalil terhadap Abu Bakar ini, hatta itu hadits manzilah, hadits sayyid ataupun hadits-hadits tentang keutamaan sahabat yang lain, dan tentunya ini adalah bukti bahwa Abu Bakar paling utama dibandingkan sahabat-sahabat yang lain.
Sangat jelas sekali kalau salafy ini tidak bisa membedakan perandaian dan penetapan. Intinya hadis tersebut bukan menceritakan Abu Bakar sebagai khalil tetapi menjelaskan bahwa Rasulullah SAW sangat mencintai Abu Bakar dan kecintaannya ini beliau katakan dengan perandaian khalil. Jadi keutamaan itu sendiri terletak pada kecintaannya bukan pada kata khalil. Dalam hal kecintaan Nabi SAW sendiri mengakui bahwa Beliau lebih mencintai Ali daripada Abu Bakar. Dan Imam Ali ini adalah manusia yang paling dicintai oleh Allah SWT berdasarkan hadis shahih.

حدثنا سفيان بن وكيع حدثنا عبيد الله بن موسى عن عيسى بن عمر عن السدي عن أنس بن مالك قال كان عند النبي صلى الله عليه و سلم وسلم طير فقال اللهم آئتني بأحب خلقك إليك يأكل معي هذا الطير فجاء علي فأكل معه


Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Waki’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Musa dari Isa bin Umar dari As Suddi dari Anas bin Malik yang berkata Rasulullah SAW suatu ketika memiliki daging burung kemudian Beliau SAW bersabda “Ya Allah datangkanlah hambamu yang paling Engkau cintai agar dapat memakan daging burung ini bersamaKu. Maka datanglah Ali dan ia memakannya bersama Nabi SAW” [Sunan Tirmidzi 5/636 no 3721 hadis shahih dengan keseluruhan jalannya].

Adakah keutamaan yang lebih tinggi dari “manusia yang paling dicintai Allah SWT”. Dalam hadis Thair Allah SWT mengabulkan doa Rasulullah SAW dengan mendatangkan Imam Ali bukannya mendatangkan Abu Bakar atupun Umar. Ini menunjukkan keutamaan yang tinggi Imam Ali di atas sahabat lain termasuk Abu Bakar dan Umar. Dan ini bukan perandaian tetapi penetapan dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Begitu pula hadis manzilah, hadis Sayyid dan hadis Rasulullah SAW terhadap Imam Ali “Aku darinya dan Ia dari ku, ia adalah pemimpin setap orang beriman sepeninggalku”. Hadis-hadis ini adalah keutamaan yang tinggi dan berupa penetapan Nabi SAW bukan perandaian. Hadis soal khalil di atas bisa jadi sebagai bukti keutamaan yang tinggi Abu Bakar dibanding sahabat Nabi yang lain  dalam hal kecintaan tetapi tidak bagi Imam Ali karena terdapat penjelasan yang shahih bahwa Nabi SAW lebih mencintai Imam Ali dari Abu Bakar dan Imam Ali adalah manusia yang paling dicintai Allah SWT. kemudian Silakan perhatikan hadis berikut:

حدثنا عبد الله حدثني حجاج بن يوسف الشاعر حدثني عبد الصمد بن عبد الوارث ثنا يزيد بن أبي صالح أن أبا الوضىء عبادا حدثه أنه قال كنا عامدين إلى الكوفة مع علي بن أبي طالب رضي الله عنه فلما بلغنا مسيرة ليلتين أو ثلاث من حروراء شذ منا ناس كثير فذكرنا ذلك لعلي رضي الله عنه فقال لا يهولنكم أمرهم فإنهم سيرجعون فذكر الحديث بطوله قال فحمد الله علي بن أبي طالب رضي الله عنه وقال إن خليلي أخبرني أن قائد هؤلاء رجل مخدج اليد على حلمة ثديه شعرات كأنهن ذنب اليربوع

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang menceritakan kepadaku Hajjaj bin Yusuf Asy Syaa’ir menceritakan kepadaku Abdus Shamad bin Abdul Waris menceritakan kepada kami Yazid bin Abi Shalih bahwa Abul Wadhi’ Abbad menceritakan kepadanya yang berkata “kami pernah ke Kufah bersama Ali bin Abi Thalib. Ketika kami sampai perjalanan dua atau tiga malam dari Harura, ada banyak orang dari golongan kami yang tersesat. Kami pun menceritakan hal itu kepada Ali, maka ia berkata “janganlah persoalan itu membuat kalian resah, sesungguhnya mereka akan kembali”. Abul Wadhi’ berkata “Ali bin Abi Thalib memuji Allah SWT, kemudian ia berkata “sesungguhnya kekasihku pernah mengabarkan kepadaku bahwa pemimpin mereka adalah seorang laki-laki yang pendek tangannya di putting susunya terdapat rambut-rambut yang menyerupai ekor yarbu’… [Musnad Ahmad 1/140 no 1189 shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir].

Imam Ali tidak ragu untuk menyatakan Rasulullah SAW sebagai khalil Beliau. Kira-kira apakah yang akan dikatakan oleh salafy terhadap hadis ini.
Demikian juga dengan perandaian : “jika ada Nabi setelahku maka Umarlah orangnya” menunjukkan kedudukan yang tinggi Umar yang tingkatannya mendekati tingkatan Nabi, walaupun Umar bukanlah seorang Nabi.
Sekarang kami tanya anda wahai salafy manakah yang lebih tinggi keutamaannya perandaian Umar sebagai Nabi atau perandaian Abu Bakar sebagai khalil Nabi. Silakan dijawab kalau memang anda mampu menjawabnya dan perhatikanlah apakah anda konsisten atau tidak.
Kemudian orang syi’ah tersebut menampilkan hadits-hadits keutamaan Imam Ali yang semuanya adalah juga keutamaan yang dimiliki Abu Bakar, bahkan riwayat-riwayat keutamaan Abu Bakar adalah yang lebih rajih.
Justru keutamaan Imam Ali menunjukkan keutamaan yang tinggi di atas Abu Bakar dan Umar. Hadis shahih menyebutkan kalau Imam Ali adalah orang yang pertama masuk islam, ini bukti keutamaan Imam Ali atas Abu Bakar [mengingat tidak ada satupun hadis shahih bahwa Abu Bakar adalah orang yang pertama kali masuk islam]. Hadis shahih menyebutkan kalau Imam Ali adalah pemimpin bagi setiap orang beriman sepeninggal Nabi SAW, dan Abu Bakar dan Umar jelas termasuk orang-orang beriman. Hadis Tsaqalaian yang shahih menyebutkan kalau Ahlul Bait adalah pegangan umat [termasuk didalam umat adalah Abu Bakar dan Umar] agar tidak tersesat  dan tidak diragukan lagi kalau Imam Ali adalah ahlul bait yang dimaksud. Jadi keutamaan Abu Bakar mana yang lebih rajih, silakan tunjukkan dan kami akan tunjukkan pula keutamaan Imam Ali yang melebihi Abu Bakar.

Akhir kata jika salafy itu mau berhujjah tidak perlu sok dan bersikaplah konsisten kalau memang mampu. Jangan hanya bisa taklid buta kepada gaya tafsir usang versi salafy, silakan analisis hadisnya dengan baik dan nilailah diri sendiri secara objektif sudah konsisten atau belum. Dan silakan salafy itu mengobati dulu penyakit sinismenya dengan kitab-kitab yang menurutnya tidak mu’tabar padahal ketika terdesak ia sendiri tidak segan-segan berhujjah dengan kitab-kitab yang tidak mu’tabar. Abul Jauzaa yang ia hormati itu juga setahu kami tidak pernah merendahkan kitab-kitab yang tidak mu’tabar bahkan tidak jarang berhujjah dengan kitab-kitab tersebut. Yah memang cuma pengikut salafy ini yang agak lain sendiri penyakitnya.
 
21. Studi Kritis Hadis Yang Dijadikan Hujjah Salafy Dalam Mengutamakan Abu Bakar Dan Umar Di Atas Ali.
Kebiasaan buruk salafy dan salafy nashibi adalah mereka merasa-rasa sebagai orang yang paling berpegang kepada Al Qur’an dan Sunnah dan merasa-rasa paling berpegang kepada salafus salih. Ditambah lagi dengan tingkah mereka yang sering mensesatkan mahzab lain dan mengumbar tuduhan kepada siapapun yang bertentangan dengan mereka maka tidaklah aneh jika keberadaan salafy menjadi kontroversial di kalangan umat islam. Salah satu mahzab dalam islam yang paling dibenci oleh salafy adalah Syiah. Begitu besarnya kebencian salafy terhadap Syiah sampai-sampai orang yang bukan Syiah-pun mereka tuduh sebagai Syiah hanya karena orang tersebut bertasyayyu’ atau lebih mengutamakan Ahlul Bait dibanding semua sahabat yang lain. Padahal tasyayyu’ di dalam islam memiliki landasan yang shahih [tentu bagi orang yang mengetahuinya]. 

Salafy sok berasa-rasa sebagai pemilik hadis-hadis sunni. Kalau salafy bisa menegakkan keyakinan mahzabnya dengan hadis-hadis sunni maka mengapa pula orang islam lain tidak bisa menegakkan keyakinannya dengan hadis-hadis sunni. Sejak kapan hadis-hadis sunni menjadi hak milik salafy. Salafy suka menuduh kalau orang islam selain mahzabnya tidak konsisten kalau berhujjah dengan hadis-hadis sunni padahal kenyataannya salafy sendiri sangat jauh dari konsisten. Diantara mereka ada yang tersinggung kalau dikatakan “nashibi” tetapi anehnya mulut mereka sendiri dengan lancangnya menyatakan “syiah” atau “rafidhah” atau “sesat” kepada orang lain. Memang mereka yang suka merendahkan orang lain sering lupa untuk berkaca pada dirinya sendiri.

Kami akan menunjukkan kepada para pembaca, contoh inkonsistensi salafy dalam berhujjah dengan hadis-hadis sunni. Kami akan membahas hadis-hadis yang dijadikan dalil keyakinan salafy untuk mengutamakan Abu Bakar dan Umar di atas Imam Ali. Diantara mereka ada yang mengatakan kalau mengutamakan Abu Bakar dan Umar di atas Ali adalah ijma’ para sahabat dan kaum muslimin. Perkataan ini tidaklah benar, para sahabat sendiri berselisih mengenai siapa yang paling utama, diantara sahabat Nabi ada yang mengutamakan Imam Ali diantara semua sahabat lainnya [termasuk Abu Bakar dan Umar] seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr

وروى عن سلمان وأبى ذر والمقداد وخباب وجابر وأبى سعيد الخدرى وزيد بن الأرقم أن على بن ابى طالب رضى الله عنه أول من أسلم وفضله هؤلاء على غيره

Diriwayatkan dari Salman, Abu Dzar, Miqdad, Khabbab, Jabir, Abu Said Al Khudri dan Zaid bin Al Arqam bahwa Ali bin Abi Thalib RA adalah orang yang pertama masuk islam dan mereka mengutamakan Ali dibanding sahabat yang lain [Al Isti’ab Ibnu Abdil Barr 3/1090].

Ibnu Abdil Barr ketika menuliskan biografi salah seorang sahabat Nabi yaitu Amru bin Watsilah dengan kuniyah Abu Thufail, ia mengatakan kalau Abu Thufail seorang yang bertasyayyu’ mengutamakan Imam Ali di atas syaikhan yaitu Abu Bakar dan Umar [Al Isti’ab Ibnu Abdil Barr 4/1697].

Perselisihan soal tafdhil ini tidak hanya terjadi di kalangan para sahabat tetapi juga di kalangan kaum muslimin sebagaimana yang dikatakan Ibnu Hazm.

اختلف المسلمون فيمن هو أفضل بعد الأنبياء عليهم السلام , فذهب بعض أهل السنة , وبعض المعتزله , وبعض المرجئة , وجميع الشيعة , إلى أن أفضل الأمة بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم علي بن أبي طالب رضي الله عنه , وقد روينا هذا القول نصاً عن بعض الصحابة رضي الله عنهم , وعن جماعة من التابعين والفقهاء , و ذهب بعض أهل السنة ,وبعض المعتزله , وبعض المرجئة , إلى أن أفضل الصحابة بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم ,أبوبكر ,ثم عمر .

Kaum muslimin berselisih mengenai siapa yang paling utama setelah para Nabi [alaihis salam]. Sebagian ahlu sunnah, sebagian mu’tazilah, sebagian murji’ah dan seluruh syiah menyatakan bahwa di kalangan umat yang paling utama setelah Rasulullah SAW adalah Ali bin Abi Thalib RA. Dan diriwayatkan dari sebagian sahabat, jama’ah tabiin dan fuqaha, sebagian ahlus sunnah, sebagian mu’tazilah dan sebagian murjiah yang menyatakan sahabat yang paling utama setelah Rasulullah SAW adalah Abu Bakar kemudian Umar [Al Fishal Ibnu Hazm 4/181].

Jadi perkara mengutamakan Imam Ali di atas Abu Bakar dan Umar bukanlah monopoli kaum syiah, bahkan hal tersebut telah muncul di kalangan para sahabat Nabi sebagai salafus shalih yaitu Jabir RA, Abu Sa’id RA, Zaid bin Arqam RA, Salman RA, Miqdad RA dan Abu Thufail RA.

Hampir semua pengikut salafy ketika membahas keutamaan Abu Bakar dan Umar di atas Imam Ali, mereka membawakan atsar Ibnu Umar yang diriwayatkan dalam kitab shahih.

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كُنَّا نُخَيِّرُ بَيْنَ النَّاسِ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنُخَيِّرُ أَبَا بَكْرٍ ثُمَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ ثُمَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ

Telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Sulaiman dari Yahya bin Sa’id dari Nafi’ dari Ibnu Umar radiallahu ’anhuma yang berkata “Kami membandingkan diantara manusia di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka kami menganggap yang terbaik adalah Abu Bakar, kemudian Umar bin Khaththab kemudian Utsman bin Affan radiallahu ‘anhum” [Shahih Bukhari no 3655].

Atsar Ibnu Umar ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih tetapi menjadikan hadis ini dalil keutamaan Abu Bakar dan Umar di atas Ali adalah tidak tepat. Hal ini disebabkan bahwa apa yang dinukil dari Ibnu Umar hanyalah pendapat sebagian sahabat saja dan riwayat Ibnu Umar di atas itu tidak lengkap, riwayat yang lebih lengkap adalah sebagai berikut:

أخبرنا عبدالله قال ثنا سلمة بن شبيب قال مروان الطاطري قال ثنا سليمان بن بلال قال ثنا يحيى بن سعيد عن نافع عن ابن عمر قال كنا نفضل على عهد رسول الله  صلى الله عليه وسلم  أبا بكر وعمر وعثمان ولا نفضل أحدا على أحد

Telah mengabarkan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Salamah bin Syabib yang berkata Marwan Ath Thaathari berkata menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilal yang berkata menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id dari Nafi’ dari Ibnu Umar yang berkata “kami mengutamakan di masa hidup Rasulullah SAW Abu Bakar, Umar dan Utsman kemudian kami tidak mengutamakan satupun dari yang lain[As Sunnah Al Khallal no 580].

Atsar Ibnu Umar di atas juga shahih. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal seorang imam yang tsiqat [At Taqrib 1/477]. Salamah bin Syabib perawi Muslim yang tsiqat [At Taqrib 1/377] dan Marwan bin Muhammad Ath Thaathari perawi Muslim yang tsiqat [At Taqrib 2/172].

Diantara pengikut salafy ada yang dengan gaya lucu mengatakan kalau Atsar Ibnu Umar ini dalil yang qath’i keutamaan Abu Bakar dan Umar di atas Ali dengan dua alasan
  • Dalam atsar Ibnu Umar di atas terdapat kalimat penting yaitu “kami membandingkan” atau “kami mengutamakan”. Perkataan ini menunjukkan ucapan para sahabat seluruhnya dan tidak ada yang membantahnya.
  • Dalam atsar Ibnu Umar di atas terdapat lafaz “saat Rasulullah SAW hidup” atau “di zaman Rasulullah”. Salafy mengatakan lafaz ini menunjukkan kalau ucapan tersebut didengar oleh Rasulullah SAW dan Beliau SAW tidak membantahnya.
Kami jawab : Jika memang kita harus menuruti logika salafy di atas maka atsar Ibnu Umar menunjukkan dalil yang qath’i bahwa semua sahabat berpandangan orang yang paling utama setelah Nabi SAW adalah Abu Bakar, Umar dan Utsman kemudian mereka tidak mengutamakan satupun dari yang lain termasuk Imam Ali. Anehnya justru kesimpulan ini sangat bertentangan dengan keyakinan mahzab salafy, mengingat mereka sendiri mengutamakan Imam Ali sebagai yang keempat di atas sahabat yang lain. Menurut salafy, sahabat yang paling utama itu adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman, kemudian Ali. Bukankah ini sangat bertentangan dengan atsar Ibnu Umar di atas bahwa setelah Utsman semua sahabat tidak mengutamakan satupun dari yang lain?. Ini adalah bukti pertama inkonsistensi salafy dalam berhujjah. Mereka berhujjah dengan gaya sepotong-sepotong, mengambil penggalan hadis yang sesuai dengan akidahnya saja.

Inkonsistensi salafy lainnya dapat para pembaca lihat dari diskusi atau pembahasan salafy soal nikah mut’ah. Dalam pembahasan nikah mut’ah terdapat hadis yang memuat lafaz yang sama persis dengan atsar Ibnu Umar di atas.

قال عطاء قدم جابر بن عبدالله معتمرا فجئناه في منزله فسأله القوم عن أشياء ثم ذكروا المتعة فقال نعم استمتعنا على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم وأبي بكر وعمر

Atha’ berkata “Jabir bin Abdullah datang untuk menunaikan ibadah umrah. Maka kami mendatangi tempatnya menginap. Beberapa orang dari kami bertanya berbagai hal sampai akhirnya mereka bertanya tentang mut’ah. Jabir menjawab “benar, memang kami melakukannya pada masa hidup Rasulullah SAW, masa Abu Bakar dan Umar”. [Shahih Muslim 2/1022 no 15 (1405) tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi].

Kembali lagi kalau kita berhujjah dengan logika salafy maka atsar Jabir di atas menunjukkan kalau semua sahabat melakukan mut’ah di masa hidup Rasulullah SAW, masa Abu Bakar dan masa Umar atau Ijma’ sahabat membolehkan nikah mut’ah. Silakan para pembaca mengingat kembali, Salafy dengan lantangnya mengatakan kalau nikah mut’ah adalah zina, padahal berdasarkan atsar di atas maka semua sahabat melakukan mut’ah di masa Abu Bakar dan Umar. Apakah salafy berani mengatakan kalau semua sahabat telah berzina?. Naudzubillah

Menghadapi kemusykilan atsar Jabir di atas, ada diantara pengikut salafy yang mengatakan kalau atsar Jabir itu hanya menunjukkan bahwa sebagian kecil sahabat masih melakukan nikah mut’ah karena mereka belum tahu kalau nikah tersebut diharamkan. Sekarang kata “kami melakukan” diartikan sebagai “sebagian kecil” bukan “semua sahabat” atau “ijma’ sahabat”. Benar-benar tidak konsisten :mrgreen:
Kembali ke atsar Ibnu Umar di atas kami menafsirkan perkataan Ibnu Umar itu hanyalah pendapat sebagian sahabat saja dan tidak memiliki landasan qath’i dari Rasulullah SAW karena:
  • Telah disebutkan sebelumnya kalau diantara para sahabat ada yang mengutamakan Ali di atas Abu Bakar dan Umar. Selain itu telah shahih riwayat Jabir bin Abdullah yang mengatakan kalau Imam Ali adalah manusia terbaik [dalam riwayat Jabir ini pun terdapat lafaz “kami”].
  • Telah shahih dari Rasulullah SAW berbagai hadis yang mengutamakan Imam Ali di atas para sahabat lainnya [termasuk Abu Bakar dan Umar].
Kami sudah cukup banyak menuliskan hadis Rasulullah SAW tentang keutamaan Imam Ali di atas Abu Bakar dan Umar, kami akan menyebutkan salah satunya:

عن عبد الله رضى الله تعالى عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم الحسن والحسين سيدا شباب أهل الجنة وأبوهما خير منهما

Dari Abdullah RA yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Hasan dan Husain Sayyid [Pemimpin] pemuda surga dan Ayah mereka lebih baik dari mereka” [Al Mustadrak Ash Shahihain no 4779, Al Hakim dan Adz Dzahabi menshahihkannya].

Jika pengikut salafy itu mengakui kalau para sahabat [termasuk Abu Bakar dan Umar] adalah pemuda ahli surga maka tidak bisa tidak Sayyid bagi mereka adalah Imam Hasan dan Imam Husain. Kedudukan “Sayyid” menunjukkan kalau keduanya lebih utama dari para sahabat Nabi [yang juga termasuk pemuda ahli surga]. Jika Imam Ali dikatakan oleh Rasulullah SAW lebih baik atau utama dari Sayyid pemuda ahli surga maka sudah jelas Imam Ali lebih utama dari semua sahabat lainnya [termasuk Abu Bakar dan Umar]. Dalil ini yang lebih pantas dikatakan dalil qath’i.

عن بن عباس قال بعثني النبي صلى الله عليه وسلم الى علي بن أبي طالب فقال أنت سيد في الدنيا وسيد في الآخرة من احبك فقد احبني وحبيبك حبيب الله وعدوك عدوي وعدوي عدو الله الويل لمن ابغضك من بعدي

Dari Ibnu Abbas yang berkata “Nabi SAW mengutusku kepada Ali bin Abi Thalib lalu Beliau bersabda “Wahai Ali kamu adalah Sayyid [pemimpin] di dunia dan Sayyid [pemimpin] di akhirat. Siapa yang mencintaimu maka sungguh ia mencintaiku, kekasihmu adalah kekasih Allah dan musuhmu adalah musuhku dan musuhku adalah musuh Allah. Celakalah mereka yang membencimu sepeninggalKu [Fadhail Shahabah Ahmad bin Hanbal no 1092, dengan sanad yang shahih].

Hadis ini adalah dalil qath’i kalau Imam Ali lebih utama dari semua sahabat lainnya [termasuk Abu Bakar dan Umar] karena Rasulullah SAW menyatakan dengan jelas kedudukan Imam Ali sebagai “Sayyid” baik di dunia maupun di akhirat.

Bagi kami atsar Ibnu Umar di atas hanya pendapat sebagian sahabat yang merupakan ijtihad mereka. Atsar ini tidak bisa dijadikan hujjah jika terdapat atsar lain yang menyelisihinya ditambah lagi telah shahih dari Rasulullah SAW keutamaan Imam Ali yang begitu tinggi di atas para sahabat. Jadi atsar Ibnu Umar di atas dilihat dari sisi manapun tidak menjadi hujjah bagi salafy bahkan atsar itu berbalik menentang keyakinan mereka. Sungguh aneh mereka tidak menyadari inkonsistensi yang mereka alami, apakah mereka tidak mampu memahami apa itu “inkonsistensi”? atau sebenarnya mereka paham tetapi hati mereka tidak sanggup menerima.

Hadis lain yang sering dijadikan hujjah salafy untuk mengutamakan Abu Bakar dan Umar di atas Imam Ali adalah perkataan Imam Ali bahwa Abu Bakar dan Umar umat terbaik setelah Nabi SAW.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا جَامِعُ بْنُ أَبِي رَاشِدٍ حَدَّثَنَا أَبُو يَعْلَى عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَنَفِيَّةِ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ عُمَرُ وَخَشِيتُ أَنْ يَقُولَ عُثْمَانُ قُلْتُ ثُمَّ أَنْتَ قَالَ مَا أَنَا إِلَّا رَجُلٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir yang berkata telah mengabarkan kepada kami Sufyan yang berkata telah menceritakan kepada kami Jami’ bin Abi Raasyid yang menceritakan kepada kami Abu Ya’la dari Muhammad bin Al Hanafiah yang berkata “aku bertanya kepada ayahku “siapakah manusia terbaik setelah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Beliau menjawab “Abu Bakar”. Aku berkata “kemudian siapa?”. Beliau menjawab “Umar” dan aku khawatir ia akan berkata Utsman, aku berkata “kemudian engkau”. Beliau menjawab “Aku tidak lain hanya seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin” [Shahih Bukhari no 3671].

Atsar Imam Ali di atas adalah atsar yang shahih tetapi kami tidak memahami atsar di atas seperti pemahaman salafy. Atsar di atas dengan jelas menunjukkan sikap tawadhu’ Imam Ali, buktinya adalah perkataan Imam Ali ketika ditanya tentang dirinya, Beliau menjawab “Aku tidak lain hanya seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin”. Siapapun akan mengetahui berbagai keutamaan Imam Ali yang begitu tinggi dan dengan keutamaan tersebut Beliau jelas lebih utama dari lafaz “seorang laki-laki” tetapi Imam Ali mengatakannya untuk menunjukkan sikap tawadhu’ Beliau. Apakah salafy ketika berhujjah dengan hadis ini mereka menempatkan Imam Ali sebagai hanya seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin?. Bukankah para sahabat, tabiin dan banyak umat muslim lain juga bisa dikatakan sebagai “seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin”. Lantas bagaimana bisa salafy mengutamakan Imam Ali sebagai yang keempat di atas sahabat lain dan para tabiin kalau Imam Ali sendiri beranggapan dirinya hanya seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin?.

Sudah jelas memaknai atsar di atas secara zahir justru menimbulkan inkonsistensi di sisi salafy. Kami tidak memahami atsar Imam Ali di atas secara zahir, bagi kami atsar di atas menunjukkan pujian Imam Ali kepada Abu Bakar dan Umar, dan bagaimana kedudukan mereka di antara sahabat lainnya. Imam Ali tidak sedang membicarakan kedudukan dirinya oleh karena itu ketika ditanya tentang dirinya, Beliau menjawab dengan perkataan yang menunjukkan sikap tawadhu’ bukan dengan perkataan yang menjelaskan kedudukan sebenarnya tentang dirinya. Sedangkan kedudukan sebenarnya Imam Ali telah jelas disebutkan dalam berbagai hadis shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam [diantaranya yang telah kami sebutkan sebelumnya].

حدثنا عبد الله قال حدثني أبو صالح الحكم بن موسى قثنا شهاب بن خراش قثنا الحجاج بن دينار عن حصين بن عبد الرحمن عن أبي جحيفة قال كنت أرى أن عليا أفضل الناس بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم قلت يا أمير المؤمنين إني لم أكن أرى أن أحدا من المسلمين من بعد رسول الله أفضل منك قال أولا أحدثك يا أبا جحيفة بأفضل الناس بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم قلت بلى قال أبو بكر قال أفلا أخبرك بخير الناس بعد رسول الله وأبي بكر قال قلت بلى فديتك قال عمر

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Shalih Al Hakam bin Musa yang menceritakan kepada kami Syihab bin Khirasy  yang berkata telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Diinar dari Hushain bin Abdurrahman dari Abu Juhaifah yang berkata “Aku berpendapat bahwa Ali adalah orang yang paling utama setelah Rasulullah SAW, aku berkata “wahai amirul mukminin aku tidak melihat ada seseorang dari kalangan kaum muslimin setelah Rasulullah SAW yang lebih utama daripada engkau”. Ali berkata “tidakkah engkau mau kuberitahukan kepadamu wahai Abu Juhaifah orang yang paling utama setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku berkata “tentu”. Beliau berkata “Abu Bakar”. Kemudian beliau berkata “tidakkah engkau mau kuberitahukan padamu orang yang paling baik setelah Rasulullah [SAW] dan Abu Bakar. Aku berkata “tentu, beritahukanlah”. Beliau menjawab “Umar” [Fadhail Ash Shahabah no 404].

Sama seperti sebelumnya, kami memahami bahwa perkataan Imam Ali di atas adalah bagian dari sikap tawadhu’ Beliau. Perhatikan baik-baik Abu Juhaifah adalah seorang sahabat Nabi SAW dan pendapatnya kalau Imam Ali orang yang paling utama setelah Rasulullah SAW menunjukkan bahwa atsar Ibnu Umar sebelumnya memang tidak berlaku untuk seluruh sahabat melainkan hanya sebagian sahabat sedangkan sahabat lain seperti Abu Juhaifah memandang Imam Ali sebagai orang yang paling utama. Dalam hadis di atas Imam Ali tidaklah mengingkari, mencela, marah atau menghukum Abu Juhaifah karena pandangannya yang mengutamakan dirinya. Tentu saja hal ini menunjukkan bathilnya hadis yang dijadikan hujjah oleh salafy bahwa Imam Ali akan mencambuk atau menghukum mereka yang mengutamakan dirinya atas Abu Bakar dan Umar. Bagi Imam Ali tidak ada masalah jika ada orang yang mengutamakan dirinya atas Abu Bakar dan Umar.

Anehnya ketika ditunjukkan atsar dari Abu Bakar yang mengakui kalau dirinya bukanlah orang yang terbaik, salafy dengan mudahnya mengatakan bahwa itu adalah bagian dari sikap tawadhu’ Abu Bakar. Abu Bakar pernah berkhutbah dihadapan manusia.

قال أما بعد أيها الناس فأني قد وليت عليكم ولست بخيركم فان أحسنت فأعينوني وإن أسأت فقوموني الصدق أمانة والكذب خيانة والضعيف فيكم قوي عندي حتى أرجع عليه حقه إن شاء الله والقوي فيكم ضعيف حتى آخذ الحق منه إن شاء الله لا يدع قوم الجهاد في سبيل الله إلا خذلهم الله بالذل ولا تشيع الفاحشة في قوم إلا عمهم الله بالبلاء أطيعوني ما أطعت الله ورسوله فاذا عصيت الله ورسوله فلا طاعة لي عليكم قوموا الى صلاتكم يرحمكم الله

Ia berkata “Amma ba’du, wahai manusia sekalian sesungguhnya aku telah dipilih sebagai pimpinan atas kalian dan bukanlah aku orang yang terbaik diantara kalian maka jika berbuat kebaikan bantulah aku. Jika aku bertindak keliru maka luruskanlah aku, kejujuran adalah amanah dan kedustaan adalah khianat. Orang yang lemah diantara kalian ia kuanggap kuat hingga aku mengembalikan haknya kepadanya jika Allah menghendaki. Sebaliknya yang kuat diantara kalian aku anggap lemah hingga aku mengambil darinya hak milik orang lain yang diambilnya jika Allah mengehendaki. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah kecuali Allah timpakan kehinaan dan tidaklah kekejian tersebar di suatu kaum kecuali adzab Allah ditimpakan kepada kaum tersebut. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan RasulNya. Tetapi jika aku tidak mentaati Allah dan RasulNya maka tiada kewajiban untuk taat kepadaku. Sekarang berdirilah untuk melaksanakan shalat semoga Allah merahmati kalian. [Sirah Ibnu Hisyam 4/413-414 tahqiq Hammam Sa’id dan Muhammad Abu Suailik, dinukil Ibnu Katsir dalam Al Bidayah 5/269 dan 6/333 dimana ia menshahihkannya].
Kalau diartikan secara zahir sudah jelas atsar Abu Bakar ini merupakan bantahan yang telak atas salafy. Bagaimana mungkin mereka mengakui kalau Abu Bakar orang yang paling baik setelah Rasulullah SAW kalau Abu Bakar sendiri justru mengakui kalau ia bukanlah orang yang terbaik diantara para sahabat Nabi. Jadi kalau hanya mengandalkan atsar sahabat maka akan muncul berbagai inkonsistensi dan kontradiksi. Satu-satunya pemecahan adalah dengan melihat berbagai hadis shahih dari Rasulullah SAW yang menunjukkan keutamaan dan kedudukan yang sebenarnya.
Pandangan kami soal “siapa yang paling utama” berdasarkan metode yang sangat berbeda dengan salafy. Metode yang kami gunakan adalah mengumpulkan hadis-hadis shahih dari Rasulullah SAW mengenai keutamaan para sahabat yaitu Imam Ali ataupun Abu Bakar dan Umar kemudian membandingkan antara keutamaan tersebut mana yang menjadi hujjah bagi yang lain. Dengan metode seperti ini dapat diketahui dengan jelas kedudukan sahabat yang sebenarnya. Sedangkan metode salafy adalah metode sepihak yang hanya mengandalkan hadis yang itu-itu saja dan mengabaikan berbagai hadis lain yang justru menunjukkan kedudukan yang sebenarnya. Contohnya adalah bagaimana bisa salafy mengabaikan hadis Tsaqalain sebagai keutamaan yang tinggi bagi Imam Ali?. Bagaimana bisa salafy mengabaikan kedudukan imam Ali sebagai maula bagi kaum mukminin [termasuk Abu Bakar dan Umar]?. Bagaimana bisa salafy mengabaikan kedudukan Imam Ali sebagai waly bagi setiap orang beriman [termasuk Abu Bakar dan Umar]?, dan masih banyak hadis-hadis lainnya.

Hadis lain yang dijadikan hujjah salafy dalam mengutamakan Abu Bakar dan Umar di atas Ali adalah:

حَدَّثَنِي الْوَلِيدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ أَبِي الْحُسَيْنِ الْمَكِّيُّ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ إِنِّي لَوَاقِفٌ فِي قَوْمٍ فَدَعَوْا اللَّهَ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَقَدْ وُضِعَ عَلَى سَرِيرِهِ إِذَا رَجُلٌ مِنْ خَلْفِي قَدْ وَضَعَ مِرْفَقَهُ عَلَى مَنْكِبِي يَقُولُ رَحِمَكَ اللَّهُ إِنْ كُنْتُ لَأَرْجُو أَنْ يَجْعَلَكَ اللَّهُ مَعَ صَاحِبَيْكَ لِأَنِّي كَثِيرًا مَا كُنْتُ أَسْمَعُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُنْتُ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَفَعَلْتُ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَانْطَلَقْتُ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ فَإِنْ كُنْتُ لَأَرْجُو أَنْ يَجْعَلَكَ اللَّهُ مَعَهُمَا فَالْتَفَتُّ فَإِذَا هُوَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ

Telah menceritakan kepadaku Walid bin Shalih yang berkata telah menceritakan kepada kami Isa bin Yunus yang berkata menceritakan kepada kami Umar bin Sa’id bin Abi Husain Al Makkiy dari Ibnu Abi Mulaikah dari Ibnu Abbas radiallahu ‘anhuma yang berkata “Sungguh aku pernah berdiri di kerumunan orang yang sedang mendoakan Umar bin Khathab ketika ia telah diletakkan di atas pembaringannya. Tiba-tiba seseorang dari belakangku yang meletakkan kedua sikunya di bahuku berkata: “Semoga Allah merahmatimu dan aku berharap agar Allah menggabungkan engkau bersama dua shahabatmu karena aku sering mendengar Rasulullah SAW bersabda “aku bersama Abu Bakar dan Umar” atau “Aku telah mengerjakan bersama Abu Bakar dan Umar” atau “aku pergi dengan Abu Bakar dan Umar”. Maka sungguh aku berharap semoga Allah menggabungkan engkau dengan keduanya. Maka aku melihat ke belakangku ternyata ia adalah Ali bin Abi Thalib [Shahih Bukhari no 3677].

Dalam hadis ini tidak ada sedikitpun petunjuk keutamaan Abu Bakar dan Umar di atas Ali. Hadis ini memuat doa Imam Ali agar Umar bergabung bersama Rasulullah SAW dan Abu Bakar. Insya Allah perkara bergabung bersama Rasulullah SAW nanti adalah harapan setiap sahabat Nabi SAW dan bukan kekhususan Abu Bakar dan Umar. Begitu pula perkataan Rasulullah SAW “Aku bersama Abu Bakar dan Umar” tidaklah menunjukkan kekhususan terhadap mereka berdua. Bahkan banyak hadis shahih lain yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW sangat dekat kepada Imam Ali. Pernahkah para pembaca mendengar hadis shahih yang menunjukkan kecintaan kepada Ali berarti kecintaan kepada Rasulullah SAW? Hadis shahih siapa yang menyakiti Ali maka menyakiti Rasulullah SAW?.

Hadis shahih siapa yang mencaci Ali berarti mencaci Rasulullah SAW?. Hadis shahih siapa yang memisahkan diri dari Ali berarti memisahkan diri dari Rasulullah SAW?. Tidak diragukan lagi hadis-hadis tersebut menunjukkan betapa tingginya kedudukan Imam Ali di sisi Rasulullah SAW.
Masih banyak lagi hadis yang menunjukkan kedekatan Imam Ali kepada Rasulullah SAW, diantaranya ketika di Thaif Rasulullah SAW dan Ali memisahkan diri dari para sahabat dan terlihat mengadakan pembicaraan yang lama sehingga membuat sebagian sahabat mengeluh, ketika mereka mengadukan keluhan mereka kepada Rasulullah SAW, Rasulullah SAW menjawab bahwa bukan Beliau yang berbicara dengan Imam Ali tetapi Allah SWT yang berbicara dengan Imam Ali. Tentu saja kekhususan seperti ini hanya dimiliki Imam Ali dan tidak pernah dimiliki Abu Bakar dan Umar.

عن أم سلمة رضى الله تعالى عنها قالت والذي أحلف به إن كان علي لأقرب الناس عهدا برسول الله صلى الله عليه وسلم عدنا رسول الله صلى الله عليه وسلم غداة وهو يقول جاء علي جاء علي مرارا فقالت فاطمة رضى الله تعالى عنها كأنك بعثته في حاجة قالت فجاء بعد قالت أم سلمة فظننت أن له إليه حاجة فخرجنا من البيت فقعدنا عند الباب وكنت من أدناهم إلى الباب فأكب عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم وجعل يساره ويناجيه ثم قبض رسول الله صلى الله عليه وسلم من نومه ذلك فكان علي أقرب الناس عهدا

Dari Ummu Salamah radiallahu ta’ala ‘anha yang berkata “Demi Yang aku bersumpah dengan-Nya, sesungguhnya Ali adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah SAW. Kami menjenguk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pada suatu pagi dan Beliau berkata ‘Apakah Ali sudah datang? Apakah Ali sudah datang?’ Beliau tanyakan itu berkali-kali, lalu Fathimah berkata “sepertinya Anda mengutusnya untuk sebuah keperluan”. Kemudian datanglah Ali, Ummu Salamah berkata “kami mengira bahwa Beliau ada perlu dengannya maka kami keluar dari kamar dan duduk di dekat pintu. Dan aku yang paling dekat dengan pintu, maka Rasulullah SAW merundukkan kepalanya [ketubuh Ali] dan membisikkan sesuatu kepadanya, kemudian beliau wafat hari itu juga. Maka Ali adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah SAW” [Al Mustadrak Ash Shahihain no 4671 dimana Al Hakim dan Adz Dzahabi bersepakat menshahihkannya].

Bukankah hadis di atas menunjukkan betapa dekatnya hubungan antara Imam Ali dan Rasulullah SAW?. Hadis ini tidak kalah utama dari atsar Ibnu Abbas di atas. Bagaimana bisa salafy mengabaikan berbagai hadis lain yang menunjukkan kedekatan Imam Ali dengan Rasulullah SAW. Kami tidak menolak atsar Ibnu Abbas yang dijadikan hujjah salafy, yang kami tolak adalah cara pendalilan versi salafy yang menjadikan atsar tersebut sebagai hujjah keutamaan Abu Bakar dan Umar di atas Ali, karena memang tidak ada penunjukkan yang demikian dalam atsar tersebut.

Sebenarnya kalau menuruti metode salafy maka perkataan Abu Bakar sebelumnya bahwa beliau bukanlah yang terbaik diantara sahabat Nabi yang lain adalah perkataan yang terang benderang dan cukup telak meruntuhkan syubhat salafy yang sok memakai dalil sunni untuk menguatkan keyakinannya. Abu Bakar sendiri mengakui kalau ia bukan yang terbaik lantas mengapa salafy malah mengatakan Abu Bakar umat terbaik?. Apakah salafy merasa lebih mengetahui dari Abu Bakar. Begitu pula kalau menuruti cara berpikir salafy, maka semua sahabat yang mendengar khutbah Abu Bakar tidak ada yang membantahnya. Jadi semua sahabat setuju dengan pernyataan Abu Bakar kalau dirinya bukanlah yang terbaik diantara mereka. Maka kita kembalikan permasalahan ini kepada salafy, tunjukkan sikap yang konsisten dalam berhujjah jika memang kalian mampu. Kalau tidak mampu maka diamlah, jangan merasa sok berdalil dengan hadis-hadis sunni.

Salafy berusaha mengingkari keutamaan hadis manzilah dengan berbagai syubhat. Syubhat-syubhat yang justru meruntuhkan keutamaan hadis manzilah. Sehingga jika kita atau salafy menerima syubhat-syubhat tersebut maka tidak tersisa keutamaan yang ada dalam hadis manzilah. Pembahasan hadis manzilah telah kami paparkan dalam thread khusus dan telah kami buktikan bahwa hadis manzilah menunjukkan keutamaan Imam Ali di atas Abu Bakar dan Umar. Kami hanya akan membahas syubhat-syubhat salafy yang tidak ada nilainya sama sekali.

Salafy mengatakan kalau menjadikan hadis manzilah sebagai keutamaan Imam Ali di atas Abu Bakar dan Umar akan menyebabkan pertentangan dengan atsar Imam Ali bahwa manusia terbaik setelah Rasulullah SAW adalah Abu Bakar.

Kami jawab : kalau salafy hanya berkeras pada cara mereka berdalil maka akan muncul berbagai inkonsistensi yang nyata, contohnya saja apakah mereka berani menganggap Imam Ali hanya sebagai seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin?. Bagi kami perkataan Imam Ali tidaklah bertentangan dengan hadis manzilah. Perkataan Imam Ali tersebut adalah bagian sikap tawadhu’ beliau sehingga Beliau tidak sedang membicarakan kedudukan Beliau yang sebenarnya oleh karena itu ketika ditanya tentang dirinya, Imam Ali menjawab dengan jawaban yang menunjukkan sikap tawadhu’ bukan menjelaskan kedudukan dirinya yang sebenarnya. Sedangkan kedudukan Imam Ali yang sebenarnya di sisi Nabi SAW tampak dalam berbagai hadis shahih yang diucapkan oleh Rasulullah SAW, nah diantaranya adalah hadis Manzilah.

Salafy mengatakan kalau Nabi SAW juga pernah membandingkan Abu Bakar dan Umar dengan para Nabi yaitu Abu Bakar dengan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Isa AS, Umar dengan Nabi Nuh AS dan Nabi Musa AS. Salafy berhujjah dengan perkataan berikut
Dalam Sahih Bukhari dan Muslim mengenai tawanan perang. Ketika Nabi meminta pendapat Abu Bakar, ia mengusulkan tebusan. Ketika Nabi bertanya kepada ‘Umar, ia mengusulkan untuk dibunuh saja. Lalu Nabi bersabda: “Akan kuceritakan kepadamu tentang dua orang yang sepadan dengan kamu. Engkau, wahai Abu Bakar, sama dengan Ibrahim ketika ia berkata: Barangsiapa mengikuti aku, ia termasuk golonganku. Barangsiapa durhaka kepadaku, sesungguhnya Tuhan maha pengampun dan maha Pengasih (QS, Ibrahim, 14:36). Engkau juga sama dengan Nabi Isa ketika ia berkata: “Jika Engkau menyiksa mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu. Dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkau Maha Mulia dan Maha Bijaksana”. (QS, al-Ma’idah, 5:118). Adapun engkau, wahai ‘Umar, sama seperti Nuh ketika ia berkata: “Ya Tuhanku janganlah Engkau biarkan seorang pun diantara orang-orang kafir tinggal di atas bumi”. (QS, Nuh, 71:26). Engkau juga seperti Nabi Musa ketika ia berkata: “Ya Tuhan kami binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, sehingga mereka tidak beriman sampai mereka melihat siksaan yang pedih”. (QS, Yunus, 10:88).
Kami jawab : hujjah ini hanyalah pengulangan cara berhujjah syaikh mereka Ibnu Taimiyyah yang diikuti oleh Mahmud Az Za’bi dalam Al Bayyinat. Hujjah mereka ini tidak nyambung karena hadis yang mereka jadikan hujjah tidak sedang menjelaskan tentang keutamaan atau kedudukan Abu Bakar dan Umar. Siapapun akan melihat dengan jelas bahwa Nabi SAW sendiri menjelaskan maksud perkataan Beliau SAW “Engkau, wahai Abu Bakar, sama dengan Ibrahim ketika ia berkata dan “Engkau juga sama dengan Nabi Isa ketika ia berkata atau “Adapun engkau, wahai ‘Umar, sama seperti Nuh ketika ia berkata dan “Engkau juga seperti Nabi Musa ketika ia berkata”. Perhatikan perkataan “ketika ia berkata”, lafaz inilah yang menunjukkan apa yang sebenarnya sedang dianalogikan oleh Nabi SAW dalam hadis di atas. Jadi sebenarnya yang disamakan oleh Nabi SAW adalah sifat yang ada dalam jawaban Abu Bakar dan Umar dengan sifat yang ada dalam perkataan Nabi-Nabi tersebut. Sedangkan hadis manzilah sangat jelas menunjukkan tentang keutamaan dan kedudukan.

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا أبو سعيد مولى بنى هاشم ثنا سليمان بن بلال ثنا الجعيد بن عبد الرحمن عن عائشة بنت سعد عن أبيها ان عليا رضي الله عنه خرج مع النبي صلى الله عليه و سلم حتى جاء ثنية الوداع وعلى رضي الله عنه يبكى يقول تخلفني مع الخوالف فقال أو ما ترضى أن تكون منى بمنزلة هارون من موسى الا النبوة

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id mawla bani hasyim yang berkata menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilal yang menceritakan kepada kami Al Ju’aid bin Abdurrahman dari Aisyah binti Sa’ad dari ayahnya bahwa Ali pergi bersama Nabi SAW hingga tiba di balik bukit. Saat itu Ali menangis dan berkata “Tidakkah engkau rela bahwa kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa kecuali Kenabian” [Musnad Ahmad 1/170 no 1463 dengan sanad yang shahih].

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الله بن نمير قال ثنا موسى الجهني قال حدثتني فاطمة بنت علي قالت حدثتني أسماء بنت عميس قالت سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول يا علي أنت مني بمنزلة هارون من موسى الا انه ليس بعدي نبي

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Numair yang berkata telah menceritakan kepada kami Musa Al Juhani yang berkata telah menceritakan kepadaku Fathimah binti Ali yang berkata telah menceritakan kepadaku Asma’ binti Umais yang berkata aku mendengar Rasulullah SAW berkata “wahai Ali engkau di sisiKu seperti kedudukan Harun di sisi Musa kecuali tidak ada Nabi setelahku” [Musnad Ahmad 6/438 no 27507 dishahihkan oleh Syaikah Syu’aib Al Arnauth].

Kami tidak mengingkari bahwa hadis ini diucapkan Nabi SAW di perang tabuk tetapi terdapat pula penunjukkan kalau Nabi SAW mengucapkan hadis ini di saat lain selain perang Tabuk seperti yang telah kami bahas sebelumnya. Hadis Asma’ binti Umais dengan penyimakan langsung dari Rasulullah SAW itu didengar pada peristiwa lain selain perang tabuk. Perhatikan lafaz hadis yang diucapkan Rasulullah SAW “kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa kecuali Kenabian”. Lafaz ini adalah lafaz yang umum karena di dalam lafaznya terkandung pengecualian kedudukan yang tidak dimiliki Imam Ali yaitu Kenabian. Semua kedudukan Harun di sisi Musa dimiliki oleh Imam Ali di sisi Nabi SAW kecuali kenabian. Oleh karena itu sangat wajar jika para sahabat menganggap ini sebagai keutamaan yang besar dan sangat berharap kalau saja mereka bisa mendapatkannya. Berbeda halnya dengan hadis yang dijadikan hujjah salafy di atas, tidak ada satupun para sahabat yang menganggap itu sebagai keutamaan yang besar serta berandai-andai memilikinya.

Salafy berhujjah dengan hadis bahwa Rasulullah SAW menghendaki Abu Bakar sebagai khalil dan menurut salafy kedudukan ini menunjukkan Abu Bakar lebih utama dari imam Ali. Seperti biasa salafy itu terlalu terburu-buru dalam menarik kesimpulan. Silakan perhatikan hadis yang dimaksud:

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَمَنِّ النَّاسِ عَلَيَّ فِي صُحْبَتِهِ وَمَالِهِ أَبَا بَكْرٍ وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيلًا غَيْرَ رَبِّي لَاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ وَلَكِنْ أُخُوَّةُ الْإِسْلَامِ وَمَوَدَّتُهُ لَا يَبْقَيَنَّ فِي الْمَسْجِدِ بَابٌ إِلَّا سُدَّ إِلَّا بَابَ أَبِي بَكْرٍ

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata “sesungguhnya manusia yang paling banyak jasanya dalam persahabatan dan hartanya adalah Abu Bakar. Seandainya aku [boleh] mengambil khalil selain Rabbku niscaya aku mengambil Abu Bakar tetapi cukuplah [kedudukan] persaudaraan dalam islam dan kasih sayang. Tidak akan tersisa satu pintu di masjid yang tertutup kecuali pintu Abu Bakar” [Shahih Bukhari no 3654].

حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيلًا لَاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ وَلَكِنْ أَخِي وَصَاحِبِي

Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim yang berkata telah menceritakan kepada kami Wuhaib yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayub dari Ikrimah dari Ibnu Abbas radiallhu ‘anhuma dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam yang berkata “seandainya aku [boleh] mengambil khalil dari umatku maka aku akan mengambil Abu Bakar tetapi cukuplah ia sebagai saudaraku dan sahabatku” [Shahih Bukhari no 3656].

Jika diperhatikan dengan baik maka dalam hadis di atas tidak ada penetapan oleh Rasulullah SAW bahwa Abu Bakar adalah khalil Beliau. Diisyaratkan dalam hadis di atas adalah pengandaian jika Rasul SAW dibolehkan mengambil khalil dan kenyataannya kedudukan yang jelas bagi Abu Bakar dalam hadis di atas adalah saudara dan sahabat Nabi atau kedudukan dalam kasih sayang dan persaudaraan. Sama halnya dengan perkataan Nabi SAW “jika ada Nabi setelahku maka Umarlah orangnya” dimana dalam perkataan ini tidak ada pernyataan bahwa Umar adalah Nabi setelah Beliau SAW. Jadi poin pertama yang harus dimengerti dalam hadis ini adalah perandaian sangat berbeda dengan penetapan. Kedudukan yang ditetapkan oleh Nabi SAW terhadap Abu Bakar adalah saudara dan sahabat Beliau. Dan kedudukan saudara ini tidak lah terbatas kepada Abu Bakar saja mengingat Rasulullah SAW telah menyatakan pula kalau Imam Ali adalah saudara Beliau, sahabat Beliau, wazir dan pewaris Beliau SAW.

Dan jika mau dibandingkan antara Abu Bakar dan Ali, maka kedudukan saudara Rasulullah SAW yang dimiliki Imam Ali lebih bersifat khusus dan utama. Dalam hadis di atas disebutkan bahwa kedudukan saudara bagi Abu Bakar adalah persaudaraan dalam islam dan kasih sayang. Persaudaraan ini tidaklah bersifat khusus karena para sahabat lain juga memiliki kedudukan seperti itu yaitu persaudaraan dalam islam dan kasih sayang terhadap Nabi SAW, sedangkan kedudukan “saudara” yang dimiliki Imam Ali diakui Imam Ali sendiri bersifat khusus

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ نُمَيْرٍ , عَنِ الْحَارِثِ بْنِ حَصِيرَةَ , قَالَ : حَدَّثَنِي أَبُو سُلَيْمَانَ الْجُهَنِيُّ , يَعْنِي زَيْدَ بْنَ وَهْبٍ ، قَالَ : سَمِعْتُ عَلِيًّا عَلَى الْمِنْبَرِ وَهُوَ يَقُولُ : أَنَا عَبْدُ اللهِ , وَأَخُو رَسُولِهِ صلى الله عليه وسلم , لَمْ يَقُلْهَا أَحَدٌ قَبْلِي , وَلاَ يَقُولُهَا أَحَدٌ بَعْدِي إلاَّ كَذَّابٌ مُفْتَرٍ

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Numair dari Al Harits bin Hashirah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Sulaiman Al Juhani yakni Zaid bin Wahb yang berkata aku mendengar Ali berkata di atas mimbar “aku adalah hamba Allah dan saudara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak ada seorangpun sebelumku yang mengatakannya dan tidak pula seorang pun setelahku mengatakannya kecuali ia seorang pendusta yang mengada-ada [Al Mushannaf 12/62 no 32742].

Atsar Imam Ali ini kedudukannya hasan. Diriwayatkan oleh para perawi tsiqat kecuali Al Harits bin Hashirah seorang yang shaduq hasanul hadis.
  • Abdullah bin Numair Al Hamdani adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Ibnu Ma’in, Ibnu Hibban, Al Ijli dan Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 6 no 110].
  • Al Harits bin Hashirah adalah perawi yang shaduq hasanul hadis. Ia adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad dan perawi Nasa’i dalam Khasa’is Ali. Ibnu Ma’in, Nasa’i, Ibnu Hibban, Al Ijli dan Ibnu Numair menyatakan tsiqat. Abu Dawud berkata “seorang syiah yang shaduq”. Al Uqaili mengatakan “tidak diikuti hadisnya”. [At Tahdzib juz 2 no 236].
  • Zaid bin Wahb Al Juhani adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Ibnu Ma’in, Ibnu Khirasy, Ibnu Sa’ad, Ibnu Hibban dan Al Ijli menyatakan “tsiqat” [At Tahdzib juz 3 no 781].
Atsar di atas menyatakan kekhususan kedudukan saudara Rasulullah SAW bagi Imam Ali sehingga Imam Ali mengatakan pendusta kepada mereka yang berani mengatakan hal yang seperti itu baik orang sebelum Beliau ataupun setelah Beliau. Perlu ditekankan kami tidak menafikan kedudukan “saudara Rasulullah SAW” bagi Abu Bakar tetapi kami menafsirkan bahwa kedudukan saudara yang dimiliki Abu Bakar berbeda dengan kedudukan saudara yang dimiliki Imam Ali, dimana bagi kami persaudaraan Rasulullah SAW dengan Imam Ali lebih khusus dan lebih utama.

Rasulullah SAW menjadikan perandaian “khalil” menunjukkan besarnya kecintaan dan kasih sayang antara Abu Bakar dan Rasulullah SAW, kami tidaklah mengingkari hal ini. Tetapi menjadikan ini dalil keutamaan Abu Bakar di atas Ali adalah keliru karena telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Rasulullah SAW justru lebih mencintai Ali dari Abu Bakar

ثنا أبو نعيم ثنا يونس ثنا العيزار بن حريث قال قال النعمان بن بشير قال استأذن أبو بكر على رسول الله صلى الله عليه و سلم فسمع صوت عائشة عاليا وهى تقول والله لقد عرفت ان عليا أحب إليك من أبي ومنى مرتين أو ثلاثا فاستأذن أبو بكر فدخل فأهوى إليها فقال يا بنت فلانة الا أسمعك ترفعين صوتك على رسول الله صلى الله عليه و سلم

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim yang berkata telah menceritakan kepada kami Yunus yang berkata telah menceritakan kepada kami Al ‘Aizar bin Huraits yang berkata Nu’man bin Basyir berkata “Abu Bakar meminta izin untuk bertemu dengan Rasulullah SAW. Kemudian beliau mendengar suara tinggi Aisyah yang berkata kepada Rasulullah SAW “Demi Allah sungguh aku telah mengetahui bahwa Ali lebih Engkau cintai daripada aku dan ayahku” sebanyak dua atau tiga kali. Abu Bakar meminta izin masuk menemuinya dan berkata “Wahai anak perempuan Fulanah tidak seharusnya kau meninggikan suaramu terhadap Rasulullah SAW” [Musnad Ahmad no 18333 tahqiq Syaikh Ahmad Syakir dan Hamzah Zain dengan sanad yang shahih].

Begitu pula telah diriwayatkan di dalam hadis yang shahih bahwa Imam Ali adalah manusia yang paling dicintai oleh Allah SWT. Kedudukan ini justru menunjukkan bahwa Imam Ali adalah manusia yang paling utama setelah Rasulullah SAW.

حدثنا سفيان بن وكيع حدثنا عبيد الله بن موسى عن عيسى بن عمر عن السدي عن أنس بن مالك قال كان عند النبي صلى الله عليه و سلم وسلم طير فقال اللهم آئتني بأحب خلقك إليك يأكل معي هذا الطير فجاء علي فأكل معه

Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Waki’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Musa dari Isa bin Umar dari As Suddi dari Anas bin Malik yang berkata Rasulullah SAW suatu ketika memiliki daging burung kemudian Beliau SAW bersabda “Ya Allah datangkanlah hambamu yang paling Engkau cintai agar dapat memakan daging burung ini bersamaKu. Maka datanglah Ali dan ia memakannya bersama Nabi SAW” [Sunan Tirmidzi 5/636 no 3721 hadis shahih dengan keseluruhan jalannya].

Begitu pula dengan lafaz terakhir hadis Bukhari di atas soal penutupan pintu masjid selain Abu Bakar, tidak bisa dijadikan dalil sebagai keutamaan Abu Bakar di atas Ali karena telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih dan mutawatir kalau Rasulullah SAW menyatakan “tutuplah semua pintu masjid kecuali pintu Ali bin Abi Thalib”.

قال بن عباس وسد رسول صلى الله عليه وسلم أبواب المسجد غير باب علي فكان يدخل المسجد جنبا وهو طريقه ليس له طريق غيره

Ibnu Abbas berkata Rasulullah SAW memerintahkan agar semua pintu rumah-rumah yang berhubungan langsung dengan masjid Beliau ditutup, kecuali pintu rumah Ali. Oleh karena itu adakalanya Ali masuk ke masjid dalam keadan junub sebab ia tidak memiliki jalan lain kecuali lewat masjid itu [Al Mustadrak Ash Shahihain no 4652 dimana Al Hakim dan Adz Dzahabi bersepakat menshahihkannya].

Jadi dilihat dari sisi manapun tidak ada satupun dalil salafy yang bisa dijadikan hujjah untuk mengutamakan Abu Bakar dan Umar di atas Ali. Bahkan hadis-hadis Rasulullah SAW yang shahih telah menunjukkan kalau kedudukan Imam Ali dan keutamaannya lebih tinggi dari Abu Bakar dan Umar [seperti yang telah kami tunjukkan di atas]. Berikut ini kami akan menunjukkan hadis lain keutamaan Imam Ali yang terdapat dalam Shahih Muslim

عن أبي حازم أخبرني سهل بن سعد أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال يوم خيبر لأعطين هذه الراية رجلا يفتح الله على يديه يحب الله ورسوله ويحبه الله ورسوله قال فبات الناس يدوكون ليلتهم أيهم يعطاها قال فلما أصبح الناس غدوا على رسول الله صلى الله عليه و سلم كلهم يرجون أن يعطاها فقال أين علي بن أبي طالب ؟ فقالوا هو يا رسول الله يشتكي عينيه قال فأرسلوا إليه فأتى به فبصق رسول الله صلى الله عليه و سلم في عينيه ودعا له فبرأ حتى كأن لم يكن به وجع فأعطاه الراية فقال علي يا رسول الله أقاتلهم حتى يكونوا مثلنا فقال انفذ على رسلك حتى تنزل بساحتهم ثم ادعهم إلى الإسلام وأخبرهم بما يجب عليهم من حق الله فيه فوالله لأن يهدي الله بك رجلا واحدا خير لك من أن يكون لك حمر النعم

Dari Abu Hazim yang berkata telah mengabarkan kepadaku Sahl bin Sa’ad bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda di hari Khaibar “Demi Allah, Sungguh bendera ini akan saya berikan besok hari kepada seorang lelaki yang mana Allah akan mengaruniakan kemenangan melalui tangannya.  Ia mencintai Allah dan Rasul-Nya dan juga dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.” Maka semalam suntuk para sahabat membicarakan kepada siapakah kiranya bendera itu akan diserahkan.”[Sahl] berkata “Ketika tiba esok harinya, para sahabat berangkat dini menghadap Rasulullah SAW semuanya masing-masing berharap agar diserahi bendera itu. Tetapi beliau bersabda “Di mana Ali bin Abi Thalib?” Mereka menjawab: “Wahai Rasulullah, dia sedang menderita sakit mata.” Beliau  s.a.w. bersabda: “Pergilah kalian  kepadanya  dan bawalah ia ke sini.” Maka dibawalah Ali kepada Beliau, lalu Rasulullah s.a.w. mengusapkan air ludah pada kedua matanya dan men-doa-kannya. Kemudian ia pun sembuh, sehingga seolah-olah ia tidak pernah menderita sakit seperti itu. Lalu Beliau SAW menyerahkan ben-dera itu kepadanya. Ali berkata “Wahai Rasulullah, apakah saya harus memerangi mereka sampai mereka menjadi seperti kita?” Beliau bersabda “Bersikap tenanglah sampai engkau tiba di depan mereka, kemudian serulah mereka agar masuk ke dalam Islam dan jelaskan kepada mereka akan kewajiban-kewajiban atas mereka yang berkaitan dengan hak-hak Allah. Demi Allah, sekiranya Allah berkenan mengaruniakan petunjuk [hidayah] kepada seseorang melalui dirimu, maka itu akan lebih baik bagimu daripada unta-unta merah” [Shahih Muslim 4/1872 no 2406].

Perhatikanlah baik-baik hadis di atas, terutama pada bagian “Maka semalam suntuk para sahabat membicarakan kepada siapakah kiranya bendera itu akan diserahkan.”[Sahl] berkata “Ketika tiba besok harinya, para sahabat berangkat dini menghadap Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, semuanya masing-masing berharap agar diserahi bendera itu”. Lafaz ini menunjukkan bahwa semua sahabat saat itu mengharapkan mendapat keutamaan yang tinggi yaitu penetapan dari Allah dan Rasulnya sebagai ”Orang yang mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya dan dicintai oleh Allah SWT dan Rasul-Nya”. Dan tidak ada pula yang akan menyangkal kalau Abu Bakar dan Umar termasuk sahabat yang ikut dalam perang Khaibar, sehingga tentu saja merekapun berharap mendapatkan keutamaan tersebut dan memang diriwayatkan bahwa Umar bin Khaththab RA sangat mengharapkan keutamaan ini sehingga ia datang lebih dahulu dari Imam Ali agar Rasulullah SAW memberikan bendera itu kepadanya [Shahih Muslim 4/1871 no 2405] tetapi Rasulullah SAW justru memberikan keutamaan tersebut kepada orang yang saat itu sedang menderita uzur atau sedang sakit yaitu Imam Ali bin Abi Thalib. Bagi kami hadis ini lebih tepat menunjukkan keutamaan Imam Ali di atas semua sahabat yang lain termasuk Abu Bakar dan Umar.

Akhir kata kami ingin membahas sedikit sikap sinisme sebagian pengikut salafy terhadap kitab-kitab yang tidak mu’tabar menurut mereka. Maka ketahuilah wahai yang mengaku salafy, para ulama yang mu’tabar seperti Ibnu Hajar dan yang lainnya bahkan Syaikh Al Albani yang sangat kalian puji juga sering mengandalkan kitab-kitab yang menurut kalian tidak mu’tabar. Tidak jarang Ibnu Hajar berhujjah dengan kitab Ansab Al Asyraf Al Baladzuri dalam kitabnya Al Ishabah, silakan buka dan baca baik-baik maka kalian akan temukan Ibnu Hajar pernah berkata ”dan diriwayatkan oleh Al Baladzuri dengan sanad yang la ba’sa bihi” [Al Ishabah 2/98 no 1767]. Jadi tidak ada alasannya bagi salafy menolak hadis shahih walaupun itu terdapat dalam kitab yang menurut orang awam mereka ”tidak mu’tabar”.

22. Pembelaan Nashibi Terhadap Hadis Abu Bakar dan Umar Sayyid Kuhul Ahli Surga
Sebelumnya kami telah membahas hadis “Abu Bakar dan Umar Sayyid Kuhul Ahli Surga” dengan menganalisis seluruh jalan-jalannya. Kesimpulan pembahasan kami tersebut adalah hadis tersebut dhaif baik dilihat dari segi sanad maupun matannya. Salah seorang pengikut salafy nashibi menanggapi tulisan kami dengan membawakan talbis untuk mengecoh kaum awam atau untuk menenangkan pengikut mereka yang merasa risih dengan tulisan kami.

Inti dari tanggapan saudara nashibi itu adalah hadis-hadis tersebut walaupun cacat pada sanadnya tetapi dapat dijadikan i’tibar dan saling menguatkan sehingga kedudukannya menjadi “shahih dengan syawahid”. Tulisan ini akan membahas kekeliruan pernyataannya dan menunjukkan bahwa hadis “Abu Bakar dan Umar Sayyid Kuhul Ahli Surga” memang dhaif. Kami akan membahas satu-persatu tanggapan saudara nashibi tersebut [harap diperhatikan penyebutan nashibi setiap kami berdisuksi dengannya hanyalah penyesuaian terhadap kata rafidhah yang ia gunakan].

Hadis Ali bin Abi Thalib dari Jalur Asy Sya’bi.
Saudara Nashibi itu mengawali tanggapannya dengan berkata:
Dari jalan Asy-Sya’biy, dari Al-Haarits Al-A’war, dari ‘Aliy bin Abi Thaalib secara marfuu’.Sanad hadits ini adalah dla’iif dikarenakan Al-Haarits. Ke-dla’if-annya terletak pada sisi hapalannya, bukan pada ’adalah-nya sebagaimana telah dirinci oleh sebagian ahli hadits, dan itu telah saya tuliskan pada artikel di atas.
Pernyataan ini sangat jelas keliru. Banyak ulama yang mendhaifkan Al Haarist Al A’waar dan kedhaifannya terletak pada ‘adalah-nya bukan hafalannya seperti yang dikatakan nashibi tersebut. Kami tidak keberatan untuk menunjukkan pernyataan para ulama yang mendhaifkan Al Haarits.

وقال مسلم بن الحجاج : حدثنا قتيبة بن سعيد قال : حدثنا جرير عن مغيرة ، عن الشعبي قال : حدثني الحارث الأعور الهمداني وكان كذابا.

Muslim bin Hajjaj berkata telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir dari Mughirah dari Asy Sya’bi yang berkata “telah menceritakan kepadaku Al Haarits Al A’war Al Hamdani dan dia seorang pendusta [Tahdzib Al Kamal 5/246 no 1025].

Apakah pernyataan Sya’bi kalau Al Harits seorang pendusta itu berarti cacat pada hafalannya?. Sudah jelas tidak, jarh “pendusta” justru menunjukkan cacat pada ‘adalah-nya. Nashibi itu membawakan pernyataan Ahmad bin Shalih yang mengatakan kalau Asy Sya’bi hanya mendustakan pemikiran Al Haarits dan bukan hadisnya. Pernyataan ini tidak memiliki dasar ataupun bukti, hanya merupakan pembelaan yang dicari-cari.

وقال مفضل بن مهلهل عن مغيرة سمع الشعبى يقول حدثنى الحارث وأشهد أنه أحد الكذابين

Mufadhdhal bin Muhalhil berkata dari Mughirah yang mendengar Asy Sya’bi berkata “telah menceritakan kepadaku Al Harits dan aku bersaksi ia salah seorang diantara para pendusta” [Mizan Al I’tidal juz 1 no 1627].

Perkataan Asy Sya’bi “salah seorang diantara para pendusta” justru menunjukkan bahwa Al Harits dalam pandangannya adalah sama seperti para pendusta lainnya. Tidak ada pernyataan bahwa Asy Sya’bi hanya mendustakan pemikirannya saja, yang terlihat secara zahir dari perkataan tersebut adalah Asy Sya’bi menganggap Al Harits seorang pendusta. Apalagi Mughirah yang mendengar langsung dari Asy Sya’bi justru mencacatkan Al Haarits dalam hadisnya [hal ini menunjukkan bahwa Asy Sya'bi mencacatkan hadis Al Harits].

وروى أبو بكر بن عياش عن مغيرة قال لم يكن الحارث يصدق عن على في الحديث

Dan diriwayatkan dari Abu Bakar bin ‘Ayas dari Mughirah yang berkata “Al Haarits bukan seorang yang jujur dalam hadis” [Mizan Al I’tidal juz 1 no 1627].

Perlu diperhatikan yang memandang Al Harits sebagai pendusta tidak hanya Asy Sya’bi, selainnya ada Ali bin Madini, Abu Ishaq, Abu Bakar bin ‘Ayas dan Abu Khaitsamah sebagaimana yang disebutkan dalam Tahdzib Al Kamal.

وقال أبو بكر بن أبي خيثمة سمعت أبي يقول الحارث الأعور كذاب

Abu Bakar bin Abi Khaitsamah berkata aku mendengar ayahku berkata “Al Harits Al A’war seorang pendusta” [Tahdzib Al Kamal 5/248 no 1025].

Pertanyaannya adalah sejak kapan jarh pendusta berarti cacat pada hafalannya [orang yang paling awam dalam ilmu hadis pun tahu perbedaannya]. Jika saudara nashibi itu dengan mudah menafikan mereka yang menjarh Al Harits maka orang lain pun justru jauh lebih mudah menafikan pernyataan ulama yang menta’dilkan Al Harits seperti Ahmad bin Shalih. Diantara mereka yang mencacatkan Al Haarits justru menjelaskan alasannya bahwa mayoritas riwayatnya tidak terjaga dan ia meriwayatkan hadis-hadis bathil dari Ali.

Ibnu Mahdi meninggalkan hadis Al Harits, Daruquthni menyatakan “dhaif”, Ibnu Ady berkata “mayoritas riwayatnya tidak terjaga”. [Mizan Al I’tidal juz 1 no 1627]. Ibnu Sa’ad berkata “ia memiliki perkataan yang buruk dan dia dhaif dalam riwayatnya” [Thabaqat Ibnu Sa’ad 6/186]. Jarir dan Ibrahim mencacatnya, Abu Zur’ah berkata “tidak bisa dijadikan hujjah”. Abu Hatim berkata “dhaif hadisnya, tidak kuat dan tidak bisa dijadikan hujjah”. Diriwayatkan kalau Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat dan tidak ada masalah padanya tetapi diriwayatkan pula dari Ibnu Abi Khaitsamah kalau Ibnu Main menyatakan ia dhaif. Utsman Ad Darimi menyatakan “tidak diikuti”. Diriwayatkan kalau Nasa’i menyatakan tidak ada masalah padanya tetapi diriwayatkan pula kalau Nasa’i berkata “tidak kuat”. [Tahdzib Al Kamal 5/248 no 1025]. Terdapat kemungkinan kalau Ibnu Ma’in dan Nasa’i pada akhirnya menganggap dhaif Al Harits. Kesimpulan yang didapat dengan mengumpulkan semua perkataan ulama tentang Al Haarits adalah dia seorang yang dhaif dalam hadis dan kedhaifannya terletak pada ‘adalah-nya bukan hafalannya.
Riwayat ini memang lemah, namun tidak mudltharib. Asy-Sya’biy adalah seorang yang tsiqah yang disepakati ke-tsiqah-annya. Mempunyai banyak hadits. Bahkan para ulama mensifatkan, tidak ada orang yang lebih berilmu dan faqih daripadanya di jamannya. Dan ia juga disifati dengan ketinggian dlabth, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Syubrumah dari Asy-Sya’biy sendiri, dimana ia berkata : “….Tidaklah seseorang yang meriwayatkan hadits kepadaku melainkan aku menghapalnya” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 6/323].
Pernyataan kami soal mudhtharib itu berdasarkan bukti bahwa Asy Sya’bi terkadang meriwayatkan hadis ini dari Rasul SAW, kemudian dari Ali dari Rasul SAW, kemudian dari Al Harits dari Ali dari Rasul SAW tidak masalah bagi kami jika nashibi itu mau menolak pernyataan mudhtharib. Yang aneh adalah nashibi itu membantah pernyataan mudhtharib  dengan menunjukkan ketsiqahan Asy Sya’bi, padahal telah ma’ruf diketahui kalau seorang yang tsiqat bisa saja mengalami idhthirab pada hadisnya, lagi-lagi ia menunjukkan sikap seolah-olah ia sangat awam dalam masalah ini. Jika kita menerapkan metode tarjih maka riwayat Asy Sya’bi itu adalah dari Al Haarits dari Ali, hanya inilah riwayatnya yang muttashil dan riwayat ini telah jelas kedhaifannya.
Jadi, bukan suatu hal yang aneh jika ia mempunyai banyak jalan riwayat akan hadits ini sampai pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengambil riwayat dari beberapa orang dan menyampaikannya pada beberapa orang, sehingga diketahui hadits ini mempunyai lebih dari satu jalan. Inilah madzhab jumhur ahli hadits. Contohnya banyak dalam kutub hadits dimana riwayat-riwayat mereka tidak dihukumi mudltharib. Oleh karena itu kita mengenal gharib nisbi (dalam mushthalah), yaitu keghariban yang terletak pada tengah sanad.
Perkataan Nashibi ini hanya basa-basi yang biasa dilontarkan oleh orang yang sudah kehabisan kata-kata. Pernyataannya “hadis ini mempunyai lebih dari satu jalan” hanyalah angan-angan semata [alias tidak ada buktinya]. Tidak ada riwayat Asy Sya’bi yang tsabit dalam hadis ini kecuali riwayatnya dari Al Haarits dari Ali. Pendapat yang rajih Asy Sya’bi mengambil hadis ini hanya dari Al Haarits dan tidak ada yang lain. Kesimpulannya riwayat Asy Sya’bi yang tsabit adalah riwayatnya dari Al Haarits yang dhaif dan kedhaifannya terletak pada ‘adalah Al Haarits.

Hadis Ali bin Abi Thalib dari Jalur Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Kami akan menyoroti pernyataan saudara nashibi yang terkesan agak lucu [jika para pembaca memperhatikan diskusi kami sebelumnya dengan saudara nashibi tersebut]
Lain halnya dengan Ibnu Ma’iin yang mendla’ifkannya dimana ia menyendiri di dalamnya. Ibnu Ma’iin ini merupakan imam yang tasyaddud dalam jarh sebagaimana dikenal. Oleh karena itu, jarh Ibnu Ma’in harus dilihat kesesuaiannya dengan imam yang lain. Lebih dikuatkan lagi bahwa jama’ah perawi tsiqaat telah meriwayatkan hadits darinya.
Silahkan para pembaca mengingat-ngingat kembali pembahasan soal hadis “Jika kamu melihat Muawiyah di mimbarku maka bunuhlah ia”. Pada pembahasan hadis tersebut kami membawakan sanad Al Baladzuri yang jayyid. Saudara nashibi itu membantah dengan mencacatkan salah seorang perawinya yaitu Sallam Abul Mundzir padahal yang menjarh-nya hanya Ibnu Ma’in dan Sallam telah dita’dilkan oleh para ulama lain. Lucunya dahulu ia berpegang pada pendhaifan Ibnu Ma’in dan sekarang ia berkata Ibnu Ma’in terkenal tasyaddud dan jarh-nya harus disesuaikan dengan imam lain. Kemana perkataan ini ketika nashibi itu mencacatkan Sallam Abul Mundzir, aneh sekali bukan :mrgreen:
Intinya, nakarah itu harus dilihat. Dan di sini, nakarah yang ada nampak pada tambahan lafadh (“dan para pemudanya”), karena tambahan ini tidak dijumpai dalam jalan-jalan yang lain selain jalan ini – dimana ia dianggap bertentangan dengan hadits Al-Hasan dan Al-Husain (sebagai pemimpin pemuda ahli surga). Inilah yang diingkari dan dilemahkan. Bukan melemahkan semua lafadh haditsnya (daru ujung hingga akhir) dan kemudian menjatuhkan perawinya sekaligus.
Nashibi ini maaf tidak memahami dengan baik letak kemungkaran hadis Hasan bin Zaid. Lafaz “dan para pemudanya” adalah lafaz yang mungkar dan bertentangan dengan kabar yang shahih. Asal kemungkaran ini hanya bisa dikembalikan pada Hasan bin Zaid karena ia diperbincangkan dan dikenal meriwayatkan hadis-hadis yang diingkari, Jarh Ibnu Ma’in dan Ibnu Ady sangat sesuai dari sisi ini. Jadi Hasan bin Zaid tertuduh dalam hadis ini dan jelas sekali hadis mungkar ini tidak bisa dijadikan hujjah. Lagipula lafaz hadis tersebut “Sayyid Kuhul dan Syabab ahli surga” menunjukkan kalau ahli surga itu ada dua macam yaitu syabab dan kuhul atau dari lafaz tersebut terdapat makna kalau kuhul itu berbeda dengan syabab dan di surga nanti akan ada pemuda ahli surga dan kuhul [orang tua] ahli surga dan ini jelas bertentangan dengan hadis shahih bahwa sifat ahli surga itu semuanya syabab [pemuda]. Sayang sekali saudara itu tidak bisa melihat dengan jelas kemungkaran yang ada dalam hadis Hasan bin Zaid.
Lagi pula, dalam Asy-Syarii’ah (3/68-69 no. 1376), tidak ada tambahan lafadh (“dan para pemudanya”); sehingga dapat dipahami kesalahan penambahan itu bukan berasal Al-Hasan bin Zaid.
Apalagi perkataan yang satu ini, sungguh tidak ada nilainya. Apakah ia mau menafikan kalau Abdullah bin Ahmad dan Ibnu Asakir dengan jelas menyebutkan lafaz “dan para pemudanya”. Jika dikumpulkan semua hadis Hasan bin Zaid maka lafaz “Sayyid kuhul dan para pemudanya” memang ada dalam riwayat Hasan bin Zaid. Kemudian jika penambahan itu bukan berasal dari Al Hasan bin Zaid maka berasal dari siapa? Siapa yang akan ia tuduh? Wahb bin Baqiyah, Umar bin Yunus, Abdullah bin Umar atau Abdullah bin Ahmad dan Ibnu Asakir?. Dan silakan para pembaca menilai bagaimana kedudukan seorang perawi jika ia menambah-nambah lafaz bathil mungkar dalam suatu hadis. Kesimpulannya hadis ini mungkar dan tidak bisa dijadikan i’tibar.

Hadis Ali bin Abi Thalib dari Jalur Zirr bin Hubaisy.
Namun ada satu jalur riwayat lain yang tersisa, yaitu jalur yang disebutkan oleh Penulis Rafidliy dalam tulisannya: Diriwayatkan dalam Fawaid Abu Bakar Asy Syafi’i no 4 dengan jalan sanad dari Mufadhdhal bin Fadhalah Al Qurasy dari ayahnya dari Ashim dari Zirr dari Ali. Sanad ini tidak tsabit sampai ke Ashim karena Mufadhdhal adalah seorang yang dhaif sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hajar [At Taqrib 2/209].  Kelemahannya terletak pada Al-Mufadldlal. Ia dla’iif dari sisi hapalannya, jika merujuk pada perkataan An-Nasaa’iy (laisa bil-qawiy), Abu Haatim (yuktabu hadiitsuhu), dan Ibnu Hajar yang dibawakan yang bersangkutan.
Nashibi ini maaf terbiasa mencari-cari dalih untuk membela diri. Salah satu dalihnya adalah ia dengan mudah mengatakan Mufadhdhal itu dhaif dari segi hafalannya. Perkataan Nasa’i “tidak kuat” pada asalnya adalah perkataan yang bersifat jarh [cacat] tetapi karena beliau dikenal tasyaddud maka bisa saja ditafsirkan ini berarti hadis perawi tersebut hasan dan kedhaifannya terletak pada hafalannya tetapi tentu saja penafsiran ini dipakai kalau perawi yang dimaksud telah tetap penta’dilannya oleh ulama lain yang mu’tabar. Begitu pula dengan perkataan Abu Hatim “ditulis hadisnya” bukanlah suatu ta’dil yang mu’tamad karena telah ma’ruf bahwa para perawi dhaifpun ditulis hadisnya.

Ibnu Hajar dalam At Taqrib menyebutkan dengan perkatan “dhaif”. Di sisi Ibnu Hajar [dalam At Taqrib] jarh ini berada pada tingkatan kedelapan yaitu perawi dimana tidak ada ulama mu’tabar yang mentautsiq-nya, dhaif mutlak dan tidak bisa dijadikan i’tibar. Begitu pula disebutkan dalam Tahrir At Taqrib no 6857 dimana penulis menyepakati pendapat Ibnu Hajar yang menyatakan “dhaif” dan dalam muqaddimah disebutkan bahwa perkataan “dhaif” saja tanpa perkataan “yu’tabaru bihi” berarti perawinya dhaif mutlak dan tidak bisa dijadikan mutaba’ah dan syawahid. Al Uqaili memasukkannya dalam Adh Dhu’afa 4/243 no 1835 dan Ibnu Jauzi memasukkannya dalam Adh Dhu’afa Wal Matrukin no 3400.

Lagipula komentar nashibi itu menunjukkan dengan jelas bahwa ia hanya mencari-cari pembelaan tanpa meneliti sanad tersebut. Dalam hadis di atas disebutkan Mufadhdhal meriwayatkan dari ayahnya yaitu Fadhalah bin Abi Umayyah yang tidak dikenal kredibilitasnya dan tentu menurut metode saudara nashibi itu Fadhalah bin Abi Umayah jelas seorang yang majhul. Jadi bagaimana bisa hadis dengan cacat seperti ini dijadikan i’tibar.

Hadis Ali bin Abi Thalib dari Jalur Ali bin Husain bin Abi Thalib.
Ibnu Hajar dalam At-Taqriib mengatakan bahwa sebagian ahli hadits membedakan antara Muhammad bin ‘Abdirrahmaan Al-Jud’aaniy (terkenal dengan : Al-Jud’aaniy) dan Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Abi Mulaikah Al-Jud’aaniy Abu Ghiraarah (terkenal dengan : Abu Ghiraarah). Dua-duanya Al-Jud’aaniy, namun yang lain lebih terkenal dengan Abu Ghiraarah. Yang pertama matruuk, yang kedua layyin. Al-Mizziy mengatakan diantara ulama yang membedakan kedua orang tersebut adalah Ibnu Abu Haatim. Dan saya cenderung pada pembedaan ini. Abu Haatim saat mengomentari Muhammad bin ‘Abdirrahman bin Abi Bakr Al-Jud’aaniy (7/no. 1695) mengatakan dla’iif. Sedangkan ketika mengomentari Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Abi Bakr bin Abi Mulaikah (7/no. 1696), mengatakan : “Syaikh” (ta’dil tingkat rendah). Dan nama kedua inilah yang dita’dil oleh Ahmad dan Abu Zur’ah dengan perkataannya laa ba’sa bihi [Al-Jarh wat-Ta’dil 7/no. 1696]. An-Nasa’iy saat mengatakan matruuk, maka ia mengalamatkannya pada Al-Jud’aaniy, bukan Abu Ghiraarah [lihat Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukuun, no. 524]. Begitu pula dengan Al-Bukhaariy, saat men-jarh dengan munkarul-hadiits, maka ia menisbatkannya pada Al-Jud’aaniy (Ash-Shaghiir no. 2350). Sedangkan Abu Ghiraarah, maka Al-Bukhariy tidak memberikan komentarnya (idem, no. 2204). Begitu pula dengan Ad-Daaruquthniy. Saat menjarh-nya dengan memasukkannya dalam kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukuun (no. 456), ia adalah Al-Jud’aaniy, bukan Abu Ghiraarah.
Ibnu Abi Hatim memang membedakan Al Jud’aniy dan Abu Ghirarah tetapi pernyataan ini jelas keliru. Pendapat yang rajih justru keduanya adalah satu orang yang sama seperti yang diisyaratkan Al Mizzi, Ibnu Ady, Al Khatib, Al Uqaili, dan Adz Dzahabi. Mari perhatikan apa yang ditulis Ibnu Abi Hatim:
  • Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Bakar Al Jud’aaniy meriwayatkan dari Sulaiman bin Mirqa’ Al Junadi dari Mujahid, meriwayatkan darinya Abdul Humaid dan Ibnu Abi Uwais [Al Jarh Wat Ta’dil 7/311 no 1695].
  • Muhammad bin Abdurrahman Abu Ghirarah Al Qurasy Al Jud’aaniy At Taimiy suami Jabrah, ia adalah Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Bakar bin Ubaidillah bin Abi Mulaikah meriwayatkan dari Musa bin Uqbah, Ubaidillah bin Umar, Muhammad bin Al Munkadir dan meriwayatkan dari ayahnya dari Qasim bin Muhammad. Telah meriwayatkan darinya Abu Ashim, Ismail bin Abi Uwaid, Musaddad dan Ibrahim bin Muhammad Asy Syafi’i. [Al Jarh Wat Ta’dil 7/311 no 1695].
Kedua orang ini sama-sama Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Bakar, keduanya penduduk kota yang sama, keduanya sama-sama memiliki nasab Al Jud’aaniy dan sama-sama telah meriwayatkan darinya Ismail bin Abi Uwais. Hal ini merupakan petunjuk bahwa keduanya adalah satu orang.

Rekan nashibi itu mengatakan kalau yang dijarh oleh Bukhari dengan “munkar al hadis” adalah Al Jud’aaniy bukan Abu Ghirarah. Silakan perhatikan apa yang disebutkan Bukhari dalam Tarikh As Shaghiir:
  • Muhammad bin Abdurrahman Al Jud’aaniy meriwayatkan dari Ubaidillah bin Umar, telah mendengar darinya Ismail bin Abi Uwais, “munkar al hadits” Al Jud’aaniy Ibnu Abi Bakar Al Qurasy. Kemudian Bukhari menyebutkan kalau ia meriwayatkan dari Sulaiman bin Mirqa’ dan dia adalah suami Jabrah [Tarikh As Shaghiir juz 2 no 2350].
  • Muhammad bin Abdurrahman Abu Ghirarah Al Qurasy dia Ibnu Abi Mulaikah At Taimiy Al Jud’aaniy meriwayatkan darinya Abu Ashim dan Musaddad. Mendengar dari ayahnya yang mendengar dari Qasim dari Aisyah. Bukhari juga menyebutkan ia meriwayatkan dari Ubaidillah dan Sulaiman bin Mirqa’ [Tarikh As Shaghiir juz 2 no 2204].
Orang yang dijarh “munkar al hadis” oleh Bukhari adalah Muhammad bin Abdurrahman Al Jud’aaniy yang meriwayatkan dari Ubadillah bin Umar dan dia adalah suami Jabrah. Dan kalau menurut Abu Hatim yang meriwayatkan dari Ubaidillah bin Umar dan merupakan suami Jabrah adalah Abu Ghirarah. Abu Hatim menyebutkan kalau yang meriwayatkan dari Sulaiman bin Mirqa’ adalah Al Jud’aaniy tetapi Bukhari justru menyebutkan kalau Abu Ghirarah meriwayatkan dari Sulaiman bin Mirqa’. Hal ini menunjukkan kalau sebenarnya Al Jud’aaniy dan Abu Ghirarah itu adalah orang yang sama.

Daruquthni menyebutkan Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Bakar Al Makki Al Qurasy Al Jud’aaniy meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad, Ubaidillah bin Umar dan Ibnu Abi Mulaikah [Adh Dhu’afa Wal Matrukin no 456]. Dan kalau melihat apa yang disebutkan Abu Hatim maka yang meriwayatkan dari Ubaidillah bin Umar dan Ibnu Abi Mulaikah adalah Abu Ghirarah. Terkait dengan hadis yang kita perbincangkan yaitu hadis riwayat Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Mulaikah dari Ja’far bin Muhammad maka sangat jelas bahwa yang disebutkan oleh Daruquthni dengan Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Bakar Al Makki Al Qurasy Al Jud’aaniy adalah orang yang sama dengan Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Mulaikah Abu Ghirarah. Aneh sekali, rekan nashibi itu membaca tetapi tidak memahami.

Al Mizzi menyebutkan kalau mereka adalah satu orang yang sama sehingga keduanya ia sebutkan dalam satu biografi perawi dan menyatakan kalau ia meriwayatkan dari Sulaiman bin Mirqa’ dan Ubaidillah bin Umar, telah meriwayatkan darinya Abdul Humaid bin Abi Uwais, Ismail bin Abi Uwais, Musaddad, Ibrahim Asy Syafi’i dan yang lainnya. Penyebutan ini menunjukkan bahwa Al Mizzi menganggap Al Jud’aani yang disebutkan Ibnu Abi Hatim adalah orang yang sama dengan Abu Ghirarah. [Tahdzib Al Kamal no 5390]
Ibnu Ady menyatakan kalau Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Bakar Al Jud’aaniy dan Abu Ghirarah adalah orang yang sama. Keduanya memiliki nasab yang sama dan sama-sama penduduk Madinah [Al Kamil Ibnu Ady 6/189].

محمد بن عبد الرحمن بن أبي بكر الجدعاني مدني وقيل مكي هو المليكي قال البخاري هو منكر الحديث

Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Bakar Al Jud’aaniy Al Madani dikatakan juga Al Makki, dia adalah Al Malaikiy, Bukhari berkata “munkar al hadis” [Adh Dhu’afa Al Uqaili 4/101 no 1655].
Al Uqaili menyebutkan kalau Al Jud’aaniy adalah Al Malaikiiy dan dia yang dikatakan Bukhari “munkar al hadis”. Ini berarti menurut Al Uqaili Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Bakar bin Ubaidillah bin Abi Mulaikah dan Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Bakar Al Jud’aaniy adalah orang yang sama seorang perawi yang matruk.

Adz Dzahabi juga menganggap Al Jud’aaniy dan Abu Ghirarah sebagai orang yang sama. Ia memasukkannya dalam Adh Dhu’afa seraya berkata “Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Bakar Al Malaikiy Al Jud’aaniy Abu Ghirarah suami Jabrah Al Khuzaiiyah seorang yang yang dhaif meriwayatkan dari Ubaidillah bin Umar dan yang lainnya. Bukhari berkata “mungkar al hadist”. Ibnu Hibban berkata “tidak boleh berhujjah dengannya”. Ahmad bin Hanbal dan Abu Zur’ah berkata “tidak ada masalah padanya” [Al Mughni Adh Dhu’afa 2/605 no 5732]

محمد بن عبد الرحمن بن أبي بكر بن أبي مليكة المليكي القرشي الجدعاني كنيته أبو غرارة منأهل المدينة زوج جبرة بنت محمد بن ثابت بن سباع يروي عن أبيه وعبيد الله بن عمر روى عنه أبو عاصم وابن أبي أويس كان ممن يروي المناكير عن المشاهير وينفرد عن الثقات بالمقلوبات لا يحتج به

Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Bakar bin Abi Mulaikah Al Malaikiy Al Qurasy Al Jud’aaniy dengan kuniyah Abu Ghirarah termasuk penduduk Madinah. Menikah dengan Jabrah binti Muhammad bin Tsabit bin Saba’. Meriwayatkan dari ayahnya dan Ubaidillah bin Umar, telah meriwayatkan darinya Abu Ashim dan Ismail bin Abi Uwais. Ia meriwayatkan hadis-hadis munkar dari para perawi masyhur dan menyendiri meriwayatkan dari para perawi tsiqat riwayat yang terbolak balik, tidak boleh berhujjah dengannya [Al Majruhin juz 2 no 942]
Sudah jelas pendapat yang rajih adalah Al Jud’aaniy dan Abu Ghirarah merupakan satu orang yang sama yaitu perawi yang sangat dhaif, matruk dan munkar al hadis. Hadis dengan perawi seperti ini tidak bisa dijadikan i’tibar. Lucu sekali jika dikatakan bahwa yang rajih adalah membedakan keduanya. Padahal tidak ada bukti cukup untuk membedakan keduanya dan cukup banyak penunjukkan bahwa keduanya satu orang yang sama. Sepertinya orang itu hanya merajihkan sesuatu yang dapat menguatkan keyakinannya saja.

Hadis Anas bin Malik.
Hadits ini didla’ifkan dengan sebab utama Muhammad bin Katsiir. Ibnu Hajar berkata : “Jujur, tapi banyak salahnya (shaduuq, katsiirul-ghalath)” [At-Taqriib, hal. 891 no. 6291]. Pelemahan ini disebabkan dari sisi buruknya hapalan. Jarh Al-Bukhariy dengan penghukuman hadits munkar sangat bisa dipertimbangkan dari sebab ini. Namun perlu saya ingatkan kepada rekan-rekan semua bahwa penghukuman oleh seorang ulama terhadap satu hadits dengan hadits munkar, tidak mengkonsekuensikan perawinya disebut munkarul-hadiits
Muhammad bin Katsir adalah perawi yang dhaif dan dapat dijadikan i’tibar tetapi hadis ini termasuk bagian dari kemungkarannya sehingga tidak layak dijadikan i’tibar. Hadis Muhammad bin Katsir dari Al Auzaiy dari Qatadah dari Anas telah diingkari oleh Ali bin Madini dan Bukhari berkata “hadis mungkar” sebagaimana yang dikutip dalam Al Mukhtarah. Apalagi Ahmad bin Hanbal sangat melemahkannya dan menyatakan kalau ia “munkar al hadis”. Diantara hadis-hadis mungkar yang ia riwayatkan adalah riwayatnya dari Ma’mar dan riwayatnya dari Al Auza’iy. Ibnu Ady mengatakan ia meriwayatkan hadis dari Ma’mar dan Al Auzaiy yang tidak diikuti oleh satu orang pun [Tahdzib Al Kamal no 5570].
Kita perlu melihat, apa sebab pengingkaran Al-Bukhariy ini. Ia menyebutkan bahwa hadits ini sebenarnya hadis Qatadah dari Mutharrif dari ‘Imraan bin Hushain. Namun ini juga perlu kita kritisi. Sepanjang pengetahuan saya ditambah lagi memperhatikan tulisan rekan Rafidliy tersebut, tidak ada jalan riwayat yang menyebutkan dari Mutharrif, dari ‘Imraan bin Hushain radliyallaahu ‘anhu dalam kitab-kitab hadits. Jadi, kritik bahwa sanad Muhammad bin Katsiir ini keliru perlu ditinjau kembali.
Sepertinya saudara nashibi ini salah memahami apa yang kami sampaikan. Kami menyatakan hadis Muhammad bin Katsir dhaif mungkar karena kedudukan Muhammad bin Katsir yang dhaif yu’tabaru bihi dan diantara kedhaifannya karena ia meriwayatkan hadis-hadis mungkar dari Ma’mar dan Al Auzaiy. Hadis “Sayyid Kuhul” riwayat Muhammad bin Katsir adalah riwayatnya dari Al Auzaiy dan diingkari oleh Ali bin Madini dan Bukhari berkata “hadis mungkar”.

Sedangkan hadis Qatadah dari Mutharrif dari Imran bin Hushain adalah hadis lain, kami membawakan contoh lain dimana Muhammad bin Katsir meriwayatkan hadis mungkar dari Al Auzaiy dari Qatadah dari Anas. contoh hadis tersebut kami kutip dari Ilal Tirmidzi, disana Bukhari telah melemahkan hadis Muhammad bin Katsir dan menyatakan sanad tersebut mungkar hadis itu bukan hadis Qatadah dari Anas tetapi hadis Qatadah dari Mutharrif dari Imran bin Hushain. Oleh karena itu Muhammad bin Katsir menjadi yang tertuduh meriwayatkan hadis mungkar tersebut. Kedudukan hadis mungkar sama halnya dengan hadis khata’ [salah]. Hadis yang mungkar jelas tidak bisa dijadikan hujjah atau dijadikan i’tibar.
Kalaupun misal bahwa ia merupakan sanad dari Muhammad bin Katsiir, dari Al-Auza’iy, dari Qatadah, dari Mutharrif, dari ‘Imraan bin Hushain; maka ini kedudukan masih seperti semula. Sanad yang dianggap keliru dibawa kepada sanad yang benar.
Pernyataan ini jelas sangat aneh. Mengenai hadis lain dalam Ilal Tirmidzi, Bukhari mengatakan sanad Muhammad bin Katsir dari Al Auzaiy dari Qatadah dari Anas dikatakan mungkar dan yang tertuduh adalah Muhammad bin Katsir. Hadis tersebut bukan hadis Qatadah dari Anas tetapi hadis Qatadah dari Mutharrif dari Imran bin Hushain. Bukhari menyatakan hadis tersebut mungkar karena ia mengetahui kalau hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya dari Qatadah dari Mutharrif dari Imran bin Hushain. Jadi Muhammad bin Katsir yang meriwayatkan hadis Qatadah dari Anas jelas keliru dan hadisnya dinilai mungkar sebagaimana definisi hadis mungkar adalah hadis perawi dhaif yang bertentangan dengan hadis perawi tsiqah atau shahih. Bagaimana mungkin seseorang akan berkata maka sanad tersebut harus dibawa kepada sanad yang benar yaitu Muhammad bin Katsir dari Al Auzaiy dari Qatadah dari Mutharrif dari Imran bin Hushain. Ini namanya membuat-buat sanad sendiri karena hadis Muhammad bin Katsir itu ya hadis Qatadah dari Anas bahkan ia jadi tertuduh karena meriwayatkan hadis mungkar tersebut.
Jika kita menuruti logika ngawur rekan nashibi itu maka sudah jelas tidak akan ada yang namanya perawi tertuduh meriwayatkan hadis mungkar. Lha iya kan semua hadis yang dikatakan mungkar bisa dibawa seenaknya ke sanad hadis yang benar menurut persepsi rekan nashibi itu. Sungguh aneh saya tidak melihat inti perkataannya kecuali hanyalah keinginannya untuk membantah tanpa dalil.
Kesimpulannya, riwayat ini lemah dari sisi Muhammad bin Katsiir – baik menggunakan sanad di atas ataupun menggunakan asumsi koreksi dari Al-Bukhaariy sebagaimana disinggung oleh rekan Raafidliy tersebut. Bisa digunakan sebagai i’tibar.
Hadis Sayyid kuhul riwayat Muhammad bin Katsir adalah hadis dhaif dan tidak bisa dijadikan i’tibar karena Muhammad bin Katsir dikenal meriwayatkan hadis-hadis mungkar dan tidak diikuti oleh satu orang pun yaitu hadisnya dari Ma’mar dan dari Al Auzaiy. Jarh terhadapnya dari sisi ini bersifat mufassar dan didukung oleh bukti-bukti. Muhammad bin Katsir menyendiri meriwayatkan hadis Sayyid kuhul ini dari Qatadah dari Anas dan ini termasuk hadisnya dari Al Auza’iy yang diingkari oleh Ali bin Madini dan Bukhari. Hadis Muhammad bin Katsir dapat dijadikan I’tibar jika hadis tersebut bukan termasuk bagian dari kemungkarannya yaitu riwayatnya selain dari Ma’mar dan Al Auza’iy.

Hadis Abu Hurairah.
Kesimpulan bagi Salm, ia adalah shaduq hasanul hadits. Inilah kesimpulan akhir dari para ulama saat menjamak beberapa pujian dan kritik padanya. Ada sedikit permasalahan dalam hapalannya. Ia memang pernah keliru dalam periwayatan hadits. Namun tidak semua riwayatnya menjadi salah. Tidak benar jika kemudian memutlakkan riwayatnya tidak diterima jika tidak ada mutaba’ahnya, karena orang yang tidak diterima karena kebersendiriannya adalah perawi yang memang asalnya dla’if. Sedangkan Salm bukan perawi dla’if.
Pernyataan ini hanya basa-basi yang tidak jelas arah tujuannya. Karena kami sendiri tidak mempermasalahkan penta’dilan yang dinyatakan para ulama kepada Salam Abu Qutaibah. Kami tidak pernah mengatakan riwayatnya mutlak tidak diterima. Kami mengutip bahwa ia dikatakan Abu Hatim melakukan banyak kesalahan dan kami menunjukkan salah satu kesalahannya adalah ia keliru dalam sanad hadis seperti yang diungkapkan Yahya. Kemudian kami menunjukkan bukti bahwa hadis Sayyid kuhul riwayat Abu Qutaibah ini keliru.
  • Abu Qutaibah meriwayatkan dengan dari Yunus bin Abi Ishaq dari Asy Sya’bi dari Abu Hurairah.
  • Waki’ bin Jarrah meriwayatkan dari Yunus bin Abi Ishaq dari Asy Sya’bi dari Ali
  • Ubaidillah bin Musa meriwayatkan dari Yunus bin Abi Ishaq dari Asy Sya’bi dari Ali.
Abu Qutaibah menyelisihi perawi yang lebih tsiqat dan lebih hafizh darinya yaitu Waki’ dan Ubaidillah bin Musa. Ia menyendiri meriwayatkan hadis tersebut dari Asy Sya’bi dari Abu Hurairah. Maka ia keliru dan penunjukkannya sangat jelas bagi orang yang mengerti ilmu hadis. Bahkan Ibnu Hajar menegaskan bahwa hadis Sayyid kuhul ahli surga riwayat Yunus bin Abi Ishaq dari Asy Sya’bi adalah riwayat dari Al Harits dari Ali. [Thabaqat Al Mudallisin no 66]
Sedangkan anggapan penyelisihan di sini, menurut saya kurang kuat penunjukkannya, sebab Asy-Sya’biy sendiri telah membawakan lebih dari satu jalan riwayat sebagaimana terlihat. Jadi ada kemungkinan bahwa ia benar-benar mengambil hadits dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu. Wallaahu a’lam
Alasan ini sangat mengada-ada. Hadis sayyid kuhul riwayat Asy Sya’bi yang tsabit adalah riwayatnya dari Ali dan itupun melalui perantara Al Harits. Tidak ada satupun bukti yang menunjukkan bahwa Sya’bi membawakan hadis ini lebih dari satu jalan sebagaimana yang dikatakan rekan nashibi tersebut. Penunjukkannya sangat jelas disini karena Yunus bin Abi Ishaq menyebutkan hadis itu dari Asy Sya’bi dari Ali sebagaimana yang diriwayatkan Waki’ dan Ubaidillah sedangkan riwayat Abu Qutaibah menyelisihi riwayat dari perawi yang lebih tsiqat dan lebih hafiz darinya sehingga dinilai khata’ [keliru]. Hadis dengan sanad khata’ jelas tidak bisa dijadikan I’tibar.

Hadis Jabir bin Abdullah.
Rekan Raafidliy tersebut mempermasalahkan syaikh dari Ath-Thabaraaniy yang bernama Al-Miqdaam bin Dawud. Banyak pembicaraan tentang perawi ini. Namun sayangnya, hanya dinukil jarh-nya saja. Saya bawakan perkataan lain dengan ringkas : An-Nasaa’iy berkata : “Tidak tsiqah”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Dla’iif”. Ibnu Abi Haatim, Ibnu Yuunus, Ibnul-Qaththaan, dan Adz-Dzahabiy berkata : “Ia diperbincangkan”. Abu ‘Umar Al-Kindiy berkata : “Ia tidak mahmuud dalam riwayatnya, namun ia seorang faqih dan mufti”. Maslamah bin Qaasim berkata : “Tidak mengapa dengan riwayat-riwayatnya”. Al-Mundziriy dan Ibnu Daqiiqil-‘Ied berkata : “Telah ditsiqahkan”. Al-Mas’uudiy berkata : “Ia termasuk fuqahaa yang terhormat, termasuk shahabat besar dari Maalik”. Ibnu Abi Dulaim berkata : “Ia mempunyai kedudukan yang tinggi, dan punya banyak riwayat”. Burhanuddin Al-Halabiy menafsirkan sebuah perkataan Adz-Dzahabiy bahwa ia telah mencacatnya dengan memalsukan salah satu riwayat yang dibawakan Al-Haakim. Al-Haitsamiy berkata : “Dla’iif”. Al-Albaniy kadang berkata : “Tidak tsiqah”; di lain tempat mengatakan : “Lemah sekali”; di lain tempat mengatakan : “Dla’iif”.
Mari kita analisis dengan baik perkataan jarh wat ta’dil terhadap Miqdam. Ia telah dinyatakan dhaif mutlak oleh Nasa’i dan Daruquthni, keduanya adalah ulama mu’tabar. Ibnu Abi Hatim, Ibnu Yunus, Ibnu Qattan dan Adz Dzahabi berkata “ia dibicarakan”. Perkataan ini adalah salah satu bentuk jarh. Maslamah bin Qasim berkata “tidak masalah dengan riwayatnya” pernyataan ini tertolak karena Abu Umar Al Kindy mengatakan riwayatnya tidak mahmud bahkan Miqdam meriwayatkan hadis yang membuatnya menjadi tertuduh memalsu hadis seperti yang diisyaratkan Adz Dzahabi dan Abul Wafa’. Perkataan Al Mundziri dan Ibnu Daqiq “telah ditsiqahkan” tidak memiliki asal karena siapa yang menyatakan ia tsiqah? tidak ada ulama mu’tabar yang menyatakan ia tsiqat dan Al Haitsami menyatakan “dhaif”. Pujian bahwa ia seorang mufti dan seorang faqih tidak menunjukkan ‘adalah-nya dalam hadis karena sangat ma’ruf dikenal seorang faqih yang dhaif. Kedudukan tinggi yang dimaksud Ibnu Abi Dulaim jelas kedudukannya sebagai seorang mufti dan faqih. Perkataan “ia punya banyak riwayat” juga tidak menunjukkan ‘adalah sebagaimana perawi dhaif juga bisa memiliki banyak riwayat apalagi riwayat Miqdam dikatakan tidak bisa dijadikan pegangan.
Pendapat pertengahan dalam memperhatikan beberapa jarh dan ta’dil tersebut, statusnya adalah dla’iif saja [Irsyaadul-Qaadliy wad-Daaniy ilaa Taraajimi Syuyuukh Ath-Thabaraaniy, hal. 650-651].
Pendapat yang rajih adalah Miqdam seorang yang dhaif dan kedhaifannya terletak pada ‘adalah-nya. Tidak ada ulama yang menyatakan ia tsiqat atau menta’dilnya dengan ta’dil yang mu’tamad dan ia telah dinyatakan dhaif mutlak oleh Daruquthni dan Nasa’i. Kami menilainya dhaif jiddan disebabkan Miqdam tertuduh dalam riwayatnya seperti yang diisyaratkan Adz Dzahabi dan Abul Wafa’. Walaupun tidak dinyatakan dengan jelas ia pemalsu hadis tetapi ia menjadi tertuduh meriwayatkan hadis palsu.
Ini nampak karena jarh-jarh tersebut berasal dari kesalahan periwayatannya sebagai akibat jeleknya hapalan. Akibatnya, sebagian ulama mengkritiknya dengan keras. Namun ia sendiri bukan pendusta, karena tautsiq yang diberikan jumur ulama terletak pada kedudukannya dalam agama dan kefaqihan yang menunjukkan tetapnya ’adalah.
Tidak ada indikasi yang menunjukkan kedhaifan Miqdam berasal dari hafalan. Jarh yang disematkan kepadanya oleh ulama mu’tabar termasuk jarh dhaif mutlak dan tidak ada diantara ulama mu’tabar yang menyatakan ia tsiqat. Silakan  saja dikatakan kalau ia bukan seorang pendusta tetapi apakah setiap perawi yang dhaif itu mesti pendusta. Kemudian soal kedudukan faqih atau mufti itu tidak jelas menunjukkan ‘adalah sebagaimana hal yang ma’ruf seorang faqih bisa juga dhaif dalam hadis.
Kritik An-Nasa’iy sebagai seorang yang tidak tsiqah, sangat dipahami karena ia merupakan jajaran ulama yang keras dalam memberikan jarh. Kritik Adz-Dzahabiy sendiri sebenarnya hanya pada penisbatan kekeliruan ini padanya. Tidak secara sharih menyebutkan ia sebagai pemalsu. Kesimpulan ini juga dapat dibaca dalam Mukhtashar Istidrak Adz-Dzahabiy ‘alaa Mustadrak Al-Haakim, hal. 490.
Nasa’i tidak menyendiri dalam jarh-nya. Daruquthni juga menyatakan Miqdam dhaif. Walaupun dikatakan Adz Dzahabi tidak secara jelas menyebutnya pemalsu hadis tetapi Miqdam telah meriwayatkan hadis yang dinyatakan palsu oleh Adz Dzahabi. Oleh karena itu Abul Wafa’ memasukkannya ke dalam jajaran para pemalsu hadis atau tertuduh pemalsu hadis dalam kitabnya Kasyf Al Hatsits. Seandainya nashibi itu ingin menolak tuduhan terhadap Miqdam maka seharusnya ia membawakan bukti yang menunjukkan hal itu. Kesimpulan kami Miqdam adalah perawi yang dhaif dan tertuduh meriwayatkan hadis palsu oleh karena itu kami menilainya dhaif jiddan [bahkan Syaikh Al Albani juga menilainya dhaif jiddan]. Hadis Jabir ini tidak bisa dijadikan i’tibar.

Hadis Abu Juhaifah.
Tentang Khunais, maka telah disebutkan bahwa telah ditsiqahkan oleh Ibnu Hibbaan yang bersamaan dengan itu jama’ah perawi meriwayatkan darinya. Selain itu, Ahmad bin Shaalih mendla’ifkannya. Khunais ini mempunyai mutaba’ah dari ‘Abdul-Qudduus. Ia dianggap lemah oleh rekan Rafidliy kita. Padahal, ia telah ditsiqahkan oleh Ibnu Hajar (yang mengambil ta’dil Abu Haatim : laa ba’sa bih) dan Adz-Dzahabiy. Juga Ibnu Hibbaan. Adapun menolak ‘Abdul-Qudduus dengan alasan bahwa Ahmad, Ibnu Ma’in dan Abi Khaitsamah tidak menghiraukan/menolak hadisnya; maka ini tidak berterima. Sebab jarh seperti ini merupakan jenis jarh yang tidak mu’tamad, khususnya jika telah tegak tautsiq dari imam yang lain. Tidak diterimanya hadits oleh seorang imam masih banyak mengandung kemungkinan, sebagaimana banyak dijelaskan dalam buku-buku ilmu hadits.
Tentang Khunais ia ditsiqatkan oleh Ibnu Hibban dan didhaifkan oleh Shalih bin Jazarah. Adz Dzahabi memasukkannya dalam Adh Dhu’afa seraya mengutip pendhaifan Shalih bin Jazarah. Hal ini berarti Adz Dzahabi lebih mendahulukan pendhaifan Shalih bin Jazarah dibanding tautsiq Ibnu Hibban. Bukankah menurut salafy nashibi itu dalam tulisan terbarunya soal hadis Tsaqalain pendapat Adz Dzahabi perlu dipertimbangkan. Nah Adz Dzahabi sendiri memasukkannya kedalam kitab perawi dhaif. Kalau nashibi itu bisa mudah mendhaifkan Zaid bin Hasan Al Anmathi  lha kok sekarang ia menta’dilkan Khunais padahal Zaid bin Hasan lebih kuat kedudukannya dibanding Khunais mengingat Zaid telah dita’dilkan Ibnu Hibban dan Tirmidzi dan dicacatkan Abu Hatim yang terkenal tasyadud, sedangkan Khunais hanya dita’dilkan oleh Ibnu Hibban dan didhaifkan oleh Shalih bin Jazarah.

Tentang Abdul Quddus, Bukhari memasukkannya dalam Adh Dhu’afa, Ahmad Ibnu Main dan Abi Khaitsamah menolak hadisnya. Anehnya rekan nashibi itu mengatakan jarh ini tidak mu’tamad, memangnya perkataan Abu Hatim “la ba’sa bihi” adalah suatu tautsiq yang mu’tamad!. Bukankah menurut Abu Hatim lafaz tersebut menunjukkan kalau perawi yang dimaksud ditulis hadisnya, diteliti dan bisa dijadikan i’tibar tetapi tidak bisa dijadikan hujjah. Bagi kami dengan mengumpulkan pendapat para ulama terdahulu tentangnya maka kedudukan Abdul Quddus seperti yang disebutkan dalam Tahrir At Taqrib yaitu “dhaif yu’tabaru bihi”. Khunais dan Abdul Quddus  yang pada keduanya ada kedhaifan [selain itu mereka dikenal bersaudara] meriwayatkan dari Malik bin Mighwal dan mereka menyelisihi para perawi tsiqat dan hafizh. Jelas sekali hadis mereka tidak bisa dijadikan hujjah.
Dua jalur periwayatan ini sudah cukup kuat. Namun lagi-lagi ia dikonfrontasikan dengan jalur lain yang dianggap berselisihan, yaitu : Ahmad bin Abdullah bin Yunus, Husyaim bin Basyir dan Syu’aib bin Harb. Rupa-rupanya rekan kita merasa aneh dengan seorang perawi perawi yang mempunyai beberapa jalan sanad (sama seperti kasus Asy-Sya’biy) sehingga gampang sekali menghukumi “menyelisihi”. Termasuk dalam kasus poros sanad Maalik bin Mighwal.
Kami tidak perlu berbasa-basi, langsung saja sebenarnya untuk menyatakan kalau seorang perawi meriwayatkan hadis dari berbagai jalan maka harus ditetapkan dulu kalau hadis tersebut memiliki sanad yang tsabit hingga ke perawi tersebut. Kemudian dilihat bagaimana kesesuaiannya dengan para perawi lain yang lebih tsiqat. Oleh karena itu dalam ilmu hadis dikenal istilah “sanad yang mungkar” dan sanad yang khata’. Sanad yang mungkar jika diriwayatkan oleh perawi dhaif dan menyelisihi perawi tsiqat. Sanad yang khata’ jika diriwayatkan oleh perawi shaduq atau tsiqat dan menyelisihi perawi-perawi yang lebih tsiqat darinya. Dengan kaidah inilah kami menyatakan hadis di atas mungkar.

Dengan mengumpulkan jalan-jalannya maka diketahui kalau hadis Sayyid kuhul diriwayatkan dari Malik bin Mighwal oleh banyak perawi yaitu Ahmad bin Abdullah bin Yunus, Husyaim bin Basyir, Syu’aib bin Harb, Khunais dan Abdul Quddus. Ketiga perawi pertama adalah perawi yang tsiqat dan hafizh dan mereka meriwayatkan dengan jalan dari Malik bin Mighwal dari Asy Sya’bi sedangkan Khunais dan Abdul Quddus meriwayatkan dengan jalan dari Malik bin Mighwal dari A’un dari Abu Juhaifah. Mereka berdua memiliki kedhaifan [dan mereka dua bersaudara] seperti yang telah disebutkan dan mereka telah menyelisihi jama’ah [3 orang] yang meriwayatkan dari Malik bin Mighwal. Kuat penunjukkannya kalau hadis Malik bin Mighwal yang tsabit adalah riwayatnya dari Asy Sya’bi karena satu-satunya hadis Sayyid Kuhul yang tsabit adalah hadis Asy Sya’bi. Baik Khunais dan Abdul Quddus seharusnya menjadi yang tertuduh dalam hadis ini karena meriwayatkan sanad yang mungkar.

Alasan naïf rekan nashibi “bahwa perawi bisa saja memiliki banyak jalan” mungkin bisa disodorkan kepada kaum awam yang tidak pernah belajar ilmu hadis. Kami katakan bahwa setiap perawi bisa saja memiliki banyak jalan, lantas apakah dengan begitu tidak ada yang namanya sanad mungkar atau sanad khata’. Silakan perhatikan contoh hadis Ilal Tirmidzi sebelumnya,
  • Bukhari mengatakan hadis Muhammad bin Katsir dari Al Auzaiy dari Qatadah dari Anas sebagai hadis mungkar dan yang benar adalah hadis Qatadah dari Mutharrif dari Imran. Lha bukankah Qatadah bisa saja meriwayatkan hadis dari Anas dan juga dari Mutharrif kok Bukhari bisa berkata “mungkar”.
  • Atau contoh yang kami sebutkan sebelumnya yaitu Abu Qutaibah meriwayatkan hadis dari Syu’bah dari Abi Imran dari Anas. Kemudian Yahya bin Sa’id menyatakan Abu Qutaibah salah dan sanad yang benar adalah dari Syu’bah dari Abi Maslamah dari Anas. Bukankah Syu’bah bisa saja meriwayatkan dari Abu Imran dan Abu Maslamah, lantas kenapa Yahya bin Sa’id menyatakan salah.
Apakah Bukhari dan Yahya bin Sa’id tidak tahu kalau “perawi hadis bisa saja memiliki banyak jalan”?. Ini hanya sedikit contoh dari sekian banyak contoh hadis yang dinilai sanadnya khata’ atau mungkar. Intinya penilaian sanad khata’ atau mungkar dilihat dari kedudukan perawi yang meriwayatkan dan kesesuaiannya dengan banyak perawi lain yang tsiqat. Jika perawi tersebut diperselisihkan kedudukannya dan ternyata ia menyelisihi banyak perawi lain yang lebih tsiqat maka sanadnya dinilai mungkar. Hadis mungkar atau khata’ jelas tidak bisa dijadikan i’tibar.
Telah sedikit saya singgung hal ini di awal komentar/sanggahan. Saya pikir, rekan kita ini perlu mencermati bagaimana thariqah ulama dalam menghimpun sanad hadits. Tambahan lagi, saya tidak menemui penghukuman “menyelisihi” ini dari para muhaqqiq yang masyhur seperti Syu’aib Al-Arna’uth, Washiyullah ‘Abbas, Basyar ‘Awwaad, dan Al-Albaaniy. Ini bukan sekedar taqlid, tapi sekedar perbandingan saja.
Silakan, silakan kami tidak pernah memaksa siapapun harus menerima penjelasan kami. Yang perlu diperhatikan adalah para ulama muhaqqiq dalam menilai suatu hadis berdasarkan metode yang dikenal dalam ilmu hadis. Nah kami berpegang pada metode yang dimaksud. Jika metode yang benar menunjukkan demikian maka tidak ada gunanya berhujjah dengan perkataan ulama. Justru perkataan ulama itu yang perlu dinilai apakah sesuai atau tidak dengan metode yang benar. Bukankah ini manhaj dari thalabul ilmi.
Dan rekan-rekan semua bisa turut menelitinya. Dilihat dari dhahir sanadnya saja terlihat bahwa Maalik bin Mighwal ini punya dua jalan periwayatan, yaitu dari Asy-Sya’biy dan ‘Aun, sehingga ia menyampaikan kepada perawi yang berbeda di waktu yang berbeda pula.
Dan silakan pula bagi rekan-rekan yang mampu, untuk menampilkan satu saja sanad yang dinilai khata’ atau mungkar oleh para ulama. Kami akan menerapkan metode rekan nashibi itu dan rekan-rekan semua akan melihat bahwa tidak akan ada yang namanya hadis mungkar atau hadis khata’ karena zhahir sanad menunjukkan kalau para perawi tersebut memiliki banyak jalan periwayatan dan memang demikianlah periwayatannya. Mungkin ada baiknya nashibi itu menghapus istilah sanad mungkar atau sanad khata’ dalam Ulumul hadis.

Hadis Abu Sa’id Al Khudri RA.
Nashibi itu mengatakan hadis Abu Sa’id dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar. Kami katakan pernyataan ini keliru. Di sisi kami kedhaifan hadis ini terletak pada Ali bin Abis dan ia perawi yang dhaif. Kedhaifannya terletak pada ‘adalah-nya. Tidak ada satupun ulama mu’tabar yang menyatakan ia tsiqat. Ibnu Ma’in, Nasa’i, Ibnu Ady dan Al Azdi menyatakan ia dhaif. [At Tahdzib juz 7 no 571]. Ibnu Hajar menyatakan ia dhaif [At Taqrib 1/697]. Perkataan Ibnu Hajar “dhaif” di sisinya adalah jarh pada tingkatan kedelapan yang tidak bisa dijadikan mutaba’ah dan syawahid. Yang sungguh aneh bin ajaib adalah pada tulisan nashibi itu, ia tidak hanya melemahkan Ali bin Abis tetapi juga melemahkan Athiyyah Al ‘Aufiy [sebagaimana di dalam tulisan talbisnya yang terbaru soal hadis Tsaqalain ia juga mendhaifkan Athiyyah]. Jadi di sisi nashibi itu jelas hadis ini diriwayatkan oleh dua orang perawi dhaif lantas bagaimana bisa ia menyatakan hadis ini dijadikan i’tibar.

Hal lucu lainnya terkait metode yang digunakan nashibi itu adalah pada tulisan terbarunya soal hadis Tsaqalain ia menyatakan kalau Muhammad bin Humaid yang dikenal dhaif tidak bisa dijadikan mutaba’ah padahal kedudukan Muhammad bin Humaid ini tidak jauh beda dengan Al Harits [bahkan mungkin penta'dilan terhadap Muhammad bin Humaid lebih banyak dari pada penta'dilan terhadap Al Harits]. Nah disini ia dengan mudahnya menjadikan hadis Al Harits sebagai mutaba’ah. Ini kan akal-akalan seenaknya. Kami berpanjang lebar membahas hal ini hanya untuk meluruskan keanehan gaya ilmu hadis versi salafy nashibi yang kesannya mengatasnamakan “metode ilmiah”.

Tingkah nashibi ini bisa dibilang cukup dikenal jika rekan-rekan sering mempelajari kitab-kitab yang ditulis oleh ulama salafy [terutama jika kitab tersebut adalah serangan terhadap ulama lain]. Para pembaca akan melihat bagaimana ulama salafy begitu ketatnya dalam menilai hadis-hadis yang dijadikan hujjah oleh ulama yang mereka tentang tetapi jika itu terkait dengan keyakinan dan doktrin mereka maka mereka bermudah-mudahan dalam menilai hadis. Seolah-olah hanya mereka saja yang belajar ilmu hadis

Pembahasan Matan Hadis Yang Bathil.
Selanjutnya kami akan membahas masalah matan hadis tersebut. Secara zahir matan hadis tersebut menyebutkan bahwa Abu Bakar dan Umar akan menjadi Sayyid kuhul [orang tua] ahli surga. Hadis ini zhahir matannya mungkar karena bertentangan dengan dua hadis shahih atau jayyid
  • Hadis pertama adalah hadis jayyid yang menyebutkan kalau sifat ahli surga adalah syabab bukannya kuhul.
  • Hadis kedua adalah hadis shahih yang menyebutkan kalau Sayyid syabab ahli surga adalah Al Hasan dan Al Husain.
Karena di surga tidak ada kuhul melainkan semua penduduknya adalah syabab dan Sayyid bagi mereka Al Hasan dan Husain maka hadis Abu Bakar dan Umar sayyid kuhul ahli surga adalah hadis dengan matan bathil mungkar. Para ulama yang berhujjah dengan hadis ini berusaha mentakwilkan makna kuhul yang dimaksud dalam hadis tersebut. Diantaranya:
  • Kuhul secara bahas bermakna usia diantara 30-50 tahun. Jadi penduduk surga yang usianya diantara 30-50 tahun disebut kuhul. Takwilan ini sudah jelas bathil karena penduduk surga atau para pemudanya memiliki usia yang sama dan mereka disifatkan oleh Rasulullah SAW dengan sebutan syabab bukannya kuhul.
  • Ada pula yang mengatakan maknanya adalah bahwa Abu Bakr dan ‘Umar pemimpin bagi penduduk surga yang saat di dunia meninggal saat mencapai usia tersebut [30-50 tahun]. Takwilan ini juga mengandung keanehan. Karena dalam hadis tersebut terdapat lafaz “dari kalangan terdahulu dan kemudian”. Bukankah kalangan terdahulu usianya bisa jauh sekali dari 30-50 bahkan ada yang sampai ratusan tahun?. Lagipula seandainya orang di dunia tersebut meninggal pada usia 30-50 tahun ia pun akan dibangkitkan dalam bentuk syabab ahli surga dan Sayyid bagi mereka adalah Al Hasan dan Al Husain.
  • Ada yang mengatakan maknanya adalah Abu Bakr dan ‘Umar merupakan pemimpin bagi penduduk surga yang berakal lagi baligh, yaitu ini keadaan umum atau sifat bagi penduduk surga (yang Allah masukkan dalam keadaan berakal dan baligh). Takwilan ini pun juga hanya dicocok-cocokkan saja atau sekedar dicari-cari. Penduduk surga yang berakal lagi baligh itu disifatkan oleh Rasulullah SAW dengan kata Syabab bukannya Kuhul dan Sayyid bagi mereka adalah Al Hasan dan Al Husain sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis yang shahih.
Kesimpulannya takwilan seperti apapun tetap bertentangan dengan hadis yang shahih dan tsabit yaitu para ahli surga adalah syabab dan hadis Al Hasan dan Al Husain Sayyid Pemuda Ahli Surga. Hadis Sayyid Kuhul Ahli Surga matannya bathil atau mungkar.

Kesimpulan Pembahasan:
Dari pembahasan yang panjang lebar di atas dapat dibuat ringkasan sebagai berikut
  • Hadis Ali dari Jalur Asy Sya’bi dhaif karena Al Harits [kedhaifannya terletak pada ‘adalah-nya].
  • Hadis Ali dari Jalur Hasan bin Ali dhaif mungkar karena Hasan bin Zaid.
  • Hadis Ali dari Jalur Zirr bin Hubaisy dhaif karena Mufadhdhal bin Fadhalah [kedhaifannya terletak pada ‘adalah-nya].
  • Hadis Ali dari Jalur Ali bin Husain bin Ali dhaif jiddan karena Abu Ghirrah Al Jud’aaniy seorang yang matruk.
  • Hadis Anas bin Malik dhaif mungkar karena kedhaifan Muhammad bin Katsir [hadisnya dari ‘Al Auzaiy termasuk hadis mungkar yang tidak memiliki mutaba’ah].
  • Hadis Abu Hurairah dhaif khata’ karena Abu Qutaibah terbukti keliru.
  • Hadis Jabir bin Abdullah dhaif jiddan karena Miqdam bin Dawud [kedhaifannya terletak pada ‘adalah-nya dan ia tertuduh meriwayatkan hadis palsu].
  • Hadis Abu Sa’id  dhaif karena Ali bin Abis seorang yang dhaif [kedhaifannya terletak pada ‘adalah-nya].
Hadis mungkar dan khata’ jelas tidak bisa dijadikan i’tibar. Sedangkan hadis lain sanadnya dhaif jiddan dan dhaif diriwayatkan oleh para perawi yang dhaif pada sisi ‘adalah-nya. Ditambah lagi matan hadis ini secara zhahir bathil atau mungkar [bertentangan dengan hadis shahih] dan tidak ada satupun pentakwilan yang bisa diterima. Kesimpulan ; Hadis Abu Bakar dan Umar Sayyid Kuhul Ahli Surga berstatus Dhaif.

Terkait Berita: